Anda di halaman 1dari 39

RENCANA PELAKSAAN PEMBELAJARAN

TAHUN AJARAN 2022/2023

Sekolah : SMAS Sumbangsih


Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XI (Sebelas) / Ganjil
Materi Pokok : Cerita Pendek
Alokasi Waktu : 2 pertemuan x 2 Jam pelajaran @ 45 Menit

A. Kompetensi Inti
KI.1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI.2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-
aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan
alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia
KI.3 : Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan factual, konseptual,
procedural, berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusia,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan
kejadian, serta menerapkan pengetahuan procedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
KI.4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah kongkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi

3.8 Mengidentifikasi nilai-nilai 3.8.1 Mengidentifikasi nilai-nilai


kehidupan yang terkandung dalam kehidupan yang terkandung dalam
kumpulan cerita pendek yang suatu cerpen
dibaca 3.8.2 Menentukan nilai-nilai kehidupan
yang terkandung dalam suatu cerpen

4.8 Mendemonstrasikan salah satu 4.8.1 Mendemonstrasikan nilai-nilai yang


nilai kehidupan yang dipelajari telah diidentifikasi dalam cerpen
dalam cerita pendek
4.8.2 Mengaitkan nilai-nilai kehidupan
dalam kehidupan sehari-hari
C. Tujuan Pembelajaran
Melalui kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan model Problem
Based Learning, peserta didik dapat mengidentifikasi dan menentukan nilai-nilai
kehidupan yang terkandung dalam suatu cerpen serta mendemonstrasikan dan
mengaitkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari dengan menunjukkan karakter
religius, jujur, toleransi, disiplin, dan kerja keras.

D. Materi Pembelajaran
Reguler Pegayaan Remedial
Cerpen:
• Isi cerpen
• Nilai-nilai kehidupan dalam cerpen √ √
• Demonstrasi nilai-nilai yang terdapat dalam
cerpen

E. Metode Pembelajaran
Pendekatan : Kontekstual
Model pembelajaran : Problem Based Learning
Metode pembelajaran : Diskusi, pengamatan, presentasi, tanya jawab

F. Media dan Sumber Belajar


Media / Alat : Lembar kerja, papan tulis, spidol tiga warna, dan powerpoint
Sumber Belajar :
• Buku
- Suwarni, Sri, dkk. 2020. Bahasa Indonesia Kebanggaan Bangsaku untuk
Kelas XI SMA dan MA. Jakarta: Platinum.
- Tim Edukatif, 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok
Wajib. Jakarta: Erlangga.
• Sumber Cerpen
- Sutarto, Edi. 2015. Metamorfosis Kura-Kura. Sidoarjo : Masmedia.
- Seno Gumira Ajidarma. 2018. Senja dan Cinta yang Berdarah : Antologi
Cerita Pendek Seno Gumira Ajidarma di Harian Kompas 1978-2013.
Jakarta : Gramedia.
- Wijaya, Putu. 2011. Cerpen Guru. Jakarta: Pustaka Pelajar.
- Wijaya, Putu. 2008. “Suap” dalam Jawa Pos. 21 September 2008.
- Agus Noor, “Tentang Seseorang yang Mati Tadi Pagi” dalam
https://koran.tempo.co/read/seni/98411/tentang-seseorang-yang-mati-tadi-
pagi, diakses pada 11 Juli 2022, 20.00 WIB.
• Internet
- Raditya Dika, “Rahasia Menulis Skenario Film”
https://www.youtube.com/watch?v=Hu35d67wKUk, diakses pada 11 Juli
2022, 20.00 WIB
G. Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Ke – 1

Tujuan Pembelajaran pada pertemuan ini :


Melalui pendekataan kontekstual dengan model pembelajaran problem based learning, dan
dengan metode pembelajaran diskusi, pengamatan,, dan tanya jawab, peserta didik dapat :
Ø Menjawab berbagai pertanyaan tentang nilai kehidupan yang terkandung dalam cerpen
Ø Mengolah / mengkreasikan informasi tentang nilai kehidupan yang terkandung dalam cerpen
Menyimpulkan tentang nilai kehidupan yang terkandung dalam cerpen
Fokus penguatan karakter : Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras,

Pemetaan Materi Pembelajaran dalam Dimensi Pengetahuan


Materi Pembelajaran : isi cerpen
Dimensi Faktual : Cerpen
Pengetahuan Konseptual : Nilai-nilai kehidupan dalam cerpen
Prosedural : Menentukan nilai kehidupan

Indikator Pencapaian Kompetensi


Ø 3.8.1 Mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam suatu cerpen
Ø 3.8.2 Menentukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam suatu cerpen

KEGIATAN PEMBELAJARAN Waktu


Sintak Model Pembelajaran 90 menit
KEGIATAN PENDAHULUAN 10 menit
Stimulation (stimullasi/ pemberian rangsangan)
Orientasi, Apersepsi, dan motivasi
• Guru bersama peserta didik berdoa untuk memulai pembelajaran.
• Guru memeriksa kehadiran peserta didik.
• Guru bersama peserta didik mengatikan materi/tema/kegiatan pembelajaran sebelumnya,
yaitu ceramah.
• Guru mengajukan pertanyaan yang ada kaitannya dengan pelajaran yang akan dilakukan.
• Guru bersama peserta didik menyamakan persepsi tentang manfaat mempelajari materi
pelajaran yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
• Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mekanisme pelaksanaan pada pertemuan yang
berlangsung
• Guru membagi kelompok belajar dan membagi buku kumpulan cerpen
KEGIATAN INTI Tahap 1 : Akivitas Individu 65 menit
• Membaca
Guru meminta peserta didik membaca cerpen yang telah dibagikan sesuai kelompok
Ø Kelompok 1 : Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi karya Seno Gumira Ajidarma
Ø Kelompok 2 : Guru karya Putu Wijaya
Ø Kelompok 3 : Suap karya Putu Wijaya
Ø Kelompok 4 : Tentang Seseorang yang Mati Tadi Pagi karya Agus Noor.
• Menulis dan Berbicara.
Guru membagikan LKPD yang berisi pertanyaan yang perlu dijawab peserta didik

Data Collection (pengumpulan data)


CREATIVE AND INNOVATION
Pertemuan Ke – 1
Peserta didik mengumpulkan informasi yang relevan untuk menjawab pertanyan yang telah
diidentifikasi melalui kegiatan:
• Mendiskusikan dalam kelompok
Peserta didik dalam kelompok mendiskusikan pertanyaan yang terdapat pada LKPD

KEGIATAN INTI Tahap 2 : Aktivitas Klasikal


Verification (pembuktian)
Higher order of Thinking Skill (HOTS)
COMUMNICATIVE
Peserta didik memverifikasi hasil pengolahan datanya untuk menyimpulkan hasil temuannya
dengan meng-compare (memperbandingkan) data-data atau teori pada buku sumber melalui
kegiatan :
• Aktivitas
Guru bersama peserta didik mengonfimasi kebenaran isi yang ditulis peserta didik.
Guru bersama peserta didik membahas identifikasi nilai-nilai kehidupan dalam cerpen.
• Mengumpulkan informasi
Mencatat semua informasi tentang materi nilai kehidupan dalam cerpen yang telah diperoleh
pada LKPD yang disediakan dengan tulisan yang rapi dan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar
Generalizatio (menarik kesimpulan)
Higher order of Thinking Skill (HOTS)
COLLABORATIVE
Peserta didik menyimpulkan hasil temuannya dari meng-compare (memperbandingkan) data-data
atau teori pada buku sumber melalui kegiatan :
• Memprediksi, mendesain, memperkirakan, membuat hipotesa
Peserta didik dan guru secara bersama-sama mendesain pertemuan berikutnya pada materi
mendemonstrasikan nilai dalam cerpen
Guru mengajak peserta didik untuk dapat bermain peran dengan cara masing-masing peserta didik
memilih tokoh yang akan dibawakan

KEGIATAN PENUTUP 15 menit


• Guru memberi penguatan terkait dengan materi yang telah dipelajari.
• Guru bersama peserta didik menyimpulkan hasil pembelajaran yang telah berlangsung.
• Guru bersama peserta didik melakukan refleksi terhadap hasil pembelajaran.
• Guru menyampaikan pembelajaran yang akan datang, yaitu membentuk kelompok diskusi.
CATATAN :
Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap siswa dalam menumbuhkembangkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecintaan kepada sesama manusia,
bersahaja, disiplin, rasa percaya diri, berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah,
tanggungjawab, rasa ingin tahu, peduli lingkungan, tanah air, dan bangsa Indonesia, serta
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya
dan orang lain. (Karakter Kepramukaan, Kebangsaan, dan Kewirausahaan)
Pertemuan Ke – 2

Tujuan Pembelajaran pada pertemuan ini :


