Anda di halaman 1dari 7

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Seri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan

KERTAS • AKSES TERBUKA

Apakah Kepadatan Bangunan Mempengaruhi Jumlah Penumpang BRT Trans


Semarang?
Mengutip artikel ini: I Oktaviani dkk 2020 Konferensi IOP Ser.: Lingkungan Bumi. Sci.409 012038

Lihat artikel online untuk pembaruan dan penyempurnaan.

Konten ini diunduh dari alamat IP 45.40.120.200 pada 03/01/2020 pukul 01:32
Konferensi Internasional Pertama tentang Desain dan Perencanaan Perkotaan Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan409 (2020) 012038 doi:10.1088/1755-1315/409/1/012038

Apakah Kepadatan Bangunan Mempengaruhi Jumlah Penumpang


BRT Trans Semarang?

Saya Oktaviani1, DIK Dewi1, dan AR Rakhmatulloh1

1 Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto
Tembalang, Semarang, Indonesia

Email yang sesuai: 1inge.oktaviani19@pwk.undip.ac.id

Abstrak. Rendahnya penumpang bus rapid transit (BRT) dapat menyebabkan masalah ketidakcukupan angkutan
umum. Jumlah penumpang di suatu wilayah tertentu dapat dipengaruhi oleh lingkungan binaan di sekitarnya. Studi
ini berfokus pada lingkungan binaan, kepadatan bangunan di tingkat lingkungan. Tulisan ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan antara kepadatan bangunan dengan jumlah penumpang BRT Trans Semarang. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan regresi linier berganda sebagai alat analisis untuk menganalisis hubungan
antara keduanya. Temuan menunjukkan hanya kepadatan tinggi, atau bangunan lebih dari delapan lantai memiliki
hubungan dengan jumlah penumpang koridor I Trans Semarang.
Hal ini menunjukkan bahwa gedung yang berfungsi sebagai kantor atau tempat bekerja dapat menghasilkan penumpang BRT
Trans Semarang yang sedang berjalan kaki.

Kata kunci : penumpang, pejalan kaki, BRT, kepadatan bangunan

1. Perkenalan
Bus Rapid Transit (BRT) di Kota Semarang, Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Trans
Semarang telah beroperasi selama kurang lebih 9 tahun, namun hingga saat ini sistem Trans
Semarang belum memenuhi standar dasar BRT yang dikeluarkan oleh ITDP (Institute Kebijakan
Transportasi & Pembangunan). Hal ini dikarenakan Trans Semarang masih tergolong semi
BRT[1]. Selain itu, pengoperasian Trans Semarang kurang diminati masyarakat [2]. Perbaikan
sistem BRT harus fokus untuk meningkatkan penumpang Trans Semarang karena masih di
bawah standar Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Direktur Jenderal Perhubungan Darat).
Hal ini disebabkan pergerakan penumpang dan pejalan kaki merupakan kunci utama dalam
sistem transportasi termasuk operasional transportasi umum [3]. Tambahan,

Karena lebih dari 80% penumpang Trans Semarang berjalan kaki untuk mencapai stasiun BRT [5], maka
perlu diteliti faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi berbagai jumlah pejalan kaki tersebut.
Pergerakan pejalan kaki lebih sulit diprediksi karena tidak memiliki rute yang pasti dan biasanya
dipengaruhi oleh kondisi sekitar dan faktor lingkungan. Menurut C. Kim, Parent, & vom Hofe (2018)

