Anda di halaman 1dari 54

0

Penyandaran nama zakat kepada al Fithri adalah


penyandaran sesuatu kepada sebabnya, karena berbukanya
dari puasa Ramadhan adalah sebab diwajibkannya zakat
Fithri. Maka disandarkanlah kepadanya karena sebab
diwajibkannya. Sehingga dinamakan zakat al fithri, dan
disebut pula zakat fithrah yang berarti Khilqah artinya jiwa.
(karena ditunaikan berkaitan jiwa atau badan). (1)

Diantara hikmah mengeluarkan Zakat Fitri adalah


untuk menyucikan hati orang yang berpuasa Ramadhan
dari perkara yang tidak bermanfaat dan kata-kata yang
kotor, Ibnu Abbas  berkata:

‫للا صلى للا عليه وسلم َزَكا َة ال هْفطْ هر طُ ْه َرًة‬ ‫ول ه‬ ُ ‫ض َر ُس‬
َ ‫فَ َر‬
‫ساكه ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه ه ه‬
‫ي‬ َ ‫للصائ هم م َن الل ْغ هو َوالرفَث َوطُ ْع َم ًة لل َْم‬

1 (lihat QS Ar Ruum : 30, pembahasan di kitab Az Zakah fil Islam, hal. 317)
2
Dinukil dari buku Fiqih Ramadhan, hal 67

1
“Rasulullah  mewajibkan Zakat Fitri untuk
menyucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia
dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan
orang-orang miskin”(3).
Selain itu juga, Zakat Fitri akan membantu orang-
orang fakir dan miskin supaya tidak meminta-minta pada
saat Hari Raya, sehingga mereka bergembira bersama
orang-orang kaya pada hari tersebut, dan syari’at ini juga
bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua
kalangan.(4)

Zakat Fitri adalah mengeluarkan harta yang wajib


ditunaikan setiap muslim dan muslimah pada hari berbuka
(selesai) dari bulan Ramadhan, sebagaimana perkataan
Ibnu Umar ,

‫اعا هم ْن‬
ً‫ص‬ ‫ه‬ ‫ه‬
َ ‫صلى للاُ َعلَْيه َو َسل َم َزَكا َة الْفطْ هر‬
‫فَ رض رس ُ ه‬
َ ‫ول للا‬ َُ َ َ
‫اعا هم ْن َش هع ٍري َعلَى ا ْْلُهر َوال َْع ْب هد َوالذ َك هر َو ْاْلُنْ ثَى‬
ً‫ص‬ َ ‫َتَْ ٍر أ َْو‬
‫ه‬ ‫ه‬
‫ي‬َ ‫َوالص هغ هري َوالْ َكبه هري م ْن ال ُْم ْسل هم‬
“Rasulullah  mewajibkan Zakat Fitri dengan satu
sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang

(3)
HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, serta dihasankan oleh Al-Albani dalam
Shahih wa Dha'if Sunan Abu Dawud
(4)
Lihat Minhajul Muslim: 23 dan Majalis Syahr Ramadhan: 382

2
merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun
perempuan, anak kecil maupun dewasa”(5).
Catatan: Perkataan “anak kecil” dalam hadits tidak
termasuk janin yang belum dilahirkan, namun jika ada yang
membayarkan Zakat Fitri untuk janin yang belum lahir,
maka tidaklah mengapa karena dahulu Sahabat Utsman bin
‘Affan pernah mengeluarkan Zakat Fitri bagi janin dalam
kandungan.(6)

Zakat Fitri ini wajib ditunaikan oleh:


1-Setiap muslim, adapun orang kafir tidak wajib
menunaikannya.
2-Yang mampu mengeluarkan Zakat Fitri.
Adapun batasan mampu, menurut mayoritas Ulama,
jika mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang
waib ia beri nafkah pada malam dan siang hari ‘Iedul Fitri.
Nabi  bersabda:

‫َم ْن َسأ ََل َو هع ْن َدهُ َما يُ ْغنه هيه فَهإَّنَا يَ ْستَ ْكثه ُر هم َن النا هر » فَ َقالُوا ََي‬
‫ال « أَ ْن يَ ُكو َن لَهُ هشبَ ُع يَ ْوٍم َولَْي لَ ٍة أ َْو‬ ‫ول ه‬
َ َ‫للا َوَما يُ ْغنه هيه ق‬ َ ‫َر ُس‬
‫لَْي لَ ٍة َويَ ْوٍم‬
(5)
HR. An-Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al-Albani
(6)
Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381

3
“Barangsiapa meminta-minta, sedangkan dia memiliki
kecukupan, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan
bara api”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana
ukuran kecukupan?” Rasulullah bersabda, “Seukuran
makanan yang mengenyangkan sehari-semalam, atau
semalam sehari”.(7)
Sedangkan anak dan istri, maka menurut Imam
Nawawi, kepala keluarga wajib membayar Zakat Fitri
keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi’i, dan
mayoritas Ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan
Zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah
suami.(8).

Seseorang mulai terkena kewajiban membayar Zakat


Fitri pada saat terbenamnya matahari di malam Hari Raya
‘Iedul Fitri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib
baginya membayar Zakat Fitri, inilah pendapat Imam Syafi’i
dan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim: VII/58, dan
dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin.
Pendapat ini didasari karena Zakat ini disandarkan
kepada Fitri (berbuka dari puasa Ramadhan), sehingga
hukumnya juga disandarkan pada waktu Fitri tersebut.

(7)
HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Fiqh
Sunnah: II/80
(8)
Syarh Nawawi ‘ala Muslim: VII/59

4
Misalnya, jika seseorang meninggal satu menit
sebelum terbenamnya matahari pada malam Hari Raya,
maka Zakat Fitri tidak wajib dikeluarkan untuknya. Namun,
jika meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari
maka Zakat Fitri wajib dikeluarkan darinya. Begitu juga
apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari
maka tidak wajib dikeluarkan Zakat Fitri darinya, namun,
jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka
Zakat Fitri wajib untuk dikeluarkan darinya(9).

Benda yang dijadikan Zakat Fitri adalah makanan


pokok, baik kurma, gandum, beras, kismis, keju, dan
semisalnya dari berbagai macam makanan pokok(10). Inilah
pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun Nabi  mewajibkan Zakat Fitri dengan satu
sho’ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok
penduduk Madinah
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar
 di atas bahwa Zakat Fitri adalah seukuran satu sho’
kurma atau gandum. Satu sho’ dari semua jenis ini adalah
seukuran empat cakupan penuh dua telapak tangan orang
yang sedang perawakannya. Jika ditimbang, maka 1 sho' itu
mendekati ukuran 3 kg. Bila makanan pokok kita adalah
beras, maka ukuran Zakat Fitrinya sekitar 3 kg.(11)

(9)
Lihat Majalis Syahri Ramadhan, 385
(10)
Shahih Fiqh Sunnah, II/82
(11)
Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya V/92

5
Ada orang beralasan sibuk, dan tidak ingin repot,
bahkan menganggap bahwa uang lebih manfaat dari bahan
makanan, lalu membayar Zakat Fitri langsung dengan uang,
maka para Ulama kebanyakan melarang dengan beberapa
alasan, diantaranya:
1-Menyelisihi perintah Rasulullah , dan beliau tidak
pernah menyuruh Sahabatnya membayar Zakat dengan
uang, padahal saat itu sudah ada uang.
2-Menyelisihi amalan Sahabat  yang
menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum,
karena mengikuti petunjuk Rasulullah  yang mana beliau
pernah bersabda, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang
mendapat petunjuk”).
3-Zakat Fitri adalah suatu ibadah yang diwajibkan
mengeluarkan suatu jenis barang tertentu, tidak dapat
digantikan dengan selainnya, sebagaimana waktu
pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang
mengatakan bahwa menggunakan uang lebih bermanfaat,
maka Nabi  yang mensyari'atkan Zakat dengan makanan
tentu lebih sayang kepada orang miskin dan tentu lebih
mengetahui mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah
yang mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu
kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan miskin, tetapi
Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyari’atkan dengan
uang.

6
4-Membayar Zakat Fitri dengan barang seperti kurma,
gandum, dan semisalnya berupa bahan makanan pokok,
mengharuskan adanya syi'ar Islam yang terlihat setiap
tahunnya, orang berbondong-bondong membawa bahan
makanan tersebut untuk diserahkan kepada yang berhak.
Adapun Zakat dengan uang tidak akan terlihat syi'ar Islam
dengan sebab itu.
5-Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan
bahwa pendapat Abu Hanifah (yang membolehkan Zakat
Fitri dengan uang) ini tertolak. Karena “Tidaklah Rabbmu
itu lupa”. Seandainya Zakat Fitri dengan uang itu
dibolehkan tentu Allah dan Rasul-Nya akan
menjelaskannya. (12)

Terjadi silang pendapat siapakah yang berhak


menerima Zakat Fitri.
Para Ulama madzhab Malikiyah dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Zakat Fitri hanya
dikhususkan untuk orang miskin, bukan dibagikan
kepada 8 golongan penerima Zakat (yang terdapat dalam
surat At-Taubah: 60), pendapat ini didasari hadits Ibnu
Abbas , Rasulullah  mengatakan tentang Zakat
Fitri, “… untuk memberikan makan orang-orang miskin”(13)

(12)
Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 230-231
(13)
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, II/85

7
Adapun Jumhur (mayoritas) Ulama, mereka
berpendapat bahwa Zakat Fitri sama dengan Zakat Mal,
diberikan kepada 8 golongan yang disebutkan dalam surat
At-Taubah: 60, alasannya karena keumuman surat At-
Taubah: 60 yang di dalamnya Allah menyebut bahwa yang
berhak menerima Zakat adalah 8 golongan, dan Allah tidak
membedakan Zakat Mal atau Zakat Fitri. Adapun hadits
Nabi  yang menyebut bahwa Zakat Fitri untuk
memberikan makan orang-orang miskin, maka bukan
untuk pembatasan mereka saja, namun mereka adalah yang
lebih patut didahulukan karena lebih membutuhkan.

