Anda di halaman 1dari 27

LINGKUNGAN BISNIS DAN HUKUM KOMERSIAL

PERSEROAN TERBATAS (PT) SERTA LARANGAN


PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

1. RUSMAYANTI (196602082)
2. RIZKI AMALIA (196602088)
3. INDRA ADHI SETIAWAN (196602117)
4. MIKI ASTRIA NINGSIH (196602081)
5. NURUL FADIYAH WAHYUNINGSIH YUNUS (196602157)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ENAM ENAM (STIE 66)


KENDARI

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan
karunia-Nya.  Sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam
menjalankan aktifitasnnya sehari – hari. Kami juga panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena dengan keridhoan-Nya makalah dengan judul “Perseroan Terbatas
(PT) serta Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat” ini dapat
diselesaikan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kami
tentang makalah tersebut, menjadikan keterbatasan kami pula untuk memberikan
penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini.Oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Harapan kami, semoga  makalah ini membawa manfaat bagi kita semua,
setidaknya untuk membuka cara berpikir kita tentang makalah tersebut. Untuk
menumbuhkan daya nalar, kreatifitas dan cara berpikir kita.
DAFTAR ISI
Kata pengantar

Daftar isi

Bab 1 Pendahuluan

A . Latar Belakang

B . Rumusan Masalah

C . Manfaat Penelitian

Bab 2 Pembahasan

PERSEROAN TERBATAS (PT)

A . Definisi dan Pengaturan PT

B . Pendirian PT

C . Direksi dan Komisaris

D . Modal dan Saham

LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A . Urgensi Undang-Undang Anti Monopoli

B . Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

C . Komisi Pengawas Persaingan Usaha

D . Tentang Sanksi

E . Ketentuan Lain-Lain dan Peralihan

Bab 3 Penutup

A . Kesimpulan

B . Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Perseroan terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal perseroan
tercantum dalam anggaran dasar. Kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga
memiliki harta kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta
kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan sendiri.
Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham yang menjadi bukti pemilikan
perusahaan. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab yang terbatas, yaitu
sebanyak saham yang dimiliki. Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan
perusahaan, maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para
pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan maka keuntungan
tersebut dibagikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Pemilik saham akan
memperoleh bagian keuntungan yang disebut dividen yang besarnya tergantung
pada besar kecilnya keuntungan yang diperoleh perseroan terbatas.
Adapun dalam monopoli terdapat kemungkinan berlakunya harga akan lebih
tinggi, jumlah produksi akan rendah, dan keuntungan lebih besar dari pada di
dalam pasar persaingan sempurna, berdasarkan kemungkinan kebanyakan ahli
ekonomi berpendapat bahwa monopoli menimbulkan akibat yang buruk terhadap
kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan menjadi tidak merata.

B . Rumusan Masalah

1. Pengertian dari definisi dan pengaturan PT ?


2. Pengertian dari Urgensi UU anti monopoli ?
3. Apakah suatu perseroan diharuskan mempunyai organ komisaris ?
4. Bagaimana proses pendirian suatu PT ?
5. Syarat pendirian PT ?
6. Jenis-jenis saham perseroan terbatas?
7. Urgensi UU anti monopoli ?
8. Undang-undang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat ?
9. Komisi pengawas persaingan usaha ?
10. Tata cara penanganan perkara ?
11. Sanksi administrasi dan sanksi pidana ?
C . Manfaat Penelitian

1. Mengetahui definisi dan peraturan PT


2. Dapat mengetahui Pendirian PT
3. Dapat mengetahui mengenai direksi dan komisaris
4. Dapat mengetahui modal dan saham PT
5. Dapat mengetahui tentang urgensi UU aniti monopoli
6. Dapat mengetahui UU larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat
7. Dapat mengetahui tentang komisi pengawas persaingan usaha
8. Dapat mengetahui tentang tata cara penanganan perkara
9. Dapat mengatahui sanksi administrasi
10. Dapat mengtahui sanksi pidana
BAB II
PEMBAHASAN

PERSEROAN TERBATAS (PT)