Konten dari karya ini dapat digunakan di bawah ketentuan Lisensi Creative Commons Attribution 3.0. Distribusi lebih lanjut dari
karya ini harus mempertahankan atribusi kepada penulis dan judul karya, kutipan jurnal dan DOI.
Diterbitkan di bawah lisensi oleh IOP Publishing Ltd 1
Konferensi Internasional Pertama tentang Desain dan Perencanaan Perkotaan Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan409 (2020) 012038 doi:10.1088/1755-1315/409/1/012038

pergerakan perjalanan individu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti cuaca [6,8-10], sosiodemografi [11,12], dan
lingkungan binaan [13-16]. Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sun, Oreskovic, Lin (2014) perubahan
lingkungan binaan di Chinese University of Hong Kong Campus dapat meningkatkan intensitas mahasiswa untuk
berjalan kaki.
Selain itu, pergerakan pejalan kaki juga dipengaruhi oleh faktor internal karena setiap individu memiliki
perilaku berjalan yang berbeda-beda yang dikategorikan sebagai sikap berjalan positif dan sikap berjalan negatif.
Sikap berjalan positif didefinisikan sebagai kesediaan individu untuk berjalan karena menganggap aktivitas
tersebut penting, sedangkan sikap berjalan negatif adalah ketidakmampuan individu untuk berjalan karena
menganggap aktivitas tersebut tidak penting (Joh, Nguyen, & Boarnet, 2012).
Meskipun ada individu yang memiliki sikap berjalan negatif, volume pejalan kaki dapat ditingkatkan dengan mengubah
faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga individu tersebut dapat memiliki sikap berjalan yang positif. Hal ini telah diselidiki
oleh Greenwald dan Boarnet (2001), Appleyard (2003), Southworth (2005) dalam (Mondschein, 2018) bahwa perubahan dalam
lingkungan binaan, seperti lingkungan serba guna, perubahan desain, atau keamanan dapat meningkatkan aktivitas berjalan
kaki. . Dengan demikian, perubahan pada lingkungan binaan tetap diperlukan untuk menciptakan pengalaman berjalan yang
menyenangkan.

2. Data dan Metode


Daerah studi penelitian ini adalah Koridor I BRT Trans Semarang yang melayani dari kawasan Mangkang sampai Penggaron. Koridor I
dipilih penulis untuk dijadikan wilayah studi berdasarkan berbagai penggunaan lahan di sepanjang koridor tersebut. Penggunaan lahan
yang beragam dapat menyebabkan kepadatan bangunan yang berbeda-beda.
Analisis menggabungkan dua dataset: 1) jumlah penumpang Trans Semarang dan 2) kepadatan
bangunan. Jumlah penumpang Trans Semarang Koridor I diperoleh dari survei primer dengan menghitung
penumpang yang naik dan turun di setiap stasiun BRT. Volume penumpang dikumpulkan dari tiga periode
yang berbeda: (i) puncak pagi (06.00 hingga 07.00), (ii) periode siang (dari pukul 12.00 hingga 13.00), dan
(iii) puncak sore (dari 16:00 sampai 17:00). Volume harian ini dikumpulkan pada hari kerja yang sama. Kepadatan
bangunan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 kategori yaitu kepadatan rendah, sedang, dan tinggi. Menurut
Duduta (2013) definisi kepadatan rendah, sedang, dan tinggi digunakan:
Kepadatan rendah. Beberapa atau seluruh area stasiun dikembangkan, dengan bangunan setinggi tidak lebih dari dua lantai.

Kepadatan sedang. Seluruh area stasiun dikembangkan, dengan bangunan tiga sampai delapan lantai.
Kepadatan tinggi. Seluruh area stasiun dikembangkan, dengan dominasi bangunan bertingkat tinggi (lebih dari
delapan lantai)

Tabel 1. Daftar Variabel


Ukuran Variabel Satuan

Jumlah penumpang yang


Angkutan Trans Semarang berjalan kaki ke dan dari Jumlah orang
terminal bus per hari
Rasio jumlah bangunan dengan 1-2
Kepadatan rendah lantai untuk semua bangunan di suatu Desimal
daerah
Rasio jumlah bangunan dengan 3-8
Kepadatan sedang lantai untuk semua bangunan di suatu Desimal
daerah

