Anda di halaman 1dari 162

LATAR BELAKANG KEJAHATAN PEMBUNUHAN

YANG DILAKUKAN WANITA SERTA CARA PEMBINAANNYA

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS I A

SEMARANG

(Studi Kasus di Kota Semarang)

Skripsi

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Sista Agastyasti

NIM: 3450401029

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

2006
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah di setujui oleh Pembimbing untuk diajukan kesidang panitia skripsi

ujian skripsi pada:

Hari :

Tanggal:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Abdul Rasyid W. M.Ag Drs. Suhadi, M.Si


NIP: 130607620 NIP: 132067383

Mengetahui
Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Drs. Eko Handoyo,M.Si


NIP: 131764048
ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial,

Universitas negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal:

Penguji Skripsi

Anggota I Anggota II

Drs. Abdul Rasyid W, M.Ag Drs. Suhadi M.Si

NIP: 130607620 NIP : 132067383

Mengetahui

Dekan

Drs. Sunardi

NIP: 130367998

PERNYATAAN
iii
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip

atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang

Waspiah

NIM. 3450401068

MOTTO DAN PERSEMBAHAN


iv
“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari

kebenaran” ( QS. Ali Imron:135 )


“Orang yang arif bijaksana itu suka memaafkan kesalahan orang lain. Karena ia

insyaf bahwa setiap yang berakal selalu mencari kebenaran. Dan setiap orang selalu

mencari kebenaran, maka dalam hidup dan kehidupannya pasti ia menemui kesulitan.

Jika ia menghadapi kesulitan tentu orang lainpun akan demikian juga halnya. Maka

sudah pada tempatnyalah orang yang bersalah itu dimaafkan” ( Avicenna )

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Ayah dan Bunda tercinta

Kakak-kakakku dan adik-adikku tersayang

Ketiga ponakanku ( Ara, Bintang, Zaki ) yang lucu-lucu

Sahabat-sahabatku yang setia dalam suka maupun duka ( Yuli dan Sista )

Angkatan 2001

Almamaterku

PRAKATA
v
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat, hidayah,

dan RidhoNya, sehingga penulisan skripsi dengan judul Pembinaan Narapidana

Melalui Sistem Pemasyarakatan Kaitannya Dengan Hak-Hak Narapidana Di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang, dapat diselesaikan.


Selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari peran beberapa pihak. Pada

kesempatan ini, Penulis menyampaikan terima kasih atas bimbingan, arahan dan

bantuan kepada:

1. DR. H. AT. Soegito, SH. MM, Rektor Universitas Negeri Semarang

2. DRS. Sunardi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

3. DRS. Eko Handoyo, M.Si, Ketua jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Universitas Negeri Semarang

4. Drs. Addul Rasyid W. M.Ag, Dosen Pembimbing I yang membantu dan

membimbing sehingga selesainya penulisan skripsi ini

5. Drs. Suhadi, M.Si Dosen pembimbing II yang membantu dan sabar dalam

membimbing penulisan skripsi ini

6. F. Sutomo Rahardjo, Bc. IP, S.ip. MM Koordinator Urusan Pemasyarakatan

Departemen Kehakiman dan HAM Jawa Tengah

7. Widiatiningrum Bc. IP. SH Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas

IIA Semarang

8. Susana Tri Agustin Bc. IP Kepala Subseksi BIMPAS di Lembaga

Pemastarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

9. Segenap karyawan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang

10. Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang


vi
11. Ayah Bunda, kakak-kakakku serta adik-adikku tersayang yag telah

memberikan kasih sayang kepadaku.

12. Semua pihak yang telah membantu demi selesainya skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas budi dan bantuan serta bimbingan yang

telah diberikan dalam penulisan skripsi ini. Dengan kerendahan hati, penulis terbuka
menerima saran dan kritik yang membangun, yang akan memperbaiki skripsi ini

menjadi lebih sempurna.

Harapan penulis, semoga skripsi ini berguna bagi para pebaca yang

budiman.

Semarang, 2006

Penyusun

vii
SARI
Waspiah 2006. Pembinaan Narapidana Kaitannya dengan Hak-Hak Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. Halaman: 92
Kata Kunci: Pola Pembinaan, Narapidana Wanita, Hak-Hak Narapidana
Hak-hak narapidana Wanita sebagai warga Negara Indonesia yang hilang
kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana, haruslah dilakukan sesuai dengan
Hak Asasi Manusia. Sering dijumpai dalam Lembaga Pemasyarakatan bahwa hak
narapidana belum diberikan sesuai dengan hak mereka sebagai warga Negara. Hal ini
desebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kurang dipahaminya peraturan
mengenai hak-hak narapidana yang tertuang dalam undang-undang oleh petugas
Lembaga Pemasyarakatan atau bahkan oleh para narapidana sendiri.
Permasalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah ( 1 ) bagaimanakah praktek
penyelenggaraan pembinaan narapidana wanita menurut Undang-Undang no. 12
tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Semarang. (2) Bagaimanakah perlindungan yang diberikan oleh Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Semarang Klas IIA Semarang terhadap narapidana wanita.
Penelitian ini bertujuan ( 1 ) untuk mengetahui informasi tentang pelaksanaan
pembinaan narapidana sesuai dengan undang-undang No.12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. (2) untuk memperoleh informasi tentang pembinaan narapidana
berkaitan dengan hak-haknya di Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA
Semarang. Penelitain ini menggunakan metode penelitian kualitatif . Lokasi dalam
penelitian ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. Alat
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, observasi dan
wawancara. Data ini dikumpulkan dengan menggunakan metode analisis interaktif
dan disajikan dalam bentuk data yang bersifat deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak-hak narapidana diberikan dengan
adanya pembatasan-pembatasan pada hak-hak tertentu. Adapun untuk kegiatan
pembinaan dalam lembaga meliputi pendidikan agama, rekreasi, ketrampilan dan olah
raga. Untuk kegiatan diluar lembaga meliputi cuti menjelang bebas dan pembebasan
bersyarat. Secara umum para narapidana merespon kegiatan pembinaan dan
memandang bahwa kegiatan tersebut masih diperlukan agar mereka mempunyai bekal
baik mental, fisik, maupun sosial yang baik.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan secara umum praktek
penyelenggaraan pembinaan narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Klas IIA Semarang sudah sesuai dengan Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan, secara khusus ada beberapa hal yang kurang sesuai antara lain
dibatasinya informasi khususnya dari majalah dan koran. Secara umum perlindungan
hak-hak narapidana yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Semarang sudah sesuai dengan Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan secara khusus ada hal-hal yang tertentu yang dalam prakteknya
dibatasi seperti dibatasinya tontonan televisi yang hanya pada acara-acara tertentu
saja, kurangnya bahan bacaan yang tersedia di perpustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan pentingnya mensosialisasikan kegiatan
pembinaan narapidana pada masyarakat, sebagai salah satu unsur partisipasi
masyarakat dengan mengikutsertakan seluruh kemampuan dan dana masyarakat untuk
ikut peduli terhadap kegiatan pembinaan narapidana, misalnya dengan cara
viii
masyarakat berperan sebagai penyelenggara pemeran untuk memasarkan karya
ketrampilan para narapidana. Pentingnya peran kalangan swasta sebagai pihak ketiga
untuk ambil bagian dalam proses pembinaan narapidana dengan mengadakan kerja
sama dalam proses pemasyarakatan narapidana, misalnya pihak swasta membantu
menyediakan sarana ketrampilan dan sebagai timbal baliknya para narapidana
dipekerjakan pihak swasta tersebut.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................i

PERSETUJUAN ....................................................................................... ii

PENGESAHAN ...................................................................................... iii

PERNYATAAN .......................................................................................iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN.............................................................v

PRAKATA................................................................................................vi

SARI ...................................................................................................... viii

DAFTAR ISI..............................................................................................x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1

A. Latar Belakang .........................................................................1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah......................................5

C. Perumusan Masalah .................................................................7

D. Tujuan Penelitian .....................................................................7

E. Kegunaan Penelitian ................................................................8

F. Sistematika Penulisan Skripsi ..................................................8

BAB II LANDASAN TEORI..................................................................10

A. Pengertian Tindak Kejahatan.................................................10

B. Sistem Pemasyarakatan.........................................................11

C. Lembaga Pemasyarakatan Wanita .........................................13

D. Hak dan Kewajiban Narapidana ............................................14

E. Pembinaan Narapidana ..........................................................18


x
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................26

A. Metode Penelitian ..................................................................26

B. Lokasi Penelitian....................................................................26

C. Fokus Penelitian.....................................................................27

D. Sumber Data Penelitian..........................................................27

E. Alat dan Tehnik Pengumpulan Data .....................................29

F. Pemeriksaan Keabsahan data.................................................33

G. Metode Analisis Data.............................................................34

H. Prosedur Penelitian ................................................................37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.........................39

A. Hasil Penelitian ......................................................................39

B. Pembahasan............................................................................83

BAB V PENUTUP ..................................................................................89

A. Kesimpulan ............................................................................89

B. Saran ......................................................................................89

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................91

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR
xi

Gambar 1 Proses Analisis Data


xii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga setiap

kegiatan manusia atau masyarakat yang merupakan aktivitas hidupnya harus

berdasarkan pada peraturan yang ada dan norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat. Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia karena hukum

merupakan aturan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupannya

karena tanpa adanya hukum kita tidak dapat membayangkan akan seperti apa

nantinya negara kita ini. Kejahatan akan terus bertambah dengan cara yang

berbeda-beda bahkan dengan peralatan yang semakin canggih dan modern

sehingga kejahatan akan semakin meresahkan masyarakat.

Kejahatan dapat timbul di mana saja dan kapan saja. Bahkan dapat

dikatakan bahwa kejahatan itu terjadi hampir pada setiap masyarakat. Namun

karena sifatnya yang merugikan, maka adalah wajar pula bilamana setiap

masyarakat berusaha untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan.

Namun demikian hampir setiap hari masyarakat, dihadapkan pada berita dan

pembicaraan yang menyangkut masalah kriminalitas.

Berdasarkan informasi berbagai mass media, baik media cetak maupun

elektronik, bahwa akhir-akhir ini tingkat kriminalitas menunjukkan adanya

kecenderungan untuk terus meningkat. Berbagai usaha untuk menghapuskan

1
2

kejahatan ini telah dicoba oleh negara-negara di dunia, namun demikian usaha

tersebut sampai saat ini baru berhasil mengurangi intensitas dan kualitasnya saja.

Lombrosso berpendapat bahwa yang namanya penjahat itu mempunyai

tipe-tipe tertentu, misalnya: wajahnya seram, dan matanya merah menakutkan

(Step Han Hurwits 1986 : 40). Namun demikian kenyataannya tidak selalu yang

dibayangkan orang. Bahkan belakangan ini tidak jarang dijumpai adanya pria

tampan yang menjadi penghuni suatu Lembaga Pemasyarakatan karena terlibat

dalam berbagai macam kejahatan. Tidak hanya itu kaum wanita pun yang

sesungguhnya lebih banyak berperan sebagai makhluk pembawa kebaikan,

ternyata juga banyak yang meninggalkan sifat keibuannya, dengan melakukan

berbagai macam kejahatan.

Namun demikian,apabila dibandingkan baik secara kuantitatif,maupun

secara kualitatif,kejahatan yang dilakukan oleh kaum wanita, rata-rata masih

lebih rendah daripada yang dilakukan oleh kaum pria. (Step han Hurwitz 1986 :

100).

Step Han Hurwits (1986:100) seperti penulis kutip dalam buku

kriminologi saduran Ny. Moeljatno mengemukakan bahwa kejahatan wanita

secara kualitatif maupun kuantitatif lebih rendah daripada yang dilakukan kaum

pria, hal ini disebabkan karena:

1. Biologik
Menurut pendapat ini bahwa, wanita secara fisik kurang kuat atau
lemah, dan karena ada kelainan-kelainan psikis yang khas yang berhubung
fungsinya sebagai jenis kelamin lain, sehingga kriminalitas berkurang.
2. Sosiologik lebih realistis
a. Wanita lebih terlindung oleh lingkungan karena tempat bekerja di rumah
dengan tanggung jawab hanya mengenai rumah tangga .
b. Kurang minum-minuman keras.
3

Kejahatan yang dilakukan wanita biasanya kejahatan yang tergolong

dalam kejahatan ringan dan tidak profesional. serta dilakukan dalam keadaan

terpaksa yang didorong suatu keadaan dan kepentingan yang amat sangat serta

dilakukan secara mendadak .

Salah satu kejahatan sering terjadi, dan sangat meresahkan dewasa ini

adalah kejahatan pembunuhan. Biasanya kejahatan ini dilakukan oleh kaum pria,

walaupun ada juga wanita yang melakukan pembunuhan, bahkan berdasarkan

informasi dari berbagai media, ada juga pembunuhan yang dilakukan oleh wanita

lebih kejam dari pada yang dilakukan oleh pria.

Kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum wanita, disebabkan

oleh berbagai faktor.Adapun faktor-faktor yang menyebabkan wanita melakukan

kejahatan yaitu :

“Faktor sosial ekonomi seperti sistem ekonomi, perubahan harga pasar, krisis,
gaji, atau upah, pengangguran dan juga dapat dipengaruhi faktor-faktor mental
(agama), bacaan-bacaan harian, film (termasuk TV), serta faktor pisik seperti
iklim, tidak luput faktor-faktor pribadi (umur), peminum (alkohol)”. (Hurwitz
1986:86-101)

Senada dengan pernyataan diatas, R. Soesilo dalam bukunya yang

berjudul kriminologi (pengetahuan tentang sebab-sebab kejahatan) menyebutkan

sebagai berikut:

“Dari pengalaman sehari-hari kita ketahui, bahwa orang yang dipidana itu
sebagian besar terdiri dari orang pria. Hanya sebagian kecil saja wanita masuk di
dalam Lembaga Pemasyarakatan. Rumah-rumah penjara, tempat-tempat
penahanan di kantor-kantor polisi dan lain sebagainya sebagian besar dibangun
terutama bagi kaum pria. Adanya Lembaga Pemasyarakatan dan rumah-rumah
tahanan wanita hanya satu dua saja . Kaum wanita lebih kecil kemungkinannyaa
untuk berbuat kejahatan”.(Soesilo 1985:58)
4

Kemudian R. Soesilo (1985 : 59) menyebutkan bahwa kaum wanita yang

dipidana karena melakukan kejahatan jumlahnya lebih kecil dari jumlah orang-

orang terpidana.

Perlu juga disimak pendapat yang dikemukakan oleh Kartini Kartono

(2000:60) yang mengatakan sebagai berikut :

“...perbuatan kriminal yang dilakukan oleh beberapa anak gadis yang


disebabkan oleh emosi-emosi yang sangat kuat. Emosi yang sangat kuat itu
karena rasa rindu akan orang tua dan kampung halamannya di desa. Oleh
karena emosi yang sangat kuat tersebut timbullah konflik-konflik batin dan
ketegangan-ketegangan yang sangat tinggi sehingga anak gadis tersebut
melakukan tindak kriminal berupa pembunuhan atau bunuh diri”.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peran para penegak hukum sangat

penting terhadap penanganan kejahatan, khususnya kejahatan pembunuhan.

Proses penegakan hukum ini dimulai dari proses penyidikan dan penyelidikan di

kepolisian, setelah itu kejakasaan dan dilanjutkan di Pengadilan, dan sebagai

lembaga penegakan hukum terakhir adalah Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk itulah peran lembaga pemasyarakatan sangat diperlukan sebagai

upaya pencegahan atau penanggulangan kejahatan, di samping rehabilitasi

narapidana yang telah menjalani pidana dapat kembali ke jalan yang benar dan

nantinya dapat diterima masyarakat demi pengayoman masyarakat dan negara.

Lembaga Pemasyarakatan menurut Undang-Undang nomor 12 tahun

1995 pasal 1 adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi Narapidana. Di

lembaga ini mereka akan dibina supaya setelah selesai proses pemidanaannya,

dapat kembali serta dapat diterima di tengah-tengah masyarakat serta

keluargannya.
5

Sebagai lembaga pembinaan bagi narapidana, pasal 4 Undang-undang

nomor 12 tahun 1995 mengatur bahwa Lembaga Pemasyarakatan ini didirikan di

setiap ibukota kabupaten/kota, serta dalam rangka pembinaan Lembaga

Pemasyarakatan digolongkan atas dasar: umur, jenis kelamin, serta lama

pemidanaan.

Seperti halnya dengan lembaga pemasyarakatan wanita di

Semarang,lembaga pemasyarakatan ini bukanlah suatu tempat pemidanaan

belaka, tetapi mempunyai fungsi sosial. Sistem pemasyarakatan merupakan era

baru dalam proses pembinaan narapidana. Sehingga diharapkan narapidana yang

menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan ini dapat dibimbing dan dituntun

untuk menjadi warga negara yang baik, bukan sebagai anggota masyarakat yang

dirampas kemerdekaannnya serta mendapat pengayoman.

Pembinaan narapidana wanita penting artinya bagi negara kita, salah

satunya adalah bagi pembangunan. Masalah pembinaan narapidana wanita masih

memerlukan perhatian yang serius baik fisik maupun non fisik. Sebab wanita

mempunyai rasa tanggung jawab dan berperan aktif terhadap keluarganya (suami

dan anak-anaknya), masyarakat serta negara. Setelah keluar dari lembaga

pemasyarakatan mereka diharapkan dapat menunaikan tugas dan kewajibannya

seperti sediakala. Karena dalam lembaga pemasyarakatan itu mereka telah

mendapatkan pembinaan, ketrampilan, ceramah agama, PKK, serta senam

kesegaran jasmani, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan lembaga

pemasyarakatan yaitu, memulihkan kembali kesatuan hubungan antara terpidana

dengan masyarakat.
6

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang kejahatan pembunuhan serta

pembinaan narapidana di Lembaga Pemasayarakatan diatas, maka penulis tertarik

untuk mengetahui :

“LATAR BELAKANG KEJAHATAN PEMBUNUHAN YANG

DILAKUKAN OLEH WANITA SERTA CARA PEMBINAANNYA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA BULU SEMARANG” (Studi

kasus di kota Semarang)

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Sebelum penulis melangkah lebih jauh, maka terlebih dahulu perlu

membatasi ruang lingkup pembahasannya. Adapun ruang lingkup

pembahasannya, akan berkisar pada masalah latar belakang pembunuhan, yaitu

faktor yang menyebabkan seorang wanita melakukan kejahatan pembunuhan.

Latar belakang kejahatan terbagi atas dua, yaitu latar belakang biologik

dan latar belakang secara sosiologik, namun yang akan penulis kaji lebih dalam

khususnya mengenai latar belakang secara sosiologik, yaitu mengenai faktor

ekonomi, faktor mental khususnya mengenai penghayatan agama, faktor

pembelaan diri serta faktor harga diri.

Sedangkan pada proses pembinaan di lembaga Pemasyarakatan terdapat

dua proses pembinaan, yakni pembinaan didalam lembaga, yang meliputi

pendidikan agama, ketrampilan, olahraga, serta kesenian, serta pembinaan di luar

lembaga antara lain bimbingan selama narapidana mendapat pidana bersyarat.


7

Dalam hal ini penulis akan mengkaji lebih dalam mengenai proses

pembinaan intra mural (pembinaan di dalam lembaga).

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan atas latar belakang masalah tersebut diatas, maka

permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi latar belakang wanita melakukan kejahatan

pembunuhan, khususnya penghuni lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA

Semarang?

2. Bagaimana sistem pembinaan narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan

Wanita klas IIA Semarang khususnya dalam kejahatan pembunuhan?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian dapat dibagi menjadi dua tujuan pokok,yaitu:

a. Tujuan Obyektif

1) Untuk mengetahui latar belakang wanita melakukan kejahatan

pembunuhan khususnya penghuni lembaga pemasyarakatan wanita

Bulu Semarang.

2) Untuk mengetahi sistem pembinaan narapidana wanita di lembaga

pemasyarakatan wanita Bulu Semarang khususnya bagi pelaku

kejahatan pembunuhan.
8

b. Tujuan Subyektif

1) Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan sebagai bahan untuk

penulisan skripsi dimana sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

sarjana hukum pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang.

2) Untuk menambah wawasan penulis baik secara langsung maupun tidak

langsung mengenai latar belakang kejahatan pembunuhan yang

dilakukan oleh wanita serta cara pembinaannya di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat mamberikan masukkan

bagi peningkatan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Bulu

Semarang, sehingga diharapkan setelah masa pemidanaan selesai, mereka

dapat diterima kembali dan berguna bagi keluarganya dan masyarakat.

b. Manfaat Teoritis: diharapkan penelitian ini memberikan wawasan

mengenai latar belakang kejahatan yang dilakukan wanita khususnya

kejahatan pembunuhan.

E. PENEGASAN ISTILAH

1. Wanita

Wanita adalah seseorang yang telah dikodratkan oleh Tuhan, berjenis

kelamin biologis (seks) sebagai perempuan yang berciri-ciri menyusui, haid,


9

dan melahirkan serta memiliki rahim tidak dapat berubah, dipertukarkan, dan

berlaku sepanjang masa. (Kementrian Pemberdayaan Perempuan 2002 : 8).

2. Lembaga Pemasyarakatan

Menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang sistem

kemasyarakatan yang dimaksud dengan sistem kemasyarakatan sesuai pasal 1

ayat 2 adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan

warga binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan

antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas

warga binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri,

dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat

hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Tentang sistem pemasyarakatan itu sendiri, Bambang Poernomo, S.H.

(1982 : 183) berpendapat sebagai berikut:

“Suatu elemen yang berinteraksi yang membentuk satu kesatuan yang


integral, berbentuk konsepsi tentang perlakuan terhadap orang yang
melanggar hukum pidana di atas dasar pemikiran rehabilitasi, resosialisasi
yang berisi unsur edukatif, korektif, defensif dan yang beraspek pada individu
dan sosial.”

Peran lembaga pemasyarakatan memudahkan pengintegrasian dan

penyesuaian diri dengan kehidupan masyarakat. Tujuannya : “Agar mereka

dapat merasakan bahwa sebagai pribadi dan warga negara Indonesia yang

mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara seperti pribadi
10

dan warga negara Indonesia lainnya serta mereka mampu menciptakan opini

dan citra pemasyarakatan yang baik”. (Departemen Kehakiman RI,11)

3. Pembinaan Di Lembaga Pemasyarakatan

Pembinaan adalah suatu proses dimana narapidana wanita itu pada

waktu masuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita sudah dalam

kondisi tidak harmonis pada masyarakat sekitarnya. Adapun penyebabnya

karena narapidana tersebut telah melakukan tindak pidana yang secara

langsung atau tidak langsung dapat merugikan masyarakat. (Harsono 1995:

24)

Bentuk pembinaan bagi narapidana menurut pola pembinaan

narapidana /tahanan adalah sebagai berikut:

a. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara

pembina dengan yang dibina

b. Pembinaan yang bersifat persuasif

c. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematis

d. Pembinaan kepribadian.(Harsono 1995: 24)

Pembinaan narapidana menurut sistem kemasyarakatan terdiri dari

pembinaan didalam lembaga, yang meliputi pendidikan agama, pendidikan

umum, kursus ketrampilan, olahraga, kesenian, kepramukaan. Sedangkan

pembinaan di luar lembaga antara lain bimbingan selama terpidana mendapat

pidana bersyarat.
11

Jadi berdasarkan setiap uraian dalam penegasaan istilah yang telah

penulis kemukakan tersebut, penulis ingin mengadakan penelitian mengenai

latar belakang wanita melakukan kejahatan pembunuhan khususnya penghuni

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu Semarang, serta pembinaan.

F. SISTEMATIKA SKRIPSI

Agar lebih mengarahkan jalan pikiran penulis, maka dalam penulisan

skripsi akan dilakukan dengan berpedoman pada sitematika penulisan sebagai

berikut :

BAB I : Pendahuluan. Pendahuluan berisi lima sub pokok pembahasan,

masing-masing latar belakang masalah, identifikasi masalah,

kemudian perumusan masalah, berikutnya adalah tujuan dan manfaat

penelitian, kemudian penegasan istilah, dan yang terakhir adalah

membuat sistematika penulisan skripsi

BAB II : Landasan Teori Berisi Mengenai Latar belakang kejahatan

pembunuhan yang dilakukan oleh wanita serta cara pembinaannya di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Penulis membagi bab ini menjadi

dua sub bab yaitu sub bab pertama menjelaskan mengenai latar

belakang kejahatan pembunuhan yang dilakukan wanita. Terbagi

menjadi tiga pokok pembahasan, yaitu penulis akan membahas

mengenai kejahatan secara umum, kemudian mengenai kejahatan

pembunuhan, dan dilanjutkan dengan pengertian wanita secara umum.

Kemudian sub bab kedua pada bab dua adalah mengenai pembinaan
12

narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan wanita, terbagi

menjadi dua pokok pembahasan, yang pertama penulis akan

membahas mengenai Lembaga pemasyarakatan dan kemudian

dilanjutkan dengan pokok pembahasan yang kedua yakni mengenai

pembinaannya di Lembaga Pemasyarakatan.

BAB III : Metode penelitian yang terdiri atas lima pokok pembahasan yaitu

mengenai Lokasi Penelitian, responden, sumber data, kemudian

mengenai Metode Pengumpulan Data, dan terakhir penulis akan

membahas mengenai Metode Analisa Data.

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, pada bab ini penulis membagi

menjadi dua sub bab, yaitu yang pertama mengenai hasil penelitian,

dan yang kedua mengenai pembahasan hasil penelitian.

BAB V : Penutup adalah merupakan penutup dari skripsi ini. Berisi kesimpulan

dari uraian bab-bab terdahulu. Mengakhiri dari bab ini adalah saran-

saran yang dipandang perlu sehubungan adanya perbandingan antara

teori dan prakteknya di lapangan.

Demikian sistematika penulisan yang penulis susun dalam skripsi ini.


13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEJAHATAN PEMBUNUHAN

1. Pengertian Kejahatan

Kejahatan adalah suatu “nama” atau “cap” yang diciptakan oleh

orang, untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan

kejahatan (Bawengan 1974 : 20). Si pelaku disebut penjahat. Oleh karena

penilaian itu berasal dari alam nilai, maka kejahatan memiliki pengertian

yang relatif , yaitu tergantung kepada manusia untuk memberikan penilaian

itu. Secara yuridis formal, ukuran tentang pelaku kejahatan, belum

dicantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi apa

yang disebut kejahatan belum berarti selalu harus diakui oleh pihak-pihak

lain sebagai kejahatan pula. Hal ini sangat erat kaitannya dengan situasi dan

dinamika masyarakat.

