Anda di halaman 1dari 69

SKRIPSI

Demokrasi dan Politik Klan di Kazakhstan

Diajukan guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ilmu Politik dengan spesialisasi

Ilmu Hubungan Internasional

Disusun Oleh:

Rina Satriani

08/267336/SP/22863

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

2012

i
Demokrasi dan Politik Klan di Kazakhstan

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ilmu Politik dengan spesialisasi

Ilmu Hubungan Internasional

Disusun Oleh:

Rina Satriani

08/267336/SP/22863

Disetujui Oleh:

Rochdi Mohan Nazala, MSA, M.Lit

Dosen Pembimbing

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada

2012

ii
Halaman Pengesahan
Skripsi dengan judul:

Demokrasi dan Politik Klan di Kazakhstan

Telah diuji dan dipertahankan didepan Tim Penguji Jurusan Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Hari/Tgl : Senin, 12 Maret 2012


Pukul : 12.00

Tempat : Ruang Sidang Jurusan HI

Nama : Rina Satriani


No. Mhs : 08/267336/SP/22863
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional

Ketua Tim Penguji

Rochdi Mohan Nazala, MSA., M.Lit

Penguji I Penguji II

Drs. Samsu Rizal P, M.Sc Titik Firawati, SIP, MA

iii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rina Satriani

No. Mhs : 08/267336/SP/22863

Angkatan : 2008

Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional

Judul Skripsi : Demokrasi dan Politik Klan di Kazakhstan

Melalui surat ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi
dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
pihak lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah itu dan disebutkan dalam
daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab. Saya bersedia
menerima sanksi apabila di kemudian hari diketahui bahwa pernyataan ini tidak benar.

Yogyakarta, 20 April 2012

Yang Membuat Pernyataan

(Rina Satriani)

iv
“ Kau masih muda. Bebas,”

“ Berbuat baiklah pada dirimu sendiri sebelum terlambat. Jangan


pikirkan apa-apa dulu, kemasilah barang-barangmu dan pergilah
melihat sebanyak mungkin dunia ini. Kau tidak akan menyesal.
Suatu hari nanti tahu-tahu sudah terlambat “.

The Namesake, 27

v
My Thesis Done, and Big Thank You To
My Lord, Allah SWT

(walaupun dalam proses ini, saya sering lengah)

Ayahanda Syamsurizal dan Ibunda Murni

(nothing can change you, I love you so much)

Nenekku tercinta, Syamsiar

(my grandma is jjang!)

My Self, who is trying hard to make this script done

Mery Septiani

(the only one sister in the world)

Radinal Syah

Riki Saputra

Risyadan Alfyandra

(I love you boys)

Terima kasih juga untuk:

Laptopku, yang senantiasa kuat dan tegar disamping saya selama pengerjaan skripsi
ini dan memberikan hiburan yang murah. Terutama untuk tayangan para pria-pria
keren itu. I love them so much, especially in this moment.

Maetek dan keluarga, terima kasih atas nasehat dan doanya.

Geng D.14, especially Kak Lina dan Ribka yang sering kasih saran dan motivasi. Kak
Clara, makasih buat komentar pas awal ngerjain skripsi. Ully, sori ya lik, kayaknya
jahat kali aku sama kau. Thank you udah jadi kawanku jaman awal aku kuliah. Mba
Tia, yang mau dengerin keluh kesahku. Sama-sama berjuang ya mba untuk tahun ini.
Andi, walopun kau gak kos disini. Cepat cari pacar kau!

Geng HI Cine 2008, Kak Agi yang ngenalin film-film yang non-mainstream dan kartun
giblinya. Duo sisters, Ninna dan Ainun, yok kerjain skripsi. Kita udah lama loh gak
ngumpul bareng lagi. Nana, kerjain skripsimu na. temen 4dimensi dan untung aku gak
pake nama yang sama ya na. Kak puput yang baik banget.

vi
Geng KKN bareng, Nazu-chan, temen 4dimensi yang keren. Intan, yang sama-sama
ngerjain skripsi bareng. Asa, sori ya sa, ntar tak bantu cariin deh. Nala, semangat ya
nal.

Geng PMK 2008, Rima, jangan putus asa rim. Thanks ya udah jadi temen sejak masih
polos di jurusan ini. Kezia, semoga dirimu semakin cinta dengan dirinya. Putri a.k.a
Inang, jangan sering marah-marah ya nang. Monik, pertahankan idealismemu anak
muda!.

Geng Subunit2, Riris, akhirnya perjuangan kita disini selesai juga dan barengan lagi.
Mba Orchid, mari kita lanjutkan gosip berikutnya. Mba Meida, aku siap dengan
tantangan job seeker. Wahyu, makan-makan lagi pak bos. Bayu, mbah kalo laptopku
rusak tanya-tanya lagi ya. Mas Aang, aku manggilnya aang aja ya, piye skripsimu
ang?.

Geng KAT yang jadi CEARS, kak Dabi, udah lama loh kita gak ngobrol lagi. Kak
Maulvi, thanks buat info-infonya. Megu, aku boleh ya main ke kosmu lagi. Kak Maya,
Wisnu, dan Yanti, semoga kita semakin akrab.

Geng Ronin IPS Padang, Shinta, kawan sejati selama menunggu penantian dan
berlabuh ditempat yang sama. Lina, yo lin jangan galau. Ayu, na minta nasi kapau yo.

Geng TTXI Jogja, Rasda, aku akhirnya selesai ras. Uun, traktir gaji pertama. Ajo,
banyak latihan, aku mau liat sixpack kau. Pije, kapan kau lulus, jangan pacaran gawe
kau. Ayu dan Tati, sudah lama kita tak bersua.

Teman-teman HI UGM 08, semangat buat semuanya!

Dira, tak kusangka dirimu juga suka BigBang. Tasya, teman seperguruan dan
akhirnya kita selesai juga ya. Chakra, semangat buat sidangmu dan teman-teman
lainnya.

Teman-Teman Angkatan XI Titian Teras, angkatan sebelas! Siap, siap!, especially


kopel 18, setelah juned dan aku siapa lagi? Plus nanda dengan mimpi-mimpinya.

Mas Edi, yang selalu setia mengurus administrasi dan birokrasi yang berbelit-belit ini.
Thank you so much mas Edi!

vii
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulisan
skripsi ini telah selesai. Judul skripsi yang bertajuk Demokrasi dan Politik Klan di
Kazakhstan diawali oleh ketertarikan penulis terhadap dinamika sosial dan budaya
masyarakat Asia Tengah. Ketertarikan ini semakin bertambah ketika penulis
mengetahui bahwa negara dalam kawasan ini memiliki keunikan dalam praktik
politiknya, yaitu politik klan. Dalam hal ini terutama negara Kazakhstan yang memiliki
kemajuan luar biasa pada perkembangan politik dan ekonominya pasca independen dari
Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Akhirnya, melalui proses yang cukup sulit dalam
mengumpulkan bahan-bahan penelitian, penulis dapat menyelesaikan tulisan mengenai
demokrasi dan politik klan di Kazakhstan.

Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen


pembimbing, Mas Rochdi Mohan Nazala yang dengan sabar membantu penulis dengan
ide-ide dan saran yang konstruktif guna menyempurnakan substansi dari skripsi ini.
Terima kasih juga kepada Bapak Samsu Rizal Panggabean dan Mba Titik Firawati atas
ide, pertanyaan, dan komentar yang telah diberikan yang sangat membantu penulis
memperbaiki banyak sisi dari skripsi ini.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat menambah wawasan para pembaca
mengenai isu politik klan dan implikasinya terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan.
Oleh karena itu guna menyempurnakan skripsi ini, penulis mengharapkan masukan baik
kritik maupun saran dari para pembaca. Akhir kata, semoga karya penulis dapat
memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.

Yogyakarta, April 2012

Rina Satriani

viii
Daftar Isi

Kover …………………………………………………………………………….... i

Halaman Persetujuan ………………………………………………………….…... ii

Halaman Pengesahan ……………………………………………………………… iii

Surat Pernyataan ………………………………………….…………………... iv

Halaman Motto ……………………………………………………………… v

Halaman Persembahan ……………………………………………………… vi

Kata Pengantar …………………………………………………………..… viii

Daftar Isi ………………………………………………………….……...…… ix

Daftar Tabel ………………………………………………………....…………… xi

Abstraksi ……………………………………….…………………………….. xii

Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………… 1

1. Latar Belakang ……………………………………………………… 1


2. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 3
3. Landasan Konseptual …………………………………………..………….. 3
4. Hipotesis …………………………………………………………...…. 9
5. Metode Penelitian ……………………………………………...………. 10
6. Jangkauan Penulisan …………………………………………………...…. 10
7. Sistematika Penulisan …………………………………………...…………. 10

Bab II Struktur Masyarakat Kazakhstan dan Politik Klan ………..................... 12

1. Struktur Masyarakat Kazakhstan ……………………….……………... 12


Zhuz …………………………………………………………...…………. 12
Klan …………………………………………………………...…………. 14
2. Hubungan antar klan ………………………………………………...……. 17

ix
3. Perkembangan Politik klan di Kazakhstan ………………………….…… 22

Bab III Demokrasi di Kazakhstan ……………………………………...………. 24

1. Faktor-faktor Perubahan Politik di Kazakhstan ……………………..…….. 24


2. Proses Demokratisasi di Kazakhstan ………………………………...……. 28
3. Perkembangan Praktik Demokrasi di Kazakhst ……………………...……. 30
Konstitusi Negara ………………………………………...……………. 32
Strategi Kebijakan ……………………………………………………… 32

Bab IV Politik Klan dan Implikasinya terhadap Praktik Demokrasi di Kazakhstan


……………………………………………………………………….…....… 35

1. Partisipasi ……………………………………………………...……….. 36
2. Liberalisasi ………………………………………………………………. 41
3. Kontestasi ………………………………………………………………. 44

Bab V Kesimpulan ……………………………………………...……………….. 50

Daftar Pustaka ………………………………………………………………. 54

x
Daftar Tabel

Tabel 1. Daftar Klan di Kazakhstan ………………………………………….….. 15

Tabel 2. Komposisi Masyarakat Kazakhstan …………………………………........ 31

Tabel 3. Hasil Pemilihan Umum Presiden Kazakhstan ………………………...…. 38

Tabel 4. Daftar Media Massa Kazakhstan …………………………………….. 43

xi
Abstract

The changing of international politic in earliest 1990 gaves significance


influences toward Kazakhstan, they are freedom from dependence on or control by Uni
Soviet and choose democracy as part of political system. However, as the Soviet system
collapsed, clans -informal identity networks based on kin or fictive kin bonds- emerged
as political actors. Because of that, clan politics –the politics of informal competition
between clans- has had profound effects of political trajectories of these regimes,
especially toward democracy practice. It highlights the participation, liberalization, and
the competition between the political contestant.

Therefore the thesis will explain how clan politic used by the elite and its impact
on democracy practice in Kazakhstan, a country in the central Asia region. High level of
clan politic practice in Kazakhstan heavily effect democracy life. So, it will be
interesting to explore this issue. This thesis will tell us how the elite used clan politics to
get their power and its relation with democracy practice in Kazakhstan.

Keyword: clan, politic, clan politics, democracy

xii
Bab I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Skripsi ini bertujuan untuk membahas hubungan antara praktik politik klan dan
demokrasi di Kazakhstan. Secara lebih spesifik, skripsi ini akan mengeksplorasi
bagaimana praktik politik klan mempengaruhi demokrasi di Kazakhstan. Kazakhstan
merupakan salah satu negara pecahan Uni Soviet pasca kekalahan komunis dalam
pertarungan ideologi pada awal tahun 1990-an. Kazakhstan mendeklarasikan
kemerdekaannya dari Uni Soviet pada akhir Desember 1991 dan semenjak ini pula
Kazakhstan memilih untuk menerapkan kehidupan politik yang demokratis yang
ditunjukkan dengan adanya pemilihan umum pada Desember 1991 dengan Nursultan
Nazarbaev sebagai pemenang dari pemilihan tersebut (Cummings, 2005, pp. 22-23).
Melalui pemilihan tersebut, secara perlahan masyarakat Kazakhstan mulai mengalami
proses perubahan politik yang jauh berbeda dari sistem yang berlaku sebelumnya.
Proses perubahan ini merupakan sebuah transisi Kazakhstan menuju negara yang
demokratis. Perubahan ini memiliki pengaruh politis yang cukup besar pada masyarakat
Kazakhstan yang sebagian besar masih menganut nilai-nilai tradisional, terutama dalam
hal ini mengenai hubungan antar masyarakat. Kazakhstan memiliki praktik politik yang
cukup unik dalam hal hubungan antar masyarakat yaitu masih bertahannya sistem klan
yang merupakan praktik dari nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat
Kazakhstan.

Klan merupakan bagian penting dalam kehidupan tradisional masyarakat


Kazakhstan dan masih berlaku hingga saat ini (Cummings, 2005, p. 20). Klan juga
merupakan upaya interpretasi dan klasifikasi status sosial dan politik dalam masyarakat
Kazakhstan (Masanov, 1998). Dengan demikian, klan memiliki peran utama dalam
sistem sosial dan politik di Kazakhstan yang selanjutnya menjadikan klan sebagai
bagian utama seseorang dalam mencapai posisi tawar yang tinggi untuk mendapatkan
posisi tertentu dalam jabatan publik. Dalam hal ini klan berfungsi sebagai alat untuk
manipulasi kekuatan politik. Klan sebagai nilai lokal yang dianut oleh masyarakat

1
Kazakhstan kemudian menjadi budaya politik yang dikondisikan oleh situasi masa
lampau dan perubahan politik yang selanjutnya disebut sebagai politik klan. Praktik
politik klan di Kazakhstan juga terbentuk akibat pengaruh besar bangsa penjajah pada
masa lampau yang kemudian mengakar secara kuat dalam masyarakat Kazakhstan
(Dave, 2007, pp. 23-24; Schatz, 2004, p. 10; Masanov, 1998). Hal ini kemudian
menjadikan politik klan sebagai way of thinking masyarakat Kazakhstan dalam aktivitas
sosial dan politik. Ini menyangkut bagaimana posisi seseorang dalam ranah politik dan
sosial, terutama dalam politik adalah bagaimana seseorang dapat memiliki karir politik
yang lebih baik jika tergabung dalam klan tertentu.

Realita yang terjadi adalah Kazakhstan mendeklarasikan dirinya sebagai negara


yang demokratis ketika praktik politik klan masih berlangsung hingga saat ini. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Presiden Nursultan Nazarbaev yang menyebutkan bahwa
Kazakhtan merupakan negara demokratis yang ditunjukkan dengan adanya sistem
presidensial, parlemen, pemilihan umum dengan multipartai dan kekuatan politik yang
besar dari level eksekutif (Cummings, 2005, p. 24). Pernyataan ini menunjukkan bahwa
Kazakhstan memiliki keinginan untuk menjadi negara yang modern dan menganut
sistem yang demokratis dalam pemerintahannya. Namun, kuatnya pengaruh budaya
lokal dalam masyarakat Kazakhstan menyebabkan praktik politik klan sulit untuk
dilepaskan dari sistem sosial dan politik Kazakhstan. Oleh karena itu, proses asimilasi
nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat Kazakhstan terhadap demokrasi menjadi
salah satu proses yang penting dalam perpolitikan Kazakhstan.

Demokrasi dan politik klan di Kazakhstan adalah topik yang menarik untuk
dibahas karena Kazakhstan sebagai salah satu negara modern di dunia masih menganut
politik klan dan memiliki pondasi yang cukup kuat dalam kehidupan politik masyarakat
Kazakhstan. Selain itu, politik klan di Kazakhstan merupakan salah satu topik yang
kurang begitu dikenal dan perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dan
hubungannya terhadap demokrasi. Bertolak dari latar belakang singkat diatas, menarik
untuk mengkaji bagaimana proses asimilasi yang terjadi antara politik klan dan
demokrasi di Kazakhstan dan bagaimana pengaruh politik klan terhadap praktik
demokrasi di Kazakhstan seiring dengan dinamika politik yang terjadi di Kazakhstan.

2
2. Rumusan Masalah

Bagaimana politik klan digunakan oleh pihak yang berkuasa dalam


memengaruhi praktik demokrasi di Kazakhstan?

3. Landasan Konseptual

Skripsi ini akan membahas hubungan demokrasi dan politik klan di Kazakhstan.
Oleh karena itu penting untuk mengerti apa itu demokrasi dan politik klan. Demokrasi
merupakan ide politik yang menawarkan kesetaraan dan kebebasan serta kepatuhan
terhadap hukum yang berlaku untuk menciptakan sebuah keseimbangan dalam suatu
negara (Held, 1996, pp. 13-16). Selain itu, demokrasi dapat dipahami sebagai suatu
sistem politik yang memberikan kesempatan yang sama bagi setiap rakyatnya untuk
dapat berpartisipasi dalam menciptakan sebuah keputusan bersama (Saward, 1998, p.
15). Kesetaraan menjadi poin utama dari demokrasi yang berarti adanya keselarasan
pembagian kekuasaan. Kesetaraan dalam politik juga berarti adanya kesempatan atau
akses yang sama bagi setiap individu untuk terlibat dalam pembuatan sebuah keputusan.
Oleh karena itu, demokrasi menentang adanya pihak yang mendominasi dalam politik,
karena akan mengacaukan kesetaraan dalam politik.

Demokrasi juga merupakan respon terhadap politik yang dapat memberikan


solusi atau jalan keluar terhadap suatu masalah, mengorganisasi konflik, dan
menciptakan keputusan politik (Warren, 2006, p. 384). Oleh karena itu, Kazakhstan
memilih demokrasi sebagai salah satu jalan keluar atas perubahan politik yang terjadi
pada akhir tahun 1990-an. Praktik politik yang demokratis memungkinkan Kazakhstan
untuk dapat menyelesaikan permasalahan politik domestik yang terjadi pasca perubahan
politik tersebut. Dengan demikian, suatu negara yang menganut demokrasi memiliki
kewajiban untuk menerapkan kesetaraan dalam berbagai hal, terutama pada bidang
yang terkait dengan kemaslahatan masyarakat bersama. Terlibatnya masyarakat dalam
menciptakan suatu keputusan politik memberikan petunjuk bahwa demokrasi memiliki
keterkaitan dengan nilai-nilai tradisional yang dianut oleh suatu negara. Proses
manajemen aktivitas politik menjadi bagian penting dalam demokrasi yang memiliki

3
arti bahwa demokrasi dapat menciptakan lingkungan politik yang sehat bagi suatu
negara.