2
Konferensi Internasional Pertama tentang Desain dan Perencanaan Perkotaan Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan409 (2020) 012038 doi:10.1088/1755-1315/409/1/012038

Rasio jumlah bangunan dengan


Kepadatan tinggi > 8 lantai ke semua bangunan di Desimal
suatu area

Dengan demikian, dataset kepadatan bangunan diperoleh dengan mengamati tingkat bangunan melalui kunjungan
lapangan atau dengan menggunakan Google Street View dengan mencari tingkat bangunan. Penulis meneliti kepadatan
bangunan di sekitar 40 stasiun BRTdi "tingkat lingkungan". Mengacu [14] “tingkat lingkungan” merupakan daerah
penyangga radius melingkar di sekitar pusat titik pengamatan yang dalam penelitian ini disebut terminal seperti terlihat
pada Gambar 1. Penulis memilih 200 m sebagai ukuran tingkat kelurahan karena jarak antara terminal satu dengan
terminal lainnya di Koridor I adalah 400 m.

Gambar 1. Tingkat Lingkungan

3
Konferensi Internasional Pertama tentang Desain dan Perencanaan Perkotaan Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan409 (2020) 012038 doi:10.1088/1755-1315/409/1/012038

Metodologi kuantitatif digunakan untuk menjelaskan pengaruh kepadatan lantai bangunan terhadap jumlah
penumpang Trans Semarang di suatu stasiun. Penulis menggunakan uji regresi linier berganda dengan metode stepwise
untuk menganalisis keterkaitan antara keduanya. Dalam model, variabel terikatnya adalah penumpang Trans Semarang
dan variabel bebasnya adalah kepadatan rendah, sedang, dan tinggi. Penulis mengkaji hubungan jumlah penumpang
Trans Semarang per hari di 40 terminal dan proporsi kepadatan rendah, sedang, dan tinggi di 40 wilayah tingkat RT.
Perangkat lunak SPSS 20.0 dengan tingkat signifikansi, ditetapkan pada p<0,05 digunakan dalam semua analisis statistik.

3. Hasil
Meja 2. Statistik Deskriptif Variabel
Berarti Std. Deviasi
Variabel tak bebas
Angkutan Trans Semarang 41.85 45.253
Variabel bebas
Kepadatan rendah 0,8917 0.17978
Kepadatan sedang 0,0967 0.16056
Kepadatan tinggi 0,0116 0,04081

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi


Variabel Koefisien P
Kepadatan tinggi 721.72 . 000
Konstan 33.47 . 000
R . 651
p<0,05

Berdasarkan Tabel 2 terdapat 15 terminal yang memiliki jumlah penumpang melebihi rata-rata. Terminal-terminal
tersebut dalam penelitian ini tergolong terminal yang ramai. 9 dari 15 terminal bus yang ramai terletak di Pusat
Kota Semarang. Hanya 4 terminal bus yang memiliki proporsi kepadatan tinggi di tingkat kelurahannya. Namun
hanya ada 3 terminal yang proporsinya melebihi rata-rata.
Tabel 3 menyajikan hubungan antara kepadatan tinggi dan penumpang BRT Trans Semarang berdasarkan
analisis regresi linier berganda. R untuk model yang dipasang adalah 0,651. Statistik kolinearitas (VIF)
menunjukkan bahwa tidak ada multikolinearitas yang signifikan di antara variabel independen.
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik (p<0,05) antara
kepadatan tinggi dan penumpang BRT Trans Semarang. Kepadatan gedung-gedung tinggi yang berada di Pusat
Kota Semarang, kawasan CBD dimana jumlah pengguna BRT lebih banyak daripada di kawasan pinggiran kota.

