Anda di halaman 1dari 4

1.

Karakteristik suatu badan hukum yaitu adanya pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan
badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya.
Kemudian karakteristik badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum yaitu tidak ada
pemisahan antara kekayaan badan usaha dengan kekayaan pemiliknya.
PT. PLN sebagai perusahaan berbadan hukum, maka dalam membahas PT. PLN dapat
menggunakan pendekatan teori-teori badan hukum, asas-asas hukum tentang BUMN Persero
dan Undang-Undang tentang BUMN yang dijabarkan dengan Undang-Undang Perseroan
Terbatas. a) Pendekatan Berdasarkan Teori Harta Kekayaan Bertujuan Sebagaimana
dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa menurut teori harta kekayaan bertujuan di mana A.
Brinz sebagai tokohnya berpendapat, bahwa pemisahaan harta kekayaan badan hukum dengan
harta kekayaan anggotanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Harta
kekayaan itu menjadi milik dari perkumpulan yang bersangkutan. Poin penting sebagai
penekanan pada teori ini adalah adanya pemisahan antara harta kekayaan badan hukum
dengan kekayaan anggotanya. Pemisahan kekayaan tersebut berakar dari adanya pengakuan di
mana badan hukum dilihat dan diterima sebagai pribadi hukum yang mandiri, inlah yang
dinamakan subjek hukum. Karena itu karakteristik utama badan hukum ialah dikenal dengan
konsep pemisahan entitas (separate entity) yaitu terpisahnya antara badan hukum dengan
pribadi organnya. Dalam perseroan organ badan hukum yaitu Rapat Umum Pemegang Saham,
Direksi dan Komisaris. Sebagai konsekuensi yuridis dari konsep separate entity adalah
terpisahnya harta kekayaan badan hukum dengan harta kekayaan pribadi dari ketiga organ
tersebut. Dengan terpisahnya harta kekayaan maka pada badan hukum dikenal tanggung
jawab terbatas (limited liability) sebagai karakteristik kedua dari badan hukum. Tanggung
jawab terbatas ini ditujukan kepada pemodal (pemegang saham) di mana tanggung jawabnya
hanya terbatas pada nilai nominal saham yang ditempatkan pada badan hukum. Dalam kaitan
itu jika badan hukum menderita kerugian, harta kekayaan pribadi pemegag saham tidak boleh
menjadi jaminan pelunasan utang-utang badan hukum. Tentunya demikian juga halnya dengan
PT. PLN, sebagai badan hukum maka konsekuensi yuridisnya ialah PT. PLN harus dilihat dan
diterima sebagai pribadi hukum yang mandiri, terpisah dari seluruh organnya tanpa terkecuali
Negara sebagai pemegang saham. Sebagai pribadi hukum yang mandiri, PT. PLN memiliki
kekayaan dan kewajiban hukum sendiri.
Secara teoritis BUMN Persero berbentuk Perseroan Terbatas dan secara eksplisit dinyatakan
tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dengan demikian BUMN Persero
merupakan perusahaan berbadan hukum yang tentunya memiliki kekayaan tersendiri yang
terpisah dari kekayaan pribadi seluruh organnya. Namun sebagai konsekuensi dari ketentuan
Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara di mana melalui ketentuan tersebut kekayaan BUMN
Persero dimaknai sebagai bagian dari kekayaan Negara, hal ini berarti tidak ada pemisahan
antara kekayaan BUMN Persero dengan kekayan Negara sehingga status BUMN Persero
bukan lagi sebagai perusahaan berbadan hukum.