Menurut tradisi liberal, demokrasi dapat diukur dengan bekerjanya tiga nilai
penting, yaitu : partisipasi, liberalisasi, dan kontestasi. Ketiganya disandarkan pada
prinsip kebebasan individu, khususnya kebebasan untuk (freedom for) dan menjadi
salah satu indikator keberhasilan demokrasi di sebuah negara (Sorensen, 2003, pp. 19-
20). Pengertian dari partisipasi adalah bagaimana setiap orang dapat terlibat dan
memiliki kesempatan dalam pembuatan keputusan bersama. Oleh karena itu, suatu
negara dapat dikatakan sebagai negara yang demokratis dapat dilihat dari sejauh mana
tingkat partisipasi masyarakatnya. Dengan kata lain, masyarakat secara tidak langsung
dituntut untuk terlibat secara aktif untuk mencapai tujuan bersama. Untuk menciptakan
kondisi yang demikian, equality atau kesetaraan merupakan poin penting dalam hal ini,
karena setiap individu memiliki pengetahuan atau informasi yang sama banyak
sehingga tidak ada dominasi salah satu pihak atau dari beberapa pihak.

Liberalisasi adalah mengenai keterkaitannya dengan hak-hak yang harus


didapatkan dari setiap individu dan hal tersebut diakui oleh pihak lain, terutama
pemerintah. Liberalisasi politik mengindikasikan adanya kebebasan dalam melakukan
hak-hak politik tanpa tekanan dan paksaaan. Untuk mengetahui bagaimana tingkat
liberalisasi politik suatu negara dapat dilihat dari tingkat pelanggaran HAM, kebebasan
pers, dan undang-undang (Dahl, 1998, pp. 47-51). Secara tidak langsung, tiga poin
tersebut dapat menggambarkan bagaimana situasi demokrasi yang terjadi di suatu
negara. Hal ini juga dapat diaplikasikan pada negara Kazakhstan dalam melihat
seberapa jauh liberalisasi politik yang berlangsung.

Indikator terakhir adalah kontestasi yaitu mengenai bagaimana masyarakat luas


dapat terlibat dalam persaingan perebutan posisi dalam pemerintahan (Sorensen, 1993,
pp. 19-20). Kontestasi politik diadakan untuk membuka peluang terjadinya rotasi
kekuasaan dalam pemerintahan. Rotasi kekuasaan ini biasanya melibatkan partai politik
dan biasanya partai politik yang menang pada suatu pemilihan memiliki kesempatan
untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintah hingga pemilihan
berikutnya. Kontestasi politik yang meluas dilakukan diantara individu atau kelompok,

4
terutama partai politik dilakukan untuk memperebutkan jabatan pemerintahan yang
memiliki kekuasaan yang efektif pada jangka waktu reguler atau sesuai dengan aturan
yang berlaku dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa (Mas'oed, 2003, pp. 18-19).

Tiga poin dari demokrasi diatas dapat dijadikan sebagai parameter dalam
menilai suatu negara, apakah negara tersebut demokratis atau tidak demokratis. Secara
prosedural partisipasi, liberalisasi, dan kontestasi dilembagakan dalam pemilihan dan
lembaga perwakilan. Ini dimaksudkan agar setiap individu memiliki kebebasan dan
kesempatan yang sama untuk berkompetisi dalam arena politik melalui proses
pemilihan. Dari penjelasan mengenai demokrasi diatas, dapat ditarik pernyataan bahwa
tidak ada pihak yang memiliki kuasa politik yang jauh lebih besar daripada pihak
lainnya, sehingga setiap individu memiliki kuasa politik atas dirinya sendiri. Demokrasi
tidak menghendaki adanya kelompok yang mendominasi suatu pertarungan politik
terhadap kelompok lainnya dan tidak terdapat tingkatan ataupun hierarki kelompok
didalamnya, karena pada dasarnya demokrasi menolak tirani terhadap pembebasan.

Lebih jauh Dahl menjelaskan bahwa tiga poin berikut, yaitu inquiry
(pengumpulan informasi), discussion (proses diskusi), dan deliberation (pemikiran
keputusan yang tepat) juga merupakan bagian penting dari demokrasi (Dahl, 1998, p.
39). Tiga poin ini menjadi penting dalam pengaplikasian demokrasi pada suatu negara,
dikarenakan kebebasan dalam mendapatkan dan memberikan informasi merupakan
salah satu pondasi utama terbentuknya sistem yang demokratis. Demokrasi akan
berjalan dengan baik ketika arus informasi berjalan lancar dan tidak adanya pihak yang
mengatur proses transfer informasi secara sepihak. Hal ini bertujuan agar perimbangan
kekuasaan yang dikehendaki dapat terwujud. Oleh karena itu, keterlibatan dan
kebebasan masyarakat menjadi elemen atau nilai penting bagi sebuah negara yang
menginginkan terciptanya sistem yang demokratis.

Demokrasi menghendaki adanya pertimbangan bersama dari semua pihak dalam


kegiatan politik untuk menuju kemaslahatan bersama (Sullivan, 1997, p. 1). Hal ini
diperlukan untuk membentuk suatu kesepakatan bersama yang memiliki legitimasi yang
kuat dan menghindari adanya kecurangan dari pihak tertentu. Selain itu, pertimbangan
bersama merupakan bentuk dari partisipasi politik yang nantinya dapat mewujudkan

5
kebebasan dalam memberi pendapat. Adanya pertimbangan bersama adalah mengenai
kerelaan untuk menerima tanggung jawab bersama terhadap kesepakatan yang telah
dipahami secara bersama-sama. Menciptakan suatu sistem yang demokratis tidak dapat
menanggalkan tanggung jawab, dikarenakan tanggung jawab memiliki semacam fungsi
sebagai sumber dukungan bekerjanya tiga elemen penting demokrasi, yaitu partisipasi,
liberalisasi, dan kontestasi. Selain itu, tanggung jawab dalam demokrasi juga memiliki
fungsi untuk mempertahankan kondisi yang dikehendaki yang dimuat dalam keputusan
bersama.

Demokrasi akan dapat berjalan dengan baik jika adanya dukungan dari kultur
politik yang dianut oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara (Grugel, 2002, pp.
27-29; 48-49). Oleh karena itu, demokrasi memiliki keterkaitan yang kuat dengan nilai-
nilai tradisional yang dianut oleh suatu negara. Penting untuk memahami bahwa
demokrasi dapat berjalan ketika nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat tetap
dapat terorganisasi dengan baik didalamnya pada suatu negara yang belum memiliki
pijakan yang kuat akan praktik politik yang demokratis. Selain itu, melalui upaya
adaptasi nilai-nilai lokal dalam praktik demokrasi akan memberikan kemudahan bagi
suatu negara untuk menjalankan praktik politik yang demokratis terhadap rakyatnya.
Dengan demikian, ketika upaya adaptasi ini mulai menunjukkan hasil bahwa rakyat
dapat menerima nilai-nilai dari demokrasi akan memberikan implikasi terhadap suatu
negara yaitu kemudahan untuk membangun sistem pemerintahan yang demokratis.
Beberapa keuntungan yang akan didapatkan dengan sistem pemerintahan yang
demokratis, yaitu Dahl menjelaskan bahwa demokrasi dapat mencegah terjadinya
pemerintahan yang otoriter dikarenakan dapat mengurangi kesempatan pemerintah
secara sepihak dalam membuat keputusan yang akan digunakan bersama-sama (Dahl,
1998, pp. 46-48). Selain itu, demokrasi dapat melindungi dan memiliki garansi bahwa
setiap individu memiliki hak dan kesempatan yang sama. Hal ini dikarenakan
demokrasi memiliki legitimasi yang kuat melalui produk hukum yang dihasilkan dan
pertimbangan yang disepakati secara bersama-sama.

Selain itu, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keterkaitan demokrasi dan
politik klan di Kazakhstan, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan politik

6
klan. Klan adalah organisasi informal yang berdasarkan atas hubungan keluarga atau
hubungan darah yang mempunyai keterikatan yang kuat dan memiliki pengaruh yang
besar terhadap pemerintahan, baik elit maupun non elit politik (Collins, 2007, p. 3).
Klan memiliki makna hubungan sosial yang sifatnya emosional, namun terorganisasi
secara rasional (Collins, 2007, p. 24) dan klan selalu berusaha untuk memperkuat
posisinya dengan aktivitas yang kontiniu untuk mempertahankan kedaulatannya secara
sistemastis (Schatz, 2004, p. 111). Ini mengindikasikan bahwa klan mempertahankan
posisinya sebagai kelompok yang berpengaruh bagi suatu negara melalui sistem yang
sifatnya politis dengan mengandalkan aktivitas kelompok secara kontiniu dan
mengorganisasi semua kegiatan secara sistematis. Hal ini diperlukan bagi klan untuk
terus dapat terlibat secara aktif dan memiliki pengaruh yang kuat dalam pemerintahan.
Suatu aktivitas yang bersifat kontiniu akan memberikan dampak tetap bertahannya
suatu sistem dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, politik klan
membuat sistem yang sifatnya hierarkis, yaitu sistem yang menghendaki adanya rasa
hormat yang tinggi terhadap yang lebih besar, baik secara usia maupun status sosial
yang disandang. Sistem ini bertujuan agar masyarakat dengan tingkat atau status sosial
yang lebih rendah akan terus mengikuti anjuran ataupun keputusan yang dibuat oleh
masyarakat dengan tingkat atau status sosial yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan,
kelompok masyarakat yang memiliki level atau tingkatan yang rendah memiliki
kecenderungan untuk mentaati peraturan yang diatur oleh kelompok masyarakat yang
lebih tinggi dan hal ini berlaku dalam politik klan.

Patronase merupakan elemen utama dalam klan yang memiliki peran penting
dalam politik klan, yaitu menjadi semacam mekanisme petinggi klan untuk mengikat
anggotanya secara rasional dengan tetap mempertahankan kultur yang dianut (Collins,
2007, p. 27). Perkembangan politik klan tidak dapat dipisahkan dengan hubungan
negara dan masyarakatnya, dimana dengan ciri masyarakat Asia Tengah yang memiliki
sistem patronase menjadikan praktik politik klan masih berlangsung dalam era modern
ini. Berbeda dengan hubungan patronase yang terjadi di Asia Tenggara yaitu hubungan
antara patron-klien yang terbentuk dikarenakan adanya status sosial yang disandang,
hubungan patronase yang terjadi di Asia Tengah disebut dengan istilah kin-based

7
societies yang berarti hubungan ini terbentuk karena adanya hubungan keluarga
(Collins, 2007, p. 25). Dalam struktur masyarakat Kazakhstan, hubungan patronase kin-
based societies tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Hubungan ini telah
terbentuk sejak lama dan memiliki aktivitas yang sifatnya kontiniu hingga masa
sekarang serta memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemerintahan Kazakhstan.

Terdapat tiga elemen kunci dalam politik klan (kin-based societies), yaitu
hubungan keluarga (kinship), jaringan (networks), dan kepercayaan (trust). Hubungan
keluarga (kinship) merupakan fondasi utama dalam interpretasi identitas dan hubungan
klan, jaringan (networks) merupakan prinsip utama dalam mengorganisasi politik klan
dan terakhir kepercayaan (trust) menjadi pengikat dari fondasi dan prinsip utama politik
klan (Collins, 2007, pp. 25-26). Tiga elemen inilah yang kemudian semakin
memperkuat praktik politik klan. Dengan adanya politik klan, seseorang melalui klan
tertentu memiliki legitimasi untuk dapat terlibat dalam kehidupan politik dalam
negaranya (Masanov, 1998). Oleh karena itu, politik klan memberikan semacam ruang
bagi anggota klan untuk dapat terlibat dalam perpolitikan secara lebih luas, daripada
seseorang dengan tidak memiliki keanggotaan klan manapun. Namun, ironisnya
keterlibatan dalam politik hanya dapat dinikmati oleh strata klan tertentu yang berarti
tidak semua klan dapat terlibat dalam aktivitas perpolitikan di suatu negara yang masih
kuat memegang tradisi politik klan. Praktik politik yang demikian juga berlangsung di
Kazakhstan, dimana klan-klan yang telah mempunyai kekuatan politik yang lebih besar
dari lainnya cenderung untuk mempertahankan anggotanya dalam arena politik dengan
menggunakan tiga elemen kunci dari politik klan tersebut.

Politik klan merupakan salah satu praktik politik modern, dimana politik klan
memiliki kepentingan dalam permasalahan kontemporer dalam hierarki elitis seperti
ekonomi dan hubungan masyarakat (Murphy, 2006, p. 525). Politik klan memiliki
pengaruh yang besar terhadap aktivitas politik di suatu negara yang masih secara kuat
menganut nilai-nilai tradisional masyarakatnya. Kunci dari bertahannya politik klan
adalah hubungan antar klan yang baik dengan adanya keseimbangan faksi antar klan.
Hal ini lebih kepada kebutuhan untuk menyatukan semua anggota ke dalam grup atau
kelompok dan merupakan representasi dari klan yang besar dalam suatu negara dan

8
tidak sama artinya dengan perwakilan merata yang dimaksudkan oleh demokrasi ala
barat (Collins, 2007, pp. 31-32).

Politik klan memiliki cara tersendiri dalam mengatur perbedaan dalam


masyarakatnya, yaitu dengan cara memotong secara vertikal hubungan antar kelas,
namun membuat masyarakat terbagi dalam beberapa kelompok dengan memberlakukan
hierarki sosial didalamnya. Politik klan merupakan praktik politik patronase yang
menuntut adanya hubungan yang bersifat hierarkis dan menjadikan klan sebagai pusat
dari segala aktivitas sosial dan politik (Collins, 2007, p. 27). Oleh karena itu, dalam
praktiknya politik klan menciptakan suatu rezim yang sifatnya informal yang disusun
berdasarkan kekuasaan dan aturan yang menjadikan klan sebagai aktor utama dalam
bidang sosial dan politik (Collins, 2007, p. 3). Aturan yang disusun dalam politik klan
sifatnya hierarkis yang berarti adanya perbedaan kekuasaan pada setiap level yang
selanjutnya berlaku sistem patronase dalam praktik politik klan. Dengan adanya sistem
patronase tersebut, politik klan memiliki kemampuan untuk bertahan yang didukung
dengan kemampuan politiknya untuk tetap dapat mempertahankan pendukungnya
melalui hubungan keluarga atau hubungan darah. Namun, ironisnya hierarki yang
dibentuk oleh politik klan ini secara tidak langsung memberikan efek korosif terhadap
pelaksanaan demokrasi (Collins, 2007, p. 3), karena politik klan memiliki prioritas
tertentu terhadap suatu klan yang memiliki kuasa politik yang cukup besar dan biasanya
berdasarkan status sosial yang terbentuk dalam masyarakat.

4. Hipotesis

Perubahan politik pada akhir tahun 1990-an memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap politik domestik Kazakhstan, terutama pengaruhnya terhadap sistem
politik yang digunakan. Kazakhstan memilih demokrasi sebagai solusi terhadap
perubahan politik yang terjadi, namun hal ini beriringan dengan masih berlakunya
praktik politik klan dan klan memiliki kekuatan politik yang sangat besar terhadap
politik domestik Kazakhstan. Oleh karena itu, secara tidak langsung politik klan
memiliki pengaruh terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan. Praktik politik klan di
Kazakhstan telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Kazakhstan menjadi negara
yang independen, namun realitanya adalah politik klan memiliki kontradiksi dengan

9
praktik demokrasi. Adanya kontradiksi politik klan dan praktik demokrasi memberikan
keunikan tersendiri dalam perpolitikan Kazakhstan. Kontradiksi ini kemudian
memberikan pengaruh terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan. Politik klan memiliki
pengaruh negatif terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan. Secara tidak langsung,
dalam praktik politik klan di Kazakhstan terjadi upaya penyelewengan oleh pihak yang
berkuasa dalam praktik demokrasi. Hal ini dilihat berdasarkan atas tiga elemen penting
dari demokrasi, yaitu partisipasi, liberalisasi, dan kontestasi.

5. Metode Penelitian

Penulisan skripsi akan dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif.


Metode ini dilakukan dengan menelusuri, mengumpulkan, dan membahas data-data
sekunder yang berasal dari berbagai literatur seperti buku-buku, artikel, jurnal, website,
surat kabar, dan majalah.

6. Jangkauan Penulisan

Jangkauan penelitian ini adalah praktik politik klan dan hubungannya terhadap
pelaksanaan demokrasi di Kazakhstan dalam jangka waktu 1992-2012. Penelitian ini
dilakukan dengan tetap menggunakan data dan informasi yang dianggap relevan dan
mendukung penelitian.

7. Sistematika Penulisan

Penelitian yang berjudul “ Demokrasi dan Politik Klan di Kazakhstan” ini akan
disusun ke dalam empat bagian.

Bab I akan menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teori,
hipotesis, metode penelitian, jangkauan penulisan, dan sistematika penulisan yang akan
menjadi pengantar bab-bab selanjutnya.

Bab II akan membahas struktur dan sistem masyarakat serta bagaimana praktik politik
klan di Kazakhstan.

10
Bab III akan membahas demokrasi di Kazakhstan. Dalam hal ini akan membahas
bagaimana proses demokratisasi yang terjadi, praktik demokrasi, dan perkembangan
demokrasi di Kazakhstan.

Bab IV akan menganalisis bagaimana implikasi politik klan terhadap demokrasi di


Kazakhstan. Dalam hal ini, terutama menganalisa bagaimana proses asimilasi yang
terjadi antara politik klan dan demokrasi di Kazakhstan serta mengevaluasi apakah
politik klan memiliki kesesuaian dengan praktik politik yang demokratis dan
pengaruhnya terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan.

