Anda di halaman 1dari 120

PERAN ORANG TUA DALAM MEMBINA KECERDASAN SPIRITUAL (SQ)

ANAK DALAM KELUARGA DI JORONG TANTAMAN KECAMATAN

PALEMBAYAN KABUPATEN AGAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Sidang Munaqasyah
pada Program Studi Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan

Oleh :

ISNAWATI RORA
NIM: 2114.152

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

2021 M/1442 H
2
ABSTRAK
Skripsi atas nama ISNAWATI RORA, NIM. 2114.152. Skripsi ini berjudul
“Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual (SQ) Anak Dalam
Keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam”.
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi dan gambaran
tentang peran tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam keluarga di
Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam.
Adapun yang memotivasi penulis melakukan penelitian ini dilatar belakangi
oleh kondisi anak usia 13-16 tahun yang perlu pembinaan dan arahan orang tua.
Dimana setelah penulis melakukan observasi masih ditemukan anak yang berkeliaran
ketika suara adzan dikumandangkan dan anak tidak segera melaksanakan shalat, di
sekolah anak mendapatkan nilai yang bagus akan tetapi di rumah suka melawan
kepada orang tua kemudian ketika bertemu tetangga jarang bertegur sapa bahkan ada
yang berperilaku kurang sopan pada orang yang lebih tua serta anak kurang
berinisiatif dalam mengikuti setiap kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di
lingkungan tempat tinggal yaitu di Jorong Tantaman.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian lapangan (field
research) dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
berlokasi di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam. Dalam
penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah orang tua anak usia 13-16 tahun
dan informan pendukung adalah anak usia 13-16 tahun dan tokoh agama di Jorong
Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam. Data dikumpulkan melalui
metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Data yang diperoleh dilapangan
kemudian disusun dengan memilih dan menyederhanakan data. Selanjutnya
dilakukan penyajian data untuk dapat ditarik kesimpulannya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,
peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam keluarga di
Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam melalui penanaman
nilai-nilai keimanan sudah ada yang berperan baik dan ada juga yang belum, baik
dalam menceritakan kisah/cerita yang mengesakan Allah Ta’ala, mengaktualisasikan akidah
dalam kehidupan sehari-hari dan mendorong anak-anak untuk serius dalam menuntut ilmu
dengan berguru pada orang yang dianggap bisa membentuk frame berpikir islami pada anak.
Kedua, peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam
keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam melalui
penanaman nilai ibadah belum optimal, baik dari segi memberikan keteladan,
kebiasaan, nasehat, memberikan perhatian dan memberikan pujian kepada anak.
Ketiga, kendala-kendala yang dihadapi orang tua dalam membina kecerdasan
spiritual (SQ) anak dalam keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan
Kabupaten Agam yaitu rendahnya pengetahuan agama orang tua, keterbatasan waktu
dan kesibukkan orang tua dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta memberikan taufik dan hidayah-Nya

kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk

skripsi ini yang berjudul “Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan

Spiritual (SQ) Anak Dalam Keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan

untuk mencapai gelar Sarjana Studi Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Tarbiyah

dan Ilmu Keguruan.

Shalawat serta salam penulis mohonkan kepada Allah SWT semoga

disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah meninggalkan dua pedoman

hidup sebagai petunjuk kepada jalan yang lurus dan membawa umat manusia dari

zaman jahiliyah sampai kepada zaman yang berilmu pengetahuan seperti sekarang

ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit

kendala yang dihadapi, namun berkat petunjuk, bimbingan, arahan dan bantuan dari

berbagai pihak akhirnya bisa terselesaikan. Oleh karena itu dengan hati yang ikhlas

penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada

ii
kedua orang tua yang telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan penulis sekarang ini. Tidak lupa penulis

memberikan ucapan terimakasih kepada keluarga dan sanak famili yang sangat

penulis sayangi, yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk dapat

menyelesaikan studi S1 penulis.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Ridha Ahida, M.Hum, selaku Rektor IAIN Bukittinggi.

2. Bapak Dr. Asyari, S.Ag, M.Si selaku wakil Rektor I IAIN Bukittinggi.

Bapak Dr. Novi Hendri, M.Ag selaku wakil Rektor II IAIN Bukittinggi.

Bapak Dr. Miswardi S.H, M.Hum selaku wakil Rektor III IAIN Bukittinggi.

3. Ibu Dr. Zulfani Sesmiarni M.Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan IAIN Bukittinggi.

4. Bapak Dr. Iswantir M, M.Ag selaku Wakil Dekan I, Bapak Charles, S.Ag,

M.Pd.I selaku Wakil Dekan II, Bapak Dr. Supratman, M.Pd, M.Kom selaku

Wakil Dekan III.

5. Bapak Dr. Arifmiboy, S.Ag, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Agama Islam.

6. Ibu Nelmaya, MA selaku Penasehat Akademik.

7. Bapak Dr. Iswantir M, M.Ag selaku Pembimbing yang telah memberikan

arahan, bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. Kemudian kepada Ibuk

iii
Dr. Silfia Hanani, M.Si yang dahulunya selaku Pembimbing I yang telah

memberikan arahan dan membimbing skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu dosen serta staf Program Studi Pendidikan Agama Islam.

9. Kepala Jorong Tantaman, tokoh agama, orang tua, anak-anak usia 13-16 tahun

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat seperjuangan Program Studi PAI dan teman-teman lainnya

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah ikut memberikan

motivasi, arahan, dan semangat kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap kepada allah SWT membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi

perkembangan ilmu dan bagi peneliti yang akan datang.

Bukittinggi, 04 Januari 2021


Penulis,

ISNAWATI RORA
NIM. 2114.152

iv
DAFTAR ISI

COVER .....................................................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................

ABSTRAK ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1

B. Batasan Masalah ........................................................................................... 11

C. Rumusan Masalah......................................................................................... 12

D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ................................................. 12

E. Penjelasan Judul ........................................................................................... 14

F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 16

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Peran Orang Tua

1. Pengertian Peran ..................................................................................... 18

2. Pengertian Orang Tua ............................................................................. 19

3. Tanggung Jawab dan Tugas Orang Tua ................................................. 21

4. Kewajiban Orang Tua ............................................................................. 32

B. Kecerdasan Spiritual

1. Pengertian Kecerdasan Spiritual ............................................................. 32

v
2. Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual ................................................................ 43

3. Fungsi Kecerdasan Spiritual ................................................................... 46

4. Manfaat Kecerdasan Spiritual ................................................................ 46

C. Peran Orang Tua dalam Membina Kecerdasan Spiritual Anak .................... 47

D. Kendala-Kendala yang Dihadapi Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan

Spiritual Anak ............................................................................................... 62

E. Penelitian Terdahulu ..................................................................................... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ............................................................................................ 65

B. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 65

C. Informan Penelitian ..................................................................................... 66

D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 67

E. Teknik Pengolahan Data ............................................................................. 68

F. Teknik Analisis Data ................................................................................... 69

G. Triangulasi Data .......................................................................................... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Temuan Umum

1. Deskripsi Singkat Lokasi Penelitian ..................................................... 71

a. Keadaan Monografi ........................................................................ 71

b. Keadaan Demografi Jorong Tantaman ........................................... 71

vi
c. Penduduk Berdasarkan Pekerjaan .................................................. 72

d. Pendidikan ...................................................................................... 72

e. Kesehatan........................................................................................ 73

f. Budaya ............................................................................................ 74

g. Agama ............................................................................................. 74

h. Keadaaan Ekonomi ......................................................................... 75

B. Temuan Khusus

1. Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual (SQ) Anak

Dalam Keluarga Melalui Penanaman Nilai-Nilai Keimanan Di Jorong

Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam......................... 76

2. Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual (SQ) Anak

Dalam Keluarga Melalui Penanaman Nilai-Nilai Keimanan Di Jorong

Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam......................... 82

3. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Orang Tua Dalam Membina

Kecerdasan Spiritual (SQ) Anak Di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam............................................................. 92

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan ............................................................................................ 102

2. Saran ...................................................................................................... 103

DAFTAR KEPUSTAKAAN

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan

keluarga ini pertama kali anak mendapatkan pengaruh sadar. Karena itu

keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, yang bersifat informal dan

kodrati. Lahirnya keluarga sebagai lembaga pendidikan semenjak manusia

itu ada. Ayah dan ibu di dalam keluarga sebagai pendidiknya dan anak

sebagai terdidiknya. Keluarga merupakan lembaga pendidikan tidak

mempunyai program yang resmi seperti yang dimiliki oleh lembaga

pendidikan formal.1

Keluarga merupakan suatu lembaga pendidikan informal, dalam

keluarga anak pertama sekali menerima pendidikan contoh yang baik atau

suri tauladan yaitu melalui pengalaman sehari-hari. Orang tua memegang

peran penting terhadap pembinaan sikap dan tingkah laku anak agar tumbuh

kembang menjadi anak yang berakhlak mulia serta berbudi pekerti luhur.

Berdasarkan tanggung jawab tersebutlah orang tua harus memberi motivasi

atau dorongan dalam memperjuangkan seluruh anggota keluarga terutama

sekali anaknya. Agar dapat memperoleh kehidupan yang sempurna

sekaligus untuk menuju ke arah kedewasaan jasmani dan rohani.

1
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h.17

1
2

Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan

akhlak dan pola pikir anak dan hanya keluarga yang demokrasi akan

mampu mengembangkan dinamika secara maksimal. keberadaan orang tua

sangat strategis dalam membentuk kepribadian, karakter, serta pola pikir

anak. Dalam hal ini keluarga yang demokratis disinyalir akan mampu

mengembangkan dinamika anak secara maksimal.2

Jadi, dalam keluarga diperlukan hubungan yang harmonis, baik

antar sesama anggota keluarga, maupun antar anggota keluarga dengan

masyarakat. Dengan hubungan yang baik, maka akan terbina keluarga yang

rukun dan damai, sehingga peranan orang tua dalam pembinaan anak

sebagai tunas bangsa akan berhasil dengan baik dan maksimal.

Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada orang

tua untuk dirawat dan dididik menjadi manusia yang bertakwa. Anak dapat

menjadi penolong ketika mereka sudah dewasa dan penolong di akhirat.

Akan tetapi, anak juga dapat menjadi penghalang bagi kita untuk masuk ke

surga jika tidak dididik dengan baik. Upaya untuk mendidik anak agar dapat

menjadi penyejuk hati tidaklah mudah karena ada beberapa tantangan yang

akan dihadapi, terutama dari lingkungan sekitar. Salah satu hal yang perlu

dilakukan adalah menerapkan keteladanan dalam mengimplementasikan Al-

Qur’an dan Sunnah dalam kehidupan sehari-hari, serta melatih anak untuk

2
Nunu Burhanuddin, JURNAL EDUCATIVE: Konstruksi Pendidikan Integratif Menurut
Hamka, Vol.1, No. 1, Januari-Juni 2016, h.20
3

menjadi generasi yang memiliki akhlak mulia sesuai dengan tuntutan Al-

Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.3 Oleh karena itu orang tualah yang

memegang faktor kunci yang bisa menjadikan anak tumbuh dengan jiwa

Islami.

Pada kenyataan sekarang ini, dapat dilihat anak usia 13-16 tahun,

bahwa pada usia ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga

memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan

kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur

sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada

Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang berkurang

yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-

kadang malas. Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptis (was-was)

sehingga muncul keengganan dan malas untuk melakukan berbagai

kegiatan ritual (seperti ibadah shalat) yang selama ini dilakukannya dengan

penuh kepatuhan.

Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena

disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan

dengan matangnya organ seks, yang mendorong anak untuk memenuhi

kebutuhan tersebut, namun disisi lain ia tahu perbuatannya itu dilarang oleh

agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri anak. Faktor internal

3
Ridwan Abdullah Sani, Muhammad Kadri, Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2016), h. 4
4

lainnya adalah bersikap psikologis, yaitu bersikap independen, keinginan

untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga (orang tua).

Apabila orang tua atau guru-guru kurang memahami dan mendekatinya

secara baik, bahkan dengan sikap keras, maka sikap itu akan muncul dalam

bentuk tingkah laku negatif seperti membandel, oposisi, menentang atau

menyendiri, dan acuh tak acuh.4

Sedangkan, faktor eksternal berkaitan dengan perkembangan budaya

dalam masyarakat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama,

seperti beredarnya film-film dan foto-foto yang tidak baik, minuman keras,

ganja atau obat-obatan terlarang. Hal ini semua mempunyai daya tarik yang

sangat kuat bagi anak usia 13-16 (remaja) untuk mencobanya. Mungkin

mereka melihat bahwa tidak sedikit orang dewasa atau masyarakat sekitar

yang gaya hidupnya kurang memperdulikan agama, bersifat munafik, tidak

jujur, dan perilaku amoral lainnya.

Apabila anak kurang mendapat bimbingan keagamaan dalam

keluarga, karena kondisinya kurang harmonis, kurang memberikan kasih

sayang, serta bergaul dengan teman-teman yang kurang menghargai nilai-

nilai agama, maka kondisi tersebut menjadi pemicu berkembangnya sikap

dan perilaku anak yang kurang baik atau asusila.5

4
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008), h. 204-205
5
Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2013), h. 107
5

Jadi, melihat realita di atas, anak usia 13-16 tahun pada masa usia

ini anak memiliki kecerdasan yang luar biasa yang dapat dikembangkan

tetapi karena ada faktor-faktor yang tidak baik mempengaruhi, maka

kecerdasan itu mereka tuangkan pada hal-hal yang tidak bermanfaaat

sehingga dapat merusak akhlak mereka. Untuk itu peran orang tua sangatlah

penting terutama dalam memberikan pendidikan islami, yang mana menurut

menurut Azra pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu

berdasarkan ajaran dan nilai-nilai Islam yang diwahyukan Allah SWT ke

pada Muhammad SAW. Melalui proses pendidikan seperti itu individu

dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia mampu

menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dan berhasil

mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.6

Orang tua sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian

anak untuk dimasa yang akan datang. Orang tua hendaknya

memperhatikan anak dari segi Muroqabatullah yakni dengan menjadikan

anak merasa bahwa Allah SWT selamanya mendengarkan bisikan dan

pembicaraannya, melihat setiap gerak geriknya serta mengetahui apa

yang dirahasiakan dan disembunyikan. Terutama masalah kecerdasan

spiritual anak (SQ). SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk

6
Iswantir M, M. Ag, JURNAL EDUCATIVE: Gagasan dan Pemikiran Serta Praksis
Pendidikan Islam di Indonesia, Vol.2, No.2, Juli-Desember 2017, h. 168
6

memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan

kecerdasan tertinggi manusia.

Sedangkan menurut Ary Ginanjar Agustian di dalam buku yang

berjudul Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual

ESQ:

Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna


ibadah pada setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan
pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan
memiliki pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah SWT.

Dari definisi tersebut kita dapat mengetahui bahwa kecerdasan

spiritual menghasilkan orang-orang yang spiritual tidak saja tangguh dan

cakap dalam ujian hidup, melainkan ia juga mampu memfungsikan

hubungan dengan Allah untuk meraih sukses dan kebahagiaan batin-

spiritual yang bukan lagi terletak disisi luar (outside) malainkan justru

disisi dalam (inside) yang dapat kita istilahkan dengan iman-iman yang

teguh sebagai wujud keyakinan dan kepercayaan yang kuat.

Pada saat ini kita sudah mengenal tiga kecerdasan. Ketiga

kecerdasan itu terdiri dari kecerdasan intelektual atau Intelligent Quotient

(IQ), kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), dan kecerdasan


7
spiritual atau Spiritual Quotient (SQ). Pertama, Kecerdasan intelektual

(IQ) adalah kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari sesuatu

7
Ridwan Abdullah Sani, Muhammad Kadri, Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2016), h. 62
7

dengan menggunakan alat-alat berpikir. Kecerdasan ini bisa diukur dari sisi

kekuatan verbal dan logika seseorang. Kedua, Kecerdasan emosional (EQ)

adalah kemampuan seseorag untuk menerima, menilai, mengelola, serta

mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya. Kecerdasan ini

terdiri dari lima komponen pokok yakni kesadaran diri, manajemen emosi,

motivasi, empati, dan mengatur sebuah hubungan sosial. Ketiga, kecerdasan

spiritual (SQ) adalah kemampuan utuk memberikan makna ibadah pada

setip perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran bersifat

fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki pemikiran tauhid

serta berprinsip hanya karena Allah SWT. Kecerdasan-kecerdasan tersebut

memiliki fungsi masing-masing yang kita butuhkan dalam hidup di dunia

ini.

Dalam rangka mencapai pendidikan Islam mengupayakan

pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang dengan

terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat

melaksanakan fungsi pengabdiannya sebagai khalifah di muka bumi. Untuk

melaksanakan pengabdian tersebut harus dibina seluruh potensi yang

dimiliki yaitu potensi spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan. Potensi-

potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang

amat berharga.8

8
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1,
h.51
8

Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kecerdasan seseorang dalam

memahami dan mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran yang berlaku

tanpa batas waktu. Kecerdasan ini terkait dengan kejiwaan dan digunakan

untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta pemahaman

terhadap standar moral.9 Kecerdasan spiritual adalah suatu ragam

kecerdasan yang menyadarkan kita akan makna hidup, serta memungkinkan

secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna

dalam kehidupan seseorang.10

Setiap manusia membutuhkan kecerdasan spiritual ini, karena

kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mempertahankan,

mengembangkan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta

kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan mencintai, menjalin hubungan

dan penuh rasa percaya dengan sang penciptanya.

Kecerdasan spiritual ini sangat penting dalam kehidupan manusia,

karena ia akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk

membedakan yang baik dengan yang buruk, memberi manusia rasa moral

dan memberi manusia kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan

aturan-aturan yang baru.