Bawengan membedakan 3 jenis kejahatan menurut penggunaan

(Bawengan 1974 : 21), yaitu :

a. Pengertian secara praktis

Kejahatan dalam “arti Praktis” adalah suatu pengertian yang timbul dari

dan ditimbulkan oleh anggota masyarakat, atau sesuatu kelompok.

b. Pengertian secara religius

Kejahatan dalam arti “religius” sering dikaitkan dengan pengertian

kejahatan sebagai dua faktor yang saling bertentangan. Sebaliknya

13
14

dipercayai pula bahwa apa yang disebut kebaikan itu datangnya dari

Allah (Tuhan), sedangkan apa yang disebut kejahatan itu berasal dari roh

jahat atau iblis atau setan.

Pada bidang peradilan, orang tidak akan puas dengan kepercayaan bahwa

segala jenis kejahatan harus dipertanggungjawabkan kepada iblis. Jika

demikian, maka tidak ada seorangpun yang bakal dapat dihukum. Oleh

karena itu, maka di bidang peradilan, yang menjadi dasar adalah Undang-

undang.

Kejahatan dalam arti religius itu mengidentikan arti kejahatan dengan

dosa. Dan setia dosa terancam dengan hukuman api di neraka terhadap

jiwa yang berdosa.

c. Pengertian secara yuridis

Kejahatan dalam arti yuridis dapat dibaca misalnya di dalam sistem Kitab

Undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

membedakan antara perbuatan-perbuatan yang tergolong dengan dalam

kejahatan dan pelanggaran.

Kejahatan adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan dari buku kedua KUHP. Jadi tidak semua perbuatan dapat

dikategorikan kejahatan.

Menurut Bambang Pernomo S.H. kejahatan menurut hukum dapat

dinyatakan sebagai perilaku yang merugikan terhadap kehidupan sosial

(social injury), atau perilaku yang bertentangan dengan ikatan sosial (anti

sosial), atau perilaku yang tidak sesuai dengan pedoman hidup bermasyarakat
15

(non conformist) (Nico Ngani 1985 : 36-37).

Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP, terbagi atas

kejahatan (Misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam

dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP

tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari pasal 4,

5, 39, 45 & 53 buku I. Buku II adalah melulu tentang kejahatan dan buku III

tentang pelanggaran.

Menurut M.v.T. (Smidt I hal. 63 dan seterusnya) pembagiaan atas dua

jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipil. Dikatakan bahwa kejahatan

adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak

ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan

sebagai onrecht, sebagai perbuatan pidana, yang bertentangan dengan tata

hukum. (Moeljatno 1966: 61 )

Sedangkan Nico Ngani dalam bukunya yang berjudul “Psikologi

Kriminal dalam Teori dan Praktek Hukum Pidana”menyebutkan Perbedaan

antara kejahatan dengan pelanggaran, sebagaimana digariskan atau

ditegaskan dalam MVT adalah perbedaan antara delik hukum dan delik

undang-undang. Kejahatan dikatakan termasuk delik hukum, sedangkan

pelanggaran disebut delik undang-undang. Delik hukum adalah kejadian-

kejadian yang berlawanan atau antagonistis dengan dasar-dasar atau asas-asas

hukum yang hidup di dalam keyakinin manusia dan tidak terlepas dari

undang-undang itu setiap peristiwa yang untuk kepentingan umum

dinyatakan undang-undang sebagai hal terlarang. ( Nico Ngani 1985 37 )

Jadi kejahatan adalah kepentingan atau perbuatan karena karakter atau


16

sifatnya antagonistis dengan ketertiban hukum; sedangkan pelanggaran ialah

perbuatan yang oleh undang-undang di cap sebagai suatu perbuatan yang

antagonistis dengan ketertiban umum. (Utrecht 82-84)

Sedangkan Stephen Schafer, seperti penulis kutip dalam buku

berjudul “Analisa Kriminologi tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan”

karya Mulyana W. Kusuma, dalam suatu studinya mengenai kejahatan-

kejahatan kekerasan di Florida mendasarkan rumusannya pada batasan

kelompok International Para Ahli PBB yang beranggapan bahwa kejahatan-

kejahatan kekerasan yang utama adalah pembunuhan, penganiayaan berat,

serta perampokan dan pencurian berat. (Mulyana 1982 : 24)

Sedangkan David Gordon secara kriminologi menunjukkan bahwa

struktur dasar dari pranata-pranata sosial dan ekonomi dalam masyarakat

mana pun secara mendasar membentuk perilaku individu-individu dalam

masyarakat yang bersangkutan dan oleh karenanya tidak dapat dipahami

tanpa pertama-tama mengerahui secara cukup stuktur-struktur kesempatan

yang dirumuskan secara melembaga di mana anggota-anggota golongan-

golongan ekonomi tertentu terkungkung.

Dengan demikian, Gordon melihat bahwa kejahatan adalah

merupakan usaha pelanggar untuk hidup dalam suatu situasi ekonomi tidak

menentu yang terbentuk dalam tatanan sosial tertentu. (Mulyana 1982 : 28)

Unsur-unsur kejahatan menurut pendapat Sutherland dalam buku

Hurwitz (1986: 136) adalah sebagai berikut :

1. Suatu nilai yang dijunjung oleh suatu golongan yang secara politis
mempunyai kedudukan penting ;
2. Anggota-anggota golongan yang cenderung membahayakan nilai
17

tersebut;
3. Untuk melindungi nilai tersebut golongan 1 harus menerapkan
paksaan sampai batas tertentu terhadap golongan 2.

Berdasar hal yang telah dikemukakan diatas, maka pembunuhan

merupakan suatu peristiwa yang bertentangan atau antagonistis dengan

asas-asas hukum. Dengan kata lain, terjadilah suatu delik hukum.

a. Latar belakang Kejahatan

Latar belakang orang melakukan kejahatan sebagaimana

dikemukakan oleh Step Han Hurwitz terdiri atas latar belakang

biologik serta latar belakang sosiologik.

1) Latar Belakang Secara Biologik

Menurut Kinberg, dalam buku karya Stephan Horwicz,

keturunan dan kejahatan pembawaan dan keadaan / pembawaan =

kecenderungan watak seorang yang secara biologik ditentukan,

tergantung faktor-faktor keturunan agar menghasilakan reaksi

tertentu terhadap perangsang-perangsang tertentu. (Hurwitz

1986:35)

Sedangkan Step Han Hurwitz (Hurwitz 1986:35)

berpendapat bahwa seluruh pembawaan keturunan tidak diwaris

tanpa perubahan dari satu generasi ke generasi/keturunan yang

lain. Tapi dari setiap garis keturunan diwariskan sejumlah gene-

gene yang disusun dalam gabungan yang berbeda untuk tiap

makhluk baru.

Menurut Hurwitz (1986 : 49) latar belakang biologik dari

kejahatan antara lain


18

a) Genotype dan Phenotype

Genotype ialah warisan sesungguhnya, phenotype ialah

pembawaan yang berkembang. Apa yang diteruskan seseorang

sebagai pewarisan kepada generasi yang berikutnya tergantung

dari genotype, apa yang ditampakkan dari luar adalah

penotype, yaitu hasil dari pembawaan yang diwaris dari orang

tuanya dengan pengaruh-pengaruh dari luar.

b) Pembawaan dan Kepribadian

Menurut peristilahan teori keturunan, pembawaan

berarti potensi yang diwariskan saja dan kepribadian berarti

propensiti/ bakat-bakat yang dikembangkan.

c) Lingkungan

Seperti halnya pembawaan, lingkungan merupakan

suatu faktor yang potensial, artinya mengandung suatu

kemungkinan untuk memberi pengaruh dan terwujudnya

kemungkinan ini, tergantung susunan pembawaan dan

lingkungan.

d) Epilepsi

Menurut Lombrosso dalam buku karya Hurwits

(1986:47), Epilepsi dan kejahatan merupakan gejala yang erat

berhubungan Hal ini diperkuat oleh kesimpulan Exner bahwa

berdasar pengamatannya mengenai terjadinya kriminalitas

pada sanak keluarga (relatives) orang epileptik yaitu bahwa


19

keturunan epileptik, lebih banyak meliputi orang-orang yang

terutama mempunyai kecenderungan ke arah kejahatan yang

mengandung kekerasan dan kejahatan seks.

e) Psikopati (penyimpangan kepribadian)

Exner dalam Hurwits (1986:49) berpendapat bahwa

ada bukti nyata tentang adanya korelasi yang di warisi antara

psikopati dan kejahatan, bahwa residivis punya derajad/nilai

cacat psikopatik yang tinggi dan langsung.

2) Latar Belakang secara Sosiologik

Stephan Hurwitz berpendapat: Ada hubungan timbal balik

antara faktor-faktor umum sosial politik dan bangunan

kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik

dalam lingkungan kecil maupun besar. (Hurwitz 1986:86)

Menurutnya latar belakang kejahatan dari segi sosiologis

dapat dilihat dari tinjauan-tinjauan sebagai berikut: (Hurwitz

1986: 86-102)

a) Faktor-faktor ekonomi; Sistem ekonomi;

Menurut Step Han Hurwitz (1996 : 112) berikut ini :

”Faktor-faktor sungguhnya dari terjadinya kejahatan adalah :


Kondisi-kondisi ekonomi buruk pada golongan rakyat yang
status sosial dan ekonominya rendah dan biasanya
mempunyai banyak anak. Hal ini disebabkan kurang
mendapatkan ketrampilan, lebih sering ganti pekerjaan, lebih
tinggi angka pengangguran, lebih rendah upahnya, lebih buruk
keadaan perumahan, lebih banyak kesukaran ekonomi karena
tidak sesuai penghasilan dan pengeluaran dan lain-lain”
20

b) Faktor-faktor mental : agama;

Menurut Step Han Hurwits (1986:93) faktor mental

khususnya agama memang merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap terjadinya kejahatan, hal ini dapat

dilihat dari pendapat Hurwits sebagai berikut :

”...memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang


secara teratur diajarkan oleh bimbingan agama dan khusus
bersambung pada keyakinan keagamaan yang sungguh,
membangunkan secara khusus dorongan-dorongan yang kuat
untuk melawan kecenderungan-kecenderungan kriminil”.

c) Faktor-faktor pribadi : Umur;

Menurut Step Han Hurwitz bahwa faktor umur

merupakan faktor yang menyebabkan seseorang berbuat

kejahatan dapat dilihat seperti dalam kutipan berikut ini :

”Kecenderungan untuk berbuat anti sosial bertambah selama


masih sekolah dan memuncak antara umur 20 sampai 25,
menurun perlahan-lahan sampai umur 40, lalu meluncur
dengan cepat untuk berhenti sama sekali pada hari tua.
Kurve/garisnya tidak berbeda dari garis aktivitas lain yang
tergantung dari irama kehidupan manusia” (Step han Hurwits
1986 : 99)

d) Pendidikan;

Menurut Hurwits (1986:117), faktor pendidikan berpengaruh

terhadap terjadinya kejahatan, sebagaimana pendapatnya

berikut ini :

”Ditinjau dari sudut kriminologi, faktor positif dari sekolah


adalah: Setiap sekolah yang baik membuat anak-anak jadi
tertib bersekolah sehingga secara langsung dan tidak langsung
membentuk pribadinya”.
21

e) Ancaman atau takut pada suami

Faktor ancaman terkait dengan rasa takut menurut tuntutan

hidup berdasarkan pendapat Hurwits (1986) adalah :

”seseorang melakukan kejahatan bukan karena kehendaknya


sendiri, tetapi menurut tuntutan hidup dapat disebabkan oleh :
karena neigung/ inclination/ kecenderungan; karena weakness/
kelemahan; karena passion/ nafsu/ gelora/ cinta; karena
honour/ kehormatan; karena destituation/ kekurangan”.

b. Faktor-faktor Penyebab Kejahatan

Mengenai faktor-faktor penyebab melakukan kejahatan ini,

sudah sejak lama orang melakukan penelitian. Bahkan sudah banyak

sarjana menguraikannya, masing-masing mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Sehingga tidak didapatkan suatu kesepakatan yang bulat.

Mengenai hal ini hanyalah didapatkan kesepakatan, bahwa kejahatan

atau tindak pidana itu disebabkan oleh berbagai faktor yang saling

berkaitan.

W.A. Bonger (1982 : 73-142), dalam bukunya yang berjudul

“Pengantar Tentang Kriminologi”, membagi penyebab terjadinya

kejahatan itu atas empat mashab menurut perkembangan sejarahnya,

yaitu :

Mashab Itali atau mashab Antropologi, adalah aliran yang

mempelajari tentang penyebab terjadinya kejahatan dari keadaan fisik

si pelaku.

1) Mashab Perancis atau mashab lingkungan, adalah aliran yang


22

mempelajari penyebab terjadinya kejahatan dari keadaan

lingkungan si pelaku.

2) Mashab Bio-Sosiologis, adalah aliran yang mempelajari penyebab

terjadinya kejahatan atau tindak pidana dari unsur-unsur yang

terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik.

3) Mashab Spiritualis atau Mashab Neo-Spiritualis, dalah aliran yang

mempelajari tentang penyebab terjadinya kejahatan dari unsur

agama, unsur kerohanian punya arti penting dalam terjadinya

kejahatan.

Pendapat mengenai penyebab terjadinya kejahatan juga

diuraikan oleh beberapa pakar hukum, yang memiliki beraneka ragam

pendapat tentang penyebab terjadinya kejahatan, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Moelyo (1992 : 144) :

1) Sutherland : berpendapat bahwa, kejahatan berakar pada


organisasi masyarakat dan adalah suatu expresi atau
pencerminan organisasi masyarakat itu sendiri.
2) William Healily : menyatakan, bahwa konflik jiwa merupakan
sumber dari adanya kejahatan.
3) Plato : berpendapat, bahwa kekayaan yang belimpah atau
kemiskinan merupakan bahaya bagi moral dan kesusilaan.
4) Mashab Perancis : menyatakan bahwa, kejahatan timbul dari
faktor kemasyarakatan, faktor iklim dan faktor sosial.

Berdasarkan mashab-mashab tersebut, bahwa kejahatan

dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor.

Kejahatan merupakan tingkah laku manusia sebagai perbuatan

yang tidak disukai atau perbuatan jahat. Kejahatan adalah suatu gejala

masyarakat yang nyata, dan kejahatan harus diterima sebagai suatu

kenyataan.
23

A. Schaffenburg menggolongkan faktor terjadinya kejahatan atau

tindak pidana disebabkan, karena:

1) Pelakunya kebetulan mempunyai kesempatan.


2) Kejahatan itu telah direncanakan.
3) Kejahatan merupakan suatu pencaharian

Tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan

sebenarnya banyak dikemukakan oleh para pakar hukum, yaitu kaum

mashab. Seperti halnya kaum mashab lingkungan. Menurut kaum

mashab lingkungan dinyatakan bahwa :

1. Lingkungan memberikan kesempatan akan adanya kejahatan,

2. Lingkungan pergaulan memberikan contoh atau teladan,

3. Lingkungan ekonomi (kemiskinan dan kesengsaraan) juga

mempunyai pengaruh,

4. Demikian juga dengan lingkungan pergaulan yang berbeda-beda.

Bonger di dalam buku Step han Hurwits (1986: 22) dalam

penelitiannya mengumpulkan 7 faktor lingkungan sebagai penyebab

kejahatan, antara lain:

1. Terlantarnya anak-anak
2. Kesengsaraan
3. Nafsu ingin memiliki
4. Demoralisasi sexuil
5. Alkoholisme
6. Kurangnya peradaban
7. Perang.

Faktor lingkungan memang tidak hanya apa yang

dikemukakan oleh Bonger, masih banyak lagi dan juga ada yang

menyanggah pendapat tersebut. Sebab-sebab kejahatan tidak hanya


24

faktor lingkungan, tapi juga faktor biologi yang melekat pada pribadi

seseorang baik itu psikologis, atau kejiwaan.

1. Kelompok yang bersifat primair: pada umumnya mereka sangat

impulsif, reaksinya cepat dan amat peka terhadap penghinaaan-

penghinaan, mereka sering tidak bisa menahan diri terhadap

gejolak jiwa dan keinginan-keinginan yang mendadak. Amat sukar

menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang rutin atau menjemukan,

oleh karena itu mereka sering berganti pekerjaan. Malahan sering

tanpa pekerjaan dan hidup dalam kemiskinan. Mereka selalu

merasa kosong hati, lalu cenderung mencari perangsang-

perangsang yang kuat seperti minum-minuman keras, berjudi, dan

melakukan perbuatan-perbuatan yang banyak mengambil resiko

dan berbahaya. Mereka ini merupakan golongan tipe yang

dikuasai die Souveranitat des Augenbliks.

2. Type pemilik kecenderungan-kecenderungan egoistis yang hebat:

Mereka merupakan kelompok penjahat yang kejam, kepala dingin

dengan dipikir dan dirancang terlebih dahulu.

3. Type yang sentimentil dan memiliki kecenderungan-

kecenderungan yang altruistis: karena perasaan yang meluap-luap

dan motif yang emosionil mereka melakukan kemaksiatan dan

pembunuhan. Misalnya pembunuhan keluarga, anak istri atau

suami karena cita-citanya hendak membebaskan keluarganya dari

kemiskinan atau kehancuran mengancam mereka. Emosinya


25

sangat besar, hingga sering mereka itu amat takut bayangan-

bayangan dan pikirannya sendiri. Contoh-contoh lain ialah

penjahat-penjahat yang suka membakar karena dorongan perasaan

hati yang sunyi rasa kerinduan. Oleh aktivitasnya yang amat

sedikit dan perasaannya yang berlebih-lebihan hal ini membuat

mereka tidak pernah berani mengatasi segala kesukaran dalam

hidupnya, dan tidak mampu mencari jalan keluar. Dalam keputus-

asaan dan kebinasaan, lalu mereka melakukan kejahatan-

kejahatan.

4. Tipe yang neverous : mereka sering bertingkah laku yang histeris,

selalu gelisah dan dikejar-kejar oleh macam-macam dorongan

perasaan. Dalam golongan ini termasuk pembunuh-pembunuh

yang tidak mempunyai belas kasih pada sesama hidup. (Kartini

Kartono 1974 :50-151)

Dalam ilmu jiwa dapat dipelajari berbagai type manusia,

khususnya yang berhubungan dengan kejahatan atau yang mengarah

kepada suatu kejahatan. Misalnya type manusia yang cepat marah,

akan difitnah dan sebagainya. Hal tersebut karena dorongan jiwa,

seperti juga kejahatan pembunuhan, misalnya pembunuhan bayi (anak

kandungnya sendiri) hal tersebut akibat perasaan yang gelisah, takut,

pemalu lebih-lebih perasaan kalut. Di dalam faktor-faktor yang

menimbulkan terjadinya kejahatan atau tindak pidana telah banyak

sarjana yang menguraikannya sesuai dengan bidang keahliannya

masing-masing.Jadi dalam mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan


26

akan dijumpai berbagai macam faktor,dimana suatu faktor tertentu

dapat menimbulkan suatu kejadian tertentu, sedangkan faktor lain

menimbulkan jenis kejahatan yang lain pula.

Sebab-sebab terjadinya kejahatan ini adalah sangat komplek.

Dalam hal ini terlihat banyak sekali faktor-faktornya dimana faktor

yang satu dengan faktor yang lainnya saling pengaruh-

mempengaruhi.Secara umum dapatlah disebutkan bahwa faktor-faktor

yang menimbulkan kejahatan dibagi dalam 2 bagian, (Hari Saherodji

1980:35) yaitu:

a. Faktor Intern (faktor-faktor yang terdapat pada individu).

Faktor ini dilihat khusus dari individu-individu serta dicari

hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan.Hal ini

dapat ditinjau dari sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus dari

individu.

b. Faktor Extern (faktor-faktor yang berada di luar individu).

Faktor-faktor extern ini bepokok pangkal pada lingkungan.

Faktor-faktor extern inilah menurut para sarjana merupakan faktor

yang menentukan atau yang mendominir perbuatan individu ke

arah suatu kejahatan.

Masalah faktor extern ini meliputi:

a. Waktu kejahatan

b. Tempat kejahatan

c. Keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan


27

2. Pembunuhan

a. Pengertian Pembunuhan

Seperti diketahui bahwa pembunuhan, merupakan suatu

kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Pembunuhan merupakan

suatu perbuatan atau tindakan yang tidak manusiawi dan atau suatu

perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, karena pembunuhan

merupakan suatu tindak pidana terhadap nyawa orang lain tanpa

mempunyai rasa kemanusiaan. Pembunuhan juga merupakan suatu

perbuatan jahat yang dapat mengganggu keseimbangan hidup, keamanan,

ketentraman, dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Oleh

karena itu, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang tercela, ataupun

tidak patut.

Pengertian pembunuhan menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia, adalah perkara membunuh ; perbuatan (hal dan sebagainya)

membunuh. (Poerwadarminta 1976 : 169).

Pembunuhan secara yuridis diatur dalam pasal 338 KUHP, yang

mengatakan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja menhilangkan nyawa orang lain, karena


bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun”.

Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan

kesengajaan, adalah apabila orang tersebut memang menghendaki

perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat atau keadaan yang

timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali


28

oleh pelakunya.

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab

Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini, telah disebut

“pembunuhan”. (Lamintang 1985:10).

b. Jenis-jenis Pembunuhan

Tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan terhadap

nyawa. Pembunuhan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya :

1) Pembunuhan biasa (“Doodslag”).

Pembunuhan biasa ini sebagaimana biasa diatur dalam pasal

338 KUHP, yang pada pokoknya berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,


dihukum karena makar mati dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima belas tahun”

Menurut R.Soesilo, dalam bukunya yang berjudul Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana beserta komentar-komentarnya

lengkap pasal demi pasal, mengatakan bahwa :

a) Kejahatan ini dinamakan “makar mati” atau “pembunuhan”


(doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan
kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja , artinya
dimaksud , termasuk dalam niatnya.
b) Pembunuahan itu harus dilakukan dengan segera sesudah timbul
maksud untuk membunuh tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang.
(Soesilo 1996: 240)

2) Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (“Moord”).

Kejahatan ini diatur dalam pasal 340 KUHP, yang pada pokok

isinya adalah sebagai berikut :

”Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
29

merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan


rencana (“moord”), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Adapun yang menjadi unsur-unsur dari kejahatan yang

direncanakan terlebih dahulu (“moord”) ialah :

a) Perbuatan dengan sengaja ;

b) Perbuatan tersebut harus dilakukan dengan direncanakan terlebih

dahulu ;

c) Perbuatan tersebut dimaksud untuk menimbulkan matinya orang

lain.

Maksud direncanakan di sini, adalah antara timbulnya maksud

untuk membunuh dengan pelaksanaan itu, masih ada tempo bagi si

pembuat untuk dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimanakah

pembunuhan itu dilaksanakan.

Dari kedua pasal tersebut, yaitu pasal 338 KUHP dan pasal 340

KUHP tersebut dapat ditarik kesimpulan , bahwa yang dimaksud

dengan pembunuhan, adalah perbuatan sengaja yang dilakukan orang

terhadap orang lain dengan maksud untuk menghilangkan nyawa

tersebut.

Setelah penulis menguraikan tentang tindak pidana

pembunuhan, maka sekarang tiba saatnya penulis membahas tentang

bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan.

c. Bentuk-bentuk kejahatan Pembunuhan

Bentuk-bentuk kejahatan pembunuhan secara yuridis diatur dalam

Buku II, Bab XIX Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Karena


30

banyaknya bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan, maka yang akan

penulis bahas adalah bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan yang ditur

dalam pasal 338, 340, 341, dan pasal 342 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana.

1) Berdasarkan Pasal 338 KUHP

Aturan dalam pasal 338 KUHP ini disebut juga dengan

“kejahatan Pembunuhan dalam Bentuk Pokok”.

Diatas telah dijelaskan bahwa tindak pidana pembunuhan

dalam bentuk pokok ataupun yang oleh pembentuk Undang-undang

telah disebut dengan kata “doodslag” itu, diatur dalam pasal 338

KUHP. Sesuai dengan rumusannya yang asli dalam bahasa Belanda,

ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP ini berbunyi :

“Hij die opzettelijk een ander van het leven beroft, als schulding aan
doodslag, gestraft met gevengenis starf van ten hoogste vijftien
jaren”.(Lamintang 1985:24).
Yang artinya:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain
karena bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun “.

Dari rumusan ketentuan pidana mengenai kejahatan

pembunuhan yang diatur dalam pasal 338 KUHP diatas, orang dapat

mengetahui bahwa tindak pidana pembunuhan yang oleh pembentuk

undang-undang telah disebut dengan kata doodslag itu mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut:

a) “Pzetelijk” atau dengan sengaja.

b) “Beroven” atau menghilangkan.


31

c) “Het leven” atau nyawa.

d) “Een ander” atau orang lain. (Lamintang 1985:24).

Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu tindak pidana

materiil atau “materiil delict”, yaitu suatu tindak pidana yang baru

dianggap sebagai suatu tindak pidana apabila telah selesai

dilakukannya perbuatan yang dimaksud dan timbullah akibat itu,

dilarang atau tidak dikehendaki oleh undang-undang.

a) Unsur kesengajaan

Unsur kesengajaan ini adalah kesalahan dari tindak pidana

pembunuhan. Seperti kita ketahui bahwa dalam ilmu pengetahuan

hukum pidana, kesalahan itu ada 2 bentuk, yaitu:

(1) Kesalahan dalam bentuk kesengajaan (“opzet atau dolus”);

(2) Kesalahan dalam bentuk kelalaian (“culpa”).

Tentang arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali

dalam KUHP. Lain halnya dengan KUHP Swiss, dimana dalam

pasal 18-nya dengan tegas dikatakan, bahwa :

“Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan


menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan
sengaja”.(Moeljatno 1987:171).

Definisi kesengajaan dalam Memori Van Toelicting

adalah:

“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang


siapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan
diketahui”.(Moeljatno 1987 :171).
32

Apabila dihubungkan dengan rumusan pembunuhan, maka

kesengajaan ini baru dianggap ada apabila telah ada maksud

termasuk di dalam unsur niat, dan pembunuhan itu harus

dilakukan dengan sengaja sesudah timbul niat untuk membunuh

tersebut, tidak dipikir-pikir panjang, serta mengetahui atau

menyadari akan akibat yang akan timbul dari perbuatan tersebut.

Unsur kesengajaan dalam pembunuhan ini juga merupakan

kesengajaan yang ditujukan pada perbuatannya, yaitu perbuatan

lahiriyah sebagai penjelmaan dari kehendak. Misalnya, perbuatan

menembak, bahkan dapat berupa diam saja dalam hal seorang

wajib bertindak, seperti tidak memberi makan bayinya. Disamping

itu kesengajaan harus ditujukan pula pada akibat dari perbuatan

itu, yaitu hilangnya nyawa orang lain yang dibunuh itu. Akibat

hilangnya nyawa orang lain, inilah yang dilarang dan diancam

dengan undang-undang. Karena akibat yang dilarang dan diancam

oleh undang-undang, maka tindak pidana pembunuhan ini

merupakan tindak pidana material.