Bab V merupakan penutup yang mencakup kesimpulan yang menjadi ringkasan


jawaban atas rumusan masalah yang telah dibahas pada bab sebelumnya.

11
BAB II

Struktur Masyarakat Kazakhstan dan Politik Klan

Bab ini akan membahas mengenai struktur masyarakat Kazakhstan dan politik
klan yang berlangsung didalamnya. Hal-hal yang dibahas antara lain mengenai
bagaimana pembagian struktur masyarakat Kazakhstan serta nilai-nilai apa saja yang
berlangsung dan bagaimana kehidupan politik yang terjadi dengan struktur masyarakat
yang demikian. Bab ini juga akan mengeksplorasi bagaimana politik klan dapat
memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan politik masyarakat Kazakhstan
dan perkembangan dari politik klan tersebut di Kazakhstan pada masa sekarang.
Kazakhstan merupakan negara terluas di Asia Tengah dan berdiri secara independen
sebagai negara yang mandiri pasca kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1990 (Pavlovic,
2003, p. 9). Menjadi negara yang independen memberi arti bahwa Kazakhstan memiliki
kebebasan untuk menjalankan sistem sosial dan politik sesuai dengan kultur yang ada
dalam masyarakat. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat ini kemudian
memberikan pengaruh yang cukup besar bagi kultur politik suatu negara. Kultur politik
memberikan semacam pijakan bagi sebuah negara dalam menyikapi situasi perpolitikan
(Almond, 1974, p. 50). Hal ini berarti nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat
Kazakhstan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan politik negara ini. Sejalan
dengan dinamika politik yang berlangsung di Kazakhstan, terdapat budaya lokal yang
sulit dipisahkan dalam kehidupan politik masyarakat Kazakhstan yaitu politik klan.
Politik klan berlangsung karena adanya struktur masyarakat Kazakhstan yang terbagi
atas Zhuz-klan. Struktur masyarakat ini menjadi budaya politik Kazakhstan dan secara
tidak langsung memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pemerintahan.

1. Struktur Masyarakat Kazakhstan

Zhuz

Masyarakat Kazakhstan memiliki sistem tersendiri dalam mengatur struktur


kemasyarakatannya. Sistem tradisional masyarakat Kazakhstan dibagi kedalam tiga
bagian yang disebut dengan Zhuz yang terdiri dari berbagai macam klan (Masanov,

12
1998). Pembagian ini tidak bermaksud adanya klasifikasi kelas. Pembagian ini memiliki
arti kelompok masyarakat mana yang pertama kali datang dan menetap di Kazakhstan
dan pembagian ini juga tidak berdasarkan kekuatan antar kelompok (Dave, 2007, p. 32).
Zhuz diatur secara hierarkis yang dibagi menjadi Elder Zhuz (ulu), Middle Zhuz (orta),
dan Younger Zhuz (kishi) (Cummings, 2005, pp. 20-21; Dave, 2007, p. 32; Masanov,
1998). Dari masing-masing Zhuz inilah kemudian terdiri dari berbagai macam klan dan
memiliki pengaruh terhadap aktivitas politik masyarakat Kazakhstan. Masing-masing
Zhuz memainkan peran tersendiri dalam politik klan dan masing-masing peran
disesuaikan dengan kemampuan dan hierarki yang berlaku di antara klan. Selain itu,
setiap Zhuz memiliki simbol yang berbeda-beda. Elder Zhuz disimbolkan dengan
domba yang memiliki arti kesejahteraan, Middle Zhuz disimbolkan dengan pena yang
berarti ilmu pengetahuan, dan Younger Zhuz disimbolkan dengan senjata yang
memiliki arti budaya perang (Cummings, 2005, pp. 20-21). Simbol ini memiliki maksud
bahwa setiap Zhuz memiliki kapasitas dan kemampuan terhadap suatu bidang tertentu.

Awalnya, Zhuz dibentuk atas dasar tujuan militer (Olcott, 1995, p. 11). Maksud
dari tujuan ini adalah upaya dari setiap kelompok masyarakat Kazakhstan untuk
menjaga batas wilayah yang mereka miliki. Ini merupakan salah satu cara agar wilayah
yang mereka kuasai tidak di okupasi oleh kelompok yang lain. Dikarenakan dibentuk
atas dasar tujuan militer, hubungan antar Zhuz bersifat hierarkis. Seiring dengan
perubahan politik di Kazakhstan, Zhuz tidak lagi memiliki tujuan yang sama dengan
awal pembentukannya. Zhuz kemudian menjadi semacam identitas bagi masyarakat
Kazakhstan, namun hubungan hierarki yang terbentuk masih tetap bertahan. Hubungan
hierarki antar klan ini masih bertahan hingga sekarang dan memiliki pengaruh yang
cukup signifikan terhadap posisi politik suatu individu di Kazakhstan.

Setiap Zhuz terdiri atas kumpulan kelompok besar klan (tribe), dimana dari
setiap kelompok besar klan ini terdiri dari satu atau lebih klan didalamnya. Ini
didasarkan atas dua hal, yaitu hubungan keluarga dan wilayah yang mereka tinggali
(Dave, 2007, pp. 39-41). Dua hal ini menjadi poin penting mengapa politik klan masih
berlangsung hingga saat ini di Kazakhstan. Basis jaringan dan kepercayaan menjadi

13
salah satu pendukung masih berlangsungnya hubungan ini dalam masyarakat
Kazakhstan. Walaupun masyarakat Kazakhstan terdiri dari Zhuz yang berbeda, mereka
memiliki aturan yang sama pada setiap Zhuz dan berlaku bagi setiap anggotanya
(Olcott, 1995, p. 11). Dengan demikian, klan di Kazakhstan memiliki sistem atau
mekanisme yang sama dalam struktur anggotanya.

Klan

Klan adalah organisasi informal yang terdiri dari banyak klan yang didasarkan
atas hubungan keluarga yang mempunyai keterikatan yang kuat dengan menerapkan
sistem yang hierarkis bagi anggotanya, baik intra maupun antar klan (Collins, 2007, pp.
3; 25-27). Sistem ini menghasilkan semacam aturan yang sifatnya informal namun
mempunyai legitimasi yang kuat untuk ditaati bagi setiap klan dan anggotanya.
Legitimasi itu didapatkan dari kepercayaan anggotanya terhadap klan yang mereka ikuti
dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Kazakhstan. Hal ini dikarenakan
masyarakat Kazakhstan masih memegang kuat tradisi patronase dalam kehidupan
sehari-hari (Dave, 2007, pp. 131-133). Dengan adanya legitimasi yang kuat dari
masyarakat Kazakhstan, yaitu terhadap aturan yang dihasilkan dari klan yang mereka
ikuti menunjukkan bahwa klan memiliki pengaruh yang besar atau dengan kata lain
klan berhasil mempolitisasi masyarakat Kazakhstan untuk patuh terhadap aturan klan.
Selain itu, legitimasi ini juga didapat dari cara politik klan dalam mengatur perbedaaan
dalam masyarakatnya yaitu dengan cara memotong secara vertikal hubungan antar kelas
(Collins, 2007, p. 31), sehingga tidak terbentuk klan yang hanya berisikan kelompok
borjuis atau proletar. Hal ini dikarenakan identitas klan tidak dapat dijelaskan dalam
teori Marxist, model pembangunan komunis, ataupun tujuan dari pembangunan Uni
Soviet (Collins, 2007, p. 64).

Klan merupakan bagian kecil dari Zhuz, tetapi klan tetap menjadi inti utama dari
masyarakat Kazakhstan. Hal ini dikarenakan klan memiliki ikatan yang lebih kuat,
dalam hal ini hubungan kekeluargaan. Klan memiliki pengaruh terhadap posisi
seseorang dalam kehidupan politik (Masanov, 1998). Dalam hal ini, klan dapat
menentukan peran suatu individu dalam perebutan jabatan publik. Jika terdapat salah

14
satu anggota klan yang menjadi elit politik dalam suatu rezim, proses perekrutan jabatan
publik cenderung dipilih dari klan yang sama. Oleh karena itu, persaingan politik yang
terjadi dalam masyarakat Kazakhstan merupakan persaingan politik antar klan. Setiap
klan berusaha untuk menguasi peran publik tertentu yang sekiranya dapat
menguntungkan anggota klannya.

Masyarakat terbagi atas tiga Zhuz, 19 kelompok besar klan (tribe), dan 97 klan
yang tersebar diseluruh Kazakhstan (Sobakin, 1999). Klan yang berasal dari satu
kelompok besar klan yang sama (tribe) didasarkan atas hubungan patrilineal yang sama
(Collins, 2004, p. 234). Perinciannya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Daftar Klan di Kazakhstan (Sobakin, 1999)

Elder Zhuz Terdiri dari sepuluh kelompok besar klan (tribe):


1. Alban (terdiri dari klan Aytbozum, Aldzhan, Kzyl-borik, Konyr-
borik, Kurman, dan Segiz-sary)
2. Dulat (terdiri dari klan Botpay, Dzhanys, Siykym, dan Chimyr)
3. Zhalair (terdiri dari klan Akbiyum, Andas, Aryktynym,
Baychigyr, Balgaly, Kalpe, Karashapan, Kushuk, Myrza, Orakty,
dan Syrshy)
4. Kanly (terdiri dari klan Kzyl-kanly dan Kopsan-kanly)
5. Oshakty
6. Suan (terdiri dari klan Baytygey dan Tokarstan)
7. Shaprashty (terdiri dari klan Aykym, Asyl, Ekey, Eskhoza, dan
Chibyl)
8. Ysty (terdiri dari klan Oik dan Tlik)
9. Srgeli
10. Sary-uysun

15
Terdiri dari enam kelompok besar klan (tribe):
Middle Zhuz
1. Argyn (terdiri dari klan Atygay, Basentein, Begendyk, Zhogary-
shekty, Kanzhigaly, Karakesek, Karaul, Tobakty, Syundyk,
Tarakty, Tomen-shekty, dan Shubarpaly)
2. Kerey (terdiri dari klan Abak-kerey, Aksary, Balty, dan Kursary)
3. Kypshak (terdiri dari klan Karabalyk, Koldenen, Kulan-
kypshak, Toraygyr, dan Uzun)
4. Konrat
5. Nayman (terdiri dari klan Ak-nayman, Baganaly, Baydzhigit,
Baltaly, Bura, Karakerey, Kartay, Kozhambet, Kokzarly,
Kyrzhy, Matay, Murun, Sadyr, Tertamgaly, dan Tortul)
6. Uak (terdiri dari klan Abray, Azhibek, dan Shoga)

Younger Zhuz Terdiri dari tiga kelompok besar klan (tribe):


1. Alymuly (terdiri dair klan Karakesek, Karasakal, Kete, Tortkara,
Shekty, dan Shomekey)
2. Bayululy (terdiri dari klan Aday, Alasha, Altyn, Baybakty,
Bersh, Esentemir, Zhappas, Issyk, Kzyl-kurt, Maskar, Tazlar,
Tana, dan Sherkesh)
3. Zheteru (terdiri dari Zhagalbayly, Kerdery, Kereit, Tabyin,
Tama, dan Teleu).

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Kazakhstan terdiri dari banyak klan,
dimana setiap klan bersaing untuk mendapatkan kekuasaan politik di Kazakhstan. Dari
97 klan yang tersebar diseluruh Kazakhstan, hanya klan yang berasal dari kumpulan
kelompok klan Shaprashty yang memiliki pengaruh politik yang paling besar. Hal ini
dikarenakan, presiden yaitu Nazarbaev yang berkuasa di Kazakhstan berasal dari
kelompok tersebut (Johnson, 2009, p. 37). Posisi Nazarbaev memberikan keuntungan
bagi anggota klan yang berasal dari tribe tersebut, dimana dengan posisi tersebut

16
memberikan kesempatan yang lebih luas bagi mereka untuk tergabung dalam kehidupan
politik di Kazakhstan. Setiap anggota klan cenderung mengajak orang-orang yang
berada dalam kumpulan klannya untuk terlibat dalam aktivitas politik. Hal ini dilakukan
untuk menjaga posisinya dalam suatu jabatan publik. Begitu pula yang dilakukan oleh
Nazarbaev terhadap klan-klan yang tergabung dalam satu kelompok klan yang sama
(Tourtellote, 2006; Masanov, 1998).

2. Hubungan antar Klan di Kazakhstan

Hubungan antar klan di Kazakhstan membentuk institusi informal yang


didalamnya terdapat aturan dan keanggotaan yang tetap (Collins, 2004, pp. 233-234).
Dengan adanya perubahan politik domestik Kazakhstan, peran klan yang sebelumnya
mewadahi aspirasi politik anggotanya mengikuti dinamika perpolitikan Kazakhstan.
Setiap klan akhirnya saling bersaing untuk mendapatkan posisi jabatan publik yang
diinginkan. Hal ini kemudian membangun suasana kompetitif antar klan dalam politik
yang selanjutnya disebut sebagai politik klan. Politik klan merupakan praktik politik
yang terdiri dari institusi informal dalam suatu negara yaitu klan dan memiliki norma
yang mengatur hubungan antar klan (Collins, 2007, pp. 60-61). Praktik politik ini
menghendaki adanya loyalitas yang tinggi dari anggotanya, namun praktik politik ini
memiliki norma tersendiri dalam mengatur hubungan antar klan. Politik klan
mengutamakan adanya hubungan yang seimbang. Hubungan ini menghendaki adanya
keseimbangan antar setiap faksi klan, namun ini tidak sama dengan yang dimaksud
dengan representasi ala demokrasi. Ini lebih kepada adanya kebutuhan untuk
memasukkan atau mempresentasikan klan terbesar dalam sistem politik negara (Collins,
2007, p. 35). Berkaca atas besarnya kepemimpinan Nazarbaev sebagai presiden
Kazakhstan, dapat dipastikan bahwa klan-klan yang tergabung dalam garis patrilineal
yang sama adalah elit politik Kazakhstan (Tourtellote, 2006). Klan-klan tersebut antara
lain Aykym, Asyl, Ekey, Eskhoza, dan Chibyl (Sobakin, 1999). Klan ini berasal dari
Elder Zhuz yang dapat dipastikan mendapatkan tingkatan hierarki yang paling atas
dalam hubungan antar klan.

17
Politik klan di Kazakhstan memiliki dinamika politik yang menarik. Dimulai
dari jatuhnya kekuasaan Uni Soviet pada tahun 1990 memberikan babak baru dalam
kehidupan politik di Kazakhstan. Transisi pemerintahan dari Uni Soviet menjadi negara
yang independen memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap pemerintah
dan masyarakat Kazakhstan secara umum. Hal ini kemudian memberikan perubahan
terhadap pola pikir masyarakat Kazakhstan terhadap kegiatan politik. Politik klan
kemudian dianggap sebagai pola pikir atau way of thingking dalam kehidupan sehari-
hari, terutama dalam aktivitas sosial dan politik (Masanov, 1998). Pola pikir ini menjadi
semacam aturan yang tidak tertulis dan teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Kazakhstan. Hal ini disebabkan adanya perkembangan klan dan politik
yang berubah pada setiap perubahan kekuasaan di Kazakhstan.

Perkembangan klan dan politik yang berkembang didalamnya telah berlangsung


cukup lama di Kazakhstan. Dinamika politik klan di Kazakhstan telah dimulai semenjak
abad ke-17 yang semakin intensif pada abad ke-18 yang dikarenakan semakin
banyaknya perebutan kekuasaan politik pada masa itu (Cummings, 2005, pp. 14-15).
Intensifnya perebutan kekuasaan politik memberikan pengaruh terhadap bagaimana
usaha suatu klan untuk meningkatkan loyalitas antar anggotanya. Oleh karena itu,
kepercayaan dan jaringan menjadi dua unsur penting dalam politik klan, yang tidak
hanya bertujuan untuk mempertahankan keberlangsungan suatu klan, tetapi juga dapat
menunjukkan apakah klan tersebut memiliki posisi yang cukup penting dalam politik
antar klan. Namun, dinamika politik klan sempat terganggu pada akhir abad ke-18
hingga abad ke-19 yang dikarenakan adanya invasi Uni Soviet dalam mengembangkan
wilayah kekuasaannya, dimana Kazakhstan masuk sebagai salah satu negara yang
menjadi jajahan Uni Soviet.

Uni Soviet menerapkan konsolidasi aturan yang memuat tindakan represi,


sedentarisasi, dan kolektivisasi yang bertujuan untuk meminimalisir aktivitas politik
masyarakat Kazakhstan (Cummings, 2005, p. 15). Tindakan ini memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap perkembangan politik klan pada masa itu, dimana beberapa
dari nilai-nilai tradisional masyarakat Kazakhstan tidak diperbolehkan untuk

18
dilaksanakan dan semua aturan dalam kehidupan sehari-hari harus mengikuti aturan
yang diterapkan oleh Uni Soviet. Oleh karena itu politik klan di Kazakhstan dibawah
kekuasaan Uni Soviet yang ketika itu dipimpin oleh Stalin hanya berjalan ditempat,
tidak terdapat dinamika yang cukup signifikan. Walaupun demikian, klan tetap
memiliki eksistensi pada masa Uni Soviet. Alasannya adalah 1. Tekanan Uni Soviet
terhadap negara jajahannya tidak sampai kepada permasalahan sistem sosial, terutama
sistem kekeluargaan; 2. Organisasi dari klan dilengkapi dengan identitas kultural yang
memiliki fungsi sebagai perisai terhadap tekanan dari pihak luar; 3. Sejak tahun 1920,
klan memiliki akses terhadap sumber daya alam yang dimiliki oleh negara (Collins,
2007, p. 63). Dengan tiga alasan inilah kemudian politik klan masih dapat berlangsung
yang juga didukung dengan hubungan patronase antar klan yang telah terjalin sejak
lama.

Perubahan terjadi ketika Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Uni Soviet.