Waktu yang paling afdhal untuk membayar Zakat


Fitri, yaitu ketika fajar hari ‘Iedul Fitri terbit, dengan
kesepakatan empat madzhab.(14)
Adapun Zakat Fitri yang dibayarkan setelah shalat
‘Iedul Fitri, dianggap tidak bernilai sebagai Zakat Fitri,
sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas , Rasulullah 
bersabda:

ً‫ث َوطُ ْع َمة‬ ‫َزَكا َة ال هْفطْ هر طُ ْهرًة لهلصائههم همن الل ْغ هو والرفَ ه‬
َ ْ َ
‫ي َم ْن أَد َاها قَ ْب َل الص ََل هة فَ ه َي َزَكاةٌ َم ْقبُولَةٌ َوَم ْن‬
‫ساكه ه‬ ‫ه‬
َ ‫لل َْم‬
‫أَد َاها ب ْع َد الص ََل هة فَ ه ي ص َدقَةٌ همن الص َدقَ ه‬
‫ات‬ ْ َ َ َ
(14)
Lihat Taudhihul Ahkam: 3/76

8
“Zakat Fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa
dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai
makanan bagi orang-orang miskin, barangsiapa
menunaikannya sebelum shalat (‘Iedul Fithri), maka itu
adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa
menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka itu adalah satu
shadaqah dari shadaqah-shadaqah”(15).

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,


[lihat Taudhihul Ahkam: 3/76].
“Boleh dimajukan
setahun atau dua tahun”.
“Tidak boleh dimajukan
sama sekali”.
“Boleh
dimajukan sejak awal bulan Ramadhan”.
“Boleh
dimajukan sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul Fitri”.
Pendapat terakhir lah yang lebih kuat, karena sesuai
dengan perbuatan para Sahabat Nabi dan Rasulullah 
tidak mengingkarinya,

(15)
HR Abu Dawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, dan lain-lain

9
Nafi’ maula Ibnu Umar  berkata:

‫وَنَا‬
َ ُ‫ين يَ ْقبَ ل‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
َ ‫َكا َن ابْ ُن عُ َم َر َرض َي للاُ َع ْن ُه َما يُ ْعط َيها الذ‬
‫ي‬‫َوَكانُوا يُ ْعطُو َن قَ ْبل ال هْفطْ هر بهيَ ْوٍم أ َْو يَ ْوَم ْ ه‬
َ
“Ibnu ‘Umar biasa memberikan Zakat Fitri kepada
orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari
atau dua hari sebelum ‘Iedul Fitri”(16).

(16)
HR Bukhari no. 1511, Muslim no. 986

10
Syaikh Sa'id bin Wahaf al Qahthani v berkata :
‫ضافَ هة الش ْي هء إه ََل َسبَبه هه هْلَن‬ َ ‫ضافَةُ الزَكاةه إه ََل ال هْفطْ هر هم ْن إه‬َ ‫َوإه‬
ُ ‫ت إهل َْي هه له ُو ُج ْوهِبَا به هه فَ يُ َق‬
‫ال‬ ‫ضا َن سبب وجوهِبا فَأ ه‬
ْ ‫ُض ْي َف‬ ‫ه ه‬
َ ْ ُ ُ ُ َ َ َ ‫الْفط َْر م ْن َرَم‬
ْ : َ‫ فهط َْرةٌ هْلَن ال هْفط َْرة‬: ‫ َوقه ْي َل ََلَا‬.‫ َزَكاةُ ال هْفطْ هر‬:
ُ‫اْله ْل َقة‬
Penyandaran nama zakat kepada al Fithri adalah
penyandaran sesuatu kepada sebabnya, karena berbukanya
dari puasa Ramadhan adalah sebab diwajibkannya zakat
Fithri. Maka disandarkanlah kepadanya karena sebab
diwajibkannya. Sehingga dinamakan zakat al fithri, dan
disebut pula zakat fithrah yang berarti Khilqah artinya jiwa.
(karena ditunaikan berkaitan jiwa atau badan). (17)

berdasarkan
keumuman dalil zakat dalam al Quran, As Sunnah dan Ijma’
para ulama (18)

17 (lihat QS Ar Ruum : 30, pembahasan di kitab Az Zakah fil Islam, hal. 317)
18 (kitab Az Zakah Fil Islam, hal. 317-318)

11
(a) Islam (19)
(b) Mampu, yakni pada malam ied memiliki
kelebihan beras dari kebutuhan keluarganya sebanyak 1
sha’. (20)
(c) Mendapati waktu wajib yaitu tenggelamnya
matahri pada malam ied akhir Ramadhan. (21)

(a)-Membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-


siaan dan kemaksiatan yang merusak puasanya (22)
(b)-Sebagai makanan orang Miskin serta
mencukupkan mereka dari meminta minta di hari raya. (23)
(c)-Melapangkan seluruh kaum muslimin. (24)
(d)-Mendapatkan pahala yang besar bagi yang
menunaikannya sesuai tuntunan (dari waktunya, jenisnya
serta pembagiannya). (25)
(e)-Sebagai zakat badan dalam rangka bersyukur atas
umur panjang bisa hidup dalam tahun tersebut.

19 (HR Bukhari : 1503, dan Muslim : 984)


20 (As Syarhu al Mumti’ 6/153)
21 (HR Bukhari : 1503 dan Muslim : 984).
22 (HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827 dari Ibnu ‘Abbas.
Dihasankan oleh Syaikh al Albani)
23 (HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827 dari Ibnu ‘Abbas.
Dihasankan oleh Syaikh al Albani)
24 (HR Abu Dawud : 1609, Ibnu Majah : 1827)
25 (HR Abu Dawud : 1609, Ibnu Majah : 1827)

12
(f) Tanda syukur atas nikmat Allah kepada orang yang
berpuasa karena dapat menyempurnakan puasanya. (26)

adalah berupa makanan pokok


Negeri seperti beras, dan tidak terbatas dengan yang
disebutkan dalam hadits hadits seperti Kurma, gandum,
anggur kering dll. (27)

yang harus di keluarkan sebanyak


1 (satu) Sho’. (28)
Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud adalah
sepenuh dua telapak tangan biasa.

jika dijadikan ukuran berat dalam timbangan,


karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar
ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk
menakar berat dengan perkiraan dan perhitungan.

26 (Irsyad Ulil Bashaair wal Albab, hal. 134)


27
(HR Bukhari : 1510, dari Abu Sa’id)
28
(HR Bukhari : 1510, dari Abu Sa’id).
29 (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).
30 (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
31
(Syarhul Mumti’, 6/176).

13
Untuk kehati hatian maka mengeluarkan dengan
ukuran dan jika ada kelebihan pun maka sebagai
sedekah tambahan, wallahu a’lam.

dan yang sejenisnya, namun harus berupa


Tho’am (makanan pokok). Inilah pendapat mayoritas Para
Ulama kecuali Imam Abu Hanifah yang membolehkan zakat
Fitri dengan uang namun yang benar adalah pendapat
Jumhur Ulama.
v
‫ص ه‬
‫وص‬ ٌ ‫يمةُ هْلَنهُ عُ ُد‬
ُ ‫ول َع ْن ال َْم ْن‬
‫وََل ُُتْ هز ُ ه‬
َ ‫ئ الْق‬ َ
“Tidak sah zakat fitri dengan uang karena
menyimpang dari dalil dalil (yang menunjukan dengan
makanan) (32)

penunaian zakat fithri berupa


uang dengan syarat agar orang yang diwakili tersebut
membelikan beras sehingga mengeluarkannya kepada fakir
miskin tidak lagi berbentuk uang.

atas setiap
muslim, baik itu hamba sahaya atau yang merdeka, laki-laki
atau wanita anak kecil atau orang dewasa. (33)

32
(Al Mughni 4/295, lihat dalam Az Zakah Fil Islam, hal. 342-343)
33
(HR Bukhari : 1503, dan Muslim : dari Ibnu Umar)

14
seperti istri dan anak anaknya. (34)

yang masih dalam kandungan selama sudah


ditiupkan Ruh, yaitu minimal usia kandungan 4 bulan, dalil
atas hal ini adalah apa yang dilakukan oleh Utsman bin
‘Affan. (35)

untuk megeluarkan zakat Fithri maka dianjurkan untuk


membayar zakat dari hartanya masing masing, karena
kewajiban zakat diserukan juga terhadap mereka, namun
jika dibayarkan oleh orang yang menanggung nafkahnya
walaupun punya kemampuan maka di bolehkan (36)

dari mulai
tanggal 28 Ramadhan sampai pagi hari raya iedul Fithri
sebelum melakukan shalat ied.

