Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Belajar

Belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan secara berkelanjutan dalam

rangka perubahan perilaku peserta didik secara konstruktif. Belajar merupakan

bagian dari hidup manusia, berlangsung seumur hidup, kapan saja, dan dimana

saja. Hamalik (2008: 154) mengatakan bahwa, “belajar dapat diartikan sebagai

suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang terjadi sebagai hasil dari

pengalaman atau latihan”. Pengalaman adalah segala kejadian (peristiwa) yang

secara sengaja maupun tidak sengaja dialami setiap orang. Sedangkan latihan

merupakan kejadian yang dengan sengaja dilakukan setiap orang secara berulang-

ulang. Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Slameto (2010: 2) belajar

dapat didefinisikan “sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai

hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

Sedangkan menurut James Owhittaker sebagaimana dikutip Ahmadi

dalam Mardianto (2014: 38) bahwa, “Learning is the procces by which behavior

(in the broader sense originated of changer through praciceor training), artinya

belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas ditimbulkan atau

diubah melalui praktek atau latihan)”. Mardianto (2014: 39) juga menjelaskan

bahwa, “yang dimaksud dengan belajar adalah suatu usaha, yang berarti perbuatan

yang dilakukan secara sungguh-sungguh, sistematis, dengan mendayagunakan

semua potensi yang dimiliki, baik fisik maupun mental”.

14
Cronbach di dalam bukunya Educational Psychology sebagaimana yang

dikutip oleh Suryabrata (2010: 231) menyatakan bahwa, “learning is shown by a

change in behavior as a result of experience (belajar merupakan perubahan

perilaku sebagai hasil dari pengalaman). Menurut Cronbach belajar yang sebaik-

baiknya adalah dengan mengalami, dan dalam mengalami itu si pelajar

mempergunakan panca inderanya”. Dengan kata lain, bahwa belajar adalah suatu

cara mengamati, membaca, meniru, mengintimidasi, mencoba sesuatu,

mendengar, dan mengikuti arah tertentu. Hampir semua kecakapan, keterampilan,

pengetahuan, kebiasaan, kegemaran dan sikap manusia terbentuk, dimodifikasi,

dan berkembang karena belajar. Kegiatan yang disebut belajar dapat terjadi

dimana-mana baik dilingkungan keluarga, masyarakat, maupun dilembaga

pendidikan formal. Trianto (2010: 16) melengkapi perumusan pengertian belajar

secara lebih kompleks, yaitu “belajar diartikan sebagai proses perubahan perilaku

tetap dari belum tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari kurang

terampil menjadi terampil, dan dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru, serta

bermanfaat bagi lingkungan maupun diri individu itu sendiri”.

Hanafiah (2010: 9-10) mengatakan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi keberhasilan belajar antara lain:

a) Peserta didik dengan sejumlah latar belakangnya yang mencakup:


tingkat kecerdasan, bakat, sikap, minat, motivasi, keyakinan,
kesadaran, kedisiplinan, dan tanggung jawab, b) Pengajar
profesional yang memiliki kompetensi pedagogik, sosial, personal,
profesional, serta kualifikasi pendidikan dan kesejahteraan yang
memadai, c) Atmosfir pembelajaran partisipatif dan interaktif yang
dimanifestasikan dengan adanya komunikasi timbal balik dan multi
arah secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan, d)
Sarana dan prasarana yang menunjang proses pembelajaran, e)
Kurikulum sebagai kerangka dasar atau arahan, khusus mengenai

15
perubahan perilaku peserta didik secara integral, f) Lingkungan
agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, ilmu, dan teknologi serta
lingkungan alam sekitar yang mendukung terlaksananya proses
pembelajaran, g) Atmosfir kepemimpinan pembelajaran yang sehat,
partisipatif, demokratis dan situasional, dan h) Pembiayaan yang
memadai.