Nikita Khrushchev memberikan mandat kepada Dinmukhamed Kunaev sebagai Kazakh
First Party Secretary pada tahun 1960 atau dengan kata lain Kunaev diberikan posisi
sebagai kepala pos negara bagian Kazakhstan (Cummings, 2005, p. 16). Dengan posisi
ini, Kunaev memiliki otoritas untuk membuat keputusan ataupun instruksi terhadap
Kazakhstan. Hal yang paling menonjol dari Kunaev adalah instruksinya mengenai
peningkatan kemampuan politik administratif masyarakat Kazakhstan dan mensponsori
kemajuan pendidikan dan kebudayaan etnis Kazakh. Instruksi ini kemudian membuat
Kunaev dianggap sebagai pemimpin negara bagian yang unik diantara pemimpin negara
bagian Asia Tengah lainnya (Cummings, 2005, p. 16). Intruksi ini jelas-jelas
memberikan dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Kazakhstan yang berarti
mulai adanya kebebasan untuk menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis Kazakh.
Selain itu, dampak dari instruksi ini terhadap politik klan adalah adanya peningkatan
aktivitas politik dari klan-klan. Peningkatan aktivitas politik ini memberikan arti bahwa
politik klan tidak berhenti atau hilang dari Kazakhstan yang dikarenakan adanya invasi
dari Uni Soviet.

19
Dalam mempertahankan posisinya sebagai kepala pos Kazakhstan, Kunaev
memainkan peran klan dalam mengembangkan kekuasaannya pada setiap elemen
masyarakat (Cummings, 2005, p. 19). Kunaev membuat kebijakan untuk memperkuat
status politik klan dengan alasan jika dia menggunakan klan sebagai alat politiknya,
Kunaev akan mendapatkan dukungan dari banyak klan yang berarti kekuasaan politik di
Kazakhstan akan lebih terkonsentrasi. Hal ini akan menguntungkan Kunaev untuk
mempertahankan kekuasaannya di Kazakhstan, baik terhadap klan-klan maupun di
hadapan pemimpin Uni Soviet. Ini dikarenakan kriteria yang diperlukan untuk
mempimpin kepala negara bagian dari setiap negara jajahan Uni Soviet adalah
bagaimana massa dapat dikonsentrasikan pada satu kekuasaan utama, tidak tersebar-
sebar (Cummings, 2005, p. 19; Dave, 2007, pp. 23-26). Kekuasaan yang terpusat akan
memiliki kemudahan dalam mengatur masyarakat dan mengaplikasikan kebijakan
politik. Selain itu, dengan kekuasaan yang terpusat akan memudahkan pemerintah
dalam mengkoordinir urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah
Uni Soviet yang sangat luas. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan kondisi sebagian
besar masyarakat Kazakhstan yang masih memegang kuat nilai-nilai lokal yaitu
hubungan patronase yang menghendaki adanya hierarki dalam kehidupan sehari-hari.

Kekuasaan Kunaev di Kazakhstan tidak berlangsung lama yang diakibatkan


adanya kekacauan massa pada tahun 1986. Kunaev kemudian dihapus dari posisi
sebagai First Party Secretary Kazakhstan pada Desember 1986 (Cummings, 2005, p.
16). Hal ini dikarenakan Kunaev digantikan dengan Gennady Kolbin yang merupakan
etnis Rusia. Masyarakat Kazakhstan pun melihat penggantian ini sebagai ketidakadilan
pemerintah Uni Soviet yang kala itu dipimpin oleh Mikhail Gorbachev. Kekacauan
massa pada tahun 1986 ini merupakan momen dimana masyarakat Kazakhstan mulai
mempertanyakan jati diri negara dan kekuasaan Uni Soviet di negara tersebut. Hal ini
juga dipengaruhi oleh menurunnya kapabilitas Uni Soviet dalam merangkul negara-
negara bagiannya.

Klan memiliki peran penting dalam menginterpretasikan dan mengklasifikasi


proses sosial dan politik di Kazakhstan (Masanov, 1998). Ini menjadi sesuatu yang

20
dianggap sebagai prinsip dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kazakhstan. Adanya
perubahan politik secara besar-besaran di Kazakhstan dari abad 19 hingga abad 20 tidak
memiliki pengaruh terhadap peran klan tersebut dikarenakan hubungan patronase
masyarakat Kazakhstan -klan- yang telah terbangun sejak lama. Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, klan memiliki identitas kultural yang tidak dapat dilepaskan,
karena diturunkan secara turun-temurun dan memiliki fungsi yang resisten terhadap
budaya baru (Collins, 2007, pp. 62-63; 75). Selain itu, klan memiliki legitimasi terhadap
klaim seseorang dalam aktivitas politik dan menentukan kemampuan suatu individu
untuk beraksi secara independen dalam politik (Masanov, 1998). Dengan pernyataan
tersebut, dapat dilihat bahwa klan dan aktivitas politik yang berlangsung didalamnya
merupakan sebuah hal yang prinsipil bagi masyarakat Kazakhstan dan secara tidak
langsung membentuk sistem sosial dan politik Kazakhstan. Dapat disebut sebagai
sistem karena klan memiliki manajemen strategi politik dan klan merupakan faktor
yang cukup penting dalam kegiatan politik Kazakhstan modern (Murphy, 2006, pp.
526-527; Collins, 2007, pp. 31-34). Ini menandakan bahwa politik klan merupakan
salah satu faktor utama dalam politik dan pemerintahan Kazakhstan dan menjadi salah
satu teknik dalam politik untuk memetakan kekuatan politik lokal di Kazakhstan.

Dewasa ini, proses adaptasi dari politik klan di Kazakhstan terjadi dalam proses
rekruitmen anggota elit. Klan memainkan peran apakah seseorang tersebut dapat terlibat
dalam politik atau tidak, dan ada kecenderungan anggota elit diambil dari klan tertentu
(Masanov, 1998). Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa politik klan cenderung
menghasilkan praktik politik yang bersifat kolusi. Ini tidak dapat dilepaskan karena
politik klan terjadi berdasarkan adanya hubungan patronase dalam masyarakatnya.
Hubungan ini kemudian memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap
pemerintah dan masyarakat Kazakhstan khususnya. Hal ini dikarenakan, klan dapat
membentuk kekuatan politik didalam masyarakat Kazakhstan. Selain itu, klan juga
memiliki fungsi bagi masyarakat Kazakhstan dalam membentuk opini seseorang
terhadap kemampuan politik yang dimiliki oleh sebuah klan. Dengan demikian, politik
klan masih berlangsung di Kazakhstan modern dan menjadi kultur politik
masyarakatnya.

21
3. Perkembangan Politik Klan di Kazakhstan

Adanya perubahan politik yang terjadi di Kazakhstan yaitu dari Uni Soviet
menjadi negara yang independen, persaingan antar Zhuz-klan untuk dapat mendapatkan
kekuasaan politik juga berubah. Perubahan ini mempengaruhi klan-klan yang berasal
dari Middle dan Younger Zhuz juga ingin ikut terlibat dan memiliki representasi mereka
dalam sistem politik (Masanov, 1998). Hal ini didorong atas perubahan sistem politik
Kazakhstan yang sebelumnya otoriter menjadi demokratis. Untuk mencegah terjadinya
konflik, Nazarbaev selaku presiden Kazakhstan berjanji untuk memberikan kesempatan
dan posisi yang setara bagi setiap klan yang berasal dari Zhuz manapun dalam politik
(Ceccarelli, 2007, p. 22). Pernyataan ini tidak dapat direalisasikan, karena Nazarbaev
juga membutuhkan klan-klan yang tergabung dalam tribe-nya untuk mempertahankan
kekuatan politiknya. Pada dasarnya pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang
retoris, karena praktik politik klan memiliki kekuatan politik yang lebih kuat daripada
institusi yang dimiliki oleh pemerintah (Nourzhanov & Saikal, 1994, p. 226). Ini
dikarenakan masyarakat Kazakhstan masih sangat tergantung dengan ikatan yang
didasarkan atas hubungan keluarga.

Saat ini klan merupakan aktor penting dalam perpolitikan Kazakhstan


(Masanov, 1998). Klan mampu menjadi representasi bagi masyarakat Kazakhstan
dalam aktivitas politik dan ekonomi negara. Dalam hal ini klan memiliki legitimasi
untuk memutuskan apakah suatu individu di Kazakhstan memiliki kemampuan untuk
terlibat dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, jika telah ada representatif klan
tertentu dalam jabatan publik, maka keputusan atau klaim apapun cenderung diikuti dan
didukung. Hal ini membuat politik klan menjadi arena politik yang tidak kompetitif.
Setiap klan hanya berusaha untuk mendukung anggotanya saja dan cenderung
mengacuhkan klan lainnya, walaupun kemampuan yang dimiliki untuk terlibat dalam
kehidupan politik tidak sebanding dengan anggota dari klan lainnya.

Perkembangan politik klan di Kazakhstan semakin signifikan pada masa


sekarang (Akerman, 2002, p. 3). Klan memainkan peran penting dalam mewujudkan
kestabilan politik Kazakhstan. Ini dikarenakan klan memiliki mekanisme yang mampu

22
memenuhi kebutuhan dari anggota klannya, dimana pemerintah Kazakhstan belum
mampu memenuhi semua kebutuhan dari masyarakat Kazakhstan, terutama dalam
bidang politik. Mekanisme ini terbentuk dari kesepakatan antar klan yang inti utamanya
adalah melindungi kepentingan dari klan dan memberikan garansi pada setiap klan
untuk dapat memiliki akses terhadap politik dan sumber daya alam (Ceccarelli, 2007, p.
23). Hal ini kemudian membuat pemerintah tidak memiliki kekuatan politik yang
sebanding dengan klan. Jika kesepakatan ini pecah, maka pihak yang akan dirugikan
pertama kali adalah pemerintah Kazakhstan dan ada kemungkinan Kazakhstan menjadi
negara yang failed state. Ini disebabkan Kazakhstan memiliki masyarakat yang masih
menganut kuat hubungan klan yang dibangun atas jaringan dan kepercayaan yang kuat.
Oleh karena itu, politik klan tetap bertahan dan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kehidupan politik di Kazakhstan, terutama terhadap situasi dan kondisi politik
Kazakhstan. Selain itu, faktor masih berlangsungnya politik klan di Kazakhstan adalah
besarnya jumlah penduduk etnis Kazakh daripada etnis lainnya dan mereka memiliki
kekuatan politik yang sangat kuat.

Tidak semua klan memiliki posisi dan peran yang sama dalam perpolitikan
Kazakhstan. Klan yang telah mempunyai posisi dan peran yang strategis dalam politik
di Kazakhstan cenderung merekrut anggota elit politik yang baru dari klan yang sama.
Ini disebabkan klan memiliki karakteristik yang selalu berusaha untuk memperkuat
posisinya dengan aktivitas yang kontiniu untuk mempertahankan kedaulatannya secara
sistematis (Schatz, 2004, p. 111). Aksi yang kontiniu akan memberikan dampak positif
terhadap keberlangsungan kekuasaan suatu klan. Seperti inilah yang dilakukan oleh
Nazarbaev dalam mempertahankan posisi klannya. Berkaca atas besarnya
kepemimpinan Nazarbaev sebagai presiden Kazakhstan, dapat dipastikan bahwa klan-
klan yang tergabung dalam garis patrilineal yang sama adalah elit politik Kazakhstan
(Tourtellote, 2006). Klan-klan tersebut antara lain Aykym, Asyl, Ekey, Eskhoza, dan
Chibyl (Sobakin, 1999). Klan ini berasal dari Elder Zhuz yang dapat dipastikan
mendapatkan tingkatan hierarki yang paling atas dalam hubungan antar klan.

23
BAB III

Demokrasi di Kazakhstan

Bab ini akan membahas mengenai praktik demokrasi di Kazakhstan. Hal-hal


yang dibahas antara lain mengenai proses demokratisasi di Kazakhstan, praktik
demokrasi dalam kehidupan politik Kazahstan dan dinamika dari praktik demokrasi
tersebut di negara ini. Tujuan dari bab ini adalah menjelaskan konteks demokrasi yang
berlangsung di Kazakhstan dan hal-hal apa saja yang terjadi selama berlangsungnya
proses demokratisasi. Bab ini juga akan mengeksplorasi bagaimana demokrasi dapat
menjadi salah satu nilai dalam kehidupan politik masyarakat Kazakhstan.

1. Faktor-faktor Perubahan Politik di Kazakhstan

Independennya Kazakhstan menjadi negara mandiri menandakan adanya


perubahan baru dalam negara ini. Perubahan yang paling menonjol adalah sistem
politik. Pasca runtuhnya kekuasaan Uni Soviet, negara-negara pecahannya cenderung
memilih demokrasi sebagai solusi dalam pemerintahan, termasuk Kazakhstan. Alasan
Kazakhstan memilih demokrasi dapat dijelaskan dalam dua hal, pertama adanya
tekanan internasional untuk meliberalisasi politik domestik yang disebabkan adanya
perubahan politik internasional pada akhir tahun 1980-an (Schatz, 2006, pp. 263-264)
dan kedua, masyarakat Kazakhstan merupakan masyarakat yang heterogen, terdiri dari
berbagai macam etnis (Dave, 2007, pp. 59-60). Demokrasi dipandang sebagai sistem
yang dapat mengorganisasi masyarakat yang heterogen atau setidaknya dapat
mengurangi terjadinya praktik politik yang mengutamakan etnis atau kelompok
masyarakat tertentu.

Kazakhstan merupakan salah satu negara yang terletak di Asia Tengah,


landlocked territory, dan pernah berada dalam kekuasaan pemerintahan komunis selama
puluhan tahun. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses
demokratisasi di Kazakhstan. Pertama, secara geografis dan topografi, Kazakhstan

24
adalah landlock territory (Cummings, 2005, pp. 1-2). Kondisi ini menguntungkan bagi
pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat Kazakhstan. Hal
ini dikarenakan luasnya wilayah negara dan sulit untuk mendapatkan akses menuju
negara lain sehingga ketika negara menyodorkan hal-hal baru, masyarakat cenderung
untuk menerima hal tersebut. Hal ini didukung oleh keadaan bahwa masyarakat
Kazakhstan pernah berada dalam kekuasaan Uni Soviet yang otoriter dengan aturan
sedentarisasinya mempengaruhi masyarakat Kazakhstan dalam cara menerima aturan
yang dibuat oleh pemerintah, dimana masyarakat cenderung patuh dan tidak ada
perlawanan yang begitu berarti.

Kedua, Kazakhstan pernah berada dalam kekuasaan Uni Soviet hampir 70 tahun
lamanya yang telah berlangsung sejak awal tahun 1920-an (Abazov, 2007, pp. 38-40).
Hal ini memberikan yang sangat besar terhadap pola dan mekanisme politik dalam
masyarakat Kazakhstan secara umum. Pemerintah Uni Soviet memiliki tujuan negara
yang menuntut adanya persamaan dalam setiap bidang di semua negara sekutunya. Oleh
karena itu, pemerintah Uni Soviet kemudian membuat suatu kebijakan yang bernama
korenizatsiiai (Abazov, 2007, p. 40) atau dalam kata lain “indigenization”. Kebijakan
ini menginginkan adanya persamaan budaya dalam setiap sendi kehidupan masyarakat
Uni Soviet. Kebijakan sedentarisasi ini mengakibatkan masyarakat Kazakhstan merasa
tertekan karena adanya praktik kehidupan sehari-hari mereka yang dilarang oleh
pemerintah Uni Soviet, terutama dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Adanya
kebijakan korenizatsiiai memang tidak membuat politik klan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap pemerintah Uni Soviet, namun politik klan memberi pengaruh yang
signifikan terhadap cara berpikir masyarakat Kazakhstan dalam bidang politik.

Adalah Nursultan Nazarbaev yang menjadi tokoh sentral dalam babak


perubahan ini, terutama mendorong Kazakhstan untuk menjadi negara yang demokratis
(Luong & Weinthal, 1999, p. 1269). Nazarbaev merupakan salah satu anggota dari
petinggi pos Kazakhstan pada masa Uni Soviet, dibawah posisi Dinmukhamed Kunaev
(Dave, 2007, p. 89). Nazarbaev memiliki peran yang cukup signifikan terhadap
berdirinya Kazakhstan sebagai negara yang mandiri. Peran ini didapatkan dari usahanya

25
dalam meredam kekacauan massa di Kazakhstan pada tahun 1986 dan dianggap sebagai
tindakan penyelamatan Uni Soviet serta melindungi kepentingan etnis Kazakh
(Cummings, 2005, p. 16). Semenjak itu, Nazarbaev menjadi orang yang paling
berpengaruh terhadap aktivitas politik di Kazakhstan. Selain itu, momen ini juga
dimanfaatkan oleh Nazarbaev untuk membangun kekuatan politiknya di Kazakhstan.

Perannya menjadi sangat penting ketika Nazarbaev berhasil menjadi presiden


pertama Kazakhstan. Nazarbaev terpilih menjadi presiden Kazakhstan setelah dia
berhasil memenangi pemilihan presiden pertama kali di Kazakhstan pada 1 Desember
1991, dimana dia berhasil memenangkan 98,7 persen suara (Cummings, 2005, p. 22).
Kemenangan ini tidak dapat dilepaskan dari masih besarnya pengaruh Nazarbaev
terhadap masyarakat pada masa dia masih menjabat sebagai salah satu anggota petinggi
Kazakhstan ketika Uni Soviet masih berkuasa di negara ini. Dengan kemenangan
tersebut, Nazarbaev berhasil menjadi pemimpin Kazakhstan dan membawa negara ini
mendeklarasikan kemerdekaannya pada 16 Desember 1991. Besarnya pengaruh politik
Nazarbaev terhadap masyarakat Kazakhstan didapatkan dari karir politiknya ketika Uni
Soviet masih berkuasa di Kazakhstan. Nazarbaev memulai karirnya sebagai metalurgis
di Karaganda Mettalurgical Combine di Termitau dan ditempat inilah dia memulai
aktif terlibat dalam politik (Cummings, 2005, p. 16). Selanjutnya, Nazarbaev terlibat
aktif di Komsomol dan menjadi anggota partai komunis lokal di Kazakhstan (KPK)
yang kemudian menjadi batu pijakan Nazarbaev menuju posisi yang lebih tinggi dalam
karir politiknya dalam partai komunis (Dave, 2007, pp. 89-90). Hingga pada awal 1980-
an, Nazarbaev mendapatkan posisi yang cukup penting dalam karir politiknya yaitu
terpilih sebagai salah satu anggota petinggi pos Kazakhstan pada masa Uni Soviet
berkuasa. Oleh karena itu, masyarakat Kazakhstan menjadi tidak asing lagi dengan
kehadiran Nazarbaev dalam politik di Kazakhstan.

