للا صلى للا عليه وسلم َزَكا َة ال هْفطْ هر طُ ْه َرًة ول ه ُ ض َر ُس
َ فَ َر
ساكه ه ه ه ه ه ه
ي َ للصائ هم م َن الل ْغ هو َوالرفَث َوطُ ْع َم ًة لل َْم
1 (lihat QS Ar Ruum : 30, pembahasan di kitab Az Zakah fil Islam, hal. 317)
2
Dinukil dari buku Fiqih Ramadhan, hal 67
1
“Rasulullah mewajibkan Zakat Fitri untuk
menyucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia
dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan
orang-orang miskin”(3).
Selain itu juga, Zakat Fitri akan membantu orang-
orang fakir dan miskin supaya tidak meminta-minta pada
saat Hari Raya, sehingga mereka bergembira bersama
orang-orang kaya pada hari tersebut, dan syari’at ini juga
bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua
kalangan.(4)
اعا هم ْن
ًص ه ه
َ صلى للاُ َعلَْيه َو َسل َم َزَكا َة الْفطْ هر
فَ رض رس ُ ه
َ ول للا َُ َ َ
اعا هم ْن َش هع ٍري َعلَى ا ْْلُهر َوال َْع ْب هد َوالذ َك هر َو ْاْلُنْ ثَى
ًص َ َتَْ ٍر أ َْو
ه ه
يَ َوالص هغ هري َوالْ َكبه هري م ْن ال ُْم ْسل هم
“Rasulullah mewajibkan Zakat Fitri dengan satu
sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang
(3)
HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, serta dihasankan oleh Al-Albani dalam
Shahih wa Dha'if Sunan Abu Dawud
(4)
Lihat Minhajul Muslim: 23 dan Majalis Syahr Ramadhan: 382
2
merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun
perempuan, anak kecil maupun dewasa”(5).
Catatan: Perkataan “anak kecil” dalam hadits tidak
termasuk janin yang belum dilahirkan, namun jika ada yang
membayarkan Zakat Fitri untuk janin yang belum lahir,
maka tidaklah mengapa karena dahulu Sahabat Utsman bin
‘Affan pernah mengeluarkan Zakat Fitri bagi janin dalam
kandungan.(6)
َم ْن َسأ ََل َو هع ْن َدهُ َما يُ ْغنه هيه فَهإَّنَا يَ ْستَ ْكثه ُر هم َن النا هر » فَ َقالُوا ََي
ال « أَ ْن يَ ُكو َن لَهُ هشبَ ُع يَ ْوٍم َولَْي لَ ٍة أ َْو ول ه
َ َللا َوَما يُ ْغنه هيه ق َ َر ُس
لَْي لَ ٍة َويَ ْوٍم
(5)
HR. An-Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al-Albani
(6)
Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381
3
“Barangsiapa meminta-minta, sedangkan dia memiliki
kecukupan, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan
bara api”. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana
ukuran kecukupan?” Rasulullah bersabda, “Seukuran
makanan yang mengenyangkan sehari-semalam, atau
semalam sehari”.(7)
Sedangkan anak dan istri, maka menurut Imam
Nawawi, kepala keluarga wajib membayar Zakat Fitri
keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi’i, dan
mayoritas Ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan
Zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah
suami.(8).
(7)
HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Fiqh
Sunnah: II/80
(8)
Syarh Nawawi ‘ala Muslim: VII/59
4
Misalnya, jika seseorang meninggal satu menit
sebelum terbenamnya matahari pada malam Hari Raya,
maka Zakat Fitri tidak wajib dikeluarkan untuknya. Namun,
jika meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari
maka Zakat Fitri wajib dikeluarkan darinya. Begitu juga
apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari
maka tidak wajib dikeluarkan Zakat Fitri darinya, namun,
jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka
Zakat Fitri wajib untuk dikeluarkan darinya(9).
(9)
Lihat Majalis Syahri Ramadhan, 385
(10)
Shahih Fiqh Sunnah, II/82
(11)
Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya V/92
5
Ada orang beralasan sibuk, dan tidak ingin repot,
bahkan menganggap bahwa uang lebih manfaat dari bahan
makanan, lalu membayar Zakat Fitri langsung dengan uang,
maka para Ulama kebanyakan melarang dengan beberapa
alasan, diantaranya:
1-Menyelisihi perintah Rasulullah , dan beliau tidak
pernah menyuruh Sahabatnya membayar Zakat dengan
uang, padahal saat itu sudah ada uang.
2-Menyelisihi amalan Sahabat yang
menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum,
karena mengikuti petunjuk Rasulullah yang mana beliau
pernah bersabda, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang
mendapat petunjuk”).
3-Zakat Fitri adalah suatu ibadah yang diwajibkan
mengeluarkan suatu jenis barang tertentu, tidak dapat
digantikan dengan selainnya, sebagaimana waktu
pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang
mengatakan bahwa menggunakan uang lebih bermanfaat,
maka Nabi yang mensyari'atkan Zakat dengan makanan
tentu lebih sayang kepada orang miskin dan tentu lebih
mengetahui mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah
yang mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu
kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan miskin, tetapi
Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyari’atkan dengan
uang.
6
4-Membayar Zakat Fitri dengan barang seperti kurma,
gandum, dan semisalnya berupa bahan makanan pokok,
mengharuskan adanya syi'ar Islam yang terlihat setiap
tahunnya, orang berbondong-bondong membawa bahan
makanan tersebut untuk diserahkan kepada yang berhak.
Adapun Zakat dengan uang tidak akan terlihat syi'ar Islam
dengan sebab itu.
