Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN Maha Sempurna Allah yang telah menjadikan harta sebagai pokok kehidupan bagi manusia, sebagaimana

yang telah difirmankan-Nya di dalam AlQuran: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Q.S. an-Nisaa 5) Demikianlah, Dia telah menetapkan harta sebagai pokok kehidupan bagi manusia, maka Dia telah menetapkan pula beberapa peraturan mutlak yang harus kita ikuti dalam mengatur harta yang telah diberikan-Nya tersebut, agar digunakan secara benar sesuai dengan ketentuan dan perintah-Nya. Salah satu ketetapan Allah mengenai pengaturan harta adalah mengenai tata cara pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang ketika telah wafat. Dalam membagi warisan, kita harus membaginya secara adil berdasarkan syariat Islam yang telah disampaikan melalui Al-Quran, sunnah Rasul-Nya, serta ijma para ulama. Dia menjanjikan surga yang di bawahnya mengalir sungaisungai kepada para hamba-Nya, yang tunduk ikhlas dalam menjalankan ketentuan pembagian waris ini. Dia juga mengancam hamba-Nya yang menyalahi batasan-batasan yang telah ditentukan, baik dengan menambahkan, mengurangi, maupun mengharamkan ahli waris yang benar-benar berhak mewarisi dan memberikan bagian kepada ahli waris yang tidak berhak mewarisinya, dengan ancaman neraka dan siksa yang menghinakan. Seorang hamba yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tentunya akan tunduk patuh dalam menjalankan ketetapan dari Allah, apapun resikonya. Mereka sangat yakin dan memahami firman Allah yang telah disampaikan-Nya di dalam Al-Quran, Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. al-Ahzaab 36)

BAB II PEMBAHASAN A. Harta warisan untuk ahli waris hadits yang menerangkan tentang hukum pembagian harta warisan. Hadits tersebut adalah:

Artinya: Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya (kepada pihak) laki-laki yang lebih utama. (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun yang dimaksud dengan laki-laki yang lebih utama" pada hadits diatas adalah kerabat laki-laki yang terdekat kekerabatannya dengan pewaris, kemudian jika masih ada sisanya beralih ke kerabat laki-laki lain yang urutan kedekatannya setelah kerabat yang pertama, dan begitu seterusnya. Ada yang cukup menarik dari teks hadits diatas, yaitu pada akhir hadits diatas (lihatlah teks arab yang digaris bawahi dengan warna merah), yakni menggunakan kata dzakar (laki-laki) setelah kata rajul (seorang laki-laki). Penyebutan kata dzakar setelah penyebutan kata rajul tersebut merupakan penegasan yang menggantikan posisi pihak perempuan. Selain itu agar menghindari salah pengertian, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk laki-laki dewasa dan cukup umur saja. Sebab, janin dan bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan jika ia memang termasuk ahli waris. Adapun hadits lain menjelaskan : Dari Imran bin Husein RA bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW sambil berkata: "Anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya?" Nabi SAW bersabda: "Kamu mendapat seperenam." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi) Kesimpulan atau intisari hadits ini:

Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris kakek, yaitu kakek mendapat 1/6 bagian jika cucunya meninggal dengan syarat tidak ada bapak.

B. Waris yang berhutang Hutang yang masih ditanggung pewaris harus ditunaikan atau dibayarkan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum hutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Berkaitan dengan hutang ini, terdapat hadits Rasulullah sebagai berikut, Dari Abu Hurairah ra. bahwa ada jenazah yang mempunyai tanggungan hutang dibawa kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, Apakah mayat ini meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya? Jika diberitahukan dia meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, maka beliau menshalatinya. Jika dia tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, maka beliau mengatakan kepada para sahabat, Shalatilah sahabatmu ini! Setelah Allah memberikan kemenangan berkali-kali kepada Rasulullah dalam pertempuran (sehingga banyak diperoleh harta rampasan perang), maka beliau bersabda, Aku lebih berhak terhadap orang-orang mumin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati dengan mempunyai tanggungan hutang, maka akulah yang melunasinya, dan barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta tersebut milik ahli warisnya. (HR. Muslim) Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, Roh (jiwa) seorang mumin masih terkatung-katung (sesudah wafatnya) sampai hutangnya didunia dilunasi. (HR. Ahmad) Di dalam hadits yang lain disebutkan bahwasanya Rasulullah bersabda, Akan diampuni semua dosa orang yang mati syahid, kecuali hutangnya (yang belum dibayar). (HR. Muslim) Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, bagaimana perihal seseorang yang wafat, yang masih mempunyai tanggungan hutang yang belum dilunasi, namun ia tidak meninggalkan harta warisan yang cukup untuk menutup hutangnya tersebut? Maka jika terjadi kondisi seperti ini, yaitu jumlah hutangnya tersebut lebih besar dari harta warisan yang ada, maka ahli warisnya harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah dengan harta mereka sendiri sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya yang telah wafat tersebut. Jika memang hartanya masih belum mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada kerabatnya yang lain. Jika memang masih belum mencukupi juga, maka bisa meminta bantuan kepada kaum muslimin lainnya, atau bahkan meminta bantuan kepada pemerintah atau negara dari harta baitulmal (kas negara). Di dalam suatu hadits disebutkan, Seorang hamba muslim yang membayar hutang saudaranya, maka Allah akan melepaskan ikatan penggadaiannya pada hari kiamat. (HR. Mashabih Assunnah) Di dalam hadits lainnya disebutkan, Berlakulah lunak dan saling mengasihi (dalam hal menagih hutang). Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain. Apabila orang yang punya hak (yang menghutangkan) mengetahui kebaikan yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya (terhadap orang yang berhutang), pasti orang yang punya tuntutan atas haknya (yang menghutangkan) akan lari menjauhi orang yang dituntutnya (orang yang berhutang). (HR. Bukhari)