Pada masa awal kepemimpinan Nazarbaev di Kazakhstan, liberalisasi terhadap


semua aspek politik dan ekonomi menjadi tujuan utama dalam upaya mereformasi
Kazakhstan menjadi negara yang demokratis (Cummings, 2005, p. 23). Reformasi
diangggap sebagai momen yang sangat penting untuk membentuk identitas Kazakhstan

26
yang baru pasca lepas dari Uni Soviet. Sebagai presiden pertama dengan situasi negara
yang berada dalam masa transisi, Nazarbaev membuat rencana pembangunan politik
Kazakhstan yang diformulakan dalam tiga poin, dimana program liberalisasi ini sangat
dipengaruhi oleh anjuran Mikhail Gorbachev pada akhir kepemimpinannya di Uni
Soviet, yaitu Perestroika (Nourzhanov & Saikal, 1994, p. 225). Poin-poin tersebut
antara lain:

1. Membentuk negara yang demokratis dengan adanya regulasi/ aturan negara yang
legal;

2. Mengadakan transisi ekonomi menuju ekonomi pasar, dengan memperhatikan


aturan yang berlaku; dan

3. Mengembangkan budaya, bahasa dan tradisi etnis Kazakh, tanpa tekanan terhadap
etnis lainnya

Dari tiga poin diatas menunjukkan adanya usaha Nazarbaev untuk membentuk negara
yang demokratis dengan merencanakan sebuah regulasi yang legal untuk
pelaksanaannya. Adanya regulasi yang legal akan membantu tiga program ini dapat
berjalan dan pengimplementasian dari program tersebut akan lebih mudah diterapkan.
Hal ini dikarenakan program tersebut memiliki legitimasi yang sah. Perubahan politik di
Kazakhstan dan adanya upaya untuk mengubah regulasi dalam sistem pemerintahan
menunjukkan keseriusan negara ini untuk membentuk sebuah negara yang demokratis.
Hal ini sejalan dengan dinamika politik internasional pada masa itu yang hampir
sebagian besar negara-negara mencoba beralih ke sistem politik yang demokratis.

Keseriusan ini dibuktikan dengan usaha Nazarbaev untuk membentuk badan


legislatif dan penguatan hukum di Kazakhstan agar cita-cita demokrasi dapat
dilaksanakan (Nourzhanov & Saikal, 1994, pp. 225-226). Badan legislatif dan
penguatan hukum di Kazakhstan diperlukan sebagai alat kontrol terhadap kebijakan dan
implementasi dari program rencana pembangunan negara. Namun, sebagai negara yang
pernah berada dalam kekuasaan negara diktator (Uni Soviet), Kazakhstan belum dapat
melepaskan diri sepenuhnya dari sistem politik yang pernah berlaku di negara tersebut.

27
Hal ini terutama mengenai manajemen politik, ideologi negara, dan kesiapan
Kazakhstan dalam menghadapi perubahan politik internasional (Cummings, 2005, pp.
21-22). Ini tidak dapat dielakkan, karena Kazakhstan berada dalam kekuasaan Uni
Soviet selama dua dekade dan segala aktivitas sosial, ekonomi, dan politik telah terbiasa
dengan aturan yang dibuat oleh Uni Soviet, sebelum Kazakhstan mendeklarasikan
kemerdekaannya.

2. Proses Demokratisasi Kazakhstan

Kazakhtan memformulasikan sistem pemerintahan negara yang merupakan


adaptasi dari salah satu nilai dari demokrasi yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Pavlovic, 2003, p. 64). Namun, negara ini
mendapatkan kendala ketika ingin mengimplementasikan rencana tersebut. Kazakhstan
belum memiliki konstitusi negara yang dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan
sistem pemerintahan yang baru. Oleh karena itu, pada masa-masa awal independennya
Kazakhstan dipenuhi dengan persaingan politik dan perbedaan pendapat antar elit dalam
merumuskan sistem mana yang tepat dan substansi dari konstitusi negara yang akan
dibuat. Masa transisi ini kemudian membuat negara ini lebih condong dalam praktik
politik yang otoriter daripada demokratis (Murphy, 2006, pp. 538-540). Ini tidak dapat
dielakkan karena belum adanya kesatuan pendapat mengenai tujuan dari negara ini yang
disebabkan deklarasi kemerdekaan negara ini waktunya tidak jauh dari kejatuhan Uni
Soviet. Walaupun demikian, tetap ada upaya dari Kazakhstan untuk membentuk negara
dengan praktik politik yang demokratis.

Upaya untuk membentuk negara yang demokratis diimplementasikan dengan


membuat konstitusi negara yang memberikan ruang bahwa terbukanya ranah politik
bagi setiap individu di Kazakhstan (Cummings, 2005, p. 24), namun rencana ini belum
dapat tercapai pada awalnya. Hal ini dikarenakan para elit belum mampu merumuskan
formula konstitusi yang sesuai dan dapat diadaptasikan dengan nilai-nilai demokrasi.
Namun demkian konstitusi negara tetap dibuat dengan alasan mempertimbangkan
negara perlu segera memiliki pijakan hukum agar Kazakhstan memiliki legitimasi untuk
menjadi negara yang independen. Oleh karena itu, tahun-tahun awal independennya

28
Kazakhstan menjadi tahun transisi bagi negara ini menuju negara dengan praktik politik
yang demokratis.

Akhirnya pada 30 Agustus 1995, konstitusi baru pun dihasilkan setelah melalui
perdebatan panjang yang mendeklarasikan secara resmi bahwa Kazakhstan merupakan
republik yang demokratis dan menerapkan praktik politik yang demokratis (Nicholson,
2012). Selain itu, untuk memperkuat identitasnya sebagai negara yang demokratis,
Kazakhstan mengganti nama resmi negaranya menjadi the Republic of Kazakhstan
(Miseirtova, 2005, p. 74). Konstitusi ini melegalkan adanya pemilihan umum untuk
memilih anggota parlemen, namun dengan peran dan posisi eksekutif yang sangat kuat
(Cummings, 2005, pp. 26-27). Konstitusi ini menonjolkan adanya pemilihan umum
dalam konstitusi negara yang bertujuan untuk membentuk sistem yang baru dalam
pemerintahan. Hal ini dikarenakan pemilihan umum dapat mengawali perubahan sistem
politik di suatu negara baru dan dapat menjadi institusi bagi negara dalam
mempresentasikan diri ke dunia internasional (Luong, 2004, pp. 4-5). Namun demikian,
terdapat ketidaksinambungan antara peran eksekutif dan badan legislatif yang tertuang
dalam konstitusi negara yang menunjukkan bahwa Kazakhstan masih sulit untuk lepas
dari sistem pemerintahan yang otoriter. Besarnya pengaruh Nazarbaev terhadap
pemerintahan Kazakhstan menjadi salah satu poin utama mengapa konstitusi negara ini
belum dapat menghasilkan aturan atau sistem pemerintahan yang sesuai dengan nilai
demokrasi. Hal ini kemudian menjadi salah satu tantangan bagi Kazakhstan untuk
mewujudkan negaranya sebagai salah satu negara yang demokratis dalam dunia
internasional.

Sejalan dengan semakin terbukanya ranah politik bagi masyarakat Kazakhstan,


tuntutan negara untuk membentuk sebuah regulasi yang dapat menampung aspirasi
masyarakatnya semakin diperlukan. Oleh sebab itu, untuk memulai aksi pemerintah
dalam menampung aspirasi politik masyarakat Kazakhstan, negara ini terlebih dahulu
memperkuat dan mempraktikkan nilai demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Hal
ini ditunjukkan pada Januari 1999, untuk pertama kalinya pemilihan presiden yang
terdiri dari empat calon (Nicholson, 2012). Selain itu, perkembangan lainnya adalah

29
semakin banyaknya bermunculan partai politik baru dimana sebelumnya hanya ada satu
partai yang berkuasa (KPK). Pasca Kazakhstan merdeka, muncul tiga partai politik
dalam arena politik negara ini, antara lain Union of Unity and Progress for Kazakhstan,
the People Congress Party (yang kemudian disingkat menjadi SNEK), dan the Union of
the People’s Unity of Kazakhstan (UPU) (Cummings, 2005, pp. 24-25). Setidaknya
melalui kemunculan partai-partai ini dapat menunjukkan bahwa Kazakhstan
memberikan ruang bagi tumbuhnya demokrasi. Kemunculan kelompok kepentingan
dalam suatu negara dapat dicermati sebagai sebuah kemajuan dalam upaya mewujudkan
kultur demokrasi disuatu negara. Melalui partai-partai inilah kemudian Kazakhstan
mencoba untuk mewujudkan arena politik yang terbuka dan memberikan kesempatan
yang sama bagi setiap masyarakatnya untuk dapat terlibat dalam pembuatan keputusan
politik bersama.

3. Perkembangan Praktik Demokrasi di Kazakhstan

Ada dua alasan utama mengapa Kazakhstan menerapkan praktik demokrasi


yaitu adanya perubahan politik internasional yang juga mendorong perubahan terhadap
politik domestik dan kebutuhan akan sistem yang dapat melindungi kepentingan
masyarakat Kazakhstan yang heterogen. Demokrasi merupakan pilihan yang tidak dapat
ditolak oleh Kazakhstan. Keluarnya Kazakhstan dari Uni Soviet dan menjadi negara
yang independen serta adanya perubahan politik internasional, pilihan untuk
menerapkan praktik politik demokratis merupakan pilihan utama jika Kazakhstan
menginginkan menjadi negara baru dalam masa itu (Cummings, 2005, pp. 34-36). Hal
ini dikarenakan, pengakuan dari pihak luar akan lebih mudah didapatkan jika
Kazakhstan menganut praktik politik yang demokratis, daripada melanjutkan sistem
yang telah ada sebelumnya. Selain itu, Kazakhstan merupakan negara dengan
masyarakat yang heterogen. Praktik politik yang demokratis dimungkinkan dapat
menampung kepentingan dari banyak etnis. Disamping itu, masyarakat Kazakhstan
sendiri juga menerapkan praktik politik klan, sehingga demokrasi dapat menjadi solusi
atas persaingan politik antar klan. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini mengenai
komposisi masyarakat Kazakhstan.

30
Tabel 2. Komposisi Masyarakat Kazakhstan (Johnson, 2009, p. 5)

Kelompok Etnis Populasi Persentase


Jerman 222. 500 1,5 %
Kazakh 9. 008. 000 58,9 %
Rusia 3. 962. 100 25,9 %
Tatar 229. 100 1,5 %
Uyghur 231. 400 1,5 %
Ukrania 444. 700 2,9 %
Uzbek 433. 500 2,8 %
Lain-lain 770. 100 5,0 %
Total 15. 301. 400 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa masyarakat Kazakhstan terdiri dari
berbagai macam etnis. Dengan komposisi etnis yang demikian, demokrasi mungkin
dapat menjadi mekanisme bagi setiap individu di Kazakhstan dalam menyalurkan
aspirasi politik mereka. Demokrasi dapat memberi respon terhadap politik yang dapat
memberikan solusi atau jalan keluar terhadap suatu masalah, mengorganisasi konflik,
dan menciptakan keputusan politik (Warren, 2006, p. 384). Dengan sistem masyarakat
yang demokratis, masyarakat Kazakhstan dimungkinkan dapat menikmati kesempatan
politik yang lebih merata. Ini dikarenakan besarnya perbedaan jumlah penduduk etnis
terbanyak dengan etnis lainnya dalam komposisi masyarakat Kazakhstan. Sistem politik
yang demokratis akan menguntungkan etnis-etnis dengan jumlah penduduk yang kecil,
karena secara politik mereka akan lebih terwakilkan. Perkembangan praktik politik
yang demokratis di Kazakhstan dapat ditandai dengan adanya dua hal, yaitu konstitusi
negara dan strategi kebijakan pemerintah.

31
Konstitusi Negara

Secara konstitusional, Kazakhstan menjadi negara yang demokratis diresmikan


setelah adanya amandemen konstitusi negara pada tahun 1995 (Nicholson, 2012). Untuk
semakin memperkuat identitas sebagai negara yang demokratis, Kazakhstan mengganti
nama resmi negaranya menjadi the Republic of Kazakhstan (Miseirtova, 2005, p. 74).
Selain bertujuan untuk menciptakan situasi dan kondisi politik yang demokratis,
amandemen konstitusi juga dimaksudkan sebagai titik awal Kazakhstan menerapkan
praktik politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Walaupun sebelumnya
Kazakhstan telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang menganut praktik politik
yang demokratis, tetapi belum terlembagakan secara formal. Dengan adanya aturan
yang legal, praktik politik yang demokrasi pun dapat dijalankan di Kazakhstan.

Setelah diresmikan melalui aturan yang legal, praktik politik yang demokratis
yang terlembagakan melalui pemilihan umum pertama kali diadakan pada tahun 1999
untuk memilih presiden Kazakhstan yang baru dan anggota parlemen (Nicholson,
2012). Dengan adanya aturan yang legal mengenai sistem politik yang demokratis akan
mendorong terciptanya situasi politik yang lebih baik. Hal ini mengingat kondisi
masyarakat Kazakhstan yang heterogen dan adanya persaingan antar klan. Pemilihan
umum pertama kali berlangsung dengan aman dan lancar.

Strategi Kebijakan

Proses asimilasi yang terjadi antara politik klan dan demokrasi diperlukan untuk
mewudkan praktik politik yang demokratis. Dalam hal ini, masyarakat Kazakhstan
memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi terhadap nilai baru. Hal ini terutama
dikarenakan pengaruh mekanisme pemerintah Uni Soviet dalam mengatur
masyarakatnya dengan aturan sedentarisasi, yaitu semua tindakan harus dapat
mencerminkan masyarakat Uni Soviet secara universal (Cummings, 2005, p. 15).
Walaupun Kazakhstan telah menjadi negara yang independen, peraturan tersebut masih
membekas dalam masyarakat Kazakhstan. Sehingga dari pihak masyarakat, tidak
terdapat pertentangan mengenai masuknya nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sosial
dan politik mereka.

32
Hal ini dikarenakan aturan tersebut dengan sendirinya telah menjadi semacam
kultur dalam masyarakat yang kemudian mendasari sikap dan keyakinan dalam
kehidupan politik (Almond, 1974, p. 50). Dengan sendirinya demokrasi kemudian
menjadi salah satu kultur politik Kazakhstan. Namun, demokrasi tidak dapat berdiri
secara sendiri dengan latar belakang Kazakhstan yang pernah berada dalam kekuasaan
komunis serta adanya praktik politik klan dalam masyarakatnya. Demokrasi
membutuhkan semacam mekanisme yang dapat mengaplikasikan ketentuannya di
Kazakhstan dengan kondisi masih kuatnya hubungan antar klan dalam masyarakat dan
elit politik. Mekanisme itu dilakukan dengan membuat kebijakan politik yang
diperkirakan dapat menguntungkan pemerintah. Kebijakan tersebut antara lain
liberalisasi dalam bidang ekonomi dan penetapan bahasa Kazakhstan sebagai bahasa
resmi negara (Cummings, 2005, pp. 29-33; Kolsto, 1998, p. 56).

Mekanisme yang dibuat oleh Nazarbaev ini dapat menghasilkan kondisi politik
dan ekonomi yang stabil di Kazakhstan. Dalam hal ini, liberalisasi dipandang sebagai
suatu jalan untuk dapat mewujudkan praktik politik yang demokratis. Mekanisme ini
didukung dengan memanfaatkan karakter dari klan, yaitu hubungan patronase.
Hubungan ini dapat tercipta karena tiga elemen penting dalam klan yaitu hubungan
keluarga, jaringan, dan kepercayaan (Collins, 2007, pp. 25-26). Tiga elemen ini
memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan dari aturan ini. Hal
ini dikarenakan tiga elemen ini membantu ide liberalisasi dapat berjalan dengan baik,
dimana klan dijadikan sebagai subjek dan memiliki kuasa untuk menetapkan jalannya
dari ide ini. Proses ini kemudian menghasilkan kondisi yang menguntungkan bagi
Kazakhstan, baik secara ekonomi maupun politik. Keputusan politik yang dibuat oleh
Nazarbaev berhasil membuat Kazakhstan menjadi negara yang cukup disegani di
kawasan Asia Tengah.

Stabilitas ini menjadikan Kazakhstan sebagai negara yang paling mampu


bertahan dalam bidang ekonomi di kawasan Asia Tengah (Junisbai & Junisbai, 2008, p.
384). Selain itu dalam bidang politik, keputusan liberalisasi ini juga dapat menekan
terjadinya konflik antar klan, dimana Kyrgyztan dan Tajikistan tidak berhasil mengelola

33
hubungan antar klan. Ketidakmampuan dua negara tersebut berakhir pada perang sipil
dan mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi di negara tersebut (Junisbai &
Junisbai, 2008, pp. 384-385). Faktor kestabilan dan keamanan dalam masyarakat
merupakan salah satu aspek pendorong suatu kebijakan dapat berjalan dengan baik.
Keputusan Nazarbaev dalam menciptakan ekonomi Kazakhstan yang berbasiskan pasar
bebas menjadi semacam manipulasi partisipasi politik bagi anggota klan. Klan dijadikan
basis Nazarbaev untuk mengembangkan ekonomi negara yang secara tidak langsung
membuat anggota klan merasa terlibatkan dalam aktivitas politik dan ekonomi
Kazakhstan. Hal ini jelas menguntungkan bagi Nazarbaev dalam mempertahankan
pengaruhnya dalam hubungan antar klan, namun di sisi lain praktik ini merupakan aksi
manipulasi politik yang mungkin saja dapat memicu fiksi antar elit politik.