Kepadatan tinggi merupakan bangunan dengan lebih dari delapan lantai dan sebagian besar berfungsi sebagai kantor.
Variabel kepadatan tinggi berpengaruh positif terhadap penumpang BRT Trans Semarang. Temuan ini berkaitan dengan
penelitian sebelumnya yang menunjukkan 35% (terbesar kedua) pengguna BRT memiliki tujuan untuk pergi bekerja [5]. Sehingga
dapat menambah penjelasan bahwa gedung yang berfungsi sebagai kantor atau tempat bekerja dapat menghasilkan
penumpang BRT Trans Semarang yang berjalan kaki.
Sebanyak 3 halte tergolong padat (jumlah penumpang lebih dari rata-rata), kawasan di sekitar halte tersebut
memiliki proporsi bangunan lebih dari delapan lantai yang melebihi proporsi rata-rata. Pemberhentian tersebut
antara lain UDINUS, Gramedia, dan Simpang Lima seperti terlihat pada Gambar 2.

4
Konferensi Internasional Pertama tentang Desain dan Perencanaan Perkotaan Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan409 (2020) 012038 doi:10.1088/1755-1315/409/1/012038

200 20%
180 18%
160 16%
140 14%
120 12%
100 10%
80 8%
60 6%
40 4%
20 2%
0 0%

Penunggangan Kepadatan Tinggi

Pusat Kota Semarang


Terdiri dari 3 stasiun transit

Gambar 2. Korelasi antara jumlah kepadatan tinggi yang melebihi jumlah rata-rata dengan jumlah
penumpang

4. Kesimpulan
Pengguna Trans Semarang Koridor I yang didominasi oleh penumpang yang melakukan perjalanan dengan
berjalan kaki dari dan menuju terminal dipengaruhi oleh lingkungan sekitar salah satunya kepadatan bangunan.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, untuk meningkatkan TOD Trans Semarang dapat dilakukan
intervensi di sekitar stasiun transit BRT untuk menghasilkan banyak penumpang. Selain itu, perencana harus lebih
memperhatikan karakteristik lingkungan binaan saat ini saat mereka mengambil keputusan untuk mendorong
perubahan lingkungan.
Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa hanya kepadatan bangunan tinggi yang memiliki
hubungan dengan jumlah pengguna BRT. Sedangkan kepadatan bangunan rendah dan sedang tidak ada hubungannya
dengan jumlah pengguna BRT. Hal ini membuktikan bahwa banyaknya pengguna BRT yang berjalan kaki dapat
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar di beberapa daerah. Kepadatan gedung bertingkat terletak di Pusat Kota Semarang,
kawasan CBD dimana jumlah pengguna BRT lebih banyak dibandingkan di kawasan pinggiran kota.
Keterbatasan metodologis dalam penelitian ini memuat aspek kepadatan bangunan yang
dianalisa hanya sebatas yang dapat diukur secara objektif. Faktor demografi populasi, yang saya kaitkan
dengan jumlah penumpang, tidak dipertimbangkan dalam analisis karena kurangnya ketersediaan data
tingkat mikro. Rekomendasi berdasarkan penelitian ini adalah Perlu adanya penyesuaian antara Rencana
Detail Tata Ruang (RDTRK) dengan kondisi eksisting terkait studi tentang ketinggian bangunan di pusat kota
karena kondisi dapat ditentukan melebihi delapan lantai dalam Rencana Detail Tata Ruang

5
Konferensi Internasional Pertama tentang Desain dan Perencanaan Perkotaan Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan409 (2020) 012038 doi:10.1088/1755-1315/409/1/012038

Pengakuan
Pekerjaan ini dibiayai oleh proyek penelitian dan pengembangan untuk optimalisasi BRT dalam meningkatkan
aksesibilitas Kota Semarang oleh tim peneliti mahasiswa-dosen dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.

