Anda di halaman 1dari 16

Pelindo Dan Wajah Pengelolaan BUMN Kita

Oleh: Djasarmen Purba.SH


Peneliti Resistance and Alternatives to Globalization (RAG)

Dugaan penyimpang pada PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo II), mendorong Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk panitia khusus (Pansus), untuk menyidik
penyimpangan dan dugaan kerugiaan negara pada perusahaan plat merah tersebut.

Namun dalam perkembangannya penyidikan Pansus masih berkutat pada kasus-kasus yang
terjadi di dalam tubuh Pelindo II (holding), belum mengarah untuk membuka tabir
bagaimana praktek-praktek penyimpangan dalam BUMN tersebut. Demikian tercipta opini
seolah-olah Pansus dibentuk hanya untuk membidik orang-orang tertentu, bukan untuk
membawa agenda besar perubahan dalam tatakelola BUMN.

Sejauh ini penyidikan Pansus belum menyentuh ke anak dan cucu perusahaan induk,
padahal justeru disinilah pintu masuk untuk membuka tabir praktek-praktek
penyimpangan dalam BUMN.

Penyidikan Pansus yang hanya berfokus pada perusahaan induk (holding), sulit untuk
mengurai bagaimana praktek penyimpangan berjalan dalam BUMN, mengingat pengelolaan
pada perusahaan induk dapat dipastikan dilakukan dengan sangat hat-hati, sebab
pengelolaannya terikat dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terutama
pasal 2 huruf g dan huruf i, yang kemudian tgeas kembali dalam putusan Mahkamah
Konstitusi, No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang mengukuhkan status kekayaan negara yang
bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi
penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.

Disamping itu

opini bahwa Pansus dibentuk hanya untuk membidik orang-orang tertentu,

Pansus tidak akan menemukan penyimpangan dan kerugian negara.

Namun demikian dapat dipahami memang tidak mudah bagi Pansus, karena mengingat
keterbatasan jangkauan peraturan yang ada dan canggihnya praktek penyimpangan
didalam tubuh BUMN.

Sejauh penyidikan Pansus berkutat pada perusahaan induk (holding), maka

Umum diketahui

Anak Perusahaan
Format Ulang

Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan


tanggal 18 September 2014, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber
dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan
modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.

Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN atau
perolehan lainnya yang sah dan dijadikan penyertaan modal negara kepada BUMN yang
dikelola secara korporasi. Menempatkan kekayaan negara untuk dikelola secara korporasi
menghasilkan manfaat bagi peningkatan perekonomian negara. Selain itu tujuan
pemisahan kekayaan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan
masyarakat.

Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara ?

Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa Perusahaan
Persero, yang selanjutnya disebut Perseoro, adalahBUMN yang berbentuk perseroan
terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51%
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan.

BUMN merupakan badan usaha yang pembentukannya tunduk pada undang-undang


(Badan hukum publik) tetapi aturannya atau seluruh aktifitas kegiatan pengelolaannya
tunduk dan diatur dalam hukum privat (yang artinya, jika BUMN berperkara maka
perlakuan yang didapatkan seperti perusahaan biasa)

Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari
harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu badan hukum yang
berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi
(sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas) dan Pemegang saham (sebagai
pemilik).Hal ini mengisyaratkan bahwa BUMN sebagai badan hukum bukanlah kekayaan
negara.

BUMN merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri.Kekayaan negara yang
dipisahkan dalam BUMN secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara,
bukan harta kekayaan BUMN itu. Kekayaan BUMN terpisah dari kekayaan negara karena
kekayaan negara di dalam BUMN hanya pada sebatas saham. Sehingga pada saat ada
kerugian yang dialami BUMN, hal tersebut bukan kerugian negara, tetapi kerugian BUMN
saja. Lain halnya Apabila saham negara pada BUMN tersebut dijual tanpa izin dari negara
sebagai pemiliknya, baru hal tersebut merupakan kerugian negara

Namun, adan ketidaksinkronan beberapa Undang-Undang TerkaitApakah kekayaan BUMN


sebagai bagian kekayaan negara?.

Jika mengacu pada Undang-Undang Keuangan Negara , Undang-undang Badan Pemeriksa


Keuangan, Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas KKN dan UU No 49/Prp/1960 tentang Panitia urusan
Piutang Negara, maka Kekayaan BUMN bagian dari kekayaan negara.

Namun, jika merujuk pada UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN), UU Perseroan terbatas
(PT), UU Perbankan, UU Pasar Modal yang terkait lingkup bisnis secara tegas menyatakan
Kekayaan BUMN adalah terpisah.

Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT BUMN (Persero) berarti kerugian PT BUMN
dan otomatis menjadi kerugian negara?

Pasal 56 UU No 1 Tahun 1995 tentang Perusahaan Terbatas menyatakan bahwa dalam lima
bulan setelah tahun buku perseoran ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk
diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya antara lain perhitungan tahunan
yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari
buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut.

Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian
perseroan tersebut, karena ada transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada
kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi perseroan terbatas, karena mungkin
ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau dan ditutup dari dana cadangan
perusahaan.