5-Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan
bahwa pendapat Abu Hanifah (yang membolehkan Zakat
Fitri dengan uang) ini tertolak. Karena “Tidaklah Rabbmu
itu lupa”. Seandainya Zakat Fitri dengan uang itu
dibolehkan tentu Allah dan Rasul-Nya akan
menjelaskannya. (12)
(12)
Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 230-231
(13)
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, II/85
7
Adapun Jumhur (mayoritas) Ulama, mereka
berpendapat bahwa Zakat Fitri sama dengan Zakat Mal,
diberikan kepada 8 golongan yang disebutkan dalam surat
At-Taubah: 60, alasannya karena keumuman surat At-
Taubah: 60 yang di dalamnya Allah menyebut bahwa yang
berhak menerima Zakat adalah 8 golongan, dan Allah tidak
membedakan Zakat Mal atau Zakat Fitri. Adapun hadits
Nabi yang menyebut bahwa Zakat Fitri untuk
memberikan makan orang-orang miskin, maka bukan
untuk pembatasan mereka saja, namun mereka adalah yang
lebih patut didahulukan karena lebih membutuhkan.
ًث َوطُ ْع َمة َزَكا َة ال هْفطْ هر طُ ْهرًة لهلصائههم همن الل ْغ هو والرفَ ه
َ ْ َ
ي َم ْن أَد َاها قَ ْب َل الص ََل هة فَ ه َي َزَكاةٌ َم ْقبُولَةٌ َوَم ْن
ساكه ه ه
َ لل َْم
أَد َاها ب ْع َد الص ََل هة فَ ه ي ص َدقَةٌ همن الص َدقَ ه
ات ْ َ َ َ
(14)
Lihat Taudhihul Ahkam: 3/76
8
“Zakat Fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa
dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai
makanan bagi orang-orang miskin, barangsiapa
menunaikannya sebelum shalat (‘Iedul Fithri), maka itu
adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa
menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka itu adalah satu
shadaqah dari shadaqah-shadaqah”(15).
(15)
HR Abu Dawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, dan lain-lain
9
Nafi’ maula Ibnu Umar berkata:
وَنَا
َ ُين يَ ْقبَ ل ه ه ه
َ َكا َن ابْ ُن عُ َم َر َرض َي للاُ َع ْن ُه َما يُ ْعط َيها الذ
يَوَكانُوا يُ ْعطُو َن قَ ْبل ال هْفطْ هر بهيَ ْوٍم أ َْو يَ ْوَم ْ ه
َ
“Ibnu ‘Umar biasa memberikan Zakat Fitri kepada
orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari
atau dua hari sebelum ‘Iedul Fitri”(16).
(16)
HR Bukhari no. 1511, Muslim no. 986
10
Syaikh Sa'id bin Wahaf al Qahthani v berkata :
ضافَ هة الش ْي هء إه ََل َسبَبه هه هْلَن َ ضافَةُ الزَكاةه إه ََل ال هْفطْ هر هم ْن إهَ َوإه
ُ ت إهل َْي هه له ُو ُج ْوهِبَا به هه فَ يُ َق
ال ضا َن سبب وجوهِبا فَأ ه
ْ ُض ْي َف ه ه
َ ْ ُ ُ ُ َ َ َ الْفط َْر م ْن َرَم
ْ : َ فهط َْرةٌ هْلَن ال هْفط َْرة: َوقه ْي َل ََلَا. َزَكاةُ ال هْفطْ هر:
ُاْله ْل َقة
Penyandaran nama zakat kepada al Fithri adalah
penyandaran sesuatu kepada sebabnya, karena berbukanya
dari puasa Ramadhan adalah sebab diwajibkannya zakat
Fithri. Maka disandarkanlah kepadanya karena sebab
diwajibkannya. Sehingga dinamakan zakat al fithri, dan
disebut pula zakat fithrah yang berarti Khilqah artinya jiwa.
(karena ditunaikan berkaitan jiwa atau badan). (17)
berdasarkan
keumuman dalil zakat dalam al Quran, As Sunnah dan Ijma’
para ulama (18)
17 (lihat QS Ar Ruum : 30, pembahasan di kitab Az Zakah fil Islam, hal. 317)
18 (kitab Az Zakah Fil Islam, hal. 317-318)
11
(a) Islam (19)
(b) Mampu, yakni pada malam ied memiliki
kelebihan beras dari kebutuhan keluarganya sebanyak 1
sha’. (20)
(c) Mendapati waktu wajib yaitu tenggelamnya
matahri pada malam ied akhir Ramadhan. (21)
12
(f) Tanda syukur atas nikmat Allah kepada orang yang
berpuasa karena dapat menyempurnakan puasanya. (26)
13
Untuk kehati hatian maka mengeluarkan dengan
ukuran dan jika ada kelebihan pun maka sebagai
sedekah tambahan, wallahu a’lam.
atas setiap
muslim, baik itu hamba sahaya atau yang merdeka, laki-laki
atau wanita anak kecil atau orang dewasa. (33)
32
(Al Mughni 4/295, lihat dalam Az Zakah Fil Islam, hal. 342-343)
33
(HR Bukhari : 1503, dan Muslim : dari Ibnu Umar)
14
seperti istri dan anak anaknya. (34)
dari mulai
tanggal 28 Ramadhan sampai pagi hari raya iedul Fithri
sebelum melakukan shalat ied.
34
(Hadits hasan riwayat Daraquthni no 2077,. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835)
35
(HR Ibnu Abi Syaibah 3/419)
36
(Al Muntaqa Lil Haditsi Fi Ramadhan, hal. 174)
15
Dengan demikian terbagi tiga waktu ;
WAJIB yaitu akhir Ramadhan
malam iedul fithri.
Maka barang siapa yang menikah, atau mendapatkan
kelahiran anak, atau memiliki budak, atau masuk islam
sebelum tenggelam matahri di akhir Ramadhan maka wajib
atasnya zakat fitri karena sudah masuk di waktu terkena
kewajiban untuk zakat. Namun kalau hal itu terjadi setelah
tenggelam matahri maka tidak wajib atasnya zakat fitri.