34
(Hadits hasan riwayat Daraquthni no 2077,. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835)
35
(HR Ibnu Abi Syaibah 3/419)
36
(Al Muntaqa Lil Haditsi Fi Ramadhan, hal. 174)

15
Dengan demikian terbagi tiga waktu ;
WAJIB yaitu akhir Ramadhan
malam iedul fithri.
Maka barang siapa yang menikah, atau mendapatkan
kelahiran anak, atau memiliki budak, atau masuk islam
sebelum tenggelam matahri di akhir Ramadhan maka wajib
atasnya zakat fitri karena sudah masuk di waktu terkena
kewajiban untuk zakat. Namun kalau hal itu terjadi setelah
tenggelam matahri maka tidak wajib atasnya zakat fitri.
Demikian juga barang siapa yang meninggal dunia setelah
tenggelam matahari di akhir ramadhan (di malam ‘iedul
fitri) maka wajib atasnya zakat fitri. (37)
BOLEH sebagi keringanan yaitu
sehari atau dua hari sebelum ‘Ieddul Fithri (38)
UTAMA yaitu pagi hari sebelum
shalat ‘Ied, karena Nabi  memerintah untuk
mengeluarkan zakat fitri sebelum manusia menuju shalat
‘iedul fitri. (39)

jika
terlambat mengeluarkan zakat fitri setelah orang
menunaikan shalat ‘iedul fitri. (40)

37
(al Mughni 4/298)
38
(HR Bukhari : 1511; Muslim : 984, 986 dari Ibnu Umar)
39
(HR Bukhari : 1503, 1511, dan Muslim : 984 dari Ibnu Umar)
40
(HR Abu Dawud : 1609, dan Ibnu Majah : 1827)

16
dikalangan para
ulama tentang masalah AWAL waktu mengeluarkan zakat
fitrah, kepada 4 pendapat :

Boleh satu atau dua hari sebelum ‘Iedul fitri, dalam


riwayat Imam Malik dikitab al Muwatha disebutkan tiga
hari sebelum ‘Iedul Fitri. Pendapat ini yang ada landasan
dalilnya. Sebagaimana hadits Ibnu ‘Umar, “Mereka (para
Sahabat) mengeluarkan zakat fitri sehari atau dua hari
sebelum ‘Iedul Fitri” (41)
Dan ini sebuah isyarat kepada ijma’nya seluruh para
Sahabat (42)

Imam Ibnu Qudamah v berkata, “Sebagian ulama


kami (madzhab Hanbali) membolehkan mensegerakan
mengeluarkan zakat fitri dari pertengahan bulan
Ramadhan, sebagaimana bolehnya menyegarakan adzan
subuh, dan menyegerakan bertolak dari Muzdalifah (bagi
jamaah haji) setelah lewat tengah malam” (43)

41
(HR Bukhari : 1511, dan Muslim : 984).
42
(al Mughni 4/301).
43
(al Mughni 4/300).

17
“boleh mengeluarkan
zakat fitra di awal tahun (hijriyyah), karena zakat fitrah
adalah zakat, maka diserupakan dengan zakat mal (harta)”.
(44)

“Boleh zakat fitri dari sejak


awal bulan Ramadhan, karena sebab kewajiban zakat
adalah puasa romadhan dan ‘iedul fitri, maka apabila
didapati salah satu dari dua sebab tersebut maka boleh
disegerakan sebagaimana zakat harta setelah memiliki
nishab” (45)
Dalam hal ini pendapat yang kuat adalah pendapat
pertama berdasarkan dalil dari hadits Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, dan juga sebab kewajiban zakat fitri
adalah ‘Iedul Fitri dengan dasar disandarkannya nama
zakat kepadanya yaitu Fitri, dan juga karena ibadah itu
bersifat Tauqifiyyah (paten dengan dalil)” (46)

dengan syarat
agar orang yang diwakili tersebut mengeluarkannya pada
waktu waktu yang telah ditetapkan, baik waktu yang boleh
atau wakatu wajib atau waktu yang utama.

44
(al Mughni 4/300).
45
(al Mughni 4/300).
46
(al Mughni 4/300)

18
menurut pendapat yang kuat hanyalah golongan Fakir
Miskin saja tidak sebagaimana pada Zakat Maal
berdasarkan hadits Ibnu Abbas. (47)

dan
pembagiannya.
Hukum asalnya zakat fithri dikeluarkan dan dibagikan
kepada yang berhak menerima zakat ditempat MUZAKKI
(orang yang berzakat). (48)
Namun boleh dibagikan ke daerah lain apabila ada
hajat kebutuhan. (49)

47
(HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain).
48
(HR bukhari : 1395 dan Muslim : 19).
49
(Majmu’ Al Fatawa Bin Baaz, 14/213, 214, dan 215).

19
Ramadhan adalah bulan amal dan ibadah, lalu setelah
itu ada hari yang dinanti-nanti oleh umat Islam, hari
dimana setiap muslim yang telah berpuasa sebulan penuh
di bulan Ramadhan akan memperoleh salah satu dari dua
kebahagiaan yang telah dijanjikan oleh Allah, itulah hari
‘Iedul Fitri, Hari Raya, dan hari Berbuka.
Rasulullah  bersabda:

‫ َوإه َذا لَهق َي‬،‫هح بههفطْ هرهه‬ ‫ه‬ ‫ه ه‬


َ ‫ إه َذا أَفْطََر فَر‬:‫للصائ هم فَ ْر َحتَان يَ ْف َر ُح ُه َما‬
‫ص ْوهم هه‬
َ ‫هح به‬
َ ‫َربهُ فَر‬
“Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kebahagiaan:
apabila berbuka ia bahagia dengan berbukanya, dan apabila
berjumpa Tuhannya ia bahagia dengan (pahala)
puasanya”(51).
Namun kebahagiaan pada Hari Raya ini tidaklah
berarti jika diiringi dengan hal-hal yang tidak diridhai
Allah.
Dan supaya hari istimewa ini menjadi berkah, maka
kita harus perhatikan adab-adabnya sehingga kebahagiaan
tersebut akan berbuah pahala.

50
Dinukil dari buku Fiqih Ramadhan, hal 76
(51)
Muttafaqun ‘alihi

20
Hari Raya dalam bahasa Arab disebut ‘ied (‫ )ال ِعيْد‬yaitu
hari perkumpulan (manusia). Kata ‘ied (‫ )ال ِعيْد‬berasal dari
kata ‘aada – ya’udu (‫ )عَا َد – َيعود‬yang berarti kembali, karena
seolah-olah mereka kembali (berkumpul) lagi.
Ada yang berpendapat kata ‘ied (‫ )ال ِعيْد‬berasal dari
kata ‘aadah (‫ )ال َعا َدة‬yang bermakna kebiasaan, karena
mereka menjadikannya (yakni perkumpulan tersebut)
sebagai kebiasaan (setiap tahunnya), dan bentuk jamak
kata ‘ied (‫ )ال ِعيْد‬adalah a’yaad (‫)األ َ ْعيَاد‬.
Ibnul A’rabi  berkata, “Hari Raya dinamai dengan
‘Ied karena ia selalu datang kembali setiap tahunnya
dengan membawa kebahagiaan yang baru”(52).
Sedangkan menurut istilah, ‘ied (‫ )ال ِعيْد‬yang bentuk
jamaknya a’yaad (‫ )األ َ ْعيَاد‬adalah hari perayaan
(perkumpulan) karena suatu peringatan yang
membahagiakan, atau mengembalikan perayaan
(pertemuan) dengan suatu peringatan yang
membahagiakan. Salah satu dari dua Hari Raya itu ialah
Hari Raya Berbuka (‘Iedul Fitri), sedang satunya lagi ialah
Hari Raya Berkurban (‘Iedul Adha)(53).

(52)
Lisanul ‘Arab [13/317-319] dan Al-Qamushul Muhith [hal. 386]
(53)
Lihat Mu’jam Lughatul Fuqaha, Dr. Muhammad Rawwas (hal. 294)

21
Hari Raya dalam Islam tidak sekedar untuk
menunjukkan kebahagiaan, seorang muslim harus selalu
berada dalam keta'atan, yang berarti pahala selalu
mengiringinya dalam setiap waktu dan keadaan.
Pada ‘Iedul Fitri terdapat syari'at-syari'at berikut:
, yaitu berupa satu sho’ makanan
pokok yang dikeluarkan oleh setiap jiwa muslim dan
muslimah.
, yaitu shalat dua rakaat yang
dikerjakan di pagi hari di tempat terbuka setelah matahari
naik setinggi tombak di ufuk timur, disusul dengan khutbah
oleh imam yang berisi peringatan dan nasehat.

22
Para Ulama berbeda pendapat terkait hukum shalat
‘Ied, baik ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul Adha, perinciannya
sebagai berikut:
dalam pendapat terkuatnya
mengatakan Fardhu Kifayah, yaitu bila ditegakkan oleh
sejumlah orang yang mencukupi di suatu negeri maka
gugur (kewajibannya) atas sebagian yang lain.

dalam salah satu pendapatnya mengatakan Fardhu


‘Ain, yakni diwajibkan atas setiap muslim yang mukallaf
(baligh dan berakal).

mengatakan Sunnah Muakkadah, tidak wajib.