Melalui pendekataan kontekstual dengan model pembelajaran problem based learning, dan
dengan metode pembelajaran diskusi, pengamatan,, dan tanya jawab, peserta didik dapat :
Ø Menjawab berbagai pertanyaan tentang mendemonstrasikan nilai kehidupan dalam cerpen
Ø Mengolah / mengkreasikan informasi tentang mendemonstrasikan nilai kehidupan dalam
cerpen
Ø Menyimpulkan tentang mendemonstrasikan nilai kehidupan dalam cerpen
Fokus penguatan karakter : Religious, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras,

Pemetaan Materi Pembelajaran dalam Dimensi Pengetahuan


Materi Pembelajaran : isi cerpen
Dimensi Faktual : cerpen
Pengetahuan Konseptual : Mendemonstrasikan nilai dalam cerpen
Prosedural : Menentukan nilai kehidupan dengan metode demonstrasi
(pembacaan atau dramatisasi)

Indikator Pencapaian Kompetensi


Ø 4.8.1 Mendemonstrasikan nilai-nilai yang telah diidentifikasi dalam cerpen
Ø 4.8.2 Menerapkan nilai-nilai yang telah diidentifikasi dalam cerpen

KEGIATAN PEMBELAJARAN Waktu


Sintak Model Pembelajaran 90 menit
KEGIATAN PENDAHULUAN 10 menit
Stimulation (stimullasi/ pemberian rangsangan)
Orientasi, Apersepsi, dan motivasi
• Guru bersama peserta didik berdoa untuk memulai pembelajaran.
• Guru memeriksa kehadiran peserta didik.
• Guru bersama peserta didik mengatikan materi/tema/kegiatan pembelajaran sebelumnya,
yaitu cerpen pertemuan pertama : mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan dalam cerpen.
• Guru mengajukan pertanyaan yang ada kaitannya dengan pelajaran yang akan dilakukan.
• Guru bersama peserta didik menyamakan persepsi tentang manfaat mempelajari materi
pelajaran yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
• Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mekanisme pelaksanaan pada pertemuan yang
berlangsung
KEGIATAN INTI Tahap 1 : Akivitas Individu 65 menit
Problem Statemen (pernyataan/ identifikasi masalah)
GERAKAN LITERASI SEKOLAH
Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengakses, memahami, dan menggunakan
sesuatu secara ceradas (gerakan literasi sekolah) untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin pertanyaan
yang berkaitan dengan gambar atau bahan tayang yang disajikan dan akan dijawab melalui kegiatan belajar,
• Membaca
Secara acak dan bergantian, satu kelompok maju untuk membacakan teks cerpen dengan memperhatikan
lafal, intonasi, dan ekspresi.
Ø Kelompok 1 : Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi karya Seno Gumira Ajidarma
Ø Kelompok 2 : Guru karya Putu Wijaya
Ø Kelompok 3 : Suap karya Putu Wijaya
Ø Kelompok 4 : Tentang Seseorang yang Mati Tadi Pagi karya Agus Noor.
Pertemuan Ke – 2
• Menyimak
Kelompok lain menyimak pembacaan cerpen kelompok yang tampil
• Menulis dan Berbicara untuk : mengajukan pertanyaan tentang materi identifikasi nilai-nilai
kehidupan dalam cerpen

KEGIATAN INTI Tahap 2 : Aktivitas Klasikal


Verification (pembuktian)
Higher order of Thinking Skill (HOTS)
COMUMNICATIVE
Peserta didik memverifikasi hasil pengolahan datanya untuk menyimpulkan hasil temuannya
dengan meng-compare (memperbandingkan) data-data atau teori pada buku sumber melalui
kegiatan :
• Aktivitas
Guru bersama kelompok yang tampil mempresentasikan kuis yang berisi pertanyaan-
pertanyaan. (Pola kuis menggunakan pola who wants to be a millionare atau family 100)
Setiap kelompok secara bergantian mendapat satu kali kesempatan menjawab.
Kelompok lain tampil dan mengulang kegiatan tahap 1

KEGIATAN PENUTUP 15 menit


• Guru memberi penguatan terkait dengan materi yang telah dipelajari.
• Guru bersama peserta didik menyimpulkan hasil pembelajaran yang telah berlangsung.
• Guru bersama peserta didik melakukan refleksi terhadap hasil pembelajaran.
• Guru menyampaikan pembelajaran yang akan datang, yaitu membentuk kelompok diskusi.
CATATAN :
Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap siswa dalam menumbuhkembangkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecintaan kepada sesama manusia,
bersahaja, disiplin, rasa percaya diri, berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah,
tanggungjawab, rasa ingin tahu, peduli lingkungan, tanah air, dan bangsa Indonesia, serta
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya
dan orang lain. (Karakter Kepramukaan, Kebangsaan, dan Kewirausahaan)

H. Penilaian, Remedial dan Pengayaan


1. Teknik Penilaian
a. Sikap Sosial : Observasi Guru
b. Pengetahuan : Tes Tertulis Uraian, Tes Lisan, dan Penugasan
c. Keterampilan : Unjuk Kerja/Praktik, Projek, Produk, dan Portofolio

2. Bentuk Penilaian
a. Sikap Sosial : Lembar Observasi Jurnal Kegiatan Praktik
Lembar Observasi Jurnal Kegiatan Diskusi
b. Pengetahuan : Lembar Soal Tes Tertulis Uraian
Lembar Soal Tes Lisan
Lembar Soal/Masalah/Kasus Penugasan
c. Keterampilan : Laporan Projek

3. Instrumen/Rubrik Penilaian
a. Sikap Sosial : Terlampir
b. Pengetahuan : Terlampir
c. Keterampilan : Terlampir
I. Lampiran
1. Bahan Ajar
2. Media Pembelajaran
3. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)
4. Kisi-Kisi, Instrumen dan Rubrik Penilaian
Jakarta, 10 Agustus 2022
Kepala SMAS Sumbangsih Guru Bahasa Indonesia

Drs. Akhmad Nidom Taufik Hidayatulloh, S.Pd.


Lampiran 1
BAHAN AJAR

A. Definisi
Terdapat pada buku paket bahasa Indonesia halaman 101
B. Identifikasi Nilai-Nilai Kehidupan yang Terkandung dalam Kumpulan Cerpen
1. Nilai Sosial
Nilai yang berkaitan dengan hubungan sosial antarmanusia yang terwujud dalam
bentuk interaksi.
2. Nilai Moral
Nilai yang berkaitan dengan perilaku baik atau buruh manusia, serta berhubungan
pula dengan norma-norma tertentu yang menjadi dasar kehidupan.
3. Nilai Budaya
Nilai yang berkaitan dengan tradisi, adat istiadat, dan kebiasaan manusia.
4. Nilai Religi
Nilai yang berkaitan dengan cara manusia menjalankan ajaran-ajaran agama dan
kepercayaan.
C. Model pembelajaran membaca cerpen
Model pembelajaran SAVI (Somatis, Auditori, Visual, Intelektual) adalah pembelajaran
yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indrayang dimiliki
peserta didik (Suyatno, 2009 : 65). Meier (dalam Rusman, 2011 : 373)mengemukakan
bahwa pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang melibatkan kelima indera dan
emosi dalam proses belajar. Sedangkan Shoimin (2014 : 177) berpendapat bahwa
pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang memanfaatkan semua alat indera yang
dimiliki siswa. Dari pendapat para ahli tersebut dapatdisimpulkan bahwa pembelajaran
SAVI adalah pembelajaran yang melibatkan seluruhindera yang dimiliki oleh siswa
agar tercapai pembelajaran yang maksimal.

Shoimin (2014 : 178) langkah-langkah pembelajaran SAVI adalah sebagai berikut :1.
- Tahap persiapan (kegiatan pendahuluan)Pada tahap ini guru memotivasi siswa,
memberikan perasaan positif mengenai pembelajaran yang akan dilaksanakan, dan
menempatkan siswa dalam situasi optimaluntuk belajar. Hal yang bisa dilakukan
pada tahap persiapan: guru menyampaikantujuan pembelajaran yang jelas dan
bermakna (auditori), guru membagi siswa dalam kelompok kecil (somatis),
merangsang rasa ingin tahu siswa, dan mengajak siswa untukterlibat penuh dalam
pembelajaran
- Tahap penyampaian ( kegiatan inti )Hal yang bisa dilakukan pada tahap ini adalah:
guru menyampaikan materi dengancontoh nyata (somatis, auditori, visual), dari
contoh guru menjelaskan materi (auditori,visual).
- Tahap pelatihan (kegiatan inti)Pada tahap ini guru membantu siswa
mengintegrasikan, menyerap pengetahuan, danketrampilan baru dengan
melibatkan panca indera. Hal yang bisa dilakukan pada tahapini adalah: guru
memberikan LKS untuk diselesaikan dengan berdiskusi sesuai
dengankelompoknya masing-masing (intelektual), guru membahas LKS (auditori,
somatis,intelektual)
- Tahap penampilan hasil (kegiatan penutup)Pada tahap ini guru membantu siswa
untuk menerapkan dan memperluas pengetahuan atau ketrampilan baru siswa pada
tugas yang diberikan sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil
akan terus meningkat. Hal yang dilakukanyaitu guru memberi penguatan terhadap
materi yang telah dipelajari (auditori) ,memberikan evaluasi untuk mengetahui
tingkat pemahaman siswa setelah proses pembelajaran (auditori, intelektual),
memberikan tugas rumah dan pesan belajar (intelektual)
Lampiran 2
Media Pembelajaran

Cerpen Kelompok Satu


DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI
Karya Seno Gumira Ajidarma

Sabar Pak, sebentar lagi,” kata hansip.


”Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji.
”Masih satu menit lagi,” ujarnya.
Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang
mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena
parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.
”Ssssstttt!”
Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti
permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia.
Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula
bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas
suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat
sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat. Namun
yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah,
yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya.
Yang ditunggu Pak RT adalah suara wanita itu. Dan memang dendang kecil itu segera
menjadi nyanyian yang mungkin tidak teralu merdu tapi ternyata merangsang khayalan
menggairahkan. Suara wanita itu serak-serk basah, entah apa pula yang dibayangkan orang-
orang dibalik tembok dengan suara yang serak-serak basah itu. Wajah mereka seperti orang
lupa dengan keadaan sekelilingnya. Agaknya nyanyian wanita itu telah menciptakan sebuah
dunia di kepala mereka dan mereka sungguh-sungguh senang berada disana.
Hanya hansip yang masih sadar.
”Benar kan Pak?”
Pak RT tertegun. Suara wanita itu sangat merangsang dan menimbulkan daya khayal yang
meyakinkan seperti kenyataan.
Pak RT memejamkan mata. Memang segera tergambar suatu keadaan yang mendebarkan.
Bunyi air mengguyur badan jelas hanya mengarah tubuh yang telanjang. Bunyi sabu
menggosok kulit boleh ditafsirkan untuk suatu bentuk tubuh yang sempurna. Dan akhirnya ya
suara serak-serak basah itu, segera saja membayangkan suatu bentuk bibir, suatu gerakan
mulut, leher yang jenjang, dan tenggorokan yang panjang—astaga, pikir Pak RT, alangkah
sensualnya, alangkah erotisnya, alangkah sexy!
Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya
warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase itu mengalami orgasme.
”Aaaaaaahhhhh!”
Dalam perjalanan pulang, hansip memberondongnya dengan pertanyaan.
”Betul kan pak, suaranya sexy sekali ?”
”ya.”
“Betul kan Pak, suaranya menimbulkan imajinasi yang tidak-tidak?”
”Ya.”
”Betul kan Pak nyanyian di kamar mandi itu meresahkan masyarakat?”
”Boleh jadi.”
”Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum
cukup?”

***
Kemarin sore, ibu-ibu warga sepanjang gang itu memang memenuhi rumahnya. Mereka
mengadu kepada Pak RT, bahwa semenjak terdengar Nyanyian dari kamar mandi rumah Ibu
Saleha pada jam-jam tertentu, kebahagiaan rumah tangga warga sepenjang gang itu terganggu.
”Kok Bisa?” Pak RT bertanya.
”Aduh, Pak RT belum dengar sendiri sih! Suaranya sexy sekali!”
”Saya bilang Sexy sekali, bukan hanya sexy. Kalau mendengar suaranya, orang langsung
membayangkan adegan-adegan erotis Pak!”
”Sampai begitu?”
”Ya, sampai begitu! Bapak kan tahu sendiri, suaranya yang serak-serak basah itu disebabkan
karena apa!”
”Karena apa? Saya tidak tahu.”
”Karena sering di pakai dong!”
”Dipakai makan maksudnya?”
”Pak RT ini bagaimana sih? Makanya jangan terlalu sibuk mengurusi kampung. Sesekali
nonton BF kek, untuk selingan supaya tahu dunia luar.”
”Saya, Ketua RT, harus nonton BF, apa hubungannya?”
”Supaya Pak RT tahu, kenapa suara yang serak-serak basah itu sangat berbahaya untuk
stabilitas spanjang Gang ini. Apa Pak RT tidak tahu apa yang dimaksud dengan adegan-adegan
erotis? Apa Pak RT tidak tahu dampaknya bagi keidupan keluarga? Apa Pak RT selama ini
buta kalau hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak gara-gara
nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat ibu Saleha, kehidupan seksual warga
masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami ibu-ibu sepanjang
gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!”
”lho, lho, lho, sabar dulu. Semuanya harus dibicarakan baik-baik. Dengan musyawarah,
dengan Mufakat, jangan main hakim sendiri. Dia kan tidak membuat kesalahan apa-apa? Dia
hanya menyanyi di kamar mandi. Yang salah adalh imajinasi suami ibu-ibu sendiri, kenapa
harus membayangkan adegan-adegan erotis? Banyak penyanyi Jazz suaranya serak-serak
basah, tidak menimbulkan masalah. Padahal lagu-lagunya tersebar ke seluruh dunia.”
”Ooo itu lain sekali pak. Mereka tidak menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan
bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi resluiting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak
ada bunyi karet celana dalam. Nyanyian dikamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur
telanjangnya Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri
yang akan beramai-ramai melabraknya!”
Pak RT yang diserang dari segala penjuru mulai kewalahan. Ia telah menjelaskan bahwa
wanita itu hanya menyanyi di kamar mandi, dan itu tidak bisa di sebut kesalahan, apalagi
melanggar hukum. Namun ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa ibu-ibu disepanang gang
itu resah karena suami mereka menjadi dingin di tempat tidur. Ia tidak habis pikir, bagaimana
suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga
mempengaruhi kehidupan sexual sepasang suami istri. Apakah yang terjadi dengan kenyataan
sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga membuatnya bingung, kenapa
para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?
”Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi kita,” pikirnya.
Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang serak-serak basah itu, Pak RT mesti
mengakui suara itu memang bisa dianggap sexy dengan gambaran umum mengenai suara yang
sexy. Meski begitu pak RT juga tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan pergumulan
di ranjang mendengar nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah dengan bunyi byar-
byur-byar-byur, serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit.
Karenanya, Pak RT berkeputusan tidak akan mengusir wanita itu, melainkan
mengimbaunya agar jangan menyanyi di kamar mandi, demi kepentingan orang banyak.
Di temani Ibu Saleha yang juga sudah tau duduk perkaranya, Pak RT menghadapi wanita
itu. Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita
muda yang hidup dengan sangat teratur. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang
tepat. Bangun tidur pada jam yang telah di tentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang
selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara serak-serak
basah.
”Jadi suara saya terdengar sepanjang gang di belakang rumah? ”
”Betul, Zus”
”Dan ibu-ibu meminta saya agar tidak menyanyi supaya suami mereka tidak berpikir yang
bukan-bukan?”
”ya, kira-kira begitu Zus.”
”Jadi selama ini ternyata para suami di sepanjang gang dibelakang rumah membayangkan
tubuh saya telanjang ketika mandi, dan membayangkan bagaimana seandainya saya bergumul
dengan mereka di ranjang, begitu?”
Pak RT sudah begitu malu. Saling memandang dengan Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-
sama sudah merah padam. Wanita yang parasnya polos itu membasahi bibinya dengan lidah.
Mulutnya yang lebar bagaikan mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa
saja di depannya.
Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat wajah itu tersenyum penuh rasa maklum.
Ia tidak menunggu jawaban Pak RT.
”Baiklah Pak RT, Saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi,” Ujarnya dengan
suara yang serak-serak basah itu, ”akan saya usahakan agar mulut saya tidak mengeluarkan
suara sedikit pun, supaya para suami tidak membayangkan diri mereka bergumul dengan saya,
sehingga mengganggu kehidupan seksual keluarga sepanjang gang ini”.
”Aduh, terimakasih banyak Zus. Harap maklum Zus, saya Cuma tidak ingin masayrakat
menjadi resah.”
Begitulah semenjak itu, tak terdengar lagi nyanyian bersuara serak-serak basah dari kamar
mandi diujung gang itu. Pak RT merasa lega. ”semuanya akan berjalan lancar,” pikirnya.
Kadang-kadang ia berpapasan dengan wanita yang penuh pengertian itu. Masih terbayang di
benak Pak RT betapa lidah wanita itu bergerak-gerak membasahi bibirnya yang sungguh-
sungguh merah.
***
Tapi Pak RT rupanya masih harus bekerja keras. Pada suatu sore hansip melapor.
”Kaum ibi sepanjang gang ternyata masih resah pak.”
”Ada apa lagi? Wanita itu sudah tidak menyanyi lagi kan?”
”Betul Pak, tpi menurut laporan ibu-ibu pada saya, setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur
dari kamar mandi itu, para suami membayangkan suaranya yang serak-serak basah. Dan karena
membayangkan suaranya yang serak-serak basah yang sexy, lagi-lagi meraka membayangkan
pergumulan di ranjang dengan wanita itu Pak. Akibatnya, kehidupan seksual warga kampung
sepanjang gang ini masih belum harmonis. Para ibu mengeluh suami-suami mereka masih
dingin ditempat tidur, pak!”
”Jangan-jangan khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan!
Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu juga membayangkan yang tidak-tidak meski hanya
mendengar jebar-jebur orang mandi saja?”
Hansip itu tersenyum malu.
”Saya belum kawin, pak.”
”Aku tahu, maksudku kamu membayangkan adegan-adegan erotis atau tidak kalu
mendengar dia mandi?”
”Ehm! Ehm!”
”Apa itu Ehm-Ehm?”
”Iya, Pak”
”Nah, begitu dong terus terang. Jadi ibu-ibu maunya apa?”
”Mereka ingin minta wanita itu diusir Pak.”
Terbayang di mata Pak RT wajah ibu-ibu sepanjang gang itu. Wajah wanita-wanita yang
sepanjang hari memakai daster, sibuk bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut
dikepalanya. Wanita-wanita yang selalu menggendong anak dan kalu teriak-teriak tidak kira-
kira kerasnya, seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci
baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk ruang tamu
mereka yang sempit.
”Tidak mungkin, wanita itu tidak bersalah. Bahkan melarangnya nyanyi saja sudah
keterlaluan.”
”Tapi imajinasi porno itu tidak bisa dibendung Pak.”
“Bukan salah wanita itu dong! Salahnya sendiri kenapa mesti membayangkan yang tidak-
tidak? Apa tidak ada pekerjaan lain?”
“Salah atau tidak, menurut ibu-ibu adalah wanita itu penyebabnya Pak. Ibu-ibu tidak mau
tahu. Mereka menganggab bunyi jebar-jebur itu masih mengingatkan bahwa itu selalu diiringi
nyanyian bersuara serak-serak basah yang sexy, sehingga para suami masih membayangkan
suatu pergumulan di ranjang yang seru.”
Pak RT memijit-mijit keningnya.
”Terlalu,” batinnya, ”pikiran sendiri kemana-mana, orang lain disalahkan.”
Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT membuatnya hafal, segala sesuatu bisa
disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Sudah berapa maling digebuk sampai mati
dikampung itu dan tak ada seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap memang
sudah seharusnya.
”Begitulah Zus, ” Pak RT sudah berada dihadapan wanita itu lagi. ”Saya harap Zus berbesar
hati menghadapi semua ini. Maklumlah orang kampung Zus, kalau sedang emosi semaunya
sendiri. ”
Wanita itu lagi-lagi tersenyum penuh pengertian. Lagi-lagi ia menjilati bibirnya sendiri
sebelum bicara.
“Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak
mengganggu orang lain.”
Maka hilanglah bunyi jebar-jebur pada jam yang sudah bisa di pastika itu. Ibu-ibu yang
sepanjang hari cuma mengenakan daster merasa puas, duri dalam daging telah pergi. Selama
ini alangkah tersiksanya mereka, karena ulah suami mereka yang menjadi dingin di tempat
tidur, gara-gara membayangkan adegan ranjang seru dengan wanita bersuara serak-serak basah
itu.
***
Pada suatu sore, di sebuah teras, sepasang suami istri bercakap-cakap.
”Biasanya jam segini dia mandi,” kata suaminya.
”Sudah. Jangan diingat-ingat” sahut istrinya cepat-cepat.
”Biasanya dia mandi dengan bunyi jebar-jebur dan menyanyi dengan suara serak-serak
basah.”
”Sudahlah. Kok malah diingat-ingat sih?”
”Kalau dia menyanyi suaranya sexy sekali. Mulut wanita itu hebat sekali, bibirnya merah
dan basah. Setiap kali mendengar bunyi sabun menggosok kulit aku tidak bisa tidak
membayangkan tubuh yang begitu penuh dan berisi. Seandainya tubuh itu ku peluk dan
kubanting ke tempat tidur. Seandainya ..”
Belum habis kalimat suami itu, ketika istrinya berteriak keras sekali, sehingga terdengar
sepanjang gang.
”Tolongngngngng! Suami saya berkhayal lagi! Tolongngngngng!”
Ternyata teriakan itu bersambut. Dari setiap teras rumah, terdengar teriakan para ibu
melolong-lolong.
”Tolongngngngng! Suami saya membayangkan adgan ranjang lagi dengan wanita itu!
Tolongngngngng!”
Suasana jadi geger. Hansip berlari kian kemari menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa
suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur orang mandi, para suami tetap bisa
membayangkan adgan ranjang dengan wanita bersuara serak-serak basah yang sexy itu.
Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu akan terganggu.
Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya menertibkan imajinasi? Tapi sebagai
ketua RT yang berpengalaman, iasegera mengambil tindakan. Dalam rapat besar esok harinya
ia memutuskan, agar di kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutusakan bahwa di
fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib diikuti ibu-
ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT juga sudah berpikir-pikir,
pembukaan fitness center itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda.
Kemudian, disepanjang gang itu juga berlaku peraturan baru:
DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI

Taman Manggu, 29 Desember 1990

Cerpen Kelompok Dua


GURU
Karya Putu Wijaya

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua
tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat
ngajak dia ngomong.

"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk.

"Betul Pak."
Kami kaget.

"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"


"Ya."

Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya
apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak
bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak
mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya
menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-
blakan.

"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu!
Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan
ini era millennium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa
sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena
terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja.
Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih
menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal,
kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

"Tapi saya mau jadi guru."


"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu
hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli.
Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik
Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya
bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-
cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-
cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru
yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya
masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran
atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda,
otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang
dengan otak dingin!"

"Sudah saya pikir masak-masak."


Saya terkejut.

"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"


Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang
dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu
jadi cupet pikirannya.

"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau
jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua
dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak
melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi
Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya
membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru
yang paling canggih, sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan
bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.

"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa
rasa berdosa. Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang
mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.

"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang
pada guru itu ya?!" damprat istri saya.
"Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan
bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang
sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang
brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

Taksu tidak menjawab.


"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah
memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas
karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja
sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-
pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru.
Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah
setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak
nyahok?"

Taksu tetap tidak menjawab.


"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-
pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan
kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang
tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin
kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang
anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna?
Paham?"

Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?" Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya.
Akhirnya dia menyembur.

"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan,
supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri,
Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin
membantah. Di jalan istri saya berbisik.

"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam.
Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang
menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang
dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau
mengikuti apa nasehat kita!"

Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau
adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya.
Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih
kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.

Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya
jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta
diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan
kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin.
Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan
mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil
mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk
kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?" Saya tersenyum.

"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata
saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

Taksu memandang saya.


"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"

Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.


"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga,
kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua
kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan
supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat.
Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau
kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak
guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel
di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil
pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"

Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya
bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.

"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya,


saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya
kembali kunci mobil itu.

"Saya ingin jadi guru. Maaf."


Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat
menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya
tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.

"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami
stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana
penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-
mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak
akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi
sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."

Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti
sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali
Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak
saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah.
Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

"Mau jadi guru."


Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja
meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.

"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran
kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru,
Taksu?!!!"

"Karena saya ingin jadi guru."


"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"

"Saya mau jadi guru."


"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."

Taksu menatap saya.


"Apa?"

"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.

"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."


"Tidak? Kenapa tidak?"

"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa
yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi
inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."

Saya tercengang.

"O... jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan
semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"

Taksu memandang kepada saya tajam.


"Siapa Taksu?!"

Taksu menunjuk
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.

"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak
bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas.
Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar
pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya
butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup
kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap,
kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa
melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"

Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup.
Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik
itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.

"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada
bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta,
itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga
pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa?
Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab
mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya
kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat?
Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab
itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak
pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi
itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa
kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti
kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"

Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-
siap hendak pergi.
"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami!
Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan
yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar
kamu!"

Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah
saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak
percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya
melotot dan saya dibentak habis- habisan.

"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.
Saya bingung.

"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak
mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang.
Dasar mata duitan!"

Saya tambah bingung.


"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"

Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak
satu- satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari,
sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti
program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya
istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya
akan biarkan dia kabur?

"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.


Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti
sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong.
Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan
pesan kecil:

"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."


Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang
nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya
semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium
bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan
orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan
pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai
pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu
bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa
yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi
sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya
menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk
pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar
keras.
***
Tetapi itu 10 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya
begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup
saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor
barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai
wilayah mancanegara.