Demikian juga barang siapa yang meninggal dunia setelah
tenggelam matahari di akhir ramadhan (di malam ‘iedul
fitri) maka wajib atasnya zakat fitri. (37)
BOLEH sebagi keringanan yaitu
sehari atau dua hari sebelum ‘Ieddul Fithri (38)
UTAMA yaitu pagi hari sebelum
shalat ‘Ied, karena Nabi memerintah untuk
mengeluarkan zakat fitri sebelum manusia menuju shalat
‘iedul fitri. (39)
jika
terlambat mengeluarkan zakat fitri setelah orang
menunaikan shalat ‘iedul fitri. (40)
37
(al Mughni 4/298)
38
(HR Bukhari : 1511; Muslim : 984, 986 dari Ibnu Umar)
39
(HR Bukhari : 1503, 1511, dan Muslim : 984 dari Ibnu Umar)
40
(HR Abu Dawud : 1609, dan Ibnu Majah : 1827)
16
dikalangan para
ulama tentang masalah AWAL waktu mengeluarkan zakat
fitrah, kepada 4 pendapat :
41
(HR Bukhari : 1511, dan Muslim : 984).
42
(al Mughni 4/301).
43
(al Mughni 4/300).
17
“boleh mengeluarkan
zakat fitra di awal tahun (hijriyyah), karena zakat fitrah
adalah zakat, maka diserupakan dengan zakat mal (harta)”.
(44)
dengan syarat
agar orang yang diwakili tersebut mengeluarkannya pada
waktu waktu yang telah ditetapkan, baik waktu yang boleh
atau wakatu wajib atau waktu yang utama.
44
(al Mughni 4/300).
45
(al Mughni 4/300).
46
(al Mughni 4/300)
18
menurut pendapat yang kuat hanyalah golongan Fakir
Miskin saja tidak sebagaimana pada Zakat Maal
berdasarkan hadits Ibnu Abbas. (47)
dan
pembagiannya.
Hukum asalnya zakat fithri dikeluarkan dan dibagikan
kepada yang berhak menerima zakat ditempat MUZAKKI
(orang yang berzakat). (48)
Namun boleh dibagikan ke daerah lain apabila ada
hajat kebutuhan. (49)
47
(HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain).
48
(HR bukhari : 1395 dan Muslim : 19).
49
(Majmu’ Al Fatawa Bin Baaz, 14/213, 214, dan 215).
19
Ramadhan adalah bulan amal dan ibadah, lalu setelah
itu ada hari yang dinanti-nanti oleh umat Islam, hari
dimana setiap muslim yang telah berpuasa sebulan penuh
di bulan Ramadhan akan memperoleh salah satu dari dua
kebahagiaan yang telah dijanjikan oleh Allah, itulah hari
‘Iedul Fitri, Hari Raya, dan hari Berbuka.
Rasulullah bersabda:
50
Dinukil dari buku Fiqih Ramadhan, hal 76
(51)
Muttafaqun ‘alihi
20
Hari Raya dalam bahasa Arab disebut ‘ied ( )ال ِعيْدyaitu
hari perkumpulan (manusia). Kata ‘ied ( )ال ِعيْدberasal dari
kata ‘aada – ya’udu ( )عَا َد – َيعودyang berarti kembali, karena
seolah-olah mereka kembali (berkumpul) lagi.
Ada yang berpendapat kata ‘ied ( )ال ِعيْدberasal dari
kata ‘aadah ( )ال َعا َدةyang bermakna kebiasaan, karena
mereka menjadikannya (yakni perkumpulan tersebut)
sebagai kebiasaan (setiap tahunnya), dan bentuk jamak
kata ‘ied ( )ال ِعيْدadalah a’yaad ()األ َ ْعيَاد.
Ibnul A’rabi berkata, “Hari Raya dinamai dengan
‘Ied karena ia selalu datang kembali setiap tahunnya
dengan membawa kebahagiaan yang baru”(52).
Sedangkan menurut istilah, ‘ied ( )ال ِعيْدyang bentuk
jamaknya a’yaad ( )األ َ ْعيَادadalah hari perayaan
(perkumpulan) karena suatu peringatan yang
membahagiakan, atau mengembalikan perayaan
(pertemuan) dengan suatu peringatan yang
membahagiakan. Salah satu dari dua Hari Raya itu ialah
Hari Raya Berbuka (‘Iedul Fitri), sedang satunya lagi ialah
Hari Raya Berkurban (‘Iedul Adha)(53).
(52)
Lisanul ‘Arab [13/317-319] dan Al-Qamushul Muhith [hal. 386]
(53)
Lihat Mu’jam Lughatul Fuqaha, Dr. Muhammad Rawwas (hal. 294)
21
Hari Raya dalam Islam tidak sekedar untuk
menunjukkan kebahagiaan, seorang muslim harus selalu
berada dalam keta'atan, yang berarti pahala selalu
mengiringinya dalam setiap waktu dan keadaan.
Pada ‘Iedul Fitri terdapat syari'at-syari'at berikut:
, yaitu berupa satu sho’ makanan
pokok yang dikeluarkan oleh setiap jiwa muslim dan
muslimah.
, yaitu shalat dua rakaat yang
dikerjakan di pagi hari di tempat terbuka setelah matahari
naik setinggi tombak di ufuk timur, disusul dengan khutbah
oleh imam yang berisi peringatan dan nasehat.
22
Para Ulama berbeda pendapat terkait hukum shalat
‘Ied, baik ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul Adha, perinciannya
sebagai berikut:
dalam pendapat terkuatnya
mengatakan Fardhu Kifayah, yaitu bila ditegakkan oleh
sejumlah orang yang mencukupi di suatu negeri maka
gugur (kewajibannya) atas sebagian yang lain.
(54)
HR Bukhari 2678, dan Muslim 11
23
َ ص هل لهَربه
…ك َو ْاْنَ ْر َ َ… ف
“... Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah ...”(55).
Dalam tafsiran yang masyhur disebutkan bahwa yang
dimaksud dalam ayat ini adalah shalat ‘Ied(56).