Jadi, tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi
kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak pidana korupsi telah
menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi. Namun
terdapat doktrin business judgement yang menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan
tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari sutu tindakan pengambilan
keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi
mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham
atau pengadilan atas keputusan yang dambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.

Business judgement rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil resiko
dapripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan
asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih baik dalam bidang
bisni daripada direksi. Para hakim pada umumnya tidak memiliki keterampilan bisnis dan
baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.
Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT BUMN (Persero) dapat
mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT BUMN (Persero) bila
tindakan mereka dianggapa merugikan Pemerintah sebagai Pemegang Saham ?

Direksi suatu perusahaan BUMN Persero dapat dituntut dari sudut hukum pidana. Hal ini
dapat saja dilakukan apabila Direksi bersangkutan melakukan penggelapan, pemalsuan
data dan laporan keungan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan, pelanggaran Undang-
undang pasar modal, pelanggaran Undang-Undang Anti monopili, pelanggaran Undang-
undang Anti Pencucian Uang (Money Laundering) dan Undang-undang lainnya yang
memiliki sanksi pidana.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) merupakan lembaga negara yang
bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, tetapi tidak
terlepas dari optimalisasi peran dari Inspektorat Provinsi/Kota/Kabupaten/,Inspektorat
BUMN, dan peran dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

BPK beperan aktif dalam mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang
akuntabel dan transparan serta dalam penyelenggaran tersebut perlu dilakukan
pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Menurut Bahrullah Akbar (Anggota VII BPK RI) pada diskusi panel dengan tema
Optimalisasi Pengawasan atas kekayaan Negara yang Dipisahkan pada Kamis 7 November
2013 di Aula Kantor Bupati Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau membahas tentang
perbedaan mengenai pengertian kekayaan negara yang dipisahkan antara praktisi BUMN
dengan aparat penegak hukum. Praktisi BUMN berpandangan, bahwa saat kekayaan negara
telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut masuk ranah hukum privat sehingga bukan lagi
menjadi kekayaan negara. Sedangkan aparat penegak hukum berpendapat, bahwa
kekayaan negara yang dipisahkan tetap merupakan keuangan negara dan menurut sifatnya
berada dalam ranah hukum publik, sehingga apabila terjadi kerugian negara maka
ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat diberlakukan pada pengurus
BUMN. Pengertian dipisahkan yaitu dipisahkan dalam sistem tata kelola, bukan dipisahkan
dari negara dan bukan memisahkan kepemilikan tetapi hanya memisahkan catatan
akuntansinya.

Jika mengacu pada doktrin hukum bisnis tidak tepat jika keuangan BUMN diperiksa BPK.
Alasannya kewenangan BPK memeriksa pengelolaan keuangan negara. Terlebih UU
Perseroan Terbatas (PT) menyebutkan keuangan perusahaan termasuk perusahaan negara
yang mengelola dana masyarakat wajib diperiksa oleh akuntan publik.
Penyertaan modal negara adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan
dan belanja negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumberlain untuk dijadikan
sebagai model BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi.

Tidak Semua Kerugian BUMN Jadi Kerugian Negara


Ada pula yang disebabkan risiko bisnis.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengklaimtelahmembedakan secara tegas antara


kerugian BUMN disebabkanrisiko bisnis dan kerugian BUMN disebabkanperbuatan
melawan hukumyang berakibat berkurangnya kekayaan BUMN. Kerugian BUMN karena
perbuatan melawan hukum disebut kerugian negara (state loss). Sedangkan kerugian
BUMN yang timbul akibat risiko bisnis (business loss), seperti kerugian
disebabkanpenurunan nilai tukar rupiah.

BPK juga tidak naf, seolah-olah semua kerugian BUMN akan ditimpakan sebagai kerugian
negara. BPK juga mengerti konsep risiko bisnis.Nanti kita lihat dan pilah mana kerugian
bisnis atau mana kerugian akibat tindak pidana, ujar Wakil Ketua BPK Hasan Bisri saat
memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 2 huruf g
dan huruf i UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara di Gedung MK, Rabu (4/9).

Bisri menuturkan kalau permohonan ini dikabulkan,BUMN bukan lagi bagian dari
keuangan negara. Otomatis BPK tidak punya kewenangan lagi memeriksa BUMN dan
mengevaluasi kantor akuntan publik yang mengaudit BUMN. Akibatnya, bisa berdampak
luas pada sistem pengelolaan keuangan negara dan diperkirakan berbagai manipulasi dan
rekayasa yang diduga dilakukan direksi BUMN tidak akan terungkap.

BPK menemukan banyak kasus BUMN merekayasa pembukuan supaya keuntungannya


besar, sehingga bonusnya jadi besar. Hal itu, seharusnya sudah dideteksi kantor akuntan
publik yang memeriksa perusahaan BUMN itu. Laporannya diam-diam saja. Begitu BPK
masuk, baru ketahuan. Ini modus-modus yang sering terjadi.

