Anda di halaman 1dari 4

Tentang OEE (Overall

Equipment Effectiveness)
By Eris Kusnadi

Baru-baru ini, saya kembali mempelajari Total Productive Maintenance(TPM). Didalamnya, terdapat
perhitungan dasar yang disebut OEE (overall equipment effectiveness). Hasil perhitungan OEE biasanya
digunakan sebagai indikator keberhasilan dalam implementasi TPM.

Jika anda ke lantai produksi, masalah umum yang sering dijumpai adalah peralatan produksi tidak
beroperasi dengan baik sehingga mempengaruhi proses lainnya. OEE ini mengukur apakah peralatan
produksi tersebut dapat bekerja dengan normal atau tidak. OEE meng-highlights 6 kerugian utama (the
six big losses) penyebab peralatan produksi tidak beroperasi dengan normal (Denso, 2006, p. 6), yaitu:

 Startup Loss, dikategorikan sebagai quality loss karena


adanyascrap/reject saat startup produksi yang disebabkan oleh kekeliruansetup mesin,
proses warm-up yang kurang, dan sebagainya.
 Setup/Adjustment Loss, dikategorikan sebagai downtime losskarena adanya waktu yang
“tercuri” akibat waktu setup yang lama yang disebabkan oleh changeover produk, tidak adanya
material (material shortages), tidak adanya operator (operator
shortages), adjustmentmesin, warm-up time, dan sebagainya.
 Cycle Time Loss, dikategorikan sebagai speed loss karena adanya penurunan kecepatan proses
yang disebabkan oleh beberapa hal, misal: mesin sudah aus, di bawah kapasitas yang tertulis
pada nameplate-nya, di bawah kapasitas yang diharapkan, ketidakefisienan operator, dan
sebagainya.
 Chokotei Loss, dikategorikan sebagai speed loss karena adanyaminor stoppage yaitu mesin
berhenti cukup sering dengan durasi tidak lama biasanya tidak lebih dari lima menit dan tidak
membutuhkan personel maintenance. Ini dikarenakan mesin hang sehingga harusreset, adanya
pembersihan/pengecekan, terhalangnya sensor, terhalangnya pengiriman, dan sebagainya.
 Breakdown Loss, dikategorikan sebagai downtime loss karena adanya kerusakan mesin dan
peralatan, perawatan tidak terjadwal, dan sebagainya.
 Defect Loss, dikategorikan sebagai quality loss karena adanya rejectselama produksi berjalan.

Dari keenam kerugian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis kerugian terkait dengan
proses produksi yang harus diantisipasi, yaitu:

1. Downtime loss yang mempengaruhi Availability Rate,


2. Speed loss yang mempengaruhi Performance Rate, dan
3. Quality loss yang mempengaruhi Quality Rate atau disebut juga FTT (first time through).

Menurut Pomorski (1997), availability rate mengukur efektivitasmaintenance peralatan produksi dalam
kondisi produksi sedang berlangsung, performance rate mengukur seberapa efektif peralatan produksi
yang digunakan, dan quality rate mengukur efektivitas proses manufaktur untuk
mengeliminasi scrap, rework, dan yield loss (Tangen, 2004, p. 63). Ketiga unsur tersebut merupakan
rasio OEE yang didefinisikan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Perhitungan Overall Equipment Effectiveness (OEE)

Contoh:

 Waktu operasional = 8 jam (480 menit)


Waktu setup = 10 menit
Breakdown = 0 menit
Availability = (480 – 10 – 0) / 480 = 98%

 Waktu running = 470 menit


Cycle time = 17 detik per unit
Jumlah produk diproses = 1400 unit
Performance rate = (17 detik x 1400 unit) / 470 menit = (23800 detik) / (28200 detik) = 84%

 Jumlah cacat = 168 unit


Quality rate = (1400 – 168) / 1400 = 1232 / 1400 = 88%

 OEE (Overall Equipment Effectiveness) = 98% x 84% x 88% = 72%

Bagaimana kita menganalisis skor-skor di atas?