Dalam teori ada 3 corak kesengajaan yang berlaku bagi

tindak pidana pembunuhan, ketiga corak tersebut adalah:

1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan

(yang dekat) ; (“dolus directus atau opzet al oogmerk”)

2) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (“dolus eventualis

atau voorwaardelijk opzet”)


33

3) Kesengajaan dengan sadar kepastian (“opzet wet zekerheit

sbewuszijn atau noodzaheidwustzijn”).

Untuk kesengajaan sebagai maksud, si pelaku memang

benar-benar menghendaki perbuatan dan akibatnya.

Kesengajaan dengan sadar kepastian ini, baru dianggap

ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk

mencapai akibat yang menjadi dasar dari tindak pidana tersebut,

tetapi ia tahu bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan

tersebut. Dalam hal perbuatan mempunyai akibat yaitu:

1. Akibat yang memang dituju pelaku.

2. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu

keharusan untuk mencapai tujuan, akibat ini pasti timbul.

Sedangkan kesengajaan dengan sadar kemungkinan, adalah

keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi, kemudian

benar-benar terjadi ini.

b) Unsur menghilangkan nyawa orang lain

Dalam pengertian menghilangkan nyawa orang lain

terdapat 2 unsur, yaitu :

1) Adanya orang mati ;

2) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian itu.

Adanya orang mati secara misterius itu, harus dibuktikan

hubungan kausalnya dengan perbuatan orang lain yang

menyebabkan kematian itu. Hal ini penting untuk menentukan


34

tindak pidananya.

2) Berdasarkan Pasal 340 KUHP

Pasal 340 KUHP ini disebut juga dengan “pembunuhan dalam

bentuk yang memberatkan”. Bentuk-bentuk pembunuhan yang

memberatkan ini diatur dalam pasal 340 KUHP. Faktor yang

menyebabkan pembunuhan yang diatur dalam pasal 340 KUHP ini

menjadi lebih berat ancaman pidananya dari pembunuhan pokoknya,

ialah karena pelaksanaannya dilakukan dengan direncanakan terlebih

dahulu, dan juga adanya tempo bagi si pelaku untuk dengan tenang

memikirkannya. Misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan

itu dilakukan yang sebenarnya, tempo itu dapat dipergunakan untuk

membatalkan niatnya, tetapi tidak dipergunakan.

Pasal 340 KUHP :

“ Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas


nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Dari rumusan ketentuan tindak pidana pembunuhan dengan

direncanakan lebih dahulu diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana

pembunuhan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 340 KUHP itu

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. unsur dengan sengaja ;

b. unsur menghilangkan nyawa seseorang ;

c. unsur direncanakan terlebih dahulu.


35

Direncanakan lebih dahulu, diartikan antara timbulnya maksud

untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si

pelaku untuk dengan tenang memikirkannya, misalnya dengan cara

bagaimanakah pembunuhan itu dilakukan. Tempo ini tidak perlu lama,

yang penting ialah apakah didalam tempo itu si pelaku dengan tenang

masih dapat berpikir, yang sebenarnya masih ada kesempatan untuk

membatalkan niatnya tetapi tidak dipergunakan.

Menurut Wiryono Prodjodikoro (1986:69), dinyatakan bahwa :

Unsur perencanaan atau perancangan ini tidak perlu ada tenggang


waktu terlalu lama antara waktu perencanaan dan waktu melakukan
perbuatan pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu
yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rancangan
terlebih dahulu secara tenang. Ini semua tergantung dari keadaan
konkrit dari setiap peristiwa.

Dalam buku “Delik-delik khusus” , karangan P.A.F Lamintang

(1985:44) dikatakan adanya kenyataan, bahwa :

“Antara waktu penyusunan suatu rencana dengan waktu


pelaksanaannya itu terdapat suatu jangka waktu tertentu ‘tidak berarti’
bahwa dalam hal ini selalu terdapat suatu unsur direncanakan lebih
dahulu karena dalam jangka waktu tersebut mungkin saja pelakunya
tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk mempertimbangkan
secara tenang mengenai apa yang telah ia rencanakan”.

Menurut profesor Simon, Pertimbangan secara tenang itu

bukan hanya diisyaratkan bagi pelaku pada waktu ia “menyusun

rencana” dan “mengambil keputusannya” , melainkan juga pada

waktu ia melakukan kejahatannya.(Lamintang 1985:45).

Pembunuhan yang terdapat pada pasal 340 ini, dinamakan

pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu atau disebut juga


36

“moord”.

Menurut P.A.F. Lamintang dalam bukunya “Delik-delik

khusus” ditegaskan, bahwa ada perbandingan antara tindak pidana

yang diatur dalam pasal 338 KUHP dengan pasal 340 KUHP, bahwa

secara formal perbedaannya terletak pada ada dan tidak adanya unsur

direncanakan terlebih dahulu.

Untuk mengetahui sebenarnya tentang perbedaan antara

“doodslag” dan “moord” seperti yang dimaksud dalam kitab undang-

undang kita, perlu kiranya kita mengetahui pendapat Mr. Moderman

yang pada waktu KUHP kita dibentuk menjabat sebagai Menteri

Kehakiman Belanda:

“Perbedaan antara doodslag dan moord sama sekali bukan

terletak pada jangka waktu tertentu, yang terdapat antara “waktu

pengambilan keputusan” dengan “waktu pelaksanaannya”, melainkan

terdapat dalam sikap kejiwaan atau pemikiran tentang perilaku

selanjutnya dari si pelaku setelah pada dirinya timbul maksud untuk

melakukan sesuatu”.(Lamitang 1985 :48)

Dikatakan selanjutnya oleh Mr. Moodderman, bahwa :

“Suatu jangka waktu tertentu itu dapat marupakan petunjuk yang


berharga tentang ada atau tidak adanya suatu “perencanaan terlebih
dahulu”, akan tetapi ia bukan merupakan bukti tentang kenyataannya.
Barang siapa dengan segala ketenangan memutuskan untuk
membunuh orang lain dan setelah mempertimbangkannya, maka ia
adalah seorang pembunuh yang telah merencanakan terlebih dahulu
kejahatannya. Barang siapa karena terdorong oleh kemarahan telah
memutuskan untuk membunuh orang lain dan tidak pernah kembali
pada suatu suasana tenang untuk mempertimbangkannya kembali
dengan tenang melainkan dengan segera melaksanakan keputusannya
37

itu, maka ia adalah seorang pembunuh biasa, walaupun munkin benar


bahwa jangka waktu antara ia membuat keputusannya dengan jangka
waktu ia melaksanakan keputusannya itu adalah lebih lama dari
jangka waktu antara waktu membuat keputusan dengan waktu
pelaksanaannya”. (Lamintang 1985:49).

Menurut penulis yang paling pokok perbedaan antara pasal

338 dan pasal 340 KUHP, adalah terletak pada unsur direncanakan

terlebih dahulu dan adanya niat untuk melaksanakannya.

3) Berdasarkan Pasal 341 KUHP

Pasal 341 KUHP ini disebut dengan “pembunuhan dalam

bentuk yang lebih ringan dari bentuk pokoknya”. Faktor yang

menyebabkan pembunuhan yang diatur dalam pasal ini menjadi

ringan ancaman pidananya daripada pembunuhan dalam bentuk

pokoknya, adalah keadaan batin si pelaku, yaitu si ibu yang

melakukan pembunuhan terhadap anaknya sendiri. Anak yang

menjadi obyek pembunuhan itu biasanya adalah anak yang didapat

dari berzina atau hubungan kelamin yang tidak sah. Seorang wanita

yang hamil diluar perkawinan yang sah, akan menerima beban

psikologis berupa cemoohan dan ejekan. Semakin lama ia akan

semakin mengalami konflik-konflik batin dan ketegangan-ketegangan

jiwa yang sangat tinggi, sehingga untuk mengatasi konflik-konflik dan

ketegangan-ketegangan jiwanya ini dia ia akan menghilangkan nyawa

anaknya yang dilahirkan atau kelak dilahirkan.

Jadi konflik batin dan ketegangan jiwa yang begitu kuat

dirasakan oleh si ibu atau wanita tersebut telah membuat dia

menderita, maka ancaman pidana untuk si ibu atau wanita yang


38

melakukan tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam pasal 341

KUHP ini, lebih ringan dari pada pembunuhan dalam bentuk pokok,

yaitu yang diatur dalam pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana.

Pasal 341 KUHP :

Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada
saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja
merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri,
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Dari rumusan pasal 341 KUHP ini, kita dapat menemukan

klasifikasinya, yaitu pembunuhan anak (kinderdoodslag).

Unsur-unsur dari tindak pembunuhan anak yang diatur dalam

pasal 341 KUHP adalah sebagai berikut :

a) Unsur dengan sengaja ;

b) Unsur lainnya, yaitu :

(1) Seorang ibu

(2) Menghilangkan nyawa anaknya

(3) Pada saat dilahirkan atau tiada lama setelah dilahirkan

(4) Karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak.

Syarat terpenting dari pembunuhan ini adalah bahwa

pembunuhan anak itu dilakukan oleh ibunya dan didorong oleh

perasaan takut akan diketahui kelahiran anak tersebut. Apabila syarat

tidak ada, maka perbuatan ini dikenakan sebagai pembunuhan biasa.

Satu hal yang perlu diingat yaitu bahwa anak yang menjadi obyek

tindakan pembunuhan itu biasanya anak yang didapat karena berzina


39

atau hubungan kelamin diluar perkawinan.

4) Berdasarkan Pasal 342 KUHP

Pasal 342 KUHP ini disebut dengan “tindak pidana

pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu”, yang

berbunyi :

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena


takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya,
diancam karena melakukan pembunuuhan anak sendiri dengan
rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Dari rumusan ini pun dapat kita dapatkan, bahwa

klasifikasinya adalah pembunuhan anak sendiri dengan rencana

(kindermoord), dan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a) Unsur dengan sengaja ;

b) Unsur lainnya, yaitu :

(1) Seorang ibu,

(2) Menghilangkan nyawa anaknya,

(3) Direncanakan terlebih dahulu,

(4) Pada saat anak dilahirkan atau tiada berapa lama sesudah

dilahirkan atau tiada lama kemudian daripada itu,

(5) Karena takut ketahuan bahwa ia tidak berapa lama lagi akan

melahirkan anak.

Jika kita teliti lebih jelas, kelihatan bahwa unsur-unsur dari

pada pasal 341 dan pasal 342 KUHP ini hampir sama, kedua pasal ini

berbeda dalam hal saat pembentukan niat. Niat menghilangkan nyawa


40

anaknya pada pasal 342 KUHP terjadi atau timbul sebelum anaknya

lahir (tidak berapa lama lagi). Jadi, dalam pasal 342 KUHP ada unsur

direncanakan terlebih dahulu.

Sedangkan pada pasal 341 KUHP, niat untuk menghilangkan

nyawa anaknya ini tidak pernah ada. Keputusan untuk membunuh

anaknya datang secara tiba-tiba, bertepatan dengan saat kelahiran

anaknya atau tidak berapa lama sesudah itu, keputusan diambil karena

adanya perasaan takut akan ketahuan melahirkan anak.

Jadi suatu perbuatan menghilangkan nyawa seorang anak baru

diancam dengan ketentuan pasal 342 KUHP ini, jika

a) Pembunhan tersebut dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya

sendiri

b) Anak itu sedang dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah

dilahirkan,

c) Dengan alasan ibu dari anak itu didorong oleh perasaan takut akan

ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak,

d) Niat untuk melakukan tindakan itu telah ada sebelum anaknya

dilahirkan (telah direncanakan terlebih dahulu).

Dalam ketentuan ini pun syarat yang terpenting, yakni

pembunuhan itu dilakukan oleh ibunya dan didorong oleh perasaan

takut, serta niat untuk melaakukan tindakan itu telah ada sebelum

anaknya lahir. Anak yang menjadi obyek pembunuhan sesuai dengan

pasal 342 KUHP, ini pun biasanya anak yang didapat dari berzina
41

atau hubungan kelamin yang tidak sah.

Sebenarnya antara pasal 342 dan pasal 340 KUHP, terdapat

suatu persamaan. Persamaannya yaitu dalam kedua pasal tersebut,

pembunuhan itu dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.

Meskipun dalam kedua pasal ini mengandung persamaan, namun

kedua pasal ini pun juga mengandung perbedaan, yaitu dalam hal

pembentukan niat untuk menghilangkan nyawa itu. Adapun

perbedaan antara pasal 342 KUHP dan pasal 340 KUHP, adalah

sebagai berikut :

a) Dalam ketentuan pasal 342 KUHP, adalah :

Pembentukan niat dalam pasal ini, untuk menghilangkan nyawa

karena perasaan takut, yaitu takut ketahuan melahirkan anak atau

denagan kata lain bahwa niat atau kehendak untuk menghilangkan

nyawa timbul dalam keadaan tenang namun ada perasaan takut.

b) Sedangkan dalam ketentuan pasal 340 KUHP, adalah :

Pembentukan niat dalam pasal ini direncanakan dalam keadaan

tenang, dipikir-pikir terlebih dahulu untuk menghilangkan nyawa

orang lain.

Demikianlah uraian mengenai bentuk-bentuk tindak pidana

pembunuhan yang terdapat dalam pasal 338, 340, 341 dan pasal 342

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.


42

3. Pengertian Wanita

Wanita adalah seseorang yang telah dikodratkan oleh Tuhan, berjenis

kelamin biologis (seks) sebagai perempuan yang berciri-ciri menyusui, haid,

dan melahirkan serta memiliki rahim tidak dapat berubah, dipertukarkan, dan

berlaku sepanjang masa. (Kementrian Pemberdayaan Perempuan 2002 : 8).

Wanita merupakan kaum yang secara fisik kurang kuat dibandingkan

kaum pria, dan secara psikologis lebih banyak menggunakan perasaan dan

lemah lembut penuh kasih sayang, oleh karena itu kejahatan yang dilakukan

oleh kaum wanita, biasanya dilakukan karena keterpaksaan.

Sedangkan sebab-sebab kejahatan yang dilakukan oleh wanita secara

kuantitatif lebihrendah daripada yang dilakukan oleh kaum pria,menurut

pendapat Stephan Hurwitz adalah:

1. Secara biologik:
Karena wanita secara pisik kurang kuat, dan karena ada kelainan-kelainan
pisikyang khas yang berhubungan fungsi-fungsinya sebagai kelamin
lain,sehingga kriminalitasnya berkurang.
2. Secara sosiologik :
1) Lebih terlindung oleh lingkungan karena tempat bekerja di rumah
dengan tanggung jawab hanya mengenai rumah tangga.
2) Kurang minum,minuman keras. (Hurwitz 1986 :100).

Para pelaku kejahatan akan dipidana sesuai dengan kejahatan yang

telah dilakukan dan akan memperoleh pembinaan serta bimbingan di

Lembaga Pemasyarakatan, begitu pula terhadap wanita yang melakukan

kejahatan.
43

B. PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA BULU

SEMARANG

1. Pembinaan

Pembinaan terhadap narapidana dengan sistem pemasyarakatan

sebagai misi kemanusiaan dan pekerjaan besar dalam politik kriminal, perlu

sekali pemikiran yang mendalam terhadap kesan-kesan seperti itu agar

menjadi langkah awal dukungan yang diharapkan dari masyarakat dan syarat

pokok untuk menyelenggarakan konsepsi “Community treatment” dalam

pemasyarakatan. (Bambang poernomo 1993 : 225)

Tetapi di jaman modern sekarang ini perkembangan pembinaan

narapidana sudah cukup manusiawi, sehat, bersifat realitas dan progresif. Hal

ini sudah tertuang dalam usul rencana kitab undang-undang hukum pidana

baru dari Badan Pembina Hukum Nasional tahun 1987 dalam pasal 47,

dimana tujuan pemidanaan adalah:

a. Pemidanaan bertujuan untuk:

1) Mencegah dilakukannnya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan,

sehingga menjadikannnya orang yang baik dan berguna.

3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat.
44

b. Pembinaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia. (Bambang Poernomo

1988:33).

Hal ini dipertegas dengan undang-undang Nomor 12 tahun 1995

tentang sistem kemasyarakatan pasal 5 bab II mengenai pembinaan, bahwa

sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :

a. pengayoman;

b. persamaan perlakuan dan pelayanan;

c. pendidikan;

d. pembimbingan;

e. penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;

g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu.

Tahap-tahap pembianaan narapidana, menurut Bambang Poernomo

mulai periode institusi ( intra mural) dan terus beralih pada periode non

institusi (ekstra mural ) sampai pada akhir proses pembinaan diliputi oleh

kegiatan yang penuh resiko. Namun demikian arah pembinaan narapidana di

luar tembok adalah rasional. Pembinaan secara rasional harus berusaha

keras untuk memperkecil kesan Lembaga Pemasyarakatan merupakan

kehidupan masyarakat mini yang ditata dengan pola autoriter. ( Bambang

Poernomo 1993 : 225)


45

Menurut Undang-undang Nomor 12 tahun1995, penjelasan pasal 6

pembinaan secara ekstra mural yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan

disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga binaan masyarakat

(narapidana) yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan

mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan secara ekstra mural juga

dilakukan oleh BAPAS ( Badan Pemasyarakatan) yang disebut integrasi,

yaitu proses pembibingan warga binaan pemasyarakatan yang telah

memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-

tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.

Sedangkan berdasarkan penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Pembinaan dan

pembimbingan Warga binaan Pemasyarakatan meliputi program pembinaan

dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan

kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar agar Warga

Binaan Pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa, dan

bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan

pembinaan bakat dan ketrampilan agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat

kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung

jawab.

Demikian juga pembinaan terhadap narapidana wanita yang sedang

menjalankan pidananya mempunyai arti penting bagi kehidupan mendatang,

untuk itulah lembaga pemasyarakatan diperlukan untuk perawatan phisik atau

non phisik. Untuk berhasilnya pembinaan terpidana diperlukan perlengkapan-


46

perlengkapan terutama bermacam-macam bentuk atau bidang yang sesuai

dengan tingkat pengembangan semua segi kehidupan terpidana dan tenaga-

tenaga pembina yang cukup cakap dan penuh pengabdian.

Berdasarkan UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pasal 7

bahwa pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Petugas pemasyarakatan

yang berdasarkan pasal 8 petugas pemasyarakatan merupakan pejabat

fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan,

pengamanan, dan pembimbingan warga Binaan Pemasyarakat.

Sedangkan metode pembinaan narapidana menurut Drs. C.I. Harsono

merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan , agar dapat secara

efektif dan efisien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan

perubahan dalam diri narapidana, baik perubahan dalam berperilaku, atau

dalam bertingkah laku. (Harsono 1995 :341)

Salah satu metode pembinaan menurut Harsono adalah metode

pembinaan berdasarkan situasi, dalam pembinaan berdasarkan situasi

(Situational treatment method) yaitu pembina harus dapat merubah cara

berpikir narapidana, untuk tidak tergantung kepada situasi yang menyertai

dalam pembinaan, tetapi harus menguasai situasi tersebut, sehingga

pembinaan dapat diterima dengan baik, lengkap dan dapat dipahami secara

sempurna. Dengan menguasai situasi dalam pembinaan , maka petugas atau

pembina dapat memberikan dua pendekatan kepada narapidana, yaitu

(Harsono 1995 : 344-350):


47

a. Pendekatan dari atas (Top down approach)

b. Pendekatan dari bawah (Bottom up approach)

Perlu diperhatikan juga kapasitas maksimum dari sebuah penjara

sebab hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap bentukan karakter

selanjutnya. seperti yang dikatakan Mr. R.A. Koeshoen :

Seorang narapidana didalam kamar bersama dengan sendirinya akan

hilang rasa susilanya, rasa malunya, rasa halusnya, “sehingga dalam keadaan

yang sepi (menyendiri) tersebut akan memberikan kesempatan bagi

narapidana wanita tersebut merenung dan berusaha untuk menganalisa apa-

apa yang telah dilakukan sehingga akan timbul rasa penyesalan yang dalam

dan berusaha memperbaiki segala apa yang telah diperbuatnya. (Koeshoen

1961:150).

Selanjutnya untuk menghapuskan rasa bosan yang tanpa pengharapan

tersebut, diperlukan latihan keahlian yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Pula pendidikan, yang didukung dengan adanya perpustakaan, sarana

hiburan, pelajaran rohani yang diadakan secara berkala dan teratur. Memang

sangat penting memberikan pandangan-pandangan dan menimbulkan rasa

optimis bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan.

2. Lembaga Pemasyarakatan

Ilmu kriminologi bukan saja digunakan untuk mengetahui sebab-

sebab seseorang melakukan kejahatan, tapi juga dapat digunakan dalam

pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pengawasan kejahatan,


48

dengan demikian kuantitas kejahatan dapat ditekan jumlahnya. Dalam hal ini

ada dua metode pencegahan:

a. Pencegahan umum (general prevention) dengan program yang umum dan

luas untuk menghindarkan orang-orang supaya tidak melakukan suatu

perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hal ini sangat tergantung dari

politik suatu negara dalam hal memperkembangkan kesejahteraan

rakyatnya. Metode ini bersifat preventif. (pengertian pencegahan umum

dalam batas yang luas).

b. Pencegahan khusus yaitu suatu usaha untuk mengurangi atau menekan

jumlah kejahatan dan berusaha melakukan atau berbuat sesuatu kejahatan.

Metode ini bersifat represif.(Sanusi 1977:34)

Dalam hal ini pula Bonger menghendaki pencegahan yang

diutamakan menurutnya mencegah kejahatan adalah lebih baik dari pada

mendidik menjadi orang baik kembali.(Bonger 1962:192)

Untuk itulah penegakan hukum dan keadilan sangat diperlukan

ditengah-tengah masyarakat. Ada tiga komponen atau tiga unsur/syarat yang

memungkinkan hukum dan keadilan ditegakkan:

Pertama: Diperlukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi

masyarakat

Kedua : Adanya aparat penegak hukum yang profesional dan bermental

tangguh atau memiliki integritas yang terpuji

Ketiga : Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan

dilaksanakannya penegakan hukum. (Baharudin Lopa 1987 :4)


49

Dengan adanya pencegahan tersebut, yaitu yang bersifat preventif

atau represif diharapkan dapat mengurangi atau menekan jumlah kejahatan

baik yang dilakukan seseorang atau bekas narapidana laki-laki atau wanita.

Pencegahan terjadinya kejahatan sangat penting dan harus diutamakan

karena perbuatan kejahatan atau tindak pidana akan mengganggu

perkembangan sektor-sektor sosial ekonomi atau menganggu kesejahteraan

sosial pada umumnya dalam pengertian yang luas. Untuk itulah perlu

dilakukan upaya pencegahan terhadap pelaku kejahatan atau tindak pidana.

Sumber dasar pemikiran reaksi pidana berpola pada (1) ajaran

menuntut balas (revindicative) dan (2) ajaran hukuman (punitieve). Pola yang

kedua muncul karena alasan untuk menyempurnakan kelemahaan dari pola

yang pertama. Selanjutnya untuk memperbaiki kelemahan yang terdapat

dalam pola yang kedua juga dikembangkan berbagai variasi teori pidana,

antara lain berupa teori prevensi umum, teori prevensi khusus, memperbaiki

kerugian masyarakat, mengasingkan si pembuat yang berbahaya dan lain-

lain. (Bambang Poernomo 1982 : 29-30)

Menurut pendapat Bambang Poernomo (1993 : 119) dalam bukunya

yang berjudul Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana &

Penegakkan Hukum Pidana bahwa pembaharuan pelaksanaan pidana penjara

yang dikembangkan secara internasional mempunyai konsepsi dasar atas dua

prinsip tujuan pidana dengan beberapa alternative variasinya :

a. Upaya pelaksanaan pidana penjara yang didasarkan perikemanusiaan

dengan cara memperluas usaha kelonggaran pidana untuk menjauhkan


50

pengaruh buruk tembok penjara.. Berbagai alternative dari upaya baru

tersebut berupa bentuk pidana bersyarat, pelepasan bersyarat, cuti

bersyarat, serta peningkatan remisi, asimilasi, integrasi/orientasi sosial

lainnya sampai bentuk pidana penjara ditempay terbuka (open prison)

b. Perlakuan cara baru terhadap narapidana dengan pendekatan pembinaan di

dalam masyarakat serta lingkungannya. Berbagai usaha pembinaan yang

mengandung unsur bimbingan dan ketrampilan yang bersifat edukatif,

korektif dan defensif serta mencakup aspek individu dan sosial

Kedua prinsip pembaharuan pelaksanaan pidana penjara tersebut

merupakan suatu kebijaksanaan yang ditempuh oleh masyarakat

internasional untuk terpidana agar terhindar dari bahan tiruan kejahatan yang

dipelajari di dalam tembok diantara sesama narapidana, dan disamping itu

mengurangi stigma sosial, prisonisasi serta residivis.

Sistem pemasyarakatan sebagai sub sistem penegakkan hukum pidana

harus mengandung tiga dimensi teori tujuan pidana secara terpadu. Dengan

demikian konsekuensinya adalah perlu diusahakan pelayanan hukum sebagai

bagian penegakkan hukum yang diperluas untuk membantu pelaksanaan

pidana penjara dan menopang peranan dari petugas hukum di Lembaga

Pemasyarakatan. (B.Poernomo 1993 : 120)

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang

sistem kemasyarakatan yang dimaksud dengan sistem kemasyarakatan sesuai

pasal 1 ayat 2 adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembin

warga binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan


51

antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas

warga binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri,

dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat

hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pengertian Lembaga Pemasyarakatan sesuai pasal 1 ayat 3 Undang-

undang nomor 12 tahun 1995 adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

narapidana

Sementara itu pada pasal 14 ayat 1 disebutkan tentang hak-hak narapidana

yaitu:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun perawatan

jasmani;

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, Penasihat Hukum atau orang tertentu

lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. Mendapatkan kesempatan ber asimilasi, termasuk cuti mengunjungi


52

keluarganya;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas;

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Disini peran lembaga pemasyarakatan memudahkan pengintegrasian

dan penyesuaian diri dengan kehidupan masyarakat. Tujuannya: “Agar

mereka dapat merasakan bahwa sebagai pribadi dan warga negara Indonesia

yang mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara seperti

pribadi dan warga negara Indonesia lainnya serta mereka mampu

menciptakan opini dan citra pemasyarakatan yang baik”. (Departemen

Kehakiman RI,11)

Tentang sistem pemasyarakatan itu sendiri, Bambang Poernomo

(1982:183), berpendapat sebagai berikut:

“Suatu elemen yang berinteraksi yang membentuk satu kesatuan yang

integral, berbentuk konsepsi tentang perlakuan terhadap orang yang

melanggar hukum pidana di atas dasar pemikiran rehabilitasi, resosialisasi

yang berisi unsur edukatif, korektif, defensif dan yang beraspek pada individu

dan sosial.”