Pendapat ini berdalil dengan hadits Nabi  ketika
kewajiban shalat lima waktu, lalu tatkala ditanya, “Apakah
ada kewajiban (shalat) yang lain selain itu?” Rasulullah
menjawab, “Tidak ada, kecuali bila kamu ingin
melaksanakan shalat sunnah”(54).
Namun pendapat yang terkuat dan terdekat kepada
kebenaran -Wallahu A’lam- ialah hukum shalat ‘Ied itu
Fardhu ‘Ain kecuali bagi yang memiliki udzur, pendapat ini
dikuatkan beberapa hal, diantaranya:
1. Allah  memerintahkan shalat ‘Ied, dan hukum
asal perintah adalah wajib:

(54)
HR Bukhari 2678, dan Muslim 11

23
َ ‫ص هل لهَربه‬
…‫ك َو ْاْنَ ْر‬ َ َ‫… ف‬
“... Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah ...”(55).
Dalam tafsiran yang masyhur disebutkan bahwa yang
dimaksud dalam ayat ini adalah shalat ‘Ied(56).
2. Ummu ‘Athiyyah  mengatakan:

‫هج هف‬ ‫ه‬


َ ‫صلى للاُ َعلَْيه َو َسل َم أَ ْن ُُنْر‬ َ ‫أ ََم َرَن تَ ْع هن النهب‬
َ ‫ َوأ ََم َر ا ْْلُي‬،‫اْلُ ُدوهر‬ ‫ و َذو ه‬،‫ الْعواته َق‬:‫ال هْعي َديْ هن‬
َ ‫ض أَ ْن يَ ْعتَ هزل‬
‫ْن‬ ْ ‫ات‬ َ َ ََ
‫ه‬
َ ‫صلى ال ُْم ْسل هم‬
.‫ي‬ َ ‫ُم‬
“Beliau, (yakni Nabi ), menyuruh kami pada saat
dua Hari Raya, untuk mengeluarkan para gadis dan
perawan-perawan pingitan, dan beliau menyuruh para
wanita yang sedang haidh agar keluar, namun menjauh dari
barisan shalat kaum muslimin”(57).
3. Seandainya shalat ‘Ied itu bukan Fardhu ‘Ain tentu
Rasulullah  tidak akan menyuruh para wanita untuk
keluar shalat ‘Ied, karena wanita tidak di-fardhu-kan untuk
berjama’ah menurut asal hukumnya, bahkan dalam
sebagian riwayat menyebutkan tentang seorang wanita
yang tidak punya jilbab yang kemudian Rasulullah 
menyuruh wanita lain untuk meminjamkannya jilbab agar
ia dapat menghadiri shalat ‘Ied.

(55)
QS Al-Kautsar/108: 2
(56)
Lihat Al-Mughni: 3/253
(57)
HR Bukhari 974, dan Muslim 890

24
4. Sejak disyari’atkan shalat ‘Ied pada tahun kedua
hijriah, Rasulullah  selalu mengerjakannya dan tidak
pernah meninggalkannya hingga beliau wafat.
Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan
muridnya, Ibnul Qayyim, serta dari kalangan Ulama masa
kini adalah Ibnu As-Sa’di, Ibnu Baz, Al-Albani, dan Ibnu
‘Utsaimin Rahimahumullah.

Nabi  mencontohkan kepada kita adab-adab di Hari


Raya, baik terkait degan shalat ‘Ied maupun lainnya,
berikut ini penjelasannya:
dengan cara seperti mandi
junub, berdasarkan hadits Ibnu Umar dan Ali , dan
inilah yang dilakukan oleh generasi Tabi'in, serta setelah
mereka, termasuk Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i
.(58)

(bagi laki-laki), dan


bersiwak, sebagaimana disyari’atkan pada hari Jum’at,
berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas yang di dalamnya
terdapat ucapan Nabi :

(58)
Lihat Al-Mughni: 3/256

25
‫لسو ه‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
‫اك‬ ٌ ‫َوإه ْن َكا َن ط‬
َ ‫يب فَ لْيَ َمس م ْنهُ َو َعلَْي ُك ْم هِب‬
“Dan jika ada minyak wangi maka sentuhkanlah
darinya (pada pakaian dan badan). Serta hendaknya kamu
bersiwak”(59).
yang dipunyai,
berdasarkan hadits Shahih Bukhari no. 948 dan Muslim no.
2068.

sebelum berangkat menuju shalat ‘Iedul


Fitri. Sedangkan pada Hari Raya ‘Iedul Adha dianjurkan
untuk tidak makan kecuali setelah usai shalat ‘Iedul Adha
agar dia bisa memakan dari daging hewan kurbannya, hal
itu didasari hadits Anas bin Malik(60).
-jika memungkinkan- menuju
lapangan shalat ‘Ied dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Hal ini berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu
Umar, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Rafi’ .(61).

kecuali jika ada udzur atau halangan


maka boleh dikerjakan di masjid. Hal ini berdasarkan
hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri .(62)

(59)
HR. Ibnu Majah: 1098, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu
Majah: 1/326
(60)
HR Bukhari: 953
(61)
Lihat Irwaul Ghalil: 3/103
(62)
Bukhari: 956, dan Muslim: 889

26
setelah shalat ‘Ied
dengan melalui jalan yang berbeda -jika memungkinkan-
berdasarkan hadits dari Jabir . (HR Bukhari: 986).

datang ke lapangan shalat ‘Ied -beberapa saat- selepas


shalat Subuh, sedangkan imam dianjurkan untuk datang
belakangan sampai tiba waktunya shalat ‘Ied. Hal ini
berdasarkan apa yang dipahami dari hadits Abu Sa’id Al-
Khudri  di atas.
sejak keluar rumah menuju tempat
shalat ‘Ied hingga shalat ‘Ied dilaksanakan. Hal itu
berdasarkan Firman Allah :
ُ َّ َ َ َ ْ ُ َ َ َ َ َ
ْ‫ك ْم‬ ْ ُ ‫َ ُ ْ ُ ْ ْ َّ َ َ ُ َ ر‬
‫َع ما هداك ْم ولعل‬
ْ ‫وا اهلل‬ْ ‫و تِلك تمل ْوا ال تعد ْة و تِلكِّب‬
َ ُ ُ َْ
‫ون‬
ْ ‫تشكر‬
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu (bertakbir) mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185).
Dan berdasarkan perbuatan Nabi  ketika beliau
keluar menuju tempat shalat ‘Ied(63).
Dengan ayat di atas sebagian ulama berdalil tentang
dimulainya takbir secara mutlak dari sejak malam hari
‘Iedul Fitri yaitu setelah ditetapkan bahwa besok adalah
hari ‘Ied, baik dengan terlihatnya hilal awal Syawwal atau
(63)
Lihat Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani: no. 170

27
dengan disempurnakannya bilangan Ramadhan menjadi 30
hari.
Adapun kalimat-kalimat takbir maka terdapat
beberapa atsar dari sahabat, diantaranya:

• Dari Ibnu Mas’ud :

،ُ‫ َوللاُ أَ ْك ََب‬، ُ‫ ََل إهلَ َه إهَل للا‬،ُ‫ للاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫ للاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫للاُ أَ ْك ََب‬
‫ و ه‬،‫للا أَ ْكَب‬
. ‫لل ا ْْلَ ْم ُد‬ َ َُ ُ
Ini juga yang teriwayatkan dari Umar dan Ali .
• Dalam salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud :

،ُ‫ َوللاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫ ََل إهلَ َه إهَل للا‬،ُ‫ للاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫ للاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫للاُ أَ ْك ََب‬
‫وه‬
.‫لل ا ْْلَ ْم ُد‬ َ
• Dari Ibnu ‘Abbas :
‫ه‬
َ ‫ للاُ أَ ْك ََبُ َوأ‬،‫ َولل ا ْْلَ ْم ُد‬،ُ‫ للاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫ للاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫للاُ أَ ْك ََب‬
،‫َج ُّل‬
‫للاُ أَ ْك ََبُ َعلَى َما َه َد َان‬
• Dari Salman :

.ً‫ للاُ أَ ْك ََبُ َكبهريا‬،ُ‫ للاُ أَ ْك ََب‬،ُ‫للاُ أَ ْك ََب‬


10. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat ‘Ied.
Hal itu berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas .(64).

(64)
HR Bukhari: 989, dan Muslim: 884

28
untuk shalat
‘Ied, hal ini berdasarkan pada hadits Jabir bin Samurah
.(65)
bagi anak-anak
perempuan dan permainan lain yang dibolehkan pada hari
‘Ied, hal itu berdasarkan pada hadits ‘Aisyah .(66)
dengan
saudaranya, dengan mengucap:
(‫للاهََمِ نَّاََ َومِ ْنكَم‬ ََ َّ‫“ )تَقَب‬Semoga Allah menerima -ibadah-
َ ََ‫ل‬
kami dan Anda.”
Sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat
 seperti diceritakan oleh Jubair bin Nufair(67).
berjama’ah,
hendaknya meng-qadha’-nya, dengan cara yang sama
sebanyak dua rakaat, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
(HR Bukhari: 987).

Pada raka’at pertama, setelah bertakbir tujuh kali,


membaca isti’adzah lalu membaca surat Al-Fatihah,
kemudian membaca surat Qaaf. Dan di raka’at kedua,
setelah bertakbir lima kali, membaca isti’adzah lalu
membaca surat al-Fatihah, lalu membaca surat Al-Qamar.

(65)
HR Muslim: 887
(66)
HR Bukhari: 949 & 952, dan Muslim: 892
(67)
Lihat Fathul Bari [2/446] oleh Al-‘Asqalani

29
Atau pada raka’at pertama membaca surat Al-A’la (setelah
Al-Fatihah) dan pada raka’aat kedua membaca surat Al-
Ghasyiyah (setelah Al-Fatihah). Namun dibolehkan
membaca surat-surat lainnya setelah Al-Fatihah apa yang
mudah bagi seorang imam berdasarkan keumuman Firman
Allah :
ُ ْ َ َ َّ َ َ َ ُ َ ْ َ
ْ‫تن الق ْر ت‬
… ‫آن‬ ْ ‫ّس م‬
ْ ‫… فاقرءوْا ما تي‬
“… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-
Qur’an ...”(68).
Setelah imam salam dan shalat berakhir, maka ia
berdiri berkhutbah di hadapan manusia guna
menyampaikan nasehat dan mau’izhah (peringatan) yang
sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka. Setelah
memulai dengan memuji Allah  (bertahmid), imam
mengingatkan mereka dengan ketakwaan dan ketaatan
kepada Allah , mengajak mereka bersyukur atas segala
kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada mereka,
mengajak bersedekah dan ber-infaq di jalan Allah, atau
nasehat-nasehat lain yang bermanfaat.
Bagi para makmum, maka dianjurkan menyimak
khutbah sampai selesai, namun mereka boleh
meninggalkan tempat shalatnya jika ada kebutuhan, karena
Nabi  tidak mewajibkannya berdasarkan hadits dari
Abdullah bin As-Saib .(69)

(68)
QS Al-Muzzammil/73: 20
(69)
HR Abu Dawud: 1155, Nasa’i: 1570, dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Shahih An-Nasa’i: 1/510

30
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat
Jum'at bagi orang yang telah menunaikan shalat Hari Raya,
jika Hari Raya bertepatan hari Jum'at. Berikut
perinciannya:
Pendapat Pertama: Shalat jum'at tetap wajib bagi
siapa saja baik yang telah melaksanakan shalat Hari Raya
atau yang tidak melaksanakan shalat Hari Raya. Ini adalah
pendapat Imam Malik dan lainnya(70).
Dalil pendapat ini:

ُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
1. Keumuman Firman Allah:
َ ُ ُْ ْ َ َّ
ْ‫تينْآمنوْاْإتذاْنودتيْل تلصال ْة تْمتنْيو تْمْاْلمع تْة‬
ْ ‫ياْأيهاْاَّل‬
َ َْْ ُ َ َ ْ َ َْ ْ َ
… ‫لْذتك تْرْاهللتْْوذروْاْاْلي ْع‬ ْ ‫فاسعوْاْإ ت‬
''Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru untuk
shalat Jum'at maka bergegaslah mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual-beli ...” (QS Al-Jumu'ah: 9).
2. Keumuman sabda Rasulullah:

‫ب َعلَى ُك هل ُم ْسله ٍم‬ ‫ه‬


ٌ ‫ا ْْلُ ُم َعةُ َواج‬
''Shalat Jum'at itu wajib bagi setiap muslim”(71)

(70)
Lihat Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' al-Jumu'ah ma'al Id, Adil bin Ibrahim
Al-Marsyud: Hlm. 6
(71)
HR Abu Dawud: 1067

31
Keterangan: Ayat dan hadits di atas menunjukkan
kewajiban shalat Jum’at tidak gugur dengan adanya shalat
Hari Raya. Adapun orang-orang yang gugur kewajiban
shalat Jum'atnya adalah orang-orang yang tidak
berkewajiban shalat Jum'at yaitu para penduduk pelosok-
pelosok yang telah menghadiri shalat ‘Ied(72).
Pendapat kedua: Shalat Jum'at gugur kewajibannya
bagi orang-orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya
yaitu ketika mereka shalat Hari Raya dengan meninggalkan
kampung-kampung mereka menuju tempat shalat Hari
Raya. Pendapat ini diriwayatkan dari Utsman bin Affan,
bahwa beliau pernah shalat Hari Raya, lalu memberi
keringanan untuk penduduk desa dalam shalat Jum'at, dan
pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi'i(73)
Dalil pendapat ini:
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Ubaid maula Ibnu Azhar, beliau berkata:

‫ك يَ ْوَم ا ْْلُ ُم َع هة‬ َ ‫ت ال هْعي َد َم َع عُثْ َما َن بْ هن َعفا َن فَ َكا َن ذَله‬


ُ ‫َش ه ْد‬
‫اس إهن َه َذا‬ ‫فَصلى قَ بل ْ ه‬
ُ ‫ال ََي أَيُّ َها الن‬ َ ‫ب فَ َق‬
َ َ‫اْلُطْبَة ُث َخط‬ َْ َ
‫َحب أَ ْن يَ ْن تَ هظ َر‬ ‫هه ه ه‬ ‫ه‬
َ ‫اجتَ َم َع لَ ُك ْم فيه عي َدان فَ َم ْن أ‬ْ ‫يَ ْوٌم قَد‬

(72)
Lihat Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' Al-Jumu'ah ma'al ‘Ied: Hlm. 9
(73)
Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' Al-Jumu'ah ma'al ‘Ied: Hlm. 6

32
‫َحب أَ ْن يَ ْرهج َع فَ َق ْد‬ ‫ه‬ ‫ه‬
َ ‫ا ْْلُ ُم َعةَ م ْن أ َْه هل ال َْع َو هال فَ لْيَ ْن تَظ ْر َوَم ْن أ‬
ُ‫ت لَه‬ُ ْ‫أ هَذن‬
“Aku shalat Hari Raya bersama Utsman bin Affan pada
hari Jum'at, lalu beliau shalat kemudian berkhutbah, dan
beliau berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
hari ini telah berkumpul dua Hari Raya kalian. Maka
barangsiapa dari penduduk ‘Awali ingin menunggu shalat
Jum'at, silahkan menunggu. Tetapi barangsiapa ingin
pulang, maka aku telah mengizinkannya’”(74).
Keterangan: Hadits di atas menunjukkan bahwa
Utsman bin Affan hanya mengizinkan para penduduk
‘Awali untuk meninggalkan shalat Jum'at, karena mereka
tidak berkewajiban shalat Jum'at sebab jauhnya jarak
tempat tinggal mereka dengan tempat shalat Jum'at, dan
‘Awali adalah kampung-kampung di pinggiran kota
Madinah sebelah timur, yang paling dekat jaraknya 4 atau 3
mil, dan yang paling jauh jaraknya 8 mil(75).
Pendapat ketiga: Shalat Jum'at gugur kewajibannya
bagi siapa saja yang telah melaksanakan shalat Hari Raya,
tapi imam tetap mengadakan shalat Jum'at supaya orang
yang ingin shalat Jum'at bisa melaksanakan shalat Jum'at

(74)
HR Bukhari: 5572
(75)
Lihat Umdatul Qari' Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Badruddin Al-'Aini:
31/129

33
bersamanya. Ini adalah pendapat para Ulama madzhab
Hanbali.(76)
Dalil pendapat ini:
Sebagaimana Nabi  bersabda:

‫َج َزأَهُ هم َن ا ْْلُ ْم َع هة‬


ْ ‫اء أ‬
‫ان ه ه‬
َ ‫ فَ َم ْن َش‬. ‫ف يَ ْوم ُك ْم َه َذا‬
‫ْ ه ه‬
ْ ‫اجتَ َم َع ع ْي َد‬
‫ه‬
َ ‫ َوإهن ُُمَم ُع ْو َن إه ْن َش‬.
ُ‫اء للا‬
“Telah berkumpul pada hari kalian ini dua Hari Raya
(hari ‘Ied dan Jum'at), maka barangsiapa ingin
(meninggalkan shalat Jum'at) maka (shalat ‘Ied) itu
mencukupi shalat Jum'atnya, tetapi kami tetap mendirikan
shalat Jum'at”(77).
Pendapat keempat: mengatakan bahwa orang yang
telah melaksanakan shalat Hari Raya, gugur atasnya
kewajiban shalat Jum'at dan shalat Dzuhur. Ini adalah
pendapat yang disandarkan kepada Ibnu Zubair, dan Ibnu
Abbas, serta diikuti oleh As-Syaukani.(78)
Dalil pendapat ini, adalah hadits dari Atha' beliau
berkata:

(76)
Lihat Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' Al-Jumu'ah ma'al ‘Ied, Hlm. 14-16
(77)
HR Ibnu Majah: 1311 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 984, dan HR Ibnu Majah dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Sunan Ibnu Majah: 1311
(78)
Lihat Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab: 4/492, Nailul Authar: 3/283

