Zakat (Bahasa Arab: transliterasi: Zakah) dalam segi istilah adalah harta tertentu yang
wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak
menerimanya (fakir miskin dan sebagainya).Zakat dari segi bahasa berarti
bersih,suci,subur,berkat dan berkembang.Menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat
Islam. Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam.
Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103 yang artinya Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentrraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. At Taubah :
103).
Dan sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 77 yang artinya:
Laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat .
Diwajibkan atas wali dari anak kecil dan orang gila mengeluarkan zakat dari hartanya jika sudah
cukup satu nishab. Diriwayatkan dari Amr bin Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, yang diterima
Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda, Barangsiapa menjadi wali dari anak yatim yang
mempunyai harta, hendaknya dia memperdagangkan hartanya untuk dia dan jangan membiarkannya
sampai habis untuk membayar zakat.
Hadis ini sanadnya lemah, namun, menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, ada sebuah hadis mursal sebagai
syahid (pendukungnya). Hal ini dikuatkan oleh Imam Syafii dengan umumnya hadis-hadis yang sahih
yang menjelaskan diwajibkannya zakat secara mutlak.
Aisyah r.a. mengeluarkan zakat harta anak-anak yatim yang berada dalam asuhannya. Tirmizi
berkata, Para ahli berbeda pendapat dalam soal ini. Tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang
berpendapat bahwa harta anak yatim itu wajib dizakati. Mereka itu di antaranya adalah Umar, Ali,
Aisyah, dan Ibnu Umar. Demikian juga pendirian Malik, Syafii, Ahmad, dan Ishak. Akan tetapi, ada
pihak lain yang mengatakan tidak wajib zakat pada harta anak yatim. Ini adalah pendapat Sufyan dan
Ibnul Mubarak.
Barangsiapa mempunyai harta dari jenis yang wajib dizakatkan, tetapi ia berhutang, hendaklah dia
menyisihkan lebih dulu sebanyak utangnya, lalu mengeluarkan zakat dari sisanya jika sampai nishab.
Jika tidak sampai, maka tidak wajib zakat. Karena, dalam hal ini ia adalah miskin. Rasulullah saw.
bersabda, Tidak wajib zakat kecuali dari pihak si kaya. (HR Ahmad, dan Bukhari menyebutkannya
secara muallaq). Dan Rasulullah saw. bersabda pula, Zakat itu dipungut dari orang-orang kaya di
antara mereka, dan diserahkan kepada orang-orang miskin.
Dalam hal ini, hutang seseorang tidak ada bedanya, baik kepada Allah maupun kepada manusia.
Dalam sebuah hadis disebutkan, Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.
Orang yang Mati dan Mempunyai Kewajiban Berzakat
Barangsiapa meninggal dunia dan masih mempunyai kewajiban berzakat, zakat itu wajib dikeluarkan
dari hartanya, dan didahulukan dari membayar utang, memenuhi wasiat dan membagi warisan. Ini
adalah mazhab Syafii, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
mengenai pembagian pusaka, Yakni, setelah memenuhi pesan yang diwasiatkan atau utang. (An-
Nisaa: 12). Dan, zakat merupakan hutang yang nyata kepada Allah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang laki-laki datang menjumpai Rasulullah saw. dan
bertanya, Ibu saya meninggal dan berhutang puasa selama satu bulan, apakah saya boleh
membayarkannya? Nabi saw. menjawab, Seandainya ibu Anda itu mempunyai hutang, apakah Anda
akan membayarnya? Jawab orang itu, Ya. Nabi saw. menimpalinya, Maka, hutang kepada Allah
lebih berhak untuk dibayar? (HR Bukhari dan Muslim)
Zakat itu merupakan ibadah, maka agar ibadah itu sah, disyaratkan berniat. Caranya, ketika
membayarkannya, orang yang berzakat itu hendaklah memfokuskan perhatiannya kepada keridaan
Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya. Sementara, dalam hati ditekankan bahwa itu merupakan
zakat yang diwajibkan atas dirinya. Allah SWT berfirman, Dan tidaklah mereka diperintah kecuali
untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya semata. (Al-Bayyinah: 5).
Nabi saw. bersabda, Setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan
mendapat apa yang diniatkannya.
Imam Malik dan Syafii menyaratkan, niat itu hendaklah ketika membayar. Adapun menurut Abu
Hanifah, niat itu wajib ketika membayarkan zakat atau membebaskan diri dari kewajiban. Sementara,
Ahmad membolehkan dimajukannya niat itu dari saat membayar, asal dalam waktu singkat.