Perkembangan demokrasi di Kazakhstan selanjutnya semakin menunjukkan


kemajuan yang cukup signifikan (Nicholson, 2012). Hal ini ditunjukkan dengan
semakin banyaknya aktor politik baru yang bermunculan dalam politik dan
pemerintahan Kazakhstan. Selain itu, adanya amandemen konstitusi negara dari tahun
ke tahun dengan tujuan agar konstitusi negara memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai
demokrasi. Perubahannya antara lain dengan meningkatkan jumlah anggota parlemen
dari 77 anggota menjadi 107 anggota dan mengurangi masa jabatan presiden dari tujuh
tahun menjadi lima tahun (Nicholson, 2012). Perkembangan lainnya adalah semakin
banyaknya bermunculan kelompok kepentingan baru dan penambahan jumlah partai
politik menjadi delapan partai politik. Perubahan ini memberikan keuntungan bagi
Kazakhstan dalam membentuk identitas negara yang demokratis.

34
BAB IV

Politik Klan dan Implikasinya terhadap Praktik Demokrasi

di Kazakhstan

Bab ini akan menganalisa politik klan dan bagaimana implikasinya terhadap
praktik demokrasi di Kazakhstan. Implikasi dilihat dari tiga poin utama dalam
demokrasi, yaitu partisipasi, liberalisasi dan kontestasi. Perlu dipahami bahwa politik
klan merupakan aksi politik yang mengedepankan nilai hubungan kekerabatan sebagai
elemen utama dalam membangun kekuatan politik (Collins, 2004, pp. 231-233).
Hubungan yang bersifat hierarkis dan menuntut adanya kepatuhan terhadap individu
atau kelompok yang lebih senior serta memiliki aturan yang mengikat bagi setiap klan.
Karakter inilah yang paling menonjol dalam politik klan di Kazakhstan. Karakter ini
kemudian membentuk kultur politik dalam masyarakat Kazakhstan dan memiliki peran
yang cukup signifikan dalam politik di negara ini. Dengan demikian, politik klan
memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan.
Pengaruh itu didapatkan dari bekerjanya tiga elemen utama dari politik klan, yaitu
hubungan keluarga, jaringan, dan kepercayaan yang terbangun antara anggota klan.

Politik klan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi praktik demokrasi di


Kazakhstan. Hal ini dikarenakan, klan memiliki peran yang penting terhadap
Kazakhstan dalam kehidupan politik dan ekonomi terutama pasca Kazakhstan menjadi
negara yang independen (Akerman, 2002, p. 3). Dalam hal ini, politik klan telah
menjadi semacam way of thinking masyarakat Kazakhstan dalam kehidupan sehari-hari
(Masanov, 1998). Pengaruh ini memberikan dampak negatif terhadap praktik demokrasi
di Kazakhstan. Pengaruh ini didapatkan dari bagaimana upaya pihak yang berkuasa
dalam menggunakan politik klan sebagai alat manipulasi dalam praktik demokrasi di
Kazakhstan. Ada tiga poin yang dapat menjelaskan bagaimana politik klan dapat
memberikan pengaruh yang negatif terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan, yaitu
partisipasi, liberalisasi, dan kontestasi politik.

35
4. Partisipasi

Partisipasi adalah mengenai bagaimana setiap orang dapat terlibat dalam


pembuatan keputusan bersama (Sorensen, 1993, pp. 19-20). Proses ini dimaksudkan
agar aspirasi setiap individu dapat terwakilkan dalam sebuah kebijakan politik.
Partisipasi politik juga berarti terciptanya suatu sistem dimana setiap individu memiliki
kesempatan yang sama untuk terlibat dalam ranah politik. Secara prosedural, partisipasi
politik dilembagakan melalui pemilihan umum. Proses ini setidaknya dapat
menggambarkan bagaimana keikutsertaan masyarakat terhadap politik dan sejauh mana
hal tersebut dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik. Bentuk dari partisipasi
politik bisa bermacam-macam, misalnya pemilihan umum, diskusi, ataupun memberi
pendapat terhadap pemerintah yang berkuasa. Partisipasi politik di Kazakhstan, salah
satunya juga dilembagakan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dilakukan untuk
memilih presiden dan anggota parlemen. Pemilihan umun ini telah berlangsung
sebanyak enam kali dari pertama kali diadakan hingga sekarang (Carr, 2011; Nicholson,
2012). Melalui pemilihan umum ini dapat diketahui bagaimana partisipasi politik
masyarakat Kazakhstan. Namun dengan adanya pengaruh politik klan, partisipasi
politik masyarakat Kazakhstan menjadi tidak sama artinya dengan partisipasi politik
yang sebenarnya dan memiliki pengaruh yang negatif terhadap praktik politik yang
demokratis. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ada upaya
penyelewengan oleh pihak yang berkuasa untuk mendapatkan kekuasaan dengan
menggunakan praktik politik klan. Dalam hal ini, politik klan digunakan sebagai alat
manipulasi kekuatan politik dalam masyarakat Kazakhstan.

Dengan posisi presiden Kazakhstan yang memiliki kekuatan politik yang sangat
besar, aspirasi masyarakat Kazakhstan terhadap pembuatan kebijakan politik menjadi
terbatas (Nourzhanov & Saikal, 1994, p. 226). Hal ini secara tidak langsung
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap partisipasi politik di Kazakhstan.
Oleh karenanya keikutsertaan masyarakat Kazakhstan dalam aktivitas politik belum
sampai kepada tahap dimana masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Partisipasi politik hanya sebatas pada proses prosedural dari demokrasi, yaitu pemilihan

36
umum. Sehingga kebijakan politik dalam upaya pembangunan negara cenderung
diputuskan secara personal. Hal ini dapat dilihat pada strategi kebijakan politik yang
dilakukan oleh presiden Nazarbaev. Selain itu, politik klan juga ikut mempengaruhi
bagaimana hal ini dapat terjadi. Nazarbaev menggunakan tiga elemen utama dari klan,
yaitu hubungan keluarga, jaringan dan kepercayaan dari anggotanya untuk dapat
mempertahankan posisinya. Dengan demikian, hal ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa tiga elemen dalam politik klan memiliki keuntungan terhadap
kekuatan politik Nazarbaev dan klan-klan yang tergabung dalam satu tribe yang sama.
Upaya ini dapat dikatakan sebagai aksi penyelewengan terhadap politik klan yang
kemudian berimbas terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan.

Tiga elemen ini merupakan prinsip utama dari berjalannya politik klan, dimana
posisi seseorang dengan klan tertentu memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap karir politik (Masanov, 1998). Tiga elemen ini secara tidak langsung
memberikan pengaruh terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan, dalam hal ini
khususnya terhadap partisipasi politik. Nazarbaev dan klan-klannya menggunakan tiga
elemen tersebut dalam membangun kekuatan politik yang kemudian dimanfaatkan
untuk membatasi partisipasi politik masyarakat Kazakhstan secara luas. Buktinya dapat
dilihat pada minimnya pemberitaan mengenai partisipasi politik masyarakat Kazakhstan
yang bukan golongan dari klan-klan yang berkuasa pada media massa (OSCE, 2012).
Pemberitaan partisipasi politik yang berlangsung hanya diliput jika hal tersebut
berkaitan dengan partai yang berkuasa atau dengan kata lain setiap elit politik yang
memiliki jaringan klan dengan Nazarbaev. Hal ini dapat dilihat sebagai teknik dari
politik klan dalam mempertahankan posisi yang telah mereka miliki. Teknik ini tidak
hanya mengenai pemilihan umum, tetapi juga penggunaan teror atau pengontrolan ketat
dan manipulasi arus informasi (Welsh, 1973).

Pada dasarnya partisipasi politik tidak hanya berdasarkan atas pemilihan umum
saja, tetapi juga bagaimana aksi yang dilakukan dapat memberikan pengaruh terhadap
kebijakan politik. Salah satu bukti yang dapat dilihat dari bagaimana Nazarbaev dalam
memanfaatkan tiga elemen dari politik klan dalam praktik politik di Kazakhstan adalah
dengan menempatkan anggota klan pada posisi penting, terutama dalam bidang

37
ekonomi dan informasi. Seperti yang dilakukannya dengan menempatkan anak
pertamanya sebagai pemimpin redaksi media massa terbesar di Kazakhstan, Khabar
(Dave, 2007, p. 144). Hubungan keluarga dan jaringannya menjadi pengikat utama
politik klan dalam mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat Kazakhstan dalam
politik. Nilai terakhirnya yaitu kepercayaan digunakan untuk memupuk keyakinan
masyarakat terhadap klan yang berkuasa melalui menempatkan anggota klan pada
jabatan-jabatan strategis yang sekiranya dapat membangun opini masyarakat. Hal ini
kemudian, secara tidak langsung opini yang terbentuk merupakan bentuk kecil dari
partisipasi politik masyarakat Kazakhstan dan ini adalah salah satu pengaruh dari politik
klan terhadap praktik demokrasi di Kazakhstan. Selain dapat meningkatkan
kepercayaan anggota klan terhadap pemimpinnya, juga dapat menguatkan jaringan yang
telah terbangun antar klan yang berkuasa.

Pengaruh dari tiga elemen dari politik klan tersebut secara tidak langsung
memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pemilihan umum di Kazakhstan.
Salah satu contohnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini yang memperlihatkan
kemenangan Nazarbaev dalam tiga kali pemilihan berturut-turut. Hal ini setidaknya
menjelaskan bahwa politik klan bekerja atau memiliki pengaruh terhadap praktik
demokrasi di Kazakhstan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ( jumlah
penduduk Kazakhstan 15,522,373, estimasi Juli 2011 (IFES, 2010)):

Tabel 3. Hasil Pemilihan Umum Presiden Kazakhstan1

Tahun Hasil Pemilihan Umum


Pemilihan Nama Calon Presiden Suara
Umum Angka Persentase
1999 - Serikbolsyn Abdilin 857,386 11,9 %
- Engels Gabbasov 55,708 0,8 %
- Gani Kasymov 337,794 4,7 %
- Nursultan Nazarbaev 5,846,817 81 %

1
Data diolah dari berbagai sumber. Data ini dapat dilihat pada website berikut: Adam Carr <
http://psephos.adam-carr.net/countries/k/kazakhstan> dan OSCE (Official for Democratic Institutions and
Human Rights) < http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/75914>. Diakses pada 22 Februari
2012

38
2005 - Yerasyl Abylkassymov 22,252 0,3 %
- Alikhan Baimenov 108,730 1,6 %
- Mels Eleussizov 18,834 0,3 %
- Nursultan Nazarbaev 6,147,517 91,2 %
- Zharmakhan Tuyakbai 445,934 6,6 %
2011 - Nursultan Nazarbaev 7,850,958 95,55 %
- Gany Kasimov 159,036 1,94 %
- Jambil Akhmetbekov 111,924 1,36 %
- Mels Yeleusizov 94,452 1,15 %

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Nazarbaev selalu dapat memenangi kursi
presiden dengan suara mutlak. Faktor utama dari kemenangan ini adalah kemampuan
Nazarbaev dalam memanfaatkan hubungan antar klan. Politik klan merupakan praktik
politik patronase yang menuntut adanya hubungan yang bersifat hierarkis dan
menjadikan klan sebagai pusat dari segala aktivitas sosial dan politik (Collins, 2007, p.
27). Dengan adanya sifat patronase dari klan, Nazarbaev dan partai politik yang
diusungnya lebih mudah memobilisasi massa. Jaringan dan kepercayaan dari klan
menjadi mesin dari kemenangan tersebut. Dua hal ini memiliki pengaruh besar terhadap
opini masyarakat Kazakhstan terhadap politik dan memainkan peran dalam membangun
wacana publik mengenai pemimpin Kazakhstan. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa
partisipasi politik masyarakat Kazakhstan tidak memiliki imbas yang begitu besar
terhadap politik, namun setidaknya dari data tersebut dapat dilihat bahwa telah terjadi
upaya manipulasi dalam praktik demokrasi dengan memanfaatkan status hierarkis
dalam politik klan. Dengan demikian, partisipasi politik yang terjadi di Kazakhstan
adalah aksi manipulatif para anggota klan yang tergabung dalam jaringan klan yang
berkuasa.

Partisipasi politik melalui pemilihan umum dilaksanakan hanya untuk


melengkapi syarat terciptanya praktik politik yang demokratis, bukan untuk
mewujudkan sistem yang dapat mempengaruhi kebijakan politik bagi pembangunan
negara. Pemilihan umum kemudian hanya menjadi alat saving face bagi pemerintah
yang notabene diisi oleh anggota klan yang berkuasa dalam menjalankan praktik politik

39
yang demokratis (Nourzhanov & Saikal, 1994, p. 226). Selain itu, faktor dari media
massa juga ikut mempengaruhi partisipasi politik dari masyarakat Kazakhstan. Sebagian
besar media massa Kazakhstan lebih banyak menyorot aktivitas kampanye politik partai
Nur Otan (partai yang dipimpin oleh Nazarbaev) daripada partai lainnya (OSCE, 2012).
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa politik klan mempengaruhi
berjalannya praktik demokrasi di Kazakhstan, dimana arus informasi pemberitaan
politik diarahkan pada kelompok tertentu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ini
merupakan salah satu bentuk dari teknik dari politik klan dalam mempertahankan posisi
dalam arena politik.

Secara angka dan persentase, partisipasi politik yang diadakan melalui


pemilihan umum menunjukkan tingginya keikutsertaan masyarakat Kazakhstan dalam
memilih. Dalam kata lain, partisipasi politik yang tinggi memiliki arti bahwa telah
berjalannya praktik politik demokratis yang baik, tetapi hal ini tidak selalu berarti baik.
Adanya pengaruh politik klan dan praktik patronase dalam masyarakat Kazakhstan
dapat saja menjadi faktor tingginya partisipasi masyarakat dalam memilih. Selain itu,
hasil tabulasi dari pemilihan umum dicurigai terdapat kecurangan didalamnya. OSCE
(Official for Democratic Institutions and Human Rights) melaporkan dalam hasil
observasinya bahwa hasil tabulasi dari pemilihan umum presiden di Kazakhstan tidak
dihitung secara transparan (OSCE, 2012). Hal ini secara tidak langsung menunjukkan
bahwa jaringan dari klan yang berkuasa memiliki andil dalam hasil tabulasi tersebut, ini
dikarenakan pemenang dari pemilihan umum selalu berasal dari individu dan partai
yang sama. Ini menunjukkan bahwa politik klan memberi pengaruh terhadap
keberlangsungan jalannya pemilihan umum di Kazakhstan. Dari tabel diatas, juga dapat
dilihat bahwa politik klan memiliki efek korosif terhadap demokrasi. Ini dikarenakan
adanya prioritas tertentu terhadap suatu klan yang memiliki kekuatan politik yang besar
yang diakibatkan adanya hubungan hierarki didalamnya (Collins, 2007, p. 3). Dalam hal
ini, klan yang berkuasa adalah klannya Nazarbaev dan klan-klan lainnya yang
tergabung dalam satu hubungan patrilineal. Klan-klan tersebut antara lain Aykym, Asyl,
Ekey, Eskhoza, dan Chibyl (Sobakin, 1999).

40
5. Liberalisasi

Liberalisasi adalah mengenai hak-hak apa saja yang seharusnya didapatkan oleh
setiap individu di sebuah negara (Sorensen, 1993, pp. 19-20). Hak-hak tersebut
mencakupi bidang politik, sosial, dan ekonomi. Untuk mengetahui bagaimana tingkat
liberalisasi dalam politik dapat dilihat dari pelanggaran HAM yang terjadi, kebebasan
pers, dan undang-undang (Dahl, 1998, pp. 47-51). Kazakhstan merupakan negara yang
telah meratifikasi kovenan dan konvensi yang berkaitan dengan HAM (Nazarbaev,
2011). Ini berarti pemerintah Kazakhstan memiliki hukum atau aturan yang tegas jika
terjadi pelanggaran HAM. Salah satu contoh dari pelanggaran HAM yang terjadi di
Kazakhstan adalah pertikaian pada tahun 2006. Konstitui secara tegas telah mengatur
hukum mengenai HAM, namun hukum tersebut tidak begitu teraplikasikan dengan baik
dalam pertikaian antar klan yang terjadi pada tahun 2006 (Kimmage, 2006). Hal ini
dikarenakan pertikaian tersebut dicurigai adanya keikutsertaan elit politik yang berasal
dari klan yang sama dengan presiden Nazarbaev. Dengan demikian, politik klan
memiliki pengaruh yang negatif terhadap keberlangsungan liberalisasi politik di
Kazakhstan. Hukum tidak dapat teraplikasikan dengan baik pada kasus pelanggaran
HAM tersebut dikarenakan adanya upaya perlindungan terhadap anggota klan dengan
tujuan untuk mempertahankan jaringan antar klan yang berkuasa. Jika jaringan ini
terpecah, maka akan sulit untuk klan lain yang berkuasa dalam mempertahankan
posisinya dalam arena politik di Kazakhstan. Upaya perlindungan ini juga secara tidak
langsung menambah rasa kepercayaan antar klan yang berkuasa. Hal ini dikarenakan
jaringan dan kepercayaan merupakan dua dari tiga elemen penting dalam politik klan,
namun dari peristiwa ini menunjukkan bahwa politik klan diselewengkan oleh pihak
yang berkuasa dalam klan serta pemerintah untuk mendapatkan keamanan bagi anggota
klan. Ini secara tidak langsung menyatakan bahwa adanya aksi manipulasi dalam
hukum untuk mendapatkan keuntungan bagi klan-klan yang berkuasa di Kazakhstan.