A . Definisi dan Pengaturan PT
Menurut undang-undang perseroan terbatas (PT), definisi perseroan terbatas
adalah badan hukum yang didirikan berdasarakan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya ter-bagi dalam saham, dan
memenuhi persyaratan yang di tetapkan dalam undang-undang serta peraturan
pelaksanaanya.
Sedangkan menurut Prof. Soekardono, Perseroan Terbatas adalah suatu
perserikatan yang bercorak khusus untuk tujuan memperoleh keuntungan
ekonomis.
Pengaturan mengenai Perseroan Terbatas terdapat dalam Undang-Undang
nomor 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas (PT). dan sebelum undang-undang
ini dibentuk oleh pemerintahan Republik Indonesia maka ketentuan mengenai
Perseroan Terbatas mendasarkan pada ketentuan yang ada dalam KUH Dagang
khususnya pasal 26 sampai dengan pasal 56. Oleh karena itu sejak disahkannya
undang-undang PT tersebut maka secara otomatis ketentuan mengenai PT yang
ada dalam KUH dagang telah dicabut berlakunya.

B . Pendirian PT
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 telah diatur dengan jelas bahwa
suatu perseroan hendaknya didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan suatu
akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indone-sia. Orang disini dimaksudkan
adalah orang perseorangan atau badan hokum (pasal 7).
Dalam pasal 8 ayat1 undang-undang PT disebutkan bahwa, akta pendirian PT
sekurang-kurangnya harus memuat antara lain:
1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan
kewarganegaraan pendiri.
2. Susunan , nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat
tinggal, dan kewarganegaraan anggota direksi dan komisaris yang pertama
kali diangkat; dan
3. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian sahan, rincian
jumlah saham, nilai normal atau nilai yang diperjanjikan dari saham yang
telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian.
Untuk memperoleh pengesahaan untuk suatu PT, tentunya para pendiri sama-
sama atau melalui kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis dengan
melampirkan akta pendirian perseroan kepada mentri kehakiman. Pengesahaan
Pendirian PT dapat diberikan dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak
permohonan yang diajukan telah memenuhi syarat dan kelengkapan yang
diperlukan. Apabila permohonan ditolak, maka akan diberitahukan secara tertulis
kepada pemohon disertai alasan-alasan nya (pasal 9 ayat 1 UU PT).
Apabila ada perbuatan hokum yang dilakukan oleh para pendiri sebelum
perseroan disahkan, maka menurut pasal 11 UU No.1 tahun 1995, perbuatan
hukum tersebut akan mengikat perseroan setelah perseroan menjadi badan hokum
dengan 3 persyaratan, yaitu :
1. Perseroan secara tegas menyatakan menerima semua perjanjian yang
dibuat oleh pendiri atau orang lain yang ditugaskan pendiri dengan pihak
ketiga.
2. Perseroan secara tegas menyatakan mengambil alih semua hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri atau orang lain
yang ditugaskan pendiri, walaupun perjanjian tidak dilakukan atas nama
perseroan.
3. Perseroan mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hokum yang
dilakukan atas nama perseroan.
Apabila perbuatan hukum seperti dimaksudkan diatas tidak diterima, tidak
diambil alih, atau tidak dikukuhkan oleh perseroan, maka akibat hukumnya adalah
masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hokum tersebut bertanggung
jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul.