Harap diperhatikan, bahwa hutang yang patut dibantu adalah hutang seseorang yang digunakan untuk amal kebaikan, seperti untuk memberi makan anak istrinya, membeli pakaian untuk menutup auratnya, dan lain sebagainya, karena memang dia berada dalam kondisi yang kekurangan. Adapun hutang seseorang yang digunakan untuk perbuatan dosa, seperti seseorang yang berhutang untuk berjudi, membeli minuman keras dan perbuatan dosa lainnya, maka tidak perlu dibantu, dan bahkan tidak boleh meminjamkan harta untuk perbuatan dosa dalam bentuk dan kondisi apapun. C. Bersikap adil dalam berhibah terhadap anak

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Ismail bin Iyas dari Said bin Yusuf dari Yahya bin Abi Katsir, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a telah berkata: bahwa Nabi Saw bersabda: Samakanlah diantara anak-anak kalian dalam pemberian. Jika aku hendak melebihkan seseorang, maka akan aku lebihkan anak-anak perempuan. Hadits tersebut dijadikan sebagai dasar atas kesamaan pemberian hibah terhadap anak. Karena secara dhohir hadits tersebut menunjukan perintah kesamaan, maka dari itu tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Ibnu Mubarok berpendapat bahwa: Anak perempuan diberi bagian seperti yang diberikan kepada anak laki-laki. Alasannya anak perempuan memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki di dalam memperoleh kasih sayang dan pemberian hibah. Selain itu dikarenakan pemberian hibah merupakan pemberian ketika masih hidup, maka sebaiknya diberikan porsi yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana pemberian nafkah dan pakaian. Akan tetapi, Muhammad Ibnu Hasan dari kalangan Hanafiyah, Imam Ahmad, sebagian kalangan Syafii, dan Maliki mengatakan bahwa yang dimaksud bukan sama, tetapi adil dan adil yang dikehendaki adalah memberikan kepada seorang laki-laki dua kali bagian perempuan sebagaimana dalam masalah warisan. Mereka beralasan bahwa itulah bagian dari hartanya, sekiranya dia meninggal di sisi orang yang memberikannya.

Artinya: Diceritakan dari Nu man bin Basyir, bahwa Rasullallah Saw bersabda: Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah diantara anak-anakmu . Oleh karena itu mereka dari kalangan Hanafi, Syafii, Maliki, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa Menyamakan pemberian hibah diantara anak-anak itu

Sunnah, dan melebihkan diantara sebagian anak adalah makruh. Bahkan ada yang mengharamkan, mereka dari kalangan ahli dhohir dan ahli hadits yaitu Thowus, Ibnu Hibban, Abu Ishaq, As-Tsauri dan sebagian ulama Malikiyyah . D. Jumlah harta wasiat Diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash ra. dia berkata: Aku bertanya, Wahai Rasulullah, saya adalah orang yang mempunyai harta dan ahli warisku hanya seorang anak perempuan. Apakah saya boleh bersedekah dengan dua pertiga dari harta saya? Beliau menjawab, Tidak. Aku bertanya lagi, Apakah saya boleh bersedekah dengan setengahnya? Beliau menjawab, Tidak. Aku bertanya lagi, Apakah aku boleh bersedekah dengan sepertiganya? Beliau menjawab, Sepertiga?, Sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa dan meminta-minta kepada orang lain. (Muttafaq Alaih) Asbab al-Wurud Hadits Ketika Rasulullah SAW berada di Mekkah pada waktu haji Wada, beliau menjenguk Saad bin Abi Waqqash yang sedang sakit keras yang telah mendekati waktu kematiannya. Karena Saad tidak mau meninggal di tempat dia berhijrah (Mekkah), dia berkata kepada Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah, saya takut mati di tempat saya berhijrah, sebagaimana yang telah dialami oleh Saad bin Khaulah sebab tempat tersebut adalah tempat pertahanan orang-orang musyrik yang telah menyakiti Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Orang-orang musyrik telah mengusir para sahabat dan mengeluarkan harta-harta mereka dari kampung halamannya secara tidak benar. Saad ingin meninggal di tempat penghijrahan (Madinah), yaitu tempat dimuliakannya Islam oleh Allah dan menjadi tempat tinggal orang-orang Muhajirin yang memiliki keikhlasan tinggi. Mereka itulah yang telah menolong Rasulullah SAW dengan segenap kemampuannya sehingga agama Allah (Islam) dapat berdiri tegak di sana, dan misinya dapat menjulang tinggi mengatasi misi orang-orang kafir. Oleh karena itulah, Saad membenci kota Mekkah dan menyukai kota Madinah. Kota Mekkah adalah kota yang penuh dihiasi kemusyrikan dan permusuhan, sedangkan kota Madinah yang penuh dengan kesucian, ketauhidan dan amal-amalan orang-orang yang memiliki ketakwaan dan keutamaan. Ketika Rasulullah SAW mendengar nama Saad bin Khaulah dari Saad bin Abi Waqqash, beliau merasa kasihan kepadanya. Kemudian Rasulullah SAW berdoa kepada Allah agar Saad dapat meninggal dunia di kota Madinah al-Muthahhirah. Kemudian Saad menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa dirinya mempunyai harta yang banyak dan tidak memiliki ahli waris yang dikhawatirkan akan terlantar kehidupan mereka sepeninggalnya, kecuali seorang anak. Oleh karena itu dia bertanya kepada Rasulullah SAW apakah dia dapat mengeluarkan

dua pertiga dari kekayaannya sebagai sedekah (wasiat). Rasulullah SAW tidak menyetujui kehendak Saad itu. Berikutnya, Saad mengajukan alternatif lain apakah dia dapat mengeluarkan setengah dari kekayaannya. Akan tetapi, Rasulullah SAW tetap tidak menyetujuinya. Kemudian Saad mengajukan alternatif lain untuk mengeluarkan sepertiga dari kekayaannya sebagai wasiat. Hal tersebut disetujui oleh beliau meskipun jumlah tersebut masih dapat dianggap terlalu besar untuk wasiat. Hikmah larangan pemberian wasiat dalam kuantitas yang terlalu besar dikhawatirkan akan menelantarkan ahli waris sepeninggalnya sehingga mereka akan menghadapi kehidupan dengan mengharapkan kebaikan orang lain. Pemahaman Kandungan Hadits Berdasarkan hadits di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Anjuran menjenguk orang sakit, terutama bagi para kerabat dan saudarasaudaranya. b. Orang yang sakit diperbolehkan memberitahukan keadaan penyakitnya apabila dia tidak bermaksud untuk mengeluhkan penyakitnya, melainkan untuk kemanfaatan tertentu, seperti memberitahukan kepada dokter agar dia dapat menganalisis atau mendiagnosis penyakitnya sehingga dapat disembuhkan. c. Anjuran bermusyawarah dengan para ulama dan memohon petunjuk mereka dalam berbagai permasalahan yang dianggap penting untuk dipecahkan bersama. d. Anjuran berwasiat sepertiga dari kekayaan atau lebih kecil dari itu, meskipun orang yang berwasiat tersebut memiliki kekayaan banyak. e. Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang masih berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya. f. Kebolehan mengumpulkan kekayaan melalui cara-cara yang disyariatkan. g. Menyimpan kekayaan untuk ahli waris yang membutuhkan dipandang lebih baik dari pada menyedekahkannya kepada orang lain mengingat hubungan ahli waris lebih berhak dijaga dari pada dibandingkan dengan hubungan kepada orang lain. h. Memberi nafkah kepada anak dan isteri disertai niat yang baik merupakan ibadah mulia. i. Hadits ini mengecam pekerjaan meminta-minta atau mengemis uang kepada orang dan menampakkan kebutuhan. Secara tidak langsung hadits ini menganjurkan agar setiap orang berusaha melakukan sesuatu yang dapat menghindarinya dari meminta-minta atau tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain. j. Ahli waris mempunyai hak atas harta saudaranya yang masih hidup yang mewariskannya. Untuk itu, saudaranya tidak boleh boros membelanjakan harta yang dimilikinya dengan tujuan agar ahli warisnya tidak mendapatkannya.