Seperti dalam pemasyarakatan tersebut, dinamakan stelsel progresip,

sehingga bentuk kejahatan itu sendiri akan mempunyai klasifikasi sendiri,

menurut jenis, motif, dan cara.

Pengertian progresip menurut Bahroedin adalah sebagai berikut:

Arti progresip adalah kemajuan dengan setingkat demi setingkat yang


terkandung di dalamnya adalah pemberian perbaikan nasib kepada orang-
53

orang terpenjara yang bersangkutan dengan secara menungkat seimbang


dengan tingkatan kemajuan dalam memperbaiki kelakuannya, disertai dengan
bertambah besarnya tanggung jawab atas kelakuannya sendiri.(Bahroedin
1966:28).

Dengan demikian dapatlah diketahui betapa pesatnya perkembangan

yang telah terjadi dalam perlakuan kepada narapidana. Koesnoer melihat

asas kepenjaraan jaman dahulu seperti dibawah ini:

Mencegah prinsip kepenjaraan pada waktu itu ialah melindungi

masyarakat terhadap penjahat selama ia masih dalam rumah penjara”.

Sehingga peugas penjara pada semua bagian akan melakukan tugas

pembinaan dengan latar belakang yang menjurus kepada agar narapidana

menjadi takut dan jera untuk melakukan kejahatan lagi serta menjadi

peringatan bagi masyarakat lain untuk tidak melakukan kejahatan. Hal ini

berakibat petugas yang berada di penjara akan melakukan/ melaksanakan

tugasnya dengan sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan. (Koesnoen

1952: 16).

3. Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Pembaharuan pidana penjara bukanlah menghapus jenis tindakan

pidana penjara tapi merupakan usaha pergantian dari kepenjaraan menjadi

sistem pemasyarakatan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa

kepenjaraan sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang

dalam kehidupan sehari-hari selalu berpedoman dan berlandaskan Pancasila.

Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha Lembaga Pemasyarakatan

untuk membina narapidana, untuk mengenal diri sendiri, beriman dan


54

bertakwa, mendapatkan ketrampilan, serta berguna bagi keluarga dan

masyarakat serta tidak lagi melakukan kejahatan.

Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dala rangka

mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien agar narapidana

dapat mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa pembagian Lembaga

Pemasyarakatan menurut kategori, baik usia maupun jenis kelamin. (Harsono

1995 : 80)

Lembaga Pemasyarakatan khusus wanita di Indonesia antara lain

terdapat di kota Malang, Semarang, Tangerang, serta Medan. Hal tersebut

diatur di dalam Undang-undang Pemasyarakatan Nomor 12 tahun 1995, pasal

12 ayat 1, yang berbunyi :

“Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan


(LAPAS) dilakukan penggolongan atas dasar: a. umur ; b. jenis kelamin ; c.
lama pidana yang dijatuhkan ; d. jenis kejahatan ; dan e. kriteria lain yang
sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.”

Sedangkan dalam ayat 2 menyebutkan bahwa :

“Pembinaan narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)


dilakasanakan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita”

Tujuan didirikan Lembaga Pemasyarakatan Wanita adalah untuk

memisahkan antara narapidana laki-laki dan narapidana wanita demi faktor

keamanan dan faktor psikologi. Cara pembinaan narapidana wanita tidak jauh

berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya, hanya sedikit

kekhususan dimana di dalam LP Wanita diberikan pembinaan ketrampilan

seperti menjahit, menyulam, mengkristek, dan memasak bahkan dalam LP

Wanita diberikan cuti haid yang merupakan salah satu pelaksanaan


55

pembinaan dan dalam hal pekerjaanpun terdapat kekhususan yaitu pada

narapidana wanita sifat pekerjaannya tidak begitu berat, sedangkan pada

narapidana laki-laki sifat pekerjaannya agak berat.

Pembinaan di dalam LP Wanita disesuaikan dengan kemampuan

serta kebutuhan wanita, serta dibekali ketrampilan serta pekerjaan yang

diharapkan dapat berguna setelah ia kembali ke masyarakat serta

keluarganya.

4. Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem,

maka pembinaan narapidana memiliki beberapa komponen yang bekerja

saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. (Harsono 1995 : 5). Beberapa

komponen-komponen tersebut antara lain; falsafah, pendekatan sistem,

klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, dan orientasi pembinaan.

Falsafah pembinaan lembaga pemasyarakatan adalah Pancasila.

Kesepakatan nasional menggunakan Pancasila sebagai falsafah dari semua

segi dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sangat mendasari penggunaan

falsafah ini. Sedangkan tujuan pembinaan adalah pembinaan dan bimbingan,

dengan tahap-tahap admisi/orientasi, pembinaan dan asimilasi. Tahap

admisi/orientasi dimaksudkan, agar narapidana mengenal cara hidup,

peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya. Dalam tahap pembinaan,

narapidana dibina, dibimbing agar tidak melakukan tindak pidana di

kemudian hari apabila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Asimilasi

dimaksudkan upaya penyesuaian diri, agar narapidana tidak menjadi


56

canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, apabila telah habis

pidananya atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti menjelang bebas, atau

pembebasan karena mendapat remisi. (Harsono 1995: 17)

Pada pendekatan sistem, dalam sistem pemasyarakatan menurut

Harsono (1995-14 ) adalah security aprroach, artinya pendekatan keamanan

masih merupakan bagian yang penting, sebab itu narapidana diklasifikasikan

menurut berat / ringannya tindak pidana yang dilakukan, menurut lama

pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan. Kemudian narapidana digolongkan

menjadi B-I, B-II-a, B-II-b, dan B-III. Klasifikasi narapidana dapat dilihat

dari tabel berikut ini :

Tabel 1 Klasifikasi narapidana menurut lamanya pidana

Klasifikasi Lama Pidana

B-I > 1 tahun

B-II-a 4 bulan sampai 12 bulan

B-II-b 1 bulan sampai 3 bulan

B-III Pidana kurungan 1 bulan

Kalsifikasi B-I terdiri atas: residivis, pembunuhan berencana,

perampokan, pencurian dengan kekerasan ataupun narapidana yang dianggap

berbahaya atau membahayakan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem

klasifikasi tersebut, hanya berpengaruh terhadap sistem pengawasan

pemasyarakatan yang terbagi kedalam tiga sistem klasifikasi, yaitu maximum

security, medium security serta minimum security. Maximum security

diberikan kepada narapidana klasifikasi B-I, sedangkan medium security


57

diberikan kepada narapidana yang lebih ringan pidananya atau masuk dalam

kategori berat, tetapi telah mendapat pembinaan dan menunjukkan sikap serta

tingkah laku yang baik selama di Lembaga Pemasyarakatan, sedangkan

mereka yang masuk kedalam minimum security adalah narapidana yang telah

mendapat pembinaan secara khusus dan telah dinyatakan laik untuk

mendapatkan pengawasan ringan.

Pada sistem perlakuan terhadap narapidana, konsepsi pemasyarakatan

telah menempatkan narapidana bukan hanya sebagai obyek, melainkan

memperlakukannya sebagai subyek. Narapidana didudukkan sejajar dengan

manusia lain serta harga diri mereka lebih dibangkitkan. Perlakuan dan

pengaturan yang keras dikendorkan dan narapidana dibina, agar kelak setelah

keluar tidak lagi mengulangi perbuatannya dan bisa beradaptasi dengan

masyarakat.

Sedangkan pada sistem orientasi pembinaan, sifatnya adalah bottom

up approach. Sebagai bottom up approach maka pembinaan terhadap seorang

narapidana disesuaikan dengan bakat serta minat seorang narapidana.

Sedangkan pada sifat pemberian pekerjaan kepada seorang narapidana

adalah lebih bersifat pemberian pembinaan dengan melatih bekerja bagi

narapidana, agar kelak keluar dari Lembaga Pemasyarakatan dapat

menerapkan kepandaiannya sebagai bekal hidup dan tidak lagi melakukan

tindak pidana. Namun kendala yang dihadapi adalah setelah narapidana

tersebut keluar ternyata banyak perusahaan yang sulit menerima mereka

bekerja di perusahaan, hal ini dikarenakan perusahaan tersebut tidak mau

mengambil resiko yang mungkin timbul akibat memperkerjakan seorang


58

mantan narapidana. Apalagi tenaga lain yang bukan narapidana cukup

tersedia di masyarakat.

Komponen lain dalam pembinaan narapidana adalah sarana, dan salah

satu sarana yang terpenting adalah bangunan, khususnya bentuk bangunan.

Dalam sistem pemasyarakatan, semua bentuk bangunan penjara masih tetap

digunakan, hanya namanya saja yang diubah menjadi Lembaga

Pemasyarakatan.

Fasilitas serta sarana di Lembaga Pemasyarakatan berasal dari

Departemen Kehakiman dan HAM, yang diajukan oleh Kalapas dengan

menggunakan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja, untuk kemudian

diajukan melalui Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Kehakiman dan

HAM.

Sedangkan elemen-elemen yang terkait dengan pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan meliputi:

a. Pemerintah / petugas

b. Narapidana

c. Masyarakat/ keluarga

Pada sistem pemasyarakatan, narapidana diperlakukan sebagai subyek

pembinaan dan diperlakukan secara manusiawi. Tujuannya tidak lagi sebagai

pembalasan dan penjeraan, tetapi sebagain pembinaan. Sebagai subyek

narapidana, diberi kesempatan untuk membina dirinya sendiri. (Harsono

1995: 36)

Instansi pemerintah yang terkait dengan pembinaan adalah

Departemen Agama, Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan di


59

Lingkungan dan kebudayaan , Departemen Perindustrian, dan Pemerintah

Daerah.

Dalam sistem pemayarakatan dimunculkan pentingnya hubungan

narapidana dan masyarakat. Narapidana lebih diberi kesempatan untuk

berhubungan dengan keluarga dan masyarakat. Sedangkan Petrus Irwan

Panjaitan (1995 : 41-42) :

“Unsur masyarakat adalah adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat
beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah
melanggar hukum serta narapidana adalah narapidana juga nantinya setelah
lepas menjalani hukuman akan kembali ke masyarakat. Hali ini berarti bahwa
pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan tidak cukup. Pembinaan
hanyalah sebatas masa hukuman. Oleh karena itu, lanjutan pembinaan ada di
masyarakat. Implikasinya masyarakat bertanggung jawa atas kelangsungan
kehidupan sosial ekonomi bekas narapidana.

Selain itu, dalam pembinaan, pihak swasta juga dilibatkan menurut

Petrus Panjaitan (1995: 277) peranan swasta meliputi:

a. Penyediaan tenaga profesional yang ahli seperti psikolog atau pekerja

sosial.

b. Penyediaan tenaga pelatih (instruktur) dan peralatan kerja untuk bengkel

kerja sebagai pusat pendidikan ketrampilan bagi narapidana sampai

kepada penyediaan bahan baku serta pelemparan barang-barang hasil

produksi narapidana.

c. Pihak swasta diharapkan dapt menerima para narapidana setelah

menjalani proses pidana, bagi narapidana yang memnuhi syarat.

d. Penyediaan sebagian dana untuk pembiayaan narap idana selama

menjalani hukuman.
60

C. KERANGKA TEORI / KERANGKA PIKIR

Gambar 1. Kerangka Teori

WANITA SEBAGAI PEMBAWA


F. BIOLOGIK KEBAIKAN DENGAN SIFAT KEIBUAN F.SOSIOLOGIK

Latar belakang
Biologik / Sosiologik

Kejahatan Pembunuhan

Penanganan Penegak Hukum

Polisi (Sebagai Penyidik) Kejaksaan Pengadilan Lembaga Pemasyarakatan


wanita

Pembinaan dan Pembimbingan

Bertaqwa, Berkepribadian, Bakat dan


Ketrampilan, Bertanggung jawab

DAPAT DITERIMA, DAN BERPERAN BAGI


KELUARGA DAN MASYARAKAT
61

Wanita secara fisik merupakan kaum yang lemah lembut, begitu pula

secara sosiologik, wanita lebih realistik dan lebih banyak menggunakan

perasaan, sehingga wanita merupakan kaum penuh kasih sayang, serta lebih

banyak berperan sebagai makhluk pembawa kebaikan dengan sifat

keibuannya, namun ada juga wanita yang melakukan kejahatan.

Namun demikian apabila dibandingkan secara kuantitatif, kejahatan

yang dilakukan wanita, rata-rata masih lebih rendah daripada yang dilakukan

kaum pria. Tentang hal ini tepat kiranya apabila dikemukakan pendapat Step

han Hurwitz berikut ini :

a. Pendapat Biologik

Menurut pendapat ini, bahwa secara fisik wanita itu kurang kuat,

dan karena ada kelainan-kelainan fisik yang khas berhubungan fungsi-

fungsi sebagai kelamin lain, sehingga kriminalitasnya berkurang.

b. Pendapat Sosiologik

Pendapat ini dipandang lebih realistik, karena wanita itu :

c. Lebih terlindung oleh lingkungan, karena tempat bekerja di rumah,

dengan tanggung jawab hanya mengenai rumah tangga.

d. Kurang minum-minuman keras ( Step han Hurwitz 1986 : 100)

Salah satu kejahatan yang paling meresahkan bagi masyarakat adalah

kejahatan pembunuhan, meskipun banyak dilakukan oleh kaum pria, namun

banyak juga wanita yang melakukan kejahatan tersebut bahkan ada yang

lebih kejam daripada yang dilakukan oleh kaum pria.


62

Peran Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu lembaga

penagakkan hukum, sangat dibutuhkan sebagai upaya pencegahan atau

penaggulangan kejahatan, disamping tempat rehabilitasi bagi narapidana.

Begitu pula di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang, lembaga

pemasyarakatan ini selain sebagai tempat pemidanaan, juga sebagai tempat

yang memiliki fungsi sosial. Sehingga diharapkan narapidana yang menjadi

penghuni Lembaga Pemasyarakatan ini, dapat memperoleh pembinaan,

pembimbingan, dan dituntun untuk menjadi warga negara yang baik.

Menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan penjelasan pasal 7 ayat 2, Pembinaan dan Pembimbingan

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan meliputi program pembinaan dan

bimbingan berupa kegiatan pembinaan kepribadian, dan kegiatan pembinaan

kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan

watak agar menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab

kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan

kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan ketrampilan.Sehingga

diharapkan setelah masa pemidanaan selesai dari Lembaga Pemasyarakatan ,

mereka memiliki bakat dan ketrampilan, serta menjadi manusia yang bebas

serta bertanggung jawab, dan diterima serta berperan bagi kelurga serta

masyarakat.
63

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam usaha mencari bahan-bahan yang berhubungan dengan materi

skripsi ini, penulis melaksanakan serangkaian metode penelitian sebagai berikut:

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di suatu Lembaga pemasyarakatan khusus wanita

Semarang. Dari lembaga pemasyarakatan ini penulis memperoleh data yang

sangat berguna untuk menyelesaikan penulisan hukum yang didapat dari

wawancara dengan narapidana dan petugas atau pembimbing lembaga

pemasyarakatan.

B. Responden

Responden yang dapat memberikan informasi serta data yang penulis

butuhkan serta menunjang penulisan skripsi ini adalah:

1. Narapidana di Lembaga pemasyarakatan wanita Semarang, khususnya bagi

pelaku kejahatan pembunuhan

2. Petugas atau pengawas yang berada di lembaga pemasyarakatan Bulu,

Semarang.

Berikut ini daftar nama responden Narapidana serta Petugas LP Wanita kelas IIA

Semarang

64
64

Tabel 2 Daftar responden narapidana


No Nama Usia Agama
1 Cornelia 38 Katholik
2 Lina Mayasari 24 Islam
3 Mistiayah 25 Islam
4 Sutri 30 Islam
5 Supriyati 37 Islam
6 Chasmuni 24 Islam
7 Zamronah 22 Islam
8 Mitun Jayanti 27 Islam
Sumber : wawancara dengan ke 8 orang narapidana

Tabel 3 Daftar Responden Petugas


No Nama Jabatan
1 Suzana Tri Agustin, Bc.IP Kasubsi Bimpas
2 Sri Utami, Sst Staf bagian bimpas
3 Sri Utami, S H Staf bagian registrasi

C. Sumber Data

1. Data Primer

Besumber pada data yang didengar langsung selama mengadakan

penelitian dengan cara wawancara/interview langsung dengan narapidana,

juga dengan petugas yang berstatus pegawai biasa dan sebagai pembina di

Lembaga Pemasyarakatan Bulu di Semarang.

Wawancara penulis dengan petugas adalah mengenai latar belakang

masing-masing narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan serta

pembinaan yang meliputi proses tahapan pembinaan serta kegiatan-kegiatan


65

bagi narapidana khususnya narapidana yang melakukan kejahatan

pembunuhan.

Sedangkan wawancara penulis dengan narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan, yaitu mengenai latar belakang mereka melakukan

kejahatan pembunuhan, serta pembinaan-pembinaan yang mereka dapatkan

selama menjalani proses pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

kelas II A Semarang.

2. Data Sekunder

Data yang dipelajari dari berbagai literatur yang berhubungan dengan

materi penelitian dan segala peraturan-peraturan, serta yang berkaitan

dengan penelitian ini, serta juga putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Studi Kepustakaan

a. Bahan Hukum Primer menurut Burhan Ashshofa S.H adalah bahan yang

isinya mengikat karena dikeluarkan oleh Pemerintah (Ashshofa

1996:103). Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan peraturan

perundangan yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan, serta putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

b. Bahan Hukum Sekunder

Data yang dipelajari dari berbagai literatur yang berhubungan dengan

materi penelitian dan literatur karangan para sarjana hukum terkemuka,


66

dan tulisan-tulisan ilmiah populer baik yang dalam surat kabar maupun

mass media lainnya, termasuk tulisan-tulisan dalam internet.

c. Bahan Hukum Tersier

1) Kamus Umum Bahasa Indonesia

2) Kamus hukum

2. Studi Lapangan dengan mengadakan penelitian secara lengkap pada obyek

yang diteliti, untuk memperoleh data yang diperukan meliputi :

a. Wawancara/interview, yaitu proses tanya jawab dimana dua orang atau

lebih berhadap-hadapan secara fisik dan merupakan alat pengumpulan

informasi, dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah dirinci.

Sedangkan menurut Burhan Ashshofa, S.H., interview merupakan cara

yang digunakan untuk memperoleh keterangan, secara lisan guna

mencapai tujuan tertentu. Dan menurutnya, jenis-jenis pertanyaan dalam

interview antara lain:

1) Pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku atau pengalaman

informan,

2) Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai,

3) Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan atau situasi emosi

informan,

4) Pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan (informasi faktual)

5) Pertanyaan yang berkaitan dengan alat-alat perasa,

6) Pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakan demografi informan,


67

7) Pertanyaan yang berkaitan dengan urutan kegiatan. (ashshofa

1996:54)

Interview akan dilakukan terhadap responden, yaitu narapidana,

serta petugas lembaga pemasyarakatan. Pada teknik pelaksanaannya,

penulis menggunakan metode wawancara tidak berencana, menurut

Ashsofa, dalam bukunya yang berjudul metode penelitian hukum,

menyatakan bahwa metode wawancara tidak berencana (tidak

berpatokan), tidak berarti bahwa peneliti tidak mempersiapkan dulu

pertanyaan yang akan diajukan, tetapi peneliti tidak terlampau terikat

pada aturan-aturan yang ketat. Alat yang digunakan adalah pedoman

wawancara yang memuat pokok-pokok yang ditanyakan. (Ashsofa 1996:

96)

Pada pelaksanaan wawancara (interview) ini, terdapat beberapa

hal yang sangat mendukung hingga terlaksananya proses wawancara

antara penulis dengan para responden, hal-hal yang mendukung tersebut

antara lain :

a) Dukungan dari para petugas Lembaga Pemasyarakatan yang

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan interview

kepada para narapidana khususnya narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan. Selain itu dukungan tersebut juga berbentuk

respon positif dari para petugas dalam membantu penulis

mendapatkan informasi serta data yang penulis butuhkan selama

melaksanakan penelitian.
68

b) Narapidana bersifat kooperatif selama menjalani proses wawancara.

Namun selain dukungan-dukungan tersebut, terdapat juga

beberapa hambatan selama menjalani proses interview, hambatan-

hambatan tersebut antara lain :

a) Pada proses recording, seringkali para narapidana merasa tidak

nyaman dan merasa curiga kepada penulis, karena mereka tidak

mengetahui tujuan sebenarnya dari proses recording tersebut.

b) Pada proses pencatatan langsung, terkadang penulis lebih

berkonsentrasi untuk menulis jawaban dari para responden, sedangkan

responden menjawab (berbicara) terlalu cepat. Hal ini dapat

menghambat proses interview.

c) Pada pertanyaan-pertanyaan yang sensitif/peka, khususnya kepada

narapidana, yaitu ketika penulis bertanya mengenai alasan yang

melatar belakangi hingga mereka melakukan pembunuhan, mereka

dapat tersinggung, karena mengingatkan mereka akan masa lalu.

Hal-hal yang penulis sebutkan diatas itulah, yang merupakan

hambatan-hambatan dalam proses interview antara penulis dengan para

responden. Kekurangan-kekurangan maupun hambatan-hambatan ini

diharapkan mampu diperbaiki, sehingga pelaksanaan wawancara dapat

berlangsung lancar serta efisien dengan hasil maksimal seperti yang

diharapkan.

b. Observasi dengan pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap

obyek penelitian untuk memperoleh gambaran secara umum tentang


69

obyek penelitian. Penulis melakukan observasi mengenai :Proses

pembinaan narapidana khususnya bagi narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan, serta kegiatan-kegiatan yang harus dijalani para

narapidana selama menjalani proses pemidanaan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita kelas IIA Semarang.

Observasi yang penulis lakukan di LP wanita klas IIA Semarang

ini meliputi :

1) Pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan yang dilaksanakan di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA.

2) Pengamatan terhadap antusias para narapidana terhadap kegiatan-

kegiatan yang merupakan proses pembinaan di LP Wanta Klas IIA

Semarang.

3) Pengamatan terhadap hasil dari pembinaan, seperti hasil kerajinan

ketrampilan para narapidana.

4) Pengamatan terhadap ucapan serta ekspresi muka serta gerak tubuh

para narapidana selama penulis melakukan interview, khusunya

terhadap pertanyaan-pertanyaan yang peka.

Observasi yang penulis lakukan antara lain :

1) Pada tanggal 27 September 2005.

2) Pada tanggal 3 Oktober 2005

3) Pada tanggal 6 Oktober 2005

4) Pada tanggal 10 Oktober 2005

5) Pada tanggal 12 Oktober 2005


70

6) Pada tanggal 14 Oktober 2005

7) Pada tanggal 5 Januari 2006.

Selama melaksanakan observasi, penulis tidak menghadapi

hambatan yang berarti, hanya penulis tidak dapat mendokumentasikan

kegiatan-kegiatan yang dijalani oleh para narapidana, hal ini sebagai

langkah pihak Lembaga Pemasyarakatan untuk melindungi privaci para

narapidana.

c. Studi Dokumentasi, yaitu cara penyelidikan untuk memperoleh

keterangan atau informasi dari tata usaha atau catatan-catatan tentang

gejala atau peristiwa masa lalu. Pada penyelidikan ini penulis meneliti

dokementasi identitas narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan

di bagian registrasi serta dokumen-dokumen mengenai kegiatan para

narapidana.

Pada proses ini, penulis mempelajari denah Lembaga

Pemasyarakatan serta mendatangi bagian registrasi untuk, memeriksa

dokumen-dokumen para narapidana yang melakukan kejahatan

pembunuhan, dari dokumen ini, penulis mengetahui identitas lengkap

para narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan.

E. Metode Analisa Data dan Pengolahan Data

Untuk mendapatkan data yang objektif, penulis menggunakan jenis

metode triangulasi untuk menguji objektivitas data dengan metode observasi,

interviev (wawancara), serta studi dokumentasi.


71

Triangulasi sebagai taknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan

sumber, metode, penyelidikan dan teori. Teknik triangulasi yang banyak

digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Permeiksaan keabsahan

data melalui triangulasi dengan sumber data dapat dicapai dengan jalan:

1. Membandingkan data hasil pengamtan dengan data hasil wawancara.


2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dan yang
dikatakan secara psibadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang sewaktu diteliti dengan sepanjang
waktu
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat
pandangan orang sepserti rakyat biasa, pejabat pemerintah, orang
berpendidika, orang yangberbeda
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan
(Moleong 2000:178)
Namun dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan jalan

membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara penulis dengan

para responden . Hal ini khusunya terkait dengan proses pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

Selain hal tersebut, penulis juga membandingkan hasil wawancara

kepada responden yaitu para narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan

dan para petugas, serta membandingkan dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan, yaitu terkait dengan latar belakang wanita melakukan kejahatan

pembunuhan. Pada proses ini penulis membandingkan keterangan para

narapidana mengenai identitas pribadi mereka dari hasil wawancara serta isi

dokumen yang memuat identitas mereka dari bagian registrasi.


72

Sedangkan pada tahap analisis data, penulis menggunakan metode

kualitatif deskriptif yaitu mulai dari pengumpulan hal ikhwal yang berhubungan

dengan latar belakang dan penyebab wanita melakukan kejahatan pembunuhan,

cara-cara mereka melakukan tindak pidana pembunuhan tersebut, serta cara

pembinaan narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan Bulu Semarang, yang

bersumber dari keterangan-keterangan responden, yakni narapidana serta

pengawas di Lembaga Pemasyarakatan.

Langkah selanjutnya dalam menganalisis dan menginterpretasi data

kualitatif adalah merumuskan pernyataan-pernyataan, kemudian memeriksa

apakah data yang telah dikumpulkan tersebut dapat mendukung teori yang telah

dirumuskan. (Ashshofa 1966: 66 ). Kemudian menguraikan secara terperinci hal-

hal tersebut, sehingga dalam penyajian ini para pembaca dengan mudah dapat

memperoleh gambaran tentang isi skripsi.

Akhirnya berdasarkan uraian yang dikemukakan, maka akan ditarik

kesimpulan secara induktif secara keseluruhan, sebagai jawaban atas

permasalahan yang disoroti.

Berikut ini adalah bagan metode penelitian seperti yang penulis kutip

dalam buku karya Miles dan Huberman (1999: 120):

Bagan Penelitian :

Pengumpulan Penyajian Data

Reduksi Data

Penarikan
Kesimmpulan
verivikasi
73

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang terletak di jalan M.G.R.

Soegijopranoto nomor 59 Kecamatan Semarang Tengah kota Semarang,

Propinsi Jawa Tengah. LP Wanita Semarang atau LP kelas II A Semarang ini,

sebelumnya bernama “Penjara Wanita Bulu” penjara seluas 13.975 m2 ini

didirikan pada tahun 1894, yang merupakan warisan peninggalan Belanda.