Peranan orang tua sangatlah berpengaruh sekali dalam mendidik

anak-anaknya terutama di dalam Pendidikan Agama Islam. Dalam ajaran

9
Ridwan Abdullah Sani, Muhammad Kadri, Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2016), h. 63
10
Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, ( Jakarta: KENCANA, 2011), h. 72
9

Agama Islam terkandung nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu orang tua

harus mendidik anaknya untuk meningkatkan potensi spiritual anak agar

menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan-Nya dan berakhlak

mulia.

Anak merupakan bahagian dari masyarakat yang dipundaknya

terpikul beban pembangunan di masa mendatang dan juga sebagai generasi

penerus dari yang tua-tua, maka dari itu orang tua harus lebih

memperhatikan, membimbing dan mendidik anak dengan baik, sehingga

tercapailah baginya kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat.

Untuk mencapai hal ini, Allah mengigatkan kepada orang tua agar

mempertahankan keturunannya.

          

    

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9).11

Ayat di atas mengisyaratkan kepada orang tua agar tidak

meninggalkan anak mereka dalam keadaan lemah. Lemah disini maksudnya

adalah lemah dalam segala aspek kehidupan seperti lemah mental, psikis,

11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, edisi Khat Madinah, (Bandung:
Syamil Cipta Media, 2005), h. 412.
10

pendidikan, ekonomi terutama lemah iman. Anak yang lemah iman akan

menjadi generasi tanpa kepribadian. Jadi semua orang tua harus

memperhatikan semua aspek perkembangan anaknya baik itu dari segi

perhatian, kasih sayang, pendidikan mental, maupun masalah aqidah atau

keimanannya.

Beranjak dari apa yang penulis paparkan diatas dapat dipahami bahwa

upaya membina kecerdasan spiritual anak perlu mendapat perhatian yang

serius dari para orang tua, yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

Sebagai gambaran data awal penelitian ini anak berusia 13 sampai 16

tahun.

Tabel 1

Jumlah anak umur 13-16 tahun dari jenis kelamin di Jorong Tantaman

Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam

Jenis Kelamin Jumlah

No Laki-Laki Perempuan

1 35 46 81

Berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan pada tanggal 29

Desember 2017 di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten

Agam terlihat bahwa masih ditemukan anak yang berkeliaran ketika suara

adzan berkumandang dan anak tidak segera untuk melaksanakan shalat. Di

sekolah anak mendapatkan nilai yang baik akan tetapi di rumah banyak anak
11

yang melawan kepada orang tua, ketika anak bertemu tetangga juga jarang

bertegur sapa bahkan ada yang berperilaku kurang sopan pada orang yang

lebih tua yaitu menggunakan bahasa yang tidak baik, bahkan masih ditemukan

anak kurang berinisiatif dalam mengikuti setiap kegiatan keagamaan yang

dilaksanakan di lingkungan tempat tinggalnya, berdasarkan hasil wawancara

dengan salah satu orang tua bernama Rosdayeni di Jorong Tantaman,

Kecamatan Palembayan mengatakan bahwa anaknya sering melawan

perkataannya jika disuruh untuk membantunya, padahal di sekolah dia anak

yang rajin bahkan mendapatkan nilai bagus, ketika waktu shalat tiba anaknya

masih asyik juga bermain.

Dari permasalahan di lapangan itulah yang mendorong penulis

berkeinginan untuk mengkaji lebih lanjut tentang “Peran Orang Tua dalam

Membina Kecerdasan Spiritual (SQ) Anak dalam Keluarga di Jorong

Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam”.

B. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah serta dengan pertimbangan

keterbatasan waktu, tenaga, biaya dan kemampuan peneliti, maka

pembatasan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada:

1. Peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak dalam

keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam

melalui penanaman nilai-nilai keimanan.


12

2. Peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak dalam

keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam

melalui ibadah.

3. Kendala yang dihadapi orang tua dalam membina kecerdasan spiritual

anak dalam keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam.

C. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ)

anak dalam keluarga, di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam melalui penanaman nilai-nilai keimanan?

2. Bagaimana peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ)

anak dalam keluarga, di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam melalui ibadah?

3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi orang tua dalam membina

kecerdasan spiritual anak dalam keluarga di Jorong Tantaman

Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dari beberapa pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas

maka tujuan yang hendak dicapai di dalan penelitian ini adalah :


13

a. Untuk mengetahui peran orang tua dalam membina kecerdasan

spiritual (SQ) anak dalam keluarga, di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam melalui penanaman nila-nilai

keimanan.

b. Untuk mengetahui peran orang tua dalam membina kecerdasan

spiritual (SQ) anak dalam keluarga, di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam melalui ibadah.

c. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi orang tua

dalam membina kecerdasan spiritual anak dalam keluarga di Jorong

Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam.

2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas

Tarbiyah di IAIN Bukittinggi pada Jurusan Pendidikan Agama Islam

(PAI).

b. Untuk menambah wawasan yang berhubungan dengan peran orang

tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam keluarga.

c. Sebagai pedoman bagi orang tua dalam membina kecerdasan

spiritual anak dalam keluarga baik melalui penanaman nilai-nilai

keimanan maupun memalui ibadah, serta kendala-kendala apa saja

yang harus dihadapi dalam pembinaan tersebut.


14

E. Penjelasan Judul

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memenuhi judul penelitian ini,

penulis perlu menjelaskan maksud dari istilah yang terdapat pada judul

Peran Orang Tua dalam Membina Kecerdasan Spiritual Anak dalam

Keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam.

Peran : Perangkat tingkah laku yang diharapkan

dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam

masyarakat.12 Yang penulis maksud adalah

peran dari orang tua dalam membina

kecerdasan spiritual anak dalam keluarga.

Orang tua : Orang tua adalah ayah dan ibu seorang anak,

baik melalui hubungan biologis maupun sosial.

Maksud penulis disini orang tua yang memiliki

anak berusia 13-16 tahun.13

Membina : Proses, perbuatan, cara membina,

pembaharuan, penyempurnaan, usaha,

tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara

berdaya guna dan berhasil untuk memperoleh

12
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 751.
13
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke-4, h. 79
15

hasil yang lebih baik.14

Kecerdasan Spiritual : Kecerdasan seseorang dalam memahami dan

mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran

yang berlaku tanpa batas waktu. Kecerdasan

ini terkait dengan kejiwaan dan digunakan

untuk membedakan baik dan buruk, benar dan

salah, serta pemahaman terhadap standar

moral.15

Anak : Buah hati yang dilahirkan oleh ibu dengan

adanya ikatan pernikahan antara sang ayah dan

ibu sesuai dengan ajaran Islam.16 Maksud

penulis anak disini yaitu anak berusia 13-16

tahun.

Keluarga : Nasab atau usrah yang terdiri dari ayah, ibu

dan anak, yang semuanya mempunyai hak dan

kewajiban yang masing-masing harus

melaksanakannya. 17

Jorong Tantaman : Salah satu desa yang berada di Kenagarian

14
Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah, (Yogyakarta: Belukar,
2006), h. 54
15
Ridwan Abdullah Sani, Muhammad Kadri, Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2016), h. 63
16
M. Nippon Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2003), h.5
17
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 111
16

Tigo Koto Silungkang Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam.

Jadi, peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak dalam

keluarga adalah dimana orang tua sangat berperan penting dalam membina

anak menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak

mulia sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sistematis penulisan

sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

penjelasan judul dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teoritis, pada bab ini akan penulis bahas mengenai

peran orang tua dengan poin-poin: pengertian peran, pengertian orang tua,

tanggung jawab dan tugas orang tua serta kewajiban orang tua, kemudian

mengenai membina kecerdasan spiritual anak dengan poin-poin: pengertian

kecerdasan spiritual, ciri-ciri kecerdasan spiritual, fungsi kecerdasan

spiritual, manfaat kecerdasan spiritual, peran orang tua dalam membina

kecerdasan spiritual anak dalam keluarga dan kendala-kendala yang

dihadapi orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak, serta

penelitian terdahulu.
17

Bab III Metodologi penelitian, terdiri dari jenis penelitian, lokasi

penelitian, informan, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data,

teknik analisis data dan triangulasi.

Bab IV Menguraikan hasil penelitian dari peran orang tua dalam

membina kecerdasan spiritual anak dalam keluarga.

Bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Peran Orang Tua

1. Pengertian Peran

Peran berarti ikut bertanggung jawab pada perilaku positif maupun

negatif yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya. Orang tua

mempunyai kewajiban dalam mempedulikan, memperhatikan, dan

mengarahkan anak-anaknya, karena anak merupakan amanat yang

diberikan Allah kepada orang tua, maka orang tua berkewajiban untuk

menjaga, memelihara, memperhatikan, dan menyampaikan amanat dengan

cara mengantarkan anak-anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri

kepada Allah.

Peran adalah “perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki

oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”.18 Bentuk-bentuk peran

bisa berupa menghiraukan, memperhatikan, mengarahkan, membimbing

dan ikut bertanggung jawab atas kehidupannya sehari-hari baik jasmani

maupun rohani.

Hakikatnya peran juga dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian

perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh orang tertentu. Kepribadian

seseorang bisa mempengaruhi bagaimana peran itu bisa dijalankan, peran

yang dimainkan hakekatnya tidak ada perbedaan, baik yang dimainkan.


18
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 854.

18
19

2. Pengertian Orang Tua

Menurut Ibn Miskawaih, orang tua merupakan pendidik pertama

bagi anak anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan pendidikan

dari orang tua kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih

berpendapat bahwa, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk

mematuhi syariat tidak menjadi persoalan. Dasar pertimbangannya adalah

karena semakin lama anak-anak akan mengetahui penjelasan atau

alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara sehingga dapat

mencapai keutamaan.19

Kemudian orang tua juga merupakan pendidik utama dan pertama

bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima

pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat

dalam kehidupan keluarga.20 Sebagai orang tua haruslah memberikan

pendidikan yang baik untuk anaknya, dimana Pendidikan secara substansi

dimaknakan sebagai melepaskan diri sesuatu yang tidak tahu menjadi

tahu, melepaskan manusia dari keterbelakangan sehingga manusia

mencapai titik fitrahnya sebagai ciptaan yang sempurna. Saat ini dengan

kemajuan Teknologi Informasi, pendidikan dapat terlaksana kapanpun,

dimanapun tanpa dibatasi ruang dan waktu, sehingga pendidikan dapat

berlangsung sepanjang waktu. Konsep pendidikan long life education

19
Khairuddin, JURNAL EDUCATIVE: Meningkatkan Kompetensi Akhlak Siswa Melalui
Proses Pembelajaran, Vol. 1, No. 2 Juli-Desember, 2016. h. 127
20
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. ke-4, h. 35
20

yang menyatakan bahwa Pendidikan tidaklah ada batas akhirnya, bahkan

dalam dunia Islam diistilahkan dengan belajar dari ayunan sampai liang

lahat.21 Karena itulah, orang tua merupakan pendidik pertama, utama dan

kodrati. Orang tua yang secara sadar mendidik anaknya akan selalu

dituntun oleh tujuan pendidikan, yaitu ke arah anak dapat mandiri, kearah

satu kepribadian yang utama.22

Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan

berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari

pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan

strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi

pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan

hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua

dan anak.

Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan yang penting dan

amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak

lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru

perangai ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya,

apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu merupakan orang

yang mula-mula dipercayainya. Apapun yang dilakukan ibu dapat

21
Retna Fitri, Supratrman Zakir, Sarwo Derta, Gusnita Darmawati, JURNAL EDUCATIVE :
Penggunaan CIPP Model Dalam Mengevaluasi Pelaksanaan Tahfidz Qur’an Di Pondok Pesantren,
Vol. 5. No.1, 2020, h. 2
22
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidi kan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h.
22
21

dimaafkannya, kecuali apabila ia ditinggalkan. Dengan memahami segala

sesuatu yang terkandung di dalam hati anaknya, juga jika anak telah mulai

agak besar, disertai kasih sayang, dapatlah ibu mengambil hati anaknya

untuk selama-lamanya.

Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula. Di mata anaknya ia

seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang

dikenalnya. Cara ayah itu melakukan pekerjaanya sehari-hari berpengaruh

pada cara pekerjaan anaknya. Ayah merupakan penolong utama, lebih-

lebih bagi anak yang agak besar, baik laki-laki maupun perempuan, bila ia

mau mendekati dan dapat memahami hati anaknya.23

3. Tanggung Jawab dan Tugas Orang Tua

a. Tanggung Jawab Orang Tua

Para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas

segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya

tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan secara

mendasar terpikul kepada orang tua. Apakah tanggung jawab

pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan

sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan “fitrah” yang

telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak

bisa mengelakkan tanggung jawab itu karena telah merupakan

amanah Allah SWT yang dibebankan kepada mereka


23
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. ke-4, h. 35-36
22

Disamping itu pangkal ketentraman dan kedamaian hidup

terletak dalam keluarga. Mengingat pentingnya hidup keluarga yang

demikian, maka Islam memandang keluarga bukan hanya sebagai

persekutuan hidup terkecil saja melainkan lebih dari itu, yakni sebagai

lembaga hidup manusia yang memberi peluang kepada para

anggotanya untuk hidup celaka atau bahagia dunia dan akhirat.

Pertama-tama yang diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad

SAW dalam mengembangkan agama Islam adalah untuk mengajarkan

agama itu kepada keluarganya, baru kemudian kepada masyarakat

luas. Hal itu berarti di dalamnya terkandung makna bahwa

keselamatan keluarga harus lebih dahulu mendapat perhatian atau

harus didahulukan ketimbang keselamatan masyarakat.24

Demikian pula Islam memerintahkan agar para orang tua

berlaku sebagai kepala dan pemimpin dalam keluarganya serta

berkewajiban untuk memelihara keluarganya dari api neraka,

sebagaimana Firman Allah:

...       

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka...” (Q.S. At-Tahrim: 6)

24
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, …, h. 36
23

Mengenai kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk

mendidik dan membimbing perkembangan anak-anaknya, Nabi

bersabda:

: ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم‬


ّ ‫صلّى‬ ‫ض َي ه‬
َ ‫َّللاُ َع ْنهُ قَا َل النّ ِب ُّي‬ ِ ‫َوقَا َ َل اَنَسٌ َر‬
‫اَ ْل ُغالَ َم يَ ِع ُّق َع ْنهُ يَوْ َم السّا بِ ِع َويُ َس همى َويُ َماطُ َع ْنهُ ْاالَ َذى فَأ ِ َذ بَلَ َغ ِس ه‬
‫ت‬
‫ب‬ َ ‫َب فَأ ِ َذا بَلَ َغ تِ ْس َع ِسنِ ْينَ ع ََز َل فَ ِرا َشهُ فَأ ِ َذا بَلَ َغ ثَ َالثَةُ َع َش َر‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫ِسنِ ْينَ اَد‬
َ‫صالَ ِة فَأ ِ َذا بَلَ َغ ِستهةَ َع َش َر َزوْ َجهُ اَبُوْ هُ ثُ هم اَ َخ َذ بِيَ ِد ِه َوقَا َل قَ ْد اَ هد ْبتُك‬ ‫لِل ه‬
.‫ك فِى ال ُّد ْنيَا َ َو َع َذابِكَ فِى ْاالَ ِخ َر ِة‬ َ ِ‫ك اَ ُعوْ ُذ ب‬
َ ِ‫اَللِ ِم ْن فِ ْتنَت‬ َ ُ‫َوعَله ْمت‬
َ ُ‫ك َواَ ْن َكحْ ت‬
Artinya:
“Anas mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: Anak itu
pada hari ke tujuh dari kelahirannya disembelihkan akikahnya, serta
diberi namanya dan disingkirkan dari segala kotoran-kotoran. Jika ia
telah berumur 6 tahun ia didik beradab susila, jika ia telah berumur 9
tahun dipisahkan tempat tidurnya dan jika telah berumur 13 tahun
dipukul agar mau sembahyang (diharuskan). Bila ia telah berumur 16
tahun boleh dikawinkan, setelah itu ayah berjabatan tangan
dengannya dan mengatakan : “Saya telah mendidik, mengajar dan
mengawinkan kamu, saya mohon perlindungan kepada Allah dari
fitnahan-fitnahan di dunia dan siksaan di akhirat....”25
Ditilik dari hubungan dan tanggung jawab orang tua terhadap

anak, maka tanggung jawab pendidikan itu pada dasarnya tidak bisa

dipikulkan kepada orang lain, sebab guru dan pemimpin umat

umpamanya, dalam memikul tanggung jawab pendidikan hanyalah

25
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, …, hal. 37
24

merupakan keikutsertaan. Dengan kata lain, tanggung jawab

pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain orang tua adalah

merupakan pelimpahan dari tanggung jawab orang tua yang karena

satu dan lain hal tidak mungkin melaksanakan pendidikan anaknya

secara sempurna.

Tanggung jawab pendidikan yang perlu disadarkan dan dibina

oleh kedua orang tua terhadap anak antara lain:

1) Memelihara dan membesarkannya, tanggung jawab ini merupakan

dorongan alami untuk dilaksanakan karena si anak memerlukan

makan, minum, dan perawatan agar ia dapat hidup secara

berkelanjutan.

2) Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik jasmaniah maupun

rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan

yang dapat membahayakan dirinya.

3) Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan

yang berguna bagi kehidupannya kelak sehingga bila ia telah

dewasa mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain.

4) Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan

memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Allah

SWT sebagai tujuan akhir hidup muslim.26

26
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, …, h. 38
25

Adanya kesadaran akan tanggung jawab mendidik dan

membina anak secara terus-menerus perlu dikembangkan kepada

setiap orang tua sehingga pendidikan yang dilakukan tidak lagi

berdasarkan kebiasaan yang dilihat dari orang tua, tetapi telah

didasari oleh teori-teori pendidikan modern, sesuai dengan

perkembangan zaman yang cenderung selalu berubah.27

b. Tugas Orang Tua

Orang tua sebagai pendidik dalam keluarga mereka harus

mampu melaksanakan perannya sebagai pemelihara, pendidik,

pembina, pembimbing, pelindung, pelatih dan pengawas bagi anak.

Kemudian dari peran-peran pendidik dalam keluarga ini dapat di

kelompokkan menjadi dua tugas yaitu: tugas dalam bidang

pembentukkan kemanusiaan dan tugas dalam bidang

kemasyarakatan.28

1) Tugas dalam Bidang Kemanusiaan

Orang tua diberi amanah oleh Allah SWT berupa anak.

sebagai amanah tentunya orang tua harus memelihara dan

mendidik sehingga anak akan menjadi manusia sesuai dengan

harapan dari Sang Pemberi Amanah. Dalam menjaga amanah

27
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h.
88-89
28
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), cet-1, h.
148.
26

ini hendaknya orang tua harus memiliki rasa kemanusiaan

(sense of humanity) sehingga anak akan menjadi manusia yang

manusiawi.

Banyak anak zaman sekarang yang sudah menjadi

manusia, tetapi sangat disayangkan karena banyak di antara

mereka yang tidak manusiawi. Sudah banyak fenomena anak

manusia yang mengambil barang yang bukan haknya, seringnya

kasus tawuran, penganiayaan, pemerkosaan hingga

pembunuhan merupakan tindakan yang sudah tidak lagi

manusiawi, karena orientasi hidup yang berubah dari tujuan

akhirat menjadi tujuan dunia membuat banyak pendidik sudah

tidak lagi melakukan tugasnya sebagai pendidik sehingga anak

tidak lagi terpantau perkembangannya.

Banyak orang tua yang tinggal di rumah, tetapi

minimnya pengetahuan pendidikan, hal ini akhirnya

mengakibatkan kurang optimalnya tugas pendidikan yang

dilaksanakan dalam keluarga. Anak dapat saja tumbuh

berkembang tetapi mungkin tidak menjadi manusia yang utuh.

Kemudian orang tua hanya mencukupi kebutuhan materi

anaknya saja tanpa dibekali ajaran agama dan pembinaan

akhlak tentu anak-anak tumbuh menjadi orang yang hidup


27

dalam kesenangan dunia tapi tidak berakhlak mulia dan jauh

dari Allah (kebahagiaan akhirat).29

Agar anak tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang

manusiawi mau tidak mau orang tua harus menjalankan tugasnya

seperti:

a) Tugas Memelihara

Orang tua sebagai pendidik hendaknya memelihara anaknya

dengan baik semenjak dari dalam kandungan dengan penuh

kasih sayang. Dengan memberikan makanan yang bergizi

dan halal akan membentuk jasmani yang sehat dan kuat.

Anak juga diberi pakaian dan tempat tinggal di lingkungan

yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya.

b) Tugas Mendidik

Mendidik berasal dari kata didik berarti memelihara dan

memberikan latihan, ajaran, bimbingan, mengenai akhlak

dan kecerdasan pikiran. Orang tua berkewajiban

memelihara anak secara fisik, rohani, maupun akal

pikirannya. Dalam mendidik anak hendaknya dilakukan

ketika dalam kandungan kemudian saat lahir di azankan di

telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Pada hari ke tujuh

29
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, …, h. 25
28

di aqiqahkan, diberi nama yang baik, disingkirkan dari

kotoran, juga mengkhitan anak.30

Setelah umur enam tahun didik anak dengan adab susila

(akhlak), usia tujuh tahun diajarkan dan diperintahkan

shalat. Jika telah usia sembilan tahun dipisahkan tempat

tidurnya. Pukullah pada umur sepuluh tahun ketika anak

tidak melaksanakan shalat. Berikan ilmu pengetahuan bagi

kecerdasan pikirannya (kognitif) dan jika telah adanya

keterbatasan ilmu pengetahuan dan sarana, maka

amanahkan ke lembaga pendidikan yang dapat dipercaya

dan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

c) Tugas Membina

Orang tua bertugas membina akidah, ibadah, dan akhlak

anak. membina berarti menempa jiwa anak agar selalu

condong pada perilaku baik dan menjauhi perilaku buruk.

Membina anak agar menjadi manusia yang manusiawi

harus dengan sabar dan kasih sayang. Dengan kesadaran itu

diharapkan orang tua dapat membentuk anak menjadi abdi

Allah sekaligus khalifah di muka bumi.31

30
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, …, h. 26
31
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, …, h. 26
29

d) Tugas Membimbing

Bimbingan diarahkan pada pelaksanaan amalan baik sehari-

hari. Karena keimanan manusia terkadang naik turun, peran

orang tua sebagai pembimbing mau tidak mau selalu

dibutuhkan. Anak hendaknya dibimbing untuk selalu berada

di jalan diridhai Allah SWT dan jika anak melakukan

kesalahan orang tua harus membimbingnya kembali pada

jalan yang benar.

e) Tugas Melatih

Orang tua mengarahkan anak-anak agar mampu

mengerjakan apa yang sudah dipelajarinya secara terampil.

Untuk itu fisiknya harus sehat sehingga mampu

mengimbangi penyaluran ilmu yang dipelajarinya.

2) Tugas dalam Bidang Kemasyarakatan

Manusia adalah makhluk sosial, maksudnya selain

sebagai makhluk individu manusia juga merupakan makhluk

sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia memerlukan

orang lain untuk dapat bertahan hidup atau untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya.32

Ada dua tugas orang tua sebagai pendidik dalam bidang

kemasyarakatan. Tugas tersebut adalah:


32
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, …, h. 26-27
30

a) Menyiapkan Anaknya menjadi Individu yang Mandiri dan

Bertanggung Jawab

Anak akan mandiri ketika orang tua mendidik dan

melatihnya dengan baik dan benar. Bermodalkan akidah,

akhlak, dan ibadah yang baik di tambah dengan pendidikan

akademik dan keterampilan hidup, anak akan mampu hidup

mandiri dan terjun bersosialisasi dalam hidup

bermasyarakat.

b) Menikahkan Anaknya.

Tugas terakhir orang tua adalah menikahkan anaknya.

Anak yang sudah dewasa dan mandiri jika sudah memiliki

pilihan pendamping hidup hendaknya segera dinikahkan.

Dengan kemandirian dan tanggung jawab anak akan

mampu membentuk dan membina keluarga baru.

Oleh sebab itu, tugas orang tua hendaknya mampu

membantu anak agar kuat akidahnya, finansialnya dan

akhirnya otomatis anak akan kuat secara sosialnya.33

Hadari Nawawi menjelaskan tugas pokok pendidikan di

keluarga, yaitu:

33
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, …, h. 28-29
31

a) Membantu anak-anak memahami posisi dan peranannya

masing-masing sesuai dengan jenis kelaminnya, agar mampu

saling menghormati dan saling tolong menolong dalam

melaksanakan perbuatan baik yang di ridhai Allah SWT;

b) Membantu anak mengenal dan memahami nilai-nilai/norma-

norma yang mengatur kehidupan berkeluarga, bertetangga,

bermasyarakat dan mampu melaksanakannya untuk

memperoleh ridha Allah SWT;

c) Mendorong anak untuk mencari ilmu dunia dan ilmu agama

agar mampu merealisasikan dirinya (self realization) sebagai

individu dan sebagai anggota masyarakat yang beriman;

d) Membantu anak-anak memasuki kehidupan bermasyarakat

setahap demi setahap melepaskan diri dari ketergantungan

kepada orangtua dan orang dewasa lainnya, serta mampu

bertanggung jawab;

e) Membantu dan memberi kesempatan serta mendorong anak-

anak mengerjakan sendiri dan berpartisipasi dalam

melaksanakan kegiatan keagamaan, untuk memperoleh

pengalaman sendiri secara langsung.34

Di lingkungan keluarga, orang tua, orang dewasa lainnya perlu

membantu anak dalam menghayati dan mengamalkan ajaran Islam


34
Hamdani, Dasar-Dasar Kependidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h. 56-57.
32

setahap demi setahap sesuai dengan masa perkembangan anak-

anak. Oleh karena itu, pendidikan keluarga menjadi penting.

4. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak

Ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan dan dilakukan

orang tua setelah mempunyai anak, yaitu:

a. Bersyukur kepada Allah karena kita diberi anugerah dan amanah

berupa anak.

b. Beraqiqah, yakni menyembelih dua ekor kambing apabila anak laki-

laki dan satu ekor kambing apabila anak itu perempuan.

c. Memberi nama yang baik dan mulia.

d. Menyusuinya selama dua tahun.

e. Mengkhitannya sebelum baligh.

f. Mendidiknya dengan baik dan benar.

g. Menikahkan ketika sudah cukup umur atau sudah ada jodohnya.35

B. Kecerdasan Spiritual

1. Pengertian Kecerdasan Spiritual Anak

Secara bahasa, kecerdasan berasal dari kata dasar “cerdas” yang

berarti sempurna perkembangan akal budinya, tajam pikiran, pandai. Jadi,

kecerdasan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

menggunakan akal budinya, ketajaman pikirannya dan pandai dalam

memanfaatkan segala jenis dan bentuk kemampuan yang ada dalam


35
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h.75
33

dirinya secara sempurna. Kecerdasan adalah kemampuan yang dimiliki

oleh seseorang individu untuk memecahkan sesuatu persoalan. Ada juga

yang berpendapat bahwa kecerdasan adalah kemampuan general manusia

untuk melakukan tindakan-tindakan yang mempunyai tujuan dan berpikir

dengan cara rasional. Selain itu, kecerdasan dapat juga diartikan sebagai

kemampuan pribadi untuk memahami, melakukan inovasi, dan

memberikan solusi terhadap dalam berbagai situasi.

Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kecerdasan. Dalam

beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian, watak,

pengetahuan atau kebijaksanaan. Namun, beberapa psikolog tidak

memasukkan hal-hal tadi dalam kerangka definisi kecerdasan. Kecerdasan

biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental dalam

berpikir.36

Menurut Howard Gardner dalam Caron B.Goode mengatakan

bahwa kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah atau

untuk menciptakan suatu hasil yang berguna dalam masyarakat.

Kecerdasan meliputi kemampuan untuk menemukan atau menciptakan

masalah sehingga terbentuk lingkaran belajar untuk memperoleh

pengetahuan dan mempratekkan perilaku baru. Study terbaru dibidang

36
Sriwati Bukit, Istarani, Kecerdasan dan Gaya Belajar, (Medan: LARISPA Indonesia,
2015), h. 1
34

ilmu kognitif, psikologi, dan saraf menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan

setiap orang sebenarnya adalah sejumlah talenta dan keterampilan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecerdasan adalah

kemampuan menemukan hal yang baru baik berupa material maupun non

material, menciptakan suatu keterampilan baru, inovasi baru, serta mampu

mempratekkannya dalam kehidupan.37

Spiritual berasal dari gabungan dua kata. Spirit (Inggris) yang

berarti roh atau jiwa dan ritual (Inggris) yang berarti upacara keagamaan.

Istilah spirit kadang juga dimaknai sebagai semangat membara, motivasi

berjuang, atau tekad yang kuat untuk berusaha. Sedangkan istilah ritual

kadang juga dimaknai dengan aktivitas atau kegiatan keagamaan. Oleh

sebab itu, istilah spiritual menunjuk pada pengertian segala hal yang

berhubungan dengan ruh/jiwa atau keyakinan/keimanan seseorang dalam

melakukan aktivitas/kegiatan keagamaan.

Spiritual mengacu pada nilai-nilai manusiawi yang non-material

(immaterial). Dalam konteks ilmu pengetahuan, spiritual cenderung pada

kemampuan-kemampuan lebih tinggi seperti: sikap mental, intelektual,

etika, estetika, religiusitas) dan nilai-nilai murni dari pikiran. Keindahan,

kebaikan, kebenaran, belas kasihan, kejujuran dan kesucian merupakan

unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Spiritual berakar pada

kemampuan hati nurani dan “kata hati”. Spiritual merupakan kombinasi


37
Sriwati Bukit, Istarani, Kecerdasan dan Gaya Belajar, …, h. 2-3
35

antara nilai-nilai motorik, afeksi, dan kognisi yang mampu mengantarkan

seseorang mencapai kesuksesan hidup sejati. Menurut Jalaluddin

Rakhmat, spiritual inilah yang menghubungkan rasio dan emosi, pikiran

dan tubuh.38

Howard Gardner menyebut kecerdasan spiritual dengan istilah”

kecerdasan eksistensial”. Berdasarkan Gardner, kata “eksistensial”

mempunyai kaitan erat dengan pengalaman spiritual seseorang. Hanya

saja Gardner memandang bahwa pengalaman spiritual antara satu dengan

orang yang lain sangat berbeda. Terlebih lagi dalam sebuah agama,

kepercayaan, atau keyakinan tertentu pasti akan banyak ragam spiritual

yang muncul.

Mengutip Suyadi diuraikan bahwa kecerdasan spiritual adalah

kemampuan seseorang untuk merasakan keberagamaan, perlu ditegaskan

bahwa merasa beragama tidak sekadar hanya tahu agama. Jika demikian,

maka kemampuan spiritualitasnya tentu tidak akan berkembang.

Agar kecerdasan spiritual (kemampuan dalam keberagamaan)

seseorang muncul, orang tersebut harus benar-benar memahami dan

merasakan keberagamaannya sehingga ia mampu merasakan kehadiran

Allah SWT. Kecerdasan ini tidak hanya merasa akan kehadiran Allah

sebagai Tuhan Yang Esa Sang Maha Pencipta seluruh sekalian alam,

38
Jasa Ungguh Muliawan, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2015), h.194-195
36

tetapi juga merasa dirinya selalu dilihat oleh Allah dalam setiap kegiatan

baik yang dinyatakan dalam perbuatan maupun yang tersimpan dalam

hati.

Mengutip Jalaluddin Rakhmat bahwa setiap anak memiliki

kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini bersumber dari realitas fitrah (suci)

sejak anak dilahirkan. Sementara itu realitas spiritual ini sendiri dapat

ditelusuri melalui riset neurosains tentang keberadaan noktah Tuhan (God

Spot) dalam otak manusia itu sendiri. Dengan demikian, kecerdasan

spiritual selain mempunyai basis teologis juga mempunyai basis

neurologis.39

SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan

persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku

dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan

untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna

dibandingkan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi

non-material kita, roh manusia. Kecerdasan dasar kita tersebut bekerja

sama dan saling mendukung, masing-masing IQ, EQ, dan SQ

memungkinkan memainkan permainan tak terbatas, memberi rasa moral,

menyesuaikan aturan yang kaku. SQ untuk bergulat dengan ihwal yang

baik dan jahat, serta untuk membayangkan bermimpi, bercita-cita, dan

39
Helmawati, Pendidik Sebagai Model, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), cet-1, h.
139.
37

mengangkat dari kerendahan. SQ dapat mengarahkan ke puncak kearifan

spiritual dengan bersikap jujur, toleransi, terbuka penuh cinta dan kasih

sayang kepada sesama.40

SQ dapat diartikan sebagai kemampuan untuk (1) mengenal dan

memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan makna dan nilai, (2)

menempatkan berbagai kegiatan dan kehidupan dalam konteks yang lebih

luas, kaya, dan memberikan makna; dan (3) mengukur atau menilai bahwa

salah satu kegiatan atau langkah kehidupan tertentu lebih bermakna dari

yang lainnya. SQ merupakan proses tertier yang didasarkan kepada sistem

syaraf ketiga dalam otak, yaitu syaraf synchronous, yang menyatukan data

dalam otak secara menyeluruh.

SQ sebagai proses tertier psikologis berfungsi untuk (1)

mengintegrasikan dan mentransformasikan bahan-bahan yang berasal dari

proses primer (EQ) dan proses sekunder (IQ), (2) memfasilitasi suatu

dialog antara pikiran dengan perasaan, atau antara jiwa dengan raga, dan

(3) menempatkan self sebagai pusat keaktifan (kegiatan), penyatuan, dan

pemberian makna.

Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai penggagas kecerdasan

spiritual mengemukakan bahwa SQ tidak memiliki hubungan dengan

agama. Meskipun banyak orang yang dapat mengekspresikan SQ melalui

40
Mulyasa, Dadang Iskandar, Wiwik Dyah Aryani, Revolusi dan Inovasi Pembelajaran,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 162
38

agama, tetapi keberagamaan seseorang tidak menjamin tingginya SQ.

Bahkan banyak para humanis dan ateis memiliki tingkat SQ yang tinggi,

dan sebaliknya banyak para aktivis keagamaan yang SQ-nya rendah.41

Terkait dengan pendapat Ian Marshall dan Danah Zohar tentang SQ

di atas, ada beberapa tanggapan yang perlu dikemukakan agar tidak

terjadi kekeliruan dalam memahaminya. Beberapa pemikiran itu adalah

sebagai berikut:

a. Gagasan SQ yang dikemukakan oleh Ian Marshall dan Danah Zohar

bersifat sekuler, dalam arti spiritualitas yang diusungnya hanya

sebatas hubungan antar manusia dan lepas dari nilai-nilai agama. Oleh

karena itu, wajar mereka mengatakan bahwa tidak ada hubungan

antara spiritualitas dengan agama, dan banyak para humanis dan ateis

memiliki tingkat SQ yang tinggi dan sebaliknya banyak para aktivis

keagamaan yang SQ nya rendah.

b. Pernyataan bahwa orang beragama belum tentu memiliki SQ

merupakan suatu generalisasi dari fenomena kehidupan masyarakat

beragama yang perilakunya sering berseberangan dengan nilai-nilai

agama. Padahal apabila para penganut agama itu benar-benar

melaksanakan ajaran agama yang dianutnya tersebut, pasti dia akan

memiliki SQ yang tinggi, karena agama mengajarkan nilai-nilai luhur

41
Syamsu Yusuf, A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008), h. 242-243.
39

yang mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Sebenarnya

apabila para penganut agama (khususnya muslim) benar-benar

beriman kepada Allah, maka kualitas SQ yang dikemukakan Marshall

dan Zohar itu merupakan dampak atau perwujudan dari keimanan

tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi

positif antara keimanan (agama) demgan SQ.

c. Makna SQ yang tepat bagi umat Islam adalah konsep yang

dikemukakan oleh Ary Ginanjar yaitu bahwa “kecerdasan spiritual

adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap

perilaku kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang

bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanief) dan memiliki

pola pemikiran tauhid (integralistik), serta berprinsip hanya karena

Allah.”42

Kecerdasan Spiritual ditandai dengan kemampuan seseorang anak

untuk bisa menghargai dirinya sendiri maupun diri orang lain, memahami

perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya, mengikuti aturan-aturan

yang berlaku, semua itu termasuk merupakan kunci keberhasilan bagi

seorang anak di masa depan.

Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal, dalam bukunya

Connecting With Our Spiritual Intelligence, kecerdasan spiritual dapat

42
Syamsu Yusuf, A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, …, h. 245-246.
40

menumbuhkan fungsi manusiawi seseorang sehingga membuat mereka

menjadi kreatif, luwes, berwawasan luas, spontan, dapat menghadapi

perjuangan hidup, menghadapi kecemasan dan kekhawatiran, dapat

menjembatani antara diri sendiri dan orang lain, serta menjadi lebih cerdas

secara spiritual dalam beragama.

Suharsono mengemukakan sebutan untuk IS adalah kecerdasan

spiritual dan bukan yang lainnya karena kecerdasan ini berasal dari fitrah

manusia itu sendiri. Kecerdasan model ini tidak dibentuk melalui

diskursus-diskursus atau penumpukan memori faktual dan fenomenal,

tetapi merupakan aktualisasi dari fitrah manusia. Ia memancar dari

kedalaman diri manusia, jika dorongan-dorongan keingintahuan dilandasi

kesucian, ketulusan hati, dan tanpa pretensi egoisme. Dalam bahasa yang

sangat tepat, kecerdasan spiritual ini akan mengalami aktualisasinya yang

optimal jika hidup manusia berdasarkan visi dasar dan misi utamanya,

yakni sebagai hamba (‘abid) dan sekaligus wakil Allah (khalifah) di bumi.

Danah Zohar dan Ian Marshal mengatakan bahwa:

“Kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi


persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa hidup seseorang lebih
bermakna bila dibanding dengan yang lain. SQ adalah landasan
41

yang diperlukan untuk menfungsikan IQ dan EQ secara efektif


bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia.”43
Dalam kutipan diatas dapat dipahami bahwa kecerdasan spiritual

adalah kecerdasan yang paling tinggi, bahkan kecerdasan inilah yang

dipandang berperan mengfungsikan dari kecerdasan IQ dan EQ. Sebelum

kecerdasan ini ditemukan para ahli sangat bangga dengan temuan tentang

adanya IQ dan EQ, sehingga muncullah paradigma di masyarakat bahwa

otak itu adalah segala-galanya padahal nyatanya tidaklah demikian.

Selanjutnya Ary Ginanjar mendefinisikan bahwa kecerdasan

spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna ibadah pada setiap

perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang

bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki

pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah SWT.

Nyayu Khodijah mengatakan kecerdasan spiritual yaitu kemampuan

mengaktualisasi sesuatu yang bersifat transenden atau penyadaran akan

nilai-nilai akidah-keimanan, keyakinan akan kebesaran Tuhan.

Kecerdaan spiritual (SQ) erat kaitannya dengan keadaan jiwa, batin

dan rohani seseorang. Ada yang beranggapan bahwa kecerdasan spiritual

(SQ) adalah kecerdasan tertinggi dari kecerdasan lain seperti kecerdasan

intelektual (IQ) dan kecerdasann emosional (EQ). hal ini dikarenakan

43
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi Dan Spiritual
ESQ, (Jakarta: Penerbit Arga, 2001), h. 46-47.
42

ketika orang sudah memiliki kecerdasan spiritual (SQ), orang itu mampu

memaknai kehidupan sehingga dapat hidup dengan penuh kebijaksanaan.

Pengertian kecerdasan spiritual (SQ) sendiri adalah kemampuan

jiwa yang dimiliki seseorang untuk membangun dirinya secara utuh

melalui berbagai kegiatan positif sehingga mampu menyelesaikan

berbagai persoalan dengan melihat makna yang terkandung di dalamnya.

Orang yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ) akan mampu

menyelesaikan permasalahan itu dari sisi positifnya sehingga

permasalahan dapat diselesaikan dengan baik dan cenderung melihat

suatu masalah dari maknanya.

Kecerdasan spiritual (SQ) nampak pada aktivitas sehari-hari, seperti

bagaimana cara bertindak, memaknai hidup dan menjadi orang yang lebih

bijaksana dalam segala hal. Memiliki kecerdasan spiritual (SQ) berarti

memiliki kemampuan untuk bersikap fleksibel, mudah menyesuaikan diri

dengan lingkungan, mampu mengambil pelajaran dari setiap kejadian

dalam hidupnya sehingga mampu menjadi orang yang bijaksana dalam

hidup.

Kecerdasan spiritual (SQ) sendiri adalah kecerdasan batin dari

pikiran dan jiwa untuk membangun diri menjadi manusia seutuhnya

dengan selalu berfikir positif dalam menyikapi setiap kejadian yang

dialaminya. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual (SQ) akan mampu


43

memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap

peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya.44

2. Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual

Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup

hanya secara rasional/emosional saja, ia menghubungkannya dengan

makna kehidupan secara spiritual yaitu melakukan hubungan dengan

pengatur kehidupan. Seorang yang tinggi SQ-nya cenderung menjadi

seorang pemimpin yang penuh pengabdian yaitu seorang yang

bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi

terhadap orang lain, ia dapat memberikan inspirasi terhadap orang lain.

Mahayana menyebutkan beberapa ciri orang yang mempunyai

kecerdasan spiritual tinggi:

a. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.

b. Kesatuan dan keragaman.

c. Memaknai.

d. Kesulitan dan penderitaan.45

44
Sriwati Bukit, Istarani, Kecerdasan dan Gaya Belajar, (Medan: LARISPA Indonesia,
2015), h. 27-29
45
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir
Integralistik dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2000).
44

Adapun ciri-ciri kecerdasan spiritual lainnya, yakni :

a. Bersikap asertif

Bila seseorang mempunyai kedalaman pemahaman tentang

sifat ke Maha Esaan Tuhan, seseorang tidak mudah gamang oleh

tekanan-tekanan duniawi.

b. Berusaha mengadakan inovasi

Mendorong seseorang untuk selalu mencari inovasi-inovasi

untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari apa saat ini

dicapai oleh manusia.

c. Bersikap literal

Mendorong manusia untuk berpikir literal maknanya pada saat

sifat keunggulan yang dimiliki manusia, maka ada sifat Maha bila

otak kita berpikir tentang rasionalitas, maka ada yang Maha

Pencipta, Maha Menetukan, dan Maha Pemelihara. Bila otak

kanan berpikir tentang emosional, maka ada yang Maha

Penyayang, maha pemaaf, dan maha pembalas yang mempunyai

emosi jauh dari jangkauan nilai-nilai emosi manusia.46

Adapun Seseorang yang memiliki SQ yang baik dapat dilihat dari

tanda-tanda sebagai berikut:

46
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 107
45

(1) Kemampuan bersikap fleksibel. Misalnya anak memiliki

pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan di saat mengalami

situasi dilematis, tidak ada pelajaran, ia pergi ke perpustakaan.

(2) Memiliki kesadaran (self-awarenes) yang tinggi. Misalnya, tanpa

diminta, seorang anak akan membantu temannya yang sedang

kesulitan mengerjakan tugas.47

(3) Kemampuan untuk menghadapi penderitaan dan mengambil hikmah

darinya.

(4) Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi rasa sakit.

(5) Memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.

(6) Enggan melakukan sesuatu yang menyebabkan kerugian atau

kerusakan.

(7) Cenderung melihat hubungan antar berbagai hal yang berbeda

menjadi suatu yang holistic.

(8) Cenderung untuk bertanya “mengapa” atau “apa” dan mencari

jawaban-jawaban yang fundenmental.

(9) Bertanggung jawab untuk menebarkan visi dan nilai-nilai kepada

orang lain dan menunjukkan cara menggunakannya. Dengan kata lain,

dia adalah orang pemberi inspirasi kepada orang lain.48

47
Mulyasa, Dadang Iskandar, Wiwik Dyah Aryani, Revolusi dan Inovasi Pembelajaran,
(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 162
48
Syamsu Yusuf, A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008), h. 244-245.
46

Kecerdasan spiritual (SQ) pada hakekatnya adalah kemampuan

pribadi yang tertanam dalam struktur mental untuk selalu menjadikan

Tuhan sebagai mitra kerja dalam segenap aspek dan setiap langkah

kehidupan. Karakteristik seseorang yang memiliki SQ yang tinggi adalah

unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral

dan kebijaksanaan.

3. Fungsi Kecerdasan Spiritual

a. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk

memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan kecerdasan spiritual

merupakan kecerdasan tertinggi kita.

b. Kecerdasan Spiritual dalam ESQ yaitu kemampuan untuk memberi

makna spiritual kegiatan terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan,

serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif. 49

4. Manfaat Kecerdasan Spiritual (SQ)

a. Membantu melihat hal-hal dari sudut pandang yang lebih luas dan

kompleks.

b. Membantu berpikir lebih jernih.

c. Membuat pikiran lebih tenang.

d. Membuka wawasan dan motivasi tentang bagaimana cara memaknai

hidup.

49
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,
(Jakarta: Penerbit Arga, 2001), h. 47
47

e. Menurunkan sifat egoisme dalam diri.

f. Memunculkan sikap menghargai orang lain dengan menempatkan

orang lain diposisi yang lebih tinggi dari pada diri sendiri.

g. Menyadari pentingnya nilai-nilai kehidupan seperti keadilan,

kejujuran, kebenaran dan kehormatan.

h. Memunculkan sikap belas kasih terhadap orang lain.

i. Memunculkan sikap selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki

j. Memunculkan rasa cinta kasih terhadap diri sendiri, orang lain

maupun pada alam semesta.50

C. Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual Anak

Orang tua merupakan orang terdekat bagi anak. Dimana sikap dan

tingkah laku orang tua akan menjadi panutan bagi anaknya, terutama anak

yang masih kecil, pengalaman anak semasa kecil itu akan terbawa dan

membekas sampai ia dewasa dan akhirnya akan mewarnai corak

kepribadiannya. Orang tua dapat menjadikan Luqman sebagai panutan dalam

memberikan materi pendidikan kepada anaknya, sesuai dengan firman Allah

SWT:

50
Sriwati Bukit, Istarani, Kecerdasan dan Gaya Belajar, (Medan: LARISPA Indonesia,
2015), h. 29
48

              

               

     


Artinya:
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (QS. Luqman: 17-18)
Berdasarkan ayat di atas Luqman telah memberikan nasehat dan

mendidik anaknya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan amal-amal

shaleh seperti mendirikan shalat, berbuat kebajikan, menghindari

kemungkaran, bersabar terhadap musibah yang dialami dan tidak bersifat

sombong dan membiasakan anak melaksanakan tuntutan dalam dirinya jiwa

kepemimpinan dan kepedulian sosial.

Dalam hal ini terutama sekali dari pihak ibu lebih di tuntut untuk

berperan aktif karena ibu merupakan orang yang lebih dekat dengan anaknya.

Seorang ibu yang penuh keseriusan perhatian, penyayang dan tekun

menjalankan ajaran-ajaran agama, serta untuk hidup dengan sesuai nilai-nilai


49

moral yang telah digariskan oleh agama, maka ia dapat membina moral dan

mental anaknya secara sehat dan teratur.

Pembinaan perilaku moral dapat diterapkan oleh seorang ibu kepada

anaknya berupa memberikan contoh perilaku yang baik dalam bergaul,

menghormati bapak, ibu, kakak, adik, dan anggota keluarga lainnya.

Demikian pula bagaimana bersikap kepada orang lain yang harus dihormati,

bertutur kata, bersikap dan contoh-contoh budi pekerti yang baik yang

dilakukan ibu akan lebih berhasil dan mengena di hati sanubari anak. Hal ini,

memang bukan mutlak satu-satunya yang diperankan oleh seorang ibu,

melainkan juga dukungan dari anggota keluarga lainnya.51

Demikian pula peran ayah tidak kalah penting pula dari peran ibu,

ayah merupakan seorang kepala rumah tangga yang sangat menentukan

terhadap keberhasilan anaknya. Seorang ayah berperan dalam menyediakan

kebutuhan keluarga dan juga anak-anaknya.52 Seorang ayah adalah sumber

kekuasaan yang memberikan anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan

sebagai penghubung antar keluarga dan masyarakat dengan memberikan

pendidikan terhadap anaknya berupa komunikasi terhadap sesamanya,

perasaan aman dan perlindungan terhadap keluarganya.53

51
Samsul Munir Amin, Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami, (Jakarta: AMZAH,
2007), h. 36
52
Ibid, h. 19
53
Rehani , Keluarga Sebagai Institut Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Baitul
Hikmah: Fress, 2001), h. 91
50

Menurut Triantoro Safaria, Tahap perkembangan kecerdasan spiritual

pada anak usia 12-20 tahun telah mencapai taraf perkembangan kognitif yang

bersifat operasi formal dimana anak mulai mampu mengambil alih

pandangan-pandangan orang lain menurut pola pengambilan perspektif antar

pribadi secara timbal-balik. Pada tahapan ini anak berupaya menciptakan

sintesis identitas secara integral. Namun sistesis-identitas ini terbentuk setelah

anak remaja menciptakan sistesis dari seperangkat arti baru dari berbagai

nilai-nilai yang ditemuinya dari lingkungannya. Pada masa ini anak remaja

juga sudah mulai mampu merefleksikan secara kritis riwayat hidupnya dan

mampu menggali makna-makna baru dari sejarah hidupnya. Yang dicari

adalah suatu sintesis baru atas berbagai arti dan makna dari pengalamannya

dalam hidup.

Pada tahap inilah remaja mulai tertarik secara mendalam terhadap

ideologi dan agama. Dengan mulai mapannya cara berpikir remaja, membuat

mereka membutuhkan suatu sistem keyakinan dan nilai-nilai untuk

menemukan nilai-nilai atau makna yang bisa digunakan untuk menciptakan

sistesis-identitas dirinya. Namun pada tahap ini remaja mudah terjebak dalam

pandangan-pandangan yang konformistik. Sehingga mereka lebih banyak

menjadi pengikut dari padangan-pandangan yang ada di luar dirinya.

Akibatnya anak remaja bisa saja mengembangkan identitas yang palsu atau
51

kurang autentik.54 Dunia global terkadang menjatuhkan manusia pada

kemiskinan spiritual dan nilai kemanusiaan, manusia jatuh dari makhluk

spiritual ke dunia material, agama terkadang dipahami sebagai aspek ibadah

dan tidak dibawa pada aspek kehidupan, manusia terjebak dalam

perselingkuhan baru yang destruktif seperti hilangnya persahabatan sejati,

memudarnya tradisi silaturrahim.55 Dalam hal ini peran orang tua sangat besar

terutama dalam menanamkan nilai keimanan dan nilai ibadah. Maju

berkembangnya anak tergantung kepada orang tua. Adapun peran-peran

tersebut yaitu :

1. Peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai keimanan atau akidah

Iman atau akidah secara umum dipahami sebagai suatu keyakinan

yang dibenarkan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan

dengan amal perbuatan yang didasari niat yang tulus dan ikhlas dan selalu

mengikuti petunjuk Allah SWT serta Sunah Nabi Muhammad SAW.56

Akidah adalah inti dasar dari keimanan seseorang yang harus

ditanamkan kepada anak oleh orang tua, hal ini telah disebutkan dalam

surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:

54
Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence, Metode Pengembangan Kecerdasan Spiritual
Anak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 64-65
55
Darul Ilmi, JURNAL EDUCATIVE: Reaktualisasi Pendidikan Humanis Dalam Konteks
Keindonesiaan Menghadapi Tantangan Global, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2017, h. 100
56
Rois Mahfud, Al-Islam Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 12
52

              



Artinya: dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,


di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman : 13).
Dari ayat tersebut Lukman telah diangkat kisahnya oleh Allah

SWT dalam Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW

dan menjadi dasar pedoman hidup setiap muslim. Ini berarti bahwa pola

umum pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya menurut

Islam dikembalikan kepada pola yang dilaksanakan Luqman dan anaknya.

Adapun cara orang tua menanamkan pendidikan akidah pada anak di

zaman seperti sekarang yaitu:

Pertama, dekatkan mereka dengan kisah-kisah atau cerita yang

mengesakan Allah Ta’ala. Terkait hal ini para orangtua sebenarnya tidak

perlu bingung atau kehabisan bahan dalam mengulas masalah cerita atau

kisah. Karena, Al-Qur’an sendiri memiliki banyak kisah inspiratif yang

semuanya menanamkan nilai ketauhidan atau orang tua bisa

menyiasatinya dengan membeli buku-buku kisah dalam Al-Qur’an.

Kedua, ajak anak mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan

sehari-hari. Apabila anak sudah baligh maka orangtua harus tegas dalam
53

masalah akidah ini. Jika anak sudah berusia 10 tahun dan enggan

mendirikan sholat, maka memberi hukuman dengan memukul sekalipun,

itu dibolehkan. Apabila anak kita perempuan, maka mewajibkan mereka

berjilbab menjadi satu keniscayaan. Dan, itu adalah bagian dari aktualiasi

akidah. Dengan demikian, sejatinya tugas orangtua dalam masalah akidah

ini benar-benar tidak mudah. Sebab selain mengajak, orangtua juga harus

senantiasa melakukan kontrol akidah anak-anaknya. Terlebih pengaruh

budaya saat ini, seringkali menggelincirkan kaum remaja pada praktik

kehidupan yang mendangkalkan akidah.