E. Wakaf hasil tanaman tanah milik Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. dia berkata: Umar ra. telah mendapat sebidang tanah di Khaibar. Dia mendatangi Nabi SAW untuk bermusyawarah mengenai tanah itu. Dia berkata, Wahai Rasulullah, saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar dan sebelumnya saya tidak pernah memperoleh harta yang lebih berharga dari pada tanah itu. Apa petunjukmu mengenai masalah ini?Beliau bersabda, Jika kamu menghendaki, jagalah tanah aslinya itu dan sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar mengeluarkan sedekah hasil tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual dan dibeli serta diwarisi atau dihadiahkan. Umar mengeluarkan sedekah hasilnya kepada fakir miskin, kaum kerabat, dan untuk memerdekakan hamba juga untuk orang yang berjihad di jalan Allah serta untuk bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan menjadi hidangan untuk tamu. Orang yang menguruskan boleh makan sebagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan kepada temannya dengan sekadarnya. (Muttafaq Alaih yang susunan lafaznya dari Muslim. Sedangkan dalam riwayat alBukhari dikatakan, Dia sedekahkan pokoknya tidak dijual dan tidak diberikan, tetapi diinfaqkan hasilnya). Pemahaman Kandungan Hadits a. Umar ra. memperoleh tanah di Khaibar yang menurutnya merupakan hartanya yang paling mahal dari seluruh harta yang ada padanya. Lalu dia mendatangi Nabi SAW untuk bermusyawarah sehubungan dengan cara menyedekahkannya. Rasulullah SAW memberinya petunjuk agar menahan aset tanah itu dari segala bentuk tasharruf (aktivitas pemindahan hak milik) dan menyedekahkan hasil bumi tanah tersebut. Umar pun menaatinya. Dengan begitu ia adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang berwakaf. b. Hadits ini menjelaskan bahwa wakaf adalah menahan aset (raqabah) wakaf dari segala transaksi pemindahan milik dan penyerahan hasil aset. c. Kalimat dengan syarat tidak dijual menjelaskan hukum pengelolaan aset wakaf. Kalimat ini menjelaskan bahwa pengelolaan aset wakaf tidak dilakukan melalui cara pemindahan milik, seperti jual beli dan hibah. Aset wakaf harus tetap dalam kondisinya hanya saja dikelola sesuai syarat syari yang ditentukan oleh wakaf. d. Wakaf hanya bisa berlaku untuk barang-barang yang bisa dimanfaatkan dan dalam waktu yang sama substansi barang-barang tidak berubah. Sedangkan untuk barang-barang yang habis dengan dimanfaatkan disebut dengan sedekah, bukan wakaf. e. Kalimat (Hasil) tanah itu disedekahkan kepada orang-orang fakir memberi petunjuk penyaluran hasil wakaf, yaitu seperti kabaikan umum maupun khusus seperti kerabat, fakir miskin, para pelajar, orang-orang yang berjihad dan lain sebagainya.