Dia mengatakan jika mengikuti pendapat pemohon, keuangan daerah, pendapatan dan
belanja daerah, kekayaan daerah yang dipisahkan dalam BUMD bukan bagian dari
keuangan negara.Termasuk lembaga yang sumber keuangannya bukan dari APBN. Seperti,
BI, OJK, BPJS, SKK Migas, LPS, bukan bagian dari keuangan negara.

Menurut dia kekayaan negara pada BUMN harus terpisah dari APBN agar kekayaan BUMN
dapat dikelola sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan efisien untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Maksud pengertian kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN
adalah dipisah dari sistem pencatatan dan pengelolaan APBN. Namun, tetap merupakan
bagian dari kekayaan negara, aset negara, dan keuangan negara, kata Bisri.
BPK membantah dalil pemohon yang menyatakan keuangan negara adalah APBN yang
mendasarkan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Soalnya, semua kekayaan negara diluar APBN
bukanlah keuangan negara. Kekayaan bersih BUMN yang menjadi hak pemerintah dicatat
sebagai aset pemerintah. Sementara pendapatan BUMN tidak dicatat sebagai pendapatan
APBN dan pengeluaran BUMN juga tak dicatat sebagai pengeluaran APBN.

Tetapi, penyertaan modal negara oleh pemerintah pada BUMN berasal dari APBN.
Pendapatan bagian laba pemerintah pada BUMN juga disetor ke kas negara sebagai
pendapatan APBN, kata Bisri.

Bisri menambahkan jika MK membenarkan dalil pemohon keuangan negara hanyalah


APBN, pihaknya khawatir semua penyimpangan dalam pengelolaan kekayaan negara di
luar APBN akan sulit dideteksi. Sebab, semua lembaga pengawas baik internal maupun
ekternal seperti BPK tidak bisa memeriksa mereka.

"Apabila penyelewengan itu diketahui juga tidak dapat dijerat UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi karena semuanya akan dinyatakan sebagai risiko bisnis.

Ahli dari pemohon


Dalam sidang yang sama, Guru Besar FH UGM Prof Nindyo Pramono menyimpulkan UU
Keuangan Negara berdampak tidak ada kepastian hukum bagi pelaksana UU BUMN dan UU
terkait. Soalnya, dalam kenyataannya mereka dibayang-bayangi kekhawatiran dari
keputusan bisnis yang jujur dan akuntabel, tetapi dituduh korupsi lantaran mengakibatkan
kerugian negara.

Menurutnya, tidak tepat jika kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal BUMN masih
dikategorikan sebagai bagian keuangan negara seperti diatur UU Keuangan Negara.
Pengurus BUMN bukan penyelenggara negara, melainkan organ BUMN seperti halnya
direksi-direksi perusahaan lainnya, tutur ahli yang sengaja diajukan pemohon ini.

Uji materi ini dimohonkan sejumlah dosen keuangan negara yang tergabung dalam Center
for Strategic Studies University of Indonesia (CSS UI)dan Forum Hukum BUMN Dkk. Selain
menguji Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara, mereka menguji Pasal 6 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UU BPK.

Forum Hukum BUMN Dkk berdalih pengertian keuangan negara dan kekayaan negara
dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara telah menimbulkan ketidakpastian
hukum. Pengertian itu menyebabkan disharmonisasi dengan ketentuan dalam UU BUMN
dan UU Perseroan Terbatas.

Selain itu, Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara itu berpotensi melanggar hak
konstitusional masyarakat, badan, bangsa. Ketentuan itu mengatur kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/daerah sebagai badan hukum privat dan kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas dari pemerintah. Padahal, secara
regulasi, tata kelola, dan risiko tidak diwujudkan (masuk) dalam UU APBN.

Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara
bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan frasa kekayaan pihak lain
yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN


01 Oktober 2014

Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan


tanggal 18 September 2014, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber
dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan
modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara.

Hal itu telah mengakhiri perdebatan mengenai frasa "kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah" dalam Pasal 2 Huruf g Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merupakan salah satu unsur dari keuangan
negara.

Meskipun UU Nomor 17 Tahun 2003 dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang
dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, ketentuan tersebut
sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum
privat dan teori transformasi keuangan negara.

Pandangan yang pertama tersebut menyatakan bahwa dehgan perubahan bentuk hukum
suatu BUMN menjadi PT persero, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan
keuangan negara di BUMN yang dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan
tak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN, seakan-akan tak lagi terjamah oleh
sistem pengawasan BPK terhadap penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut

Pandangan ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara dari
APBN yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya dilakukan khusus
terhadap aliran keuangan negara tersebut Negara berkepentingan untuk mengamankan
uang negara yang masuk dalam kas BUMN melalui mekanisme subsidi maupun penyertaan
modal.

Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas kelengkapan (volledigheid beginsel)
telah menjamin bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang memungkinkan adanya aliran
keuangan negara yang lepas dari sistem pengawasan parlemen melalui audit BPK. BPK
dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi wewenang sebagai organ tinggi negara
dengan fungsi auditif. Selain itu, dengan prinsip "hak preferensi negara", negara tak boleh
kehilangan wewenang pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang harus
selalu dipertanggungjawabkan melalui siklus pengelolaan APBN.