2. Ummu ‘Athiyyah mengatakan:
(55)
QS Al-Kautsar/108: 2
(56)
Lihat Al-Mughni: 3/253
(57)
HR Bukhari 974, dan Muslim 890
24
4. Sejak disyari’atkan shalat ‘Ied pada tahun kedua
hijriah, Rasulullah selalu mengerjakannya dan tidak
pernah meninggalkannya hingga beliau wafat.
Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan
muridnya, Ibnul Qayyim, serta dari kalangan Ulama masa
kini adalah Ibnu As-Sa’di, Ibnu Baz, Al-Albani, dan Ibnu
‘Utsaimin Rahimahumullah.
(58)
Lihat Al-Mughni: 3/256
25
لسو ه
ه ه ه
اك ٌ َوإه ْن َكا َن ط
َ يب فَ لْيَ َمس م ْنهُ َو َعلَْي ُك ْم هِب
“Dan jika ada minyak wangi maka sentuhkanlah
darinya (pada pakaian dan badan). Serta hendaknya kamu
bersiwak”(59).
yang dipunyai,
berdasarkan hadits Shahih Bukhari no. 948 dan Muslim no.
2068.
(59)
HR. Ibnu Majah: 1098, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu
Majah: 1/326
(60)
HR Bukhari: 953
(61)
Lihat Irwaul Ghalil: 3/103
(62)
Bukhari: 956, dan Muslim: 889
26
setelah shalat ‘Ied
dengan melalui jalan yang berbeda -jika memungkinkan-
berdasarkan hadits dari Jabir . (HR Bukhari: 986).
27
dengan disempurnakannya bilangan Ramadhan menjadi 30
hari.
Adapun kalimat-kalimat takbir maka terdapat
beberapa atsar dari sahabat, diantaranya:
،ُ َوللاُ أَ ْك ََب، ُ ََل إهلَ َه إهَل للا،ُ للاُ أَ ْك ََب،ُ للاُ أَ ْك ََب،ُللاُ أَ ْك ََب
و ه،للا أَ ْكَب
. لل ا ْْلَ ْم ُد َ َُ ُ
Ini juga yang teriwayatkan dari Umar dan Ali .
• Dalam salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud :
،ُ َوللاُ أَ ْك ََب،ُ ََل إهلَ َه إهَل للا،ُ للاُ أَ ْك ََب،ُ للاُ أَ ْك ََب،ُللاُ أَ ْك ََب
وه
.لل ا ْْلَ ْم ُد َ
• Dari Ibnu ‘Abbas :
ه
َ للاُ أَ ْك ََبُ َوأ، َولل ا ْْلَ ْم ُد،ُ للاُ أَ ْك ََب،ُ للاُ أَ ْك ََب،ُللاُ أَ ْك ََب
،َج ُّل
للاُ أَ ْك ََبُ َعلَى َما َه َد َان
• Dari Salman :
(64)
HR Bukhari: 989, dan Muslim: 884
28
untuk shalat
‘Ied, hal ini berdasarkan pada hadits Jabir bin Samurah
.(65)
bagi anak-anak
perempuan dan permainan lain yang dibolehkan pada hari
‘Ied, hal itu berdasarkan pada hadits ‘Aisyah .(66)
dengan
saudaranya, dengan mengucap:
(للاهََمِ نَّاََ َومِ ْنكَم ََ َّ“ )تَقَبSemoga Allah menerima -ibadah-
َ ََل
kami dan Anda.”
Sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat
seperti diceritakan oleh Jubair bin Nufair(67).
berjama’ah,
hendaknya meng-qadha’-nya, dengan cara yang sama
sebanyak dua rakaat, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
(HR Bukhari: 987).
(65)
HR Muslim: 887
(66)
HR Bukhari: 949 & 952, dan Muslim: 892
(67)
Lihat Fathul Bari [2/446] oleh Al-‘Asqalani
29
Atau pada raka’at pertama membaca surat Al-A’la (setelah
Al-Fatihah) dan pada raka’aat kedua membaca surat Al-
Ghasyiyah (setelah Al-Fatihah). Namun dibolehkan
membaca surat-surat lainnya setelah Al-Fatihah apa yang
mudah bagi seorang imam berdasarkan keumuman Firman
Allah :
ُ ْ َ َ َّ َ َ َ ُ َ ْ َ
ْتن الق ْر ت
… آن ْ ّس م
ْ … فاقرءوْا ما تي
“… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-
Qur’an ...”(68).
Setelah imam salam dan shalat berakhir, maka ia
berdiri berkhutbah di hadapan manusia guna
menyampaikan nasehat dan mau’izhah (peringatan) yang
sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka. Setelah
memulai dengan memuji Allah (bertahmid), imam
mengingatkan mereka dengan ketakwaan dan ketaatan
kepada Allah , mengajak mereka bersyukur atas segala
kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada mereka,
mengajak bersedekah dan ber-infaq di jalan Allah, atau
nasehat-nasehat lain yang bermanfaat.
Bagi para makmum, maka dianjurkan menyimak
khutbah sampai selesai, namun mereka boleh
meninggalkan tempat shalatnya jika ada kebutuhan, karena
Nabi tidak mewajibkannya berdasarkan hadits dari
Abdullah bin As-Saib .(69)
(68)
QS Al-Muzzammil/73: 20
(69)
HR Abu Dawud: 1155, Nasa’i: 1570, dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Shahih An-Nasa’i: 1/510
30
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat
Jum'at bagi orang yang telah menunaikan shalat Hari Raya,
jika Hari Raya bertepatan hari Jum'at. Berikut
perinciannya:
Pendapat Pertama: Shalat jum'at tetap wajib bagi
siapa saja baik yang telah melaksanakan shalat Hari Raya
atau yang tidak melaksanakan shalat Hari Raya. Ini adalah
pendapat Imam Malik dan lainnya(70).
Dalil pendapat ini:
ُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
1. Keumuman Firman Allah:
َ ُ ُْ ْ َ َّ
ْتينْآمنوْاْإتذاْنودتيْل تلصال ْة تْمتنْيو تْمْاْلمع تْة
ْ ياْأيهاْاَّل
َ َْْ ُ َ َ ْ َ َْ ْ َ
… لْذتك تْرْاهللتْْوذروْاْاْلي ْع ْ فاسعوْاْإ ت
''Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru untuk
shalat Jum'at maka bergegaslah mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual-beli ...” (QS Al-Jumu'ah: 9).
2. Keumuman sabda Rasulullah:
(70)
Lihat Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' al-Jumu'ah ma'al Id, Adil bin Ibrahim
Al-Marsyud: Hlm. 6
(71)
HR Abu Dawud: 1067
31
Keterangan: Ayat dan hadits di atas menunjukkan
kewajiban shalat Jum’at tidak gugur dengan adanya shalat
Hari Raya. Adapun orang-orang yang gugur kewajiban
shalat Jum'atnya adalah orang-orang yang tidak
berkewajiban shalat Jum'at yaitu para penduduk pelosok-
pelosok yang telah menghadiri shalat ‘Ied(72).
Pendapat kedua: Shalat Jum'at gugur kewajibannya
bagi orang-orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya
yaitu ketika mereka shalat Hari Raya dengan meninggalkan
kampung-kampung mereka menuju tempat shalat Hari
Raya. Pendapat ini diriwayatkan dari Utsman bin Affan,
bahwa beliau pernah shalat Hari Raya, lalu memberi
keringanan untuk penduduk desa dalam shalat Jum'at, dan
pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi'i(73)
Dalil pendapat ini:
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Ubaid maula Ibnu Azhar, beliau berkata:
(72)
Lihat Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' Al-Jumu'ah ma'al ‘Ied: Hlm. 9
(73)
Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' Al-Jumu'ah ma'al ‘Ied: Hlm. 6
32
َحب أَ ْن يَ ْرهج َع فَ َق ْد ه ه
َ ا ْْلُ ُم َعةَ م ْن أ َْه هل ال َْع َو هال فَ لْيَ ْن تَظ ْر َوَم ْن أ
ُت لَهُ ْأ هَذن
“Aku shalat Hari Raya bersama Utsman bin Affan pada
hari Jum'at, lalu beliau shalat kemudian berkhutbah, dan
beliau berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
hari ini telah berkumpul dua Hari Raya kalian. Maka
barangsiapa dari penduduk ‘Awali ingin menunggu shalat
Jum'at, silahkan menunggu. Tetapi barangsiapa ingin
pulang, maka aku telah mengizinkannya’”(74).
Keterangan: Hadits di atas menunjukkan bahwa
Utsman bin Affan hanya mengizinkan para penduduk
‘Awali untuk meninggalkan shalat Jum'at, karena mereka
tidak berkewajiban shalat Jum'at sebab jauhnya jarak
tempat tinggal mereka dengan tempat shalat Jum'at, dan
‘Awali adalah kampung-kampung di pinggiran kota
Madinah sebelah timur, yang paling dekat jaraknya 4 atau 3
mil, dan yang paling jauh jaraknya 8 mil(75).
Pendapat ketiga: Shalat Jum'at gugur kewajibannya
bagi siapa saja yang telah melaksanakan shalat Hari Raya,
tapi imam tetap mengadakan shalat Jum'at supaya orang
yang ingin shalat Jum'at bisa melaksanakan shalat Jum'at
(74)
HR Bukhari: 5572
(75)
Lihat Umdatul Qari' Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Badruddin Al-'Aini:
31/129
33
bersamanya. Ini adalah pendapat para Ulama madzhab
Hanbali.(76)
Dalil pendapat ini:
Sebagaimana Nabi bersabda:
(76)
Lihat Al-Qaul Akid fi Hukmi Ijtima' Al-Jumu'ah ma'al ‘Ied, Hlm. 14-16
(77)
HR Ibnu Majah: 1311 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 984, dan HR Ibnu Majah dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Sunan Ibnu Majah: 1311
(78)
Lihat Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab: 4/492, Nailul Authar: 3/283
34
:ال ُّ َويَ ْو ُم فهطْ ٍر َعلَى َع ْه هد ابْ هن،اجتَ َم َع يَ ْو ُم ُُجَُع ٍة
َ فَ َق،الزبَ ْهري ْ
صَل ُُهَا فَجم َع ُهما َه،»اح ٍد ان اجتمعا هف ي وٍم و ه ه ه
َ َُج ًيعا ف َ ََ َ ْ َ َ َ َ ْ «عي َد
ص َر
ْ صلى ال َْع َ َلْ يَ هز ْد َعلَْيه َما َحّت،ي بُ ْك َرًة رْك َعتَ ْ ه
َ
“Telah berkumpul pada masa Ibnu Zubair hari Jum'at
dan Hari Raya, lalu beliau berkata, ‘Ini adalah dua Hari Raya
berkumpul dalam satu hari.’ Kemudian beliau
mengumpulkan keduanya dalam (satu shalat), beliau shalat
dua rakaat di pagi hari, dan beliau tidak shalat lagi sehingga
shalat Ashar”.(79)
(79)
HR Abu Dawud: 1072 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 983
35
meninggalkannya berarti mereka menggunakan rukhshah /
keringanan, tapi jika sebagian mereka melaksanakan
(shalat Jum'at) maka mereka mendapatkan pahala,
meskipun tidak wajib atas mereka, tidak dibedakan antara
imam dan selain imam.”