"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda
lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya
menularkan etos kerja," ucap promot ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari
sebuah perguruan tinggi bergengsi.
Cerpen Kelompok Tiga

TENTANG SESEORANG YANG MATI TADI PAGI


Karya Agus Noor

1.
SEBAGAIMANA sudah ia yakini sejak lama, ia akan mati hari ini, tepat pukul sembilan
pagi. Ia ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman. Ia ingin menikmati detik-detik
kematiannya dengan karib. Maka ia pun mandi, merasakan air yang meresap lembut dalam
pori-porinya dengan kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya terasa lebih peka. Ia bisa
merasakan gesekan yang sangat lembut pelan, ketika sebutir air bergulir di ujung hidungnya.
Bahkan ia bisa merasakan dingin yang menggeletarkan bulu-bulu matanya. Betapa waktu yang
berdenyut lembut membuat perasaannya terhanyut. Dan ia memejam, mencoba merasakan
segala suara dan keretap cahaya yang masuk lewat celah ventilasi kamar mandi. Ia merasa
bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannnya sendiri, hingga bisa mempersiapkan
segalanya tanpa tergesa-gesa. Ia memotong kuku, mencukur cambang, dan merapikan
kumisnya yang tipis. Ia ingat, teman- temannya selalu bilang kalau ia terlihat lebih ganteng
bila berkumis tipis. Ia tersnyum. Ia ingin tampak ganteng saat mati pagi ini. Ia menyisir
rambuhnya belah tengah, mengoleskan minyak rambut hingga tampak klimis, mengenakan
pakaian terbaik miliknya, kemeja motif batik, dan tentu ia tak lupa menyemprotkan minyak
wangi.

Sedikit di bawah ketiak, di leher, di lengan dan menggosoknya pelan. Ia tak ingin wangi
yang
berlebihan. Ini akan jadi kematian yang menyenangkan, batinnya. Sungguh ia merasa
beruntung karena bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu susah-susah beli racun, lalu
menenggaknya. Alangkah menyedihkan mati seperti itu. Ia juga tak perlu repot-repot
menyiapkan tali, dan menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu selalu menimbulkan
kerumitan tersendiri. Ia pun tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta api. Betapa tidak
sedapnya mati dengan tubuh remuk terburai seperti itu: merepotkan dan menjijikkan. Orang-
orang mesti memunguti tetelan tubuhnya yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan
rel kereta. Sungguh beruntung ia tak harus mati dengan cara-cara mengenaskan seperti itu.
Ia tak perlu mati menderita lantaran usia tua atau penyakit menahun yang menggerogoti
tubuhnya.

Ia merasa segar – bahkan jauh merasa lebih segar dari hari-hari biasanya – hingga ia tak
perlu
merasa cemas kalau-kalau kematian akan membuatnya merasa kesakitan. Tinggal berbaring
tenang di ranjang, dan membiarkan maut bersijengkat mendekatinya perlahan. Ia merasakan
waktu yang beringsut berdenyut, dan cahaya mengusapnya lembut. Lihatlah, cahaya matahari
seperti susu segar yang ditumpahkan ke lantai, terasa kental. Cahaya yang terlihat begitu jernih
dan bening membuat semua benda lebih memancarkan warnanya. Permukaan meja kayu yang
sudah ia bersihkan makin terlihat kecoklatan dan begitu detail alur serat kayunya. Barut tipis
bekas paku pada cermin, nampak jelas. Sepasang sandal kulit di pojok terlihat bersih, warnanya
yang coklat tampak lebih cerah. Detak jam begitu lembut. Kamarnya jadi terasa hangat dan
menenangkan. Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia bisa merasakan senyum bunga-bunga.
Ia bisa mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia
mencium harum kambium meruap di udara yang ranum. Harum yang sebelumnya tak pernah
ia cium. Juga bau aroma bawang goreng yang samar-samar mengambang di udara yang
bergeletaran pelan, membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental dalam penciumannya. Ia
dengar suara sayap kupu- kupu yang terbang melintasi pagar. Beginikah rasanya saat kematian
makin mendekat? Segala terasa melambat. Segala terasa lebih pekat dan hangat. Seperti ada
yang memeluknya. Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada yang ingin membisikkan
penghiburan di dekat telinganya. Dan ia merasakan ada yang perlahan mendekat, seakan
mengingatkan agar ia berkemas, meski tak perlu bergegas. Biarkan segalanya berjalan
sebagaimana yang direncanakan. Ia akan mati dengan nyaman, tenang dan membahagiakan.
Sungguh, bila saat-saat menjelang kematian ini merupakan saat-saat yang paling syahdu
dalam
hidupnya, ia ingin menghayati dan merasakan kesyahduan itu dengan sempurna. Mati,
barangkali memang tak lebih melankoli, seperti puisi pucat pasi. Tapi ia ingin menghayati.
Bukan untuk kenangan yang akan dibikinnya abadi, tapi sekadar ingin mengerti bagaimana
rasanya mati. Ketika ia merasakan segalanya makin mendekat, ia pun segera menemui tukang
kebun itu. Seperti yang telah lama ia rencanakan, ia pun pamit untuk penghabisan kali pada
tukang kebun yang sudah menunggunya dengan sabar.
“Ini sekadar biaya buat pemakaman. Maaf, bila saya merepotkan…” Kemudian ia berbaring
tenang, hingga detik terakhir kematiannya datang.

2.
TEPAT pukul sembilan pagi, laki-laki itu pun mati. Alangkah menyenangkan bisa mati
dengan lembut seperti itu, batin tukang kebun sembari memandangi jenazah yang terbaring
tenang. Rasanya baru kali ini ia melihat wajah jenazah yang begitu bahagia. Bahkan dalam
mati pun laki-laki itu tampak santun dan menyenangkan.

Lalu tukang kebun itu teringat pada saat laki-laki itu datang hendak mengontrak kamar di
rumah yang dijaganya. Laki-laki itu mengatakan, ia akan tinggal di sini untuk menanti
kematian. Di sebutnya hari dan jam kapan ia akan mati. Tentu saja, ia – pada saat itu –
menganggap laki-laki itu hanya bercanda. Usianya masih muda dan terlihat segar. Kematian
memang tak bisa di duga, tetapi tukang kebun itu yakin laki-laki itu masih akan hidup lama.
Tidak, katanya, saya akan mati. Dan, sekali lagi, disebutnya hari dan jam kapan persisnya ia
akan mati. Laki-laki tampan yang kesepian, tukang kebun itu membatin, sambil menatap wajah
tenang laki-laki itu. Mungkin dia hendak bunuh diri. Entah kenapa, tukang kebun itu tiba-
tiba saja merasa kasihan. Semuda dan sebagus itu, tapi sudah putus asa dan memilih mati.
Karena itulah, dengan halus dan sopan tukang kebun, yang dipercaya pemilik rumah untuk
menjaga kamar-kamar kontrakan itu, menolak menerima laki-laki itu. Di sini bukan tempat
yang pantas untuk mati, Nak. Kalau kau ingin bunuh diri, carilah tempat lain. Mati di kamar
hotel yang sejuk pasti jauh lebih menyenangkan. Kamu bisa memilih tempat yang paling pantas
buat kematianmu. Asal jangan di kontrakan ini.
Tidak, Pak. Saya tak hendak bunuh diri. Sungguh. Saya memang mau mati, tetapi tak
hendak bunuh diri. Sudah lama saya tahu, saya akan mati di tempat ini. Di kamar kontrakan
yang sederhana dan tenang. Ini kematian yang telah saya pilih. Izinkan saya menentukan
kematian saya sendiri, Pak. Karna itulah satu-satunya kebahagiaan yang saya miliki dalam
hidup. Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu kapan di mana dan
bagaimana kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri. Kita bisa menantinya dengan
tenang. Menyambutnya dengan cara yang paling karib. Dan saya ingin mati dengan tenang di
sini, Pak.
Bila itu lelucon, pastilah itu lelucon yang paling tak lucu. Tapi laki-laki itu tampak tak
sedang berkelakar. Matanya yang teduh membuat tukang kebun itu terpesona dan mempercayai
kata-
katanya. Sepanjang ia menjaga rumah kontrakan ini, ia sudah bertemu banyak orang yang
terlihat aneh, tertutup bahkan misterius, yang datang mengontrak kamar sebentar kemudian
pergi dan tak pernah kembali. Rasanya laki-laki inilah yang paling aneh dan tak ia mengerti.
Bahkan kini pun ia tak kunjung bisa mengerti, kenapa laki-laki itu bisa tahu dengan persis
kapan ia mati. Ada rasa iri yang menyelusup ketika ia pelan-pelan menutup jenazah laki-laki
itu dengan selimut yang sudah dipersiapkan. Rasanya memang tak ada yang lebih
membahagiakan selain mengetahui kapan kita akan mati. Karna dengan begitu tak ada lagi
rahasia yang menakutkan dalam hidup ini. Ah, betapa ia juga ingin matiseperti laki-laki ini.
Mati dengan tenang – bahkan terasa riang – dan segalanya berlangsung dengan
biasa dan sederhana.