Hal itu juga sekaligus mengafirmasi kesahihan "teori sumber" sebagai salah satu teori
klasik dalam pengelolaan keuangan negara, yang menegaskan prinsip bahwa setiap aliran
uang negara yang bersumber dari APBN harus dipertanggungjawabkan berdasarkan
mekanisme pertanggungjawaban APBN.

Pasal 33

Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar yang
terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam
pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara
tak boleh kehilangan kendali pengawasan atas tata kelola BUMN.

Hal ini sekaligus juga meruntuhkan konsep sumir bahwa melalui privatisasi BUMN telah
terjadi transformasi keuangan negara menjadi uang privat dalam wadah BUMN persero
yang seakan-akan tak terjamah lagi oleh sistem pengawasan negara.

Privatisasi tak boleh menjadi wilayah abu-abu untuk melakukan berbagai praktik koruptif
dengan membingkainya menjadi risiko bisnis. Cara pandang terakhir ini bisamengancam
penyalahgunaan aset negara di berbagai BUMN yang jumlahnya kini tak kurang dari Rp
3.500 triliun.

BUMN didirikan oleh negara dan tak boleh sekadar hanya berorientasi profit karena Pasal
33 harus selalu menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN. BUMN dalam perspektif
konstitusi harus tetap menjadi agen pembangunan untuk memberikan kemanfaatan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

Putusan Mahkamah Agung No 1863/K/Pid.Sus/2010 sebelumnya telah menjadi


yurisprudensi yang menjadi rujukan bagi KPK untuk menyelamatkan triliunan rupiah uang
negara yang disalahgunakan pengelolaannya oleh beberapa BUMN.

Dengan adanya putusan MK dan putusan MA tersebut, seharusnya tak perlu lagi keuangan
negara di BUMN diperdebatkan status hukum publiknya, apalagi dengan motif tersembunyi
untuk mengambil keuntungan dari wilayah abu-abu dalam pengelolaannya.

W Riawan Tjandra, Pengajar Hukum Keuangan Negara, Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
Kompas
KASUS BUMN