Referensi
[1] Sebayang DRB 2017 Analisa Kinerja Operasional Bus Rapid Transit Trans Semarang Koridor III Pelabuhan
Tanjung Emas (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
[2] Pemetaan Dewi DIK, Rakhmatulloh AR dan Anggraini P 2018 antara Halte Bus Rapid Transit dan Lokasi
SMA di Semarang Konferensi IOP Ser. Lingkungan Bumi. Sci.123 [referensi silang]
[3] Pemodelan Penumpang dan Pedestrian Laufer J dan Planner P 2008 di Fasilitas Transportasi Tahun 2008.
AIPTM Conf. Pert,…
[4] Integrasi Transportasi Umum Saliara K 2014: Studi Kasus Thessaloniki, Yunani terjemahan Res. procedia
4 535–52 [referensi silang]
[5] Purwanto, Eko & Manullang OR 2018 Evaluasi Trotoar Sebagai Feeder Non Motorized Mendukung Bus
Rapid Transit ( Brt ) Di Kota Semarang Untuk Evaluasi Trotoar Sebagai Feeder Non Motorized
Untuk Mendukung Bus Rapid Transit ( Brt ) Di Kota Semarang J. Pembang. Wil. dan Kota14
17–27 [referensi silang]

[6] Attaset V, Schneider RJ, Arnold LS dan Ragland DR 2010 Pengaruh variabel cuaca pada volume pejalan
kaki di Alameda County, California Tahun ke-89. Bertemu. terjemahan Res. Papan[
[7] Kim C, Parent O dan vom Hofe R 2018 Peran efek teman sebaya dan lingkungan binaan pada perilaku perjalanan
individu Mengepung. Rencana. B Anal Perkotaan. Ilmu Kota.45 452–69 [referensi silang]
[8] Investigasi Shaaban K dan Muley D 2016 tentang Dampak Cuaca pada Volume Pejalan Kaki terjemahan Res. procedia
14 115–22 [referensi silang]
[9] Singhal A, Kamga C dan Yazici A 2014 Dampak cuaca pada penumpang angkutan kota terjemahan Res. Bagian A
Praktik Kebijakan.69 379–91 [referensi silang]
[10] Stover V dan McCormack E 2012 Dampak Cuaca pada Penumpang Bus di Pierce County,
Washington J. Transportasi Umum. 15 95–110 [referensi silang]
[11] Joh K, Nguyen MT dan Boarnet MG 2012 Dapat Dibangun dan Faktor Lingkungan Sosial Mendorong
Berjalan di antara Individu dengan Sikap Berjalan Negatif? J. Rencana. Pendidikan Res.32 219–36 [referensi
silang]
[12] Mondschein A 2018 Persistent Perbedaan dalam Berjalan di Spektrum Sosial Ekonomi:
Variasi berdasarkan Tujuan Perjalanan J. Rencana. Pendidikan Res.0739456X1879665 [referensi silang]
[13] Cervero R dan Kockelman K 1997 Permintaan perjalanan dan 3D: Kepadatan, keragaman, dan desain
terjemahan Res. Bagian D Transp. Mengepung.2 199–219 [referensi silang]
[14] Kim T, Sohn DW dan Choo S 2017 Analisis hubungan antara lalu lintas pejalan kaki
volume dan lingkungan yang dibangun di sekitar stasiun metro di Seoul KSCE J. Civ. Ind.21 1443–52 [referensi
silang]
[15] Lee S, Sung H dan Woo A 2017 Variasi spasial hubungan antara lingkungan binaan
dan volume pejalan kaki: Berfokus pada survei arus Pejalan Kaki Seoul 2009 di Korea J. Arsitek Asia.
Membangun. Ind.16 147–54 [referensi silang]
[16] Sun G, Oreskovic NM dan Lin H 2014 Bagaimana perubahan pada lingkungan binaan memengaruhi jalan kaki
perilaku? Sebuah studi longitudinal di dalam kampus universitas di Hong KongInt. J. Geografi Kesehatan.
13 1–10 [referensi silang]
[17] Duduta N 2013 Model Penumpang Langsung Bus Rapid Transit dan Sistem Metro di Mexico City ,
Meksiko 93–9 [referensi silang]

Anda mungkin juga menyukai