Beliau juga berkata (dalam Al-Ajwibah An-Nafi'ah
Hlm. 50): “(ketika bertepatan Hari Raya dengan hari
Jum'at) Ibnu Zubair pernah meninggalkan (shalat Jum'at)
pada masa kepemimpinannya, tidak ada satu pun yang
mengingkarinya”(80)
2. Jika Hari Raya bertepatan dengan hari Jum'at,
maka telah berkumpul dua Hari Raya dalam satu hari,
sehingga salah satu shalat hari itu dapat menggantikan
yang lainnya, apalagi kedua shalat tersebut memiliki
kesamaan jumlah raka'at dan kesamaan adanya khutbah di
dalamnya.(81)
3. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat Hari
Raya, maka dia berkewajiban shalat Jum'at, agar tidak
terlewatkan baginya salah satu dari dua kewajiban(82)
4. Syaikhul Islam berkata: “Pendapat yang paling kuat
(jika bertepatan Hari Raya dengan hari Jum'at) adalah: bagi
orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya maka
gugur kewajibannya untuk menghadiri shalat Jum'at, (hal
itu karena) telah terkumpul dua ibadah yang sejenis (dalam
satu waktu) sehingga satu sama lainnya saling mewakili,
(80)
Lihat Ijtima' Al-‘Ied wal Jumu'ah, karya Sa'dud Din bin Muhammad Al-
Kabbi: Hlm. 4
(81)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram, karya Al-Bassam: 2/343
(82)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram: 2/344
36
dan jika keduanya tetap diwajibkan tentu akan membuat
manusia merasa sempit dalam menjalani Hari Raya mereka,
padahal di dalam (Hari Raya) itu dianjurkan bersenang-
senang, dan bersuka-cita, maka dari itu shalat Jum'at tidak
diwajibkan”.(83)
5. Adapun pendapat Imam Malik, yang mengatakan
bahwa orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya
tetap wajib shalat Jum'at, maka pendapat ini lemah sebab
dalil-dalil yang diangkat adalah dalil umum tentang
kewajiban shalat Jum'at, dan keumuman itu dikhususkan
oleh riwayat-riwayat yang sangat gamblang tentang
keringanan shalat Jum'at, khusus ketika Hari Raya itu jatuh
pada hari Jum'at saja.”(84)
6. Adapun pendapat Imam Syafi'i, yang mengatakan
bahwa shalat Jum'at gugur kewajibannya bagi orang yang
telah melaksanakan shalat Hari Raya jika mereka
melakukan hal itu dengan meninggalkan kampung-
kampung mereka menuju tempat shalat Hari Raya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Utsman bin Affan, bahwa
beliau pernah shalat Hari Raya, lalu memberi keringanan
penduduk desa untuk meninggalkan shalat Jum'at.
Maka jawabannya, pendalilan Imam Syafi'i dengan
perkataan Utsman bin Affan tidak dapat mengalahkan
perkataan yang lebih tinggi dan lebih kuat yaitu perkataan
Rasulullah yang telah memberikan keringanan kepada
(83)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram: 2/344
(84)
Lihat Ijtima' Al-Ied wal Jumu'ah, karya Sa'dud Din bin Muhammad Al-
Kabbi: Hlm. 6
37
setiap orang yang hadir shalat Hari Raya secara umum,
tidak khusus bagi penduduk ‘Awali saja. Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa berkehendak shalat Jum'at, maka
silahkan”. Sebagaimana juga (perkataan Utsman) itu
bertentangan dengan perbuatan Ibnu Zubair yang pernah
meninggalkan shalat Jum’at dan beliau (Ibnu Zubair -ed)
adalah dari kalangan Ulama para Sahabat Nabi, sedangkan
tidak ada satupun yang mengingkarinya, bahkan Ibnu
Abbas menyetujui Ibnu Zubair dengan mengatakan, “Dia
telah sesuai sunnah”.(85)
(85)
Lihat Ijtima' Al-‘Ied wal Jumu'ah: Hlm. 6
38
melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada
Zaid bin Abi Arqam, beliau berkata:
ه ه ت مع رس ه ه
ْ صلى للاُ َعلَْيه َو َسل َم عي َديْ هن
اجتَ َم َعا َ ول للا ُ َ َ َ َ أَ َش ه ْد
،صلى ال هْعي َد َ :ال َ َصنَ َع؟ ق
َ ف َ فَ َك ْي:ال َ َهف يَ ْوٍم؟ ق
َ َ ق، نَ َع ْم:ال
«من َشاء أَ ْن ي ه:ال ه
»ص هل َ ُ فَ لْي،صل َيَ ُ َ ْ َ َ فَ َق،ص هف ا ْْلُ ُم َعة َ ُث َرخ
‘Apakah kamu pernah menyaksikan dua Hari Raya
(hari ‘Ied dan hari Jum'at) pada zaman Rasulullah?’ Dia
menjawab, ‘Ya (pernah).’ Dia bertanya, ‘Apa yang beliau
lakukan?’. Beliau menjawab, ‘(Nabi) melaksanakan shalat
‘Ied, kemudian memberi keringanan untuk (shalat) Jum'at,
barangsiapa ingin melaksanakan shalat (Jum'at) maka
hendaklah shalat (Jum'at)”.(86)
Demikian juga dalam riwayat Abu Dawud, dari Abu
Hurairah dari Rasulullah, beliau bersabda:
(86)
HR Abu Dawud: 1072, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 981
39
(shalat ‘Ied) itu mencukupi shalat Jum'at, tetapi kami tetap
mendirikan shalat Jum'at”.(87)
(hadits-hadits) ini menunjukkan keringanan (untuk
tidak menghadiri shalat Jum'at) bagi yang telah
melaksanakan shalat ‘Ied pada hari itu, sekaligus diketahui
bahwa sang imam tidak mendapat keringanan karena
sabdanya: “... tetapi kami tetap mendirikan shalat Jum'at”.
Demikian juga apa yang diriwayatkan dari Nu'man bin
Basyir bahwa: “Rasulullah membaca dalam shalat Jum'at,
‘Sabbihis dan Al-Ghasyiyah’, serta terkadang terkumpul dua
Hari Raya itu pada satu hari, maka beliau membaca
keduanya pada kedua (shalat ‘Ied dan shalat Jum'at) itu”(88).
