Oleh :
Ust. Drs. H. Athoillah Wijayanto
Ketua LBM NU Kota Malang
Pengasuh PP. MAMBAUL HUDA
BANDULAN MALANG
Makalah yang Disampaikan dalam Acara Seminar
di Aula Kementrian Agama Kota Malang
Kamis, 09 agustus 2012
ZAKAT FITRAH (ZAKATUN NAFS)
( ) .
Hadits yang berasal dari sahabat Ibnu Abbas r.a, yang dia berkata
( )
Rosululloh Saw. telah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi
orang yang berpuasa dari ucapan keji dan tidak ada gunanya, juga untuk memberi makan
kepada orang-orang miskin.Maka barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum sholat
Id, maka itu adalah zakat yang diterima, sedang siapa yang menunaikannya setelah sholat Id
maka hanya bernilai sedekah biasa.(H.R Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh
Imam Hakim)
Adapun hikmah diwajibkannya zakat fitrah dalam bulan Romadhon atau di waktu
Maghrib pada tanggal 1 Syawwal itu adalah :
Menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap fakir miskin. Diharapkan dengan zakat
yang diberikan, mereka tercukupi kebutuhannya pada saat hari raya dan dapat bersuka
cita bersama lainnya.
Rosululloh SAW. telah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai penyuci
bagi orang yang berpuasa dari ucapan keji dan tidak ada gunanya, juga untuk
memberi makan kepada orang-orang miskin. Maka barang siapa yang menunaikan
zakat fitrah sebelum sholat Id, maka itu adalah zakat yang diterima, sedang siapa
yang menunaikannya setelah sholat Id maka hanya bernilai sedekah biasa.
Beragama Islam, maka zakat fitrah tidak diwajibkan bagi seorang yang kafir ashliy
kecuali dia mengeluarkan zakat fitrah orang muslim yang ia tanggung nafkahnya yang
bentuknya bisa jadi adalah budak atau karib kerabatnya yang Islam.
Dia menemui atau masih hidup diwaktu wajibnya zakat fitrah yaitu dia menemui
sebagian akhir dari bulan Romadhon dan awal dari bulan Syawwal.
Terdapat kelebihan dari makanan pokok yang dia dan keluarganya konsumsi pada
malam dan siangnya Idul Fitri dan juga merupakan kelebihan dari pakaian yang
layak, tempat tinggal dan pembantu yang memang dibutuhkan olehnya.
Dan apabila seseorang telah mengumpulkan syarat-syarat tersebut di atas, maka wajiblah
baginya untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri. Kemudian setelah dirinya
terpenuhi, siapa lagi yang ia harus bayarkan dari orang-orang yang ditanggungnya. Maka,
dalam hal ini urutannya adalah sebagai berikut:
Istrinya
Bapaknya
Ibunya
anakanya yang besar (yang belum bekerja Tausyih Al Fathil Qorib Al-Mujib, hal.
107
Barang yang digunakan zakat fitrah adalah makanan pokok yang wajib ada pada
tempat muzakki mengeluarkan zakat fitrahnya. Hal ini dikarenakan tujuan dari zakat
ini tiada lain adalah untuk mengenyangkan fakir miskin dan mustahiq-mustahiq lain
pada malam dan siang hari raya tersebut. Jadi jelasnya orang yang berada di daerah
Jawa kalau dia hendak mengeluarkan zakat fitrahnya, hendaknya dia mengeluarkan
zakat dalam bentuk makanan pokok penduduk jawa, yaitu beras, karena inilah yang
dijadikan makanan pokok pada lazimnya, walaupun makanan pokok dari muzakki
tersebut bukan beras. Dan pendapat Ulama yang menyatakan bahwa zakat fitrah
hendaknya berdasarkan makanan pokok dari muzakki, munurut Imam Al-Qolyubi
adalah pendapat yang marjuh (lemah) dibanding pendapat pertama dan tidak boleh
dipergunakan patokan dan sandaran hukum.