C . Direksi dan Komisaris


Dari sekian banyak masalah yang terdapat pada perseroan terbatas (PT), hal
penting menurut penulis yang perlu dikemukakan dalam uraian ini adalah
mengenai kedudukan, peran dan tanggung jawab dari direksi (pengurus) dean
komisaris yang diatur dalam bab VI dalam UU No.1 Th 1995 ini, kedua unit
inilah yang memegang peranan penting terhadap maju mundurnya suatu
perseroan.
Seperti kita ketahui bahwa kekuyasaan tertinggi dari suatu PT adalah RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham). Dalam RUPS ditetapkan siapa-siapa yang
menjadi direksi, kecuali direksi yang pertama, yang telah ditetapkan dalam akta.
Menurut pasal 80 UU No.1 tahun 1995, direksi tidak boleh ditetapkan untuk
waktu selamanya. Hal ini dimaksudkan apabila ternyata direksi yang telah
ditetapkan kurang cakap, sehingga dalam pengurusan perusahaan mengalami
kerugian, RUPS dapat menggantinya dengan direksi lain.
Namun demikian menurut pasal 84 UU Perseroan Terbatas, ada 2 (dua) hal
dimana anggota direksi tidak berwenang mewakili perseroan, yaitu dalam hal:
1. Terjadi perkara didepan pengadilan antara perseroan dengan anggota
direksi yang bersangkutan ; dan
2. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan
Dalam anggaran dasar perseroan biasanya juga dapat diadakan pembatasan-
pembatasan terhadap pelaksanaan tugas direksi. Artinya dalam anggaran dasar
ditentukan bahwa bila direksi mengadakan transaksi-transaksi tertentu,
mengajukan suatau perkara dimuka pengadilan dan lain-lainnya, maka direksi
harus meminta persetujuan terselibihn dahulu dari dewan komisaris atau rapat
umum pemegang saham. Kembali diingat kan bahwa direksi hanya mempunyai
kewenangan pada hal-hal yang ditentukan dalam anggaran dasar saja. Bila
kewenangannya melampaui ketentuan yang telah digariskan, maka perseroan
tidak bertanggung jawab terhadap pihak ketiga.
Dalam anggaran dasar pada umunya perseroan menetapkan adanya beberapa
kewajiban sebagai berikut :
1. Menyusun anggaran perseroan untuk tahun yang akan datang, yang harus
diselesaikan selambat-lambatnya 3 bulan sebelum tahun buku baru mulai
berlaku. Anggaran dasar perseroan ini sudah harus direncanakan dan
diajukan dengan rapat umum para pemegang saham;
2. Menyusun laporan berkala mengenai pelaksaan tugas direksi perseroan
yang harus dikirim kepada dewan komisaris, baik daam hal mengurus dan
menguasai perusahaan, maupun membuat neraca dan perhitungan laba rugi
seperti disebutkan dalam pasal 6 ayat 2 KUHD.
3. Membuat imventarisasi atas semua harta kekayaan perseroan serta
pelaksanaan pengawasannya; dan
4. Mengadakan rapat umum para pemegang saham sekali setahun atau pada
saat-saat yang sangat mendesak.

Selain direksi, alat perlengkapan lain dari perseroan yang penting adalah
komisaris. Masalah komisaris dalam suatu perseroan adalah juga masalah yang
menarik, karna dalam UU juga telah disebutkan adanya organ perseroan yaitu
komisaris. Perkataan komisaris mengandung pengertian baik sebagai “organ”
maupun sebagai “organ perseorangan”. Sebagai organ, komisaris lazim juga
disebut “ dewan komisaris”, sedangkan sebagai “orang perseorangan” disebut
“anggota komisaris” termasuk juga badan-badan lain yang menjalankan tugas
pengawasan khusus dibidang tertentu.
Secara umum, menurut keputusan pasal 97-100 undang-undang No.1 tahun
1995 tentang PT bahwa tugas komisaris adalah mengawasi kebijakan direksis
dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada direksi. Selain itu
komisaris juga berkewajiban melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan
sahamnya dan atau saham keluarganya.
Nampaknya undang-undang tidak secara tegas menyebutkannya. Undang-
undang hanya menyebutkan : “perseroan menyebutkan komisaris yang
berwewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam anggaran dasar”. Dari kalimat
diatas dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perseroan tentu tidak diharuskan ada
organ komisaris.
Secara tegas dalam pasal 97 Undang-undang No.1 Tahun 1995 menyebutkan,
bahwa komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan
perseroan serta memberikan nasihat kepada direksi. Dalam melaksanakan
tugasnya komisaris harus mempunyai itikad baik dan penuh tanggung jawab
melaksanakan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Bila dilihat dari hukumnya, status/kedudukan komisaris itu ada 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. Komisaris yang diangkat tanpa upah dan bukan merupakan pemegang
saham, maka status hukumnya adalah sebagai pemegang kuasa
perusahaan atau RUPS;
2. Komisaris yang diangkat dengan upah, dan bukan merupakan pemegang
saham, maka status hukumnya adalah buruh pemegang saahm.
3. Komisaris yang diangkat dengan diberi upah, maka status hukumnya
adalah buruh pemegang kuasa dan anggota RUPS.
Setelah kita simak bagaimana proses pendirian suatu PT serta adanya organ
perseroan yang sangat penting, direksi dan komisaris, dapat disimpulkan adanya 3
unsur yang merupakan satu kesatuan bagi suatu perseroan hingga dikategorikan
sebagai suatu badan hukum. Unsur-unsur tersebut adalah (Richard Burton
1996:11-12):
1. Adanya kekayaan perusahaan yang terpisah dari kekayaan pribadi
masing-masing persero.
2. Adanya persero atau pemegang saham yang bertanggung jawab terbatas
pada jumlah nominal saham yang dimilikinya.
3. Adanya pengurus (direksi) dan komisaris yang merupakan satu kesatuan
pengurusan dan pengawasan serta bertanggung jawab terbatas pada
tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan/atau keputusan RUPS.

