Anda di halaman 1dari 7

1.

Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990


Sanksi Pidana dalam Unddang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 terdapat
dalam Pasal 40, yang berbunyi sebagai berikut:
1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
33 ayat (3) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 33 ayat (3) dipidna dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Dari ketentuan Pasal 40 tersebut dapat diketahui bahwa sanksi pidana dapat
dikenakan kepada mereka yang melanggar, dengan sengaja atau karena kelalaian
dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan. Isi dari ketentuan tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pasal 19 ayat (1):
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
Pasal 19 ayat (2) menetapkan pengecualian dari ketentuan ayat (1).
Pengecualian itu adalah bahwa ketentuan ayat 91) tidak berlaku untuk
kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka
margasatwa.
Ayat (3) dari Pasal 19 juga memberikan kriteria dari perubahan, yakni
meliputi “mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam,
serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.”

b. Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2):


1) Setiap orang dilarang untuk:
a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakantumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati.
b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau matidari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
2) Setiap orang dilarang untuk:
a. Menangkap, meluakai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup.
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati.
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari
suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia.
e. Mengambil, merusak, merusak, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Akan tetapi larangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat
(2) di atas, tidak berlaku bagi kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan,
penyelamatan jenis satwa atau tumbuhan yang bersangkutan (Pasal 22 ayat (1)).
Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2), pengertian penyelamatan meliputi
pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar
negeri berdasarkan izin dari pemerintah. Larangan menangkap, melukai, dan
membunuh satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia (Pasal 22
ayat (3)).
c. Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3):
1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti zona nasional.
2) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan
raya, dan taman wisata alam.
Menurut ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2), perubahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), meliputi “mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti
taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

2. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984


Sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian terdapat dalam pasal 27 ayat (1), sanksi pidana selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dapat dikenakan kepada mereka yang dengan sengaja telah melanggar
ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984. Menurut Pasal 27 ayat
(2), sanksi pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dapat dikenakan kepada
mereka yang karena kelalaian telah melanggar Pasal 27 ayat (1).
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 berbunyi sebagai berikut:
Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian
sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran
terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya.

3. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999


Ketentuan yang berupa larangan-larangan yang dapat diancam dengan
sanksi pidana yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (4), Pasal 50 ayat (1), (2), dan
(3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, sedangkan ancaman pidananya
disebutkan dalam Pasal 78. Pasal 38 ayat (4) memuat larangan sebagai berikut:
Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan
pertambangan terbuka.
Ancaman hukuman terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 38 ayat (4) yang
dilakukan secara sengaja adalah pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun
penjara dan denda maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ketentuan
larangan dalam pasal 50 ayat (1) yang diancam oleh sanksi pidana adalah: “setiap
orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.” Ketentuan
larangan dalam Pasal 50 ayat (2) adalah:
Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Ancaman hukuman terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan
ayat (2) yang dilakukan secara sengaja adalah pidana penjara maksimal 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Ketentuan larangan dalam Pasal 50 ayat (3) adalah sebagai berikut:
Setiap orang dilarang:
a. Mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan
secara tidak sah.
b. Merambah kawasan hutan.
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau
jarak sampai dengan:
1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2) 200 (dua ratus) meter dari mata air dan kiri kanan sungai di daerah
rawa;
3) 100 (seratu) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi sungai;
6) 130 (seratus tiga puluh)kali selisih pasang tertinggi dan pasang dari
tepi pantai.
d. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
f. Melakukan kegiatanpenyelidikan umum atau eksplorasi dan eksploitasi
bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri.
g. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
h. Mengembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk
secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang.
i. Membawa alat-alat berat dan/atau alat lainnya yang patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang.
j. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menambang, memotong,
atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.
k. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi
hutan ke dalam kawasan hutan.
l. Mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa
liar yang tidak dilindungi UU berasal dari hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.
Ancaman snksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf
a, huruf b, huruf c yang dilakukan secara sengaja adalah penjara maksimal 10
(sepuluh) tahun dan denda maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf d
yang dilakukan dengan sengaja adalah penjara maksimal 15 (lima belas) tahun
dan denda maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Jika pelanggaran
terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf d dilakukan karena kealpaan, ancaman
hukumannya adalah penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ancaman terhadap
pelanggaran ketentuan huruf e dan huruf f yang dilakukan dengan sengaja adalah
pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda maksimal Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ancaman terhadap pelanggaran Pasal 38
ayat (4) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g yang dilakukan dengan sengaja adalah
pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda maksimal Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap pelanggaran
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h yang dilakukan dengan sengaja adalah pidana
penjara maksimal 5 (lima) tahun penjara dan denda maksimal Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf i adalah pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun
dan denda maksimal Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ancaman
hukuman terhadap ketentuan Paal 50 ayat (3) huruf j yang dilakukan dengan
sengaja adalah pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap pelanggaran
Pasal 50 ayat (3) huruf k yang dilakukan dengan sengaja adalah pidana penjara
maksimal 3 (tiga) tahun penjara dan denda maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap pelanggaran Pasal 50 ayat (3) huruf l
yang dilakukan dengan sengaja adalah pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun dan
denda maksimal Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga menganut pertanggungjawaban
korporasi. Bahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 memuat rumusan yang
lebih maju dibandingkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas menyebutkan, bahwa pengurus badan
usaha, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat dijatuhkan
hukuman pidana yang diperberat sepertiga dari ancaman yang dijatuhkan.
Sebaliknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, para pengurus badan usaha
tidak dengan sendirinya dapat dituntut, tetapi mereka dapat dituntut jika mereka
memenuhi unsur sebagai pemimpin atau pemberi perintah dalam perbuatan
terlarang.

Anda mungkin juga menyukai