Menurut Andend N. Frandsen dalam Mardianto (2014: 51) mengatakan

bahwa hal-hal yang dapat mendorong seseorang untuk belajar itu adalah sebagai

berikut:

a) Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih
luas, b) Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan
berkeinginan untuk selalu maju, c) Adanya keinginan untuk
mendapat simpati dari orang tua, guru dan teman-temannya, d)
Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan
usaha yang baru baik dengan kooperasi maupun dengan kompetisi,
dan e) Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila telah
menguasai pelajaran.

Sedangkan Slameto (2010: 54) mengemukakan bahwa, “faktor-faktor yang

mempengaruhi belajar siswa digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor

intern dan faktor ekstern. Faktor intern yang meliputi faktor jasmaniah, faktor

psikologis, dan faktor kelelahan. Adapaun faktor ekstern yang meliputi faktor

keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat”. Djamarah (2008: 177) juga

mengatakan bahwa, “ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar, antara

lain faktor lingkungan, faktor instrumental, faktor fisiologis dan faktor

psikologis”. Faktor lingkungan meliputi lingkungan alami dan lingkungan social

budaya, faktor instrumental yaitu kurikulum, program pengajaran, sarana dan

fasilitas, guru. Faktor fisiologis yaitu kondisi fisik seperti kurang gizi, mudah

lelah dan mengantuk, faktor psikologi seperti minat, kecerdasan, bakat, motivasi,

dan kemampuan kognitif.

16
Dari beberapa paparan di atas dapat dipahami bahwa belajar adalah proses

perubahan tingkah laku, baik dari segi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap)

maupun psikomotor (keterampilan), dari tidak tahu menjadi tahu, dan tidak

mengerti menjadi mengerti, dari ragu menjadi yakin. Manusia dituntut untuk

belajar karena dalam diri manusia terdapat ciri perkembangan yaitu adanya

dorongan untuk mengupayakan diri dan mempertahankan diri, sehingga proses

belajar terjadi secara terus-menerus dalam rangka menjadikan manusia mandiri

dan mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.

B. Hasil Belajar Matematika

Berdasarkan uraian tentang konsep belajar di atas, dapat dipahami tentang

makna hasil belajar, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik

yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari

kegiatan belajar. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Susanto (2013: 5)

bahwa, “berdasarkan dari konsep belajar dapat dipahami tentang makna hasil

belajar, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang

menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai hasil dari kegiatan

belajar”. Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang

membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product) menunjuk

pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau suatu proses yang

mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Belajar dilakukan untuk

mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar.

Menurut Baharuddin (2015: 14) bahwa, “belajar merupakan aktivitas yang

dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui

17
pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman”. Kemudian Hamalik (2011:

36) juga mengemukakan bahwa, “belajar adalah modifikasi atau memperteguh

kelakuan melalui pengalaman”. Sedangkan menurut Susanto (2013: 5) bahwa

“hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui

kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang

yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif

menetap”. Trianto (2010: 77) “hasil belajar merupakan anak yang berhasil dalam

belajar berarti juga yang berhasil dalam mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau

tujuan instruksional, dimana tujuan tersebut telah ditetapka nterlebih dahulu oleh

guru”.

Hasil belajar tidak hanya mendengarkan dan memperhatikan guru yang

sedang memberikan pelajaran di dalam kelas atau siswa membaca buku, tetapi

merupakan suatu proses untuk mencapai suatu tujuan. Dalam hasil belajar

penilaian tidak hanya dilakukan secara tertulis, tetapi juga secara lisan dan

penilaian perbuatan. Seseorang siswa dikatakan telah belajar jika adanya

perubahan tingkah laku pada siswa tersebut. Hasil belajar mencakup perilaku

secara keseluruhan, bukan hanya satu aspek kemampuan manusia saja, melainkan

semua aspek dimana setiap aspek memiliki kaitan yang erat sehingga tidak dapat

terpisahkan. Hal ini merujuk pada pemikiran Gagne hasil belajar berupa:

1) Informasi verbal, yaitu kapabiitas mengungkapkan pengetahuan


dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tertulis, 2) Keterampilan
intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan
lambang, 3) Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan
mengarahkan aktifitas kognitifnya sendiri, 4) Keterampilan
motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani
dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatis megerak

18
jasmani, 5) Sikap, yaitu kemampuan menerima atau menolak objek
berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut, (Suprijono, 2010: 5).

Hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri

siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap

dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan

pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari

tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan menjadi sopan, dan sebagainya.

Susanto (2013: 3) menetapkan bahwa hasil belajar telah tercapai apabila telah

terpenuhi dua indikator, yaitu “a) Daya serap terhadap bahan pengajaran yang

diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok, dan

b) Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus telah

dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok”.

Hasil belajar yang dicapai siswa melalui proses belajar mengajar yang

optimal cenderung menunjukkan hasil yang berciri sebagai berikut:

a) Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi


belajar intrinsik pada diri siswa, b) Menambah keyakinan akan
kemampuan dirinya, c) Hasil belajar yang dicapainya bermakna
bagi dirinya, seperti akan bertahan lama diingatannya, membentuk
perilakunya, dan bermanfaat untuk mempelajari aspek yang lain, d)
Hasil belajar diperoleh siswa secara menyeluruh, mencakup ranah
kognitif, afektif dan psikomotor, dan e) Kemampuan siswa untuk
mengontrol atau menilai dan mengendalikan dirinya terutama dalam
menilai hasil yang dicapainya, (Sudjana, 2016: 56-57).

Setelah memahami pengertian dari hasil belajar seperti yang telah

diuraikan di atas, selanjutnya kita juga perlu memahami tentang pengertian

matematika. Susanto (2013: 184) bahwa “kata matematika berasal dari bahasa

latin, manthanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari,

sedang dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang

19
kesemuanya berkaitan dengan penalaran”. Masih menurut Susanto (2013: 183)

mengatakan bahwa “matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-

simbol, maka konsep-konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum

memanipulasi simbol-simbol itu. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang

terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur atau

keterkaitan antar konsep yang kuat”.

Matematika juga merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat

meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi

dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan

dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Belajar

matematika merupakan suatu syarat cukup untuk melanjutkan pendidikan

kejenjang berikutnya. Karena dengan belajar matematika, siswa pasti belajar

bernalar secara kritis, kreatif, dan aktif. Hasil belajar matematika merupakan tolak

ukur atau patokan yang menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam mengetahui

dan memahami suatu materi pelajaran matematika setelah mengalami pengalaman

belajar.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

matematika siswa adalah kemampuan yang dimiliki siswa terhadap pelajaran

matematika yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan

selama kegiatan belajar mengajar yang menggambarkan penguasaan siswa

terhadap materi pelajaran matematika yang dapat dilihat dari nilai matematika dan

kemampuannya dalam memecahkan masalah-masalah matematika.

20
C. Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran adalah suatu pola atau langkah-langkah pembelajaran

tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang

diharapkan cepat dapat dicapai dengan lebih efektif dan efesien. Pengertian model

pembelajaran menurut Istarani (2011: 1) adalah “seluruh rangkaian penyajian

materi yang meliputi segala aspek sebelum, sedang dan sesudah pembelajaran

yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara

langsung atau tidak langsung dalam proses belajar mengajar”. Sedangkan Sutikno

(2014: 57-58) mengartikan model pembelajaran sebagai “kerangka konseptual

yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman

belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman

bagi para perancang pembelajaran dan para guru dalam merencanakan dan

melaksanakan aktivitas belajar mengajar”.

Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada

strategi, metode, atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai empat ciri

khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Rasional teoritis logis yang disusun oleh para pencipta atau


pengembangnya, 2) Landasan pemikiran tentang apa dan
bagaimana siswa belajar, 3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan
agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, dan 4)
Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pemelajaran itu
dapat tercapai, (Trianto, 2011: 23).