Tepatnya pada tanggal 27 April 1964, penjara wanita Bulu berganti

nama menjadi “Lembaga Wanita kelas II A Semarang”, perubahan nama ini

berkaitan dengan perubahan sistem kepenjaraan di Indonesia, khususnya

mengenai sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama

pemasyarakatan yang mulai dikenal pada tahun 1964 ketika dalam konferensi

dinas kepenjaraan di Lembang, tanggal 27 April 1964, Dr. Sahardjo,S.H

melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem

kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Pada saat itu Lembaga

Pemasyarakatan Wanita kelas II A Semarang ini berada di bawah Direktorat

Jenderal Bina Tuna Warga. Perubahan terakhir hingga sekarang, LP Wanita

kelas II A Semarang ini berada dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Seperti telah penulis kemukakan diatas, perubahan nama ini tidaklah sekedar

pergantian nama saja, melainkan lebih jauh merupakan perubahan terhadap


74

sistem perlakuan terhadap narapidana, dimana narapidana bukan hanya

sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek. Bentuk bangunan pun mengalami

perubahan, yaitu pada sistem sebelumnya bentuk bangunan menyerupai

penjara, namun pada sistem pemasyarakatan bentuk bangunan perlu

dirancang secara khusus, serta memperlakukan narapidana dengan cara yang

manusiawi serta bermartabat sesuai dengan falsafah pemasyarakatan baru,

yaitu Pancasila.

Lembaga Pemasyarakatan Wanita kelas II A Semarang merupakan

Lembaga Penegakan Hukum terakhir, pada proses hukum. LP ini sesuai

tujuannya ialah sebagai tempat pembinaan serta tempat pembimbingan bagi

para pelanggar hukum yang telah resmi menerima vonis pengadilan.

Pembinaan narapidana meliputi pembinaan kepribadian yang diantaranya

terdiri atas perbaikan segi mental dan rohani, pembinaan kesadaran berbangsa

bernegara, pembinaan kemampuan intelektual, seperti kejar paket A, serta

pembinaan kesadaran hukum. Kemudian meliputi juga pembinaan

kemandirian yang terdiri atas ketrampilan kerajinan tangan seperti ;

menyulam, menjahit, mengkristek, ketrampilan kecantikan seperti salon, serta

ketrampilan yang mendukung usaha-usaha industri, seperti masak-memasak.

Selain itu LP Wanita Semarang juga mengadakan pembinaan yang bersifat

rekreasi, seperti olahraga, kesenian, bahkan kepramukaan.

Lembaga Pemasyarakatan Semarang sebagai salah satu LP kelas II A

karena memenuhi kriteria sebagai berikut :


75

a. Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang yang dapat

menampung hingga 465 orang narapidana.

b. Lokasi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang terletak di Ibukota

Jawa Tengah , Semarang.

c. LP Wanita Semarang mengadakan pembekalan kerja dan memiliki jenis

kegiatan yang dapat meningkatkan ketrampilan, seperti menjahit,

menyulam, ketrampilan masak-memasak, dsb.

2. Kondisi Fisik Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang ini dibangun di atas

tanah seluas 16.226 m2 dengan luas 13.975 m2 yang terdiri dari : (Data

sekunder LP Wanita Semarang)

a. Rumah dinas : 1 buah

b. Kantor : 13 ruang

c. Ruang kunjungan : 1 ruang

d. Ruang ketrampilan : 1 ruang

e. Gereja : 1 ruang

f. Ruang kelas : 1 ruang

g. Mushola : 1 buah

h. Ruang karantina (sell) : 1 blok

i. Kamar tahanan : 1 blok

j. Kamar narapidana : 8 blok

k. Salon : 1 ruang
76

l. Koperasi / kantin : 1 ruang

m. Ruang perpustakaan : 1 ruang

n. Ruang makan WBP : 1 ruang

o. Balai pertemuan : 1 buah

p. pos jaga : 3 tempat

q. Sumur : 11 buah

r. Gudang : 4 ruang

s. Kamar mandi / WC : 4 ruang

t. Dapur : 1 buah

Secara umum kondisi LP Wanita Semarang dalam keadaan baik dan

terawat, dan didukung oleh kondisi tanah yang baik, hal ini sangat

mendukung terlaksananya kegiatan berkebun serta tanaman hias di lokasi ini.

3. Pola Organisasi LP Wanita Semarang

Lembaga Pemsyarakatan Wanita Semarang dalam menjalankan

pembinaan dan pembimbingan terhadap narapidana sesuai UU nomor 12

tahun 1995 pasal 7 ayat 1 diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan

oleh petugas pemasyarakatan. Berikut ini ialah struktur organisasi LP Wanita

Semarang;
77

Gambar 2 Struktur organisasi LP Wanita Kelas II A SMG


Berdasarkan Keputusan Menteri No.M.1.PR.7.3.85 tentang
Organisasi Tata Kerja LP kelas II A

KEPALA

KA KPLP
Ka. Sub Bag TU
Ka. Sksi Bimbingan Ka Seksi Kegiatan Ka. Seksi Administrasi
Napi/Anak Didik kerja Keamanan dan Tatip

Ka. Ur. Umum Ka Ur. Kepeg


Kesautuan Keu
Pengamanan
Ka. Sub Seksi Ka. Sub Seksi
Keamanan Pelaporan DanTatib
Ka. Sub Seksi Bim. Ka. Sub seksi
Kemasyarakatan dan Sarana kerja
keperawatan

Ka. Sub Sekdi Bimb.


Ka. Sub Seksi Kerja & Pengelolaan
Registrasi Hasil Kerja

Sumber: SK Menteri Kehakiman RI No. M01 PR.07.03 tahun 1985


78

Adapun tugas masing-masing bidang adalah sebagai berikut :

a. Sub Bagian Tata Usaha

Sub Bagian Tata Usaha dipimpin oleh seorang KASUBAG Tata

Usaha, sub bagian ini mempunyai tugas untuk melaksanakan urusan

ketatausahaan dan rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan. Sub Bagian

ini terdiri dari:

Urusan Kepegawaian dan Keuangan, sub bagian ini dipimpin oleh

seorang kepala urusan kepegawaian dan keuangan. Sub bagian ini

memiliki tugas melaksanakan urusan kepegawaian dan keuangan.

Urusan umum dipimpin oleh seorang kepala urusan umum, sub

bagian ini memiliki tugas mengurusi surat menyurat serta mengurusi

perlengkapan rumah tangga.

b. Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik (ANDIK)

Seksi ini dipimpin oleh seorang Kepala Seksi (KASI) Bimbingan

Narapidana dan Anak Didik. Tugas seksi Binadik adalah memberikan

bimbingan pemasyarakatan kepada narapidana/anak didik. Bagian ini

terbagi menjadi dua sub seksi, yaitu:

1) Sub seksi Registrasi

Sub seksi ini, dipimpin oleh seorang Kasubsi Registrasi dan

mempunyai tugas melaksanakan pencatatan dan membuat statistik

serta mendokumentasikan foto, identitas serta sidik jari narapidana.


79

2) Sub seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan

Sub seksi ini dipimpin oleh seorang Kasubsi Bimbingan

Kemsyarakatan dan perawatan.

Tugas bagian ini adalah memberikan bimbingan dan

penyuluhan rohani, memberikan pelatihan olah raga, pengurusan

perpustakaan, menangani pemberantasan Buta Huruf, melayani

riset/kunjungan, menangani kantin, melayani kegiatan-kegiatan

narapidana, mengurusi surat menyurat, membuat SK asimilasi, cuti

penglepasan serta mengurusi kesehatan dan memberikan perawatan

bagi narapidana.

c. Seksi Kegiatan Kerja

Bagian ini dipimpin oleh Kasi Kegiatan Kerja, dan memiliki tugas

memberikan pembekalan ketrampilan serta pembimbingan kerja,

mempersiapkan sarana prasarana dan mengelola ketrampilan hasil kerja.

Bagian ini terdiri atas dua bagian:

1) Sub seksi Bimbingan Kerja dan Pengolahan Hasil Kerja

Sub seksi ini dipimpin oleh seorang kasubsi Bimbingan dan

lolahker, dan memiliki tugas memberikan petunjuk seta bimbingan

latihan kerja serta mengelola hasil kerja narapidana.

2) Sub seksi Sarana Kerja

Sub seksi ini dipimpin oleh seorang Kasubsi Sarana Kerja dan

memiliki tugas mempersiapkan sarana prasarana serta memfasilitasi

sarana kerja.
80

d. Seksi Administrasi Keamanan dan Tata tertib

Bagian ini di pimpin oleh seorang Kasi Administrasi Kamtib dan

bidang ini, empunyai tugas mengatur jadwal tugas, penggunaan

perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, menerima laporan

harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta

menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata

tertib. Bidang ini terdiri dari:

1) Sub seksi Keamanan

sub seksi keamanan dipimpin oleh seorang Kasubsi keamanan

dan bertugas mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan

pembagian tugas keamanan.

2) Sub seksi Pelaporan dan Tata Tertib

Sub seksi ini dipimpin oleh seorang Kasubsi Pelaporan dan

Tatib dan memiliki tugas menerima laporan harian dan berita acara

dari satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan laporan

berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib.

e. Kesatuan Pengamanan LAPAS (KPLP)

KPLP dipimpin oleh seorang kepala dan membawahi petugas

pengamanan LAPAS. Kedudukan kepala KPLP berada di bawah Kepala

Lapas dan bertanggung jawab langsung kepada kepala Lapas.

Tugas KPLP adalah:

1) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana.

2) Melakukan pengawalan keamanan dan ketertiban.


81

3) Melakukan pengawalan penerimaan. Penempatan, dan pengeluaran

narapidana.

4) Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan.

5) Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan.

4. Koordinasi Kerja

Lembaga Pemasyarakatan dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga

Pemasyarakatan (Kalapas), dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini terdiri

atas bagian-bagian yang memiliki tugas serta kewenangan masing-masing.

Bagian-bagian tersebut masih dibagi ke dalam sub bagian atau sub seksi yang

bertujuan mewujudkan efektivitas kerja.

Pembagian sub seksi atau sub bagian ini berdasarkan kesamaan tugas

serta kewenangannya. Sub bagian Tata Usaha terdiri atas urusan kepegawaian

serta urusan umum. Bagian ini memiliki tugas melaksanakan urusan ke tata

usahaan. Kemudian Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik yang dibagi

ke dalam sub seksi registrasi serta sub seksi Bimbingan Kemsyarakatan dan

Perawatan. Selanjutnya adalah bagian Kegiatan Kerja yang memiliki fungsi

meemberikan pembekalan ketrampilan serta pembimbingan kerja serta

mempersiapkan sarana prasarana kerja, terbagi kedalam dua sub bagian,

yakni sub seksi bimbingan kerja dan pengolahan kerja serta sub seksi sarana

kerja. Kemudian adalah seksi Administrasi Keamanan dan Tata tertib, yang

dibagi kedalam sub seksi keamanan dan sub seksi pelaporan dan tata tertib.

Serta satu bagian khusus yang memiliki tugas dibidang keamanan, yaitu
82

Kesatuan Pengamanan Lapas, bagian ini berada di bawah kepala Lapas serta

bertanggung jawab langsung kepada kepala Lapas.

Bagian-bagian ini dalam menjalankan tugasnya, saling berkoordinasi.

Sedangkan Kalapas sendiri memiliki tugas-tugas sebagai berikut:

a. Membentuk serta membuat program pembinaan pengamanan dan

pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta perawatan tahanan

dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.

b. Memberikan penilaian terhadap pelaksanaan program pembinaan,

pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

c. Penerimaan keluhan dan pengaduan dari Narapidana untuk diteruskan

kepada UPT.

d. Mengambil tindakan cepat terhadap disiplin dan pelanggaran hukum oleh

narapidana/WBP (wawancara dengan Sri Utami, staf bagian bimpas

4 Januari 2006).

Pada proses sidang TPP, Kalapas dilibatkan dalam pemberian

disposisi, sebagai bahan yang akan dibahas dalam sidang TPP tersebut.

Sedangkan pada peberian asimilasi Kalapas mendapat delegasi dari Menteri

Hukum dan HAM untuk memberikan Surat Keputusan (SK) dalam hal izin

kerja bakti, olah raga, upacara dengan masyarakat dan bimbingan latihan di

luar LP. Pertimbangan dikeluarkannya SK ini harus didasarkan dari hasil

Penelitian Masyarakat (Litmas) yang dilakukan oleh Badan Pemasyarakatan

atau Bapas, sedangkan usulan asimilasi terhadap salash satu narapidana

berasal dari pihak LP sendiri. Proses Litmas sendiri, melibatkan keluarga


83

narapidana serta masyarakat di sekitar tempat tinggal keluarga narapidana,

dengan jalan mengadakan wawancara apakah mereka siap menerima kembali

Narapidana tersebut. Hasil dari penelitian tersebut kemudian oleh Bapas

diserahkan oleh pihak LP.

Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan tugas pembinaan

kepada narapidana bukan hanya dilakukan oleh para petugas lemaba

pemasyarakatan, namun juga melibatkan masyarakat. Seperti kutipan

wawancara penulis dengan salah satu staf bagian Bimpas :

”....dalam pembinaan, masyarakat juga terlibat...” (wawancara dengan Suzana


Tri Agustin, kasubsi Bimpas tanggal 4 Januari 2006).

Peran petugas pemerintah serta kelompok masyarakat, sangat besar

pengaruhnya dalam pembinaan narapidana. Petugas pemerintah tersebut

berasal dari berbagai instansi, antara lain Departemen Agama, Departemen

Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga kerja, dan sebagainya

(wawancara dengan Susana Tri Agustin tanggal 4 Januari 2006).

Selain dengan instansi pemerintah, LP juga mengadakan kerjasama

dengan LSM-LSM serta psikolog, maupun pemuka agama, dan hal ini

didasarkan atas permintaan pihak LP, apabila mereka memandang perlu

untuk menggunakan jasa mereka dalam mendukung proses pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan.

Pihak luar yang juga terlibat dalam proses pembinaan adalah hakim

Pengawas dan Pengamat (wasmat). Hakim Wasmat adalah hakim yang

ditunjuk oleh UPT Pengadilan Negeri. Hakim wasmat memiliki tugas pokok
84

melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan,

apakah vonis / keputusan pengadilan telah dilaksanakan sebagai mana

mestinya.

Berdasarkan petikan wawancara penulis dengan Suzana Tri A.

Mengenai hakim wasmat adalah :

”Hakim wasmat ini, datang secara berkala, mereka akan


mengumpulkan narapidana dan mengadakan wawancara (interview) kepada
para narapidana satu persatu mengenai pembinaan serta pembimbingan
selama mereka berada di dalam LP, penelitian ini merupakan bagian dari
pengawasan terhadap putusan atau vonis pengadilan”. (wawancara tanggal 4
Januari 2006).

Pengawasan hakim wasmat ini bukan hanya terhadap narapidana yang


masih menjalani pemidanaan di LP, namun juga terhadap narapidana yang
dijatuhi pidana bersyarat dalam upaya mengawasi dan mengamati putusan
pidana serta mengetahui tingkah laku narapidana, dan hakim wasmat dapat
meminta0 Kalapas untuk memberi informasi mengenai tingkah laku
narapidana.

5. Latar Belakang Wanita Melakukan Kejahatan Pembunuhan

Ada beberapa faktor yang telah dapat penulis kumpulkan berdasarkan

hasil penelitian di lapangan, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Semarang. Sebelum penulis uraikan satu persatu tentang latar belakang dan

penyebab wanita melakukan kejahatan pembunuhan, terlebih dahulu perlu

diketahui bahwa narapidana yang berada di LP Wanita Semarang sampai saat

ini berjumlah.48 Dari 48 orang narapidana tersebut, terdapat 8 orang yang

melakukan kejahatan pembunuhan.

Adapun jenis kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh ke-8

narapidana tersebut, mereka telah melanggar ketentuan peraturan perundang-


85

undangan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana yaitu melanggar ketentuan yang terdapat dalam KUHP.

Dari hasil penelitan penulis, diperoleh informasi bahwa yang menjadi

korban dari kejahatan pembunuhan ini meliputi orang dewasa dan anak (anak

kandung sendiri). Pada kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh wanita

dewasa ini, status wanita tersebut berada dalam ikatan perkawinan.

Pembunuhan yang dilakukan oleh wanita terhadap anak, pada

umumnya dilakukan oleh mereka karena suaminya tidak memperhatikan serta

tidak bertanggung jawab menafkahi.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas dan para

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang, maka berikut ini

adalah hasil penelitian penulis mengenai latar belakang wanita melakukan

kejahatan pembunuhan.

a. Lemahnya Penghayatan terhadap Agamanya

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Lembaga

Pemasyarakatan Semarang, ternyata semua narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan adalah beragama. Daftar agama yang dipeluk oleh

para narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan dapat dilihat

dalam tabel berikut ini ;


86

Tabel 4 Daftar Agama narapidana pelaku kejahatan pembunuhan

No. Agama Jumlah


1. Islam 7 orang
2 Katholik 1 orang
Jumlah 8 orang
Sumber : wawancara dengan ke 8 orang narapidana pelaku pembunuhan

Dari 8 orang narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan,

yang mengaku beragama Islam adalah 7 orang. Sedangkan yang mengaku

beragama Kristen hanya 1 orang saja. Berikut petikan wawancara penulis

dengan seorang narapidana berinisial Z yang berasal dari Purwodadi,

yang mengatakan bahwa :

“Sebelum masuk ke LP Semarang ini, saya tidak pernah menjalankan


perintah agama, shalat saja tidak bisa, apalagi mengaji”(wawancara
penulis dengan Z, pada tanggal 12 Oktober 2005).
Sedangkan petikan wawancara penulis dengan narapidana yang

lain, yang berinisial L adalah sebagai berikut :

“Dulu saya beragama Nasrani, Kristen, tetapi sekarang agama saya Islam,
karena dulu saya nikah secara Islam” (wawancara penulis dengan L
tanggal 6 Oktober 2005).

b. Faktor Umur

Bardasarkan hasil penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Kelas II A Semarang, faktor umur seseorang ternyata juga sangat

berpengaruh terhadap terjadinya kejahatan pembunuhan. Hal ini

disebabkan karena umur seseorang sangat berpengaruh terhadap emosi

serta kekuatan fisik seseorang.

Berikut ini adalah daftar umur narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan :
87

Tabel 5 Daftar umur narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan

Umur Jumlah
17-27 5
28-38 2
39-49 1
jumlah 8
Sumber : wawancara dengan ke 8 orang narapidana

Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut dapatlah disimpulkan,

bahwa kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan oleh narapidana wanita

yang berumur kurang dari 27 tahun, yakni yang berumur 17 sampai 38

tahun lebih tinggi daripada narapidana yang berumur 39 tahun keatas.

Sedangakan narapidana yang berumur antara 17 hingga 27 tahun,

menunjuka angka tertinggi. Hal ini disebabkan, karena keadaan fisik

seseorang pada usia tersebut sangat kuat, sehingga kejahatan itu cenderung

dilakukan oleh mereka yang berumur antara 17 sampai dengan 27 tahun.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara penulis dengan

narapidana berinisial C, yang berumur 25 tahun berikut ini :

”...saya udah ngga bisa menahan kejengkelan saya yang saya pendam
selama ini melihat suami saya tidak pernah memperhatikan saya, padahal
saya lagi hamil, dia lebih memperhatikan adik kandungnya yang duduk
di kelas 1 SD, karena kejengkelan itulah saya sendiri menjemput adik
ipar saya itu dari sekolah, lalu saya ajak ke sungai, di sungai itulah saya
tenggelamkan kepalanya dengan tangan saya, hingga meninggal...”.
(wawancara penulis dengan C tanggal 6 Oktober 2005).

c. Faktor Pendidikan

Dari hasil penelitian penulis diperoleh informasi mengenai daftar

pendidikan terakhir narapidana yang melakukan kejahatan


88

pembunuhan,yang dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 6 Daftar pendidikan narapidana pelaku kejahatan pembunuhan

No Pendidikan Jumlah

1. SD 6 orang

2. SMP 2 orang

3 SMA 0

Jumlah 8 orang

Sumber : wawancara dengan ke 8 orang narapidana

Berdasarkan tabel, sebanyak 8 orang narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan, 6 diantaranya adalah tidak tamat Sekolah Dasar,

bahkan 1 orang narapidana buta huruf, sedangkan yang mencapai tingkat

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, adalah sebanyak 2 orang narapidana

dan satu orang diantaranya tidak tamat. Dan tidak ada satupun narapidana

yan melakukan kejahatan pembunuhan yang pendidikan terakhirnya

mencapai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.

Terkait dengan faktor pendidikan, berikut petikan wawancara

penulis dengan narapidana berinisial Cn, berikut ini :

”Saya hanya bersekolah hingga kelas 2 SD, tapi cukup untuk bisa
membaca dan menulis...”

Sedangkan menurut narapidana yang lain yang berinisial C yang

mengaku buta huruf, karena hanya bersekolah hingga bangku kelas 1 SD,

mengatakan bahwa ia tidak tahu bahwa membunuh merupakan kejahatan

yang melanggar hukum, berikut ini petikan wawancara penulis dengan C

pada tanggal 6 Oktober 2005 :


89

“Saya tidak tahu kalau membunuh orang itu akan dijatuhi hukuman,
tahu-tahu ada polisi yang mencari-cari saya setelah kejadian itu”
(wawancara dengan C tanggal 6 Oktober 2005).

d. Faktor Ekonomi

Dari hasil penelitian penulis di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Semarang, terkait dengan faktor ekonomi, penulis menggunakan istilah

pekerjaan atau mata pencaharian dan berdasarkan pekerjaan para

narapidana, menurut hemat penulis bahwa dari 8 narapidana yang

melakukan kejahatan pembunuhan, 1 orang mempunyai status ekonomi

menengah. Sedangkan sisanya yaitu 7 orang narapidana mempuntai status

ekonomi rendah.

Berikut ini adalah daftar mata pekerjaan narapidana yang

melakukan kejahatan pembunuhan :

Tabel 7 Daftar pekerjaan narapidana yang melakukan kejahatan

pembunuhan

No Pekerjaan Jumlah
1 Pedagang 1
2 Petani 3
3 Kuli bangunan 2
4 Pembantu 1
5 Tidak bekerja 1
Jumlah 8
Sumber : wawancara dengan ke 8 orang narapidana
Berikut ini merupakan petikan wawancara penulis dengan

narapidana yang berinisial M, berusia 27 tahun:


90

“Suami saya tidak lagi memperhatikan saya, ia malah pergi, dan tidak
menafkahi saya, sedangkan saya sendiri tidak bekerja, jadi saya nekad
membuang bayi yang baru saya lahirkan”.

e. Faktor Dendam atau Jengkel

Berdasarkan penelitian penulis, dari 8 orang narapidana yang

melakukan kejahatan pembunuhan terdapat 3 orang narapidana yang

melakukan kejahatan pembunuhan dikarenakan faktor jengkel atau

dendam.

Seperti petikan wawancara penulis dengan salah satu narapidana

yang berinisial C, berikut ini :

”...saya nekad membunuh adik ipar saya dikarenakan saya jengkel sama
dia karena suami saya lebih memperhatikan dan menyayanginya...”.
(wawancara penulis dengan C tanggal 6 Oktober 2005).

Sedangkan narapidana yang lain yang berinisial S, menyatakan

bahwa ia tega membunuh bayi yang baru saja dilahirkannya, karena

merasa jengkel pada suami yang tidak bertanggung jawab padanya,

namun untuk melampiaskan kejengkelannya pada si suami, S tega

menyakiti bahkan membunuh anak kandungnya itu.

Berikut petikan wawancara penulis dengan S pada tanggal 6

Oktober 2005 :

”Saya sebal sama suami yang ngga mau peduli pada saya, dia malah
nikah lagi di rumah saya, setelah itu dia lebih peduli sama istri keduanya,
untuk itulah saya menusuk anak saya yang baru lahir hingga
meninggal...” (wawancara penulis dengan S tanggal 6 Oktober 2005)

f. Faktor Ancaman Atau Takut Pada Suami

Berdasarkan penelitian penulis terhadap ke 8 orang narapidana,

terdapat seorang narapidana yang mengaku nekad melakukan


91

pembunuhan karena takut akan ancaman suami, berikut ini merupakan

petikan wawancara penulis dengan narapidana berisial Z yang berusia 22

tahun berikut ini :

“Saya tidak membunuh, tapi cuma membantu memegangi, dan suami


sayalah yang melaksanakan pembunuhan tersebut, saya melakukan hal
tersebut karena suami saya memaksa dan saya takut akan ancamannya,
sekarang suami saya berada di LP Kedung pane” (wawancara Z dengan
penulis tanggal 6 Oktober 2005).

g. Faktor Harga Diri

Faktor lain yang menyebabkan seorang wanita melakukan

kejahatan pembunuhan, adalah karena perasaan harga diri. Dimana

menurut hasil penelitian penulis diperoleh informasi, bahwa faktor harga

diri, pada umumnya merupakan suatu faktor wanita melakukan kejahatan

pembunuhan yang dapat diancam dengan ketentuan dalam pasal 341

KUHP.

Salah satu unsur dalam pasal 341 KUHP menyebutkan bahwa

mereka yang melakukan kejahatan pembunuhan ini, adalah wanita yang

tidak terikat dalam suatu perkawinan, tentu saja yang dimaksudkan adalah

perkawinan yang sah menurut hukum nasional.

Berdasarkan wawancara penulis dengan 8 orang narapidana yang

melakukan kejahatan pembunuhan terdapat 2 orang yang mengaku bahwa

ia melakukan pembunuhan terhadap anak kandungnya yang baru saja ia

lahirkan, disebabkan karena ia hanya menikah dibawah tangan, dan sang

suami tidak bertanggung jawab terhadap bayi yang dilahirkan

berdasarkan perkawinan tersebut.


92

Berikut merupakan kutipan wawancara penulis dengan seorang

narapidana yang berinisial M pada tanggal 6 Oktober 2005 :

” ...saya membuang bayi yang baru saya lahirkan, karena anak itu
merupakan anak saya dengan suami kedua saya yang menikah dengan
saya secara siri, apalagi dia ngga pernah memperhatikan saya dan ngga
menafkahi saya lagi...” .(wawancara penulis dengan M tanggal 6 Oktober
2005)

h. Faktor Membela Diri

Berdasarkan hasil penelitian penulis diperoleh informasi, bahwa

terdapat seorang narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan ini

karena faktor membela diri. Seperti tergambar dalam petikan wawancara

penulis dengan seorang narapidana berisial MS berikut ini:

“Mertua saya suka sekali mencampuri urusan keluarga saya dan suami,
selain itu dia juga sangat mudah marah, seperti kejadian malam itu
sebenarnya dia yang menyerang saya terlebih dahulu, saya hanya
membela diri…” (Wawancara penulis dengan MS tanggal 12 Oktober
2005).

i. Faktor Kejiwaan

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di LP Wanita

Semarang, selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas,

ternyata terdapat faktor yang dapat melatar belakangi seorang wanita

melakukan kejahatan pembunuhan, yaitu faktor kejiwaan atau psikologis.