D . Modal dan Saham


1 . Modal
Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Saham
tersebut dapat dikeluarkan atas nama dan atau atas tunjuk (ketentuan pasal 24 UU
PT). sedangkan yang dimaksud saham atas nama adalah saham yang
mencantumkan nama pemegang atau pemiliknya, sedangkan saham atas tunjuk
adalah saham yang tidak mencatumkan nama pemegang atau pemiliknya.
2 . Saham
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai saham, yaitu:
a) Nilai nominal saham harus dicantumkan dalam mata uang Republik
Indonesia (Rupiah).
b) Saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan.
c) Saham atas tunjuk hanya dapat dikeluarkan apabila nilai nominal saham
atau nilai yang diperjanjikan disetor penuh.
Menurut ketentuan pasal 43 UU PT bahwa, perseroan mempunyai kewajiban
mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham. Selain itu, perseroan wajib
mengadakan dan menyimpan daftar khusu yang memuat keterangan mengenai
kepemilikan saham anggota direksi yang memuat keterangan mengenai
kepemilikan saham anggota direksi yang memuat keterangan mengnai
kepemilikan saham anggota direksi dan komisaris beserta anggota keluarganya
pada perseroan tersebut dan atau pada perseroan lain serta tanggal saham tersebut
diperoleh. Pemegang saham berhak untuk menerima deviden, mengikuti RUPS
dan ikut bersuara dalam rapat. Sedangkan kewajibannya adalah menyetorkan uang
bagian saham yang belum dibayar lunas.

Macam-macam Saham :
Ada 4 jenis saham yang dikenal dalam perseroan terbatas, yaitu:
a. Saham biasa ialah saahm yang tidak mempunyai keistimewaan dan
biasanya dijuak untuk umum.
b. Saham preferent (saham prioritas) yaitu saham yang memberikan kepada
pemiliknya hak yang melebihi dari pada saham biasa yang terdiri dari hak
prioritas umpama dalam pembagian.
1) Saham preferent kumulatif ialah saham yang jika pada suatu tahun
tidak dibayarkan deviden karena perseroan menderita kerugian
maka deviden untuk tahun itu dibayarkan tahun yang akan datang.
2) Saham preferent ialah saham preferent kumulatif ditambah sisa
keuntungan yang besarnya ditentukan dalam AD perseroan.
c. Saham bonus ialah saham yang diberikan kepada para pemegang saham
lama.
d. Saham pendiri ialah saham yang diberikan kepada mereka yang termasuk
prang-orang yang mendirikan perseroan.
3 . Pembubaran perseroan dan likuidasi
Tentang bubarnya sebuah perseroan perseroan dapat disebabkan oleh berbagai
hal sebagaimana ditentukan oleh pasal 114 UU PT, yaitu karena:
a. Adanya keputusan RUPS
b. Jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar (AD) telah
berakhir,
c. Dan karena penetapan pengadilan.
Pembubaran tersebut diikuti denan likuidasi oleh likuidator.
Dalam hal perseroan bubar, maka perseroan tidak dapat melakukan perbuatan
hokum kecuali diperlukan untuk membereskan kekayaannya dalam proses
likuidasi. Maksudnya bahwa selama dalam proses likuidasi, anggaran dasar
perseroan dengan segala perubahannya yang berlaku pada saat terakhir tetap
berlaku sampai pada hari likui-dator dibebaskan dari tanggung jawabnya RUPS.
Dalam pasal 119 UU PT disebutkan, bahwa tindakan pemberesan tersebut
meliputi hal-hal berikut:
a. Pencatatan dan pengumpulan kekayaan perseroan
b. Penentuan tata cara pembagian kekayaan
c. Pembayaran kepada para kreditor
d. Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham.
e. Tindakan-tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksaan pemberesan
kekayaan.

LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA


TIDAK SEHAT

A . Urgensi Undang-Undang Anti Monopoli


Perkembangan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama telah
menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan
rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, didorong oleh
kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan
ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana
Pembangunan Lima Tahun serta berbagai kebijakan ekonomi lainnya.
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama pembangunan jangka
panjang. Seperti ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih
banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi
yang belum terpecahkan seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi
perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun
1990-an.
Peluang-peluang usaha yang tercipta selama dasawarsa yang lalu dalam
kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi
dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta
selama periode tersebut, disatu sisi di warnai oleh berbagai bentuk kebijakan
pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi distorsi. Di sisi lain,
perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan
perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang
terkait antara pengambilan keputusan dengan pelaku usaha, baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan
ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat pasal 33 Undang-undang Dasar
1945, serta cenderung menampakkan corak yang sangat monopolistik.
Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-
kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak dengan kesenjangan sosial.
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak
didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu
bersaing.
Perkembangan bisnis di Indonesia telah menyebabkan timbulnya grup-grup
raksasa konglomerat. Di samping unsure positifnya, perkembangan tersebut telah
menimbulkan dampak negative berupa tidak terlindungnya usaha kecil maupun
konsumen. Monopoli dan trust telah menjadi masalah yang krusial di negeri ini.
Salah satu efek dari eksistensi usaha konglomerat adalah manakala dapat
menimbulkan monopoli pasar. Semakin besar suatu perusahaan tentu semakin
besar pula kemungkinan monopolinya. Dengan menguasai pangsa pasar yang
lebih besar dan menghambat para pengusaha baru (fisrt entry barrier) yang
umumnya merupakan pengusaha menengah ke bawah. Unsur monopoli ini
umumnya telah terbentuk jika suatu perusahaan atau grup perusahaan telah
menguasai pangsa pasar minimal 40%. (Munir Fuady.1999:146).
Monopoli dilarang karena terdapat berbagai aspek negatif, seperti yang
disampaikan Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul hukum bisnis dalam
teori dan praktek (1999:146-147) sebagai berikut:
1 . Ketinggian Harga
Karena tidak adanya kompetisi, maka harga produk akan tinggi. Ini akan
mendorong timbulnya inflasi sehingga merugikan masyarakat luas.
2 . Excess Profit
Yaitu terdapat keuntungan di atas keuntungan normal karena suatu monopoli.
Karenanya, monopoli merupakan suatu pranata ketidak adilan.
3 . Eksploitasi
Ini dapat terjadi baik terhadap buruh dalam bentuk upah, lebih-lebih terhadap
konsumen, karena rendahnya mutu produk dan hilangnya hak pilih dari
konsumen.
4 . Pemborosan
Karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost
yang minimum, menyebabkan ketidak mampuan perusahaan, dan akhirnya cost
tersebut di tanggung oleh konsumen.

5 . Entry Barrier
Karena monopoli menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan lain
terhambat untuk bisa masuk ke bidang perusahaan tersebut, dan pada
gilirannya nanti akan mematikan usaha kecil.
6 . Ketidakmerataan Pendapatan
Hal ini karena timbulnya unsure akumulasi modal dan pendapatan dari usaha
monopoli.
7 . Bertentang dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Monopoli bertentangan dengan sila kelima Pancasila dan pasal 33 Undang-
undang Dasar 1945. Yakni dengan prinsip-prinsip “Usaha bersama”, “Asas
kekeluargaan” dan asas “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

B. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha


Tidak Sehat
Di dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini secara umum mengandung 6
bagian pengaturan yaitu: tentang perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang,
posisi dominan, komisi pengawas persaingan usaha (KPPU), penegakan hukum
serta ketentuan-ketentuan lain.
1 . Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Di dalam pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 disebutkan
bahwa, Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penguasaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha.
Pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
terbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai macam kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Yang di maksud Praktek Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Sedangkan yang di maksud dengan Persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidsk jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
2 . Perjanjian yang Dilarang
Dalam undang-undang ini ada beberapa perjanjian yang dilarang dilakukan
oleh para pelaku usaha yang diatur dalam Bab III mulai pasal 4-16 yaitu tentang :
oligopoli (pasal 4), penetapan harga (pasal 5-8), pembagian wilayah (pasal 9),
pemboikotan (pasal 10), kartel (pasal 11), trust (pasal 10), oligopsoni (pasal 13),
integrasi vertical (pasal 14), perjanjian tertutup (pasal 15), perjanjian dengan
pihak luar negeri (pasal 16).
a. Oligopoli
1). Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau
pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2). Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa, sebagaimana poin a, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
b. Penetapan Harga
1). Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa
yang harus di bayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama, kecuali untuk suatu perjanjian yang dibuat
dalam suatu usaha patungan; atau suatu perjanjian yang didasarkan
undang-undang yang berlaku.
2). Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga
yang harus dibayar oleh pembeli dan untuk barang dan atau jasa yang
sama.
3). Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
4). Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang
lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak
akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang
diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
c. Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
d. Pemboikotan
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri
maupun pasar luar negeri.
2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari
pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
(a) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain,
atau
(b) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan jasa dari pasar bersangkutan.
e. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
f. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dengan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
g. Oligopsoni
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
dengan bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan agar dapat mengndalikan harga atas barang
atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana di
maksud dalam ayat 1 apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
h. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang sama setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat.
i. Perjanjian Tertutup
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau
jasa hanya akan memasok kembali barng dan atau jasa tersebut kepada
pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan jasa
tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok.
3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjia mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa
dari pelaku usaha pemasok.
(a) Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok; atau
(b) Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis
dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok.
j. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain diluar negeri
yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3 . Kegiatan yang Dilarang
a. Monopoli
1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 apabila:
(a) Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya ;
atau
(b) Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
(c) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
b. Monopsoni
1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimaan dimaksud dalam
ayat 1 apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
c. Penguasaan pasar
1) Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa.
(a) Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
atau
(b) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu; atau
(c) Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar bersangkutan; atau
(d) Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
2) Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa
dengan cara melakukan jual rugi atau menatapkan harga yang sangat
rendah dengan maksud untuk mengingkirkan atau mematikan usaha
pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3) Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian yang komponen harga
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
d. Persekongkolan
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk ;
1) Mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
2) Mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklasifikasikan sebaagi rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
3) Menghambat produksi dan atau pemasaran bartang/dan atau jasa
pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa
yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas maupun ketetapan waktu yang
dipersyaratkan.

4 . Tentang Posisi Dominan


Bahwa secara umum pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang
dan atau jasa yang bersaing, baik dan segi harga maupun kualitas;
atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi.
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing
untuk memasuki pasar bersangkutan.
Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud di atas apabila:
a. Satu pelaku usaah atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku menguasai 75%
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha


Agar implementasi Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini serta peraturan
pelaksanaannya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu
dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yaitu suatu lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan oihak lain, yang
berwewenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi
yang berupa tindakan administratif, sedangkan untuk sanksi pidana ini menjadi
wewenang Pengadilan. KPPU ini bertanggung jawab kedapa Presiden.
1. Keanggotaan KPPU
Komisi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 orang anggota. Anggota
komisi di angkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Apabila
karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam
keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang
sampai pengankataan anggota baru.
Syarat menjadi anggota komisi diatur dalam pasal 32, adalah :
a. Warga Negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
dan setinggi-tingginya 60 tahun pada saat pengangkatan;
b. Setia kepada pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
c. Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan Ynag Maha Esa;
d. Jujur, adil, dan berkelakuan baik;
e. Bertempat tinggal diwilayah Negara Republik Indonesia;
f. Berpengalamaan dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan
keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
g. Tidak pernah dipidana;
h. Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
i. Tidak terafaliasi dengan suatu badan usaha.
Dalam pasal 33 mengatur tentang berhentinya keanggotaan, karena:
a. Meninggal dunia;
b. Mengudurkan diri atas permintaan sendiri;
c. Bertempat tinggal diluar wilayah Negara Republik Indonesia;
d. Sakit jasmani atau rihani terus-menerus;
e. Berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f. Diberhentikan.
Mengenai pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan
fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas, komisi dibantu oleh secretariat dan komisi dapat
membentuk kelompok kerja. Ketentuan mengenai susuan organisasi,
tugas, dan fungsi secretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan
keputusan Komisi.
2. Tugas, Wewenang dan Pembiayaan Komisi
Menurut pasal 35 UU Nomor 5 Tahun 1999, tugas Komisi meliputi:
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakib atkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai dengan Psal 16;
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 17 sampai
dengan pasal 24;
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 25
sampai pasal 28;
d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur
dalam pasal 36;
e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-
undang ini;
g. Memberikan laporang secara berkala atas hasil kerja komisi terhadap
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan wewenang komisi pasal 36 meliputi:
a. Menerima laporan dan masyarakat dan atau pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan tidak sehat;
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat yang di laporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi
sebagai hasil dan penelitiannya;
d. Menyimpulkan hasil penyelidikana dan atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat;
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
teerhadap ketentuan undang-undang ini;
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimaan dimaksud huruf e dan huruf f, yang
tidak bersedia memenuhi panggilan komisi,
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan atau masyarakat;
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Tentang Pembiayaan Komisi menurut ketentuan pasal 37, bahwa: biaay
untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Tata Cara Penanganan Perkara
Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada
dugaan terjadi pelanggaran undang-undang ini walaupun tanpa adanya
laporan, yang dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur
dalam pasal 39. Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib
menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau
pemeriksaan. Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak
memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau
pemeriksaan, dan apabila melanggar ketentuan ini maka akan diserahkan
kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Menurut ketentuan pasal 42, bahwa alat bukti pemeriksaan
Komisi berupa:
a. Keteranfan saksi,
b. Keterangan ahli,
c. Surat dan atau dokumen,
d. Petunjuk,
e. Keterangan pelaku usaha.
Dalam hal adanya pemeriksaan lanjutan, maka komisi wajib menyelesaikan
pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 hari sejak dilakukan pemeriksaan
lanjutan. Dan bilamana diperlukan, jangka waktu pemeriksaan lanjutan dapat
diperpanjang paling lama 30 hari sebagaimana yang diatur daalm pasal 43.
Komisi wajib memutuskan tekah terjadi atau tidak terjadi pelanggaraan terhadap
undang-undang ini selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak selesainya
pemeriksaan lanjutan sebagaimana tersebut diatas, dan putusan komisi tersebut
harus dibacakan dalam suatu siding yang dinyatakan terbuka untuk umum dan
segerakan diberitahukan kepada pelaku usaha. Selanjutnya dalam waktu 30 hari
sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan komisi maka pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaanya
kepada komisi.
Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-
lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dan apabila
tidak memberitahukan maka dianggap menerima putusan komisi. Pengadilan
negeri harus memeriksanya dalam waktu 14 hari sejak diterimanya keberatan
tersebut serta memberikan putusannya daalm waktu 30 hari sejak dimulainya
pemeriksaan keberatan tersebut (pasal 44 ayat 2 jo 45).
Bagi pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud dalam pasal 45 ayat 2 tersebut maka dalam waktu 14 hari dapat
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Mahkamah
Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi
diterima.
Dalam hal tidak dijalankan oleh pelaku usaha, maka komisi menyerahkan
putusan tersebut kepada penyidik untukdilakukan penyidikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan putusan komisi
sebagaimana yang di maksud dalam pasal 43 ayat 4 merupakan bukti permulaan
yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Apabila tidak terdapat
keberataan, putusan komisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat 3 telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang kemudian dimintakan penetapan
eksekusi kepada Pengadilan Negeri.