2. Pada masa penjajahan Belanda dikenal VOC yang merupakan perusahaan dagang sebagai
perseroan dalam bentuk primitif di Indonesia. Lamanya VOC memonopoli perdagangan di
Indonesia menunjukkan bahwa VOC sebagai sebuah perusahaan memiliki sendi-sendi bisnis
dan korporat. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, KUHD semula diberlakukan bagi
golongan Eropa saja, sedangkan bagi penduduk asli dan penduduk timur asing diberlakukan
hukum adat masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, KUHD
diberlakukan bagi golongan timur asing Cina, sedangkan untuk golongan timur asing lainnya
seperti Arab dan India diberlakukan hukum adatnya masing-masing. Namun, khusus untuk
hukum yang berkaitan dengan bisnis, timbul kesulitan jika hukum adat masingmasing yang
diterapkan, hal ini disebabkan:

1. Hukum adat masing-masing golongan sangat beragam;


2. Hukum adat masing-masing golongan sangat tidak jelas; dan
3. Dalam kehidupan berbisnis sering terjadi interaksi bisnis tanpa melihat golongan
penduduk, sehingga menimbulkan hukum antar golongan yang tentu saja dirasa rumit
bagi golongan bisnis.
Oleh karena permasalahan tersebut, maka dirancang suatu pranata hukum yang disebut
dengan “penundukan diri” dimana satu golongan penduduk tunduk pada hukum dari
golongan penduduk lain. Atas hal tersebut kemudian menjadi bebas untuk mendirikan
perseroan terbatas yang dahulu disebut dengan “Naamloze Vennotschap” atau NV
(persekutuan tanpa nama). Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya perseroan terbatas di
Indonesia. Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia menerapkan KUHD berdasarkan azas
konkordansi. PT pertama kali diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUHD yang
berlaku di Indonesia sejak tahun 1848 dan aturan tersebut sekaligus membuktikan bahwa
bentuk perseroan terbatas sudah lama dikenal di Indonesia. Pengaturan lain juga terdapat
pada Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1356 dan Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652
KUHPerdata.
Pada masa orde baru, kemudian diterbitkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas, yang menjadi lex specialis dari pengaturan perseroan dalam KUHD dan
KUHPerdata. Konsekuensinya, Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUHD yang menjadi dasar
hukum NV tidak lagi menjadi dasar hukum PT (sebenarnya NV tidak selalu sama dengan PT).
Meskipun demikian, bagi PT yang telah disahkan sebelum berlakunya undang-undang ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan anggaran dasarnya, dapat tetap berlaku. Sementara itu,
perusahaan yang telah didirikan dan disahkan (menurut KUHD) harus menyesuaikan diri
dalam 2 tahun sejak tanggal berlakunya undangundang ini. Selain itu, Ordonansi MAI
(Maskapai Andil Indonesia) 1939 juga tidak berlaku lagi, perusahaan tersebut harus
menyesuaikan diri dalam waktu 3 tahun. Walaupun diundangkan pada 7 Maret 1995,
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 ini baru berlaku satu tahun kemudian, yaitu pada 7
Maret 1996. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 ini juga memperkenalkan bentuk-bentuk
perseroan seperti BUMN dan BUMD yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh
pemerintah.
Pada era reformasi kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Undang-Undang Perseroan Terbatas). Hal-hal baru
yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(TJSL) yang merupakan penerapan konsep Corporate Social Responsibility (CSR), perubahan
modal perseroan, penegasan tentang tanggung jawab pengurus perseroan dan pendaftaran
perseroan yang sudah memanfaatkan teknologi informasi (IT) sehingga pendaftaran perseroan
sudah dapat dilakukan secara online. Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ini
sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.
Aktifitas usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) berkembang sangat cepat, seperti
Penggabungan dan Peleburan PT, pengambilalihan dan Pemisahan PT, kemudian Pembubaran
dan likuidasi PT. Aktifitas-aktifitas Perseroan Terbatas (PT) tersebut tidak diatur dalam
undang-undang yang lama yaitu KUHD ataupun dalam KUHPer, sedangkan aktifitasaktifitas
tersebut sering dipraktekkan sehari-hari. Oleh karena itu pengaturan yang berkenaan dengan
aktifitas Perseroan Terbatas (PT) tersebut sangat penting demi kelancaran aktifitas perusahaan
yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). karena apabila pengaturan tentang praktek-praktek
Perseroan Terbatas (PT) tidak diatur secara jelas akan menimbulkan masalah terhadap iklim
usaha di Indonesia, seperti yang sering terjadi terhadap penggabungan, peleburan perusahaan
Perseroan Terbatas (PT), dan pengambilalihan (likuidasi).