Diwajibkan membayar zakat segera setelah datang saat wajibnya, dan menangguhkan dari saat
tersebut, kecuali jika tidak mungkin, maka boleh mengundurkan pembayaran sampai ada
kesempatan. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dari Uqbah bin
Harits seraya berkata, Saya salat Ashar bersama Rasulullah saw., tatkala selesai memberi salam,
Nabi saw. segera berdiri pergi menemui istri-istri beliau, lalu keluar kembali. Wajah orang-orang itu
tampak keheranan melihat Nabi saw. lekas kembali, lalu Nabi saw. bersabda, Di waktu salat, saya
teringat bahwa kami mempunyai emas, maka saya tidak ingin emas itu tersimpan pada kami sampai
sore atau malam, maka saya suruh membagi-bagikannya.
Menyegerakan Pembayarannya
Boleh menyegerakan zakat dan memajukan pembayarannya sebelum cukup masa setahun, bahkan
walau sampai dua tahun di depan. Diriwayatkan bahwa menurut Zuhri tidak ada salahnya memajukan
zakat sebelum datang haul. Hasan Bashri ketika ditanya mengenai seseorang yang mengeluarkan
zakat tiga tahun di depan, apakah boleh, ia menjawab boleh.
As-Syaukani berkata, Pendapat ini menjadi mazhab Syafii, Ahmad, dan Abu Hanifah. Juga pendirian
Hadi dan Qasim. Sementara, Muayyid Billah mengatakan bahwa hal itu lebih utama. Akan tetapi,
Malik, Rabiah, Sufyan Tsauri, Daud, Abu Ubaid, dan Harits, serta Ahlul Bait Nashir berpendapat
bahwa tidak sah sebelum datang haul atau cukup setahun. Mereka mengambil alasan dengan hadis-
hadis yang mengaitkan hukum wajib itu dengan haul, dan itu telah dijelaskan di depan. Menerima itu
tidaklah menggoyahkan pendirian orang yang menyatakan sahnya menyegerakan. Karena, hukum
wajib tergantunhg kepada datangnya haul, hingga tak perlu diperdebatkan. Yang menjadi perselisihan
adalah soal sahnya memberi zakat sebelum datang waktunya.
Ibnu Rusyd berkata, Sebab perbedaan itu adalah apakah zakat itu merupakan ibadah ataukah hak
yang mesti dibayar bagi si miskin. Orang yang mengatakan bahwa ia adalah ibadah yang serupa
dengan salat tidak membolehkan mengeluarkan zakat sebelum waktunya. Adapun orang yang
menyamakan zakat dengan sebuah kewajiban yang ditetapkan waktunya membolehkan
dikeluarkannya zakat itu sebelum waktunya, atas dasar kerelaan hati. Imam Syafii mengambil alasan
untuk pendapatnya dengan hadis Ali r.a., bahwa Nabi saw. meminjam zakat dari Abbas sebelum
datang waktunya.
Ketika menerima zakat dari seseorang, disunahkan mendoakan kepada orang tersebut. Allah SWT
berfirman, Ambillah zakat dari harta-harta mereka yang akan membersihkan dan menyucikan
mereka, dan berdoalah untuk mereka. Karena doamu itu akan memberikan ketenangan kepada
mereka. (At-Taubah: 103).
Dari Abdullah bin Abu Aufa r.a. berkata, Rasulullah saw. jika zakat diserahkan kepadanya, beliau
berdoa, Ya Allah, limpahkanlah karunia atas mereka. Demikian pula ketika bapakku menyerahkan
zakat kepadanya, beliau berdoa, Ya Allah, limpahkanlah karunia kepada keluarga Abu Aufa. (HR
Bukhari dan Muslim).
Dari Wail bin Hujr r.a., Rasulullah saw. bersabda (mengenai seorang laki-laki yang mengirim zakat
berupa unta yang bagus), Ya Allah, berkahilah ia, begitu juga kepada untanya.
Imam Syafii berkata, Disunahkan bagi imamjika menerima zakatmendoakan kepada orang yang
memberinya dengan doa, Aajaarakallahu Fiimaa Athaita wa Baaraka Fiimaa Abqaita (Semoga Allah
memberi pahala kepada Anda atas zakat yang telah Anda berikan, dan memberi berkah kepada
barang yang Anda sisakan)
1. Islam.
Islam menjadi syarat kewajiban mengeluarkan zakat dengan dalil hadits Ibnu Abbas di atas.
Hadits ini mengemukakan kewajiban zakat, setelah mereka menerima dua kalimat syahadat dan
kewajiban shalat. Hal ini tentunya menunjukkan, bahwa orang yang belum menerima Islam tidak
berkewajiban mengeluarkan zakat [4]
2. Merdeka.
Tidak diwajibkan zakat pada budak sahaya (orang yang tidak merdeka) atas harta yang
dimilikinya, karena kepemilikannya tidak sempurna. Demikian juga budak yang sedang dalam
perjanjian pembebasan (al mukatib), tidak diwajibkan menunaikan zakat dari hartanya, karena
berhubungan dengan kebutuhan membebaskan dirinya dari perbudakan. Kebutuhannya ini lebih
mendesak dari orang merdeka yang bangkrut (gharim), sehingga sangat pantas sekali tidak
diwajibkan [5].