D. Tentang Sanksi
Terhadap adanya pelanggaran undang-undang ini ada dua macam sanksi yaitu
berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.
1 . Sanksi Administratif
Dalam hal ini komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa sanksi atau
tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-
undang ini, yang berupa:
a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
sampai dengan pasal 13, pasal 15, dan pasal 16; dan atau
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertical
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14; dan atau
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan; dan atau
e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 28; dan atau
f. Penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah).
2 . Sanksi Pidana
Sedangkan sanksi pidana ini bukan merupakan kewenangan komisi atau KPPU
melainkan menjadi kewenangan dari lembaga pengadilan.
Tentang sanksi pidana diatur dalam pasal 48 yang berupa pidana pokok dan 49
untuk pidana tambahan sebagai berikut:
a. Pidana Pokok:
1). Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4, pasal 9 sampai dengan pasal
14, pasal 16 sampai dengan pasal 19, pasal 25. Pasal 27, dan pasal 28
diancam pidana dendan serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 6 (enam) bulan.
2). Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 sampai dengan pasal 8, pasal
15, pasal 20 sampai dengan pasal 24, dan pasal 26 undang-undang ini
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-
lamanya 5 bulan.
3). Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 41 undang-undang ini diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan.
b. Pidana Tambahan:
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam pasal 48 dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa:
1). Pencabutan izin usaha; atau
2). Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi
atau komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun;
atau
3). Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian pada pihak lain.

E. Ketentuan Lain-Lain dan Peralihan


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan adanya undang-
undang ini. Adapun yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
1. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau
2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan
intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta,
desain produk industry, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan
waralaba; atau
3. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan
atau jasa yang tidak mengkang dan atau menghalangi
persaingan; atau
4. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak
memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan
atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga
yang telah diperjanjikan; atau
5. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau
perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia; atau
7. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk
ekspor yang tidak menggangu kebutuhan dan atau
pasokan pasar dalam negeri; atau
8. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan
untuk melayani anggotanya.
BAB III
KESIMPULAN

A . Kesimpulan
a. Pengertian Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal perseroan
tercantum dalam anggaran dasar.
b. Bagaimana cara mendirikan PT
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 telah diatur dengan jelas
bahwa suatu perseroan hendaknya didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih
dengan suatu akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indone-sia. Orang
disini dimaksudkan adalah orang perseorangan atau badan hukum (pasal
7).
c. Ada 2 (dua) hal dimana anggota direksi tidak berwenang mewakili
perseroan, yaitu dalam hal:
1. Terjadi perkara didepan pengadilan antara perseroan dengan anggota
direksi yang bersangkutan ; dan
2. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan.
d. Ada beberapa perjanjian yang dilarang:
1). oligopoli (pasal 4);
2).penetapan harga (pasal 5-8);
3). pembagian wilayah (pasal 9);
4). pemboikotan (pasal 10);
5). kartel (pasal 11);
6). trust (pasal 10);
7). oligopsoni (pasal 13);
8). integrasi vertical (pasal 14);
9). perjanjian tertutup (pasal 15);
10). perjanjian dengan pihak luar negeri (pasal 16).
e. KPPU dalam melaksanakan tugasnya belum dapat berjalan secara efektif
dalam penangan kasus dugaan kartel terkait praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, hal ini disebabkan KPPU tidak memiliki kewenangan
mnelakukan penggeledahan dan penyitaan.
B. Saran
Amandemen dititikberatkan pada tambahan kewenangan pada KPPU,
khususnya agar memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan dan
penyitaan. Apabila akan muncul ketakutan akan adanya kewenangan
penggeledahan dan penyitaan dengan penegak hukum lainnya, kewenangan
penggeledahan dan penyitaan yang nantinya diberikan kepada KPPU bisa
dilakukan secara terbatas.
Saran yang terakhir yaitu adanya peluasan definisi pelaku usaha, tidak
hanya yang ada di Indonesia tetapi juga pelaku usaha di luar wilayah Indonesia
yang berdampak pada perekonomian di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Rahayu Hartini, Hukum Komersil, 2019 Fakhry Amin, “Lingkungan bisnis dan
Hukum Komersil”, Badan Ajar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Enam
Enam Kendari, 2019

Anda mungkin juga menyukai