Faktor kejiwaan ini, dapat menyebabkan seseorang secara tidak

sadar melakukan pembunuhan terhadap orang lain, bahkan menyakiti diri

sendiri.

Seperti hasil wawancara penulis dengan seorang narapidana yang

berisial CR berikut ini :


93

“Saya tidak sadar melakukan pembunuhan terhadap anak saya, padahal


saya sangat menyayangi anak saya, tahu-tahu saat bangun tidur, saya
sudah memegang pisau, dan anak saya berlumuran darah, bahkan sampai
sekarang saya tidak tahu makam anak saya, kalau mengingat itu hati saya
sangat sedih, bahkan haki sempat menyarankan saya untuk mengikutu
penyembuhan di Rumah sakit Jiwa…” (wawancara penulis dengan CR
tanggal 12 Oktober 2005).

Kemudian CR juga mengungkapkan bahwa dirinya bahkan pernah

melakukan percobaan bunuh diri, sebelum masuk ke LP Wanita

Semarang, akibat perasaan menyesal tersebut.

6. Pembinaan Narapidana Yang Melakukan Kejahatan Pembunuhan Di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang

Menurut sistem pemasyarakatan dewasa ini, narapidana tidak hanya

dipandang sebagai individu saja, melainkan harus dipandang sebagai

makhluk sosial dan sekaligus anggota masyarakat. Oleh karena itu harus

diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. Sedangkan

pidana yang dijatuhkan kepadanya bukanlah dianggap sebagai pembalasan

dendam, akan tetapi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan

sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya.

Dalam pembinaan narapidana tersebut, semua petugas yang berada

dalam Lembaga Pemasyarakatan terlibat di dalamnya. Keterlibatan para

petugas Lembaga Pemasyarakatan meliputi bidang teknik dan pengawasan.

Guna berhasilnya pembinaan menurut sistem pemasyarakatan dewasa

ini, tidak bergantung pada narapidananya saja, akan tetapi disamping itu juga

diperlukan adanya petugas pembina yang cukup dan penuh rasa pengabdian
94

serta dilengkapi dengan sarana-sarana yang memadai. Salah satu hal yang

paling penting yaitu peranan masyarakat dalam rangka menerima kembali

bekas narapidana yang telah selesai menjalani pidananya. Sebagai warga

masyarakat diharapkan turut serta membantu para narapidana yang telah

selesai manjalani pidananya dalam menempuh hidup barunya.

Adapun dasar pemikiran pembinaan narapidana berpatokan pada “10

Prinsip Pemasyarakatan” yaitu : (Data sekuder LP Wanita Semarang)

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan


peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan,
sehingga tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik
pada umumnya baik berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan
ataupun penempatannya. Satu-satunya derita yang dialami oleh napi dan
anak didik hanya dibatasi kemerdekaannya untuk bergerak dalam
masyarakat bebas.
3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat. Berikan
kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kegiatan-
kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih
jahat daripada sebelum dijatuhi pidana. Salah satu diantaranya agar tidak
mencampur narapidana dengan anak didik yang melakukan tindak pidana
berat dengan yang ringan dan sebagainya.
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para napi dan
anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Perlu ada kontrak
dengan masyarakat yang terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke
lapas dan rutan / cubrutan oleh anggota masyarakat bebas dan kesempatan
yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada napi dan anak didik tidak boleh bersifat
sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk
memenuhi keperluan jawatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu
tertentu saja. Pekerjaan yang terdapat di masyarakat dan yang menunjang
pembangunan seperti meningkatkan industri kecil dan produksi pangan.
7. Pembinaan dan pembimbingan yang diberikan kepada napi dan anak
didik adalah berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka
harus ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping
meningkatkan pemberian rohani kepada mereka diserta dorongan untuk
menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan agama yang dianutnya.
8. Narapidana atau anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar
mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya
95

adalah merusak dirinya, keluarganya, dan lingkungannya, sehingga perlu


dibina / dibimbing ke jalan yang benar. Selain itu mereka harus
diperlakukan sebagai manusia biasa yang memiliki harga diri agar
tumbuh kembali kepribadiannya yang percaya akan kekuatan sendiri.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.
10. Untuk pembinaan dan pembimbingan para napi dan anak didik maka
disediakan sarana yang diperlukan.
Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan tersebut, menjadi dasar pemberian

pembinaan kepada napi di Lembaga Pemasyarakatan agar kelak ia dapat

kembali diterima serta bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarganya serta

masyarakat, serta tidak akan mengulangi perbuatannya dahulu.

a. Tahap Pembinaan

Tahapan Pembinaan Bagi Narapidana Dapat Dilihat Dari Skema

Berikut Ini:
96

Gambar 3 PROSES PEMASYARAKATAN

landasan hukum
1.
2. Pancasila
Pancasila 5. UU. No. 5.
12UU.
1995No. 12 1995 9. Kep Menteri
2.
3. UUD
UUD1945
1945 6. UU. No. 6.
12UU.
1997No. 12 1997 10. Peraturan Menteri
3.
4. KUHP
KUHP 7. Kep. Pemerintah
7. Kep. Pemerintah 11. Kep. Dirjen Pemas
4.
5. KUHAP
KUHAP 8. PP 8. PP

Tahap Awal Tahap lanjutan Tahap Akhir


1 1 2 2
/3 Masa pidana /3 – ½ Masa Pidana ½ - /3 Masa Pidana /3 Sampai Bebas
M A. Admisi Orientasi A. Pembinaan Kepribadian Asimulasi Integrasi M Tujuan :
A Masa pengamatan dan Lanjutan DALAM LAPA S TERBUKA A 1. Tidak
S pengenalan dan penelitian Program pembinaan ini (Open Camp) - PB Bebas S melanggar
Y lingkungan, paling lama 1 tahun. merupakan lanjutan tahap awal. - CB Sesunhhunya Y hukum
LUAR LAPAS
A B. Pembinaan Keprbadian B. Pembinaan Kemandirian - BAPAS A 2. dapat berperan
(Half Way House/Work)
R 1. Pembinaan kesadaran 1. Keterampilan untuk R aktif dalam
A beragama TTP mendukng usaha mandir TTP Melanjukan A pembangunan
K 2. Pembinaan kesadaran 2. Ketrampilan untuk Sekolah K 3. hidup bahagia
A berbangsa dan bernegara mendukung usaha-usaha A di dunia dan
Kerja mandiri Olahraga akhirat
T 3. Pembinaan Kemampuan industri kecil T
intelektual 3. Ketrampilan yang Kerja pada Cuti Mengunju
4. Pembnaan kesadaran hukum dikembangkan sesuai pihak lain keluarga
bakatnya beribadah
4. Keterampilan untuk
mendukung usaha industri /
Maximum Security pertanian/perkebunan dengan
teknoloogi madya tingi Medium Securty Minimum Securty

KERJASAMA ANTAR INSTANSI

Instanasi Penegak Hukum Instanasi Hukum Swasta


1. Polri 1. Depkes 5. Depdiknas 1. Perorangan
2. Kejaksaan Negeri 2. Depnaker 6. Pemda 2. Kelompok
3. Pengadilan Negeri 3. Dependeg 7. DII 3. LSM
4. Depag 4. Perusahaan
Sumber : Data sekunder LP Kelas IIA Semarang
98

Berdasarkan hal di atas, maka pembinaan narapidana di dalam

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang ini dibagi menjadi 4 tahap

pembinaan seperti yang terlihat dalam skema berikut ini :

Pembinaan narapidana yang meliputi empat tahap tersebut adalah

meliputi :

1) Tahap Pertama

Tahap pertama, yaitu tahap admisi orientasi. Berdasarkan hasil

wawancara penulis dengan Sri Utami S.st, bahwa tahap pertama yaitu:

“Pada tahap ini merupakan tahap permulaan bagi narapidana yang


memasuki 1/3 masa pemidanaannya, pada tahap ini kami mengamati
serta meneliti atau yang disingkat mapenaling bakat dan minat yang
dimiliki oleh narapidana, tujuannya adalah supaya kami dapat
mengarahkan bakat yang mereka miliki tersebut. Selain itu pada tahap
ini pengawasan terhadap mereka sangat ketat atau dalam tahap
maximum security. Pada tahap juga merupakan tahap pengenalan
lingkungan atau yang disebut orientasi. (Wawancara penulis dengan Sri
Utami S.st pada tanggal 12 Oktober 2005).

Jadi tahap ini, merupakan tahap pembinaan permulaan bagi

narapidana yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 1/3 dari masa

pidana yang sebenarnya. Pada tahap ini, aparat atau petugas

mengadakan suatu pengamatan serta penelitian terhadap bakat serta

minat narapidana untuk nantinya akan diarahkan sesuai dengan bakat

yang dimilikinya tersebut. Selain hal tersebut tahap ini juga merupakan

tahap orientasi pengenalan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan

kepada para narapidana.

2) Tahap Kedua

Tahap kedua yaitu merupakan tahap pembinaan lanjutan.

Menurut penjelasan dari Sri Utami, staf bagian Bimpas, bahwa tahap
99

kedua yaitu :

“Pada tahap ini atau tahap pembinaan lanjutan, kami akan mengarahkan
para narapidana kepada bidang yang mereka minati serta meningkatkan
ketrampilan sesuai bakat mereka masing-masing, tahap ini pengawasan
mulai memasuki medium security. Ketrampilan terebut misalnya
menjahit, menyulam dan sebagainya. Selain itu kami juga mulai
memberikan tanggung jawab kepada mereka, misalnya ; menjaga
kebersihan ligkungan sekitarnya. (wawancara tanggal 12 Oktober
2005).

Tahap pembinaan lanjutan ini, diberikan kepada narapidana

yang sudah mengalami masa pidana diatas 1/3 sampai sekurang-

kurangnya ½ dari masa pidana yang sebenarnya. Dalam tahap ini,

aparat atau petugas mulai mengarahkan bakat serta minat yang mereka

miliki pada ketrampilan tertentu. Selain itu mereka juga mulai diberikan

tanggung jawab sebagai anggota masyarakat yang berada di lingkungan

Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

3) Tahap Ketiga

Tahap ketiga merupakan tahap asimilasi. Berdasarkan petikan

wawancara dengan Sri Utami, tahap ini adalah :

“Tahap ini atau tahap asimilasi diberikan kepada mereka yang telah
menjalani ½ dari masa pemidanaannya, tahap ini seorang narapidana
boleh melewati pintu ketiga tanpa harus dikawal, dan pengawasan
kami lebih longgar dibanding dua tahapan sebelumnya karena mulai
memasuki tahapan minimum security. (wawancara tanggal 12 Oktober
2005).

Tahap ketiga merupakan tahap asimilasi atau tahap pembinaan

lanjutan diberikan kepada narapidana yang telah menjalani proses ½

sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya.


100

4) Tahap Keempat

Tahap keempat yaitu tahap integrasi. Berdasarkan wawancara

penulis dengan Sri Utami, S.st, tahap keempat ini ialah :

“Tahap pembinaan yang diberlakukan kepada para napi yang sudah


menjalani pidananya diatas 2/3 masa pemidanaan. Tahap ini para napi
sudah boleh mengunjungi keluarganya pada hari-hari tertentu, seperti
Lebaran, Natal dan sebagainya. Pada tahap ini kami juga memberikan
pelepasan bersyarat serta cuti menjelang bebas” (wawancara tanggal 12
Oktober 2005).

Pada tahap keempat ini merupakan tahap integrasi atau tahap

pembinaan lanjutan yang hanya boleh diberlakukan kepada para

narapidana yang telah menjalani lebih atau diatas 2/3 masa pidana yang

sebenarnya sampai akhir masa pidana. Pada tahap ini narapidana telah

diizinkan untuk mengunjungi keluarganya pada hari-hari tertentu

seperti hari raya. Serta pada tahap integrasi ini mereka juga diberikan

pembebasan bersyarat serta cuti menjelang bebas.

Berdasarkan wawancara penulis dengan Sri Utami bahwa pada

setiap akhir tahapan pembinaan, diadakan suatu sidang yang dinamakan

sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan). Sidang ini bertujuan

mengevaluasi perkembangan napi selama pemberian pembinaan serta

pembimbingan pada tahap tertentu dan untuk menentukan kegiatan kerja

yang akan diikuti napi pada tahap pembinaan selanjutnya. Perkembangan

napi selama mengikuti pembinaan diberikan penilaian serta dimasukkan

dalam buku Laporan Penilaian Perkembangan Napi. Buku laporan

tersebut dipegang oleh masing-masing wali napi dan diisi setiap 3 bulan

sekali (triwulan) kemudian diajukkan dalam sidang pada akhir tahap

pembinaan tersebut. (wawancara tanggal 12 Oktober 2005).


101

b. Kegiatan Pembinaan

Kegiatan pembinaan terhadap narapidana di lembaga

pemasyarakatan wanita Semarang sangat beragam, kegiatan ini meliputi :

1) Pendidikan mental / agama:

Dengan tujuan untuk semakin memperteguh serta menambah

iman seseorang, meliputi :

a) Bagi Narapidana yang beragama Islam, kegiatan keagamaan

meliputi:

(1). Kegiatan penyuluhan-penyuluhan agama yang diadakan

Seminggu tiga kali.

(2). Mengadakan shalat berjamaah.

(3). Pelajaran shalat bagi narapidana yang belum dapat

melaksanakan shalat.

(4). Mengadakan kegiatan iqra, yaitu pendidikan baca tulis Al

Quran serta membaca ayat-ayat suci Al Quran.

(5). Melaksanakan kegiatan-kegiatan kerohanian pada saat bulan

suci Ramadhan, seperti :

(a) Mengadakan tarawih serta tadarus;

(b) Mengadakan pesantren ;

(c) Mengadakan pengajian.

(6). Melaksanakan perayaan hari besar keagamaan antara lain ;

Nuzulul Al Qur’an, Idul Fitri, Idul Adha, Isra Mi raj serta

Maulud Nabi Muhammad SAW.


102

b) Bagi narapidana yang beragama Kristen Protestan/ Katholik :

1) Pelaksanaan Kebaktian di Gereja.

2) Pelaksanaan Misa.

3) Mengadakan hari besar keagamaan antara lain Natal serta

Paskah.

Kegiatan pembinaan serta pembimbingan keagamaan ini ternyata

sangat dirasakan manfaatnya oleh para narapidana, yaitu dapat menambah

pengetahuan serta wawasan di bidang kerohanian, seperti hasil petikan

wawancara penulis dengan Narapidana yang berinisial Z berikut ini :

“Sebelum masuk LP Wanita Semarang, saya tidak bisa shalat, jadi saya
tidak pernah melaksanakan shalat 5 waktu. Tetapi setelah masuk LP, dan
diajarkan cara-cara serta bacaan-bacaan shalat, saya jadi bisa
melaksanakan shalat”. (Wawancara tanggal 12 Oktober 2005).

Hasil positif pembinaan keagamaan juga dirasakan oleh

Narapidana yang berinisial CS, yang sebelum masuk lembaga

pemasyarakatan Semarang ia belum bisa baca tulis Al Quran, berikut ini :

“Sebelum ini, saya tidak bisa mengaji, tetapi setelah berada di LP Wanita

Semarang ini, sedikit-sedikit saya mulai bisa membaca Al Quran,

walaupum masih Iqra 6” (wawancara tanggal 3 Oktober 2005).

Selain dapat meningkatkan wawasan keagamaan, ternyata

pembinaan keagamaan juga dapat sebagai penyejuk jiwa bagi para

narapidana, seperti yang dikemukakan olh Narapidana berinisial CN, asal

NTT berikut ini :

“Di lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang ini, setiap mengingat


masa lalu, hati saya menjadi sedih, kadang sampai menangis, dan setiap
seperti itu cepat-cepat saya mendatangi gereja, dan mengingat Tuhan,
103

pada Tuhanlah saya selalu berkeluh kesah. Setelah itu hati menjadi
damai”.(Wawancara tanggal 6 Oktober 2005)

Kegiatan-kegiatan keagamaan ini, dilaksanakan oleh aparat atau

petugas Lembaga Pemasyarakatan dan didukung oleh para pihak yang

terkait, yaitu pihak yang bergerak di bidang keagamaan / kerohanian,

seperti Departeman Agama, Gereja Advent, Pantekosta, yayasan Cinta

Kasih Bangsa, Alfa Omega.

Sedangkan kegiatan bimbingan dan penyuluhan mental meliputi :

(wawancara dengan Sri Utami, staf bagian bimpas)

1. Pemberian pelajaran budi pekerti, serta sopan santun dalam


bertingkah laku.
2. Pemberian penyuluhan hukum serta pengenalan norma-normanorma
hukum.
3. Mengadakan sharing (membagi pengalaman pribadi) dengan
dibimbing oleh psikolog di lingkungan LP, serta konseling psikologi
yang diadakan setiap hari Rabu oleh LSM terkait. (wawancara tanggal
12 Oktober 2005).

Kegiatan pembinaan mental juga sangat dirasakan manfaatnya

bagi para narapidana seperti yang diutarakan oleh seorang narapidana

berinisial MY, berikut ini :

“Kalau ada masalah, Ibu-ibu petugas LP, selalu bersedia mendengarkan


setiap keluhan, serta selalu memberikan saran-saran kepada saya”.
(wawancara tanggal 6 Oktober 2005).

Berdasarkan pengamatan penulis, antusias para narapidana dalam

menyimak konseling juga terlihat pada saat pelaksanaan konseling

psikologi oleh salah satu LSM, yang diadakan setiap hari Rabu pagi di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang.


104

2) Pendidikan Umum serta Kejuruan.

Pendidikan umum serta kejuruan yang diadakan oleh LP Wanita

Semarang meliputi :

a) Memberikan pelajaran kejar paket A bagi narapidana yang buta huruf

setiap hari Kamis.

b) Mengadakan kegiatan Pramuka setiap hari Senin.

Pembinaan pendidikan umum, khususnya kejar paket A, ternyata

sangat bermanfaat bagi narapidana, seperti petikan wawancara penulis

dengan narapidana berinisial CS berikut ini :

“Sebelum masuk LP Semarang ini, saya tidak bisa membaca dan menulis,
karena saya sekolah hanya sampai kelas 2 SD, setelah masuk LP ini,
ternyata diajarkan membaca dan menulis huruf-huruf, sekarang saya
mulai dapat membaca dan menulis”. (wawancara tanggal 3 Oktober
2005).

Sedangkan kegiatan kepramukaan juga sangat dirasakan

manfaatnya oleh seorang narapidana berinisial MT yang berpendidikan

terakhir kelas empat sekolah dasar, seperti yang ia ungkapkan kepada

penulis :

“Sejak masuk LP ini, saya mulai mengenal kegiatan pramuka dan ternyata
sangat menyenangkan” (wawancara tanggal 6 Oktober 2005).

Bahkan untuk meningkatkan wawasan narapidana mengenai

pengetahuan umum, selain menyediakan perpustakaan dengan berbagai

koleksi buku, LP Wanita Semarang mengadakan kerjasama dengan

Perpustakaan Wilayah, dalam pengadaan Perpustakaan Keliling, yang

setiap satu minggu sekali mendatangi LP Wanita Semarang. Keberadaan


105

perpustakaan di lingkungan LP, serta kehadiran perustakaan keliling ini,

ternyata sanagat dirasakan manfaatnya bagi para narapidana, seperti

pendapat seorang narapidana yang berinisial L berikut ini :

“Dengan adanya perpustakaan keliling yang hadir di LP Wanita


Semarang, kami bisa mendapatkan dan membaca buku-buku yang tidak
ada di perpustakaan LP” (wawancara tanggal 3 Oktober 2005).

Berdasarkan hemat penulis, kegiatan pendidikan umum sangat

besar manfaatnya bagi para narapidana karena dapat meningkatkan

kemampuan intelektualitasnya.

3) Pembinaan Kemandirian

Pembinaan kemadirian diarahkan pada pembinaan bakat dan

ketrampilan, supaya para narapidana setelah selesai masa pemidanaannya

dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang produktif,

kreatif, serta mandiri.

Adapun jenis ketrampilan yang diajarkan dalam pembinaan bakat

dan ketrampilan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narapidana

kejahatan pembunuhan adalah sebagai berikut :

a) Menjahit, meliputi pembuatan bed cover, sarun bantal, celemek,

pakaian seragam untuk petugas, serta seragam bagi para narapidana

serta seragam pramuka.

b) Kristik, meliputi pembuatan serbet makanan, bed cover, taplak meja

serta hiasan dinding.

c) Menyulam meliputi pembuatan sarung bantal, sarung guling, seprei,

sapu tangan, serta taplak meja.


106

d) Masak memasak.

e) Salon, meliputi kegiatan-kegiatan kecantikan, seperti potong rambut,

cuci, creambath,dan didukung dengan peralatan yang memadai, serta

terbuka untuk umum.

f) Kegiatan berkebun, meliputi pegelolaan tanaman hias / green house.

g) Ketrampilan tangan yang lain, seperti pembuatan boneka hias, bunga-

bunga hias dan sebagainya.

Pengajar atau pembimbing dalam kegiatan ketrampilan kerja ini

adalah petugas dari seksi kegiatan kerja. Kegiatan ketrampilan merupakan

kegiatan positif yang sangat efektif dalam membekali narapidana. Serta

mendapat respon yang positif bagi narapidana, salah satunya adalah

seperti yang dirasakan oleh narapidana berisial MY, berdasarkan kutipan

wawancara dengan penulis pada tanggal 12 Oktober 2005 :

“Di sini waktu terasa cepat, karena kegiatan yang bermacam-macam, di


LP ini saya jadi bisa menjahit, menyulam, serta mengkristek” (wawancara
tanggal 12 Oktober 2005).

Dalam hal ini, narapidana diizinkan mengikuti salah satu kegiatan

ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, yang ditentukan

melalui sidang Tim Pengamat pemasayarakatan (TPP). Hasil ketrampilan

tersebut akan dipajang dan dipamerkan di ruang pameran ketrampilan,

dan apabila karyanya tersebut terjual, maka narapidana akan mendapatkan

insentif, beupa premi.


107

4) Pembimbingan Latihan Olahraga / Kesegaran jasmani (Pembinaan Fisik /

Jasmani)

Kegiatan ini berada dibawah bimbingan seksi binadik, yang meliputi :

a) Kegiatan olahraga, meliputi ; olahraga volley yang diadakan setiap

Senin sore, Rabu sore, serta Jumat pagi, dan cabang olahraga yang

lain seperti tenis meja, bulutangkis dan kasti.

b) Kegiatan senam, dan berdasarkan keterangan Sri Utami, bahwa LP

Wanita Semarang memiliki kurang lebih 12 jenis senam kesegaran

jasmani, hal ini bertujuan menghindari kejenuhan narapidana.

c) Mengadakan olahraga/permainan secara rutin dalam rangka

memperingati Proklamasi RI.

Kegiatan ini dirasa sangat berguna bagi narapidana, sepert

kutipan wawancara penulis dengan narapidana yang berisial CN berikut

ini :

“Saya ikut olahraga volley serta dapat berlatih tenis meja, olahraga bisa
mengurangi kejenuhan” (wawancara tanggal 6 Oktober 2005).

Berdasarkan penelitian, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa

kegiatan olahraga di LP Wanita Semarang sangat baik karena ditunjang

dengan fasilitas yang lengkap. Dan seperti halnya kegiatan pembinaan

yang lain, kegiatan olahraga merupakan suatu hal yang positif bagi

pembinaan narapidana, karena selain dapat meningkatkan kesehatan fisik

bagi narapidana, juga secara rohani atau kejiwaan dapat menjadi suatu

hiburan tersendiri di tengah masa pemidanaan. Selain itu kegiatan

pembinaan jasmani juga dapat meningkatkan semangat, prestasi serta

pengalaman para narapidana di bidang olahraga.


108

5) Pembinaan Bidang Kesenian

Pembinaan di bidang seni disesuaikan dengan bakat serta minat

masing-masing narapidana. Pembinaan ini meliputi : (Data sekunder

Jadwal kegiatan WBP LP Wanita Semarang)

a) Kegiatan musik, yaitu pelatihan olah vokal (olah suara), paduan suara

serta pelatihan band yang diadakan secara bergiliran baik peserta

maupun pemula, pada hari Senin, Selasa, Rabu serta Jumat.

b) Kegiatan karawitan, yaitu diadakan setiap satu minggu sekali pada

hari Kamis.

c) Kegiatan qasidah, yaitu suatu kegiatan seni musik bernafaskan Islami

yang diadakan setiap hari Jumat.

d) Kegiatan tari atau drama, diadakan pada Sabtu siang.

Kegiatan kesenian ini untuk nantinya akan dipentaskan di suatu

pentas seni, seperti pada tanggal 12 oktober 2005, LP Wanita Semarang

mendapat kunjungan dari salah satu LSM dari kota Semarang untuk

menyaksikan pentas wayang orang yang diperankan oleh anak didik

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang.

6) Pelayanan di bidang Kemasyarakatan

Selain memberikan pembinaan dan pembimbingan bagi

narapidana, LP wanita Semarang juga mengadakan pelayanan-pelayanan

terhadap narapidana, yang meliputi :


109

a) Pelayanan terhadap narapidana yang ingin melaksanakan syrat

menyurat kepada pihak keluarga, kerabat, teman, dan sebagainya.

Pelayanan ini meliputi pemeriksaan terhadap surat yang masuk

maupun yang keluar, serta pemberian paraf terhadap surat-surat

tersebut.

b) Mengusulkan asimilasi bagi narapidana yang telah mencapai ½ dari

masa pemidanaan serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

c) Mengusulkan pembebasan bersyarat (pb) serta cuti menjelang bebas

(cmb) bagi narapidana yang sekurang-kurangnya telah mencapai 2/3

dari masa pidana sebenarnya.