"MODUS KORUPSI DI ANAK PERUSAHAAN & YAYASAN BUMN" By @TrioMacan2000


Eng ing eeeng..kita bahas modus korupsi BUMN via anak perusahaannya saja ya. Bahas
Yahudi, israel & mossad bahaya, akun bs disuspend
Sdh lama BUMN2 kita jadi sarang korupsi. Ratusan triliun setiap tahun. Terbesar :
Pertamina, Petral, Telkom, Bulog, BUMN bank & asuransi. Kami sdh pernah bahas korupsi
US$ 5 milyar per tahun di Pertamina & Petral. Jg bahas korupsi di bank2 BUMN dll. Skrg
kita bahas MODUS korupsi BUMN via anak perusahaan & yayasannya. Kerugian negara
belasan triliunan/thn tp tdk bisa tersentuh hukum
Sesuai UU BUMN, asset BUMN adalah asset negara yg dipisahkan. Sehingga kerugian BUMN
dianggap sbg kerugian negara. Sehingga korupsi di BUMN secara hukum dianggap juga sbg
korupsi uang negara. Para koruptor pun cari celah hukum. Modus para koruptor (pejabat2
BUMN) merampok uang negara adalah via anak perusahaan dan/atau via yayasan2 yg
mrka dirikan. Ada banyak MODUS korupsi di anak BUMN & Yayasan2 BUMN ini. Semuanya
tdk dpt disentuh UU anti Korupsi yg ada
Modus 1 : BUMN melakukan penyertaan modal secara langsung ke prshan2 tertentu. Psrhn
baru atau prshan yg sdh beroperasi lama. Penyertaan modal langsung oleh BUMN ke
perusahan lain ini sengaja dibatasi agar tdk melebihi 50% agar tdk masuk kategori BUMN.
Hampir semua BUMN memiliki anak perusahaan. Mayoritas saham BUMN di anak prshan
ini hny minoritas : 5-40% saja. Aman dari UU antikorupsi
Modus 2 : BUMN menempatkan modal secara tdk langsung via Yayasan2 BUMN. Ada
yayasan kesejahteran karyawan, pensiun dst. Yayasan2 inilah yg secara hukum tercatat sbg
pemilik (pemegang saham) di berbagai psrhan2 "anak BUMN" ini : PT atau Koperasi.
Hampir semua BUMN punya Yayasan Kesejahteraan Karyawan atau Yayasan Pensiun
Karyawan. Dan hampir semuanya : MERUGI !!. Yayasan2 ini selain menerima bantuan
permodalan dari BUMN jg menerima setoran uang pensiunan karyawan BUMN
Selama ini pejabat2 BUMN sering mengambil uang dari yayasan pensiun atau yayasan
kesejahteraan karyawan/pegawai. Alasannya macam2. Kita pernah ketahui persis bgmn
YKKBI keluarkan uang 100 M utk suap agta DPR demi muluskan agenda BI pd pembahasan
RUU BI di DPR. Untung kasus tsb tebongkar dan akibatnya Aulia Pohan besan SBY
ditangkap KPK dan dipenjarakan
Kami juga pernah bongkar korupsi uang Yayasan Pensiunan PTPN II medan sebesar 1.1
triliun yg skrg sdh disidik oleh Kejaksaan agung. Tapi, dari ratusan Yayasan BUMN itu, hny
1-2 yg terungkap dan dapat dikategorikan sbg pidana korupsi dan pelakunya diseret ke
penjara
Lbih 95% yayasan2 yg jadi ATM dan sapi perah pejabat2 BUMN masih aman2 saja. Tak
tersentuh hukum. Bebas pesta pora belasan T tiap thn. Selain sbg sarang korupsi, uang
puluhan triliun di yayasan2 BUMN jg dijadikan ATM oleh partai2 politik. Banyak
perusahan2 yg dimiliki Yayasan2 BUMn ini hny jadi sapi perah. Modusnya macam2
Modus 1 : anak2 prshn BUMN ini mendpaatkan privilege (keistimewaan/perlakuan
khusus) dari BUMN2 induknya. Dikasih bisnis & margin besar. Keuntungan anak2 BUMN ini
kemudiian dibagi2 kpd pejabat2 BUMN dlm berbagai bentuk. Yg paling umum adalah
bonus, gaji dll. Umumnya semua direksi BUMN juga rangkap jabatan jd komisaris di anak2
BUMN tsb. Remenurasi & fasilitas komisaris2 ini jor2an
Modus 2 : anak2 BUMN ini "membesarkan/mar up" biaya2 operasioal & pemasarannya.
Pdhl itu utk suap kpd direksi2/pejabat2 BUMN induknya
Modus 3 : anak2 BUMN ini jika dapat proyek/bisnis/order dari BUMN induknya,
mensubkan kerjaanya ke psrhan2 milik direksi BUMN induknya
Modus 4 : anak2 BUMN ini juga bisa mensubkan proyeknya ke prshan lain yg tdk ada
afiliasinya tapi berdasarkan arahan direksi BUMN induk. Nanti direksi /pejabat2 BUMN
induk yg terima setoran suap besar dari prshan swasta yg ditunjuk sbg
pemenang/subkon/pelaksana proyek itu. Contoh mudah. Lihat semua bank BUMN kita.
Semuanya punya yayasan dan yayasan punya prsh asuransi/broker asuransi
Bank2 BUMN kita punya portofolio premi asuransi sgt besar : 1-3 triliun per tahun yg
dikutip dari uang nasabah/debiturnya. Yg menjadi broker asuransi dan penanggung
asuransi nasabah/debitur bank BUMN tsb adalah anak2 prshn BUMN via yayasan tadi.
Setiap bulan atau setiap tahun, broker2 & prshn asuransi anak BUMN bank tsb setor suap
ke direksi/pejabat2 bank BUMN puluhan/ratusan M !. Perushaan asuransi swasta yg Jadi
rekanan bank BUMN tsb (mandiri, BRI, BNI, BTN, BPD dst) setor suap juga ke
direksi/pejabat2 bank BUMN. Praktek korupsi modus ini sdh biasa dan sdh lama terjadi.
Kerugian negara selama 5 thn terakhir diperkirakan lebih 2 trilun !!
Modus korupsi lainnya atau modus 5 seperti dilakukan Bulog di Bank Bukopin. Bulog
adalah pemilik bukopin via yayasan2 & koperasinya. Karena saham depkeu di Bukopin hny
minoritas dan mayoritas adalah saham Yayasan dan koperasi Bulog, Bukopin scra hukum =
swasta. Akibatnya direksi Bank & pejabat2 Bukopin bebas pesta pora korupsi ratusan
milyar merampok di banknya tsb
Banyak lagi modus2 korupsi di BUMN yg nanti kita ungkap pada kultwit selanjutnya seperti
via CRS, kerjasama operasional dgn swasta dst. Skrg kita sudahi dulu sampai disini. Selamat
buat Rakyat Indonesia yg mayoritas masih miskin dan sengsara. Menonton korupsi2 negeri
ini

Ekonomi dan Bisnis


11-06-2012
Korupsi Kronis Di Bank BUKOPIN

PT. Bank Bukopin salah satu bank milik negara melalui penempatan saham depkeu, Yayasan
& koperasi Bulog dan PT. Jamsostek. Komposisi kepemilikan saham Bukopin sebagai
berikut: Kopelindo (kop Pegawai Bulog) 39.54%, Negara RI 16.89%, Yabinstra 11.89%,
Kopkapindo 6.54%. Intinya, pemilik saham mayoritas di Bukopin (> 60%) adalah uang
negara. Uang Rakyat. Meski secara UU, Bukopin tidak termasuk BUMN.
Namun, pengendali utama Bukopin tetap MenBUMN Dahlan Iskan yang membawahi Bulog
sebagai Induk Perusahan Bukopin. Plus saham negara 16%. Publik sudah mengetahui sejak
lama bhw Bulog dari dulu merupakan sarang korupsi. Banyak kasus-kasus korupsi yang
menjerat Kepala/Dirut Bulog. Bahkan Gus Dur jatuh dan akbar tanjung sempat dipenjara,
gara-gara duit Bulog dijadikan bancakan nasional. Uang Bulog banyak setannya.