(87)
HR Ibnu Majah: 1311, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud: 984
(88)
HR Ibnu Majah: 1311, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-
Jami': 4365
(89)
At-Tamhid: 10/274
40
Dzuhur di rumahnya, bahkan dalam perkataan Atha' (ada
isyarat) bahwa mereka shalat Dzuhur sendiri-sendiri, ini
mengisyaratkan bahwa tidak ada yang berpendapat bahwa
(shalat Dzuhur) itu gugur”.(90)
Berkata Syaikh bin Baz tentang pendapat-pendapat
syadz (aneh/nyeleneh):
“Diantara pendapat (nyeleneh) yang dinisbatkan
kepada kalian adalah: pendapat gugurnya shalat Jum'at dan
shalat Dzuhur bagi orang yang telah melaksanakan shalat
Hari Raya jika bertepatan pada hari Jum'at, ini adalah
kesalahan yang nyata karena Allah mewajibkan kepada
para hamba-Nya 5 (lima) kali shalat dalam sehari semalam,
dan para Ulama sepakat akan hal ini, sedangkan yang
kelima pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at itu sendiri.
Jika Hari Raya bertepatan dengan hari Jum'at, maka
masuk dalam bab ini, seandainya shalat Dzuhur itu gugur
bagi orang yang telah melaksanakan shalat Hari Raya,
niscaya Nabi akan mengingatkan hal ini karena ini adalah
perkara yang samar atas segenap manusia. Dan tatkala
beliau memberi keringanan shalat Jum'at bagi yang telah
menghadiri shalat Hari Raya, tapi beliau tidak
menyebutkan gugurnya shalat Dzuhur, maka dari situ
diketahui bahwa (shalat Dzuhur) tetap (wajib).
(kewajiban shalat Dzuhur) ini merupakan
pengamalan kaedah asal dalam dalil-dalil syar'i, serta
adanya kesepakatan Ulama akan kewajiban shalat 5 (lima)
waktu dalam sehari semalam. Nabi juga mendirikan shalat
(90)
Subul As-Salam: 2/107
41
Jum'at saat Hari Raya sebagaimana dalam hadits-hadits
yang telah datang dalam perkara ini, diantaranya apa yang
dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, dari Nu'man
bahwa: “Rasulullah membaca dalam shalat Jum'at ‘Sabbihis
dan Al-Ghasyiyah’, dan terkadang terkumpul dua Hari Raya
itu pada satu hari, maka beliau membaca keduanya pada
kedua (shalat ‘Ied dan shalat Jum'at) itu”.(91)
Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Zubair
bahwasanya beliau shalat Hari Raya, dan setelah itu tidak
lagi keluar bersama manusia untuk shalat Jum'at dan
Dhuhur, maka ini mengandung beberapa kemungkinan.
Bisa jadi beliau memajukan shalat Jum'atnya (digabungkan
dengan shalat Hari Raya), atau beliau memandang bahwa
sang imam pada hari itu sama dengan yang lain yaitu tidak
wajib keluar mendirikan shalat Jum’at, akan tetapi shalat
Dzuhur di rumahnya masing-masing.
Atas dasar kemungkinan ini semua, maka dalil-dalil
syar'i yang umum dan kaidah-kaidah ushul yang baku, serta
kesepakatan para Ulama menunjukkan bahwa shalat
Dzuhur itu wajib atas orang yang tidak shalat Jum’at dari
hamba yang mukallaf (lelaki yang aqil baligh). Semua ini
didahulukan daripada perbuatan Ibnu Zubair, jika
seandainya perbuatannya dianggap bahwa beliau
berpendapat shalat Jum’at dan Dzuhur itu gugur
(91)
HR Ibnu Majah: 1311, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-
Jami': 4365
42
kewajibannya bagi orang yang telah melaksanakan shalat
‘Ied”.(92)
(92)
Majmu' Fatwa Ibnu Baz: 30/263
(93)
Lihat Taudhihul Ahkam min Bulugh Al-Maram: 2/344
43
Diantara kesalahan kaum muslimin dalam berhari
raya ‘Iedul Fitri :
KEMBALI
SUCI.
Makna ‘Id secara bahasa artinya setiap hari yang
didalamnya ada perkumpulan.
Diambil dari kata “ ‘Aada – Ya’udu “ yang artinya
kembali, karena seakan-akan mereka selalu kembali
padanya.
Adapula yang berpendapat bahwa "Ied" diambil dari
kata “Al ‘Aadah” yang artinya "kebiasaan", karena mereka
menjadikannya sebagai kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah
“Al A’yaad”.
Al Azhari v berkata, “Menurut masyarakat Arab,
kata "Al ‘Ied" berarti waktu kembalinya KEGEMBIRAAN
atau KESEDIHAN” (94)
Ibnul A’rabi v mengatakan, “Hari raya dinamakan
'ied karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan
yang baru. (95)
94
(Lisanul ‘Arob 3/313, 317).
95
(Lisan Al-Arab, 3/315).
44
Imam An Nawawi v berkata, “Orang orang
menyebutkan bahwa disebut ‘Ied karena karena senantiasa
kembali dan berulang..” (96)
Adapun makna Fithri artinya BERBUKA setelah satu
bulan lamanya berpuasa. Kata fitri berasal dari kata afthara
– yufthiru yang artinya BERBUKA atau tidak lagi berpuasa.
Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan
bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi
berpuasa ramadhan.
atau peringatan
peringatan lain seperti : Peringatan tahun baru, maulid
Nabi, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an.
Padahal dalam Islam tidak ada hari raya yang di
peringati secara rutin selain hari raya yang tiga, yaitu yaitu
‘IEDUL FITHRI, ‘IEDUL ADHA dan HARI JUM’AT. (97)
96
(Syarah Muslim 6/421)
97
(HR Abu Dawud : 1134, dari Anas bin Malik)
98
(HR Bukhari : 1807, dan Muslim : 1080 dari Ibnu Umar)
99
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah. Dishohihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 224)
45
[5] TIDAK BERHIAS (bagi laki laki) dengan memakai
PAKAIAN TERBAIK, walaupun tidak harus PAKAIAN BARU.