Japan Institute of Plant Maintenance (JIPM) telah menetapkan standarbenchmark yang telah
dipraktekan secara luas di seluruh dunia. Berikut OEE Benchmark tersebut yang saya kutip dari
situs www.leanproduction.com:

 Jika OEE = 100%, produksi dianggap sempurna: hanya memproduksi produk tanpa cacat, bekerja
dalam performance yang cepat, dan tidak ada downtime.
 Jika OEE = 85%, produksi dianggap kelas dunia. Bagi banyak perusahaan, skor ini merupakan skor
yang cocok untuk dijadikan goaljangka panjang.
 Jika OEE = 60%, produksi dianggap wajar, tapi menunjukkan ada ruang yang besar
untuk improvement.
 Jika OEE = 40%, produksi dianggap memiliki skor yang rendah, tapi dalam kebanyakan kasus
dapat dengan mudah di-improve melalui pengukuran langsung (misalnya dengan menelusuri
alasan-alasandowntime dan menangani sumber-sumber penyebab downtime secara satu per satu).

Untuk standar benchmark world class yang dianjurkan JIPM, yaitu OEE = 85%, Tabel 2
menunjukkan skor yang perlu dicapai untuk masing-masing faktor OEE.

Tabel 2
World Class OEE
OEE Factor World Class
Availability 90.0%
Performance 95.0%
Quality 99.9%
Overall OEE 85.0%

Sumber: www.oee.com/world-class-oee.html

Standar benchmark world class OEE tersebut relatif karena pada beberapa buku dan perusahaan
menunjukkan standar skor yang berbeda, standar word class ini selalu didorong lebih tinggi sejalan
meningkatnya persaingan dan harapan. Misal jika di pabrik sepatu mungkin quality rate>90% dapat
diterima, tapi jika di pabrik ban pesawat terbang quality rate99.9% atau setara ~3σ mungkin merupakan
minimal word class, dan tentu saja bagi perusahaan yang mempunyai program kualitas six sigma tidak
akan puas dengan quality rate 99.9%.

Dari contoh perhitungan di atas kita bisa mengetahui bahwa OEE = 72% memberikan gambaran
masih ada ruang untuk improvement sampai skor OEE mencapai 85% atau lebih.
Fokus improvement ditujukan untuk meningkatkan performance peralatan produksi dan
mengurangi reject di dalam proses.

Jonsson dan Lesshammar (1999) menyatakan bahwa kontribusi terbesar OEE adalah sederhana,
namun tetap komprehensif, mengukur efisiensi internal dan dapat bekerja sebagai indikator proses
perbaikan berkelanjutan. Kemudian Ljungberg (1998) menambahkan bahwa OEE juga merupakan cara
efektif menganalisis efisiensi sebuah mesin tunggal atau sebuah sistem permesinan terintegrasi (Tangen,
2004, p. 64). Bagaimanapun suatu perusahaan menginginkan peralatan produksinya dapat beroperasi
100% tanpa ada downtime, pada kinerja 100% tanpa ada speed losses, denganoutput 100% tanpa
ada reject. Dalam kenyataannya, hal ini sangat sulit tapi bukan tidak mungkin hal ini dapat dicapai.
Menghitung OEE merupakan salah satu komitmen untuk mengurangi kerugian-kerugian dalam peralatan
produksi maupun proses melalui aktivitas TPM.
Rujukan:

Denso. (2006). Introduction to total productive maintenance: Study guide. Denso.


LeanIndonesia.com. (2010, November 15). OEE overall equipment effectiveness [Web log post]. Retrieved
fromhttp://www.leanindonesia.com/2010/11/oee-overall-equipment-effectiveness/
__________. (2011, May 14). OEE overall equipment effectiveness: Part 2 [Web log post]. Retrieved
fromhttp://www.leanindonesia.com/2011/05/oee-overall-equipment-effectiveness-part-2/
Tangen, S. (2004). Evaluation and revision of performance measurement systems. (Doctoral dissertation,
KTH, Production Engineering, Stockholm, Sweden), Available from Industriell produktion. (Trita-
IIP No. 04:14) Retrieved from http://urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn:se:kth:diva-19
Vorne Industries, Inc. (n.d.). OEE. Retrieved fromhttp://www.leanproduction.com/oee.html
__________. (n.d.). World class OEE. Retrieved fromhttp://www.oee.com/world-class-oee.html

Anda mungkin juga menyukai