Adapun kadar dan ukuran zakat fitrah adalah satu sho yang pernah dipakai
Rasulullah SAW yang menurut ukuran kita adalah:
1 Sho= 4 Mud
Jadi, ukuran satu Sho itu sama dengan ukuran 2,4 Kg pada saat ini, yang biasanya
dibulatkan menjadi 2,5 Kg. sesuai hasil konversi yang disebutkan dalam kitab
Mukhtashor Tasyyid al-Bunyan, satu sho setara dengan 2,5 kilogram. Sedang kadar
zakat fitrah yang harus ditunaikan dalam bentuk satu sho dari makanan pokok (beras
putih) menurut hasil konversi K.H Muhammad Mashum bin Ali Kuaron-Jombang
setara dengan 2,720 kilogram beras putih dala kitabnya Fathul Qodir fi Ajaibil
Maqodir.
Disamping itu yang perlu kita perhatikan dalam berzakat, adalah memilih barang yang baik
bahkan mungkin juga yang terbaik dalam pelaksanaan zakat tersebut, karena tujuan kita
dalam berzakat adalah ibadah dalam mencari keridhoan Allah disamping kerelaan dan rasa
suka dari orang yang kita zakati, dengan kita melaksanakan yang demikian ini, niscaya
ibadah kita mendapatkan pahala, dan di sisi lain mereka merasa senang dengan apa yang kita
berikan ini. Tapi, apabila yang kita berikan dari barang zakat adalah mutunya jelek, barang
curian dan sebagainya, maka Imam Sayyid Bakri Syatho menyatakan zakat kita belum
mencukupi atau dianggap belum berzakat.
Dan tidaklah mencukupi mengeluarkan satu sho makanan yang tercela atau ada
cacatnya seperti barang penipuan, atau ada ulatnya, atau terlalu lama disimpan
sehingga berubah warnanya, rasa atau baunya. Maka, ditentukanlah pengeluarannya
adalah satu Sho yang baik dan tidak cacat.
Adapun waktu-waktu mengeluarkan zakat fitrah itu menurut para ulama ada lima waktu yang
perlu diperhatikan, hal ini dijelsakan oleh As-Sayyid Bakri Syatho yang uraiannya adalah
sebagai berikut:
Pendeknya bahwasannya zakat fitrah itu ada lima waktu:- Waktu jawaz (boleh)- Waktu wujub
(wajib)- Waktu fadlilah (utama)- Waktu karohah (makruh)- Waktu hurmah (harom)
Adapun waktu jawaz adalah awal bulan; waktu wujub adalah ketika tenggelamnya
matahari; waktu fadlilah ialah sebelum keluar untuk sholat; wktu karohah ialah ketika
mengakhirkannya dari sholat Id kecuali ada udzur seperti menunggu kerabat den=kat
atau orang yang sangat membutuhkan; sedangkan waktu karohah ketika
mengakhirkannya dari sholat Id tanpa ada udzur syari.
Pada ayat ini ada lafadz yang faidahnya untuk Lil Khashri
(menyempitkan)
artinya pembagian zakat ataupun zakat fitrah hanya dibatasi dan disempitkan hanya 8
golongan saja yang lain tidak boleh, sedang empat golongan pertama dalam ayat ini
menggunakan huruf jer Lam yang bermakna (memiliki). Sedangkan, empat golongan
yang lainnya digandeng dengan huruf jer Fi yang bermakna dzorfiyah yang berarti
menempati. Hal ini berarti bahwa untuk fuqoro, masakin, muallaf, dan amil, maka
zakat itu mutlak milik mereka dengan pembagian yang telah ditentukan oleh agama
dan tidak boleh ditarik kembali dari tangan mereka.
Sedangkan untuk budak, ghorim, pejuang di jalan Allah dan ibnu sabil (musafir) zakat
tersebut bukanlah milik mereka, tetapi mereka hanya bisa menggunakan, sedangkan
apabila terdapat kelebihan dari kebutuhannya harus dikembalikan pada muzakki,
amil/panitia.