34
:‫ال‬ ُّ ‫ َويَ ْو ُم فهطْ ٍر َعلَى َع ْه هد ابْ هن‬،‫اجتَ َم َع يَ ْو ُم ُُجَُع ٍة‬
َ ‫ فَ َق‬،‫الزبَ ْهري‬ ْ
‫صَل ُُهَا‬ ‫ فَجم َع ُهما َه‬،»‫اح ٍد‬ ‫ان اجتمعا هف ي وٍم و ه‬ ‫ه ه‬
َ َ‫ُج ًيعا ف‬ َ ََ َ ْ َ َ َ َ ْ ‫«عي َد‬
‫ص َر‬
ْ ‫صلى ال َْع‬ َ ‫ َلْ يَ هز ْد َعلَْيه َما َحّت‬،‫ي بُ ْك َرًة‬ ‫رْك َعتَ ْ ه‬
َ
“Telah berkumpul pada masa Ibnu Zubair hari Jum'at
dan Hari Raya, lalu beliau berkata, ‘Ini adalah dua Hari Raya
berkumpul dalam satu hari.’ Kemudian beliau
mengumpulkan keduanya dalam (satu shalat), beliau shalat
dua rakaat di pagi hari, dan beliau tidak shalat lagi sehingga
shalat Ashar”.(79)

Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah


Pendapat ketiga, yaitu shalat Jum'at gugur kewajibannya
bagi siapa saja yang telah melaksanakan shalat Hari Raya,
akan tetapi hendaknya sang imam tetap mengadakan shalat
Jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa perkara,
diantaranya:
1. Al-Albani berkata (dalam Al-Ajwibah An-Nafi'ah,
Hlm. 49): “Sabda Rasulullah, ‘Barangsiapa hendak
melaksanakan shalat Jum'at, maka silahkan,’ ini
menunjukkan bahwa shalat Jum'at (bertepatan dengan Hari
Raya) adalah keringanan bagi semua manusia setelah
melaksanakan shalat Hari Raya. Jika semuanya

(79)
HR Abu Dawud: 1072 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 983

35
meninggalkannya berarti mereka menggunakan rukhshah /
keringanan, tapi jika sebagian mereka melaksanakan
(shalat Jum'at) maka mereka mendapatkan pahala,
meskipun tidak wajib atas mereka, tidak dibedakan antara
imam dan selain imam.”
Beliau juga berkata (dalam Al-Ajwibah An-Nafi'ah
Hlm. 50): “(ketika bertepatan Hari Raya dengan hari
Jum'at) Ibnu Zubair pernah meninggalkan (shalat Jum'at)
pada masa kepemimpinannya, tidak ada satu pun yang
mengingkarinya”(80)
2. Jika Hari Raya bertepatan dengan hari Jum'at,
maka telah berkumpul dua Hari Raya dalam satu hari,
sehingga salah satu shalat hari itu dapat menggantikan
yang lainnya, apalagi kedua shalat tersebut memiliki
kesamaan jumlah raka'at dan kesamaan adanya khutbah di
dalamnya.(81)
3. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat Hari
Raya, maka dia berkewajiban shalat Jum'at, agar tidak
terlewatkan baginya salah satu dari dua kewajiban(82)
4. Syaikhul Islam berkata: “Pendapat yang paling kuat
(jika bertepatan Hari Raya dengan hari Jum'at) adalah: bagi
orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya maka
gugur kewajibannya untuk menghadiri shalat Jum'at, (hal
itu karena) telah terkumpul dua ibadah yang sejenis (dalam
satu waktu) sehingga satu sama lainnya saling mewakili,

(80)
Lihat Ijtima' Al-‘Ied wal Jumu'ah, karya Sa'dud Din bin Muhammad Al-
Kabbi: Hlm. 4
(81)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram, karya Al-Bassam: 2/343
(82)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram: 2/344

36
dan jika keduanya tetap diwajibkan tentu akan membuat
manusia merasa sempit dalam menjalani Hari Raya mereka,
padahal di dalam (Hari Raya) itu dianjurkan bersenang-
senang, dan bersuka-cita, maka dari itu shalat Jum'at tidak
diwajibkan”.(83)
5. Adapun pendapat Imam Malik, yang mengatakan
bahwa orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya
tetap wajib shalat Jum'at, maka pendapat ini lemah sebab
dalil-dalil yang diangkat adalah dalil umum tentang
kewajiban shalat Jum'at, dan keumuman itu dikhususkan
oleh riwayat-riwayat yang sangat gamblang tentang
keringanan shalat Jum'at, khusus ketika Hari Raya itu jatuh
pada hari Jum'at saja.”(84)
6. Adapun pendapat Imam Syafi'i, yang mengatakan
bahwa shalat Jum'at gugur kewajibannya bagi orang yang
telah melaksanakan shalat Hari Raya jika mereka
melakukan hal itu dengan meninggalkan kampung-
kampung mereka menuju tempat shalat Hari Raya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Utsman bin Affan, bahwa
beliau pernah shalat Hari Raya, lalu memberi keringanan
penduduk desa untuk meninggalkan shalat Jum'at.
Maka jawabannya, pendalilan Imam Syafi'i dengan
perkataan Utsman bin Affan tidak dapat mengalahkan
perkataan yang lebih tinggi dan lebih kuat yaitu perkataan
Rasulullah yang telah memberikan keringanan kepada

(83)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram: 2/344
(84)
Lihat Ijtima' Al-Ied wal Jumu'ah, karya Sa'dud Din bin Muhammad Al-
Kabbi: Hlm. 6

37
setiap orang yang hadir shalat Hari Raya secara umum,
tidak khusus bagi penduduk ‘Awali saja. Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa berkehendak shalat Jum'at, maka
silahkan”. Sebagaimana juga (perkataan Utsman) itu
bertentangan dengan perbuatan Ibnu Zubair yang pernah
meninggalkan shalat Jum’at dan beliau (Ibnu Zubair -ed)
adalah dari kalangan Ulama para Sahabat Nabi, sedangkan
tidak ada satupun yang mengingkarinya, bahkan Ibnu
Abbas menyetujui Ibnu Zubair dengan mengatakan, “Dia
telah sesuai sunnah”.(85)

Lajnah Da'imah telah mengeluarkan fatwa resmi (no.


2358) berkaitan dengan pertanyaan hukum shalat Jum'at
ketika bertepatan dengan Hari Raya:
“Barangsiapa telah melaksanakan shalat ‘Ied pada
hari Jum’at, maka boleh baginya tidak menghadiri shalat
Jum’at, kecuali sang imam. Dia (imam-ed) tetap wajib
mengadakan shalat Jum’at bersama orang-orang yang
menghadirinya, baik mereka yang telah melaksanakan
shalat ‘Ied atau yang tidak melaksanakan shalat ‘Ied. Akan
tetapi jika tidak ada satu pun yang hadir (untuk shalat
Jum’at), maka gugur kewajiban mendirikan shalat Jum'at
bagi (sang imam) dan dia harus shalat Dzuhur. Mereka
(para Ulama) berdalil dengan hadits riwayat Abu Dawud
dari Iyas bin Abi Ramlah As-Syami, beliau berkata, “Aku

(85)
Lihat Ijtima' Al-‘Ied wal Jumu'ah: Hlm. 6

38
melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada
Zaid bin Abi Arqam, beliau berkata:
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ت مع رس ه ه‬
ْ ‫صلى للاُ َعلَْيه َو َسل َم عي َديْ هن‬
‫اجتَ َم َعا‬ َ ‫ول للا‬ ُ َ َ َ َ ‫أَ َش ه ْد‬
،‫صلى ال هْعي َد‬ َ :‫ال‬ َ َ‫صنَ َع؟ ق‬
َ ‫ف‬ َ ‫ فَ َك ْي‬:‫ال‬ َ َ‫هف يَ ْوٍم؟ ق‬
َ َ‫ ق‬،‫ نَ َع ْم‬:‫ال‬
‫ «من َشاء أَ ْن ي ه‬:‫ال‬ ‫ه‬
»‫ص هل‬ َ ُ‫ فَ لْي‬،‫صل َي‬َ ُ َ ْ َ َ ‫ فَ َق‬،‫ص هف ا ْْلُ ُم َعة‬ َ ‫ُث َرخ‬
‘Apakah kamu pernah menyaksikan dua Hari Raya
(hari ‘Ied dan hari Jum'at) pada zaman Rasulullah?’ Dia
menjawab, ‘Ya (pernah).’ Dia bertanya, ‘Apa yang beliau
lakukan?’. Beliau menjawab, ‘(Nabi) melaksanakan shalat
‘Ied, kemudian memberi keringanan untuk (shalat) Jum'at,
barangsiapa ingin melaksanakan shalat (Jum'at) maka
hendaklah shalat (Jum'at)”.(86)
Demikian juga dalam riwayat Abu Dawud, dari Abu
Hurairah dari Rasulullah, beliau bersabda:

‫َج َزأَهُ هم َن‬ ‫ه ه‬ ‫ه‬


َ ‫ فَ َم ْن َش‬،‫اجتَ َم َع هف يَ ْوم ُك ْم َه َذا عي َدان‬
ْ ‫اء أ‬
‫ه‬
ْ ‫«قَد‬
»‫ َوإهن ُُمَ هم ُعو َن‬،‫ا ْْلُ ُم َع هة‬
“Telah berkumpul pada hari kalian ini dua Hari Raya,
barangsiapa yang mau (meninggalkan shalat Jum'at) maka

(86)
HR Abu Dawud: 1072, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 981

39
(shalat ‘Ied) itu mencukupi shalat Jum'at, tetapi kami tetap
mendirikan shalat Jum'at”.(87)
(hadits-hadits) ini menunjukkan keringanan (untuk
tidak menghadiri shalat Jum'at) bagi yang telah
melaksanakan shalat ‘Ied pada hari itu, sekaligus diketahui
bahwa sang imam tidak mendapat keringanan karena
sabdanya: “... tetapi kami tetap mendirikan shalat Jum'at”.
Demikian juga apa yang diriwayatkan dari Nu'man bin
Basyir bahwa: “Rasulullah membaca dalam shalat Jum'at,
‘Sabbihis dan Al-Ghasyiyah’, serta terkadang terkumpul dua
Hari Raya itu pada satu hari, maka beliau membaca
keduanya pada kedua (shalat ‘Ied dan shalat Jum'at) itu”(88).