f. Kalimat Tidak bermasalah atas orang yang mengurusnya menunjukkan eksistensi pengelola (naazhir) yang melaksanakan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pewakaf, pengelolaan aset dan penyalurannya kepada yang berhak. g. Kalimat Untuk memakan (hasil)nya dengan cara maruuf (yang baik) menjelaskan bahwa pengelola (naazhir) dapat mengambil nafkah hidupnya dari hasil aset wakaf dengan cara yang dibenarkan sebagai kompensasi keterikatan dirinya terhadap pengelolaan dan pengawasannya terhadap aset wakaf. h. Hadits ini memberi petunjuk bahwa pewakaf dapat menentukan syarat-syarat yang dinilai adil dan boleh secara syara. Syarat-syarat ini harus dilaksanakan, sebab jika tidak maka pengkondisian tersebut menjadi tidak ada artinya. i. Hadits ini memberi isyarat keutamaan atau fadhiilah berwakaf sebagai sedekah yang pahalanya terus mengalir (jaariyah) dan sebagai perbuatan baik pewakaf yang tiada henti. j. Hadits ini memberi isyarat bahwa sesuatu yang diwakafkan selayaknya adalah harta yang terbaik dan amat berharga dengan tujuan memperoleh pahala dari Allah SWT. k. Hadits ini menunjukkan kewajiban memberi nasihat jika diminta dan memberi solusi yang terbaik l. Hadits di atas menerangkan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan oleh pewakaf wajib bersifat adil dan sah secara syari. dalam hadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Siapa yang membuat syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah maka syarat itu batal, meskipun seratus syarat. Syarat-syarat yang zhalim seperti syarat-syarat yang bertujuan menghalangi atau memihak sebagian ahli waris tanpa justifikasi maka syarat-syarat itu haram dan batal. m. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa siapa yang membuat syarat berkaitan dengan wakaf, hibah, jual beli, pernikahan, akad sewa, nadzar dan lain-lainnya yang bertentangan dengan apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada para hamba-Nya, di mana syarat yang dibuatnya mengandung perintah atas sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, larangan terhadap apa yang diperintahkan oleh-Nya, penghalalan sesuatu yang diharamkan atau pengharaman sesuatu yang dihalalkan maka syarat tersebut batal berdasarkan kesepakatan para ulama, baik dalam wakaf atau lainnya. n. Wajib bagi para ulama, hakim dan pencatat serta pihak lain yang berkepentingan dengan pengurusan dokumen wakaf dan wasiat agar menuntun mereka sesuai dengan al-Quran dan Sunnah Nabi SAW serta menghindarkan para pewakaf dan pemberi wasiat dari kezhaliman dan kelaliman. o. Di antara pihak penerima saluran hasil aset wakaf ialah: Orang-orang fakir, termasuk orang-orang miskin. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan nafkah hidup selama setahun. Para kerabat, yaitu saudara satu nasab atau saudara hasil perkawinan. Yang paling berhak adalah saudara yang paling dekat. Demikian seterusnya. Dengan syarat mereka sama dalam tingkat kebutuhannya. Jika kebutuhan saudara jauh

lebih besar maka ia didahulukan meskipun saudara jauh. Para budak. Tepatnya untuk membantunya merdeka dan atau menebus tawanan. Sabilillah. Maksudnya di sini adalah fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi muslimin, seperti fasilitas dakwah, jihad, tempat pengungsian, masjid dan lain sebagainya. Tamu. Maksudnya untuk menyambut tamu. Kewajiban menyambut tamu berlaku untuk satu hari satu malam. Sedangkan sunahnya selama tiga hari tiga malam. p. Persyaratan kerabat dalam wakaf menunjukkan bahwa berwakaf kepada sebagian ahli waris, tidak kepada sebagian yang lain adalah haram dan tidak sah.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN 1. Anjuran berwasiat sepertiga dari kekayaan atau lebih kecil dari itu, meskipun orang yang berwasiat tersebut memiliki kekayaan banyak. 2. Menyimpan kekayaan untuk ahli waris yang membutuhkan dipandang lebih baik dari pada menyedekahkannya kepada orang lain mengingat hubungan ahli waris lebih berhak dijaga dari pada hubungan kepada orang lain. 3. Ahli waris mempunyai hak atas harta saudaranya yang masih hidup yang mewariskannya. Untuk itu, saudaranya tidak boleh boros membelanjakan harta yang dimilikinya dengan tujuan agar ahli warisnya tidak mendapatkannya. 4. Wakaf adalah menahan aset (raqabah) wakaf dari segala transaksi pemindahan milik dan penyerahan hasil aset. 5. Wakaf hanya bisa berlaku untuk barang-barang yang bisa dimanfaatkan dan dalam waktu yang sama substansi barang-barang tidak berubah. Sedangkan untuk barang-barang yang habis dengan dimanfaatkan disebut dengan sedekah, bukan wakaf. 6. Hadits ini memberi petunjuk bahwa pewakaf dapat menentukan syarat-syarat yang dinilai adil dan boleh secara syara. Syarat-syarat ini harus dilaksanakan, sebab jika tidak maka pengkondisian tersebut menjadi tidak ada artinya. 7. Hadits di atas dijadikan sebagai dasar atas kesamaan pemberian hibah terhadap anak. Karena secara dhohir hadits tersebut menunjukan perintah kesamaan, maka dari itu tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Ibnu Mubarok berpendapat bahwa: Anak perempuan diberi bagian seperti yang diberikan kepada anak laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

10

Abdul Baqi, Muhammad Fuad. 1996. Al-Lulu Wal Marjan. Terj. H. Salim Bahreisy. Surabaya: PT Bina Ilmu Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram (jilid. 5). terj. Thahirin Suparta, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam http:/www.google.co.id/search//wasiat_dan_wakaf/. Diakses pada tanggal 7 april 2011 http:/www.google.co.id/search//warisan_berhutang/. Diakses pada tanggal 7 april 2011 Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Kebolehan Orang Tua Melebihkan Pemberian Hibah Diantara Sebagian Anak-Anak.pdf

11

Anda mungkin juga menyukai