Pada dasarnya konstitusi Kazakhstan melindungi kebebasan pers dan pemerintah


tidak diperbolehkan mengintervensi pers yang oposisi terhadap pemerintah (INS
Resource Information Center, 1994, p. 21). Secara kasat mata, perkembangan pers dan

41
kebebasan dalam mendapatkan informasi terlihat tidak adanya tekanan dari pemerintah,
namun jika dilihat secara lebih teliti ada pihak utama yang mengatur sirkulasi informasi
terutama informasi mengenai pemberitaan tentang pemerintahan Kazakhstan. Pihak
yang mengatur arus informasi tentu saja direkrut dari anggota klan yang berkuasa. Hal
ini secara tidak langsung menunjukkan salah satu dari teknik politik klan dalam
mempertahankan kekuatan politik. Pengontrolan ketat dan manipulasi informasi
dibutuhkan oleh politik klan dalam mempertahankan kekuasaan politik (Welsh, 1973, p.
29). Adanya aksi tersebut akan sangat menguntungkan secara politis bagi pihak yang
berkuasa, tetapi ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa politik klan kemudian
digunakan sebagai alat dalam mendapatkan kekuasaan politik. Hal inilah yang
selanjutnya membuat politik klan memberikan pengaruh yang negatif terhadap praktik
demokrasi di Kazakhstan.

Pemerintah Kazakhstan pada kenyataannya memberlakukan aturan dan sensor


yang ketat terhadap pers, terutama terhadap berita atau informasi yang oposisi terhadap
pemerintah (INS Resource Information Center, 1994, p. 21). Hal ini dilakukan oleh
pemerintah dengan tujuan untuk menciptakan kondisi politik yang stabil agar roda
perekonomian Kazakhstan dapat berjalan lancar. Tujuan ini tidak dapat diartikan begitu
saja dengan memperhatikan begitu besarnya kepentingan politik antar klan. Aksi
memberlakukan aturan sensor yang ketat dapat dilihat sebagai salah satu cara politik
klan dalam mempertahankan kekuasaan politiknya. Secara tidak langsung adanya aksi
ini dapat membantu atau mencegah terjadinya keretakan kepercayaan antar klan yang
berkuasa. Selain itu, adanya aksi pemerintah yang memberlakukan aturan dan sensor
yang ketat akan menguntungkan pemerintah, terutama koalisi politik klan yang
berkuasa. Dengan aturan tersebut, informasi mengenai pelanggaran hukum yang
dilakukan tidak terekspos ke media massa. Padahal, praktik politik yang demokratis
menghendaki adanya alur informasi yang lancar dan transparan. Perkembangan media
massa di Kazakhstan cukup signifikan, dimana semakin banyaknya media massa yang
terbit selain dari pihak pemerintah. Namun, hal ini tidak memiliki arti bahwa kebebasan
pers yang tertuang dalam konstitusi negara teraplikasikan dengan baik. Berikut tabel
daftar media massa yang ada di Kazakhstan:

42
Tabel 4. Daftar Media Massa Kazakhstan (OSCE, 2012)

Televisi Berita Media Massa


(Koran/Tabloid)
Khabar (P)2 451 Fahreinheit (S)
KTK (S) Argumenty I Fakty (S)
Caravan (S)
Delovaya Nedelya (S)
Kazakshtankia Pravda (P)
Panorama (S)
The Globe (S)
XXI Century (S)
Zhash Alash (S)

Media massa terbesar di Kazakhstan adalah Khabar dan secara redaksional


dipimpin oleh anak pertama dari Nazarbaev yaitu Dariga Nazarbaeva (Dave, 2007, p.
144). Khabar memainkan peran penting dalam mengatur perkembangan berita di
Kazakhstan. Ini merupakan salah satu praktik politik klan dari sudut pandang hubungan
keluarga, yaitu menempatkan orang terdekat dalam keluarga untuk mengatur arus berita
di Kazakhstan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengawasan secara tidak langsung
oleh pemerintah dalam penyebaran informasi dengan memanfaatkan praktik politik
klan. Pengawasan dilakukan dengan meletakkan anggota klan yang berkuasa dalam
jalur informasi terbesar yang berarti dapat menjamin berita-berita yang beredar dalam
masyarakat sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa. Selain akan
menguntungkan pihak yang berkuasa, hal ini juga akan memperkuat posisi klan-klan
yang tergabung dalam satu hubungan patrilineal dengan klannya Nazarbaev. Dari
penjelasan ini dapat diketahui bahwa politik klan memiliki pengaruh negatif terhadap
kebebasan pers. Hubungan kekeluargaan dan jaringan yang terdapat dalam politik klan
menghambat keterbukaan informasi di Kazakhstan. Adanya pihak yang memonopoli

2
(P) berarti dimiliki oleh pemerintah dan (S) dimiliki oleh pihak swasta.

43
jalur informasi yang dapat menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat menjamin bahwa
setiap individu memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam politik. Ini juga
menjelaskan bahwa politik klan digunakan oleh pihak yang berkuasa sebagai alat
manipulasi kekuatan politik atau adanya tindakan penyelewengan terhadap praktik
politik klan yang memberikan dampak negatif terhadap praktik demokrasi di
Kazakhstan.

Dalam hal undang-undang, pemerintah Kazakhstan telah membuat aturan yang


legal mengenai liberalisasi politik bagi setiap individu. Hal tersebut mencakupi undang-
undang mengenai HAM, status sosial, identitas individu, ras, nasionalisme, bahasa, dan
agama (Nazarbaev, 2011). Dalam bidang lain, seperti kebebasan membuat organisasi,
maupun hukum dan masyarakat, pemerintah Kazakhstan telah memberikan ruang bagi
masyarakat melalui konstitusi (INS Resource Information Center, 1994, pp. 19-22).
Setidaknya, hingga saat ini, belum pernah terjadi konflik yang besar antara pemerintah
dan masyarakat Kazakhstan akibat kebijakan politik yang tidak seimbang. Kondisi
politik yang cukup stabil ini belum tentu berarti stabil dalam makna sesungguhnya.
Dengan berkaca pada penjelasan kasus pelanggaran HAM dan kebebasan pers
sebelumnya, terdapat kemungkinan besar bahwa adanya manipulasi kekuatan politik
oleh para elit politik dalam mengelola masyarakat Kazakhstan. Banyaknya undang-
undang yang telah dihasilkan akan tidak berarti apa-apa jika pada realitanya pemerintah
Kazakhstan belum dapat mengaplikasikan substansi dari undang-undang tersebut secara
bijak.

6. Kontestasi

Kontestasi adalah mengenai bagaimana masyarakat luas dapat terlibat dalam


persaingan perebutan posisi dalam pemerintahan (Sorensen, 1993, pp. 19-20). Secara
umum masyarakat Kazakhstan dapat terlibat dalam persaingan perebutan posisi atau
jabatan publik dalam pemerintahan. Persaingan jabatan publik tersebut dilembagakan
dalam pemilihan umum untuk memilih presiden dan anggota parlemen dan hal ini telah
dirumuskan dalam amandemen konsitusi Kazakhstan tahun 1995. Adanya persaingan
dalam perebutan jabatan publik memiliki arti bahwa sedang berlangsung praktik politik

44
yang demokratis. Untuk dapat terlibat dalam perebutan jabatan publik, suatu individu
setidaknya tergabung dalam suatu badan politik yang dapat mempresentasikan visi dan
misi dari badan tersebut dan tujuannya dalam ranah politik. Salah satu badan politik
yang dapat mempresentasikan hal yang demikian adalah partai politik. Saat ini,
Kazakhstan memiliki sembilan partai yang terdaftar secara resmi dalam pemerintahan
(OrexCA, 2003), antara lain:

1. Agrarian Party of Kazakhstan


2. Civil Party of Kazakhstan
3. The democratic party of Kazakhstan "Ak zhol"
4. Democratic Party of Kazakhstan
5. The Communist Party of Kazakhstan
6. Communist National Party of Kazakhstan
7. Republican Political Party “Otan”
8. Republican Political Party “Asar”
9. Ruhaniyat Party

Melalui partai politik, persaingan dalam memperebutkan jabatan publik akan


lebih kompetitif daripada dengan sistem perekrutan secara langsung oleh kepala
pemerintahan. Banyaknya jumlah partai politik di Kazakhstan dapat mengindikasikan
bahwa banyaknya jabatan publik yang diperebutkan dalam satu kali pemilihan. Melalui
partai-partai ini Kazakhstan mencoba untuk mewujudkan arena politik yang terbuka dan
memberikan kesempatan yang sama bagi setiap masyarakatnya untuk dapat terlibat
dalam pembuatan keputusan politik bersama. Dalam pemilihan anggota parlemen, kursi
yang diperebutkan adalah 107 kursi. Sebelumnya kursi anggota parlemen yang
diperebutkan berjumlah 77 kursi, setelah adanya amandemen konstitusi negara jumlah
tersebut dinaikkan menjadi 107 kursi dengan alasan untuk mempresentasikan
masyarakat Kazakhstan yang heterogen (Nicholson, 2012). Hal ini mengindikasikan
adanya perubahan menuju Kazakhstan yang lebih baik dalam demokrasi. Semakin
tinggi tingkat konstestasi yang terjadi, berarti semakin baik pula praktik demokrasi yang
berlangsung. Namun jika dilihat dari hasil pemilihan umum, perebutan jabatan publik

45
tersebut sebenarnya tidak seimbang. Ada perbedaan yang cukup signifikan antar partai
yang satu dengan yang lainnya. Sejak pemilihan anggota parlemen pertama pada tahun
1999 hingga sekarang, anggota parlemen kebanyakan berasal dari satu partai besar,
yaitu Nur Otan (OSCE, 2012). Partai Nur Otan merupakan partai yang dipimpin oleh
presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbaev. Partai Nur Otan juga secara tidak langsung
merupakan representasi dari jaringan klan yang berkuasa di Kazakhstan.

Dengan karakteristik dari politik klan yang mempertahankan posisinya melalui


salah satunya adalah pemilihan umum maka partai politik digunakan oleh Nazarbaev
dan anggota klannya untuk mempertahankan kekuatan politik mereka. Hal ini
dikarenakan pemilihan umum dapat dijadikan arena oleh klan yang berkuasa untuk
menunjukkan seberapa besar kekuatan politik mereka, terutama dalam hal ini mengenai
Zhuz-klan. Jabatan publik yang diperebutkan jatuh dalam lingkaran klan-klan yang
berkuasa. Maksudnya adalah representasi klan yang berkuasa di Kazakhstan cenderung
memilih anggota klannya secara langsung untuk menduduki jabatan-jabat strategis
dalam pemerintahan (Nourzhanov & Saikal, 1994, p. 226). Oleh karena itu, pengaruh
masyarakat Kazakhstan untuk dapat terlibat dalam pembuatan jabatan publik menjadi
terhambat. Tidak hanya dalam persaingan menjadi anggota parlemen, pemilihan kepala
pos-pos penting dalam pemerintahan juga terpengaruh oleh sistem yang berlaku dalam
politik klan. Secara garis besar, pos-pos penting dalam pemerintahan diisi dengan
orang-orang yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Nazarbaev (Nourzhanov &
Saikal, 1994, p. 226). Mereka dipilih atas dasar ‘pengalaman hidup’ daripada
kemampuan dan kapabilitas mereka dalam mengepalai pos tertentu dalam pemerintahan
(Nourzhanov & Saikal, 1994, p. 226). Padahal, jika dilihat secara substantif dalam
kemampuan terhadap politik, banyak dari mereka yang tidak cakap terhadap politik.
Aksi ini setidaknya dapat menunjukkan bahwa identitas klan memiliki kekuatan politik
yang besar, namun pada praktikya tidak digunakan secara adil. Upaya penyelewengan
dengan menggunakan politik klan tetap digunakan untuk dapat mempertahankan
kekuasaan politik. Hal tersebut tercermin dari aksi Nazarbaev dalam memilih orang-
orang yang diletakkan dalam jabatan strategis dalam pemerintahan.

46
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa politik klan memiliki pengaruh yang
besar terhadap representasi politik suatu individu di Kazakhstan. Ini tercermin pada
perebutan jabatan publik dalam persaingan menjadi anggota parlemen dan pemilihan
orang-orang yang dapat menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini,
hubungan patronase menjadi elemen utama dalam pemilihan anggota tersebut.
Hubungan patronase dibentuk secara rasional dalam pemilihan tersebut agar dapat
mempertahankan kultur dari politik klan (Collins, 2007, p. 27). Dengan demikian,
politik klan memiliki pengaruh yang negatif terhadap kontestasi politik. Pengaruh
negatif tersebut didapatkan dari aksi penyelewengan yang dilakukan oleh pihak yang
berkuasa dengan menggunakan aksi yang manipulatif dalam kontestasi politik di
Kazakhstan.

Dari penjelasan mengenai partisipasi, liberalisasi, dan kontestasi politik diatas


dapat memberikan informasi mengenai praktik demokrasi di Kazakhstan dan pengaruh
dari politik klan terhadap keberlangsungan praktik demokrasi di negara ini. Dari
penjelasan tersebut terlihat bahwa politik klan memiliki pengaruh negatif terhadap
semua aspek dalam praktik politik yang demokratis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pengaruh negatif tersebut didapatkan dari bagaimana aksi dari pihak yang
berkuasa dalam memanipulasi praktik politik klan untuk mendapatkan kekuasaan
politik di Kazakhstan. Aksi manipulatif tersebut menghasilkan praktik penyelewengan
dalam praktik demokrasi di negara ini. Selain itu, sebenarnya masyarakat Kazakhstan
belum siap dengan demokrasi, dimana masyarakat Kazakhstan masih terpaku pada
praktik politik klan yang memiliki kontradiksi terhadap demokrasi. Kuatnya hubungan
patronase yang dibentuk oleh politik klan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Kazakhstan memiliki pengaruh terhadap pola pikir mereka terhadap aksi politik apa
yang seharusnya dilakukan, namun tetap sesuai dengan budaya yang mereka miliki.
Dengan dukungan kondisi yang demikian, elit politik Kazakhstan kemudian
memanfaatkan situasi ini untuk mempertahankan posisi jabatan publik mereka yang
kemudian berakhir pada praktik politik yang otoriter. Negara ini memilih demokrasi
hanya dikarenakan adanya perubahan politik internasional dan sebagai negara yang
pernah berada dalam kekuasaan Uni Soviet, Kazakhstan perlu menyelamatkan diri

47
untuk tetap dapat bertahan menjadi negara yang mandiri. Alasan lainnya adalah
masyarakat Kazakhstan merupakan masyarakat yang heterogen (Schatz, 2000, p. 489),
sehingga membutuhkan suatu mekanisme yang dapat mempresentasikan setiap
kelompok masyarakat dalam pemerintah. Namun, yang terjadi adalah adanya hegemoni
kekuasaan oleh Nazarbaev.

Besarnya pengaruh politik klan terhadap kehidupan politik Kazakhstan


mengaburkan makna demokrasi dalam arti sebenarnya. Janji pemerintah untuk
mewujudkan praktik politik yang demokratis berseberangan dengan kepentingan politik
para elit politik Kazakhstan. Dalam hal ini, elit politik Kazakhstan memberikan prioritas
utama terhadap anggota klannya daripada orang-orang yang tidak tergabung dalam klan
yang sama (Nourzhanov & Saikal, 1994, p. 226). Buktinya adalah pembicaraan
mengenai ambisi perdana menteri Kazakhstan, yaitu Akezhan Kazhegeldin yang
berusaha untuk merebut posisi atau jabatan presiden Kazakhstan, namun tidak dapat
terlaksana. Hal ini dikarenakan adanya ketakutan Nazarbaev bahwa Zhuz-klan yang
berkuasa dapat tergeser posisinya dalam arena politik Kazakhstan dan untuk
mengatasinya Nazarbaev melakukan referendum demi mempertahankan posisinya yang
otomatis memberikan pengaruh terhadap anggota klan yang berkuasa lainnya
(Cummings, 2005, p. 109).

Birokrasi pemerintahan Kazakhstan juga tidak dapat mewujudkan mekanisme


pemerintahan yang dapat membentuk pola pikir yang benar-benar demokratis terhadap
masyarakat Kazakhstan dan dapat menjadi badan yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat Kazakhstan (Ceccarelli, 2007, p. 23). Dengan kondisi birokrasi yang lemah,
masyarakat Kazakhstan akhirnya cenderung memilih klan sebagai badan yang mampu
memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Oleh karena itu, keputusan untuk menjadi
negara yang demokratis akhirnya tidak berakhir pada kondisi yang benar-benar
demokratis karena masih besarnya pengaruh politik klan dalam masyarakat Kazakhstan
(way of thinking). Ketidakmampuan Kazakhstan menjadi negara yang benar-benar
demokratis secara substantif tidak dapat diwujudkan karena klan-klan yang berada
dalam satu kumpulan kelompok besar klan Nazarbaev telah memiliki posisi yang sangat

48
kuat dalam politik dan ekonomi. Oleh karena itu, perangkat pemerintahan akhirnya
tidak memiliki peran yang begitu berarti dalam perpolitikan Kazakhstan.

Setelah melewati masa transisi politik, Kazakhstan akhirnya tidak berhasil


mewujudkan negara dengan praktik politik yang demokratis dengan baik, dikarenakan
banyak kekurangan ataupun kelemahan yang mendasar dalam praktik demokrasi yang
sebenarnya (McFaul, 2002, pp. 226-227), walaupun pemerintah telah memutuskan
melalui konstitusi bahwa negara ini menganut kehidupan politik yang demokratis.
Keputusan itu telah tertulis dalam amandemen konstitusi negara pada tahun 1995
(Nicholson, 2012). Semakin kuatnya praktik politik klan yang berlansgung di
Kazakhstan disebabkan oleh latar belakang klan Presiden Kazakhstan, Nursultan
Nazarbaev, yang berasal dari Elder Zhuz (Akerman, 2002, p. 5; Olcott, 1995, p. xvi),
memungkinkan Nazarbaev untuk mendapatkan kehormatan dalam hubungan antar klan
yang hierarkis. Hubungan patronase yang telah lama terjalin dalam hubungan antar klan
secara langsung memberikan ruang bagi Nazarbaev untuk membuat kebijakan politik
yang dapat menguntungkan posisi politiknya. Aksi Nazarbaev tersebut menunjukkan
bahwa aksi manipulatif dan penyelewengan mewarnai praktik demokrasi di Kazakhstan
dengan memanfaatkan praktik politik klan yang telah lama berlangsung di negara ini.
Ini berarti pengaruh politik klan terhadap demokrasi adalah negatif dengan
memperhatikan tiga elemen dari demokrasi yaitu partisipasi, liberalisasi, dan kontestasi.