Ibnu Abdil Barr berkata, “Adapun pendapat yang


mengatakan gugurnya shalat Jum'at karena sebab
melaksanakan shalat Hari Raya, sehingga gugur pula shalat
Dzuhur dan shalat Jum'at, maka ini adalah pendapat yang
nyata rusaknya, nyata kesalahannya, serta harus diabaikan
dan ditinggalkan, tidak boleh digubris …”.(89)
As-Shan'ani berkata, “Tidak benar pendapat yang
mengatakan gugurnya shalat Dzuhur, karena (perbuatan
Ibnu Zubair) itu mengandung kemungkinan beliau shalat

(87)
HR Ibnu Majah: 1311, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 984
(88)
HR Ibnu Majah: 1311, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-
Jami': 4365
(89)
At-Tamhid: 10/274

40
Dzuhur di rumahnya, bahkan dalam perkataan Atha' (ada
isyarat) bahwa mereka shalat Dzuhur sendiri-sendiri, ini
mengisyaratkan bahwa tidak ada yang berpendapat bahwa
(shalat Dzuhur) itu gugur”.(90)
Berkata Syaikh bin Baz tentang pendapat-pendapat
syadz (aneh/nyeleneh):
“Diantara pendapat (nyeleneh) yang dinisbatkan
kepada kalian adalah: pendapat gugurnya shalat Jum'at dan
shalat Dzuhur bagi orang yang telah melaksanakan shalat
Hari Raya jika bertepatan pada hari Jum'at, ini adalah
kesalahan yang nyata karena Allah mewajibkan kepada
para hamba-Nya 5 (lima) kali shalat dalam sehari semalam,
dan para Ulama sepakat akan hal ini, sedangkan yang
kelima pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at itu sendiri.
Jika Hari Raya bertepatan dengan hari Jum'at, maka
masuk dalam bab ini, seandainya shalat Dzuhur itu gugur
bagi orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya,
niscaya Nabi akan mengingatkan hal ini karena ini adalah
perkara yang samar atas segenap manusia. Dan tatkala
beliau memberi keringanan shalat Jum'at bagi yang telah
menghadiri shalat Hari Raya, tapi beliau tidak
menyebutkan gugurnya shalat Dzuhur, maka dari situ
diketahui bahwa (shalat Dzuhur) tetap (wajib).
(kewajiban shalat Dzuhur) ini merupakan
pengamalan kaedah asal dalam dalil-dalil syar'i, serta
adanya kesepakatan Ulama akan kewajiban shalat 5 (lima)
waktu dalam sehari semalam. Nabi juga mendirikan shalat

(90)
Subul As-Salam: 2/107

41
Jum'at saat Hari Raya sebagaimana dalam hadits-hadits
yang telah datang dalam perkara ini, diantaranya apa yang
dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, dari Nu'man
bahwa: “Rasulullah membaca dalam shalat Jum'at ‘Sabbihis
dan Al-Ghasyiyah’, dan terkadang terkumpul dua Hari Raya
itu pada satu hari, maka beliau membaca keduanya pada
kedua (shalat ‘Ied dan shalat Jum'at) itu”.(91)
Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair
bahwasanya beliau shalat Hari Raya, dan setelah itu tidak
lagi keluar bersama manusia untuk shalat Jum'at dan
Dhuhur, maka ini mengandung beberapa kemungkinan.
Bisa jadi beliau memajukan shalat Jum'atnya (digabungkan
dengan shalat Hari Raya), atau beliau memandang bahwa
sang imam pada hari itu sama dengan yang lain yaitu tidak
wajib keluar mendirikan shalat Jum’at, akan tetapi shalat
Dzuhur di rumahnya masing-masing.
Atas dasar kemungkinan ini semua, maka dalil-dalil
syar'i yang umum dan kaidah-kaidah ushul yang baku, serta
kesepakatan para Ulama menunjukkan bahwa shalat
Dzuhur itu wajib atas orang yang tidak shalat Jum’at dari
hamba yang mukallaf (lelaki yang aqil baligh). Semua ini
didahulukan daripada perbuatan Ibnu Zubair, jika
seandainya perbuatannya dianggap bahwa beliau
berpendapat shalat Jum’at dan Dzuhur itu gugur

(91)
HR Ibnu Majah: 1311, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-
Jami': 4365

42
kewajibannya bagi orang yang telah melaksanakan shalat
‘Ied”.(92)

Dari hadits-hadits di atas dapat ditarik faidah bahwa


meskipun seorang muslim telah melaksanakan shalat ‘Ied,
maka dia tetap dianjurkan / disunnahkan untuk
melaksanakan shalat Jum'at. Hal ini dikuatkan dengan
beberapa alasan, diantaranya:
1. Meninggalkan shalat Jum'at adalah rukhshah /
keringanan supaya manusia tidak menjumpai kesulitan,
dan ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan adalah
tetap melaksanakan shalat Jum'at, apalagi jika tidak ada
kesulitan.(93)
2. Rasulullah  beserta segenap para Sahabatnya
tetap melaksanakan shalat Jum'at, meskipun mereka telah
melaksanakan shalat Hari Raya.
3. Tetap melaksanakan shalat Jum'at meskipun telah
melaksanakan shalat Hari Raya adalah sikap yang hati- hati
dan keluar dari perselisihan. Wallahu A'lam.

(92)
Majmu' Fatwa Ibnu Baz: 30/263
(93)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram: 2/344

43
Diantara kesalahan kaum muslimin dalam berhari
raya ‘Iedul Fitri :

KEMBALI
SUCI.
Makna ‘Id secara bahasa artinya setiap hari yang
didalamnya ada perkumpulan.
Diambil dari kata “ ‘Aada – Ya’udu “ yang artinya
kembali, karena seakan-akan mereka selalu kembali
padanya.
Adapula yang berpendapat bahwa "Ied" diambil dari
kata “Al ‘Aadah” yang artinya "kebiasaan", karena mereka
menjadikannya sebagai kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah
“Al A’yaad”.
Al Azhari v berkata, “Menurut masyarakat Arab,
kata "Al ‘Ied" berarti waktu kembalinya KEGEMBIRAAN
atau KESEDIHAN” (94)
Ibnul A’rabi v mengatakan, “Hari raya dinamakan
'ied karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan
yang baru. (95)

94
(Lisanul ‘Arob 3/313, 317).
95
(Lisan Al-Arab, 3/315).

44
Imam An Nawawi v berkata, “Orang orang
menyebutkan bahwa disebut ‘Ied karena karena senantiasa
kembali dan berulang..” (96)
Adapun makna Fithri artinya BERBUKA setelah satu
bulan lamanya berpuasa. Kata fitri berasal dari kata afthara
– yufthiru yang artinya BERBUKA atau tidak lagi berpuasa.
Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan
bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi
berpuasa ramadhan.

atau peringatan
peringatan lain seperti : Peringatan tahun baru, maulid
Nabi, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an.
Padahal dalam Islam tidak ada hari raya yang di
peringati secara rutin selain hari raya yang tiga, yaitu yaitu
‘IEDUL FITHRI, ‘IEDUL ADHA dan HARI JUM’AT. (97)

dengan CARA HISAB (98)


dan berhari raya tidak mengikuti KEPUTUSAN
PEMERINTAH (99)

TIDAK MANDI padahal hal itu


termasuk sunnah yang tentu besar pahalanya (100)

96
(Syarah Muslim 6/421)
97
(HR Abu Dawud : 1134, dari Anas bin Malik)
98
(HR Bukhari : 1807, dan Muslim : 1080 dari Ibnu Umar)
99
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah. Dishohihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 224)

45
[5] TIDAK BERHIAS (bagi laki laki) dengan memakai
PAKAIAN TERBAIK, walaupun tidak harus PAKAIAN BARU.
Ibnul Qayyim v berkata, “Nabi  memakai
pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan
shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha.
Beliau  memiliki hullah (baju) yang biasa dipakai
pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu
beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang
diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan
terkadang mengenakan burdah berwarna merah... ". (101)

[6] TIDAK MAKAN KURMA dengan bilangan ganjil di


pagi hari sebelum berangkat menuju shalat ‘iedul fitri (102)
Imam Tirmidzi v mengatakan, “Para Ulama
menyatakan sunnah agar tidak keluar menuju ke tempat
shalat iedul fitri kecuali makan sesuatu dari maknan, dan
dianjurkan agar makan kurma”.