Ibnul Qayyim v berkata, “Nabi memakai
pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan
shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha.
Beliau memiliki hullah (baju) yang biasa dipakai
pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu
beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang
diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan
terkadang mengenakan burdah berwarna merah... ". (101)
100
(HR Al Baihaqi, syaikh Al Albani menghukumi hasan dala al Irwa 1/176)
101
(Kitab Zadul Ma'ad, Ibnu Qoyyim 1/441)
102
(HR Bukhari : 953 dari Anas).
103
(HR Bukhari : 986, dari Jabir)
46
dengan naik
KENDARAAN tanpa udzur, padahal yang utama adalah
dengan BERJALAN KAKI (104)
104
(HR Tirmidzi : 530, Ibnu Majah : 1296 dari Ali bin Abi Thalib)
105
(QS Al Baqarah : 185)
106
(Silsilah Al Ahadits As Shahihah 1/120 no 170).
107
47
sebagai mana dilakukan oleh para Salaf. Namun mereka
tidak seragam satu suara. Sebagaimana disebutkan dalam
riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama
nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu
akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan
satu sama lain tidak saling menyalahkan..” (108)
Dan takbir berjamaah seperti ini menurut al Haaj
adalah bid’ah (109)
Dari Nafi’ ia berkata, “Adalah Ibnu Umar berangkat
pagi menuju tanah lapang untuk shalat Ied mengeraskan
suara takbir sampai datang ke tempat shalat” (110)
Yang lebih buruk lagi adalah konvoi berkendara
dengan istilah TAKBIR KELILING dengan pakai SOUND
SISTEM atau BAWA BEDUK yang membuat berisik dan
macet jalanan, sehingga mengganggu MASYARAKAT maka
dengan hal ini berlipat lah DOSA dan KESALAHAN
108
(Musnad Imam As Syafi’i : 909).
109
(Al madkhal 2/440)
110
(HR Baihaqi 3/279)
48
seperti lafadz "Allahu Akbar Kabiro,
walaahamdulillahi Katsiro, Wasubhanallahi Bukrotan
Wa Ashiila ..." dst .
Tentang lafadz Takbir pada saat hari raya, Syaikh Ali
Hasan al Halabi v berkata : “Sepanjang yang aku ketahui,
tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara
takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di
riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai
mereka semuanya.
Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan
lafadh:
ه ه
ُ اَلل، واَللُ أ ْك ََب، ُ َلَ الَهَ اَل للا، اَللُ أَ ْك ََب، أَللُ أَ ْك ََب
أَ ْكَب ه ه
ولِل ا ْْلَ ْم ُد َ
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar
Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian.
Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh:
للا أَ ْك ه ه، للا أَ ْكَب،للا أَ ْكَب
َُ للاُ أَ ْك،َب َولِل ا ْْلَ ْم ُد
َب َو َُ ُ َُ ُ َُ ُ
َُ للاُ أَ ْك،أَ َخ ُّل
َب َعلَى َما َه َد َان
111
(Al Kalimat An Naafi’ah, fi Fashl Khomsuuna Khotho-an Fi Sholatil ‘Idain,
hal. 390-391)
49
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar
dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan
Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang
diberikannya pada kita” (112)
di MASJID tanpa
‘Udzur, dan yang benar adalah menunaikan shalat ‘Ied di
LAPANGAN TERBUKA. (113)
Dalam hadits disebutkan Bahwa Nabi berangkat
shalat ke lapangan, dan tombak kecil ada ditangannya, ia
membawa dan menancapkannya di lapangan, lalu ia shalat
menghadapnya (114)
112
(Kitab Ahkamul 'Iedain Fis Sunnah Al Muthohharoh, Syaikh Ali Hasan al
Halabi )
113
(HR. Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa'i 3/187).
114
(HR Bukhari : 494, dan Muslim : 501)
115
(HR Bukhari : 989, dan Muslim : 884)
50
sampai di tempat shalat (‘Ied), baik sebelum shlat (‘Ied)
maupun sesudahnya”. (116)
KEMBANG
API atau PETASAN pada saat hari raya. Karena hal ini
selain bentuk PEMBOROSAN yang dilarang, juga bagian
dari MENAKUT NAKUTI kaum muslimin dengan suaranya
yang bising, juga bentuk TASYABBUH (menyerupai)
terhadap orang orang KAFIR yang menampakan
kegembiraan dengan menyulut kembang api, serta bisa
mendatangkan bahaya (119)
116
(Zadul Ma’ad 2/443)
117
(Al Ibda’, hal. 263)
118
(Ahkamul Janaiz, hal. 258)
119
(Al kalimat an Naafi’ah, hal. 409)
51
BERTABARRUJ yaitu berdandan dan
bersolek pada hari raya agar dilihat oleh manusia, diantara
bentuknya :
dengan memakai pakaian pendek
yang nampak sebagian auratnya
dengan mengenakan CELANA
PANJANG karena hal itu menampakan lekuk tubuhnya,
walaupun pakai JILBAB
memakai JILBAB atau KERUDUNG
ketat sehingga nampak lekukan tubuhnya
memakai sepatu berhak tinggi
sehingga terdengar SUARA nya, yang pada akhirnya
membuat FITNAH
dan menmpakannya kepada
lelaki yang bukan mahram (120)
120
(Al kalimat an Naafi’ah, hal. 412)
121
(HR Bukhari (no. 4609).
52
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v ditanya tentang
ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab :
Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang
mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat
Ied: Taqabbalallahu minnaa wa minkum artinya,
“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian"
Dan Ahallallahu alaik dan yang sejenisnya, ini telah
diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka
mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk
melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya. (122)
122
(Majmu Al-Fatawa 24/253)
123
(HR Bukhari : 907, dan Muslim : 829, lihat kitab Ahkamul 'Idain fis
Sunnah al Muthohharah)
53