Salah satu dari tipe model pembelajaran yaitu model pembelajaran

kooperatif (cooperative learning). Cooperative learning merupakan suatu model

pembelajaran yang mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang

21
memiliki tingkat kemampuan berbeda. Model pembelajaran kooperatif ini

merupakan suatu prosedur yang diterapkan oleh guru kepada siswa di kelas

dengan membagi kelompok-kelompok dan saling bekerjasama antara nggota

dalam satu kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan


menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat
sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan
akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen).
Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok
akan memperoleh penghargaan (reward), (Sanjaya, 2014: 242).

Rusman (2014: 208) mengatakan bahwa, “pembelajaran kooperatif adalah

suatu aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola belajar siswa berkelompok

untuk menjalin kerjasama dan saling ketergantungan dalam struktur tugas, tujuan,

dan hadiah”. Sedangkan Shoimin (2014: 45) mengatakan bahwa bahwa “model

pembelajaran cooperative learning adalah kegiatan pembelajaran dengan cara

berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengonstruksi konsep dan

menyelesaikan persoalan”. Rusman (2014: 209) bahwa “model pembelajaran

kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan

pembelajaran penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap

keragaman dan pengembangan keterampilan sosial”. Ciri-ciri dari model

pembelajaran kooperatif, yaitu:

1. Bertujuan menuntaskan materi yang dipelajari, dengan cara siswa belajar

dalam kelompok secara kooperatif.

2. Kelompok terbentuk yang terdiri dari siswa-siswa yang memiliki

kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

22
3. Jika dalam kelas, terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku,

budaya, jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap

kelompok pun terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang

berbeda pula.

4. Penghargaan atas keberhasilan belajar lebih diutamakan pada kerja

kelompok daripada perorangan.

Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran


yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh
para ahli pendidikan. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Slavin, dinyatakan bahwa: a)
Penggunakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain,
dan b) Pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa
dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan
pengetahuan dengan pengalaman, (Rusman, 2014: 205-206).

Sintaks model pembelajaran kooperatif menurut Suprijono (2010: 65)

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL I

SINTAKS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Fase Perilaku Guru Perilaku Siswa


Fase 1 Menyampaikan tujuan yang Mendengarkan dengan
Menyampaikan tujuan ingin dicapai selama seksama dan
dan memotivasi siswa pembelajaran dan memperhatikan penjelasan
memotivasi siswa belajar guru
Fase 2 Menyampaikan informasi Mendengarkan informasi
Menyampaikan kepada siswa dengan jalan yang disampaikan guru
informasi demonstrasi atau lewat dan mengajukan
bahan bacaan pertanyaan mengenai
informasi tersebut jika ada.

23
Fase Perilaku Guru Perilaku Siswa
Fase 3 Menjelaskan kepada siswa Bergabung dengan teman
Mengorganisasikan bagaimana cara satu kelompok yang telah
siswa kedalam membentuk kelompok ditentukan oleh guru serta
kelompok belajar belajar dan membantu mengajukan pertanyaan
setiap kelompok agar sebelum melakukan
melakukan transisi secara kegiatan dalam kelompok
efisien
Fase 4 Membimbing kelompok Melakukan kegiatan dalam
Membimbing belajar pada saat kelompok yaitu berdiskusi
kelompok belajar dan mengerjakan tugas mereka mengenai permasalahan
bekerja yang diberikan dalam
lembar aktivitas siswa
untuk diselesaikan
Fase 5 Mengevaluasi hasil belajar Siswa mempresentasi
Evaluasi tentang materi yang telah kanhasil diskusi dengan
dipelajari/meminta diwakili oleh perwakilan
kelompok presentasi hasil kelompok masing-masing
kerja sedangkan kelompok lain
memberikan komentar.
Setelah itu siswa menjalani
kuis secara individu
Fase 6 Menghargai baik upaya Siswa menerima
Memberikan maupun hasil belajar penghargaan dari guru atau
penghargaan individu dan kelompok prestasi yang diterimanya
dalam kelompok

Sebagai pembelajaran yang menekankan pada kerjasama, saling

membantu, dan mendorong kegiatan diskusi dalam menyelesaikan tugas-tugas

yang diberikan, model pembelajaran kooperatif paling sesuai bila diterapkan

dalam mata pelajaran matematika, karena matematika merupakan pelajaran yang

dianggap sulit dan memerlukan keaktifan siswa, kerjasama dan saling membantu

dalam menyelesaikan suatu masalah. Hal ini memberikan dampak yang positif

terhadap kualitas interaksi, dan komunikasi yang berkualitas dapat memotivasi

siswa meningkatkan prestasi belajarnya.

24
Pembelajaran kooperatif tidak hanya sekadar belajar dalam kelompok.

Dalam pembelajaran konvensional juga dikenal belajar kelompok. Ada sejumlah

perbedaan prinsipal antar belajar kelompok pembelajaran kooperatif dengan kerja

kelompok pada pembelajaran konvensional. Untuk lebih jelas tentang perbedaan

pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran konvensional menurut Istarani

(2014: 15-16) dapat dilihat pada tabel berikut.

TABEL II

PERBEDAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF


DAN KONVENSIONAL

Pembelajaran Konvensional Pembelajaran Kooperatif


 Memfokuskan pada prestasi  Memfokuskan pada prestasi
individu. kelompok.
 Setiap siswa akan saling  Setiap anggota kelompok percaya
berkompetensi dan berprinsip, “jika bahwa kesuksesan tidak dapat
aku tidak sukses, aku akan kalah diraih tanpa kesuksesan kelompok,
dan kehilangan.” “jika kamu menang, aku menang.”
 Penghargaan berupa prestasi antar  Penghargaan kelompok sebagai
individu. prestasi masing-masing anggota
kelompok.
 Dalam proses belajar, hanya sedikit  Sesama anggota kelompok akan
terjadi proses diskusi antar siswa. saling membantu, mendorong, dan
saling memotivasi dalam proses
belajar.
 Tanggung jawab yang ada berupa  Tanggung jawab yang ada berupa
tanggung jawab individu dan
tanggung jawab individu. tanggung jawab kelompok.
 Setiap anggota kelompok akan
saling bertanggung jawab demi
tercapainya kerja kelompok yang
optimal.
 Kemampuan sosial.  Kemampuan teamwork adalah
suatu.
 Seorang siswa akan mengomandani  Sikap anggota akan mengharapkan
dirinya sendiri dalam adanya suatu kolaborasi.
menyelesaikan semua tugasnya.  Kepemimpinan menjadi tanggung
jawab semua anggota kelompok.
 Tidak ada proses tentang cara untuk  Setiap anggota akan

25
Pembelajaran Konvensional Pembelajaran Kooperatif
meningkatkan kualitas kerja. memberlakukan prosedur untuk
menganalisis cara terbaik supaya
kelompoknya menjadi lebih baik,
menggunakan kemampuan sosial
secara tepat, dan memperbaiki
kualitas kerja kelompok mereka.
 Pembentukan kelompok tidak  Guru membentuk kelompok-
diperhatikan (tidak ada). kelompok yang heterogen.
 Yang ada, berupa kelompok besar,  Setiap kelompok teridi atas 4-5
yaitu kelas. anggota (kelompok kecil).
 Guru akan mengobservasi dan
melakukan investasi, jika memang
diperlukan.

D. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS)

Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) memiliki beberapa

variasi. Salah satu variasi dari model pembelajaran cooperative learning adalah

tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS (Two

Stay Two Stray) atau dua tinggal dua tamu dikembangkan oleh Spencer Kagan

(1990), salah satu kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay

Two Stray (TSTS) ini yaitu mampu menciptakan dan menumbuhkan suasana

belajar kelompok peserta didik untuk saling berbagi informasi dengan kelompok-

kelompok peserta didik yang lainnya. Tipe TSTS ini dapat digunakan pada semua

mata pelajaran dan pada semua tingkatan peserta didik. Menurut Huda (2011:

140) bahwa, “teknik pembelajaran ini dapat diterapkan untuk semua mata

pelajaran dan untuk semua tingkatan umur, karena ini merupakan pembelajaran

yang berkelompok sehingga dapat membuat siswa menjadi lebih aktif dalam

belajar”.

26
Sedangkan menurut Sari (2018: 165-167) bahwa, “pembelajaran

kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan

dan mengkomunikasikan hasil kerja mereka dengan kelompok lainnya sehingga

penyebaran informasi lebih meluas dalam kelas tersebut adalah pembelajaran

kooperatif tipe TSTS”. Istarani (2014: 105) mengatakan bahwa, “pembelajaran

model Two Stay Two Stray adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan

pengalaman dengan kelompok lain”.

Model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) merupakan suatu model

pembelajaran dimana siswa belajar memecahkan masalah bersama anggota

kelompoknya, kemudian dua siswa dari kelompok tersebut bertukar informasi

dengan anggota kelompok lainnya. Dalam model pembelajaran Two Stay Two

Stray siswa dituntut untuk memiliki tanggungjawab dan aktif dalam setiap

kegiatan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Shoimin

(2014: 222) yang mengungkapkan bahwa:

Model pembelajaranTwo Stay TwoStray adalah model pembelajaran


dimana dua orang siswa tinggal di kelompok dan dua orang siswa
bertamu ke kelompok lain. Dua orang yang tinggal bertugas
memberikan informasi kepada tamu tentang hasil kelompoknya,
sedangkan yang bertamu bertugas mencatat hasil diskusi kelompok
yang dikunjungi.

Dalam model pembelajaran ini siswa dihadapkan pada kegiatan

mendengarkan apa yang diutarakan oleh temannya ketika sedang bertamu, yang

secara tidak langsung siswa akan dibawa untuk menyimak apa yang diutarakan

oleh anggota kelompok yang menjadi tuan rumah tersebut. Dalam proses ini akan

terjadi kegiatan menyimak materi pada siswa.

27
Dalam pembelajaran ini siswa dihadapkan pada kegiatan
mendengarkan apa yang diutarakan oleh temannya ketika sedang
bertamu, yang secara tidak langsung siswa akan dibawa untuk
menyimak apa yang diutarakan oleh anggota kelompok yang
menjadi tuan rumah tersebut. Dalam proses ini, akan terjadi
kegiatan menyimak materi pada siswa, (Huda, 2014: 207).

Setiap model pembelajaran pasti memiliki karakteristik. Adapun

karakteristik dari pembelajaran kooperatif tipe ini Two Stay Two Stray menurut

Istarani (2014: 105-106) adalah: “a) Satu kelompok terdiri dari empat orang, b)

Dua orang bertindak sebagai tamu pada kelompok lain, c) Dua orang lagi

bertindak sebagai penerima tamu dikelompoknya, dan d) Sebagai langkah akhir

adalah mencocokkan hasil kerja kelompok lain dengan yang dikerjakan oleh

kelompoknya sendiri”. Dalam penerapan pembelajaran TSTS ada tata cara yang

harus diikuti seperti yang dikatakan oleh Suprijono (2010: 93) bahwa:

Pembelajaran dengan strategi itu diawali dengan pembagian


kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas
berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan
jawabannya.Setelah diskusi antara kelompok usai, dua orang dari
masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk
bertamu kepada kelompok yang lain. Anggota kelompok yang tidak
mendapat tugas sebagai duta (tamu) mempunyai kewajiban
menerima tamu dari suatu kelompok, tugas mereka adalah
menyaksikan hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua
orang yang bertugas sebagai tamu diwajibkan bertamu kepada
semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan tugasnya,
mereka kembali kekelompoknya masing-masing. Setelah kembali
kekelompok asal, baik peserta didik yang bertugas bertamu maupun
mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas
hasil kerja yang telah mereka tunaikan.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pembelajaran kooperatif tipe