3.
DI warung kopi, sore itu, sahabatmu mendengar tukang kebun itu bercerita tentang
seseorang yang baru saja mati dengan tenang dan bahagia, tadi pagi.
“Aku menyaksikannya sendiri, detik-detik ketika ia perlahan-lahan mati,” tukang kebun itu
bercerita, dan sahabatmu mendengarkan sembari menyeruput kopi. “Aku merasakan cahaya
yang perlahan jadi lanum. Seperti ada yang perlahan mendekat, seperti langkah-langkah ringan
yang melompati jendela dan masuk ke dalam kamar di mana laki-laki itu berbaring tenang.
Aku bayangkan maut mengecup keningnya pelan, dan ia tersenyum. Pada detik itulah aku
merasakan ada cahaya kelabu lembut, yang lebih tipis dari kabut, melayang terbang
mengelangut serupa senandung maut…”

Setiap sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak seperti
sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan percakapan, sore itu sahabatmu merasakan
kemurungan yang luar biasa. Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita tukang kebun
itu.
“ Betapa aku ingin mati seperti laki-laki itu,” suara tukang kebun itu terdengar gemetar dan
hambar. “Aku sudah tua, aku sering membayangkan aku akan mati kesepian. Tapi aku
selalu cemas karena tak pernah tahu kapan.” Sembari terus diam mengetuk-ngetuk tepian
cangkir dengan ujung-ujung jari, pura-pura abai pada cerita tukang kebun itu, seketika
sahabatmu terkenang pada cerita yang sering kau kisahkan perihal seseorang, yang pernah
menjadi karib dalam hidupmu, tetapi kemudian memilih hidup menyendiri untuk menanti mati.
Biasanya, sahabatmu begitu betah menghabiskan waktu di warung kopi itu. Tapi cerita
kematian yang dituturkan tukang kebun itu membuatnya ingin cepat-cepat bertemu denganmu.

4.
KAU hanya terdiam, saat sabahatmu bercerita.
“Begitulah yang kudengar dari tukang kebun itu, ia sudah mati dengan tenang dan bahagia
pagi
tadi, tepat jam sembilan pagi.” Biasanya, menghabiskan waktu berjaga, kau dan sahabatmu
akan bertukar kelakar sembari bermain kartu, untuk mengusir kantuk dan jemu. Bertahun-
tahun menjadi penjaga malam di kamar mayat rumah sakit, kau sudah teramat tahu, bahwa
kematian terasa lebih menakutkan ketika dipercakapkan pelan-pelan. Tapi kau sudah terbiasa
dengan ketakutan seperti itu. Ketakutan yang selalu muncul bersama bau yang membeku di
udara. Bau yang sepertinya sengaja ditinggalkan maut untuk sekadar menjadi tanda. Kau selalu
membayangkan bau itu seperti jejak – atau tapak – kaki kucing yang mungil. Jejak yang
melekat di lantai dan tembok dan mengapung di udara. Kau sering melihatnya ada di mana-
mana, membuatmu seperti bocah pramuka yang sedang mencari jejak agar tak tersesat. Kau
bisa mencium bau kematian itu bergerak pelan, tetapi kau tak pernah tahu pasti kapan kematian
akan menjemputmu. Kau hanya merasa. Tapi tak kuasa menduga. Dan itu selalu menakutkan.
Mencemaskan. Tapi juga selalu membuatmu penasaran. Itulah sebabnya kenapa kau melamar
– dan akhirnya diterima – jadi penjaga malam di kamar mayat rumah sakit. Kau hanya mau
giliran jaga malam, karna kau percaya kematian akan jauh lebih terasa pada malam hari. Seperti
tinta hitam yang dituangkan ke kolam. Kau jadi seperti bisa meraba dan menyentuhnya. Kau
suka sekali memandangi mayat yang terbaring beku dan pucat. Memandanginya lama- lama.
Menyentuh dan merasakan tilas hangat yang masih tersimpan di bawah kulit. Sering kau
merasakan denyut lembut yang masih terasa merayapi otot mayat-mayat itu. Dan malam ini,
kau jadi makin mencintai bau kematian, saat sahabatmu menceritakan kematianku tadi pagi.
Kau ingin menangis – entah kenapa. Yang pasti bukan karena kehilangan. Kau hanya merasa
betapa menyenangkannya bisa mengetahui kematian sendiri. Karena itu, kau pun dulu tampak
iri ketika aku bercerita betapa aku telah mengetahui kapan aku mati. Kau merasa iri, karena
aku kau anggap telah mampu memecahkan teka-teki.

“Kau tahu,” ucapmu pelan pada sahabatmu yang bersandar di kursi, “aku selalu
menginginkan
kematian yang tenang dan bahagia seperti itu.” Dan kau pun mencoba membayangkan
kelopak mataku yang tampak rapuh ketika perlahan terkatup. Kau bayangkan sisa redup cahaya
terakhir yang melekat di retina mataku. Kau ingin sekali bisa bertemu denganku. Kau ingin
sekali bertanya, bagaimana mengetahui kunci teka-teki kematian sendiri, dan mati dengan
begitu tenang. Begitu bahagia. Ingin sekali kau tanyakan itu kepadaku yang telah mati jam
sembilan pagi tadi.

Yogyakarta, 2007

Cerpen Kelompok Empat

SUAP
Karya Putu Wijaya

Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan dirinya, dia menyatakan
keinginannya untuk menyuap. Dia minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta yang
mewakili daerahnya dimenangkan.
“Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”katanya memujikan,
“keluarganya memang turun-temurun adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu
adalah pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja. Sekarang dia bekerja
sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia
menang, seluruh dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang mengalami
musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat lebih sibuk mengurus soal-soal politik
daripada soal-soal kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, tbc, mati muda, akan
terselamatkan. Saya harap Anda sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan
kepada sesama, memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci.”
Saya langsung pasang kuda-kuda.
“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan menjatuhkan pilihan
berdasarkan kemanusiaan, tetapi berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”
“Tapi bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang membela kemanusiaan dan
bermanfaat bagi manusia?”
“Betul. Tapi meskipun membela kemanusiaan, tetapi kalau tidak dipersembahkan dengan
bagus, atau ada yang lebih bagus, di dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus
tetap tidak akan bisa menang.”
Orang yang mau menyuap itu tersenyum.
“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-apa?”
“Sama sekali tidak!”
“Ya!”
Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-tangani. Saya langsung
merasa tertantang dan terhina. Tetapi entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat
darah saya beku.
“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka berapa pun di atas cek kontan
ini dan langsung menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”
Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.
“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke bank bersangkutan, tanyakan apakah ada dana di
belakang rekening ini, kalau Anda masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya
kepada kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”
Saya memang tidak percaya. Tapi saya tidak ingin memperlihatkannya.
“Anda tidak percaya kepada kami?”
“Bukan begitu.”
“Jadi bagaimana? Apa Anda lebih suka kami datang dengan uang tunai? Boleh. Begitu?
Berapa yang Anda mau?”
Saya tak menjawab.
“Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”
Saya terkejut. Bangsat. Dia seperti sudah menebak pikiran saya.
“Kita transparan saja.”
Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop. Nampak besar dan
padat.
“Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi kebetulan kami membawa sejumlah
uang kecil yang akan kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan ambil ini
sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami serius memperjuangkan kemanusiaan.”
Dia mengulurkan uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang menjepret, saya sudah
pasti akan diseret oleh KPK, lalu diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau pun
perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-kira uang di dalam amplop itu.
“Silakan.”
Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau sedang kebingungan. Tetapi
batuk saya yang tak sengaja itu sudah berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai
semacam penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang lain.