Ketiga, mendorong anak-anak untuk serius dalam menuntut ilmu

dengan berguru pada orang yang kita anggap bisa membantu membentuk

frame berpikir islami pada anak. Orangtua tidak boleh merasa cukup

dengan hanya menyekolahkan anak. Sebab akidah ini tidak bisa

diwakilkan kepada sekolah. Untuk itu, orangtua mesti memiliki

kesungguhan luar biasa dalam hal ini. Di antaranya adalah dengan

mencarikan guru yang bisa menyelamatkan dan menguatkan akidah

mereka serta dorong anak untuk mendatangi majelis-majelis ilmu yang

diisi oleh guru, ustadz, ulama atau pun figur publik Muslim yang terbukti

sangat baik dalam menguatkan akidah anak. 57

57
https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2015/02/03/37995/tiga-cara-
menanamkan-akidah-pada-anak-anak-kita.html, diakses tanggal 08-02-2017 jam 14.48 WIB
54

2. Peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai ibadah

Ibadah dalam Islam secara garis besar terbagi kedalam dua jenis,

yaitu ibadah mahdah (ibadah khusus) dan ibadah ghoiru mahdah (ibadah

umum). Ibadah mahdah meliputi sholat, puasa, zakat, haji. Sedangkan

ibadah ghoiru mahdah meliputi shodaqoh, membaca Al-Qur’an dan lain

sebagainya.58

Nilai ibadah, khususnya pendidikan sholat disebutkan dalam surat

Luqman ayat 17. Pendidikan sholat dalam ayat ini tidak terbatas tentang

kaifiyah untuk menjalankan sholat yang lebih bersifat fiqhiyah, melainkan

termasuk menanamkan nilai-nilai di balik ibadah sholat. Mereka harus

mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf dan nahi munkar serta

jiwanya menjadi orang yang sabar.

Berikut ini metode-metode yang bisa diterapkan untuk

mengajarkan ibadah pada anak. Pendidikan Ibadah pada anak harus

dilakukan dengan penuh kasih sayang, menyenangkan dan tanpa unsur

paksaan.

a. Pendidikan dengan keteladanan.

Metode ini paling meyakinkan keberhasilannya dalam

mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual dan

kehidupan sosial anak. Orang dewasa bagi anak adalah idola

58
Rois Mahfud, Al-Islam Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 23
55

dalam kehidupan mereka. Maka keteladanan menjadi kunci

utama keberhasilan proses pendidikan. Jika idola mereka

adalah seorang yang berjiwa jujur, berakhlak mulia, dapat

dipercaya, berani dan menjauhkan diri dari hal-hal yang

dilarang agama maka anak-anak di sekitarnya pun akan

meneladani karakter-karakter itu.

b. Pendidikan dengan kebiasaan.

Proses pembiasaan hendaklah dilakukan secara

konsisten. Hal ini penting untuk melatihkan kedisiplinan pada

mereka. Kita harus memiliki perencanaan yang matang

mengenai hal-hal apa saja yang akan diberikan kepada anak

selama jangka waktu tertentu. Pembiasaan merupakan upaya

praktis dalam pembentukan moral dan karakter anak.

c. Pendidikan dengan nasehat.

Nasehat yang baik dengan tutur kata yang lemah

lembut, dapat menyadarkan anak-anak tentang hakekat sesuatu

dan mendorongnya untuk memiliki budi pekerti yang luhur,

berakhlak mulia dan teguh pada prinsip-prinsip Islam. Al-

Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang menjadikan metode

nasehat-nasehat sebagai dasar dakwah, jalan menuju perbaikan

individu, dan memberi peunjuk yang mengantarkan kepada

kebenaran.
56

d. Pendidikan dengan memberikan perhatian.

Kita haruslah mencurahkan, memperhatikan, dan

senatiasa mengikuti perkembangan setiap anak. Kita juga harus

bisa memahami dan bersikap bijaksana dalam menghadapi

mereka.

e. Pendidikan dengan pujian.

Jangan lupa untuk memberikan pujian dengan tulus jika

anak-anak mampu mengerjakan hal-hal baik seperti yang kita

teladankan. Hal ini penting untuk menumbuhkan motivasi dan

menumbuhkan rasa percaya diri mereka. Hukuman kepada

anak-anak diperlukan sebagai sarana untuk untuk

mengingatkan mereka, terhadap kesalahan dan pelanggaran

yang mereka lakukan.

Secara garis besar ada dua kebutuhan anak yang harus di perhatikan

yakni kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani seperti makanan,

pakaian, perumahan, kesehatan dan sebagainya. Antara kedua kebutuhan itu

terdapat keterkaitan satu sama lain. Dari satu sisi dalam kedokteran dikatakan

bahwa kualitas makanan yang diberikan kepada anak balita akan menentukan

kualitas kecerdasan dan kemampuan anak. Oleh sebab itu orang tua harus

memberikan makanan yang hal dan bergizi kepada anak agar otak tumbuh

dengan sempurna, disamping memperlakukan anak dengan sempurna dengan


57

kasih sayang, faktor kasih sayang sangat menentukan perkembangan pribadi

anak.

Namun dewasa ini tidak sedikit orang tua kurang memperhatikan

keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan spiritual anak. orang

tua cenderung lebih memperhatikan kebutuhan jasmani anak dari pada

kebutuhan dalam mencerdaskan kebutuhan spiritualnya. Hal ini dapat dilihat

dari kenyataan bahwa banyaknya anak-anak yang sehat dan cerdas tetapi

spiritualnya belum tentu cerdas, disinilah barang kali letak kesenjangan

perhatian sebagai orang tua dalam kaitannya dengan pendidikan anak.

Karena itulah setiap orang tua harus menyadari dan memperhatikan

keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani anaknya. Pendidikan

agama dan spiritual termasuk bidang-bidang pendidikan yang mendapat

perhatian penuh oleh keluarga (orang tua) terhadap anak-anaknya. Pendidikan

spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang

bersifat naluri yang ada pada anak-anak melalui bimbingan agama yang sehat

dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dan upacara-upacaranya.

Kemudian sebaiknya saat bayi masih dalam kandungan orang tua

(terutama ibu) seyogyanya lebih meningkatkan amal ibadahnya kepada Allah

SWT, seperti melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah, berdoa, berdzikir,

membaca Al-Qur’an dan memberi sedekah serta amalan shaleh lainnya.


58

Kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan cara sebagai berikut:

1. Melalui Iman

Seperti dikutip Ramayulis, M. Usman Najatia menjelaskan iman

adalah sumber ketenangan batin dan keselamatan kehidupan. Iman,

tauhid dan ibadah kepada Allah menimbulkan sikap istiqamah

dalam berperilaku. Di dalamnya terdapat pencegahan dan terapi

penyembuhan terhadap penyimpangan, penyelewengan dan

penyakit jiwa. Seorang mukmin yang berpegang teguh kepada

agamanya, maka Allah akan menjaga semua ucapan dan

perbuatannya.

Substansi dari beriman adalah sikap ikhlas dan mengerjakan semua

kebaikan, selalu berlindung pada-Nya, dan ridho terhadap qadha

dan qadar Allah SWT. Konsep ini dapat menyucikan seorang

mukmin dari kegelisahan yang timbul dari perasaan bersalah serta

menimbulkan ketenangan dan kedamaian dalam jiwanya.

2. Melalui Ibadah

Ibadah yang dikerjakan oleh seseorang dapat membersihkan

jiwanya, bertambah banyak ia beribadah bertambah bersih

jiwanya, di dalam ajaran Islam Tuhan itu dilukiskan sebagai zat

yang maha suci, ia tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci

jiwanya. Ibadah wajib maupun sunah dapat meningkatkan


59

kebersihan jiwa. Jiwa yang bersih salah satu indikator kecerdasan

spiritual.

Menurut Al-Ghazali dimensi spiritual mampu menjamin

kebahagiaan manusia. Islam dengan enam pokok keimanan

(arkanul iman), dan lima pokok ajarannya (arkanul islam)

memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi kejiwaan dan

memelihara keseimbangannya serta menjamin ketentraman batin.59

Singkatnya, tempat pertama untuk menumbuhkan kecerdasan spiritual

adalah keluarga. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga

yang berkecerdasan spiritual tinggi akan menjadi pribadi-pribadi SQ tinggi

pula.

Adapun menurut Prof. H. Jalaluddin tentang peranan orang tua dalam

membina potensi spiritual yaitu:

“Peranan orang tua dalam keluarga seharusnya lebih dimaksimalkan


karena pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi
pembentukkan jiwa keagamaan anak, karenanya orang tua adalah
pendidik kodrati karena secara kodrat ibu bapak (orang tua) diberikan
anugerah oleh Tuhan pencipta berupa naluri orang tua, karenanya
timbul rasa kasih sayang terhadap anak-anaknya sehingga secara moral
mereka merasa terbebani tanggung jawab untuk memelihara,
mengawasi dan melindungi serta membimbing keturuan mereka.”60

59
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 108
60
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 254.
60

Betapa pun peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak

dalam keluarga sangatlah penting karena setiap anak membutuhkan

bimbingan dalam mengeksplorasi potensi spiritual yang ada dalam setiap diri

anak.

Sedangkan, Menurut Akhmat Muhaimin Azzet jika dikaitkan dengan

peranan dan tanggung jawab orang tua maka ada tujuh cara yang hendaknya

dilakukan para pemegang amanah dari Allah dalam upaya mengembangkan

kecerdasan spiritual anak yaitu dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Membimbing anak menemukan makna hidup adapun tugas orang tua

yaitu:

a. Membiasakan diri berpikir positif dengan cara terus menerus

membangun semangat dan rasa optimis dalam menghadapi segala

sesuatu.

b. Memberikan sesuatu yang baik maksudnya adalah melakukan sesuatu

yang tanpa pamrih.

c. Menggali hikmah disetiap kejadian bahwasannya disetiap kejadian

baik atau buruk pasti ada kemudahan dikemudian hari.

2. Mengembangkan lima latihan penting:

a. Senang berbuat baik.

b. Senang menolong orang lain.

c. Menemukan tuijuan hidup.


61

d. Turut memikul sebuah misi mulia.

e. Mempunyai selera humor yang baik.

3. Melibatkan anak dalam beribadah bagi perkembangan jiwa sang anak.

Seperti: ibadah sholat, puasa, membaca Al-Qur’an dan mengajarkan do’a.

4. Mengunjungi saudara yang sedang berduka yaitu:

a. Mengunjungi saudara yang sedang bersedih.

b. Mengunjungi saudara di panti asuhan.

c. Mengunjungi saudara yang sedang sakit.

d. Mengunjungi saudara yang sedang mati.

e. Mengunjungi saudara di makam.

Jadi inti dari mengunjungi saudara yang sedang beduka adalah

agar anak bisa menemukan makna-makna dalam hidupnya dan dapat

mempunyai kecerdasan spiritual yang baik meski saat duka datang

kepadanya.

5. Mencerdaskan spiritual melalui kisah, termasuk dalam hal yang

bermanfaat dalam perkembangan spiritualnya.

6. Melejitkan kecerdasan spiritual dengan kesabaran dan bersyukur.

Jadi menurut peneliti kesimpulannya adalah bahwa peranan orang tua

sangat berpengaruh sekali dalam mendidik anak-anaknya terutama sekali

dalam pendidikan agama islam, orang tua hendaknya membimbing,

mengajarkan atau melatih ajaran agama terhadap anak.


62

D. Kendala-Kendala yang Dihadapi Orang Tua Dalam Membina

Kecerdasan Spiritual Anak

1. Rendahnya Pengetahuan Agama orang tua

Pengetahuan agama adalah merupakan salah satu kendala yang

sangat menentukan dalam pelaksanaan metode mendidik anak di

lingkungan keluarga. Orang tua yang beragama atau taat menjalankan

ajaran agama dan rumah tangga yang dibentuk atas dasar agama, besar

kemungkinan akan dapat mendidik anak dengan baik.

2. Keterbatasan waktu

Keterbatasan waktu menjadi kendala bagi orang tua untuk

melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perkembangan anak,

kalau anak berkembang sendiri tanpa ada pengawasan oleh orang tua

maka akan dikhawatirkan akan melakukan hal-hal yang negatif.

Kesibukan-kesibukan kerja membuat energi orang tua habis terkuras

sehingga tidak ada lagi tersisa untuk bisa beraktivitas bersama anak,

seperti bermain atau bercerita, belum lagi kurangnya untuk mentransfer

nilai-nilai moral, etika, dan spiritual anak.

3. Kesibukan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi

Kesibukan orang tua adalah orang tua yang selalu bekerja di luar

rumah dari pagi sampai sore hari. Di zaman individualis seperti sekarang

kita menemukan banyak orang tua cenderung bersikap otoriter dalam

menentukan waktu untuk bertemu anak-anaknya. Bahkan tidak jarang


63

terjadi bahwa orang tua tidak memiliki waktu lagi bercengkrama bagi

anak-anaknya, sebab mereka telah merasakan kelelahan dalam memenuhi

kebutuhan materi, tetapi pemenuhan kebutuhan materi tidak cukup, karena

ada kebutuhan lain yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan

materi, yaitu kebutuhan berbagi rasa dan melepaskan rasa rindu kepada

mereka setelah seharian di tinggal kerja dan tidak bertemu.61

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu adalah salah satu acuan penulis dalam melakukan

penelitian sehingga dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji

penelitian yang dilakukan. Penelitian yang pernah membahas tentang

pembentukan kecerdasan spiritual anak adalah penelitian yang dilakukan oleh

Zulhendri mahasiswa Pendidikan Agama Islam di IAIN Bukittinggi. Judul

penelitiannya “strategi orang tua dalam membentuk kecerdasan spiritual

(Spiritual Quotient) anak usia dini di Jorong Batang Silasiah Nagari Bukik

Batabuah”. Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif. Hasil penelitian

yang telah dilakukan dapat digambarkan bahwa strategi yang digunakan oleh

orang tua dalam membentuk kecerdasan spiritual anak usia dini di Jorong

Batang Silasiah Nagari Bukik Batabuah disesuaikan dengan emosional yang

dihadapi. Adapun secara umum orang tua dalam membentuk kecerdasan

spiritual anak adalah dengan cara menegur, memberi nasehat dan bercerita.

61
Ferdinan M.Faud, Menjadi Orang Tua Bijaksana, (Yogyakarta: Tugu Publisher, 2005), h.
83
64

Disamping itu orang tua melakukan tindakan secara khusus yaitu dengan

berlaku sebagai tauladan dalam kegiatan spiritual, menyediakan waktu untuk

membaca Al-Qur’an dan lainnya serta orang tua menanyai kembali tentang

do’a-do’a yang telah disampaikan misalnya pada waktu makan atau membaca

salam ketika masuk rumah.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini penulis lakukan dalam rangka pengumpulan data atau

bahan yang dapat dijadikan acuan. Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dan bersifat field research yaitu jenis penelitian yang meneliti fakta

di lapangan. Untuk memudahkan data dan informasi yang akan mengungkap

permasalahan penelitian ini metode yang digunakan adalah penelitian

deskriptif analisis yang bersifat kualitatif.

Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena

popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena

berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai

metode artistik, karena penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola).62

Penelitian ini menggambarkan realitas yang kompleks mengenai Peran Orang

Tua dalam Membina Kecerdasan Spiritual (SQ) Anak dalam Keluarga di

Jorong Tantaman, Kecamatan Palembayan.

B. Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi dipilih di tempat penulis akan melaksanakan proses

penelitian, tempatnya di Jorong Tantaman, Kecamatan Palembayan. Adapun

62
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2011) , h. 7

65
66

alasan penulis mengambil lokasi ini karena penulis menemukan permasalahan

yang perlu di bahas dan perlu di selesaikan secara ilmiah, yaitu Peran orang

tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam keluarga di Jorong

Tantaman, Kecamatan Palembayan.

Disisi lain, Jorong Tantaman, Kecamatan Palembayan merupakan

sebuah nagari yang religious yang mana saat sekarang ini kurangnya contoh

teladan terhadap anak dan kurangnya pendidikan informal di dalam keluarga,

yang mana seringnya anak-anak bergaul dengan temannya akan sangat rentan

terpengaruh oleh sikap-sikap yang tidak diinginkan dan anak suka melawan

kepada kedua orang tuanya bahkan anak kurang berinisiatif dalam mengikuti

setiap kegiatan keagamaan yang dilaksanakan.

C. Informan Penelitian

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan

informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi, ia mempunyai

banyak pengalaman tentang latar penelitian. Ia berkewajiban secara sukarela

menjadi anggota tim penelitian, walaupun hanya bersifat informal. Sebagai

anggota tim dengan kebaikannya dan kesukarelaannya, ia dapat memberikan

pandangan tentang nilai-nilai sikap, proses dan kebudayaan yang menjadi

latar penelitian setempat. Informan kunci dalam penelitian ini adalah orang

tua anak yang berusia 13-16 dan sebagai informan pendukung pada penelitian

ini adalah anak yang berusia 13-16 dan tokoh agama yang berada di Jorong

Tantaman, Kecamatan Palembayan.


67

Jumlah informan tidak ditetapkan karena jumlah tidak terbatas, maka

penulis bertanya kepada satu orang, kemudian dilanjutkan kepada yang lain,

sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih lengkap tentang masalah yang

diteliti.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan, penulis kumpulkan dengan beberapa cara

diantaranya:

1. Observasi

Observasi didefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan

mencermati serta “merekam” perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan

tertentu. Observasi ialah suatu kegiatan mencari data yang dapat

digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.63 Kegiatan

observasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-

kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang


64
diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan.

Metode tersebut penulis gunakan untuk memperoleh data lapangan yang

berkaitan peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual anak dalam

keluarga di Jorong Tantaman, Kecamatan Palembayan.

63
Haris Herdiansyah, Wawancara, Observasi, dan Focus Groups Sebagai Instrument
Penggalian Data Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 132
64
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006) cet. ke-1, h. 224
68

2. Wawancara

Wawancara merupakan suatu kegiatan tanya jawab dengan tatap muka

(face to face) antara pewawancara (interviewer) dan yang diwawancarai

(interviewee) tentang masalah yang diteliti, dimana pewawancara

bermaksud memperoleh persepsi, sikap, pola pikir dari yang diwawancarai

yang relevan dengan masalah yang diteliti.65 Metode ini penulis gunakan

untuk memperoleh data lapangan yang berkaitan dengan peran orang tua

dalam membina kecerdasan spiritual anak dalam keluarga.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan

tulisan seperti arsip-arsip, buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum

dan lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.66 Yang menjadi

dokumentasi dalam penelitian ini adalah profil jorong, foto dan

sebagainya.

E. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, kemudian penulis mengolah data dengan teknik

analisis deskriptif analitik. Maksudnya data yang diperoleh tidak dituangkan

dalam bentuk bilangan tetapi dalam bentuk kualitatif.

65
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 162
66
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 181
69

F. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan

sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada

orang lain.67 Disini ada terdapat tiga alur kegiatan yang akan dilakukan dalam

analisis data yaitu: reduksi data, display data dan verifikasi data.

1. Reduksi data

Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih

jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.68

2. Display data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan

data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam

bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan

sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.69

67
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2006) , h. 244
68
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, …, h. 247
69
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, …, h. 249
70

3. Verifikasi data

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan

dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat

sementara, dan akan berubah bila di dukung oleh bukti-bukti yang valid

dan konsisten maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel.70

G. Triangulasi Data

Triangulasi adalah suatu cara mendapatkan data yang benar-benar

absah dengan menggunakan pendekatan metode ganda. Triangulasi sebagai

teknik pemeriksaan keabsahan data dengan cara memanfaatkan sesuatu yang

lain di luar data itu sendiri, untuk keperluan pengecekan data atau sebagai

pembanding terhadap data itu. Triangulasi digunakan sebagai proses

memantapkan derajat kepercayaan dan konsistensi data, serta bermanfaat juga

sebagai alat bantu analisis data di lapangan.71

Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek

balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui beberapa

sumber.72 Dalam hal ini penulis menggunakan dengan cara membandingkan

data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

70
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, …, h. 252
71
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 219
72
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2006) , h. 274
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Temuan Umum

1. Deskripsi Singkat Lokasi Penelitian

a. Keadaan Monografi Jorong Tantaman

Jorong Tantaman merupakan bagian dari Kenagarian Tigo Koto

Silungkang dan bagian dari wilayah kecamatan Palembayan dengan

luas 16 km, Jorong Tantaman memiliki 3 (tiga) dusun. Pertama,

Dusun Mudiak Banda. Kedua. Dusun Simpang Tigo dan ketiga, Dusun

Pakan Kamih.

Adapun batas-batas wilayah Jorong Tantaman adalah sebagai

berikut:

1) Sebelah utara berbatasan dengan Tulang Gajah

2) Sebelah selatan berbatasan dengan Hutan Rimba

3) Sebelah timur berbatasan dengan Lubuak Gadang

4) Sebelah barat berbatasan dengan Silungkang

b. Keadaan Demografi Jorong Tantaman

Secara teoritis disebutkan bahwa jumlah penduduk yang

banyak merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Hal ini dapat

tercapai apabila penduduk dapat diberdayakan sesuai dengan keahlian

dan bidang kerjanya masing-masing. Sebaliknya apabila jumlah

71
72

penduduk yang besar tidak dapat diberdayakan dan dikendalikan

secara bijak dan terencana akan menjadi beban pembangunan

ditengah-tengah masyarakat Jorong Tantaman. Berdasarkan data

terakhir yang diterima dari petugas pencacah lapangan keluarga

berencana tahun 2019 jumlah penduduk Jorong Tantaman sebanyak

1272 jiwa.

c. Penduduk berdasarkan Pekerjaan

Penduduk Jorong Tantaman berdasarkan lapangan pekerjaan

terdiri dari petani, pelajar, pedagang, PNS, Karyawan Swasta,

wiraswasta, guru dan lain-lain. Berdasarkan hasil pendataan tahun

2019 penduduk Jorong Tantaman mayoritas bekerja sebagai petani

sebanyak 50%, pelajar 35 %, wiraswasta 3 %, pegawai 2% dan lain-

lain sebanyak 10 %. Banyaknya penduduk Jorong Tantaman yang

bekerja dibidang pertanian karena didukung oleh kondisi tanah yang

subur, iklim yang kondusif dan hasil panen yang bagus, selain itu juga

luasnya lahan yang akan digarab oleh masyarakat Jorong Tantaman.

d. Pendidikan

Peningkatan pendidikan salah satu prioritas utama

pembangunan sumber daya manusia di Jorong Tantaman. Hal ini

sesuai dengan motto “kurangi kemiskinan dengan pendidikan” dengan

arti kata jika masyarakat Jorong Tantaman sudah memenuhi program

pemerintah wajib belajar mulai dari TK/paud, wajib belajar 9 tahun,


73

maka tingkat kemiskinan di Jorong Tantaman akan mulai berkurang

dari tahun ke tahun.

Tabel 3

Data Sekolah di Jorong Tantaman

No Nama Sekolah Jumlah Siswa

1. Paud Mekar 1 25

2. Tk Karya Bhakti 25

3. SD N 04 Tantaman 134

4. SD N 28 Tantaman 38

5. MTSs Tantaman 70

e. Kesehatan

Pembangunan dalam bidang atau peningkatan kualitas

kesehatan masyarakat merupakan salah satu bagian terpenting dalam

pembangunan sumber daya manusia sehingga pemerintah telah

mencanangkan program Indonesia sehat, untuk mewujudkan misi

tersebut dibutuhkan partisipasi masyarakat Jorong Tantaman. Untuk

mendukung program tersebut ketersediaan sarana dan prasarana

kesehatan yang baik akan membawa pengaruh positif bagi kualitas

masyarakat secara menyeluruh. Di Jorong Tantaman bentuk sarana


74

dan prasarana tersebut berupa 1 (satu) unit puskesmas pembantu yang

terletak di Simpang Tigo Tantaman dan dengan 1 (satu) orang tenaga

kesehatan (bidan desa).

f. Budaya

Jorong Tantaman termasuk jorong yang cukup tua di

kenagarian Tigo Koto Silungkang, yang memiliki adat dan budaya

yang masih dilestarikan dan dilaksanakan serta dipatuhi sampai saat

ini. Bagi masyarakat Jorong Tantaman budaya merupakan satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan harus dipatuhi seiring

dengan pemangku adat yang sambung menyambung dengan sebutan

“Tigo Sapilin” sampai saat ini secara umum masih mempedomani adat

dan budaya leluhur Minangkabau, masyarakat Jorong Tantaman biasa

menyebutnya dengan “Nan Rajo Kato Mufakaik, Nan Bana Kato

Saiyo”. Jorong Tantaman juga memiliki 2 kelompok belajar

pasambahan yaitu pertama, kelompok yang diadakan di surau

Tanjuang Simpang Tigo yang beranggota 20 orang. Kedua, kelompok

pasambahan “adat nan lazim, syara’ nan kawi” di mushala jajaran

yang beranggotakan 18 orang.

g. Agama

Masyarakat Jorong Tantaman menganut agama Islam dengan

jumlah 100%. Dengan adanya peraturan pemerintah Sumatera Barat

babaliak kasurau masyarakat Jorong Tantaman sudah mulai secara


75

terorganisir dan optimal dalam melaksanakan peraturan tersebut. Ini

dibuktikan dengan adanya sarana dan prasarana keagamaan di Jorong

Tantaman berupa, 2 buah masjid, 8 buah mushalla, 6 buah TPQ dan 2

buah MDA. Selain itu juga ada kelompok belajar khutbah yang

beranggotakan 10 orang.

h. Keadaan Ekonomi

1) Pertanian, perkebunan dan peternak

Penduduk jorong Tantaman rata-rata adalah petani, pekebun

dan peternak. Diantara mereka banyak yang menjadi buruh tani karena

tidak memiliki lahan pertanian. Jika dilihat dari wilayah dan keadaan

iklim Jorong Tantaman sangat berpotensi untuk menjadi sentra

pertanian akan tetapi masih lemahnya perekonomian masyarakat untuk

menggarap, maka masih ada juga sebagian lahan pertanian yang tidak

digarap.

2) Home Industry

Keberadaan industri kecil di Jorong Tantaman cukup potensial,

kenyataan menunjukkan bahwa industri kecil mampu bertahan dari

krisis yang terjadi saat ini. Pada umumnya, industri rumah tangga

skala kecil maupun sedang di Jorong Tantaman berupa industri

perabot, makanan dan lain-lain.


76

B. Temuan Khusus

Penelitian ini penulis lakukan di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam, penulis melakukan penelitian di Jorong

Tantaman dikarenakan ingin melihat peran orang tua dalam membina

kecerdasaan spiritual (SQ) anak dalam keluarga di Tantaman ini, karena peran

orang tua sangatlah penting dalam upaya membina kecerdasan spiritual anak.

Hasil penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara yang bersumber

dari informan, baik informan kunci maupun pendukung yang ada di Jorong

Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam. Informan kunci

diantaranya orang tua, serta data pendukung yang diperoleh dari beberapa

anak usia 13-16 tahun dan tokoh agama. Berdasarkan hasil dari wawancara

dengan orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam

keluarga menggunakan beberapa titik fokus yaitu melalui penanaman nilai-

nilai keimanan dan nilai-nilai ibadah serta kendala-kendala dalam membina

kecerdasan spiritual anak, diantaranya:

1. Wawancara Dengan Orang Tua dan Anak Usia 13-16 Tahun

a. Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual Anak

Dalam Keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam
77

1) Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual

(SQ) Anak Dalam Keluarga Di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam Melalui Penanaman Nilai-Nilai

Keimanan

a) Dekatkan anak dengan kisah-kisah atau cerita yang

mengesakan Allah Ta’ala.

Orang tua dalam mendekatkan anak dengan Sang

Pencipta dapat melalui menceritakan kisah-kisah atau cerita

yang mengesakan Allah SWT. Terkait hal ini orang tua tidak

perlu bingung atau kehabisan bahan dalam mengulas masalah

cerita atau kisah. Karena, Al-Qur’an sendiri memiliki banyak

kisah inspiratif yang menanamkan nilai ketauhidan. Akan

tetapi hal ini, tergantung kepada orang tua sejauh mana dalam

memahami kisah atau cerita yang ada dalam Al-Qur’an.

Berdasarkan wawancara dengan orang tua yang

bernama bapak Ocim, beliau mengatakan:

“Mendekatkan anak dengan cara menceritakan kisah


atau cerita tentang mengesakan Allah adalah bentuk
penerapan akidah dalam kehidupan anak. Biasanya saya
menceritakan tentang keesaan Allah melalui Al-Qur’an
yang mana dalam Al-Qur’an terdapat surah Al-Ikhlas
yang isi kandungannya tentang keesaan Allah SWT.
Saya mengatakan kepada anak saya kita sebagai
78

makhluk ciptaan Allah harus menyembah Allah dan


tidak boleh mempersekutukan-Nya.”73
Hal senada juga dikatakan oleh ibu Rosdayeni, beliau

mengatakan:

“Saya dalam mendekatkan anak dengan kisah atau


cerita yang mengesakan Allah SWT. Saya lebih banyak
mengandalkan dan mengharapkan sekolah yang
memberikan didikan kepada anak. Hal ini karena saya
tidak mampu dalam artian rendahnya pengetahuan ilmu
agama dan sibuk bekerja.”74
Berdasarkan wawancara dengan anak yang bernama Ria

Asyifa, mengatakan:

“Ibu dan ayah jarang sekali dalam menceritakan tentang


keesaan Allah SWT, beliau hanya membelikan buku-
buku islami untuk saya baca dan saya pelajari.”75
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis dapat

menyimpulkan bahwa orang tua sudah ada yang berperan dan

ada juga yang belum berperan dalam menanamkan nilai

keimanan melalui kisah/cerita yang mengesakan Allah SWT.

Orang tua yang sudah berperan, mendekatkan anak dengan

cerita tentang ke-Esaan Allah melalui Al-Qur’an terdapat

surah Al-Ikhlas yang isi kandungannya tentang ke-Esaan

Allah kemudian orang tua memberikan pemahaman tentang

73
Ocim, Orang Tua Anak usia 16 Tahun , Wawancara Pribadi, 22 September 2019
74
Rosdayeni, Orang Tua Anak usia 13 Tahun , Wawancara Pribadi, 22 September 2019
75
Ria Asyifa, Anak Usia 15 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019
79

Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan yang belum berperan hal

ini dikarenakan orang tua lebih mengandalkan sekolah untuk

mendidik anak, karena orang tua sibuk bekerja dan rendahnya

pengetahuan ilmu agama.

b) Mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan sehari-hari.

Orang tua dalam menerapkan akidah anak sangatlah

tidak mudah dimana harus mengontrol setiap apa yang

dilakukan anak, ketika anak belum baligh maka aktualisasi

akidah ini dapat mengajak anak mendirikan shalat. Akan tetapi

jika anak sudah baligh sudah harus betindak tegas, jika anak

sudah berusia 10 tahun dan enggan dalam melaksanakan shalat

maka memberikan hukuman dengan memukul sekalipun itu

dibolehkan. Bagi anak perempuan maka mewajibkannya

berjilbab. Kemudian mengajak anak ikut mendirikan shalat

berjamah di masjid, mengikuti majelis taklim dan wirid.

Berdasarkan wawancara dengan ibu Yul Hasni, beliau

mengatakan:

“Saya jarang sekali menerapkan akidah kepada anak


biasanya hanya menasehati anak bahwa kita sebagai
makhluk ciptaan-Nya harus mengeesakan dan
menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, selalu
melakukan keta’atan kepada Allah berupa beribadah
80

serta melaksanakan segala perintah dan meninggalkan


segala larangan-Nya.”76
Hal senada juga dikatakan bapak Ocim beliau

mengatakan:

“Dalam penerapan akidah, saya membiasakan anak


untuk melakukan kewajibannnya kepada Allah, yaitu
melaksanakan shalat tepat waktu, jika anak saya tidak
shalat saya memarahinya, bagi anak perempuan saya
ketika pergi keluar rumah harus memakai jilbab.”77
Berdasarkan wawancara penulis dengan salah seorang

anak, bernama Rio Asnil, mengatakan bahwa:

“Orang tua saya menyuruh saya shalat lima waktu dan


shalat jum’at ketika hari jum’at, kata beliau kalau kita
beribadah berarti kita sudah mendekatkan diri kepada
Allah.”78
Hal senada juga di ucapkan oleh Wenty Zuhrima,

mengatakan bahwa:

“Saya kalau keluar rumah diingatkan untuk memakai


jilbab dan memakai pakaian longgar, orang tua saya
takut nanti saya di ganggu oleh orang yang tidak baik.
Kemudian ketika saya malas shalat orang tua saya
memarahi saya.”79
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis dapat

menyimpulkan bahwa orang tua sudah berupaya dalam

menanamkan nilai tauhid dan selalu melakukan keta’atan

76
Yul Hasni, Orang Tua Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 23 Oktober 2019
77
Ocim, Orang Tua Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 September 2019
78
Rio Asnil, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
79
Wenty Zuhrima, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 Oktober 2019
81

kepada Allah berupa beribadah serta melaksanakan segala

perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

c) Mendorong anak untuk serius dalam menuntut ilmu

Orang tua hendaklah mendorong anaknya untuk serius

dalam menuntut ilmu dengan berguru pada orang yang di

anggap bisa membantu membentuk berpikir islami pada anak.

Sebab akidah ini tidak bisa diwakilkan kepada sekolah saja.

Dorong anak-anak untuk ikut silahturahim, mendatangi

majelis-majelis ilmu yang diisi guru, ustadz, ulama ataupun

figur publik muslim yang terbukti sangat baik dalam

menguatkan akidah anak.

Berdasarkan wawancara penulis dengan bapak Ocim

beliau mengatakan:

“Anak saya dalam meningkatkan ilmu agamanya tidak


hanya di sekolahkan di Madrasah Tsanawiyah akan
tetapi anak saya juga ajak ikut majelis taklim, wirid dan
ceramah agama yang di adakan disini”80

Hal senada juga dikatakan oleh ibu Yul Hasni, beliau

mengatakan:

“Saya menyekolahkan anak saya di Madrasah


Tsanawiyah yang mana di sekolah ini anak saya dapat
ilmu umum dan juga ilmu agama, yang bisa
memperkokoh akidah, ibadah dan perilaku anak saya”.

80
Ocim, Orang Tua Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 September 2019
82

Penulis juga mewawancarai anak yang bernama Khairul

Bariyah:

“Saya disekolahkan di sekolah agama yaitu di MTsS


Tantaman, yang mana saya disini bisa menimba ilmu
umum sekaligus ilmu agama. Orang tua saya
mendaftarkan saya sekolah disini agar saya bisa menjadi
anak yang mempunyai kepribadian yang lebih baik. “81
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis dapat

menyimpulkan bahwa orang tua di Jorong Tantaman sudah

berperan dalam mendorong anak untuk dalam menuntut ilmu,

yang mana orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah

agama seperti di MTsS dan juga mengajak anak ikut majelis

taklim, wirid-wirid dan ceramah. Anak disekolahkan di

sekolah agama oleh orang tua dengan harapan anak dapat

ilmu umum sekaligus ilmu agama yang bisa memperkokoh

akidah, ibadah dan akhlak anak.

81
Khairul Bariyah, Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019
83

2) Peran Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual (SQ)

Anak Dalam Keluarga Di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam Melalui Penanaman Nilai-Nilai

Ibadah

a) Pendidikan dengan keteladan

Keteladanan dalam pembinaan merupakan metode yang

paling menyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan

dan membentuk anak di dalam moral, spiritual dan sosial.

Dalam lingkungan keluarga masalah keteladanan juga

menjadi faktor penting dalam menentukan baik buruknya

perilaku anak. Hal ini karena orang tua sebagai pendidik

pertama dan utama bagi anak, orang tua juga sebagai contoh

terbaik dalam pandangan anak yang akan di tirunya. Salah

satu contoh yang dikemukakan, apabila orang tua

menginginkan anaknya taat beribadah, tentunya orang tua

harus lebih dahulu mencontohkan hal tersebut.

Berdasarkan wawancara penulis dengan orang tua yaitu

ibu Asnita, beliau mengatakan:

“Biasanya saya memberikan keteladanan kepada anak


saya melalui melakukan ibadah shalat terlebih dahulu
sehingga anak saya dapat mencontoh saya dan ikut juga
shalat. Karena anak tidak akan melaksanakan ibadah
shalat kalau kita hanya sekedar menyuruh dia beribadah
84

akan tetapi kita tidak shalat begitu pun dalam


melaksanakan ibadah-ibadah lainnya.”82
Penulis juga melakukan wawancara dengan orang tua

lainnya bapak Asnil yang menyatakan:

“Bapak memberikan contoh yang baik kepada anak,


contohnya dalam ibadah shalat dan mengaji, bapak
tidak mungkin hanya menyuruh anak untuk
mengerjakan nya tapi bapak tidak melakukannya
juga”.83
Penulis juga melakukan wawancara dengan ibu Yul

Hasni, beliau mengatakan:

“Saya menyuruh anak-anak saya shalat lalu saya juga


ikut, kemudian saya membiasakan diri jujur dalam
keseharian saya. Apalagi saya bekerja sebagai
pedagang. Kalau sekali kita berbohong orang tidak akan
percaya.”84
Orang tua selalu menjadi contoh teladan anak, jadi

ketika dalam membina ibadah anak orang tua jangan hanya

berbicara saja, tapi juga memberikan contoh secara langsung

kepada anaknya. Jika orang tua hanya sekedar menyuruh anak

untuk shalat atau melaksanakan ibadah lain tapi orang tua

sendiri tidak memberikan contoh teladan terlebih dahulu

dalam kesehariannya maka perkataan orang tua akan

diabaikan anak.

82
Asnita, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
83
Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
84
Yul Hasni, Orang Tua Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 23 Oktober 2019
85

Kemudian penulis melakukan wawancara dengan salah

satu anak yang bernama Windy Rifanza mengatakan:

“Orang tua saya selalu sibuk terkadang shalat saja


jarang di lakukan, seperti bapak saya keseharian beliau
sebagai petani pergi pagi pulang sore. Sedangkan ibu
saya sibuk mengurus rumah, apalagi adik saya masih
kecil terkadang ibu ada shalat kadang tidak”.85
Hal yang senada juga dikatakan oleh anak yang

bernama Fajri Gusra menyatakan:

“Orang tua hanya menyuruh-nyuruh saya shalat,


mengaji dan beribadah lainnya. Sedangkan beliau tidak
shalat tapi nonton Televisi. Kalau dari sifat bisa saya
tiru beliau orang yang baik.”86
Dari beberapa hasil wawancara diatas penulis

menyimpulkan bahwasanya, pendidikan keteladanan yang

diberikan orang tua masih belum optimal dimana anak masih

belum optimal dalam menjalankan ibadah dengan disiplin,

seperti salah satu ungkapan anak yang bernama Fajri Gusra

yang mana orang tua hanya menyuruh saja dalam

melaksanakan ibadah shalat sedangkan orang tuanya lebih

memprioritaskan menonton televisi, melihat orang tuanya

begitu dia malas juga melaksanakan ibadah. Jadi dalam

pernyataan Fajri Gusra terlihat bahwa orang tua nya belum

85
Novia Windy Rifanza, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 Oktober 2019
86
Fajri Gusra, Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
86

bisa menjadi teladan yang baik dalam memebrikan teladan

kepada anaknya.

b) Pendidikan dengan kebiasaan

Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan

yang sangat penting bagi anak. Orang tua perlu membiasakan

anak pada sesuatu yang baik. Pendidikan dengan membentuk

kebiasaan harus dilakukan secara berulang-ulang dalam arti

tidak menjemu-jemunya, untuk itu orang tua harus mampu

memilih kebiasaan-kebiasaan yang baik sifatnya dan

menjauhkan kebiasaan buruk untuk anak-anaknya.

Berdasarkan wawancara dengan ibu Rosdayeni, beliau

mengatakan:

“Biasanya saya membiasakan anak ikut kegiatan


keagamaan di masjid seperti ada wirid di masjid,
ceramah-ceramah agama dan kegiatan-kegiatan lomba
yang bertemakan islami dan membiasakan anak untuk
rajin beribadah, membaca Al-Qur’an dan berperilaku
yang baik”.87
Hal senada juga dikatakan oleh bapak Asnil, beliau

mengatakan:

“Dalam membiasakan anak dalam melaksanakan ibadah


saya merasa kurang karena saya sibuk mencari nafkah

87
Rosdayeni, Orang Tua Anak usia 13 Tahun , Wawancara Pribadi, 22 September 2019
87

saya lebih menyerahkan kepada ibunya untuk mengatur


itu.”88
Berdasarkan wawancara dengan salah satu anak yang

bernama Wenty Zuhrima, menyatakan bahwa:

“Orang tua saya menyuruh saya mengikuti kegiatan-


kegiatan keagamaan seperti wirid atau pengajian di
masjid. Tetapi orang tua saya hanya menyuruh saja.
Sedangkan beliau lebih suka duduk-duduk di warung
bersama teman-teman beliau. Sehingga terkadang saya
malas ikut dan saya lebih memilih untuk main
Handphone atau menonton Televisi”89.
Dari keterangan diatas dapat penulis menyimpulkan

bahwa dalam pembiasaan menanamkan nilai ibadah masih

kurang optimal dikarenakan ada orang tua yang sudah

berperan ada juga yang tidak karena sibuk bekerja untuk

mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan dari penjelasan

dari Wenty Zuhrima menyatakan orang tuanya hanya

menyuruh untuk ikut kegiatan keagamaan akan tetapi orang

tua yaitu ayahnya lebih memilih duduk-duduk di warung.

Pendidikan dengan kebiasaan ini sangat perlu dalam

membina ibadah anak sebab apabila anak berasal dari

keluarga yang disiplin maka pembiasaan tidak begitu rumit

88
Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
89
Wenty Zuhrima, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Prbadi, 20 Oktober 2019
88

dan begitu juga sebaliknya serta dengan adanya pembiasaan

dapat membentuk moral dan karakter anak.

c) Pendidikan dengan nasehat

Nasehat merupakan metode pendidikan yang cukup

efektif dalam membentuk iman seorang anak, serta

mempersiapkan akhlak, jiwa, dan rasa sosialnya. Memberi

nasehat dapat memberikan pengaruh besar untuk membuka

hati anak terhadap hakikat sesuatu, mendorongnya menuju

hal-hal yang baik dan positif. Memberi nasehat merupakan

kewajiban setiap muslim, nasehat juga menempati kedudukan

yang tinggi dalam agama karena agama itu sendiri adalah

nasihat.

Berdasarkan wawancara dengan ibu Asnita, beliau

mengatakan bahwa:

“Saya kalau memberikan nasehat kepada anak


tergantung kondisi dan situasi nya, kadang-kadang
lembut kadang-kadang kasar. Apabila anak melakukan
kesalahan tidak fatal saya menasehati nya dengan lemah
lembut, tetapi jika kalau sudah masalah ibadah shalat
jika anak saya belum juga shalat tidak ada toleransi nya
bagi saya memukulnya pun akan saya lakukan.”90

Kemudian penulis juga mewawancarai ibu Yul Hasni,

beliau mengatakan:

90
Asnita, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
89

“Nasehat yang saya berikan kepada anak saya ketika


berbuat salah yaitu jangan mengulangi kesalahan yang
sama dan perbaiki kesalahan itu. Dalam hal ibadah
nasehat saya kepada anak yaitu shalat lah yang rajin,
amal yang pertama di hisab nanti yaitu shalat.”91
Berdasarkan wawancara penulis dengan anak bernama

Zira Audina, mengatakan:

“Orang tua saya jarang menasehati saya, ketika saya


berbuat salah atau tidak shalat beliau kadang-kadang
menasehati saya kadang-kadang tidak. Karena saya
sudah besar jadi seharusnya saya tau mana yang salah
dan benar serta kewajiban saya yaitu melaksanakan
ibadah terutama ibadah shalat.”92
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis dapat

menyimpulkan bahwasanya orang tua sudah ada yang

berperan dalam menasehati anak ada juga yang belum. Dalam

kurang menasehati sesuai dikatakan oleh anak yang bernama

Zira Audina bahwa orang tuanya jarang sekali menasehati dia.

Orang tua meberi penjelasan bahwa shalat adalah kewajiban

kita kepada Allah, Jadi tidak perlu setiap waktu di ingatkan.

d) Pendidikan memberikan perhatian

Pendidikan dengan perhatian adalah senantiasa

mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan

aspek akidah dan akhlak anak, mengawasi dan

91
Yul Hasni, Orang Tua Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 23 Oktober 2019
92
Zira Audina, Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 Oktober 2019
90

memperhatikan kesiapan mental dan akhlak, disamping selalu

bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan kemampuan

ilmiahnya. Dengan perhatian anak akan menjadi baik, jiwanya

akan luhur, budi pekertinya akan mulia. Orang tua harus

menerapkan metode perhatian ini untuk mengawasi kondisi

keimanan anak, apakah anak rajin shalat lima waktu atau

melalaikannya, memperhatikan moral dan perilaku anak dan

lainnya.

Berdasarkan wawancara dengan ibu Rosdayeni

mengenai pemberian perhatian ini, beliau mengatakan:

“Saya jarang sekali memberi perhatian kepada anak


saya, terutama dalam beribadah, maklum saya seorang
buruh tani yang mana saya kerja di sawah orang untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, jadi waktu saya habis
untuk bekerja saja, ketika sudah pulang dari sawah saya
capek dan istirahat pada malam harinya.”93
Hal senada juga di sampaikan bapak Asnil, beliau

mengatakan:

“Saya dalam memberi perhatian ibadah kepada anak


saya kadang-kadang ada kadang-kadang tidak, saya juga
buruh tani. Jadi saya menyerahkan tugas ini kepada istri
saya karena dia kan memiliki waktu yang banyak dalam
mendidik anak saya.”94
Kemudian penulis mewawancarai salah satu anak yaitu

Dilla Marlina, mengatakan bahwa :


93
Rosdayeni, Orang Tua Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 Oktober 2019
94
Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
91

“Ibu dan ayah saya jarang sekali memberikan perhatian


kepada saya terutama dalam beribadah hal ini di
karenakan ibu saya seorang buruh tani yang bekerja di
sawah orang sedangkan ayah saya seorang sopir truck
yang pulangnya kadang-kadang seminggu sekali
kadang-kadang sebulan sekali. Jadi kalau mau shalat
tidak harus menunggu di suruh-suruh orang tua dulu.”95
Hal senada juga di sampaikan oleh Khairul Bariyah,

mengatakan:

“Ibu saya seorang pedagang keseharian beliau di


warung berjualan segala macam barang keseharian,
bahkan untuk shalat saja beliau lupa, jadi dalam
memberikan perhatian dalam ibadah saya jarang sekali
beliau lakukan, beliau sibuk mencari nafkah untuk kami
karena ayah kami sudah tiada (Alm). Jadi ibu harus
menjadi ibu dan sekaligus jadi ayah bagi kami.”96
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis

menyimpulkan bahwasanya orang tua jarang sekali dalam

memberikan perhatian atau memperhatikan anak terutama

dalam beribadah. Hal ini dikarenakan orang tua sibuk bekerja

apalagi mayoritas orang tua di Jorong Tantaman bekerja

sebagai buruh tani pergi pagi pulang sore, pada malam hari

digunakan beristirahat sehingga kurang memperhatikan

ibadah anak.

95
Dilla Marlina, Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019
96
Khairul Bariyah, Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019
92

e) Pendidikan dengan pujian

Pendidikan dengan pujian digunakan ketika anak-anak

mampu mengerjakan hal-hal baik terutama dalam

mengerjakan ibadah yaitu ibadah shalat, memabaca Al-

Qur’an dan ibadah lainnya. Dengan memberikan pujian anak

akan termotivasi untuk senang beribadah dan meningkatkan

kualitas ibadah nya. Pujian bisa berupa penghargaan berupa

ucapan, penghargaan berupa barang/atau benda.

Berdasarkan wawancara dengan bapak Asnil mengenai

pemberian pujian ini, beliau mengatakan:

“Biasanya saya memuji berupa ucapan saja kepada


anak, ketika anak saya rajin dan disiplin dalam
beribadah serta ada peningkatan ibadah nya dari hari ke
hari, berupa ucapan : “Rancak, untuang-untuang tambah
rajin shalatnyo. Jan tingga-tinggaan ndak. Sajak ketek
ko lah wak jalani, lah gadang lah tabiaso” dengan
ucapan begini anak saya menjadi semangat untuk
beribadah.”97

Hal senada disampaikan oleh ibu Asnita, beliau

mengatakan:

“Biasanya saya berikan pujian berupa ucapan, dengan


mengatakan: Udah hebat anak ibu, terus di tingkatkan
shalat dan baca al-quran nya, kalau bisa dalam
membaca Al-Qur’an itu terapkan tajwid nya dan pahami
makna nya.”98

97
Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
98
Asnita, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
93

Berdasarkan wawancara dengan anak bernama Agung

Gumelar, mengatakan:

“Mak dan bapak saya jarang sekali memberikan pujian


kepada saya baik dalam hal peningkatan ibadah saya,
karena menurut orang tua saya, saya sudah besar tidak
perlu di berikan pujian lagi, yang patut di berikan pujian
itu anak yang masih kecil supaya dia rajin ibadah. Kalau
saya kan sudah baligh jadi saya sudah tau mana
kewajiban saya.” 99
Kemudian penulis juga wawancara dengan anak

bernama Indah Savitri Afanza, dia mengatakan:

“Orang tua saya jarang sekali dalam memberikan


pujian, sesekali ada tapi sering kali tidak. Biasanya
kalau saya rajin shalat beliau mengucapkan: “Rajin anak
amak jo ayah. Jan tingga-tinggaan shalat kalau dapek di
ditingkatkan ya nak”. “100
Berdasarkan hasil wawancara penulis menyimpulkan

bahwa dalam memberikan pujian sebagian orang tua sudah

ada yang melakukannya ada juga yang tidak. Pujian

merupakan salah satu motivasi anak untuk rajin, disiplin dalam

menjalankan ibadah ataupun kegiatan lainnya.

99
Agung Gumelar, Anak Usia 15 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019
100
Indah Savitri Afanza, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pibadi, 20 September 2019
94

3) Kendala-Kendala Yang Di Hadapi Orang Tua Dalam

Membina Kecerdasan Spiritual (SQ) Anak Dalam Keluarga

Di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten

Agam

a) Rendahnya Pengetahuan Orang Tua

Rendahnya pengetahuan agama dalam mendidik anak

merupakan kendala yang dihadapi oleh orang tua dalam

mendidik anak dalam melaksanakan ibadah. Orang tua yang

memiliki tingkat pengetahuan agama yang cenderung akan

lebih memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan

anaknya. Sebaliknya, orang tua yang kurang memiliki

pengetahuan agama maka orang tua tersebut kurang bisa

mendidik ibadah anaknya dengan baik.

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan

salah seorang orang tua yaitu bapak Asnil, beliau

menyatakan:

“Dalam mendidik anak saya dalam menjalankan ibadah


saya mengalami kesulitan, seperti halnya dalam
memberikan pemahaman tentang ibadah shalat, saya
hanya sekedar mengetahui bahwa ibadah shalat itu
wajib untuk dilaksanakan, karena saya hanya
berpendidikan rendah yang hanya tamat SD, jadi saya
merasa masih kurang ilmu dalam mendidik anak”.101

101
Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
95

Penulis juga melakukan wawancara dengan orang tua

anak lainnya ibu Asnita yang menyatakan:

“Saya juga mengalami kesulitan dalam mendidik anak


dalam melaksanakan ibadah karena ilmu agama yang
saya miliki dalam mendidik anak tidak begitu banyak
saya ketahui”.102

Pernyaataan diatas diperkuat dengan pendapat ibu Yul

Hasni yang menyatakan :

“Mengenai pendidikan agama anak saya, saya serahkan


ke sekolah, karena tentunya sekolah lebih tau
bagaimana cara mendidik anak di bandingkan dengan
saya yang berpendidikan rendah”.103

Hal senada juga dikatakan oleh salah seorang anak Rio

Asnil, dia menyatakan:

“Orang tua saya hanya menyuruh saya melaksanakan


ibadah shalat mengenai pembelajaran tentang shalat
saya belajar di surau dan disekolah akan tetapi di rumah
orang tua jarang memberi nasehat tentang ibadah shalat
kepada saya”.104
Hasil wawancara diatas diperkuat dengan hasil

observasi yang penulis lihat bahwa dalam mendidik anak bagi

orang tua sebagian besar orang tua menyuruh anaknya untuk

menuntut ilmu agama di surau dan juga disekolah-sekolah

agama, karena orang tua menganggap sekolah lebih mampu

102
Asnita, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
103
Yul Hasni, Orang Tua Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 23 Oktober 2019
104
Rio Asnil, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
96

memberikan pendidikan kepada anak mereka karena sekolah

mereka telah belajar berbagai ilmu, di rumah para orang tua

hanya mengingatkan saja jika anaknya berprilaku tidak sesuai

dengan aturan dan nilai yang ditetapkan.

Melihat kenyataan diatas orang tua sudah salah dalam

memahami bahwa yang mendidik anaknya diserahkan kepada

sekolah namun seharusnya dalam mendidik anak yang

pertama dan utama adalah orang tua. Orang tua mempunyai

tanggung jawab yang besar khususnya dalam melindungi

keluarga dan memelihara keselamatan keluarganya. Dalam

hal melindungi keluarga orang tua bukan hanya memberikan

makan dan juga tempat tinggal saja, akan tetapi juga mendidik

putra putrinya agar kelak mereka tumbuh menjadi anak yang

shaleh dan shalehah.

b) Keterbatasan waktu

Keterbatasan waktu menjadi kendala bagi orang tua

untuk mendidik anak dalam membina kecerdasan spiritual

anak. Kesibukan-kesibukan kerja membuat energi orang tua

habis terkuras sehingga tidak ada lagi tersisa untuk bisa

beraktifitas bersama anak entah itu waktu untuk bermain

ataupun waktu untuk mendidik.


97

Seperti yang di ungkapan oleh bapak Asnil beliau yang

menyatakan:

“Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari saya bekerja


sebagai buruh tani, saya bekerja hampir setiap hari
dalam satu minggu saya hanya 1 atau 2 hari yang di
rumah. Hal itu saya lakukan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga kami. Jadi, waktu saya
untuk anak itu sangat terbatas seperti halnya dalam
mendidik anak saya melaksanakan ibadah shalat
maupun ibadah lainnya”.105

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan

orang tua lainnya yaitu Ibu Asnita, beliau juga menyatakan:

“Saya bekerja sebagai buruh tani, hampir setiap hari saya


ke sawah orang untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
oleh karena itu saya tidak ada waktu mendidik dan
memperhatikan anak saya dalam menjalankan ibadah
shalat”.106

Hal senada juga dinyatakan oleh ibu Rosdayeni beliau

menyatakan:

“Saat mendidik anak dalam menjalankan ibadah


terutama shalat saya merasa atau mempunyai kendala
karena saya sibuk dengan bekerja, kadang-kadang jadi
buruh tani kalau tidak ada biasanya saya berdagang
jualan untuk sarapan pagi.”107

Hal senada juga diperkuat oleh salah seorang anak Fajri

Gusra yang mengungkapkan:

“Orang tua saya jarang mendidik dan mengawasi saya


dalam menjalankan ibadah shalat karena orang tua saya

105
Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
106
Asnita, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
107
Rosdayeni, Orang Tua Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 Oktober 2019
98

selalu sibuk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi


keluarga kami dan juga bapak saya seorang sopir hanya
pulang satu kali dalam seminggu sehingga ketika
bersama teman-teman saya tidak shalat maka saya juga
tidak shalat karena orang tua tidak melihat saya tidak
melaksanakannya.108

Hal senada juga dinyatakan oleh seorang anak yaitu Rio

Asnil mengungkapkan:

“Orang tua saya setiap harinya sibuk dengan


kesibukannya sendiri sehingga jarang ada waktu yang
digunakan untuk melakukan didikan kepada saya dalam
melaksanakan ibadah. Karena orang tua sibuk jadi saya
memilih pergi bermain ke rumah teman-teman dan jarang
ingat untuk shalat maupun ibadah lain”.109

Hasil wawancara diatas diperkuat dengan observasi

yang penulis lihat bahwa orang tua kurang memiliki waktu

untuk anaknya dikarenakan oleh pekerjaan untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi sehari-hari dan juga seperti diungkapkan

oleh Fajri Gusra dan Rio Asnil diatas menyatakan bahwa ia

tidak shalat karena terpengaruh oleh teman-temanya sehingga

dia juga tidak shalat dan juga orang tua nya tidak melihat.

Mayoritas orang tua dari penduduk di Jorong Tantaman

Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam bekerja sebagai

petani dan tuntutan ekonomi terkadang membuat orang tua

pergi bekerja dari pagi hingga sore.

108
Fajri Gusra, Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
109
Rio Asnil, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
99

c) Kesibukan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi

Kesibukan orang tua adalah orang tua yang selalu

bekerja di luar rumah dari pagi hingga sore, dengan segala

kesibukan ini membuat orang tua tidak bisa mendidik anak

dalam melaksanakan ibadah terutama ibadah shalat.

Berdasarkan wawancara dengan salah satu orang tua ibu

Yul Hasni, beliau menyatakan :

“Saya dalam membina ibadah anak saya, saya merasa ada


kendala karena saya sibuk bekerja yaitu berdagang,
apalagi saya seorang janda yang harus memenuhi
kehidupan sehari-hari dan mencari biaya untuk anak-anak
saya sekolah seorang diri, jadi hal ini menjadi kendala
saya dalam membimbing dan mengawasi ibadah anak
saya.”110

Hal yang senada juga dikatakan bapak Asnil, beliau

menyatakan :

“Saya seorang buruh tani hampir tiap hari saya pergi ke


sawah orang lain mencari nafkah untuk menghidupi
keluarga saya dan biaya anak-anak saya sekolah. Dalam
hal membina agama terutama dalam membina keimanan
dan ibadah anak saya selalu serahkan tugas itu kepada
istri saya, hal ini karena saya sibuk.”111
Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat seorang anak

yaitu Khairul Bariyah:

“Ibu saya sibuk jualan. Jadi, saya jarang diperhatikan jika


melaksanakan ibadah shalat atau ibadah lainnya. Kadang
ibu ada menyuruh saya shalat kadang tidak. Apalagi ibu

110
Yul Hasni, Orang Tua Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 23 Oktober 2019
111
Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019
100

yang mencari nafkah sendiri, bapak sudah lama


meninggal. Apalagi adik-adik saya masih kecil yang
butuh perhatian ibu dari pada saya.”112
Hasil wawancara diatas diperkuat dengan observasi

yang penulis lihat bahwa orang tua sibuk bekerja untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari dan juga seperti

diungkapkan oleh seorang anak. Hal ini karena orang tua

sibuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga sedikit waktu

untuk anak.

2. Wawancara Dengan Tokoh Agama

a. Kondisi keagamaan di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam.

Berdasarkan wawancara dengan bapak Drs Ocim selaku tokoh

agama di Jorong Tantaman, beliau mengatakan bahwa:

“Kondisi keagamaan cukup baik tetapi belum maksimal, hal ini


terlihat dari tingkah laku pemuda-pemudi yang belum
mencerminkan keislaman. Contohnya: yang shalat berjama’ah
subuh kebanyakan orang tua-tua saja. Kondisi keagamaan boleh
dikatakan baik boleh dikatakan kurang, baiknya yaitu keagamaan
cukup berjalan di Muhammadiyah, SMP Islam, wirid malam tiap
hari jum’at, shalat berjam’ah 3 waktu di masjid (subuh, magrib dan
isya). Disini ketika shalat 3 waktu lumayan banyak yang datang,
kalau ashar paling-paling 4 orang, disini terjadi ketimpangan
ketika ada hiburan ramai kalau ketika ada pengajian-pengajian
sedikit yang datang, pemuda-pemudi yang datang sekitar 25%.”113
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis menyimpulkan

bahwasanya kondisi keagamaan di Jorong Tantaman cukup baik tetapi


112
Khairul Bariyah, Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019
113
Ocim, Orang Tua Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 September 2019
101

belum maksimal, remaja atau pemuda pemudinya belum

mencerminkan keislaman seperti ketika akan adanya hiburan dihadiri

beramai-ramai sedangkan untuk shalat berjam’ah 5 waktu saja yang

datang sedikit itu pun hanya orang tua-tua saja.

b. Kegiatan keagamaan di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam.

Berdasarkan wawancara dengan bapak Drs Ocim selaku tokoh

agama di Jorong Tantaman, beliau mengatakan bahwa:

“Kegiatan keagamaan disini shalat 3 waktu (subuh, magrib, isya)


cukup ramai, banyak TPQ yang dibuka untuk anak mengaji, anak-
anak bisa belajar di MDA di Muhammadiyah dan YPI. Kegiatan
keagamaan cukup baik hanya saja perlu ditingkatkan lagi.”114

Berdasarkan hasil wawancara ini penulis mengambil kesimpulan

bahwa kegiatan keagamaan yang dilakukan di jorong tantaman sudah

cukup baik dan perlu untuk ditingkatkan lagi seperti shalat berjam’ah 5

waktu.

c. Pentingnya pembinaan keagamaan di Jorong Tantaman Kecamatan

Palembayan Kabupaten Agam.

Berdasarkan wawancara dengan bapak Drs Ocim selaku tokoh

agama di Jorong Tantaman, beliau mengatakan bahwa :

“Pembinaan keagamaan sangatlah penting dalam memantapkan


akidah dan fikih, hal yang perlu ditingkatkan dalam ilmu ibadah

114
Ocim, Orang Tua Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 September 2019
102

(fikih), banyak yang masih kurang paham. Kebanyakkan anak-


anak sekarang tahu rukun shalat tapi tidak tau sunnahnya.
Contohnya ketika i’tidal seharusnya tangan tidak goyang-goyang.
Karena hanya melihat pengalaman saja. Jadi sangat perlu atau
penting dalam memberikan pemahaman bahwa harus sejalan
antara rukun dan sunnahnya.”115

Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis menyimpulkan bahwa

penting sekali dalam pembinaan keagamaan terutama dalam

memantapkan dalam hal akidah dan ibadah anak, karena banyak sekali

pemuda-pemudi dalam melaksanakan shalat hanya mengetahui

rukunnya tanpa sunnahnya serta pembinaan keagamaan sangat penting

dalam membentuk kepribadian.

d. Kendala-kendala yang dihadapi tokoh agama dalam membina

keagamaan di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten

Agam.

Berdasarkan wawancara dengan bapak Drs Ocim selaku tokoh

agama di Jorong Tantaman, beliau mengatakan bahwa :

“Adapun kendala yang dihadapi dalam membina keagamaan anak


yaitu kurang adanya kebersamaan antara tokoh masyarakat dan
tokoh agama serta kurangnya pembinaan oleh ketua pemuda,
niniak mamak, pemerintah dan lainnya.”116

Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis menyimpulkan bahwa

adapun kendala-kendala dalam pembinaan keagamaan anak yaitu

kurang bekerja samanya antara pihak tokoh masyarakat, ketua

115
Ocim, Orang Tua Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 September 2019
116
Ocim, Orang Tua Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 22 September 2019
103

pemuda, niniak mamak dan pemerintah terhadap tokoh agama. Jika

ada kerja sama dari berbagai pihak maka pembinaan keagaamaan akan

berjalan dengan baik dan maksimal.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan tentang peran

orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak dalam keluarga di

Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam penulis dapat

simpulkan sebagai berikut:

1. Peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak usia 13-16

tahun dalam keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam melalui penanaman nilai-nilai keimanan, orang tua

sudah ada yang berperan dan ada juga yang belum berperan, baik dalam

menceritakan kisah/cerita yang mengesakan Allah Ta’ala,

mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan sehari-hari dan mendorong

anak-anak untuk serius dalam menuntut ilmu dengan berguru pada orang

yang dianggap bisa membentuk frame berpikir islami pada anak.

2. Peran orang tua dalam membina kecerdasan spiritual (SQ) anak usia 13-16

tahun dalam keluarga di Jorong Tantaman Kecamatan Palembayan

Kabupaten Agam dalam menanamkan nilai-nilai ibadah, dimana orang tua

belum optimal baik dari segi memberikan pendidikan dengan keteladanan,

kebiasaan, nasehat, memberikan perhatian dan memberikan pujian kepada

anak.

104
105

3. Kendala-kendala yang di hadapi orang tua dalam membina kecerdasan

spiritual anak yaitu rendahnya pengetahuan agama orang tua, keterbatasan

waktu dan kesibukkan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.

B. Saran

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran orang tua dalam

membina kecerdasan spiritual anak dalam kepada anak-anaknya dengan

harapan kelak mereka akan menjadi penerus generasi berikutnya yang

memiliki pemahaman dan pedoman Agama Islam yang mendalam sehingga

tidak terjerumus dengan budaya-budaya dan moral-moral yang dapat

meruntuhkan tegaknya tiang agama Islam di desa tersebut. Dan kiranya demi

tercapainya mutu yang lebih baik penulis perlu memberikan saran-saran

sebagai berikut:

1. Kepada Orang Tua

Kepada pihak orang tua di Jorong Tantaman sebagai pembina yang

pertama dan utama dalam keluarga selalu dapat membina kebiasaan-

kebiasaan yang baik dan memberi bimbingan secara langsung terhadap

anaknya, karena pendidikan yang di dapat melalui bimbingan dan arahan

dalam keluarga adalah merupakan dasar utama bagi pembentukan pribadi

anak. Penanaman Pendidikan Agama Islam berpengaruh terhadap

keagamaan atau kecerdasan spiritual anak dalam kehidupan sehari-hari.


106

2. Kepada anak usia 13-16 Tahun

Kepada anak diharapkan senantiasa belajar Pendidikan Agama

Islam serta sungguh-sungguh dan jangan pernah menyepelekan

pendidikan Agama Islam karena merupakan salah satu sarana yang akan

mengantarkan anak menggapai keselamatan hidup di dunia maupun di

akhirat kelak. Serta mengembangkan potrensi-potensi, salah satunya

kecerdasan SQ dengan pendidikan yang diberikan di keluarga, sekolah,

masyarakat, maupun lembaga pendidikan.

3. Kepada Tokoh Agama

Diharapkan kepada tokoh agama untuk terus mendukung dan

memotivasi orang tua untuk selalu giat dan tetap semangat guna

menanamkan nilai-nilai Agama Islam pada anak. Sehingga sang anak

memiliki kepribadian seperti yang Rasulullah SAW ajarkan yaitu

memiliki Akidah yang kuat, taat beribadah, dan memiliki Akhlaqul

karimah.

4. Kepada Peneliti yang Akan Datang

Penulis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun di sisi lain

penulis meyakini bahwa skripsi ini juga dapat menjadi datangnya manfaat

bagi siapa saja yang membacanya. Oleh karena itu bagi peneliti yang akan

datang hendaknya menyempurnakan skripsi yang telah terpapar di sini.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ. Jakarta: Penerbit Arga.

Amin, Samsul Munir. 2007. Menyiapkan Masa Depan Anak Secara Islami. Jakarta:
Amzah.

Arifin, M. 1978. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah


dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang.

Azmi, Muhammad. 2006. Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah. Yogyakarta:
Belukar.

Danah Zohar dan Ian Marshall. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berfikir Integralistik dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung:
Mizan.

Daradjat, Zakiah. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Darul Ilmi, Jurnal Educative: Reaktualisasi Pendidikan Humanis Dalam Konteks


Keindonesiaan Menghadapi Tantangan Global, Vol 2, No 2, Juli-Desember
2017.

Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahannya, edisi Khat Madinah.
Bandung: Syamil Cipta Media.

Depdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Gunawan, Imam. 2015. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamdani. 2011. Dasar-Dasar Kependidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia

Hasbullah. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Pendelikon. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Helmawati. 2016. Pendidik Sebagai Model. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Herdiansyah, Haris. 2013. Wawancara, Observasi, dan Focus Groups Sebagai


Instrument Penggalian Data Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

107
108

https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidupmuslim/read/2015/02/03/37995/tiga-
cara-menanamkan-akidah-pada-anak-anak-kita. html, diakses tanggal 08-02-2017 jam
14.48 WIB.

Ihsan, Fuad. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Iswantir M, M. Ag. Jurnal Educative: Gagasan dan Pemikiran Serta Praksis


Pendidikan Islam di Indonesia, Vol 2, No 2, Juli-Desember 2017.

Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Jalaluddin. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Khairuddin. Jurnal Educative: Meningkatkan Kompetensi Akhlak Siswa Melalui


Proses Pembelajaran, Vol 1, No 2 Juli-Desember 2016.

Mahfud, Rois. 2011. Al-Islam Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.

Margono, S. 1997. Metodologi Penelitian Pendelikon. Jakarta: Rineka Cipta.

Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendelikon. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

M. Faud, Ferdinan. 2005. Menjadi Orang Tua Bijaksana. Yogyakarta: Tugu Publisher.

Muliawan, Jasa Ungguh. 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Mulyasa, dkk. 2016. Revolusi dan Inovasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Nippon Abdul Halim, M. 2003. Anak Shaleh Dambaan Keluarga. Yogyakarta: Mitra
Pustaka.

Nunu Burhanuddin, Jurnal Educative: Konstruksi Pendidikan Integratif Menurut


Hamka, Vol 1, No 1, Januari-Juni 2016.

Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Rehani. 2001. Keluarga Sebagai Institut Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an.


Baitul Hikmah: Fress.
109

Retna Fitri, Supratrman Zakir, Sarwo Derta, Gusnita Darmawati, Jurnal Educative :
Penggunaan CIPP Model Dalam Mengevaluasi Pelaksanaan Tahfidz Qur’an
Di Pondok Pesantren, Vol 5, No 1, Januari-Juni 2020.

Ridwan Abdullah Sani dan Muhammad Kadri. 2016. Pendidikan Karakter. Jakarta:
PT. Bumi Aksara.

Safaria, Triantoro. 2007. Spiritual Intelligence, Metode Pengembangan Kecerdasan


Spiritual Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Sriwati Bukit dan Istarani. 2015. Kecerdasan dan Gaya Belajar. Medan: LARISPA
Indonesia.

Sugiyono. 2006. Metodologi Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta.
Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan & Konseling.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi. 2013. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Tim Penyusun. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Yusuf, Syamsu. 2008. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Zuhairini. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Data Wawancara:

Ocim, Orang Tua Anak usia 16 Tahun , Wawancara Pribadi, 22 September 2019

Rosdayeni, Orang Tua Anak usia 13 Tahun , Wawancara Pribadi, 22 September 2019

Ria Asyifa, Anak Usia 15 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019

Yul Hasni, Orang Tua Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 23 Oktober 2019

Rio Asnil, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019


110

Wenty Zuhrima, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 Oktober 2019

Khairul Bariyah, Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019

Asnita, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019

Asnil, Orang Tua Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019

Novia Windy Rifanza, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 Oktober 2019

Fajri Gusra, Anak Usia 13 Tahun, Wawancara Pribadi, 21 Oktober 2019

Zira Audina, Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 Oktober 2019

Dilla Marlina, Anak Usia 16 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019

Agung Gumelar, Anak Usia 15 Tahun, Wawancara Pribadi, 20 September 2019

Indah Savitri Afanza, Anak Usia 14 Tahun, Wawancara Pibadi, 20 September 2019

Anda mungkin juga menyukai