Adapun 8 golongan yang berhak mendapat zakat maal dan fitrah perinciannya
Fakir
Fakir adalah orang yang tidak punya harta benda dan pekerjaan sama sekali atu orang
yang punya harta atau pekerjaan tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
Gambaran yang lebih konkrit dari makna ini adalah apabila ada orang yang kebutuhan
sehari-harinya 10 dirham, sedangkan yang ia peroleh hanya 2 dirham saja. Sekalipun
ia memiliki rumah yang ia tempati, memakai pakaian yang menjadi perhiasannya
ataupun juga ia mempunyai pembantu yang memang ia butuhkan, maka demikian ini
tetaplah ia dikatakan fakir.
Miskin
Miskin adalah orang yang memiliki harta yang hampir mencukupi kebutuhannya tapi
tidak cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan kesehariannya.
Misal dari orang miskin ini adalah orang yang kebutuhannya 10 dirham tapi ia hanya
memiliki 7 dirham saja. Sedang maksud dari ucapan dalam definisi yaitu segala
sesuatu yang mencukupinya secara wajar dan tidak berlebih-lebihan seperti makanan,
minuman dan paikan yang umum dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
kebutuhan sehari-hari yang tidak berlebih-lebihan.
Amil
Amil adalah orang yang diperkerjakan oleh imam untuk mengambil zakat kemudian
membagikannya kepada para mustakhiq zakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Alloh SWT dalam Al-Quran. Dan boleh bagi amil untuk mengambil bagian dari
zakat dengan syarat tertentu karena dia termasuk bagian dari Asnafus Tsamaniyah
yang disebut dalam Al-Quran.
Muallaf
Lafadz Al Muallaf Kulubuhum dari segi bahasa artinya yang artinya adalah
dilemahkan, Sedangkan makna muallaf adalah : Orang yang masuk islam,
sedangkan niatnya masih lemah maka di lunakkan hatinya dengan di beri zakat untuk
menguatkan imannya atau tokoh yang masuk islam dan niatannya sudah kuat dan dia
punya kemulyaan/wibawa pada kaumnya, sehingga dengan memberinya zakat
diharapkan kaumnya akan masuk kedalam agama islam.
Ar Riqob
Riqob adalah budak-budak mukathab (yang ingin memerdekakan diri) yang perjanjian
kitabahnya sah; mukatab diberi oleh tuannya ijin untuk mencari dana guna menebus
tunggakan angsuran kemerdekaan baginya, jika ia tidak mampu melunasinya,
sekalipun ia rajin bekerja, tetapi tidak boleh diberi dari zakat tuannya, karena dirinya
masih tetap menjadi milik sang tuan.
Ghorim
Ghorim adalah orang yang berhutang buat diri sendiri untuk kepentingan yang bukan
maksiat maka Ghorim ini boleh diberi bagian zakat bila tidak mampu melunasi
hutangnya, sekalipun rajin bekerja, sebab pekerjaan itu tidak bisa menutup
kebutuhannya untuk melunasi hutang bila telah tiba saat pembayarannya.
Sabilillah
Sabilillah adalah pejuang agama sukarelawan (yang tidak dibayar oleh pemerintah)
sekalipun kaya, maka pejuang diberi bagian sebagai nafkahnya, pakaiannya dan juga
untuk keluarganya, selama masa ia bepergian (untuk perang) dan pulang. Demikian
pula diberi biaya (untuk membeli) alat peperangan/perjuangan.
Adapun ucapan sebagian ulama termasuk Imam Qoffal bahwa maksud dari lafadz Fi
Sabilillah adalah Sabilil Khoir ( jalan kebaikan apa pun), sehingga zakat boleh
diberikan untuk pembangunan masjid, pembangunan pondok, membeli kain kafan
untuk mayyit dan sebagainya. Maka Pendapat yang demikian ini adalah pendapat
yang lemah seperti yang diputuskan dalam Mutamar Nahdhotul Ulama , dan hal ini
sesuai dengan pernyataan kitab Rohmatul Ummah yang menyatakan
Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah musafir yang melewati daerah zakat atau memulai kepergiannya
yang diperbolehkan syara dari daerah zakat, sekalipun untuk pesiar atau ia rajin
bekerja; lain halnya bila musafir berbuat maksiat kecuali apabila ia bertaubat atau
musafir tanpa tujuan yang benar, misalnya orang berpetualang.