[7] BERANGKAT dan KEMBALI shalat ied dari SATU


ARAH jalan, padahal yang sunnah adalah mengambil jalan
yang berbeda (103)

100
(HR Al Baihaqi, syaikh Al Albani menghukumi hasan dala al Irwa 1/176)

101
(Kitab Zadul Ma'ad, Ibnu Qoyyim 1/441)
102
(HR Bukhari : 953 dari Anas).
103
(HR Bukhari : 986, dari Jabir)

46
dengan naik
KENDARAAN tanpa udzur, padahal yang utama adalah
dengan BERJALAN KAKI (104)

[9] MENINGGALAKAN Takbir dengan SUARA JAHAR


pada malam ied (105), demikain juga saat menuju tempat
shalat ‘Ied (106)
Dengan demikian waktu Takbir Iedul Fitri adalah dari
mulai TENGGELAM nya MATAHARI di akhir Ramadhan
sampai pagi hari shalat ‘Iedul Fitri sebagaimana Rasulullah
 beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir
hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga
ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan
shalat, beliau menghentikan takbir (107)
Syaikh Al Albani v berkata : "Dalam hadits ini ada
dalil disyari'atkannya melakukan takbir secara jahr di
jalanan menuju mushalla (tanah lapang) sebagaimana yang
biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari
mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga
hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita ...

[10] Bertakbir secara BERJAMA’AH dengan satu


suara. Namun yang benar adalah bertakbir sendiri sendiri
yakni sama sama bertakbir dengan MENJAHARKAN SUARA

104
(HR Tirmidzi : 530, Ibnu Majah : 1296 dari Ali bin Abi Thalib)
105
(QS Al Baqarah : 185)
106
(Silsilah Al Ahadits As Shahihah 1/120 no 170).

107

47
sebagai mana dilakukan oleh para Salaf. Namun mereka
tidak seragam satu suara. Sebagaimana disebutkan dalam
riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama
nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu
akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan
satu sama lain tidak saling menyalahkan..” (108)
Dan takbir berjamaah seperti ini menurut al Haaj
adalah bid’ah (109)
Dari Nafi’ ia berkata, “Adalah Ibnu Umar berangkat
pagi menuju tanah lapang untuk shalat Ied mengeraskan
suara takbir sampai datang ke tempat shalat” (110)
Yang lebih buruk lagi adalah konvoi berkendara
dengan istilah TAKBIR KELILING dengan pakai SOUND
SISTEM atau BAWA BEDUK yang membuat berisik dan
macet jalanan, sehingga mengganggu MASYARAKAT maka
dengan hal ini berlipat lah DOSA dan KESALAHAN

[11] Mengkhususkan MALAM ‘IEDUL FITHRI dengan


shalat, karena hadits yang berkaitan dengannya adalah
hadits PALSU, seperti hadits, “Barang siapa yang
menghidupkan malam iedul Fitri dan iedul adha maka
hatinya tidak akan mati pada hari saat hati hati itu mati
(hari kiamat)” .
Maka hadits ini dinyatakan Maudhu’ (palsu) oleh
Syaikh Al Albani v (111)

108
(Musnad Imam As Syafi’i : 909).
109
(Al madkhal 2/440)
110
(HR Baihaqi 3/279)

48
seperti lafadz "Allahu Akbar Kabiro,
walaahamdulillahi Katsiro, Wasubhanallahi Bukrotan
Wa Ashiila ..." dst .
Tentang lafadz Takbir pada saat hari raya, Syaikh Ali
Hasan al Halabi v berkata : “Sepanjang yang aku ketahui,
tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara
takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di
riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai
mereka semuanya.
Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan
lafadh:
‫ه ه‬
ُ‫ اَلل‬، ‫ واَللُ أ ْك ََب‬، ُ‫ َلَ الَهَ اَل للا‬، ‫ اَللُ أَ ْك ََب‬، ‫أَللُ أَ ْك ََب‬
‫أَ ْكَب ه ه‬
‫ولِل ا ْْلَ ْم ُد‬ َ
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar
Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian.
Sedangkan Ibnu Abbas  bertakbir dengan lafadh:
‫ للا أَ ْك ه ه‬،‫ للا أَ ْكَب‬،‫للا أَ ْكَب‬
َُ ‫ للاُ أَ ْك‬،‫َب َولِل ا ْْلَ ْم ُد‬
‫َب َو‬ َُ ُ َُ ُ َُ ُ
َُ ‫ للاُ أَ ْك‬،‫أَ َخ ُّل‬
‫َب َعلَى َما َه َد َان‬

111
(Al Kalimat An Naafi’ah, fi Fashl Khomsuuna Khotho-an Fi Sholatil ‘Idain,
hal. 390-391)

49
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar
dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan
Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang
diberikannya pada kita” (112)

di MASJID tanpa
‘Udzur, dan yang benar adalah menunaikan shalat ‘Ied di
LAPANGAN TERBUKA. (113)
Dalam hadits disebutkan Bahwa Nabi  berangkat
shalat ke lapangan, dan tombak kecil ada ditangannya, ia
membawa dan menancapkannya di lapangan, lalu ia shalat
menghadapnya (114)

QABLIYYAH (sebelum sholat


ied) atau BA'DIYYAH (setelah shalat ied), yang benar
adalah tanpa shalat qabliyyah ataupun ba'diyyah, kecuali
kalau shalat iednya di masjid (walaupun itu salah) maka
tetap secara umum dianjurkan shalat tahiyyatul masjid
sebelum duduk (115)
Ibnul Qayyim v berkata: “Nabi maupun sahabat-
sahabat beliau tidak pernah mengerjakan shalat jika telah

112
(Kitab Ahkamul 'Iedain Fis Sunnah Al Muthohharoh, Syaikh Ali Hasan al
Halabi )
113
(HR. Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa'i 3/187).
114
(HR Bukhari : 494, dan Muslim : 501)
115
(HR Bukhari : 989, dan Muslim : 884)

50
sampai di tempat shalat (‘Ied), baik sebelum shlat (‘Ied)
maupun sesudahnya”. (116)

ZIARAH KUBUR pada


saat ‘Iedul Fitri, yang benar bahwa tidak ada hari atau
bulan tertentu untuk menetapkan ziarah kubur
Syaikh Ali Mahfudz v berkata, “Diantara bentuk
kebid’ahan adalah menyibukan berziarah kepada para wali
atau kubur setelah shalat ‘Ied sebelum mendatangi
keluarganya ... (117)
Syaikh al Albani v juga mengatakan, “Diantara
kebid’ahan adalah (mengkhususkan) ziarah Kubur pada
saat hari raya” (118)

KEMBANG
API atau PETASAN pada saat hari raya. Karena hal ini
selain bentuk PEMBOROSAN yang dilarang, juga bagian
dari MENAKUT NAKUTI kaum muslimin dengan suaranya
yang bising, juga bentuk TASYABBUH (menyerupai)
terhadap orang orang KAFIR yang menampakan
kegembiraan dengan menyulut kembang api, serta bisa
mendatangkan bahaya (119)

116
(Zadul Ma’ad 2/443)
117
(Al Ibda’, hal. 263)
118
(Ahkamul Janaiz, hal. 258)
119
(Al kalimat an Naafi’ah, hal. 409)

51
BERTABARRUJ yaitu berdandan dan
bersolek pada hari raya agar dilihat oleh manusia, diantara
bentuknya :
dengan memakai pakaian pendek
yang nampak sebagian auratnya
dengan mengenakan CELANA
PANJANG karena hal itu menampakan lekuk tubuhnya,
walaupun pakai JILBAB
memakai JILBAB atau KERUDUNG
ketat sehingga nampak lekukan tubuhnya
memakai sepatu berhak tinggi
sehingga terdengar SUARA nya, yang pada akhirnya
membuat FITNAH
dan menmpakannya kepada
lelaki yang bukan mahram (120)

atau berjabat tangan


dengan yang bukan mahram.
Aisyah -radhiyallahu anha- berkata : “Demi Allah,
tidak pernah tangan Rasulullah  rnenyentuh tangan
wanita sama sekali dalam bai'at. Beliau  tidak mengambil
bai'at (atas) mereka kecuali dengan perkataan” (121)

dengan doa semoga amalan diterima dan yang semisal.

120
(Al kalimat an Naafi’ah, hal. 412)
121
(HR Bukhari (no. 4609).

52
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v ditanya tentang
ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab :
Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang
mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat
Ied: Taqabbalallahu minnaa wa minkum artinya,
“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian"
Dan Ahallallahu alaik dan yang sejenisnya, ini telah
diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka
mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk
melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya. (122)

HARI RAYA dengan alat alat musik


atau nyanyian yang diharamkan seperti KONSER
DANGDUT dan yang semisalnya, kecuali hiburan dengan
mendengarkan REBANA yang di tabuh oleh ANAK KECIL
PEREMPUAN maka hal ini di bolehkan (123)

122
(Majmu Al-Fatawa 24/253)
123
(HR Bukhari : 907, dan Muslim : 829, lihat kitab Ahkamul 'Idain fis
Sunnah al Muthohharah)

53

Anda mungkin juga menyukai