Anda di halaman 1dari 8

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang

ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS.
Al-Baqarah: 282)

Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam al-Qur’an.

Firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman faktubuuHu
(“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”) Ini merupakan nasihat dan bimbingan dari Allah swt. bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman, jika mereka melakukan muamalah secara tidak tunai, hendaklah mereka
menulisnya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas waktu muamalah tersebut, serta lebih menguatkan
bagi saksi. Dan Allah telah memperingatkan hal tersebut pada akhir ayat, di mana Dia berfirman: dzaalikum
aqsathu ‘indallaaHi wa aqwamu lisy syaHaadati wa adnaa allaa tartaabuu (“Yang demikian itu lebih adil di
sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan]
keraguanmu.”)

Mengenai firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman
faktubuuHu (“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”) Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
mengatakan, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan pemberian utang salam dalam batas waktu yang
ditentukan. (utang salam: Uang pembayaran lebih dulu, dan barangnya diterima kemudian.)

Sedangkan Qatadah menceritakan, dari Abu Hasan al-A’raj, dari Ibnu Abbas, aku bersaksi bahwa pemberian
hutang yang dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu, telah dihalalkan dan diizinkan Allah swt.
Kemudian ia membacakan ayat: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim
musamman; demikian riwayat al-Bukhari.

Dan disebutkan di dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim), dari Ibnu Abbas, ia menceritakan:
Bahwa Nabi pernah datang di Madinah sedang masyarakat di sana biasa mengutangkan buah untuk tempo
satu, dua, atau tiga tahun. Lalu Rasulullah bersabda: “Barangsiapa meminjamkan sesuatu, maka hendaklah
ia melakukannya dengan takaran dan timbangan yang disepakati sampai batas waktu yang ditentukan.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).

faktubuuHu (“Hendaklah kamu menuliskannya.”) ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala supaya
dilakukan penulisan untuk memperkuat dan menjaganya.

Abu Sa’id, as-Sya’bi, Rabi’ bin Anas, al-Hasan, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan ulama lainnya mengatakan,
sebelumnya hal itu merupakan suatu kewajiban, kemudian dinasakh (dihapuskan) denan firman-Nya yang
artinya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. Al-Baqarah: 283). Dalil lain yang menunjukkan hal itu adalah
hadits yang menceritakan tentang syariat yang ada sebelum kita dan ditetapkan dalam syariat kita, serta tidak
diingkari, yang isinya menjelaskan tentang tidak adanya (kewajiban untuk) penulisan dan persaksian.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. beliau bercerita: “Ada seorang dari
Bani Israil yang meminta kepada salah seorang Bani Israil (lainnya) agar meminjamkan kepadanya uang
seribu dinar. Kemudian orang yang dimintai pinjaman itu berkata: ‘Datangkanlah saksi-saksi kepadaku
sehingga aku dapat menjadikan mereka sebagai saksi.’ Lalu orang yang meminjam itu pun berujar:
‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Si pemberi pinjaman itu berkata lagi: ‘Datangkan kepadaku orang yang
dapat memberi jaminan.’ Orang itu berujar pula: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Si pemberi
pinjaman itu berujar lagi: ‘Engkau benar.’ Maka si pemberi pinjaman itu menyerahkan kepadanya seribu
dinar dengan batas waktu tertentu.

Kemudian orang (peminjam uang) itu pun pergi ke laut untuk menunaikan keperluannya. Kemudian ia
sangat memerlukan perahu guna mengantarkan uang pinjaman yang sudah jatuh tempo pembayarannya.
Namun ia tidak juga mendapatkan perahu, lalu ia mengambil sebatang kayu dan melubanginya. Selanjutnya
ia memasukkan uang seribu dinar ke dalam kayu tersebut berikut selembar surat yang ditujukan kepada
pemilik uang itu (pemberi pinjaman). Kemudian ia melapisinya (agar tidak terkena air). Setelah itu ia
membawa kayu itu ke laut. Selanjutnya ia berucap: ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui
bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan. Lalu ia meminta kepadaku pemberi jaminan,
maka kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Danis pun menyetujui hal itu.
Selanjutnya ia meminta saksi kepadaku, dan kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Dan ia
pun menyetujui hal itu. Dan sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirimkan uang
pinjaman itu. Namun aku tidak mendapatkannya. Kini kutitipkan uang ini kepada-Mu.’ Maka orang itu pun
melemparkan kayu tersebut ke laut hingga tenggelam. Kemudian ia kembali pulang. Dan ia masih tetap
mencari perahu untuk kembali ke negerinya. Sementara itu si pemberi pinjaman keluar untuk
memperhatikan barangkali ada perahu datang membawa uangnya (yang dipinjamkan). Tiba-tiba ia
menemukan sebatang kayu yang di dalamnya terdapat uangnya, maka ia pun mengambilnya untuk diberikan
kepada keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika ia membelah kayu tersebut ia menemukan uang dan
selembar Surat.