7) Pelayanan Kesehatan dan Perawatan Narapidana

Pelayanan di bidang ini dilaksanakan oleh seksi binadik, yang

meliputi pelayanan :

a) Pelayanan kesehatan di dalam lingkungan lp, yang ditunjang dengan

adanya dokter serta perawat supaya narapidana yang jatuh sakit segera

mendapatkan pertolongan. Selain itu ditunjang pula dengan adanya

perawatan serta ruang medik yang memadai. Bagi narapidana yang

mengalami sakit parah, serta dipandang perlu mendapatkan perawatan

intensif, lp juga menyediakan mobil ambulance, supaya narapidana

segera mendapatkan pertolongan.

b) Pengadaan makanan yang bergizi serta penyediaan menu makan yang

disesuaikan dengan menu makanan yang telah tercantum di daftar

menu.
110

c) Mengadakan penyuluhan-penyuluhan kesehatan, setiap hari senin,

seperti upaya pencegahan hiv / aids yang dilaksanakan oleh yayasan

wahana bakti (semarang), seperti yang diungkapkan oleh sri utami

pada penulis pada wawancara tanggal 12 oktober 2005 berikut ini :

“Setiap hari Senin, kami bekerjasama dengan yayasan Wahana Bakti


melaksanakan penyuluhan-penyuluhan kesehatan kepada para napi,
seperti misalnya mengenai HIV…” (wawancara tanggal 12 Oktober
2005).

Selain pembinaan yang telah penulis sebutkan diatas, sesuai pasal

ayat UU nomor 12 tahun 1995 mengenai hak-hak narapidana,

narapidana di LP Wanita Semarang juga berhak mendapatkan hiburan

dari televisi serta radio, namun khusus untuk program kriminalitas,

petugas melarang para narapidana untuk menyaksikan tayangan tersebut,

karena ditakutkan akan mempengaruhi kondisi kejiwaan para narapidana.

B. PEMBAHASAN

1. Latar Belakang Kejahatan Pembunuhan Yang Dilakukan Wanita

Pembunuhan yang dilakukan oleh wanita di wilayah Semarang dari

hasil penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang, sebagaimana

wilayah hukum lainnya di Indonesia oleh masyarakat maupun pemerintah

digolongkan sebagai kejahatan atau norma hukum yang ditafsirkan atau patut

ditafsiskan sebagai perbuatan yang sangat merugikan, menjengkelkan, dan

tidak boleh dibiarkan.

Karena akibat yang sangat merugikan dan dilakukan pula oleh

anggota masyarakat, secara keseluruhan menjadi kewajiban dan tanggung


111

jawab secara bersama-sama dengan badan yang berwenang untuk

menanggulanginya seefisien mungkin.

Dalam kaitannya dengan peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh

wanita, maka perlu mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang dan

penyebab terjadinya pembunuhan itu. Setelah mengetahui latar belakang dan

penyebabnya, maka kitab dapat mengetahui sekaligus menentukan cara

pemecahannya.

Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh wanita yang terjadi di

wilayah Semarang tentunya dilatar belakangi oleh faktor-faktor penyebab

yang berbeda satu dengan lainnya. Demikian juga dapat dikatakan, bahwa

jumlah pembunuhan yang terjadi ditunjang oleh banyaknya faktor yang saling

mengkait dan berpengaruh pada faktor satu sama lainnya. Misalnya, faktor

ekonomi berpengaruh pada faktor pendidikan dan sebaliknya. Sebaliknya,

faktor pendidikan berpengaruh pada faktor ekonomi, dan masih banyak lagi

faktor lain yang dapat menimbulkan kejahatan.

Ada beberapa faktor yang telah dapat penulis kumpulkan berdasarkan

hasil penelitian di lapangan, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Semarang, maka pada berikut ini akan penulis jelaskan dan uraikan satu per

satu mengenai latar belakang dan penyebab wanita melakukan kejahatan

pembunuhan. Dengan harapan, bahwa penjelasan tersebut dapat memberikan

gambaran yang lebih jelas, dan sekaligus dapat dipahami oleh seluruh

kalangan yang tertarik untuk membaca skripsi yang penulis susun ini.

Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya, bahwa kejahatan itu


112

disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, demikian juga dengan

kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh wanita, tentunya juga

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Seperti pendapat dari Dra. Kartini

Kartono yang mengatakan.

“...perbuatan kriminal yang dilakukan oleh beberapa anak gadis yang


disebabkan oleh emosi-emosi yang sangat kuat. Emosi yang sangat kuat itu
karena rasa rindu akan orang tuaa dan kampung halamannya di desa. Oleh
karena emosi yang sangat kuat tersebut timbullah konflik-konflik batin dan
ketegangan-ketegangan yang sangat tinggi sehingga anak gadis tersebut
melakukan tindak kriminal berupa pembunuhan atau bunuh diri”.

Kejahatan yang dilakukan wanita itu banyak faktor yang

menyebabkan, yaitu:

“Faktor sosial ekonomi seperti sistem ekonomi, perubahan harga pasar,


krisis, gaji, atau upah, pengangguran dan juga dapat dipengaruhi faktor-
faktor mental (agama), bacaan-bacaan harian, film (termasuk TV), serta
faktor pisik seperti iklim, tidak luput faktor-faktor pribadi (umur), peminum
(alkohol)”. (Hurwitz 1986:86-101)

Sedangakan berdasarkan hasil penelitian penulis di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Semarang, faktor-faktor yang melatar-belakangi dan

faktor-faktor yang menyebabkan wanita melakukan kejahatan pembunuhan,

adalah :

1. Lemahnya penghayatan agamanya ;


2. Faktor umur ;
3. Faktor pendidikan ;
4. Faktor ekonomi ;
5. Faktor dendam dan jengkel ;
6. Faktor Harga Diri
7. Faktor ancaman atau takut pada suami ;
8. Faktor membela diri, dan
9. Faktor kejiwaan. (Hasil wawancara dengan ke-7 narapidana yang
melakukan kejahatan pembunuhan tanggal 6 Oktober 2005 dan tanggal 12
Oktober2005).
113

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis kemukakan

sebelumnya, maka penulis akan uraikan satu persatu latar belakang wanita

melakukan kejahatan pembunuhan.

a. Lemahnya Penghayatan Pada Agamanya

Setiap agama yang ada di dunia ini, niscaya mempunyai

keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama itu selalu

mengutamakan sifat-sifat kebaikan dan kebajikan, menjauhi kejahatan

atau kemunafikan. Agama juga membukakan hati manusia kepada

pengertian-pengertian cinta terhadap sesama manusia dan melarang orang

melakukan kejahatan. Sehingga, jika manusia benar-benar mendalami dan

menghayati makna agama diharapkan ia menjadi manusia yang baik,

dalam arti tidak berbuat hal-hal yang merugikan atau menyinggung

perasaan orang lain.

Pemahaman agama seharusnya dilakukan sejak dini oleh orang

tua supaya seseorang dapat melaksanakan serta menjalankan agama

sebaik-baiknya, karena agama merupakan petunjuk dari Tuhan supaya

manusia selalu menjalankan kebaikan serta menghindari kejahatan.

Kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama, menyebabkan jiwa

seseorang mudah berbuat kejahatan.

Apabila setiap pemeluk agama itu benar-benar mendalami,

menghayati agamanya, serta melaksanakan perintah agamanya dalam

kehidupannya sehari-hari, maka ia akan dapat menjadi manusia yang baik

dan tidak akan melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan

agamanya.
114

Berdasarkan hasil penelitian diatas, bahwa seluruh narapidana

yang melakukan kejahatan pembunuhan adalah memeluk suatu agama

namun, mereka delapan orang narapidana yang melakukankejahatan

pembunuhan mengakui bahwa sebelum berada di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Semarang mereka tidak memahami ajaran agama

serta menjalankan ibadah dengan baik sesuai dengan agama serta

keyakinannya.

Menurut Step Han Hurwits faktor mental khususnya agama

memang merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya

kejahatan, hal ini dapat dilihat dari pendapat Hurwits sebagai berikut :

”...memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang secara teratur


diajarkan oleh bimbingan agama dan khusus bersambung pada keyakinan
keagamaan yang sungguh, membangunkan secara khusus dorongan-
dorongan yang kuat untuk melawan kecenderungan-kecenderungan
kriminil”. (Hurwitz 1986 : 93)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis dapat menarik

kesimpulan, bahwa jika seseorang tidak mendalami dan menghayati

ajaran agamanya, akan mengakibatkan mental seseorang tersebut menjadi

lemah dan imannya akan menjadi mudah goyah. Sehingga, mereka akan

mudah tergelincir, hanya menuruti hawa nafsu saja, termasuk melakukan

suatu kejahatan pembunuhan. Untuk mengatasi mental yang lemah dan

iman yang mudah goyah ini, maka Lembaga Pemasyarakatan Semarang,

memberikan pendidikan agama, dengan jalan mendatangkan guru agama

dari luar Lembaga, selain itu Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang

juga mengadakan bimbingan agama dengan bekerja sama dengan

Departemen Agama. Jadi, dengan demikian betapa pentingnya agama

bagi seseorang untuk dijadikan pedoman hidupnya.


115

b. Faktor Umur

Faktor umur, ternyata juga merupakan suatu faktor timbulnya

kejahatan, karena seseorang dari kecil hingga dewasa selalu mengalami

perubahan-perubahan jasmani dan rohani. Dengan adanya perubahan-

perubahan ini, maka tiap-tiap masa manusia dapat berbuat jahat, sesuai

dengan perkembangan alam pikiran serta keadaan-keadaan lainnya yang

ada di sekitarnya. Dalam kaitannya dengan faktor umur, sebagai latar

belakang timbulnya kejahatan, dari hasil penelitian penulis di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Semarang, faktor ini sangat besar pengaruhnya

terhadap timbulnya kejahatan.

Berdasarkan dari hasil penelitian dapatlah disimpulkan, bahwa

dari 8 orang narapidana yang melakukan kejahatan terhadap nyawa,

jumlah terbesar yaitu yang dilakukan oleh narapidana wanita yang

berumur antara 17 hingga 27 tahun. Hal ini disebabkan, karena keadaan

fisik seseorang pada usia tersebut sangat kuat, sehingga kejahatan itu

cenderung dilakukan oleh mereka yang berumur antara 17 sampai dengan

27 tahun. Sehingga narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan

berdasar faktor umur dapat disimpulkan adalah sejumlah 5 orang.

Hal ini terkait dengan pendapat Thorsten Sellin, seperti penulis

kutip dalam buku kriminologi, karya Step Han Hurwits yang disadur oleh

Ny. Moeljatno sebagai berikut :

”Kecenderungan untuk berbuat anti sosial bertambah selama masih


sekolah dan memuncak antara umur 20 sampai 25, menurun perlahan-
lahan sampai umur 40, lalu meluncur dengan cepat untuk berhenti
sama sekali pada hari tua. Kurve/garisnya tidak berbeda dari garis
aktivitas lain yang tergantung dari irama kehidupan manusia” (Step
han Hurwits 1986 : 99)
116

Jadi, semakin tua umur manusia, semakin menurunlah

kecenderungan untuk melakukan suatu kejahatan. Karena, pada umur

yang semakin tua ini, makin melemahlah kekuatan fisik seseorang.

Walaupun kekuatan fisik ini, bukanlah syarat untuk melakukan suatu

kejahatan. Demikian juga dengan kejahatan pembunuhan.

c. Faktor Pendidikan

Pendidikan, sebagai salah satu faktor penyebab wanita melakukan

kejahatan pembunuhan. Pendidikan disini dimaksudkan, adalah

pendidikan formal, yaitu pendidikan di sekolah. Sejak kecil seseorang

sudah dipersiapkan untuk menjadi manusia yang baik, berguna bagi nusa

dan bangsa. Di sekolah mereka dibekali ilmu Pengetahuan, guna bekal

kehidupan di kemudian hari. Bangku sekolah tidak sekedar dipergunakan

untuk tempat mempelajari ilmu pengetahuan belaka, tetapi watak dan

kehidupan emosional akan banyak dipengaruhi pula kehidupan di

sekolah.

Seperti kita ketahui, bahwa faktor pendidikan sangat besar

pengaruhnya terhadap terjadinya kejahatan. Hal ini dikarenakan,

pendidikan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena makin

tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin baik kehidupannya.

Tetapi sebaliknya, apabila seseorang berpendidikan rendah, maka akan

berkurang pendapatannya serta penghidupannya.

Jadi, karena mereka tidak berpendidikan atau hanya yang sedikit

berpendidikan menengah, dalam hal ini mereka melakukan suatu


117

perbuatan yang tidak menggunakan akal sehatnya. Mereka hanya

menuruti emosinya saja. Bahkan banyak narapidana yang umumnya

kurang mengerti akibat dari perbuatannya itu.

Dari hasil penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Semarang, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa makin tingginya

pendidikan seseorang, makin sedikit kejahatan yang dilakukan. Atau

dengan kata lain, karena rendahnya pendidikan seseorang, akan

merupakan penyebab dari timbulya kejahatan. Demikian pula dengan

kejahatan pembunuhan. Walaupun pendidikan itu, kenyataannya bukan

merupakan faktor utama dalam melakukan kejahatan pembunuhan.

Karena, tidak jarang kejahatan juga dilakukan oleh orang yang

berpendidikan tinggi. Mengingat faktor pendidikan ini, maka di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Semarang, juga diberikan pendidikan, sebagai

pembinaan bagi para narapidana tersebut. Untuk narapidana yang tidak

bisa membaca diajarkan mengikuti kejar paket A.

Faktor pendidikan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan

seseorang melakukan kejahatan pembunuhan. Tentu saja pendidikan yang

dimaksud disini adalah pendidikan formal, yaitu pendidikan di sekolah.

Karena di bangku sekolah, mereka dibekali ilmu pengetahuan serta

ketrampilan, yang kelak menjadi bekal dikemudian hari. Selain

memberikan ilmu pengetahuan, sekolah juga membentuk watak serta

emosi seseorang.
118

Hal ini diperkuat oleh pendapat Step Han Hurwitz, mengenai

faktor pendidikan yang merupakan faktor pembentuk pribadi seseorang,

Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

”Ditinjau dari sudut kriminologi, faktor positif dari sekolah adalah: Setiap
sekolah yang baik membuat anak-anak jadi tertib bersekolah sehingga
secara langsung dan tidak langsung membentuk pribadinya”. (Step han
Hurwits 1986:117)

Berdasarkan penelitian penulis di Lembaga Wanita Semarang,

bahwa sebagian besar pelaku kejahatan pembunuhan adalah mereka yang

mengenyam pemdidikan hingga bangku Sekolah Dasar, bahkan ada yang

buta huruf. Pendidikan sangat berkaitan dengan faktor ekonomi, dimana

semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik

kehidupannya, begitu pula sebaliknya.

d. Faktor Ekonomi

Sebagaimana telah penulis kemukakan, bahwa faktor ekonomi

dapat menjadikan penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan, maka

yang penulis maksudkan di sini adalah kondisi ekonomi seseorang,

sehingga sampai seorang wanita melakukan perbuatan yang melanggar

norma hukum tersebut.

Seperti petikan wawancara penulis dengan salah seorang

narapidana yang mengaku membunuh anak yang baru ia lahirkan

disebabkan karena ia tidak bekerja, sedangkan suaminya

meninggalkannya dan tidak menafkahi.

Dalam membahas faktor ekonomi, penulis memakai istilah

pekerjaan. Karena dengan istilah pekerjaan, penulis dapat memakai


119

ukuran tingkat dan status ekonomi seseorang. Sebagai contoh, dengan

status ekonomi yang tinggi tidak mungkin seseorang akan bekerja sebagai

kuli bangunan. Sebaliknya dengan status ekonomi rendah, mustahil

seseorang mempunyai pekerjaan sebagai seorang pengusaha di bidang

tertentu. Oleh karena itu, penulis menilai bahwa status ekonomi cukup

memenuhi persyaratan untuk mengetahui mampu atau tidaknya seseorang

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Faktor ekonomi berhubungan erat

dengan faktor pendidikan, karena ada kemungkinan saling menunjang.

Misalnya, seorang yang sudah berpendidikan tinggi (SMA atau perguruan

tinggi) sedikit sekali kemungkinan untuk menjadi buruh atau pembantu

rumah tangga.

Dari hasil penelitian penulis di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Semarang, bahwa dari 8 narapidana yang melakukan kejahatan

pembunuhan, 1 orang mempunyai status ekonomi menengah. Sedangkan

sisanya yaitu 7 orang narapidana mempunyai status ekonomi rendah.

Berdasar hal tersebut, narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan

yang dilatar belakangi oleh faktor ekonomi adalah berjumlah 8 orang.

Mengenai faktor ekonomi yang merupakan faktor terbesar yang

melatar belakangi seorang melakukan kejahatan pembunuhan, diperkuat

oleh pendapat Step Han Hurwitz (Hurwitz 1996 : 112) berikut ini :

”Faktor-faktor sungguhnya dari terjadinya kejahatan adalah :


kondisi-kondisi ekonomi buruk pada golongan rakyat yang status sosial
dan ekonominya rendah dan biasanya mempunyai banyak anak. Hal ini
disebabkan kurang mendapatkan ketrampilan, lebih sering ganti
pekerjaan, lebih tinggi angka pengangguran, lebih rendah upahnya, lebih
buruk keadaan perumahan, lebih banyak kesukaran ekonomi karena tidak
sesuai penghasilan dan pengeluaran dan lain-lain”
120

Penulispun tidak menyangkal, bahwa masih banyak faktor lain

sebagai penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan, baik faktor itu

berdiri sendiri maupun faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi

terjadinya pembunuhan tersebut.

e. Faktor Dendam atau Jengkel

Kaum wanita yang sesungguhnya lebih banyak berperan sebagai

makhluk pembawa kebaikan, ternyata juga banyak melakukan suatu

kejahatan. Wanita yang mempunyai perangai lembut, dan berperasaan

halus juga mempunyai perasaan mudah marah dan emosi. Di sini ia

tampil sebagai manusia yang lemah, akan tetapi juga sebagai manusia

yang perkasa dengan kekuatan penuh.

Bagi seorang wanita, kejahatan yang dilakukan sering disertai

dengan dorongan emosi yang sangat tinggi, mereka jarang menggunakan

akal sehatnya. Dari sekian banyak faktor penyebab, wanita melakukan

kejahatan pembunuhan karena dendam atau jengkel inilah yang paling

dominan. Mereka menjadi dendam atau jengkel, karena sering mendapat

perlakuan yang kurang baik dari suaminya. Suami kurang memperhatikan

dirinya dan lebih memperhatikan orang lain, bahkan serong dengan

wanita lain. Sebelumnya si wanita sudah berusaha untuk bersabar dan

menerima perlakuan suaminya, akan tetapi rupanya si suami tidak mau

sadar juga. Bahkan tambah menjadi-jadi, sehingga hilanglah

kesabarannya.
121

Dr.Kartini Kartono mengemukakan pendapatnya dalam buku

Hygiene mental berikut ini :

”Jiwa yang senantiasa diliputi rasa benci, dendam, iri, curiga, sehingga
jiwanya menjadi gelisah, tegang, penuh ketakutan, lalu menjadi kacau
balau, serta diliputi bayangan fikiran dan perasaan kegilaan. Terjadilah
kemudian desintegrasi dan disorganisasi kepribadian, tanpa memiliki
rasa sosial dan rasa kemanusiaan yang wajar” (Kartini Kartono 2000 :
92).

Berdasarkan pendapat Dr.Kartini Kartono tersebut, karena hilang

rasa kemanusiannya, maka dengan nekad ia melakukan kejahatan

pembunuhan tersebut.

Seperti hasil penelitian penulis, diperoleh informasi bahwa dari 8

orang narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan, karena faktor

dendam dan jengkel terdapat 3 orang narapidana. Jadi, untuk

melampiaskan rasa dendam kesumatnya atau perasaanjengkelnya, mereka

melakukan kejahatan pembunuhan kepada orang-orang yang

bersangkutan.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Von Liszt, seperti penulis kutip

dalam buku karangan Hurwitz berikut ini:

”....mengenai kejahatan tertentu atau pada umumnya terutama


mengenai motif-motif sehubungan dengan perbuatan nyata seperti
pembedaan yang diadakan antara motif-motif terdorong ekonomi,
hasrat seksual, balas dendam, membenci, kasihan, dan sebagainya...”
(Hurwitz 1986:148).

Jadi, faktor dendam atau jengkel ini pun, merupakan faktor

penyebab wanita melakukan kejahatan pembunuhan. Akan tetapi masih

banyak faktor lain, yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan

tersebut. Timbulnya faktor dendam ini, diakibatkan oleh emosi yang


122

sangat hebat, sehingga dapat menghilangkan kontrol diri seseorang. Oleh

karena itu, sebagai insan yang beragama harus bisa menahan diri dan

mengendalikan emosi.

f. Faktor Ancaman Atau Takut Pada Suami

Salah satu faktor wanita melakukan kejahatan pembunuhan, adalah

karena perasaan takut pada suami. Menurut hasil penelitian penulis,

diperoleh informasi bahwa karena takut akan ancaman suami maka

seorang wanita nekad melakukan pembunuhan.

Seorang narapidana menyatakan bahwa ia tega membunuh

seseorang karena takut akan ancaman suaminya, sebenarnya ia tidak

memiliki permasalahan dengan korban, melainkan suminya yang

memiliki masalah pribadi dengan korban, ia hanya membantu melakukan

pembunuhan tersebut, karena si suami tidak dapat menjalankan

rencananya itu sendiri.

Mengenai hal ini, tepat kiranya apabila penulis mengutip pendapat

Hans W. Gruhle mengenai kejahatan yang dilakukan bukan atas dasar

kehendak si penjahat, melainkan karena tuntutan hidup (conduct of life),

yang terdapat dalam buku Kriminologi karya Hurwitz ( Hurwitz

1986:149) berikut ini:

”seseorang melakukan kejahatan bukan karena kehendaknya sendiri,


tetapi menurut tuntutan hidup dapat disebabkan oleh :
karena neigung/ inclination/ kecenderungan; karena weakness/
kelemahan; karena passion/ nafsu/ gelora/ cinta; karena honour/
kehormatan; karena destituation/ kekurangan”.
123

Berdasarkan hal diatas, seorang wanita akan nekad melakukan

pembunuhan dikarenakan faktor ancaman atau takut pada suami, hal ini

tentu saja tidak dapat dipisahkan dari faktor lain, dimana tidak mungkin

seorang wanita akan tega melakukan pembunuhan, apabila ia tahu akibat

yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan

faktor pendidikan serta faktor penghayatan terhadap agama. Seorang yang

berpendidikan tinggi pasti lebih memilih mengacuhkan ancaman

suaminya daripada harus melakukan kejahatan pembunuhan. Serta tentu

saja hal ini tidak dapat dilepaskan dari faktor penghayatan agama dimana

orang yang mampu mendalami serta menjalankan ajaran agama dengan

baik, pasti akan selalu berusaha menjalankan perintah Tuhan dan

menghindari larangannya, termasuk pembunuhan, karena hal ini

merupakan salah satu dosa besar.

g. Faktor Harga Diri

Faktor lain yang menyebabkan seorang wanita melakukan

kejahatan pembunuhan, adalah karena perasaan harga diri. Dimana

menurut hasil penelitian penulis diperoleh informasi, bahwa faktor harga

diri, pada umumnya merupakan suatu faktor wanita melakukan kejahatan

pembunuhan yang dapat diancam dengan ketentuan dalam pasal 341

KUHP.

Salah satu unsur dalam pasal 341 KUHP menyebutkan bahwa

mereka yang melakukan kejahatan pembunuhan ini, adalah wanita yang

tidak terikat dalam suatu perkawinan, tentu saja yang dimaksudkan adalah
124

perkawinan yang sah menurut hukum nasional. Jadi ia hamil di luar

perkawinan yang sah. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan 2

orang, dari 8 narapidana yang melakukan pembunuhan dikarenakan faktor

harga diri.

Seperti hasil wawancara penulis dengan salah seorang narapidana

yang tega membunuh bayi yang baru saja ia lahirkan, karena bayi

tersebut, merupakan hasil perkawinan di bawah tangan, suaminya tersebut

tidak menikahinya secara sah menurut Hukum perkawinan nasional,

selain itu suaminya pun tidak bertanggung jawab menafkahi keluarganya.

Sikap masyarakat yang tidak membenarkan seseorang hamil di luar

perkawinan yang sah, inilah yang menyebabkan serta mendorong seorang

wanita untuk menghilangkan nyawa anak yang dilahirkan atau kelak akan

dilahirkan.

Jadi, tujuan dari perbuatan itu adalah sebagai usaha untuk

menutupi perasaan malu atau untuk mempertahankan harga diri wanita

tersebut.

h. Faktor Membela Diri

Tidak ada seorang pun yang akan menerima begitu saja apabila

dirinya mendapat serangan, pasti ia akan mengadakan suatu perlawanan

untuk mempertahankan dirinya. Menurut pasal 49 (1) KUHP, yang

berbunyi:

Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan,

karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan

hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan

kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana.
125

Pasal ini dikenal dengan istilah pembelaan terpaksa. Dalam

pembelaan terpaksa ini ada dua hal pokok, yaitu:

1. Ada serangan, tidak semua serangan dapat diadakan pembelaan,


melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Seketika.
b) Yang langsung mengancam.
c) Melawan hukum.
d) Sengaja ditujukan pada badan, peri-kesopanan dan harta benda.
2. Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu.
Tindakan pembelaan harus memenuhi syarat:
a) Pembelaan harus dan perlu diadakan.
b) Pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang
disebut dengan Undang-undang peri-kesopanan dan harta benda
kepunyaan sendiri atau orang lain. (Sudarto 1990: 59)

Pasal 49 (2) KUHP, yang berbunyi :

“Pembelaan terpaksa yang melampui batas, yang langsung disebabkan


karena kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana”.

Pasal 49 ayat 2 KUHP ini lebih dikenal dengan sebutan

“pembelaan terpaksa yang melampui batas”. Yakni merupakan perbuatan

yang dilarang, tetapi karena perbuatan tersebut sebagai akibat dari suatu

goncangan rasa yang disebabkan oleh serangan, misal naik darah, maka

perbuatan tersebut dapat dimaafkan oleh Undang-undang. Jadi, untuk

adanya tindakan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kelampauan batas yang diperlukan.


b. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan
jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang panas).
c. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan
dengan kata lain : antara kegoncangan kausal. (Sudarto 1990:61).

Seperti halnya hasil penelitian penulis diperoleh informasi, bahwa

erdapat seorang narapidana yang mengaku tidak sengaja melakukan

pembunuhan, karena berniat mengadakan pembelaan diri terhadap


126

serangan korban. Ia mengakui bahwa korban adalah mertuanya sendiri

yang suka mencampuri urusan rumah tangganya.

Tetapi menurut penulis, membela diri menurut pengertian mereka

bukanlah merupakan membela diri dalam arti yuridis seperti yang penulis

uraikan di atas. Karena pada kejadian tersebut, ia masih dapat

menghindari serangan tersebut tanpa harus melakukan pembunuhan.

Sehingga bagi narapidana tersebut, ketentuan pasal 49 ayat 1 dan 2 KUHP

tidaklah berlaku, sehingga mereka tetap dipidana.

Jadi, menurut hemat penulis, narapidana itu melakukan kejahatan

pembunuhan karena adanya unsur perasaan dendam atau jengkel yang

dipendam, sehingga pada waktu terjadi pertengkaran, mereka dengan

emosi yang meluap melampiaskan perasaan dendam atau jengkelnya

tersebut, maka terjadilah kejahatan pembunuhan.