“Maaf, bukan saya tidak menghargai Anda, tapi kami memang tidak biasa membawa uang
tunai. Kalau ini kurang, sore ini juga kami akan datang lagi. Asal saya mendapat satu tanda
tangan saja sebagai bukti untuk saya laporkan. Atau Anda lebih suka menelpon, saya
hubungkan sekarang.”
Cepat sekali dia mengeluarkan HP dan menekan nomor-nomor sebelum saya sempat
mencegah.
“Hallo, hallo …… .”
Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu sibuk, mungkin sengaja tidak
mau memberi saya kesempatan. Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari
dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi sebelum tertangkap, anak itu
mengubah tujuannya. Dia mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang
menggeletak di atas meja.
“Ade, jangan!”
Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.
“Adeee jangan!”
Saya bangkit lalu mengejar anak saya yang ngibrit ke halaman membawa umpan sogokan
itu.. Merasa dikejar anak saya berlari. menyelamatkan diri.
“Ade jangan!”
Anak saya terus kabur melewati rumah tetangga. Para tetangga ketawa melihat saya
berkejar-kejaran dengan anak. Mereka mungkin menyangka itu permaianan biasa.
“Ade jangan itu punya Oom!”
Terlambat. Anak saya melemparkan kedua amplop itu ke dalam kolam. Kedua-duanya.
Ketika saya tangkap, dia diam saja. Matanya melotot menentang mata saya. Seakan-akan dia
marah, karena bapaknya sudah mengkhianati hati nurani. Padahal saya sama sekali tidak
bermaksud menerima suapan itu. Saya hanya memerlukan waktu dalam menolak. Saya kan
belum berpengalaman disuap. Apalagi menolak suap. Itu memerlukan keberanian mental. Baik
menerima mau pun menolaknya.
Kedua amplop itu langsung tenggelam. Sudah jelas sekali bagaimana beratnya. Perasaan
saya rontok. Dengan menghilangkan akal sehat saya lepaskan anak saya, lalu terjun ke kolam.
Dengan kalap saya gapai-gapai. Tapi kedua amplop itu itu tak terjamah.
Pata tetangga muncul dan bertanya-tanya. Heran melihat saya yang biasa jijik pada kolam
yang sering dipakai tempat buang hajat besar itu, sekarang justru menjadi tempat saya
berenang. Bukan hanya berenang, saya juga menyelam untuk menggapai-gapai. Tidak peduli
ada bangkai ayam dan kotoran manusia, mplop itu harus ditemukan.
Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu lenyap, berarti saya sudah
makan suap. Hampir setengah jam saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar
kolam.Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan kelakuan saya. Saya
juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari gini, siapa yang tidak perlu uang?
Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya berhenti.
“Bang! Tamunya mau pulang!”
Cemas, gemas dan kecewa saya keluar dari kolam. Badan saya penuh lumpur. Di kepala
saya ada tahi. Orang-orang melihat kepada saya dengan jiiiiiiiigik bercampur geli. Istri saya
bengong. Tapi saya tidak peduli. Anak saya hanya ketawa melihat bapaknya begitu konyol.
“Eling Dik, eling,” kata seorang tetangga tua sebab menyangka saya kemasukan setan.
“Abang kenapa sih?” tanya istri saya galak dan penuh malu.
Saya tidak berani menjawab terus-terang. Kalau saya katakan anak saya melemparkan dua
amplop uang, semuanya akan terjun seperti saya tadi untuk mencari. Ya kalau dikembalikan.
Kalau tidak? Mereka yang akan kaya dan saya yang masuk penjara.
Untuk menghindarkan kemalangan yang lain, saya hanya menggeleng.
Diinjak pikiran kacau saya pulang. Tapi tamu itu sudah kabur. Tak ada bekasnya sama
sekali. Seakan-akan ia memang tidak pernah datang. Sampai sekarang pun ia tidak pernah
muncul lagi.
Saya termenung. Apa pun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak
dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera
menolak, karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya. Siapa yang akan peduli. Masyarakat
sedang senang-senangnya melihat pemakan suap digebuk. Kalau bisa mereka mau langsung
ditembak mati tanpa diadili lagi.
Dan kenapa saya terlalu lama bego. Melongo adalah pertanda bahwa saya diam-diam punya
keinginan menerima. Aduh malunya. Tapi coba, siapa yang tidak ingin ketimpa rezeki
nomplok. Orang kecil memang selalu tidak beruntung. Sedekah ikhlas pun sering difitnah
sebagai suap. Seakan-akan orang kecil memang paling tidak mampu melawan naswibnya.
Sementara pada orang gedean sudah jelas sogokan masih diposisikan semacam tanda kasih.
“Sudah jangan kayak orang bego, cepetan madi dulu, bau!” bentak istri saya.
Saya terpaksa cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Setelah telanjang dan mengguyur badan,
baru saya sadari betapa kotor dan busuknya saya. Berkali-kali saya keramas dan membarut
tubuh dengan sabun, tapi bau kotoran itu seperti sudah masuk ke dalam daging.
“Cepat mandinya, bungkusannya sudah ketemu!” teriak istri saya sambil menggendor pintu.
Darah saya tersirap. Hanya dengan menyelempangkan handuk menutupi aurat, saya keluar.
“Mana?”
Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan kedua amplop itu. Badannya
kuyup penuh kotoran. Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia
tidak rela Ade saya strap.
“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil kemudian memberikan
uang untuk persen.
“Limapuluh ribu?” teriak istri saya memprotes.
Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga lembar uang ribuan.
“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang bener aja!”
“Tapi .. .”
“Ah sudah! Tidak mendidik!”
Saya tidak berdebat lagi, karena anak itu sudah cukup senang dengan tiga ribu. Lalu ia
melonjak dan berlari keluar seperti kapal terbang, langsung ke warung. Pasti membeli makanan
chiki-chiki sampah yang membuat usus bolong..
Kedua amplop uang itu saya bawa ke kamar mandi. Dengan hati-hati saya bersihkan tanah
dan kotorannya. Untung amplopnya kuat terbuat dari semacam kertas plastik jadi tahan air.
Uang tidak akan turun harganya hanya karena belepotan kotoran.
“Apa itu?” sodok istri saya ingin tahu.
Saya cepat-cepat menghindar sambil menyembunyikan amplop itu dalam handuk. Kalau dia
tahu itu uang, ide-ide busuknya akan muncul. Kalau itu dibiarkan berkembang, akhirnya saya
akan masuk penjara. Saya tidak percaya bahwa hanya wanita yang lemah pada uang. Laki-laki
sama saja. Tetapi saya kenal betul dengan ibu si Ade. Dia sudah terlalu capek hidup dalam
kampung kumuh. Sudah lama dia menginginkan masa depan yang lebih baik terutama setelah
Ade lahir, yang belum mampu bahkan mungkin tak akan bisa saya berikan. Baginya pasti tidak
ada masalah suaminya masuk penjara, asal masa depan anaknya cerah.
Saya naik ke atap rumah untuk menjemur amplop itu supaya benar-benar kering. Saya
tunggu di sana dengan menahan panas matahari, takut kalau ada tangan jahil mengambilnya.
Keputusan sudah diambil, saya tidak akan menerimanya. Saya akan mengembalikan, kalau
orang itu datang lagi. Dia pasti sengaja pergi untuk menjebloskan saya terpaksa menerima.
Tidak, saya tidak pernah mimpi akan menjadi pelaku suap.
Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga. Lomba pun memasuki saat
penentuan. Melalui perdebatan yang sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan
sangat mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan dukungan oleh penyuap
daerah itu.
Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada kemenangan tersebut. Bukan
karena suap. Jagoan daerah itu memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi
ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar oleh semua orang. Diterima baik
oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada suara-suara kontra.
Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun memperoleh jarak yang
cukup untuk menyiapkan perasaan menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya
sembunyikan dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang amplop itu saya bawa
ke tempat sunyi di depan rumah dan timang-timang. Rasanya aneh, kunci untuk mengubah
masa depan ada di tangan, tapi saya cukup hanya memandangi. Kemiskinan terasa tidak begitu
menggasak lagi, didekat senjata yang bisa membalikkan semuanya setiap saat. Mau tak mau
saya terpaksa mengakui, betapa dahsyatnya arti uang. Suka tidak suka ternyata harus diakui
memang uang mampu menenteramkan. Namun saya sudah bersikap menolak.
Sayang sekali roda kehidupan yang membenam saya di bawah terus, akhirnya mulai
menang. Memasuki bulan kedua, ketika pemilik amplop itu tidak muncul-muncul juga, pikiran
saya bergeser. Suap adalah dorongan yang membuat kita terpaksa melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan hati nurani dan merugikan orang banyak. Saya tidak melakukan itu.
Orang juga tidak memprotes keputusan yang diambil juri. Apa perlu saya cek, adakah semua
juri juga sudah disodori amplop seperti saya? Saya kira itu berlebihan. Keputusan kami yang
diterima baik, adalah bukti bahwa kemenangan itu tepat. Orang tidak berhak menuduh saya
atau kami disuap hanya karena kebetulan kemenangannya sama dengan yang dikehendaki
penyuap itu. Maksud saya orang yang mencoba menyuap itu.
Pada bulan ketiga, saya capek menunggu. Lelah juga dipermainkan oleh ketegangan.
Kenapa saya mesti menolak nasib baik yang sudah di tangan. Istri saya sudah tidak mau lagi
tidur dengan saya. Anak saya kontet karena gizinya kurang. Utang di warung sudah tak terbayar
sehingga lewat saja sudah rasa dihimpit oleh hina dan malu.
Akhirnya setelah berdoa berkali-kali dan meminta ampun kepada Tuhan, saya memutuskan
nekat. Apa boleh buat biarlah saya masuk penjara kalau saya memang terbukti nanti makan
suap. Tapi sedikitnya saya sudah sudah bisa membahagiakan keluarga dengan memperbaiki
rumah dan membeli motor seperti tetangga saya. Kenapa orang lain boleh bahagia dan saya
hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun
dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati
manis suapnya.
“Baiklah, hari ini kita memasuki sesuatu yang baru.”kata saya pada anak-istri malam itu
sambil menunjukkan kedua amplop uang itu, “aku sudah mengambil keputusan bahwa ini
adalah hak kita, karena sudah 3 bulan 10 hari pemiliknya tidak kembali. Bukan salah kita.
Masak hanya tetangga yang berhak betulin rumah dan beli motor, kita sendiri makan tahi
sampai mati. Ini!”
Saya terimakan kedua amplop itu ke tangan istri saya. Istri saya diam saja. Anak saya
nampak menahan diri. Dia tidak berani menyambar lagi seperti dulu.
“Ayo dibuka saja!”
Istri saya tiba-tiba menunduk dan menangis.
“Lho kok malah nangis.”
“Abang jangan salah sangka begitu.”
“Salah sangka bagaimana?”
“Jangan menyangka yang tidak-tidak.”
“Yang tidak-tidak apa?”
“Aku tidak capek karena kita miskin, tapi karena aku sakit. Aku juga sudah mulai tua
sekarang, Bang. Aku diam karena tidak mau memberati perasaan Abang. Bukan apa-apa. Aku
tidak mau Abang memaksa diri menerima suap hanya untuk menyenangkan hatiku. Jangan.
Aku masih kuat menderita kok. Masih banyak orang lain yang lebih jelek nasibnya dari kita.”
Dia berdiri dan meletakkan kedua amplop itu di depan saya.
“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik.”
Dia menggayut tangan Ade, lalu membawanya ke dapur. Anak saya menurut tapi dia melirik
kepada saya lalu menatap ke kedua amplop itu. Kemudian diam-diam menunjuk dengan
telunjuknya.
Saya menghela nafas dalam. Disikapi oleh istri seperti itu, kenekatan saya justru bertambah.
Memang anak dan istri saya tidak usah ikut bertanggungjawab. Biar saya sendiri nanti yang
masuk neraka, asal mereka tidak. Dari jendela saya lihat perbaikan rumah tetangga menjadi
dua lantai sudah hampir rampung. Suara motornya kedengaran yang nyaring melengking
menusuk malam, membuat saya panas.
Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke amplop. Apa maksudnya?
Apa itu sebuah peringatan? Saya menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai
itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada belahan. Dari situ nampak terbayang
isinya.
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya. Kemudian dengan bernafsu,
barang yang sempay saya berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar semua
ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama saja. Isinya juga hanya
kertas. Di situ mata saya mulai gelap. Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan
amplop itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya menyerahkan kepada saya.
Bangsat. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan
membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.
Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas sekali sekarang. Mungkin
ketika anak saya lari-lari berkejar-kejatan dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh
tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika saya mencebur ke dalam
kolam mereka punya kesempatan untuk memeriksa isinya dan mengganti. Itu kejahatan.
Manusia sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi perasaan persaudaraan,
menjarah, merampok uang orang lain sudah jadi semacam kiat dan keberanian.
Dengan kalap saya sambar batu-batu. Tak peduli apa kata orang, lalu saya lempari rumah
tetangga bajingan itu. Kaca-kaca pintu yang baru dipasang saya hancutkan. Motornya juga saya
hajar.
“Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak
menikmati! Bajingan!”
Hampir saja rumah barunya saya bakar, kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu dan
kemudian menghajar saya habis. Mata saya bengkak, tak mampu melihat apa-apa. Hanya
telinga saya masih bisa menangkap isak tangis istri dan jerit histeris anak saya.
PPT Permainan Family 100 atau Who wants to be a milionaire
Lampiran 3
Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