Kemudian orang yang meminjam uang darinya pun datang dengan membawa seribu dinar. Peminjam itu
berkata: ‘Demi Allah, sebelum mendatangi anda sekarang ini, aku secara terus-menerus berusaha mencari
perahu untuk mengembalikan uang anda, namun aku tidak mendapatkan perahu sama sekali.’ Si pemberi
pinjaman itu bertanya: ‘Apakah engkau mengirimkan sesuatu kepadaku?’ Si peminjam menjawab:
‘Bukankah telah kuberitahukan kepada anda bahwa aku tidak mendapatkan perahu sebelum kedatanganku
ini.’ Si pemberi pinjaman itu berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah mengantarkan pinjamanmu yang telah
engkau letakkan dalam kayu. Maka kembalilah dengan uangmu yang seribu dinar itu dengan baik.’” (Isnad
hadits ini shahih. Telah diriwayatkan al-Bukhari dalam tujuh tempat melalui jalan yang shahih secara
muallaq dan dengan memakai sighat jazm (ungkapan yang tegas).

Dan firman-Nya: wal yaktub bainakum kaatibun bil’adl (“Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.”) Maksudnya dengan adil dan benar serta tidak boleh berpihak kepada salah
seorang dalam penulisannya tersebut dan tidak boleh juga ia menulis kecuali apa yang telah disepakati tanpa
menambah atau menguranginya.

Sedangkan firman Allah: walaa ya’ba kaatibun ay yaktuba kamaa ‘allamaHullaaHu falyaktub (“Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia
menulis.”) Maksudnya, orang yang mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis
untuk kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkannya, sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka hendaklah ia berbuat baik kepada orang lain
yang tidak mengenal tulis-menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam
sebuah hadits bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang
yang berbuat (kebaikan) atau berbuat baik bagi orang bodoh.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad).

Dan dalam hadits yang lain juga disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyembunyikan
ilmu yang diketahuinya, maka ia akan dikekang pada hari kiamat kelak dengan tali kekang dari api neraka.”
(Hr. Ibnu Majah).

Mujahid dan Atha’ mengatakan: “Orang yang dapat menulis berkewajiban untuk menuliskan.”

Dan firman Allah berikutnya: wal yumlilil ladzii ‘alaiHil haqqu wal yattaqillaaHa rabbaHu (“Dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan [apa yang akan ditulis itu], dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Rabb-nya.”) Artinya, hendaklah orang yang menerima pinjaman mendiktekan kepada juru tulis jumlah
hutang yang menjadi tanggungannya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah melakukan hal itu. Walaa
yabkhas minHu syai-an (“Dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya.”) Maksudnya, tidak
menyembunyikan sesuatu apa pun darinya. Fa in kaanal ladzii ‘alaiHil haqqu safiiHan (“Jika orang yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya.”) Sebagai upaya mencegahnya dari tindakan penghamburan uang
dan lain sebagainya. Au dla’iifan (“atau lemah keadaannya”) maksudnya masih dalam keadaan kecil atau
tidak waras. Au laa yastathii’u ay yumilla Huwa (“atau ia sendiri tidak mampu mengimlakkan,”) baik karena
cacat atau tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Wal yumlil waliyyuHuu bil’adl (“Maha
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.”)

Dan firman Allah: wasytasyHaduu syaHiidaini mir rijaalikum (“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang laki-laki di antaramu.”) Ini adalah perintah untuk memberi kesaksian disertai penulisan
untuk menambah validitasnya (kekuatannya). Fa illam yakuunaa rajulaini farajuluw wamra-ataani (“Jika
tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.”)

Hal itu hanya berlaku pada perkara yang menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai
kekayaan. Ditempatkannya dua orang wanita menduduki kedudukan seorang laki-laki karena kurangnya
akal kaum wanita.

Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dalam kitab shahihnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau
bersabda: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar, karena aku melihat
kebanyakan dari kalian sebagai penghuni neraka.” Salah seorang wanita bertubuh besar bertanya: “Mengapa
kebanyakan dari kami sebagai penghuni neraka?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan
tidak bersyukur kepada suami. Aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih
dapat menaklukkan seorang lelaki yang berakal daripada kalian.” Wanita itu bertanya: “Apa yang dimaksud
dengan kekurangan akal dan agama?” Beliau menjawab: “Yang dimaksud kurang akal adalah kesaksian dua
orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki, yang demikian itu termasuk kurangnya akal. Dan
kalian berdiam diri selama beberapa malam, tidak mengerjakan shalat, dan tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan (karena haidh dan nifas). Dan yang demikian itu termasuk dari kekurangan agama.”

Dan firman Allah: mimman tardlauna minasy syuHadaa-i (“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”) Dalam
potongan ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan adanya syarat adil bagi para saksi. Dan hal ini adalah
muqayyad (terbatas). Makna ayat muqayyad (mengikat) inilah yang dijadikan pegangan hukum oleh Imam
Syafi’i dan menetapkannya pada setiap perintah mutlak untuk memberikan kesaksian di dalam al-Qur’an
tanpa ada persyaratan. Dan bagi pihak yang menolak kesaksian orang yang tidak jelas pribadinya potongan
ayat ini juga menunjukkan bahwa saksi itu harus adil dan diridhai (diterima).

Dan firman-Nya: an tadlillaa ihdaa Humaa (“Supaya jika seorang lupa.”) Yaitu kedua orang wanita tersebut
jika salah seorang lupa atas kesaksiannya. Fa tudzakkira ihdaaHumal ukhraa (“Maka seorang lagi
mengingatkannya.”) Maksudnya, mengingatkan kesaksian yang pernah diberikan.

Dan firman Allah: walaa ya’basy syuHadaa-u idzaa maa du’uu (“Janganlah saksi-saksi itu enggan [memberi
keterangan] apabila mereka dipanggil.”) Ada yang mengatakan, makna ayat ini adalah, jika mereka
dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka hendaklah mereka memenuhi panggilan tersebut. Demikian
pendapat yang dikemukakan oleh Qatadah dan Rabi’ bin Anas. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala: walaa
ya’ba kaatibun ay yaktuba kamaa ‘allamaHullaaHu falyaktub (“Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.”)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum memberikan kesaksian adalah fardhu kifayah. Ada yang
mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan firman-
Nya: walaa ya’basy syuHadaa-u idzaa maa du’uu (“Janganlah saksi-saksi itu enggan [memberi keterangan]
apabila mereka dipanggil,”) yakni untuk melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka sebagai saksi.
Seorang saksi hakekatnya adalah yang bertanggung-jawab. Jika dipanggil, maka ia berkewajiban untuk
memenuhinya, jika hal itu hukumnya fardhu ‘ain. Jika tidak, maka berkedudukan sebagai fardhu kifayah.
Wallahu a’lam.

Mujahid, Abu Majlaz, dan ulama lainnya mengatakan, “Jika anda dipanggil untuk memberikan kesaksian,
maka anda boleh memilih (boleh bersedia dan boleh juga tidak). Namun jika anda telah menjadi saksi, lalu
dipanggil, maka penuhilah panggilan itu.”

Fardu kifayah ialah, suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak adayang
mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa.
Fardu ‘ain ialah, kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang yang mukallaf (dewasa).

Dalam kitab Shahih Muslim dan kitab as-Sunan telah disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan
Malik, dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang
sebaik-baik saksi ? Yaitu orang yang datang dengan mempersiapkan kesaksiannya sebelum diminta
kesaksiannya.”

Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab Shahihain, Rasulullah saw. bersabda: “Maukah kalian aku
beritahu seburuk-buruk saksi ? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum mereka diminta untuk
memberikan kesaksian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Juga diriwayatkan tentang sabda Rasulullah: “Kemudian datang suatu kaum yang sumpah mereka
mendahului kesaksian mereka dan kesaksian mereka mendahului sumpah mereka.” Dan dalam riwayat lain
juga disebutkan, Rasulullah bersabda: “Kemudian datang suatu kaum yang memberikan kesaksian, padahal
mereka tidak diminta memberikan kesaksian.”

Maka mereka itu adalah saksi-saksi palsu. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hasan Bashri bahwa
hal itu mencakup dua keadaan, yaitu menyampaikan dan memberikan (kesaksian).