Musafir yang demikian ini diberi bagian secukupnya yaitu kebutuhannya dan
kebutuhan pesertanya yang menjadi tanggungannya, baik biaya nafkah, pakaian,
selama pergi sampai pulang, jika tidak memiliki harta di tengah perjalanan atau
tempat tujuannya.
Inilah delapan golongan yang berhak untuk menerima zakat dan selain apa yang telah
kami terangkan dalam risalah ini tidak berhak untuk menerima zakat apapun juga.
AMIL DAN
PANITIA ZAKAT FITRAH
Di Indonesia, Ketika Bulan Ramadhan seperti saat ini banyak kita jumpai disekitar
kita badan-badan tertentu, yang telah menamakan dirinya Amil atau Panitia Zakat.
Maka dalam hal ini ada beberapa point yang harus diperhatikan bagi orang yang ingin
membuatnya
Amil adalah orang yang diperkerjakan oleh imam untuk mengambil zakat kemudian
membagikannya kepada para mustakhiq zakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Alloh SWT dalam Al-Quran.
Dari definisi diatas dapat kita fahami kalau ada perorangan, kelompok, lembaga
ditengah masyarakat seperti NU dan sebagainya. Membuat amil Zakat, maka tidak
sah sebab tidak diangkat oleh imam (pemerintah). Sehingga tidak boleh bernama amil
harusnya adalah Panitia Zakat yang dengan demikian dia tidak boleh mengambil
bagian dari zakat fitrah sebab tidak termasuk delapan golongan yang disebut didalam
QS. At Taubah 60. Dan sebagaimana ditegaskan dalm Ahkamul Fuqoha, Keputusan
Nomor 286, yang menyatakan : Panitia pembagian zakat yang ada pada waktu ini,
tidak termasuk amil zakat menurut agama islam, sebab mereka tidak diangkat oleh
imam atau kepala negara.
Panitia zakat posisinya sebagai wakil (orang yang diberi wewenang menyampaikan zakat
fitrah) dari muzakki (orang yang berzakat) yang disebut Muwakkil, oleh karena adanya
wakalah maka si panitia tidak boleh sama sekali mengambil, menjual beras zakat fitrah.
Tetapi harus menyampaikan benar-benar kepada mustahiq (orang yang berhak menerima
zakat fitrah).
Maka Praktek sebagian panitia yang mengambil sebagian beras zakat fitrah yang belum
dibagikan ke mustahiq dalam bentuk menjualnya kemudian digunakan konsumsi panitia ,
membeli plastik kresek, dan sebagainya, yang digunakan untuk kelancaran panitia adalah
bentuk pengkhianatan dan kedholiman wakil atas barang yang dititipkan padanya dan
hukumnya dosa serta wajib mengantinya.
Sekalipun panitia bukanlah amil, tetapi kerjanya tidak ada bedanya dengan amil maka
pantaslah panitia mendapatkan apresiasi, Sebagaimana Hadist Nabi yang berbunyi :
( )
Bersabdalah Nabi Muhammad saw, Amil zakat dengan cara yang benar (menurut
agama) karena Alloh SWT semata, Pahalanya seperti orang yang berperang
menegakkan agama Alloh, sehingga ia kembali ke keluarganya.
Sesungguhnya akan dibukakan untuk kalian dunia timur dan dunia barat dan
sesungguhnya para amil akan masuk ke neraka keculi mereka yang bertaqwa kepada
Alloh SWT dan menyampaikan amanat.
Hendaknya dana operasional panitia tidak diambilkan dari beras zakat fitrah, atau
dana masjid (ketika panitia berada di masjid) tetapi di usahakan dari shodaqoh biasa,
yang memang kita minta akadnya untuk kemaslahatan, operasional dan kelancaran
panitia zakat.