4. Memiliki Nishab.
Makna nishab disini, ialah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syari (agama)
untuk menjadi pedoman menentukan batas kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang
memilikinya, jika telah sampai pada ukuran tersebut [7]. Orang yang memiliki harta dan telah
mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah
Subhanahu wa Taala :
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari
keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir. [Al
Baqarah:219].
Makna al afwu adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan
nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang. [8]
SYARAT-SYARAT NISHAB
Adapun syarat-syarat nishab ialah sebagai berikut:
1. Harta tersebut diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, seperti: makanan,
pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari
kepemilikan nishab [9] dengan dalil hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun) [10].
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan
buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun, yang diambil ketika
menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan berzakat
karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang
biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna
nishab tersebut [11].
Dalil nishab ini ialah hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun yaitu dalam emas- sampai memiliki 20 dinar. Jika
telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya (zakat) 1/2 dinar.
Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada di harta zakat, kecuali setelah satu
haul [14].
Kemudian dari nishab tersebut diambil 2,5 % atau 1/40. Dan kalau lebih dari nishab dan belum
sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab yang awal.
Demikian menurut pendapat yang rajih (kuat).
Misalnya : seseorang memiliki 87 gram emas yang disimpan maka jika telah sampai haulnya
maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya 87/40 = 2,175 gram atau uang seharga
tersebut.
..
Dan dalam zakat kambing yang digembalakan diluar; kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor
[15]
Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya ialah sebagai berikut:
1. ONTA.
Nishab onta ialah 5 ekor. Perhitungan selengkapnya sebagai berikut:
Keterangan :
1. Bintu makhad ialah onta yang telah berusia satu tahun.
2. Bintu labun ialah onta yang berusia dua tahun.
3. Hiqqah ialah onta yang telah berusia tiga tahun.
4. Jadzah ialah onta yang berusia empat tahun.
2. SAPI.
Nishab sapi ialah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya. Cara
penghitungan sebagai berikut.
Keterangan :
1. Tabi dan tabiah ialah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
2. Musinnah ialah sapi betina yang berusia dua tahun.
3. Setiap 30 ekor sapi zakatnya ialah satu ekor tabi dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya ialah satu
ekor musinnah.
3. KAMBING
Nishab kambing ialah 40 ekor. Perhitungannya sebagai berikut:
Yang artinya.
Ini adalah kewajiban zakat yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam atas
kaum muslimin dan yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Taala melalui RasulNya: Dalam
setiap 24 ekor onta dan yang kurang dari itu (zakatnya) kambing; pada setiap 5 ekor (onta),
(zakatnya) satu kambing. Kalau telah sampai 25 ekor sampai 35 ekor, maka ada (zakat) binti
makhad (onta perempuan yang berusia satu tahun); jika tidak ada, (maka) boleh dengan ibnu
labun (onta laki-laki yang berusia dua tahun). Jika sampai 36 hingga 45 ekor, terdapat padanya
binti labun (onta perempuan berusia dua tahun). Kalau sampai 46 hingga 60 ekor, terdapat
hiqqah (onta perempuan yang telah sempurna berusia 3 tahun) yang siap dihamili oleh onta laki-
laki. Kalau sampai 61 hingga 75 terdapat, jidzah(onta yang telah berusia 4 tahun). Kalau sampai
76 hingga 90 ekor, terdapat 2 bintu labun. Kalau sampai 91 hingga 120 ekor, terdapat 2 hiqqah.
Kalau sampai lebih dari 120, maka setiap 40 ekor ada bintu labin dan setiap 50 hiqqah. Dan
barangsiapa yang memiliki kurang dari 4 ekor onta, maka tidak ada zakatnya kecuali kalau
pemiliknya menghendaki. Dan dalam zakat kambing yang digembalakan diluar; kalau sampai 40
ekor hingga 120 ekor ada satu ekor kambing. Dan jika lebih dari 120 sampai 200 ekor, ada 2
ekor. Jika lebih dari 200 sampai 300 ekor, (maka) ada 3 ekor dan kalau lebih dari 300 ekor, maka
setiap 100 ekor ada satu ekor kambing. Jika gembalaan seseorang kurang dari 40, seekor saja
maka tidak terdapat zakat, kecuali bila pemiliknya menghendakinya [16].
