Tugas Editorial
Tugas Editorial
Dunia di ambang resesi. Sejumlah pengamat ekonomi, Bank Dunia, maupun Dana
Moneter Internasional (IMF) telah melihat potensi ke arah itu. Indikatornya, kata
mereka, antara lain semakin melambatnya perekonomian di sejumlah negara maju,
seperti Amerika Serikat, sebagian wilayah Eropa, dan Tiongkok.
Selain itu, inflasi yang bergerak cepat di sejumlah negara juga berpotensi memperparah
krisis. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebut roda perekonomian di
wilayah Eropa melambat karena harga gas alam melonjak sebagai dampak konflik
Rusia-Ukraina. Sementara itu, perlambatan ekonomi Tiongkok terjadi akibat
kebijakan zero COVID policy dan volatilitas (melonjaknya harga) di sektor properti. IMF
memprediksi sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami kontraksi setidaknya
dua kuartal berturut-turut tahun ini dan tahun depan. Itu artinya, resesi global
membayang di depan mata. Dunia pun menghadapi era kegelapan ekonomi.
Pada The 1st Joint Finance and Agriculture Ministers Meeting di Washington DC,
Amerika Serikat, Selasa (11/10) malam waktu setempat atau Rabu WIB, Menteri
Keuangan Sri Mulyani juga menyampaikan hal yang kurang lebih senada. Dia
menyebut krisis pangan akan menghampiri dunia dalam kurun waktu 8–12 bulan ke
depan. Kondisi itu, kata dia, diperparah dengan ketersediaan pasokan pupuk sebagai
dampak konflik Rusia-Ukraina.
Sejauh ini, Indonesia memang belum terdampak krisis. Direktur Pelaksana IMF bahkan
mengapresiasi Indonesia yang bisa meraih pertumbuhan ekonomi tinggi di tengah
kondisi dunia yang berat. Indonesia, kata dia, ibarat titik terang di tengah kondisi
ekonomi global yang memburuk. Namun, pujian ini jangan membuat kita lengah dan
terlena. Kewaspadaan dan kehati-hatian perlu agar kita tidak terombang-ambing dan
tenggelam dalam badai.
Selama lebih dari tiga abad, industri rokok tumbuh dan berkembang di Indonesia, serta
bertanggung jawab pada buruknya kesehatan masyarakat. Menurut Kementerian
Kesehatan, senin (23/2) kerugian total akibat konsumsi rokok selama 2013 mencapai
Rp378,75 triliun. Padahal nilai pasar industri saat ini ditaksir berkisar hingga Rp224,2
triliun.
Tak hanya membengkak dari tagihan pengobatan, angka kerugian lainnya juga diderita
dari pembelian rokok mencapai Rp138 triliun. Kerugian ini berasal dari hilangnya
produktivitas akibat sakit, disabilitas, dan kematian prematur di usia muda sebesar
235,4 triliun dan biaya berobat akibat penyakit-penyakit terkait tembakau sebanyak
Rp5,35 triliun.
Tak hanya buruk bagi anak-anak, industri rokok juga semakin berbahaya karena mulai
menyasar pada konsumen generasi muda, khususnya kalangan remaja. Hal ini
dibuktikan dengan meningkatnya prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun,
yakni sebesar 1,9% dari tahun 2013 (7,2%) ke tahun 2018 (9,1%) berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Hal tersebut tentu memprihatinkan. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita menyadari hal-
hal krusial ini. Kita bisa menolak dan melarang konsumsi rokok sejak di lingkungan
keluarga sendiri karena industri rokok juga banyak didukung oleh pihak-pihak yang
menerima keuntungan tinggi dari penjualan rokok selama berabad-abad di Indonesia
Dari tahun ke tahun, kemacetan menjadi masalah yang terus bertambah parah.
Anekdot kemudian bermunculan seperti “Tua di Jalan” datang untuk mengkritik
pemerintah mengenai kebijakannya dalam mengatur transportasi Indonesia.
Kemacetan di jalan tetap terjadi dan semakin parah memang hasil yang logis dari
beberapa faktor, seperti meningkatnya jumlah penduduk, naiknya jumlah pembelian
kendaraan pribadi, dan lambatnya pembangunan infrastruktur penghubung antar lokasi.
Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia atau WHO, pada tahun 2019( 22/5 ),
Indonesia menduduki peringkat kedelapan di Asia Tenggara dengan tingkat kematian
akibat kecelakaan lalu lintas, dengan data kematian mencapai 12,2 persen dari 100.000
populasi.
Hal ini tentu saja dapat diminimalisasi dengan beralihnya kebiasaan perjalanan dengan
menggunakan angkutan umum. Saat ini, peran pemerintah sangat penting dalam hal
pembangunan infrastruktur transportasi, baik dari kualitas armada maupun fasilitas
yang memudahkan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.
Namun, tantangan selanjutnya adalah besarnya anggaran dan biaya yang harus
dibayar untuk membangun sebuah sistem transportasi tersebut. Dengan keadaan
melemahnya seluruh ekonomi di dunia pasca pandemi berlangsung, pemerintah perlu
bijak dalam menetapkan prioritas pembangunan.
Keadaan ini tentunya tak hanya dihadapi Indonesia. Banyak negara lain dengan kondisi
yang relatif sama, tapi cukup berhasil mengatasi masalah kemacetan tersebut dengan
mengembangkan transportasi umum yang memadai.
Indonesia tentunya dapat mencontoh hal positif tersebut untuk kebaikan bagi generasi
selanjutnya. Namun, jika keputusan sudah dibuat, seharusnya konsisten dengan hal
tersebut agar kita tak kembali mendengar hal buruk semacam proyek mangkrak, dan
hal-hal negatif lainnya yang hanya menghabiskan anggaran Negara