Two Stay Two Stray (TSTS) menurut Hanafiah (2010: 56) adalah:

a) Peserta didik bekerjasama dalam kelompok berempat seperti


biasa, b) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok
bertamu ke kelompok yang lain, c) Dua orang yang tinggal dalam

28
kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka
ke tamu mereka, d) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok
mereka masing-masing dan melaporkan tamuan mereka dari
kelompok lain, dan e) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil
kerja mereka.

Kemudian Huda (2011: 207) juga mengemukakan bahwa sintak dalam

pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat dilihat dalam rincian tahapan berikut

ini:

a) Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap


kelompoknya terdiri dari empat siswa. Kelompok yang dibentuk
merupakan kelompok heterogen, misalnya satu kelompok terdiri
dari satu siswa berkemampuan tinggi, dua siswa berkemampuan
sedang, dan satu siswa berkemampuan rendah. Hal ini dilakukan
karena pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini untuk memberikan
kesempatan pada siswa untuk saling belajar dan saling mendukung,
b) Guru memberikan subpokok bahasan pada tiap-tiap kelompok
untuk dibahas bersama-sama dengan anggota kelompok masing-
masing, c) Siswa bekerjasama dalam kelompok yang beranggotakan
empat orang. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan
kepada siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir,
d) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok
meninggalkan kelompoknya untuk bertamu ke kelompok lain, e)
Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan
hasil kerja dan informasi mereka kepada tamu dari kelompok lain,
f) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri untuk
melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, g) Kelompok
mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka, dan h)
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka.

Semua model pembelajaran yang diterapkan oleh guru adalah baik, salah

satunya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Setiap model

pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi kekurangan yang

ada pada model tersebut dapat diminimalisir dengan memaksimalkan kelebihan

yang ada pada model tersebut. Adapun kelebihan model pembelajaran kooperatif

tipe TSTS menurut Shoimin (2014: 225) yaitu:

29
a) Mudah dipecah menjadi berpasangan, b) Lebih banyak tugas
yang dilakukan, c) Guru mudah memonitor, d) Dapat diterapkan
pada semua tingkatan, e)Kecenderungan belajar siswa lebih
bermakna, f) Lebih berorientasi pada keaktifan, g) Diharapkan
siswa akan berani mengungkapkan pendapatnya, h) Menambah
kekompakkan dan rasa percaya diri siswa, i) Kemampuan bicara
siswa dapat meningkat, j) Membantu meningkatkan minat dan
prestasi siswa.

Sedangkan yang menjadi kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe

TSTS menurut Shoimin (2014: 225) yaitu:

a) Membutuhkan waktu yang lama, b) Siswa cenderung tidak mau


belajar dalam kelompok, c) Bagi guru, membutuhkan banyak
persiapan (materi,dana,dan tenaga),d) Guru cenderung kesulitan
dalam pengelolaan kelas, e) Membutuhkan sosialisasi yang baik, f)
Jumlah genap dapat menyulitkan pembentukan kelompok, g) Siswa
mudah melepaskan diri dari keterlibatan berkelompok, dan h)
Kurang kesempatan untuk memerhatikan guru.

Pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (dua tinggal dua tamu)

ini banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh para ahli

pendidikan. Hal ini dikarenakan tipe TSTS ini dapat menghindari rasa bosan yang

disebabkan pembentukan kelompok secara permanen dan memberi kesempatan

kepada siswa untuk berinteraksi dengan kelompok lainnya, guna memacu

terbentuknya ide baru dan memperkaya intelektual siswa, membantu siswa

memahami konsep-konsep sulit, membantu siswa menumbuhkan kemampuan

kerjasama, berpikir kritis dan kemampuan membantu teman.

30

Anda mungkin juga menyukai