Satu wasaq setara dengan 60 sha [18]. Sedangkan satu sha setara dengan 2,175 kg [19] atau 3
kg.
Demikian menurut takaran Lajnah Daimah Li Al Fatwa Wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap
Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan amal resmi yang berlaku di
Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian ialah 300 x 3 = 900 kg. Adapun ukuran yang
dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (menggunakan alat penyiram
tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah
hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam :
Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami
dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).[20]
Misalnya: seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat
yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) ialah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila
tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg.
Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan, sama dengan syarat-syarat yang ada
pada zakat yang lain, dan ditambah dengan tiga syarat lainnya,yaitu:
a. Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah dan yang
sejenisnya.
b. Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
c. Nilainya telah sampai nishab. [21]
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli),
lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah
total sebesar Rp 200.000.000,- dan laba bersih sebesar Rp 50.000.000,- Sementara itu, ia
memiliki hutang sebanyak Rp 100.000.000,- Maka perhitungannya sebagai berikut:
Al Imam An Nawawi berkata,Menurut mazdhab kami (Syafii), mazdhab Malik, Ahmad, dan
jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dan (dalam
mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak dan binatang
ternak keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut
berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah (hitungan) haul. Dan kalau sempurna lagi
setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut [24]. Inilah
pendapat yang rajih, insya Allah Subhanahu wa Taala.
Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu, ternyata
hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada
bulan Ramadhan (pada tahun itu juga), hartanya bertambah hingga mencapai nishab. Maka
dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai
mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkanlah zakatnya.
Zakat Mal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Zakat Mal (bahasa Arab: ; transliterasi: zakah ml) adalah zakat yang dikenakan
atas harta yang dimiliki oleh individu dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan secara syarak.
Syarat-syarat harta
Harta yang akan dikeluarkan sebagai zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Milik Penuh, yakni harta tersebut merupakan milik penuh individu yang akan
mengeluarkan zakat.
2. Berkembang, yakni harta tersebut memiliki potensi untuk berkembang bila diusahakan.
3. Mencapai nisab, yakni harta tersebut telah mencapai ukuran/jumlah tertentu sesuai
dengan ketetapan, harta yang tidak mencapai nishab tidak wajib dizakatkan dan
dianjurkan untuk berinfak atau bersedekah.
4. Lebih Dari kebutuhan pokok, orang yang berzakat hendaklah kebutuhan minimal/pokok
untuk hidupnya terpenuhi terlebih dahulu
5. Bebas dari Hutang, bila individu memiliki hutang yang bila dikonversikan ke harta yang
dizakatkan mengakibatkan tidak terpenuhinya nisab, dan akan dibayar pada waktu yang
sama maka harta tersebut bebas dari kewajiban zakat.
6. Berlalu Satu Tahun (Haul), kepemilikan harta tersebut telah mencapai satu tahun khusus
untuk ternak, harta simpanan dan harta perniagaan. Hasil pertanian, buah-buahan dan
rikaz (barang temuan) tidak memiliki syarat haul.
Macam-macamnya
Hewan ternak. Meliputi semua jenis & ukuran ternak (misal: sapi, kerbau, kambing,
domba, dan ayam)
Hasil pertanian. Hasil pertanian yang dimaksud adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau
tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan,
tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll.
Emas dan Perak. Meliputi harta yang terbuat dari emas dan perak dalam bentuk apapun.
Harta Perniagaan. Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-
belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan,
perhiasan, dll. Perniagaan disini termasuk yang diusahakan secara perorangan maupun
kelompok/korporasi.
Hasil Tambang (Makdin). Meliputi hasil dari proses penambangan benda-benda yang
terdapat dalam perut bumi/laut dan memiliki nilai ekonomis seperti minyak, logam, batu bara,
mutiara dan lain-lain.
Barang Temuan (Rikaz). Yakni harta yang ditemukan dan tidak diketahui pemiliknya
(harta karun).
Zakat Profesi. Yakni zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila
telah mencapai nisab. Profesi dimaksud mencakup profesi pegawai negeri atau swasta,
konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta.
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga
untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Amil : orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mualaf : orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam
yang imannya masih lemah.
5. Hamba sahaya : memerdekakan budak mencakup juga untuk melepaskan muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: orang yang berutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat
dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berutang untuk memelihara
persatuan umat Islam dibayar utangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu
membayarnya.
7. Sabilillah: yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara
mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-
kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, madrasah, masjid,
pesantren, ekonomi umat, dll.
8. Ibnu sabil, Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya. Atau juga orang yg menuntut ilmu di tempat yang
jauh yang kehabisan bekal.
Referensi:
Sumber: https://almanhaj.or.id/2805-syarat-wajib-dan-cara-mengeluarkan-zakat.html
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Zakat_Mal