49
Bab V

Kesimpulan

Kazakhstan merupakan salah satu negara pecahan Uni Soviet pasca kekalahan
komunis dalam pertarungan ideologi pada awal tahun 1990-an. Kazakhstan
mendeklarasikan kemerdekaannya dari Uni Soviet pada akhir Desember 1991 dan
semenjak ini pula Kazakhstan memilih kehidupan politik yang demokratis. Proses ini
merupakan tahap perubahan dalam politik Kazakhstan, yaitu proses transisi Kazakhstan
menuju negara yang demokratis. Perubahan ini memiliki pengaruh politis yang cukup
besar pada masyarakat Kazakhstan yang sebagian besar masih menganut nilai-nilai
tradisional, terutama dalam hal ini mengenai hubungan antar masyarakat. Kazakhstan
memiliki praktik politik yang cukup unik dalam hal hubungan antar masyarakat yaitu
masih bertahannya sistem klan yang merupakan praktik dari nilai-nilai tradisional yang
dianut oleh masyarakat Kazakhstan.

Klan merupakan bagian penting dalam kehidupan tradisional masyarakat


Kazakhstan dan masih berlaku hingga saat ini dan merupakan upaya interpretasi dan
klasifikasi status sosial dan politik dalam masyarakat Kazakhstan. Adanya perbedaan
antar klan menimbulkan persaingan antar klan yang kemudian disebut sebagai politik
klan. Politik klan merupakan praktik politik patronase yang menuntut adanya hubungan
yang bersifat hierarkis dan menjadikan klan sebagai pusat dari segala aktivitas sosial
dan politik. Oleh karenanya, praktik politik klan cenderung menghasilkan praktik
politik yang hanya didominasi oleh satu kelompok klan saja. Realita yang terjadi adalah
Kazakhstan mendeklarasikan dirinya sebagai negara yang demokratis ketika praktik
politik klan masih berlangsung hingga saat ini. Padahal praktik politik yang demokratis
tidak menghendaki adanya satu kelompok atau klan yang mendominasi kekuasaan
politik. Dengan demikian, politik klan memiliki pengaruh terhadap praktik demokrasi di
Kazakhstan.

Ada dua alasan utama mengapa Kazakhstan menerapkan praktik demokrasi


yaitu adanya perubahan politik internasional yang juga mendorong perubahan terhadap

50
politik domestik dan kebutuhan akan sistem yang dapat melindungi kepentingan
masyarakat Kazakhstan yang heterogen. Demokrasi merupakan pilihan yang tidak dapat
ditolak oleh Kazakhstan. Keluarnya Kazakhstan dari Uni Soviet dan menjadi negara
yang independen serta adanya perubahan politik internasional, pilihan untuk
menerapkan praktik politik demokratis merupakan pilihan utama jika Kazakhstan
menginginkan menjadi negara baru dalam masa itu. Hal ini dikarenakan, pengakuan
dari pihak luar akan lebih mudah didapatkan jika Kazakhstan menganut praktik politik
yang demokratis, daripada melanjutkan sistem yang telah ada sebelumnya. Selain itu,
Kazakhstan merupakan negara dengan masyarakat yang heterogen. Praktik politik yang
demokratis dimungkinkan dapat menampung kepentingan dari banyak etnis.

Politik klan merupakan aksi politik yang mengedepankan nilai hubungan


kekerabatan sebagai elemen utama dalam membangun kekuatan politik. Karakter inilah
yang paling menonjol dalam politik klan, namun memiliki nilai yang kontradiktif
terhadap demokrasi yang menuntut adanya kebebasan dari setiap individu. Politik klan
di Kazakhstan memiliki teknik dalam mempertahankan posisi dalam arena politik.
Pengaruh dari politik klan yang berlangsung di Kazakhstan memiliki dampak negatif
terhadap praktik demokrasi. Ada tiga poin yang dapat menjelaskan bagaimana politik
klan dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap praktik demokrasi di
Kazakhstan, yaitu partisipasi, liberalisasi, dan kontestasi politik. Selain itu, tiga poin
tersebut juga dapat menjadi parameter apakah negara tersebut demokratis atau tidak
demokratis. Pengaruh tersebut dihasilkan dari bagaimana pihak yang berkuasa dalam
memanfaatkan praktik politik yang kemudian diwarnai dengan aksi manipulatif dan
penyelewengan.

Partisipasi adalah mengenai bagaimana setiap orang dapat terlibat dalam


pembuatan keputusan bersama. Proses ini dimaksudkan agar aspirasi setiap individu
dapat terwakilkan dalam sebuah kebijakan politik. Secara prosedural, partisipasi politik
dilembagakan melalui pemilihan umum. Proses ini setidaknya dapat menggambarkan
bagaimana keikutsertaan masyarakat terhadap politik dan sejauh mana hal tersebut
dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik. Tiga elemen dalam politik klan memiliki
peran penting terhadap partisipasi politik di Kazakhstan. Tiga elemen ini memainkan

51
peran dalam mengatur bagaimana partisipasi politik masyarakat Kazakhstan hanya
dapat tertuju pada kepentingan Zhuz-klan yang berkuasa. Tiga elemen itu antara lain
hubungan keluarga, jaringan, dan kepercayaan. Secara tidak langsung terjadi mobilisasi
partisipasi politik terhadap klan yang berkuasa melalui jaringan klan yang kuat dan
kepercayaan yang terjalin didalamnya.

Liberalisasi adalah mengenai hak-hak apa saja yang seharusnya didapatkan oleh
setiap individu di sebuah negara. Hak-hak tersebut mencakupi bidang politik, sosial,
dan ekonomi. Untuk mengetahui bagaimana tingkat liberalisasi dalam politik dapat
dilihat dari pelanggaran HAM yang terjadi, kebebasan pers, dan undang-undang. Dalam
bidang HAM, hukum yang telah dibuat belum dapat teraplikasikan dengan baik dalam
menindak para pelanggar HAM. Mereka biasanya berlindung pada klan yang berkuasa
dan pemerintah juga cenderung menutupi permasalahan tersebut. Hal ini dilakukan agar
hubungan keluarga dan jaringan antar klan yang berkuasa tetap dapat berlangsung agar
kekuatan politik mereka dapat bertahan lama di Kazakhstan.

Konstitusi Kazakhstan melindungi kebebasan pers dan pemerintah tidak


diperbolehkan mengintervensi pers yang oposisi terhadap pemerintah. Namun, disaat
yang bersamaan pemerintah Kazakhstan juga memberlakukan aturan dan sensor yang
ketat terhadap media massa, terutama dalam pemberitaan yang oposisi terhadap
pemerintahan. Dalam hal undang-undang, pemerintah Kazakhstan telah membuat aturan
yang legal mengenai liberalisasi politik bagi setiap individu. Hal tersebut mencakupi
undang-undang mengenai HAM, status sosial, identitas individu, ras, nasionalisme,
bahasa, dan agama yang tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Kazakhstan. Pada
praktiknya, undang-undang yang dihasilkan dapat mewujudkan situasi dan kondisi
politik dan ekonomi yang stabil. Namun, hal ini belum berarti menunjukan indikasi
yang baik dengan kenyataan besarnya pengaruh politik klan dalam kehidupan politik
Kazakhstan.

Kontestasi adalah mengenai bagaimana masyarakat luas dapat terlibat dalam


persaingan perebutan posisi dalam pemerintahan. Secara umum masyarakat Kazakhstan
dapat terlibat dalam persaingan perebutan posisi atau jabatan publik dalam

52
pemerintahan. Adanya hubungan patronase dalam politik klan memiliki pengaruh
negatif terhadap kontestasi politik. Hal ini dikarenakan politik klan melakukan praktik
politik yang kontiniu dengan merekrut jabatan publik yang penting dari klan yang sama.
Besarnya pengaruh klan yang berkuasa mengakibatkan sulitnya akses yang harus
dihadapi oleh masyarakat Kazakhstan lainnya yang tidak tergabung dalam klan yang
berkuasa dalam politik Kazakhstan. Setelah melewati masa transisi politik, Kazakhstan
akhirnya tidak berhasil mewujudkan negara dengan praktik politik yang demokratis
dengan baik, dikarenakan banyak kekurangan ataupun kelemahan yang mendasar dalam
praktik demokrasi yang sebenarnya.

53
Daftar Pustaka
Buku
Abazov, R. 2007. Culture and Customs of the Central Asian Republics. Connecticut:
Greenwood Press
Akerman, E. 2002. Power and Wealth in Central Asian Politics: Clan Structures versus
Democratisation. Surrey: Conflict Studies Research Centre
Almond, G. A. 1974. Comparative Politics Today: A World View. Boston: Little,
Brown and Company
Beck, Carl. 1973. Comparative Communist Political Leadership. New York: David
McKay Company, Inc

Collins, K. 2007. Clan Politics and Regime Transition in Central Asia. Cambridge:
Cambridge University Press
Cummings, S. N. 2005. Kazakhstan: Power and The Elite. New York: I. B. Tauris & Co
Ltd
Dahl, R. A. 1998. On Democracy. New Haven: Yale University Press
Dave, B. 2007. Kazakhstan: Ethnicity, Language, and Power. New York: Routledge
Goodin, J. S. Dryzek, B. Honig, dan A. Phillips (Eds.). 2006. The Oxford Handbook of
Political Theory. Oxford: Oxford University Press.
Grugel, J. 2002. Democratization: A Critical Introduction. New York: Palgrave
Held, D. 1996. Models of Democracy (2nd Edition ed.). California: Stanford University
Press
INS Resource Information Center. 1994. Profile Series, Kazakhstan: Political
Conditions in the Post-Soviet Era. Washington D.C.: INS Resource Information
Center
Johnson, T. H. 2009. Kazakhstan Country Profile. Monterey: Naval Postgraduate
School.
L. Diamond, M. F. Platner, Y. H. Chu, dan H. M. Tien. 1997. Consolidating the Third
Wave Democraties. Baltimore: John Hopkins University Press
Luong, P. J. 2004. Institutional Change and Political Continuity in Post-Soviet Central
Asia. Cambridge: Cambridge University Press
Myers, S dan M. Yoders (Ed). 1997. Demokrasi adalah Sebuah Diskusi: Keterlibatan
Warga dalam Demokrasi Lama dan Baru. Connecticut: Connecticut College

54
Nazarbaev, N. 2011. Independent Declaration. Astana: Kazakhstan's Government
Olcott, M. B. 1995. The Kazakhs. Stanford, California: Hoover Instution Press
Pavlovic, Z. 2003. Kazakhstan: Modern World Nations. New York: Chelsea House
Publishers
Schatz, E. 2004. Modern of Clan Politics:The Power of "Blood" in Kazakhstan and
Beyond. Seattle: University of Washington Press
Saward, M. 1998. The Terms of Democracry. Cambridge: Polity
Sorensen, Georg. 1993. Democracy and Democratization: Process and Prospects in a
Changing World, (diterjemahkan oleh Tadjuddin Noer). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Sorensen, G. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. (diterjemahkan oleh I. M. Krisna).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wooden, A. E dan C. H. Stefes (Ed). 2009. The Politics of Transition in Central Asia
and The Caucasus: Enduring Legacies and Emerging Challenges. Oxon:
Routledge
Jurnal
Ceccarelli, A. Clan, Politics and Organized Crime in Central Asia. Springer Science,
Vol. 10 (2007). Hlm. 19-36.
Collins, K. The Logic of Clan Politics: Evidence from the Central Asian Trajectories.
World Politics, Vol. 56, No. 2 (Jan, 2004). Hlm. 224-261
Gleason, G. W., & Buck, S. J. Decolonization in the Former Soviet Borderlands:
Politics in Search of Principles. PS: Political Science and Politics, Vol. 26, No.
3 (Sep, 1993). Hlm. 522-525
Junisbai, B., & Junisbai, A. The Democratic Choice of Kazakhstan: A Case Study in
Economic Liberalization, Intraelite Cleavage, and Political Opposition.
Demokratizatsiya, (2008). Hlm. 373-392
Kolsto, P. Anticipating Demographic Superiority: Kazakh Thingking of Integration and
Nation-Building. Europe-Asia Studies, Vo. 50, No. 1 (Jan, 1998). Hlm. 51-69

Kubicek, P. Authoritarianism in Central Asia: Curse or Cure?. Third World Quarterly,


Vol. 19, No. 1, (Maret, 1998). Hlm. 29-43
Luong, P. J., dan Weinthal, E. The NGO Paradox: Democratic Goals and Non-
Democratic Outcomes in Kazakhstan. Europe-Asia Studies, Vol. 51, No. 7,
(Nov, 1999). Hlm. 1267-1284
Malvin, N. Russia and Ethno-Politics of Kazakhstan. The World Today, Vo. 49, No. 11,
(Nov, 1993). Hlm. 208-210

55
McFaul, M. The Fourth Wave of Democracy and Dictatorship: Noncooperative
Transitions in the Postcommunist World. World Politics, Vol. 54, No. 2, (Jan,
2002). Hlm. 212-244
Miseirtova, S. Introducing: Kazakhstan and It's People. World Literature Today, Vol.
79, No. 2, (Mei-Agustus, 2005). Hlm. 73-75
Murphy, J. Illusory Transtition? Elite Reconstruction in Kazakhstan, 1989-2002.
Europe-Asia Studies, Vol. 58, No. 4, (Juni 2006). Hlm. 523-554
Nourzhanov, K., & Saikal, A. The New Kazakhstan: Has Something Gone Wrong?. The
World Today, Vol. 50, No. 12, (Des, 1994). Hlm. 225-229
Schatz, E. Access by Accident: Legitimacy Claims and Democracy Promotion in
Authoritarian Central Asia. International Political Science Review, Vo. 27, No.
3, (Juli, 2006). Hlm. 263-284
Schatz, E. The Politics of Multiple Identities: Lineage and Ethnicity in Kazakhstan.
Europe-Asia Studies, Vol. 52, No. 3, (Mei, 2000). Hlm. 489-506
Schatz, E. Transitional Image Making and Soft Authoritarian Kazakhstan. Slavic
Review, Vol. 67, No. 1, (Spring, 2008). Hlm. 50-62

Yessenova, S. “Routes and Roots” of Kazakh Identity: Urban Migration in Postsocialist


Kazakhstan. Russian Review, Vol. 64, No. 4, (Oktober, 2005). Hlm. 661-679

Website
Carr, A. Countries: Kazakhstan, 2011, (Online), Adam Carr's Web site,
<http://psephos.adam-carr.net/countries/k/kazakhstan>, diunduh pada 22
Februari 2012
IFES. Country Profile: Kazakhstan, 2010, (Online), IFES Election Guide
<http://electionguide.org/country.php?ID=111>, diunduh pada 21 Februari 2012
Kimmage, D. Kazakhstan: Battle of the Clan Continues, 9 Agustus 2006, (Online),
RFE/RL <http://www.rferl.org/content/article/1070426.html>, diunduh pada 3
Oktober 2011
Masanov, N. E. The Role of Clans in Kazakhstan Today, 6 Februari 1998, (Online), The
Jamestown Foundation
<http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=20207&t
x_ttnews[backPid]=220(1)>, diunduh pada 3 Oktober 2011
Nicholson, M. Government and Politics, 2012, (Online), Kazakhstan Live
<http://www.kazakhstanlive.com/3en.aspx>, diunduh pada 10 Januari 2012

56
OSCE, The Republic of Kazakhstan: President Election 10 Januari 1999, 2000,
(Online), < http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/presidential_1999>,
diunduh pada 22 Februari 2012
OSCE, The Republic of Kazakhstan: Parliamentary Elections 10 dan 24 Oktober 1999,
20 Januari 2000, (Online),
<http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/parliamentary_1999>, diunduh
pada 22 Februari 2012
OSCE, The Republic of Kazakhstan: President Election 4 Desember 2005, 21 Februari
2006, (Online), <http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/66682>,
diunduh pada 22 Februari 2012
OSCE, The Republic of Kazakhstan: Parliament Elections 19 September dan 3 Oktober
2004, 15 Desember 2004, (Online),
<http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/66684>, diunduh pada 22
Februari 2012
OSCE, The Republic of Kazakhstan: Parliamentary Elections 18 Agustus 2007, 30
Oktober 2007, (Online),
<http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/66679>, diunduh pada 22
Februari 2012
OSCE, The Republic of Kazakhstan: Early Presidential Elections 3 April 2011, 16 Juni
2011, (Online), < http://www.osce.org/odihr/elections/kazakhstan/75914 >,
diunduh pada 22 Februari 2012
Sobakin, A. I. Kazakh Tribal Maps, 1999, (Online), Agency BRIF Central Asia
<http://www.nps.edu/programs/ccs/Docs/Central_Asia/Kazakh_tribal_map.pdf>
, diunduh pada 21 Februari 2012
Starr, S. Frederick. Clans, Authoritarians Rulers, and Parliaments in Central Asia, Juni
2006, (Online), Silk Road Paper
<http://www.silkroadstudies.org/new/docs/Silkroadpapers/0605Starr_Clans.pdf
>, diunduh pada 7 Februari 2012
Tourtellote, L. Russia’s Periphery, 2006, (Online), FCCORN People
<http://fccorn.people.wm.edu/russiasperiphery/405e2ff1a7139cc468ac45848bcd
bfc5.html>, diunduh pada 21 Februari 2012
_____, Political Parties in Kazakhstan, 2003, (Online), OrexCa
<http://www.kazakhstan.orexca.com/kazakhstan_political_parties.shtml>,
diunduh pada 22 Februari 2012

57

Anda mungkin juga menyukai