Status Bukopin yang banci secara UU karena bukan termasuk BUMN murni menyebabkan
Bukopin bebas dikorupsi oleh direksinya. Modus korupsi di anak perusahaan BUMN ini
adalah modus korupsi yang paling disenangi oleh Direksi-direksi BUMN dan direksi anak-
anak BUMN. Dengan alasan, uang yang ditempatkan di anak BUMN bukan temasuk uang
negara, kasus-kasus korupsi yang tejadi di anak-anak BUMN sangat banyak dan aman.
Tindak pidana korupsi di anak-anak BUMN disulap menjadi tindak pidana penggelapan
dengan manfaatkan celah hukum yang ada. Suap jadi senjata., Akibatnya banyak kerugian
negara akibat korupsi di anak-anak BUMN tidak diusut tuntas. Damai melalui suap.
Dipetieskan. Termasuk di Bukopin.

Contoh korupsi di Bukopin : 1. Rekayasa Perhitungan Pembagian Tantiem Direksi /


Komisaris Bukopin tahun buku 2010. RUPS BUKOPIN tanggal 18 Mei 2011 telah
menetapkan : Menyetujui pemberian TANTIEM kepada Direktur/komisaris yang besar
nominalnya sebanyak-banyaknya Sama dengan tahun lalu (2010). Hasil RUPS itu
diumumkan di media massa pada tanggal 20 Mei 2011. Namun, hasil RUPS tersebut
direkayasa.

Hasil RUPS tanggal 18 Mei 2011 itu direkayasa direksi BUKOPIN pada tanggal 10 juni 2011
dengan merobah redaksi hasil RUPS Bukopin. Dengan rekayasa direksi tersebut, redaksi
hasil RUPS BUKOPIN menjadi : menyetujui pemberian TANTIEM kpd direksi dan komisaris
secara prosentase sebanyak banyaknya sama dengan tahun lalu. Kata nominal dirobah
menjadi prosentase. Sangat berbeda artinya Redaksi hasil rekayasa direksi Bukopin itu
kemudian diumumkan di media massa pada tanggal yang sama 10 Juni 2011. Notaris
keberatan dengan rekayasa dan pemalsuan hasil RUPS yang dilakukan oleh Direksi Bank
Bukopin. Tapi direksi Bukopin menekan notaris.

Ketika Notaris meminta notulen rapat RUPS susulan setelah 18 Mei 2011, direksi Bank
Bukopin tidak bisa menunjukan. Direksi ngotot. Akhirnya notaris mengalah. Akibatnya
TANTIEM Direksi dan Komisaris Bukopin pun mengelembung sangat besar, beda dengan
hasil RUPS sebenarnya.

Direksi Bukopin sendiri sangat tertutup kepada publik mengenai jumlah REMUNERASI
direksi dan komisaris Bank Bukopin. Data REMUNERASI yang diberikan dan yang
dipublikasikan jauh berbeda dengan fakta sebenarnya. contoh : untuk tahun 2011
BUKOPIN umumkan REMUNERASI total untuk komisaris dan direksi hanya Rp.
30.245.000.000. Padahal sebenarnya jauh lebih besar. 2 kali lipat angka itu.

Data resmi Bukopin yang diperoleh Kejaksaan Agung, untuk tahun 2005 saja, REMUNERASI
direksi dan komisaris Bukopin = Rp. 53.945.519.949.
Sangat jelas indikasinya bahwa Direksi BUKOPIN sengaja menutup-nutupi jumlah
REMUNERASI direksi/komisaris agar tidak disorot public. Untuk membuktikan berapa
Remunerasi yang sebenarnya sangat gampang..selidiki berapa pajak yang dibayar
direksi/komisaris Bukopin pada Kantor Pajak. Modus korupsi lain di BUKOPIN adalah
praktek office in office. Banyak keuntungan oprasional Bank Bukopin masuk ke rekening
pribadi.

Contoh. Ketika BUKOPIN mendapatkan tugas untuk penyelesaian kredit macet sejumlah
debitur eks BPPN senilai lebih Rp. 3 triliun. Sebagian perusahaan eks debitur BPPN itu
ditake over dengan mekanisme pencucian uang hasil korupsi milik eks Ka Bulog
Widjanarko Puspoyo. Direksi dan pejabat-pejabat BUKOPIN lalu membuka rekening
penampungan di bank-bank swasta dengan NPWP pribadi yang masing-masing diduga
palsu.

Berikut sebagian NPWP Pejabat Bukopin yang diduga palsu yang digunakan untuk buka
rekening di bank :

1) 09.236.102.9-407.000

2) 09.254.177.0-407.000

3) 09.312.388.3-411.000.

4) 09.312.663.9.-411.000

5) 09.254.176.2-407.000.

6) 09.122.385.9-035.000

Jumlah uang yang masuk ke rekening-rekening tersebut bernilai ratusan milyar bahkan ada
satu rekening yang mencapai 500 milyar sesuai data di KPK RI. Uang yang dipakai untuk
takeover perusahaan-perusahaan bermasalah eks debitur BPPN itu diduga uang hasik
korupsi Ka Bukog Widjanarko Puspoyo. Widjanarko Puspoyo sendiri sudah pernah
dihukum penjara karena terlibat korupsi ratusan milyar di Bulog terkait impor beras.

Modus transaksi yang diduga pencucian uang itu dilakukan sejak 2003 dan saat Sofyan
Basir masih menjabat sebagai Dirut Bukopin.

Cukup ? Tidak ! Ada lagi transaksi yang diduga hasil korupsi. Setidak-tidaknya sejak tahun
2002 ada setoran gelap yang masuk ke direksi Bukopin. Setiap bulan ada setoran gelap
dalam bentuk cek kepada Direksi BUKOPIN. Contoh : Via cek CH AA 827056 dan CH AA
827057 masing2 Rp. 175 juta. Cek-cek tersebut ditarik tunai oleh sekretaris/staf direksi
Bukopin. Misalnya oleh Dessy (sekretaris Sofyan Basir), oleh Tanti (Agus Hermawan).
Dokumen-dokumen yang saya miliki menunjukan setiap bulan ada setoran gelap ke
direksi-direksi BUKOPIN dengan nilai variasi Rp. 85 juta sd 175 juta/bulan. Nama-nama
penarik cek tunai itu selain sekretaris direksi juga staf seperti : Rini, Adnan Saleh dan
seterusnya. Direksi BUKOPIN benar-benar mandi uang.

Cukup? TIDAK ! Ada yg lebih mengejutkan lagi. Kasus korupsi kredit fiktif TKI fasilitas BI
senilai ratusan milyar yang sampai skrg ditutup-tutupi.

Juga kasus korupsi kredit Drying Center kepada PT. APL senilai Rp. 62.8 milyar pada tahun
2004 saat sofyan Basir masih Dirut Bukopin. Modus korupsi kredit Drying Center itu adalah
dengan merubah/memalsukan Merk dari seharusnya merk Global Sea ditukar merk
Sincui. Akibatnya 10 orang pejabat BUKOPIN menjadi tersangka oleh Kejagung. Namun,
diduga karena siraman-siraman yang tak henti, kasus ini dipetieskan DPR juga pernah
menanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Basrief Arief langsung minta
Gelar Perkara diulang. Namun gelar perkara yang harusnya dilaksanakan tahun 2011 lalu
itu tiba-tiba mandek. Seorang pimpinan Komisi XI inisial AQ diduga intervensi. Pimpinan
Komisi XI DPR berinisial AQ tersebut disebut-sebut terima suap sebesar Rp. 3 milyar untuk
amankan kasus korupsi Bukopin. AQ yang juga politisi pentolan Partai Demokrat sebelum
menjabat anggota DPR adalah mantan pegawai Bukopin. AQ juga pernah disebut-sebut
TEMPO pernah mencoba minta suap kepada direksi Peruri Junino yang ternyata mantan
petinggi KPK. AQ hampir pingsan. Banyak kasus-kasus korupsi di Bukopin lainya. Seperti
korupsi mark up sewa rental mobil dinas yang harga sewanya jauh lebih mahal daripada
harga pasar. Atau korupsi Fee Based Income dari brokerage premi asuransi dari nasabah
/debitur BUkopin yang dikelola anak perusahaannya PT DBS.

Korupsi yang menggila di BUKOPIN memang sulit diusut karena adanya celah hukum
terkait batasan korupsi menurut UU. Apalagi pihak-pihak pelaku korupsi tersebut masih
menjabat sebagai direksi BUKOPIN. Terus menerus diperpanjang masa jabatannya oleh
pemegang saham.

Apakah pemegang saham mayoritas cq. Direksi BULOG ikut menikmati hasil korupsi
berjamaah di BUKOPIN? Kejagung/ KPK harus usut. Apalagi salah satu direksi yang diduga
ikut berkorupsi ria yaitu mantan dirut Bukopin sekarang menjabat sebagai DIRUT BRI.
Pasti banyak manuver.

Sekarang rakyat menunggu kinerja kejagung dan KPK. Apakah mereka lebih bodoh
dibandingkan direksi Bukopin atau ikut terima suap?

Cukup sekian dulu paparan tentang korupsi di Bukopin. Nanti kita lanjutkan terkait kasus-
terkait korupsi Bukopin yang lain.

Terima kasih telah menyimak. Semoga bermanfaat. Salam Anti Korupsi ! merdekaaa !!
Sumber: @TrioMacan2000

Menggangsir Harta Negara,


Modus korupsi atau perampasan harta negara bisa dilakukan melalui berbagai cara, dari
yang paling kasar seperti pemerasan dan penyuapan, hingga yang paling halus dan
terstruktur.

Cara culas merampok harta negara yang tergolong halus bisa dilakukan dengan kemasan
bisnis, bekerja sama dengan penguasa sebagai pengambil keputusan, dan sekaligus menjadi
faktor penekan untuk memuluskan rencana jahatnya.

Dan, sasaran empuk kejahatan perampasan aset negara bermotif bisnis adalah perusahaan
negara atau BUMN. Tujuannya, bisa saja untuk keuntungan pribadi maupun modal kegiatan
politik praktis.

Selama ini, ada berbagai modus untuk mengeruk dana BUMN bagi kegiatan politik.

Modus yang paling empuk adalah memainkan dana tanggung jawab sosial (CSR) BUMN
yang dikenal dengan sebutan dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang
digelontorkan kepada kelompoknya.

Modus lain yang lebih menyerempet bahaya adalah commitment fee dari BUMN kepada
parpol atau politisi yang telah membantu memenangi proyek tender. Di BUMN sektor
perbankan, modus juga dilakukan dengan penyaluran kredit fiktif yang kemudian dianggap
macet.

Modus lain yang bisa menghancurkan masa depan BUMN yang selama ini dianggap sehat
dengan laba gemuk adalah dengan cara menjual anak perusahaan. Padahal, anak
perusahaan BUMN itu memiliki posisi sangat strategis dalam menunjang kegiatan
korporasi induk. Salah satu modus tersebut yang patut dicurigai dan terus diawasi adalah
penjualan PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), anak perusahaan PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk (Telkom) di bidang jasa penyedia menara.

DPR sudah menolak aksi penjualan Mitratel, apalagi ada aturan bahwa rencana penjualan
aset yang bernilai di atas 200 miliar rupiah harus disetujui DPR. KPK harus mendalami
alasan pengelola Telkom begitu berkeras dan suka menjual anak perusahaan.

Secara fundamental, Telkom adalah perusahaan telekomunikasi berperingkat AAA yang


sangat gampang memperoleh pendanaan dari pasar finansial. Jadi, dalih penjualan Mitratel
untuk mendapatkan pendanaan guna mengembangkan bisnis menara sangat ironis. Telkom
memiliki nilai pasar sekitar 225 triliun rupiah atau hampir tujuh kali lipat dari perusahaan-
perusahaan menara seperti Tower Bersama atau Sarana Menara.
Telkom juga perusahaan dengan rasio utang yang jauh lebih baik dari perusahaan-
perusahaan menara. Maka, jauh lebih mudah mendapat utang dibandingkan perusahaan
menara mana pun. Selain itu, Mitratel adalah perusahaan yang sangat menguntungkan
dengan marjin laba bersih sekitar 20 persen. Mitratel juga memiliki captive market sangat
besar, yaitu Telkom dan Telkomsel.

Publik memang menyimpan segudang pertanyaan, yang bahkan mengarah pada


kecurigaan. Langkah direksi mengembangkan bisnis menara dengan cara share swap 49
saham Mitratel dengan 22 saham satu emiten sektor sejenis, yakni Tower Bersama (TBIG),
dinilai sangat janggal.

Sejak beberapa tahun terakhir, grup Telkom justru menjadi pelanggan utama TBIG, bahkan
porsi pendapatan emiten itu dari kelompok Telkom mencapai hampir 40 persen. Dari sisi
rasionalitas bisnis, mestinya Telkom memaksimalkan jasa Mitratel, sekaligus memperkuat
pendapatan anak usahanya agar bisa tumbuh optimal.

Bila sinyalemen terjadi kejahatan ekonomi pada Telkom benar adanya, sungguh ironis,
Mitratel sengaja dikerdilkan, bisnisnya dialihkan untuk membesarkan perusahaan swasta.
Lalu, sahamnya di share swap. Dengan valuasi saham yang fair saja, proporsi penukaran
saham tidak sebanding.

Analis memperkirakan Tower Bersama yang akan diuntungkan dengan skema tukar guling
saham itu. Pasalnya, akses ke pendanaan menjadi lebih lebar karena memiliki anak
perusahaan Telkom. Sebaliknya, Mitratel justru semakin gembos karena bisnisnya akan
diserahkan kepada TBIG.

Untuk mencegah kejahatan ini, cara yang lebih baik untuk membuka nilai pasar Mitratel
sepenuhnya adalah dengan penawaran umum perdana (IPO) saham, yang prosedurnya
relatif lebih fair dan transparan.

Modus menggangsir BUMN seperti di Telkom ini hanya bisa terwujud apabila memiliki
akses terhadap kekuasaan, yang bisa menentukan arah kebijakan industri dan menekan
direksi BUMN untuk memuluskan agenda jahatnya.

Dan, profil pengelola dan pengendali TBIG terlihat beragam, ada pengusaha sekaligus
pengurus partai politik yang berpengaruh di kementerian teknis, sekaligus orang
kepercayaan satu pejabat bidang ekonomi yang berasal dari parpol yang sama.

Kejanggalan aksi korporasi BUMN termasuk anak usahanya, ataupun upaya perampasan
aset bangsa secara sistematis patut diwaspadai karena berpotensi merugikan negara. Jika
tidak, perusahaan pelat merah yang gemuk dan prospektif bakal jadi sasaran empuk
perampok harta negara dengan berbagai modusnya.
KPK mesti secepatnya bertindak untuk menyelidiki potensi tindak pidana korupsi, dan
mencegah modus serupa diterapkan pada BUMN lain.

Anda mungkin juga menyukai