Kompetensi Dasar Pengetahuan


3.8 Mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerita
pendek yang dibaca
IPK Pengetahuan
3.8.1 Mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam suatu cerpen
3.8.2 Menentukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam suatu cerpen

Sumber Belajar
- Suwarni, Sri, dkk. 2020. Bahasa Indonesia Kebanggaan Bangsaku untuk Kelas XI SMA dan
MA. Jakarta: Platinum. Halaman 101-102
- Tim Edukatif, 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Wajib. Jakarta:
Erlangga.
- Buku kumpulan cerpen (disediakan guru)

Instruksi
1. Bentuklah kelompok yang terdiri atas lima anggota
2. Bacalah cerpen yang disediakan guru
3. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

Soal
1. Apa nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut?
Tuliskan bukti berupa pernyataan atau deskripsi mengenai sikap tokoh yang menunjukkan
nilai tersebut.
2. Apa nilai yang paling menonjol dalam cerpen tersebut? Jelaskan alasan Anda.
3. Apakah nilai-nilai dalam cerpen tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Jelaskan alasan Anda.
4. Tuliskan contoh tindakan yang mencerminkan penanaman nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari
Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

Kompetensi Dasar Keterampilan


4.8 Mendemonstrasikan salah satu nilai kehidupan yang dipelajari dalam cerita pendek

IPK Keterampilan
4.8.1 Mendemonstrasikan nilai-nilai yang telah diidentifikasi dalam cerpen
4.8.2 Menerapkan nilai-nilai yang telah diidentifikasi dalam cerpen

Instruksi
1. Demonstrasikan cerpen dengan memperhatikann lafal, intonasi, dan ekspresi
2. Mintalah teman kamu untuk menjawab soal yang telah disediakan pada pertemuan
sebelumnya

Soal Individu – disampaikan setelah peserta didik menjawab soal yang tersedia pada kuis
family 100
1. Apa nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut?
Tuliskan bukti berupa pernyataan atau deskripsi mengenai sikap tokoh yang menunjukkan
nilai tersebut.
2. Apa nilai yang paling menonjol dalam cerpen tersebut? Jelaskan alasan Anda.
3. Apakah nilai-nilai dalam cerpen tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Jelaskan alasan Anda.
4. Tuliskan contoh tindakan yang mencerminkan penanaman nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari
Lampiran 4
KISI-KISI, INSTRUMEN DAN RUBRIK PENILAIAN

A. Kisi-Kisi

Kelas/ Level Bentuk Nomor


No Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Soal
Semester Kognitif Soal Soal
1 3.8. Menentukan nilai- XI/1 Disajikan cerita C4 Uraian 1
Mengidentifikasi nilai kehidupan pendek, peserta
nilai-nilai didik
kehidupan yang dapat menentukan
terkandung dalam nilai-nilai
kumpulan cerita kehidupan
pendek yang dibaca
2 4.8 Mendemonstrasikan XI/1 Disajikan cerita C2 uraian 2
Mendemonstrasikan nilai kehidupan pendek peserta
salah satu nilai didik dapat
kehidupan yang mendemonstrasikan
dipelajari dalam nilai kehidupan
3 cerita pendek Menerapkan nilai- XI/1 Disajikan cerita C5 uraian 3
nilai yang telah pendek peserta
diidentifikasi dalam didik dapat
cerpen menerapkan nilai
yang telah
diidentifikasi dalam
cerpen
B. Rubrik/Instrumen Penilaian Pengetahuan

LEMBAR PENILAIAN PENGETAHUAN

Kompetensi Dasar Pengetahuan


3.8 Mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerita
pendek yang dibaca
IPK Pengetahuan
1.8.1 Mengidentifikasi nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam suatu cerpen
1.8.2 Menentukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam suatu cerpen

Soal Tes Tertulis Uraian


1. Apa nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut?
Tuliskan bukti berupa pernyataan atau deskripsi mengenai sikap tokoh yang menunjukkan
nilai tersebut.
2. Apa nilai yang paling menonjol dalam cerpen tersebut? Jelaskan alasan Anda.
3. Apakah nilai-nilai dalam cerpen tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Jelaskan alasan Anda.
4. Tuliskan contoh tindakan yang mencerminkan penanaman nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari
Kunci Jawaban Soal Uraian dan Pedoman Penskoran
No Alternatif Jawaban Penyelesaian Skor
1 25
2 25
3 25
4 25
Jumlah 100

PETUNJUK
Lembaran ini diisi oleh guru untuk menilai pengetahuan peserta didik melalui tes lisan
Isikan skor pada kolom skor sesuai jawaban peserta didik, dengan kriteria sebagai berikut :
Skor 25 , apabila jawaban benar
Skor 18 , apabila jawaban mendekati benar
Skor 11 apabila jawban mendekati salah
Skor 1 , apabila jawaban salah
C. Rubrik/Instrumen Penilaian Keterampilan

LEMBAR PENILAIAN KETERAMPILAN

Kompetensi Dasar Keterampilan


4.8 Mendemonstrasikan salah satu nilai kehidupan yang dipelajari dalam cerita pendek

IPK Keterampilan
1.8.1 Mendemonstrasikan nilai-nilai yang telah diidentifikasi dalam cerpen
1.8.2 Menerapkan nilai-nilai yang telah diidentifikasi dalam cerpen

Keterampilan
No Skor Rubrik
yang dinilai
Lafal Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan sangat
3
memperhatikan pelafalan
Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan kurang
1 2
memperhatikan pelafalan
Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan tidak
1
memperhatikan pelafalan
Ekspresi Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan sangat
4
memperhatikan ekspresi
Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan kurang
3
2 memperhatikan ekspresi
Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan tidak
2
memperhatikan ekspresi
1 Peserta didik tidak mampu membacakan cerpen
Intonasi Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan sangat
3
memperhatikan intonasi
Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan kurang
3 2
memperhatikan intonasi
Peserta didik mampu membacakan cerpen dengan tidak
1
memperhatikan intonasi
Skor maksimal 10
D. Instrumen dan Rubrik Penilaian
LEMBAR PENILAIAN DIRI

Petunjuk:

1. Bacalah pernyataan-pernyataan berikut ini dan berilah tanda √ pada


kolom yang sesuai dengan keadaan dirimu yang sebenarnya!
No. Pernyataan Ya Tidak

Selama kegiatan pembelajaran, saya:


1. Berani mengusulkan ide kepada kelompok
2. Sibuk mengerjakan tugas sendiri
3. Tidak berani berpendapat

4. Aktif mengajukan pertanyaan/jawaban


5. Melaksanakan kesepakatan kelompok

Anda mungkin juga menyukai