Agar zakat fitrah ini bisa sampai pada mustahiqnya maka syarat-syarat amil, lebih baik juga
di penuhi oleh para panitia zakat yaitu antara lain:
Seorang Muslim
Mukallaf;
Merdeka;
Adil;
Mendengar/Tidak Tuli;
Melihat/Tidak Buta;
Sebelum membagi zakat, seseorang pemilik zakat/amil zakat yang ditugaskan imam
untuk membagikan barang zakat hendaknya mengetahui golongan-golongan orang di
beri zakat. Agar sasarannya sesuai dengan yang diharapkan oleh syariat agama, yang
syarat-syaratnya sebagaimana yang telah kami terangkan pada pembahasan
sebelumnya, setelah itu zakat hendaknya dibagikan secara merata kepada golongan
penerima zakat yang di daerah tersebut. Inilah ketentuan yang ada pada mazhab Imam
Syafii yang kita ikuti. Tetapi apabila hal ini sulit dilakukan oleh pembagian zakat
semacam amil, maka ada sebagian ulama seperti Imam Ibnu Ujail yang
membolehkan membagi zakat kepada satu golongan saja seperti kepada fakir atau
miskin saja ataupun zakat itu diberikan kepada satu orang saja asal termasuk dalam
kategori Asnafus Tsamaniyah. Hal yang semacam ini terungkap dalam keterangan
kitab Bughyatul Musytarsyidin :
.
Tidak disangsikan lagi, sesungguhnya mazhab Syafii mewajibkan pemerataan zakat
maal dan zakat fitrah pada mustahiq yang ada, yang termasuk dalam Asnafus
Tsamaniyah . Sedangkan madzhab selainnya (Maliki, Hanafi dan Hambali)
membolehkan menyerahkan zakat pada satu orang saja. Dan berfatwalah Imam Ibnu
Ujail dan Imam Asbukhy dengan pendapat yang membolehkan ini. Dan pendapat
senada dengan ini dilakukan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin. Hal ini
disebabkan sulitnya dan boleh bertaqlid kepada mereka didalam mengambil dan
menyerahkan zakat kepada satu orang saja, sebagaimana di fatwakan oleh Imam Ujail
dan lainnya.
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga sependapat dengan Imam Ujail, beliau
berkata dalam kitabnya Syarhul Ubab, membolehkan akan kebolehan hal itu
Berkatalah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Kitab Sarhulul Ubab : Berkatalah tiga
Imam Madzhab (selain Imam Syafii) dan sebagian besar ulama tentang bolehnya
menyerahkan zakat kepada satu orang saja yang berhak menerima zakat.
Adapun bagi pemilik zakat, sekali-kali tidak boleh untuk memindah-mindahkan zakatnya
(Naqluz Zakat) dari daerah setempat ke daerah berlainan dan zakatnya dinilai tidak sah,
selagi para mustahiq ada di daerah itu. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Al
Allamah Zainuddin Al Malibary dalam Fathul Muin:
Tidak dibolehkan bagi pemilik zakat untuk memindah zakatnya dari daerah
setepat harta itu sekalipun ke daerah yang berlainan, juga zakatnya menjadi
tidak sah.
Tetapi apabila di daerah tersebut mustahiq sudah mendapatkan bagian, kemudian masih ada
sisanya, maka hendaknya kelebihan ini di tambahkan kepada mustahiq yang dirasa kurang
sampai tercukupi semuanya; apabila masih ada sisanya taupun di daerah tersebut sama sekali
tidak ada mustahiq, maka wajiblah zakat itu dipidah ke daerah yang berdekatan dengan
daerah zakat tersebut.Hal ini sesuai dengan apa yang di ungkapkan oleh Imam Nawawi AlJawi :
.
.
Maka apabila tidak ada Asnafus Tsamaniyah pada tempat/daerah dimana zakat
tersebut atau masih ada kelebihan barang zakat (setelah dibagi), maka wajib
memindahkan barang itu atau kelebihannya pada daerah yang terdekat. Dan apabila
sebagian mustahiq tidak ada atau barang zakat masih berlebihan maka hendaknya di
salurkan pada sebagian atau kelebihan itu kepada mustahiq yang lain, maka apabila
masih ada, hendaknya dipindahkan atau di berikan pada mustahiq di lain daerah yang
terdekat dari daerah zakat tersebut.