Sedangkan firman Allah selanjutnya: walaa yas-amuu an taktubuuHu shaghiiran au kabiiran ilaa ajaliHi
(“Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya.”) Ini merupakan bagian dari kesempurnaan bimbingan, yaitu perintah untuk menulis
kebenaran baik yang kecil maupun yang besar. Dia berfirman: “Janganlah kamu merasa bosan untuk
menulis kebenaran bagaimanapun kondisinya, baik yang kecil maupun yang besar sampai batas waktu
pembayarannya.”

Dan firman-Nya: dzaalikum aqsathu ‘indallaaHi wa aqwamu lisy syaHaadatai wa adnaa allaa tartaabuu
(“Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak [menimbulkan] keraguanmu.”) Maksudnya, inilah yang kami perintahkan kepada kalian yaitu untuk
menulis kebenaran, jika hal itu dilakukan secara tunai. Yang demikian itu “aqsathu ‘indallaaHi (“Lebih adil
di sisi Allah.”) Artinya, lebih adil. Dan “wa aqwamu lisy syaHaadati” (“Dan lebih dapat menguatkan
persaksian.”) Maksudnya, lebih menguatkan kesaksian. Yakni lebih memantapkan bagi saksi, jika ia
meletakkan tulisannya dan kemudian melihatnya, niscaya ia akan ingat akan kesaksian yang pernah ia
berikan. Karena jika tidak menulisnya, maka ia lebih cenderung untuk lupa, sebagaimana yang sering
terjadi.

Firman-Nya: wa adnaa allaa tartaabuu (“Dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu.”
Maksudnya lebih dekat kepada ketidakraguan. Dan jika terjadi perselisihan kamu akan kembali kepada
catatan yang pernah kamu tulis sehingga dapat menjelaskan di antara kamu tanpa ada keraguan.

Dan firman Allah: illaa an takuuna tijaaratan haadliratan tudiiruunaHaa bainakum falaisa ‘alaikum junaahun
allaa taktubuuHaa (“[Tulislah muamalah kamu itu], kecuali jika muamalah tersebut perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antaramu, maka tidak ada dosa bagimu, jika kamu tidak menulisnya.”) Maksudnya, jika
jual beli itu disaksikan dan kontan, maka tidak ada dosa jika kalian tidak menulisnya, karena tidak ada hal-
hal yang mengkhawatirkan jika tidak dilakukan penulisan terhadapnya.

Sedangkan mengenai pemberian kesaksian terhadap jual beli, maka Allah telah berfirman: wa asy-Hiduu
idzaa tabaaya’tum (“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”) Menurut jumhur ulama, masalah
tersebut diartikan sebagai bimbingan dan anjuran semata dan bukan sebagai suatu hal yang wajib.

Dalil yang menjadi landasan hal itu adalah hadits Khuzaimah bin Tsabital-Anshan, diriwayatkan Imam
Ahmad, dari az-Zuhri, Imarah bin Khuzaimahal-Anshari pernah memberitahuku bahwa pamannya pernah
memberitahunya, dan pamannya itu adalah salah seorang sahabat Nabi saw: Bahwa Rasulullah saw. pernah
membeli seekor kuda dari seorang Badui. Lalu Nabi memintanya ikut untuk membayar harga kudanya
tersebut. Maka Nabi berjalan dengan cepat, sedangkan orang Badui itu berjalan lambat. Kemudian ada
beberapa orang yang menghadang orang Badui tersebut dengan tujuan agar mereka dapat menawar kudanya
itu. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya. Sehingga sebagian mereka ada yang menawar
dengan lebih tinggi dari harga kuda yang telah dibeli oleh Rasulullah tersebut.

Kemudian si Badui itu berujar kepada Nabi: “Jika engkau benar-benar membeli kuda ini, maka belilah. Jika
tidak, maka aku akan menjualnya.” Maka Nabi pun berdiri ketika beliau mendengar seruan Badui itu, lalu
beliau berkata: “Bukankah aku telah membelinya darimu.” “Tidak demi Allah, aku tidak menjualnya
kepadamu,” sahut si Badui itu. Kemudian beliau berkata: “Aku telah membelinya darimu.” Setelah itu,
orang-orang mengelilingi Nabi dan si Badui itu. Keduanya saling mengulangi ucapan mereka. Kemudian si
Badui itu berkata: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa aku telah menjualnya
kepadamu.”

Lalu ada seorang Muslim yang hadir berkata kepada si Badui itu: “Celakalah kamu, sesungguhnya Nabi
tidak berbicara kecuali kebenaran.” Hingga akhirnya datanglah Khuzaimah, ia mendengar ucapan Nabi dan
bantahan si Badui tersebut, di mana si Badui itu mengatakan: “Datangkan seorang saksi yang memberikan
kesaksian bahwa aku telah menjualnya kepadamu.” Maka Khuzaimah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau
telah menjualnya kepada beliau.” Maka Nabi menatap kepada Khuzaimah seraya bertanya: “Dengan apa
engkau hendak bersaksi?” “Dengan membenarkanmu, ya Rasulullah,” jawab Khuzaimah. Maka Rasulullah
menjadikan kesaksian Khuzaimah itu sebagai kesaksian dari dua orang laki-laki.”

Keterangan yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.

Firman Allah: walaa yudlaarra kaatibuw walaa syaHiid (“Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan.”)

Ada yang mengatakan, makna ayat tersebut adalah, tidak diperbolehkan bagi penulis dan saksi untuk
memperumit permasalahan, di mana ia menulis sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang didiktekan,
dan si saksi memberikan kesaksian dengan apa yang bertentangan dengan yang ia dengar, atau bahkan ia
menyembunyikannya secara keseluruhan. Demikianlah pendapat yang disampaikan oleh al-Hasan, Qatadah,
dan ulama-ulama lainnya. Ada juga yang mengatakan, artinya, keduanya (penulis dan saksi) tidak boleh
mempersulit.

Mengenai firman Allah: walaa yudlaarra kaatibuw walaa syaHiid (“Dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit menyulitkan.”) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Ada seseorang
datang. Lalu ia memanggil keduanya untuk menjadi penulis dan saksi. Kemudian kedua orang tersebut
berucap, “Kami sedang ada keperluan.” Lalu orang itu berkata, “Sesungguhnya kamu berdua telah
diperintahkan untuk memenuhinya.” Maka orang itu tidak boleh mempersulit keduanya.

Lebih lanjut ia menceritakan, hal senada juga telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Thawus, Sa’id bin
Jubair, adh-Dhahak, Athiyyah, Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan as-Suddi.
Firman Allah Ta’ala selanjutnya: wa in taf’aluu fa innaHuu fusuuqum bikum (“Jika kamu lakukan [yang
demikian], maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.”) Maksudnya, jika kamu
menyalahi apa yang telah Allah perintahkan, atau kamu mengerjakan apa yang telah dilarang-Nya, maka
yang demikian itu merupakan suatu kefasikan pada dirimu. Yaitu, kamu tidak akan dapat menghindarkan
dan melepaskan diri dari kefasikan tersebut.

Firman-Nya: wattaqullaaHa (“Dan bertakwalah kepada Allah.”) Maksudnya, hendaklah kamu takut dan
senantiasa merasa berada di bawah pengawasan-Nya, ikutilah apa yang diperintahkan-Nya, dan jauhilah
semua yang dilarang-Nya. wa yu’allimukumullaaHu (“Allah mengajarmu.”) Penggalan ayat ini adalah
seperti firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia akan memberikan kepadamu furgan. ” (QS. Al-Anfaal: 29).

Furqan artinya, petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dapat juga diartikan di
sini dengan pertolongan.

Dan firman-Nya: wallaaHu bikulli syai-in ‘aliim (“Dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”) Artinya,
Allah mengetahui hakikat seluruh persoalan, kemaslahatan, dan akibatnya. Sehingga tidak ada sesuatu pun
yang tersembunyi dari-Nya, bahkan ilmu-Nya meliputi seluruh alam semesta.

Tafsir menurut quraisy syihab

B. Tafsir Surat Al Baqoroh Ayat 282 Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan yang dikenal oleh para
ulama dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran
atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak
ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan
jumlah dan ketetapan waktunya. Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan
berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan riba (ayat 275-279), serta anjuran
memberi tangguh kepada yang tidak mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu
(ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah anjuran dan
larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah,
merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan
pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang
mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin
keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh
sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Larangan mengambil keuntungan melalui
riba dan perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati terhadap orang
yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya
memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya.
Seandainya kesan itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut
pemeliharaan dan penulisan hutang piutang.[1] Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt kepada kaum
yang menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” Perintah ayat ini secara redaksional
ditunjukkan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi
hutang-piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa
lebih tenang dengan penulisan itu, karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan,
walau kreditor tidak memintanya. Perintah utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran,
bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat ketika itu. Memang sungguh sulit perintah diterapkan
diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib,
karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya
belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang mengalami pinjam dan meminjamkan. Sufyan ats-
Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan masalah salam
(mengutangkan) hingga waktu tertentu. Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan
perintah dari-Nya agar dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah disini merupakan perintah yang bersifat
membimbing, bukan mewajibkan.[2] Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan
perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah,
sebagaimana dipahami dari kata adil dan di antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi
penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan
kejujuran. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penybutan pengetahuan yang diajarkan Allah.
Ini karena keadilan, di samping menuntut adanya pengetahauan bagi yang akan berlaku adil, juga karena
seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan
yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan digunakan untuk menutupi
ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab
Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas
pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu
sesuai dengan kemampuannya. Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang piutang, penulis,
kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan
perjanjian, yakni dengan firmannya: Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang
disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi
lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu ketika yang berhutang
mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan didepan penulis, serta yang memberinya
juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan
segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar
hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat,
janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara
pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama. Bagaimana kalau yang berhutang, karena
suatu dan lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab, atau lemah
keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau
tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Setelah menjelaskan penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik
dalam tulis menulis maupun selainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orng lelaki di
antara kamu. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat
muslim. Atau kalau tidak ada- demikian tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan
memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan- menurut hemat penulis yakni kalau bukan dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang
disepakati oleh yang melakukan transaksi. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang
lelaki, diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan. Yakni seseorang lelaki diseimbangkan dengan
satu lelaki dan dua perempuan? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang
dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya.
Mengapa kemungkinan ini disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan
intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama atau karena emosinya sering tidak terkendali? Hemat
penulis tidak ini dan tidak itu. Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama
wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya. Al-Quran dan Sunnah mengatur pembagian kerja antara
wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian
utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak istrinya. Sedang tugas utama wanita
atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan
perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak
jarang istri para sahabat Nabi ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi
kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktivitas di rumah serta mendidik
anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masing-
masing jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya
berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih
banyak atau seharusnya lebih banyak banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, termasuk hutang piutang.
Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan
tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas ditetapkan. Dan, karena al-Quran
menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga atau atas dasar kenyataan pada
masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik
suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa
lebih besar dari kemungkinannya oleh pria. Karena itu demi menguatkan persaksian, dua orang wanita
diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seseorang lupa maka seseorang lakgi mengingatkannya.
Sekali lagi hemat penulis ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti
bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria. Sebagaimana Allah berpesan kepada
para penulis, kepada para saksipun Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keteranganapabila mereka dipanggil,” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau
terjadi korban. Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia
belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat satu
peristiwa, katakanlah tabrakan, maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu
anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melakukan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat
berarti, janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta.
Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor,
paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu
dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib
hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Setelah mengingatkakn para saksi, ayat ini
kembali berbicara tentang penulisan hutang piutang, tapu dengan memberi penekanan pada hutang piutang
yang jumlahnya kecil, padahal yang kecilpun dapat menyebabkan permusuhan, bahkan pembunuhan.
Memang menulis yang kecil-kecil, apalagi seringkali dapat membosankan. Karena itu, ayat ini
mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan hutang-piutang dan persaksian yang
dibicarakan itu, lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih
dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak
menimbulkan keraguan di antara kamu. Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muammalah dilakukan dalam
bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;
perintah di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Saksi dan
penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja maempunyai aneka
kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat
mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang piutang
itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika karena menyelewengkan kesaksiasn atau
menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat
dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan
pemberi hutang. Wala yudharra katibun wa la syahid, dapat berarti janganlah penulis dan saksi
memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan
para saksi dan penulis. Salah satu bentuk dari mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah
hilangnya kesempatan memperoleh rejeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti transport
dan biaya administrasi sebagai imbalan jeri payah dan penggunakan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis
dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi
menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu,
wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muammalah, melakukan yang demikian, maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakana
terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt atau
dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti, siapa pun yang melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan
kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertaqwalah kepada Allah mengajar kamu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan
pengajaran ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaki
perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk mencari
keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran
Ilahi menjadi sangat tepat.

Anda mungkin juga menyukai