Jadi, menurut penulis, narapidana tersebut di atas melakukan

kejahatan pembunuhan, bukan hanya karena faktor membela diri,

melainkan juga karena faktor dendam atau jengkel.

i. Faktor Kejiwaan

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di LP Wanita

Semarang, selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas,

ternyata terdapat faktor yang dapat melatar belakangi seorang wanita

melakukan kejahatan pembunuhan, yaitu faktor kejiwaan atau psikologis.

Dari hasil penelitian terdapat satu orang narapidana yang melakukan

pembunuhan dikarenakan faktor kejiwaan

Salah satu faktor kejiwaan yang menyebabkan seseorang

melakukan kejahatan pembunuhan adalah disebabkan karena kekalutan


127

jiwa, hal ini terkait dengan pendapat Dr. Kartini Kartono dalam bukunya

yang berjudul Hygiene Mental, yang menyebutkan bahwa:

“Kekalutan jiwa ini kemudian memanifestasikan diri dalam tingkah


laku yang tertutup (autis), atau berwujud perilaku melarikan diri dari
kenyataan hidup, dan ingin tetap tinggal dalam dunia ilusi, fantasi, dan
halusinasi. Dapat juga dalam bentuk agresi hebat ditujukan keluar
kepada orang lain, dengan berbuat kejam-sadis, menyerang atau
membunuh atau dalam bentuk agresi ke dalam, yaitu berusaha
melakukan bunuh diri”. (Kartini Kartono 2000:41).

Jadi seorang yang mengalami kekalutan jiwa ini dapat bersikap

menyerang orang lain ataupun membunuh, serta menyakiti diri sendiri

atau bahkan melakukan bunuh diri. Seorang narapidana mengakui bahwa

ia tidak sadar telah melakukan pembunuhan terhadap anak kandungnya,

dan ia baru sadar saat berada di Rumah Sakit keesokan paginya, dan

setelah kejadian pembunuhan tersebut, ia sempat melakukan percobaan

bunuh diri.

Sehingga menurut hemat penulis, berdasarkan pendapat Dr. Kartini

Karono, serta berdasarkan hasil wawancara, faktor kejiwaan

menyebabkan seseorang dapat mengalami kekalutan jiwa, sehingga tanpa

sadar seseorang dapat melakukan agresi atau penyerangan yang dapat

membahayakan jiwa orang lain. Kemudian akibat perasaan menyesal

tersebut dapat menyebabkan jiwa seseorang semakin tertekan sehingga ia

akan nekad menyakiti diri sendri ataupun percobaan bunuh diri.

Faktor kejiwaan dapat dilatar belakangi oleh berbagai macam

faktor, dan faktor ekonomi merupakan faktor terbesar dimana seseorang

dapat mengalami depresi maupun kekalutan jiwa.


128

Menurut penulis upaya penyembuhan terhadap penyakit kejiwaan

tersebut adalah dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan

berusaha mendalami serta menghayati ajaran agama.

Apabila penulis amati dari hasil penelitian di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Semarang, faktor yang paling dominan wanita

melakukan kejahatan pembunuhan, adalah karena faktor dendam atau

jengkel. Faktor-faktor lainnya adalah faktor ekonomi, rendahnya

pendidikan, harga diri, faktor takut akan ancaman suami, umur jyga

sangat mempengaruhi, faktor penghayatan agama, faktor pembelaan diri,

serta faktor kejiwaan.

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis kemukakan diatas

mengenai faktor-faktor yang melatar belakangi seorang wanita melakukan

kejahatan pembunuhan, maka hemat penulis, bahwa faktor-faktor tersebut

adalah saling berhubungan serta tidak dapat dipisahkan satu sama lain,

faktor satu menyebabkan terjadinya faktor yang lain. Seperti akibat faktor

lemahnya penghayatan agama menyebabkan jiwa seseorang labil,

sehingga ia mudah emosi. Selain itu faktor pendidikan sangat

berpengaruh terhadap keadaan ekonominya, begitulah seterusnya.

2. Pembinaan Narapidana Kejahatan Pembunuhan Di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas Iia Semarang

Menurut sistem pemasyarakatan dewasa ini, narapidana tidak hanya

dipandang sebagai individu saja, melainkan harus dipandang sebagai


129

makhluk sosial dan sekaligus anggota masyarakat. Oleh karena itu harus

diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Guna berhasilnya pembinaan menurut sistem pemasyarakatan dewasa

ini, tidak bergantung pada narapidananya saja, akan tetapi disamping itu juga

diperlukan adanya petugas pembina yang cukup dan penuh rasa pengabdian

serta dilengkapi dengan sarana-sarana yang memadai. Salah satu hal yang

paling penting yaitu peranan masyarakat dalam rangka menerima kembali

bekas narapidana yang telah selesai menjalani pidananya. Sebagai warga

masyarakat diharapkan turut serta membantu para narapidana yang telah

selesai manjalani pidananya dalam menempuh hidup barunya.

Adapun dasar pemikiran pembinaan narapidana berpatokan pada “10

Prinsip Pemasyarakatan” yaitu : (Data sekuder LP Wanita Semarang)

a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan


peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
b. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan,
sehingga tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik
pada umumnya baik berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan
ataupun penempatannya. Satu-satunya derita yang dialami oleh napi dan
anak didik hanya dibatasi kemerdekaannya untuk bergerak dalam
masyarakat bebas.
c. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat. Berikan
kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kegiatan-
kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya.
d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih
jahat daripada sebelum dijatuhi pidana. Salah satu diantaranya agar tidak
mencampur narapidana dengan anak didik yang melakukan tindak pidana
berat dengan yang ringan dan sebagainya.
e. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para napi dan
anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Perlu ada kontrak
dengan masyarakat yang terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke
lapas dan rutan / cubrutan oleh anggota masyarakat bebas dan kesempatan
yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga.
f. Pekerjaan yang diberikan kepada napi dan anak didik tidak boleh bersifat
sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk
130

memenuhi keperluan jawatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu


tertentu saja. Pekerjaan yang terdapat di masyarakat dan yang menunjang
pembangunan seperti meningkatkan industri kecil dan produksi pangan.
g. Pembinaan dan pembimbingan yang diberikan kepada napi dan anak
didik adalah berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka
harus ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping
meningkatkan pemberian rohani kepada mereka diserta dorongan untuk
menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan agama yang dianutnya.
h. Narapidana atau anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar
mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya
adalah merusak dirinya, keluarganya, dan lingkungannya, sehingga perlu
dibina / dibimbing ke jalan yang benar. Selain itu mereka harus
diperlakukan sebagai manusia biasa yang memiliki harga diri agar
tumbuh kembali kepribadiannya yang percaya akan kekuatan sendiri.
i. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.
j. Untuk pembinaan dan pembimbingan para napi dan anak didik maka
disediakan sarana yang diperlukan.

Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan tersebut, menjadi dasar pemberian

pembinaan kepada napi di Lembaga Pemasyarakatan agar kelak ia dapat

kembali diterima serta bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarganya serta

masyarakat, serta tidak akan mengulangi perbuatannya dahulu.

Berdasarkan hal di atas, maka pembinaan narapidana di dalam

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang ini dibagi menjadi 4 tahap

pembinaan, yaitu :

a. Tahap Pembinaan

1) Tahap Pertama

Tahap ini, merupakan tahap pembinaan permulaan bagi

narapidana yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 1/3 dari masa

pidana yang sebenarnya. Tahap ini bertujuan supaya aparat atau

petugas mengetahui bakat serta minat narapidana untuk nantinya akan


131

diarahkan sesuai dengan bakat yang dimilikinya tersebut. Selain hal

tersebut tahap ini juga merupakan tahap orientasi pengenalan

lingkungan Lembaga Pemasyarakatan kepada para narapidana.

2) Tahap Kedua atau tahap pembinaan lanjutan.

Tahap pembinaan lanjutan ini, diberikan kepada narapidana

yang sudah mengalami masa pidana diatas 1/3 sampai sekurang-

kurangnya ½ dari masa pidana yang sebenarnya. Dalam tahap ini,

mereka diarahkan sesuai bakat serta minat yang mereka miliki pada

ketrampilan tertentu. Selain itu mereka juga mulai diberikan tanggung

jawab sebagai anggota masyarakat yang berada di lingkungan

Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

3) Tahap Ketiga atau tahap asimilasi.

Tahap ketiga merupakan tahap asimilasi atau tahap pembinaan

lanjutan diberikan kepada narapidana yang telah menjalani proses ½

sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya.

4) Tahap Keempat atau tahap integrasi.

Pada tahap keempat ini merupakan tahap pembinaan lanjutan

yang hanya boleh diberlakukan kepada para narapidana yang telah

menjalani lebih atau diatas 2/3 masa pidana yang sebenarnya sampai

akhir masa pidana. Pada tahap ini narapidana telah diizinkan untuk

mengunjungi keluarganya pada hari-hari tertentu seperti hari raya.

Serta pemberian pembebasan bersyarat serta cuti menjelang bebas.

Setiap akhir tahapan pembinaan, diadakan suatu sidang yang

dinamakan sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan). Sidang ini


132

bertujuan mengevaluasi perkembangan napi selama pemberian

pembinaan serta pembimbingan pada tahap tertentu dan untuk

menentukan kegiatan kerja yang akan diikuti napi pada tahap

pembinaan selanjutnya.

b. Kegiatan Pembinaan

Kegiatan pembinaan terhadap narapidana di lembaga

pemasyarakatan wanita Semarang sangat beragam, kegiatan ini meliputi :

1) Pendidikan mental / agama.

Pendidikan mental / agama bertujuan memperteguh serta

menambah iman seseorang. Pembinaan di bidang agama ini meliputi

berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan agama serta keyakinan

para narapidana.

2) Pendidikan Umum serta Kejuruan.

Pembinaan di bidang pendidikan ini bertujuan untuk

meningkatkan wawasan, pengetahuan, serta intelektualitas

narapidana.

3) Pembinaan Kemandirian

Pembinaan kemadirian diarahkan pada pembinaan bakat dan

ketrampilan, supaya para narapidana setelah selesai masa

pemidanaannya dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat

yang produktif, kreatif, serta mandiri.

4) Pembimbingan Latihan Olahraga / Kesegaran jasmani (Pembinaan

Fisik / Jasmani)
133

Kegiatan olahraga merupakan suatu hal yang positif bagi

pembinaan narapidana, karena selain dapat meningkatkan kesehatan

fisik bagi narapidana, juga secara rohani atau kejiwaan dapat menjadi

suatu hiburan tersendiri di tengah masa pemidanaan. Selain itu

kegiatan pembinaan jasmani juga dapat meningkatkan semangat,

prestasi serta pengalaman para narapidana di bidang olahraga.

5) Pembinaan Bidang Kesenian

Pembinaan di bidang seni disesuaikan dengan bakat serta

minat masing-masing narapidana.

6) Pelayanan di bidang Kemasyarakatan

Selain memberikan pembinaan dan pembimbingan bagi

narapidana, LP wanita Semarang juga mengadakan pelayanan-

pelayanan terhadap narapidana, yang meliputi :

Pelayanan terhadap narapidana yang ingin melaksanakan surat

menyurat serta mengusulkan asimilasi bagi narapidana yang telah

mencapai ½ dari masa pemidanaan serta telah memenuhi syarat-syarat

tertentu. Pelayan juga meliputi pengusulkan pembebasan bersyarat

(PB) serta cuti menjelang bebas (CMB) bagi narapidana yang

sekurang-kurangnya telah mencapai 2/3 dari masa pidana sebenarnya.

7) Pelayanan Kesehatan dan Perawatan Narapidana

Pelayanan di bidang ini bertujuan supaya narapidana yang

kondisinya sedang sakit, akan memperoleh pengobatan serta

penanganan secara cepat.


134

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis kemukakan diatas mengenai

tahap-tahap pembinaan serta kegiatan-kegiatan pembinaan yang diadakan di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semarang, bahwa pembinaan terhadap

seluruh narapidana adalah sama, dan tidak ada perbedaan, termasuk bagi

narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan. Perbedaan hanya

terletak pada pengawasan yang menyesuaikan lama masa pemidanaanmasing-

masing narapidana.

Menurut hemat penulis, pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Semarang sangat baik, namun sayangnya masih terdapat sedikit

hambatan serta kendala, khususnya terhadap hasil pekerjaan narapidana.

Hambatan-hambatan tersebut antara lain :

1) Tidak adanya suatu wadah di luar lingkungan Lembaga Pemasyarakatan

yang khusus menampung serta menyalurkan hasil-hasil pekerjaan serta

ketrampilan narapidana. Hasil-hasil pekerjaan tersebut hanya dipajang dan

dipamerkan serta di pasarkan terbatas di lingkungan Lembaga

Pemasyarakatan , serta tidak dipasarkan secara profesional padahal hasil

pekerjaan para narapidana ini, tidak kalah mutu dengan yang dihasilkan

oleh masyarakat.

2) Kurang terlibatnya pihak swasta dalam proses pembinaan. Hal ini terlihat

dari masih minimnya para pengusaha yang menjadi instruktur pada saat

proses pembinaan ketrampilan serta pembinaan kerja. Instruktur ataupun

tenaga pengajar berasal dari pihak intern Lembaga Pemasyarakatan ataupun

para LSM, dan sangat jarang dari para pengusaha ataupun kalangan yang

berasal dari suatu perusahaan swasta.


135

3) Kurangnya pemberian modal usaha yang menunjang pekerjaan para

narapidana. Bahan baku serta peralatan kerja berasal dari pihak intern

Lembaga Pemasyarakatan dan kurang ditunjang dengan jumlah modal yang

besar.

4) Kurangnya promosi terhadap hasil kerja para narapidana di masyarakat,

sehingga masyarakat kurang antusias bahkan tidak mangenal hasil kerja

para narapidana.
136

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis membahas latar belakang kejahatan pembunuhan yang

dilakukan oleh wanita serta pembinaannya di Lembaga Pemasyarakatan

Semarang seperti yang telah penulis uraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka

pada bagian akhir skripsi ini adalah penutup dari pada penulisan skripsi ini. Pada

bagian akhir dari skripsi ini akan penulis kemukakan beberapa kesimpulan dan

saran-saran.

Dari uraian bab-bab yang terdahulu penulis memperoleh kesimpulan

sebagai berikut :

1. Latar belakang kejahatan wanita melakukan kejahatan pembunuhan tentunya

dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan atau berhubungan.

Faktor tersebut merupakan gabungan dari faktor-faktor yang meliputi :

a. Lemahnya penghayatan kepada agamanya ;

b. Pengaruh umur ;

c. Faktor pendidikan ;

d. Faktor ekonomi ;

e. Faktor dendam atau jengkel ;

f. Faktor takut kepada suami ;

g. Faktor harga diri ;

h. Faktor membela diri ;

i. Faktor kejiwaan.

136
137

2. Upaya-upaya pembinaan bagi para narapidana wanita dilakukan dalam

berbagai tahap, yaitu : tahap admisi dan orientasi pada 1/3 masa pidana,

dilanjutkan dengan tahap yang kedua yakni tahap pembinaan lanjutan pada

1/3 sampai dengan ½ masa pidana, tahap ketiga adalah tahap asimlasi yaitu

pada saat menjalani ½ hingga 2/3 masa pidana, serta yang terakhir ialah tahap

integrasi yaitu bagi narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana hingga

bebas.

Upaya pembinaan bagi narapidana wanita antara satu dengan yang lain

adalah sama sesuai dengan hak-hak narapidana yang telah diatur dalam

Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, tak terkecuali

bagi yang melakukan kejahatan pembunuhan. Kegiatan-kegiatan ini

meliputi:

a. Pembinaan mental / agama ;

b. Pendidikan umum serta kejuruan ;

c. Pembinaan kemandirian yaitu meliputi pembinaan bakat dan ketrampilan;

d. Pembinaan dan latihan olahraga dan kesegaran jasmani ;

e. Pembinaan di bidang kesenian ;

f. Pelayanan di bidag kemasyarakatan ;

g. Pelayanan kesehatan dan perawatan narapidana.

3. Kendala serta hambatan-hambatan dalam proses pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Semarang, antara lain :

a. Tidak adanya suatu wadah di luar Lembaga Pemasyarakatan yang

menampung hasil kerja para narapidana.


138

b. Kurang terlibatnya pihak swasta dalam proses pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan.

c. Kurangnya pemberian modal usaha yang menunjang pekerjaan

narapidana.

d. Kurangnya promosi terhadap hasil kerja para narapidana di masyarakat.

B. Saran-saran

Setelah penulis mengemukakan kesimpulan tentang penyebab wanita

melakukan kejahatan pembunuhan serta pembinaannya di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Semarang, akhirnya penulis dapatlah memberikan saran-

saran yang merupakan sumbangan pikiran terhadap masalah tersebut, yaitu :

1. Perlu adanya suatu wadah di luar Lembaga Pemasyarakatan yang

menampung hasil produksi atau hasil kerja narapidana.

2. Perlu ditingkatkan keterlibatan pihak swasta, khususnya dalam proses

pembinaan atau latihan kerja

3. Perlu adanya perhatian lebih khusus terutama mengenai masalah permodalan

usaha atau produksi.

4. Perlu adanya suatu pengenalan produk atau promosi untuk mengenalkan hasil

produksi kepada khalayak luas.


139

LATAR BELAKANG KEJAHATAN PEMBUNUHAN

YANG DILAKUKAN WANITA SERTA CARA PEMBINAANNYA

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS I A

SEMARANG

(Studi Kasus di Kota Semarang)

Skripsi

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Sista Agastyasti

NIM: 3450401029

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

2006
140

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah di setujui oleh Pembimbing untuk diajukan kesidang panitia skripsi

ujian skripsi pada:

Hari :

Tanggal:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Abdul Rasyid W. M.Ag Drs. Suhadi, M.Si


NIP: 130607620 NIP: 132067383

Mengetahui
Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Drs. Eko Handoyo,M.Si


NIP: 131764048

ii
141

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial,

Universitas negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal:

Penguji Skripsi

Anggota I Anggota II

Drs. Abdul Rasyid W, M.Ag Drs. Suhadi M.Si

NIP: 130607620 NIP : 132067383

Mengetahui

Dekan

Drs. Sunardi

NIP: 130367998

iii
142

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip

atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang

Waspiah

NIM. 3450401068

iv
143

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari

kebenaran” ( QS. Ali Imron:135 )

“Orang yang arif bijaksana itu suka memaafkan kesalahan orang lain. Karena ia

insyaf bahwa setiap yang berakal selalu mencari kebenaran. Dan setiap orang selalu

mencari kebenaran, maka dalam hidup dan kehidupannya pasti ia menemui kesulitan.

Jika ia menghadapi kesulitan tentu orang lainpun akan demikian juga halnya. Maka

sudah pada tempatnyalah orang yang bersalah itu dimaafkan” ( Avicenna )

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Ayah dan Bunda tercinta

Kakak-kakakku dan adik-adikku tersayang

Ketiga ponakanku ( Ara, Bintang, Zaki ) yang lucu-lucu

Sahabat-sahabatku yang setia dalam suka maupun duka ( Yuli dan Sista )

Angkatan 2001

Almamaterku

v
144

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat,

hidayah, dan RidhoNya, sehingga penulisan skripsi dengan judul Pembinaan

Narapidana Melalui Sistem Pemasyarakatan Kaitannya Dengan Hak-Hak Narapidana

Di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang, dapat diselesaikan.

Selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari peran beberapa pihak. Pada

kesempatan ini, Penulis menyampaikan terima kasih atas bimbingan, arahan dan

bantuan kepada:

1. DR. H. AT. Soegito, SH. MM, Rektor Universitas Negeri Semarang

2. DRS. Sunardi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

3. DRS. Eko Handoyo, M.Si, Ketua jurusan Hukum dan Kewarganegaraan

Universitas Negeri Semarang

4. Drs. Addul Rasyid W. M.Ag, Dosen Pembimbing I yang membantu dan

membimbing sehingga selesainya penulisan skripsi ini

5. Drs. Suhadi, M.Si Dosen pembimbing II yang membantu dan sabar dalam

membimbing penulisan skripsi ini

6. F. Sutomo Rahardjo, Bc. IP, S.ip. MM Koordinator Urusan Pemasyarakatan

Departemen Kehakiman dan HAM Jawa Tengah

7. Widiatiningrum Bc. IP. SH Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas

IIA Semarang

8. Susana Tri Agustin Bc. IP Kepala Subseksi BIMPAS di Lembaga

Pemastarakatan Wanita Klas IIA Semarang.

9. Segenap karyawan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang

vi
145

10. Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang

11. Ayah Bunda, kakak-kakakku serta adik-adikku tersayang yag telah

memberikan kasih sayang kepadaku.

12. Semua pihak yang telah membantu demi selesainya skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas budi dan bantuan serta bimbingan yang

telah diberikan dalam penulisan skripsi ini. Dengan kerendahan hati, penulis terbuka

menerima saran dan kritik yang membangun, yang akan memperbaiki skripsi ini

menjadi lebih sempurna.

Harapan penulis, semoga skripsi ini berguna bagi para pebaca yang

budiman.

Semarang, 2006

Penyusun

vii
146

SARI
Waspiah 2006. Pembinaan Narapidana Kaitannya dengan Hak-Hak Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. Halaman: 92
Kata Kunci: Pola Pembinaan, Narapidana Wanita, Hak-Hak Narapidana
Hak-hak narapidana Wanita sebagai warga Negara Indonesia yang hilang
kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana, haruslah dilakukan sesuai dengan
Hak Asasi Manusia. Sering dijumpai dalam Lembaga Pemasyarakatan bahwa hak
narapidana belum diberikan sesuai dengan hak mereka sebagai warga Negara. Hal ini
desebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kurang dipahaminya peraturan
mengenai hak-hak narapidana yang tertuang dalam undang-undang oleh petugas
Lembaga Pemasyarakatan atau bahkan oleh para narapidana sendiri.
Permasalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah ( 1 ) bagaimanakah
praktek penyelenggaraan pembinaan narapidana wanita menurut Undang-Undang no.
12 tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas
IIA Semarang. (2) Bagaimanakah perlindungan yang diberikan oleh Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Semarang Klas IIA Semarang terhadap narapidana wanita.
Penelitian ini bertujuan ( 1 ) untuk mengetahui informasi tentang pelaksanaan
pembinaan narapidana sesuai dengan undang-undang No.12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. (2) untuk memperoleh informasi tentang pembinaan narapidana
berkaitan dengan hak-haknya di Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA
Semarang. Penelitain ini menggunakan metode penelitian kualitatif . Lokasi dalam
penelitian ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Semarang. Alat
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, observasi dan
wawancara. Data ini dikumpulkan dengan menggunakan metode analisis interaktif
dan disajikan dalam bentuk data yang bersifat deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak-hak narapidana diberikan dengan
adanya pembatasan-pembatasan pada hak-hak tertentu. Adapun untuk kegiatan
pembinaan dalam lembaga meliputi pendidikan agama, rekreasi, ketrampilan dan
olah raga. Untuk kegiatan diluar lembaga meliputi cuti menjelang bebas dan
pembebasan bersyarat. Secara umum para narapidana merespon kegiatan pembinaan
dan memandang bahwa kegiatan tersebut masih diperlukan agar mereka mempunyai
bekal baik mental, fisik, maupun sosial yang baik.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan secara umum praktek
penyelenggaraan pembinaan narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Klas IIA Semarang sudah sesuai dengan Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan, secara khusus ada beberapa hal yang kurang sesuai antara lain
dibatasinya informasi khususnya dari majalah dan koran. Secara umum perlindungan
hak-hak narapidana yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Semarang sudah sesuai dengan Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan secara khusus ada hal-hal yang tertentu yang dalam prakteknya
dibatasi seperti dibatasinya tontonan televisi yang hanya pada acara-acara tertentu
saja, kurangnya bahan bacaan yang tersedia di perpustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan pentingnya mensosialisasikan
kegiatan pembinaan narapidana pada masyarakat, sebagai salah satu unsur partisipasi
masyarakat dengan mengikutsertakan seluruh kemampuan dan dana masyarakat
viii
147

untuk ikut peduli terhadap kegiatan pembinaan narapidana, misalnya dengan cara
masyarakat berperan sebagai penyelenggara pemeran untuk memasarkan karya
ketrampilan para narapidana. Pentingnya peran kalangan swasta sebagai pihak ketiga
untuk ambil bagian dalam proses pembinaan narapidana dengan mengadakan kerja
sama dalam proses pemasyarakatan narapidana, misalnya pihak swasta membantu
menyediakan sarana ketrampilan dan sebagai timbal baliknya para narapidana
dipekerjakan pihak swasta tersebut.

ix
148

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

PERSETUJUAN ....................................................................................... ii

PENGESAHAN ...................................................................................... iii

PERNYATAAN....................................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................ v

PRAKATA............................................................................................... vi

SARI....................................................................................................... viii

DAFTAR ISI............................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................ 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ..................................... 5

C. Perumusan Masalah ................................................................ 7

D. Tujuan Penelitian .................................................................... 7

E. Kegunaan Penelitian ............................................................... 8

F. Sistematika Penulisan Skripsi ................................................. 8

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................. 10

A. Pengertian Tindak Kejahatan ................................................ 10

B. Sistem Pemasyarakatan........................................................ 11

C. Lembaga Pemasyarakatan Wanita ........................................ 13

D. Hak dan Kewajiban Narapidana............................................ 14

x
149

E. Pembinaan Narapidana ......................................................... 18

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 26

A. Metode Penelitian ................................................................. 26

B. Lokasi Penelitian................................................................... 26

C. Fokus Penelitian .................................................................... 27

D. Sumber Data Penelitian......................................................... 27

E. Alat dan Tehnik Pengumpulan Data .................................... 29

F. Pemeriksaan Keabsahan data ................................................ 33

G. Metode Analisis Data............................................................ 34

H. Prosedur Penelitian ............................................................... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 39

A. Hasil Penelitian ..................................................................... 39

B. Pembahasan........................................................................... 83

BAB V PENUTUP.................................................................................. 89

A. Kesimpulan ........................................................................... 89

B. Saran...................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xi
150

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Proses Analisis Data

xii
151

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran : 1. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan

2. Jadual Warga Binaan

3. Daftar Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Per September 2005

4. Daftar Responden dan Informan

5. Daftar Pemberian Ransum atau Menu

6. Daftar tata tertib, kewajiban dan hak bagi narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan.

7. Pedoman Wawancara

8. Surat Permohonan Izin Penelitian

9. Surat Permohonan Izin Penelitian Dari Departemen Kehakiman Dan

HAM Jawa tengah

10. Surat keterangan telah melaksanakan penelitian

xiii

Anda mungkin juga menyukai