Anda di halaman 1dari 25

Adab Hutang Piutang

Pupun Saepul Rohman, M.E.Sy., ASPM


Dipresentasikan dalam acara Kajian Fiqh Muamalah
Masjid Besar Syu‟latul Iman-Ciawi
9 Sya‟ban 1440 H./14 April 2019
MUQODDIMAH
“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?”
ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah
menulis kitab tentang jual-beli?”
(Buku “Harta Haram Muamalat Kontemporer” karya Dr.
Erwandi Tarmizi, M. A. dan artikel “Adab Berhutang” karya
Ustadz Armen Halim Naro, Lc.)
“Jawaban Muhammad bin Al Hasan sangat tepat, karena orang zuhud
adalah orang yang menghindari syubhat dan makruh dalam
perniagaan dan muamalat.”
(Dr. Erwandi Tarmizi, M. A. mengutip pernyataan Dr. Ibrahim
Ad Duwaisy)
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
kaffah (menyeluruh)” (Al-Baqarah : 208)
Hutang Harus Dipersaksikan
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis,
dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya.Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu‟amalahmu itu), kecuali jika
mu‟amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu
tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(Q. S. Al-Baqarah : 282)
TAFSIR
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk
dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka
bermu‟amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis,
agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih
menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa
Ta‟ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di
sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan
keraguan”
(Tafsir Ibnu Katsir)
Bolehkah Berhutang?
Etika Berhutang
1. HUTANG TIDAK BOLEH MENDATANGKAN
KEUNTUNGAN BAGI PEMBERI HUTANG

“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”


(Kaidah Fiqih)
Penjelasan Kaidah “Setiap pinjaman yang
memberikan keuntungan adalah riba”

 Keuntungan yang terpisah dan bukan keuntungan yang mengikat


dalam akad pinjaman.
 Keuntungan yang hanya dinikmati oleh pemberi pinjaman.
 Keuntungan yang dinikmati pemberi pinjaman disyaratkan di
awal akad.
 Keuntungan yang tidak dipersyaratkan tersebut diberikan
sebelum utang dilunasi.
2. KEBAIKAN DIBALAS DENGAN
KEBAIKAN
 Q. S. Ar Rahman: 60
 “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan
usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata,
“Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan
untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur
dari untanya. Nabi (pun) berkata :“Berikan kepadanya”, Dia pun
menjawab,“Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta‟ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda,“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling
baik dalam pengembalian” (H. R. Bukhari)
 Dari Jabir Radhiyallaahu „anhu,“Aku mendatangi Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang
kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya” (H. R.
Bukhari)
3. BERHUTANG DENGAN NIAT BAIK
"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan
untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa
Ta‟ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya
untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta‟ala akan
membinasakannya”
(H. R. Bukhari)
4. HARAM MENGGABUNG AKAD
HUTANG DENGAN AKAD JUAL BELI

“Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dengan jual jual


beli,...”
(H. R. Abu Daud. Menurut Al Albani derajat hadits ini hasan
shahih)
5. WAJIB MEMBAYAR HUTANG
 Hutang merupakan amanah
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” (Q. S. An-Nisa: 58).
 “Tunaikanlah amanah kepada yang memberikan amanah dan
jangan khianati orang yang berkhianat kepadamu.” (H. R.
Ahmad).
 Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullaah, yang dimaksud
dengan amanah di sini adalah mencakup seluruh amanah yang
wajib bagi manusia berupa hak-hak Allah terhadap hamba-
Nya seperti shalat, zakat, shaum, kafarat, nadzar, dan
sebagainya. Serta amanah yang berupa hak-hak sebagian
hamba dengan hamba lainnya seperti titipan dan sebagainya.
Kedua jenis amanah ini diperintahkan oleh Allah ta‟ala untuk
ditunaikan.
 Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku
tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku
sisihkan untuk pembayaran hutang” (HR Bukhari).
HUKUMAN BAGI YANG MENUNDA
PEMBAYARAN HUTANG PADAHAL MAMPU
 Berhak mendapat perlakuan keras. "Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat
hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya
si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka
(para sahabat) berkata :“Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya.
Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” (H. R. Bukhari).
 Berhak dighibah atau bahkan dipenjara. "Menunda pembayaran bagi yang mampu
membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”. (H. R. Bukhari).
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan „engkau telah
menunda pebayaran‟ dan menghukum dengan memenjarakannya”
 Hartanya berhak disita. “Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah
bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” (H. R. Bukhari).
 Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun). Jika seseorang dinyatakan
pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan
melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja. (Ustadz Armen Halim
Naro)
6. KOOPERATIF DAN KOMUNIKATIF
Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah
orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang
memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari
menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman,
karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang
awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi
permusuhan dan perpecahan.
7. SOLUSI HUTANG ADALAH SOLUSI
TERAKHIR
 Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan
hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya
terbentur.
8. Boleh Melimpahkan Hutang Kepada
Orang yang Bersedia
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu merupakan suatu
kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada
seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. (H. R. Bukhari).
9. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk
mengajukan pemutihan atas hutangnya atau
pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at)
untuk memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu „anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah


meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon
kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan
tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau.
Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam berkata,“Pisahkan kormamu sesuai dengan
jenisnya.Tandan Ibnu Zaid satu kelompok.Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa
satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap
mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh.
(H. R. Bukhari)
Adab Pemberi Hutang
 Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
 Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
 Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan
cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak
perlu melunasi pinjamannya.
Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka
mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan,
kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup
mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn
onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan
bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia
untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu „anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya,
lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta,
dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan :
“Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena
banyaknya orang yang menjenguk. (Mukhtashar Minhajul Qasidin)
Referensi
 Buku, “Harta Haram Muamalat Kontemporer” karya: Dr.
Erwandi Tarmizi, M. A.
 Artikel, “Adab Berhutang” karya: Ustadz Armen Halim Naro;
dipublikasikan oleh www.almanhaj.or.id
 Tafsir Ibnu Katsir
Hatur nuhun

Anda mungkin juga menyukai