3. Dasar hukum bisnis yang kuat dan didukung oleh peraturan-peraturan operasional menjadi
syarat mutlak keberhasilan suatu kebijakan negara. Kebijakan privatisasi BUMN harus
didukung oleh dasar hukum dan peraturan perundang-undangan mengingat kebijakan ini
merupakan terobosan cepat (short cut policy) dalam mengurangi dan melepaskan politisasi
BUMN yang sering menghambat kinerja manajemen BUMN. Bila metode kebijakan
privatisasi BUMN adalah IPO maka berlaku sama (equal) bagi perusahaan-perusahaan yang
akan melakukan go-public, yaitu (1) Undang-undang yang mengatur IPO adalah UU No. 25
Tahun 2007 (sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1995) tentang Penanaman Modal; (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer); (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP); (4) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak
sehat; (5) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di
Pasar Modal; (6) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di
Pasar Modal.
Selain itu ada juga beberapa peraturan yang juga berkaitan langsung dengan proses dan tata
cara privatisasi, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan
Perseroan (Persero) Jo. Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan
Perseroan (Persero).
2. Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2006 tentang Pembentukan Komite Privatisasi
Perusahaan Perseroan (Persero), yang merupakan wadah koordinasi yang dibentuk
pemerintah untuk membahas dan memutuskan kebijakan privatisasi sehubungan dengan
kebijakan lintas sektoral.
3. Peraturan Menteri BUMN No. PER-01/ MBU/2010 tentang Cara Privatisasi, Penyusunan
Program Tahunan Privatisasi dan Penunjukan Lembaga dan/atau Profesi Penunjang serta
Profesi Lainnya (Patriadi, 2004)
Rencana dan bagaimana proses IPO berlangsung, bagi perusahaan, selain merupakan sarana
untuk memperoleh dana untuk pengembangan bisnis perusahaan dan meningkatkan penetrasi
pasar potensial, IPO juga merupakan sarana untuk mengembangkan pangsa kepemilikan
publik dan fungsi kontrol. Kondisi ini meningkatkan transparansi, profesionalisme pemegang
saham dan pada akhirnya kinerja dan citra perusahaan. Pembenahan kebijakan haruslah
menjadi prioritas utama sehingga privatisasi dapat berjalan dengan lancar, landasan hukum
yang jelas dan saling menunjang satu sama lain harus juga disertai oleh komitmen pemerintah
yang secara tegas mengungkapkan kemauan politiknya untuk menyukseskan program
privatisasi. Arah kebijakan privatisasi ke depan diharapkan bukan semata-mata untuk
pemenuhan APBN, tetapi diprioritaskan dalam rangka mendukung pengembangan perusahaan
dengan metode utama melalui penawaran umum di pasar modal. Disamping juga untuk lebih
mendorong penerapan prinsipprinsip Good Corporate Governance dan menghindari
timbulnya monopoli oleh pihak asing. Dalam implementasinya, privatisasi untuk tiap
perusahaan yang bernaung di BUMN memiliki karakteristik yang berbeda, dengan kasus yang
berbeda karena keunikan dari masing-masing perusahaan dan tentunya adanya perbedaan pola
tata kelola manajemen BUMN itu sendiri. Kini setelah prosedur privatisasi dilakukan maka
proses dimulai dari persetujuan oleh Komite Privatisasi di pemerintah dan DPR. Setelah
mendapat persetujuan DPR RI maka proses pengurusan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dimulai. Dengan
adanya pengawasan yang baik diharapkan dapat meningkatkan mutu BUMN di Indonesia dan
meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai