Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

CROUP

Disusun oleh :

Klarasita Wibowo (0107322003)

Jessica Victoria (01073220103)

Pembimbing :

dr. Erick Kan, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

PERIODE OKTOBER - DESEMBER 2023


DAFTAR ISI

REFERAT................................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 4
2.1 Definisi........................................................................................................................... 4
2.2 Etiologi........................................................................................................................... 4
2.3 Epidemiologi.................................................................................................................. 5
2.4 Klasifikasi.......................................................................................................................5
2.5 Patofisiologi................................................................................................................... 6
2.6 Klinis.............................................................................................................................. 6
2.7 Diagnosis........................................................................................................................ 7
2.8 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................8
2.9 Diagnosis Banding......................................................................................................... 9
2.10 Tata Laksana...............................................................................................................10
2.11 Komplikasi................................................................................................................. 14
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................ 15
REFERENSI........................................................................................................................... 17
BAB I

PENDAHULUAN

Croup merupakan penyakit saluran nafas pada trakea, laring, dan bronkus yang dapat
menyebabkan stridor saat inspirasi serta batuk menggonggong/barking cough. Croup
merupakan self limiting disease dan umumnya terjadi pada anak-anak berusia di bawah 5
tahun. Ini adalah penyakit yang dapat disembuhkan sendiri dan terlihat pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun.1

Setiap tahunnya croup mempengaruhi 3% anak berusia 6 bulan hingga tiga tahun.
75% dari infeksi croup disebabkan oleh virus parainfluenza, dengan lebih banyak ditemukan
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio 1,5:1. Insidensi croup
ditemukan lebih banyak pada croup ringan yaitu sebesar 85% kasus dengan croup berat
sebesar 1%.1

Setiap tahun di Amerika Serikat, croup menyumbang 7% dari rawat inap pada
anak-anak di bawah usia lima tahun. Croup mempengaruhi sekitar 3% anak-anak per tahun,
biasanya antara usia 6 bulan dan tiga tahun. Virus parainfluenza menyumbang lebih dari 75%
infeksi croup. Hal ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan
dengan rasio 1,5:1. Sekitar 85% kasus didefinisikan sebagai croup ringan, dan kurang dari
1% dianggap croup parah.1

Etiologi croup paling sering disebabkan oleh virus dengan virus parainfluenza tipe 1
dan 2 merupakan virus yang paling sering ditemukan pada croup virus atau laringotrakeitis
akut. Selain itu croup juga dapat disebabkan oleh respiratory synctytial virus (RSV),
influenza tipe A dan B serta adenovirus. Selain itu meskipun jarang dijumpai, bakteri juga
dapat menyebabkan croup.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Croup merupakan penyakit saluran pernafasan yang meliputi laring,


trakea, dan bronkus. Croup merupakan penyakit yang lebih sering ditemukan
pada anak. Croup seringkali didahului dengan keluhan batuk yang bersifat non
spesifik, kemudian terdapat rinorea, coryza, dan demam selama 24-72 jam,
disertai dengan batuk menggonggong yang terjadi secara tiba-tiba, suara serak,
dan temuan stridor saat inspirasi di malam hari. Croup disebabkan karena
adanya infeksi virus pada saluran pernafasan yang menyebabkan edema serta
peradangan pada saluran nafas bagian atas dan mukosa laring sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan pada daerah subglottis.2,3

2.2 Etiologi

Croup disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernapasan. Patogen


yang paling sering adalah parainfluenza virus tipe 1 dan 3. Virus lain yang
dapat menyebabkan croup adalah influenza A dan B, adenovirus,
metapneumovirus, respiratory syncytial virus (RSV), dan measles virus.1

Croup juga dapat disebabkan oleh bakteri, yang kemudian dibagi


jenisnya menjadi difteria laringeral, trakeitis bakteri, laringotrakeobronkitis,
dan laringotrakeobronkopneumonitis. Difteria laryngeal umumnya disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheriae. Trakeitis bakteri, laringotrakeobronkitis,
dan laringotrakeobronkopneumonitis biasanya diawali oleh infeksi viral, yang
selanjutnya memburuk akibat pertumbuhan bakteri sekunder. Etiologi bakteri
lainnya yang dapat menyebabkan croup meliputi Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis.1,4
2.3 Epidemiologi

Croup mempengaruhi sekitar 3% anak-anak per tahunnya, biasanya


antara usia 6 bulan dan 3 tahun, dengan angka kejadian lebih tinggi pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio 1,5:1,6. Virus
parainfluenza berkontribusi pada lebih dari 75% infeksi croup.5

Di Amerika Serikat, croup menyebabkan sekitar 7% dari total kasus


rawat inap pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Sekitar 85% kasus
didefinisikan sebagai croup ringan, dan kurang dari 1% termasuk dalam croup
parah. Data epidemiologi croup secara nasional di Indonesia hingga saat ini
belum tersedia. Namun berdasarkan hasil Riskesdas per tahun 2018,
prevalensi ISPA di Indonesia mencapai 9,3% dengan prevalensi ISPA tertinggi
terjadi pada kelompok umur satu sampai empat tahun yaitu sebesar 13,7%.4

2.4 Klasifikasi

Secara umum croup diklasifikasikan menjadi dua kelompok antara


lain:3,4,5

1. Viral croup: ditandai dengan adanya gejala obstruksi saluran nafas


selama 3-5 hari, yang disebut laringotrakeobronkitis.
2. Spasmodic croup: ditandai dengan faktor atopik yang tidak disertai
gejala prodromal, dengan salah satu manifestasinya. Namun pasi elup
dengan gejala obstruksi pernafasan yang tiba-tiba muncul di malam
hari saat tidur.

Croup juga dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya gejala yang


terjadi pada pasien antara lain:4,5

1. Ringan: barking cough (jarang ditemui), tidak terdengar stridor saat


istirahat, retraksi ringan pada dinding dada.
2. Sedang: barking cough (sering), terdengar stridor saat istirahat, retraksi
suprasternal, tidak ada atau sedikitnya gejala distres pernafasan.
3. Berat: barking cough (lebih sering), stridor saat inspirasi mudah
terdengar jelas saat pasien istirahat dan kadang disertai stridor saat
ekspirasi, retraksi dinding sternal terlihat jelas, terjadi distres
pernafasan dan agitasi.
4. Gagal nafas yang bersifat mengancam jiwa: batuk timbul
kadang-kadang dan tidak jelas, stridor semakin jelas saat istirahat,
gangguan kesadaran, dan letargi.

2.5 Patofisiologi

Croup disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernapasan, dimana


yang paling sering disebabkan oleh parainfluenzavirus tipe 1 dan 3,
kemudian karena adenovirus, respiratory synctytial virus (RSV), influenza tipe
A dan B. Penularan virus croup dapat melalui kontak secara langsung,
kemudian paparan dari sekret nasofaring atau droplet udara jarak dekat.
Infeksi dari virus penyebab croup berawal dari nasofaring kemudian akan
menyebar ke epitelium dari laring, trakea, dan bronkus besar dimana akan
terjadi infiltrasi sel darah putih (terutama histiosit, limfosit, sel plasma, dan
stridor). Setelah terjadinya kolonisasi patogen pada mukosa nasofaring, sitokin
inflamasi akan diekskresikan sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler di mukosa nasal, yang kemudian akan terjadi kebocoran
protein. Pembengkakan menyebabkan obstruksi jalan nafas akibat peradangan
yang membuat jalur nafas mengalami penyempitan. Terjadinya peradangan
pada dinding trakea mengganggu mobilitas dari pita suara sehingga
menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Stridor timbul akibat
turbulensi aliran udara yang melewati saluran respiratori atas yang menyempit.
Pada croup terjadi peningkatan usaha napas, yang tampak berupa adanya
retraksi dinding dada. Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak
teratur membuat pasien kelelahan dan terjadi hipoksia dan hiperkapnea yang
dapat berujung pada gagal napas. 5
2.6 Manifestasi Klinis

Croup diawali dengan gejala infeksi saluran pernapasan atas ringan


seperti rhinorrhea, batuk, demam ringan, dan nyeri tenggorokan atau nyeri saat
menelan selama 1 sampai 5 hari sebelum gejala croup timbul. Perubahan
gejala umumnya terjadi secara mendadak dan biasanya terjadi pada malam
hari atau saat tidur siang. Perubahan ini ditandai dengan anak yang terbangun
dengan gejala sistemik yang meliputi demam tinggi dan malaise, stridor saat
inspirasi yang keras dan dapat terdengar bahkan saat anak beristirahat, batuk
yang keras seperti “menggonggong” atau “seperti anjing laut”, dan suara
serak. Pada keadaan yang berat, croup dapat bermanifestasi dengan sesak
nafas, stidor saat inspirasi yang berat, retraksi dinding dada, dan anak yang
tampak gelisah. Anak juga akan tampak lebih sering menangis, rewel, dan
merasa lebih nyaman saat duduk di tempat tidur atau digendong. Gejala klinis
croup umumnya akan memuncak pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Karena
sifatnya yang self-limiting, gejala croup umumnya akan membaik setelah 1
minggu.6

Tingkat keparahan gejala dan perjalanan penyakit croup sangat


bervariasi. Durasi rata-rata gejala klinis adalah 3 hari dengan rentang waktu
mulai dari 1 hari hingga 1 minggu. Sebagian besar anak memiliki gejala yang
hilang timbul, dengan gejala yang memburuk saat malam hari. Seiring dengan
perjalanan penyakit, kongesti hidung terutama saat tidur dan postnasal drop
dapat menyebabkan saluran nafas yang kering, karena anak cenderung akan
bernafas lewat mulut. Hal ini selanjutnya dapat memperburuk iritasi pada
laring dan batuk. Batuk yang terus-menerus selanjutnya memperburuk
inflamasi yang telah terjadi dan menyebabkan iritasi pada saraf, sehingga
terjadi siklus perburukan penyakit.1

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan peningkatan laju pernapasan,


napas cuping hidung, dan sianosis, meskipun jarang terjadi. Pada auskultasi,
dapat ditemukan stridor insipiratori yang berat di regio leher. Terkadang dapat
juga ditemukan wheezing yang ringan, namun temuan ini merujuk pada
evaluasi diagnosis alternatif yang lain. Rhonchi juga dapat terdengar, namun
bukan suatu temuan yang tipikal. Rales juga sangat jarang terdengar, sehingga
temuan ini merujuk pada evaluasi lanjut untuk diagnosis lainnya.5

2.7 Diagnosis

Diagnosis croup ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik


yang terperinci. Evaluasi croup pada anak antara lain meliputi:1

● Tipe stridor : inspirasi, ekspirasi, atau bifasik


● Frekuensi pernapasan
● Retraksi dada
● Sianosis
● Desaturasi oksigen
● Penurunan kesadaran

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan manifestasi berupa suara


serak, hidung berair, peradangan faring, dan peningkatan frekuensi napas.
Meskipun demikian, manifestasi ini sangat bervariasi dan bergantung pada
derajat keparahan penyakit. Penegakkan diagnosis klinis croup berdasarkan
gejala klinis adalah sebagai berikut:5

Tabel 2.1 Diagnosis Klinis Croup

Laringotrakeitis Trakeitis Bakteri Spasmodic Croup


(Viral Croup)

Usia 6 bulan - 3 tahun 6 bulan - 8 tahun 6 bulan - 6 tahun

Onset Lambat Cepat Cepat

Gejala prodromal Gejala saluran napas Gejala saluran napas Tidak jelas
atas atas

Demam Bervariasi atau tidak Tinggi Biasa ada namun


ada tidak tinggi

Serak dan batuk Ada Ada Ada


menggongong

Disfagia Tidak ada Ada Ada


2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada croup tidak wajib dilakukan dalam menegakkan


diagnosis, dikarenakan pada umumnya diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Namun pada pemeriksaan laboratorium apabila ditemukan
adanya peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi oleh sel-sel PMN maka
curiga akan superinfeksi yang dapat disebabkan oleh epiglottitis.1,5

Pemeriksaan radiografi dengan posisi anteroposterior (AP) dan lateral pada


saluran nafas bagian atas dapat digunakan untuk mengevaluasi croup. Pada radiografi
croup posisi AP, akan ditemukan ‘steeple sign’ pada daerah subglottis. Namun temuan
khas ini tidak ditemukan pada 50% pasien.5

Flexible fiberoptic laryngoscopy dapat dilakukan untuk membantu diagnosis


croup, namun prosedur perlu dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya
obstruksi jalan nafas akut yang memberat. Pada pasien dengan gejala obstruksi sedang
hingga berat, diagnosis yang tidak pasti, terdapat faktor risiko patologi jalan nafas
lain, maka perlu dilakukan pemeriksaan laringoskopi langsung dan bronkoskopi. Pada
prosedur endoskopi, tanda khas pada croup yang dapat ditemukan yaitu edema dan
penyempitan dari pita suara dan subglottis. Namun yang perlu diperhatikan adalah
bahwa endoskopi tidak mampu sepenuhnya untuk menilai dan mengevaluasi kelainan
anatomi terutama jika dilakukan selama infeksi akut.1,3,5

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari croup antara lain adalah supraglottitis, trakeitis bakteri,
dan abses retrofaring. Supraglottitis yang disertai bakteremia memiliki keluhan seperti
produksi air liur bertambah, sulit menelan pucat, dan demam. Namun pada
supraglottitis tidak ditemukannya batuk menggonggong. Pada supraglottitis,
umumnya pasien akan lebih merasa nyaman pada posisi duduk dengan ekstensi
kepala. Trakeitis bakteri merupakan infeksi bakteri sekunder yang didahului oleh
infeksi virus yang menyerang anak-anak, paling sering di bawah usia enam tahun.
Virus-virus ini menyebabkan kerusakan pada mukosa saluran nafas melalui respon
imun lokal yang menyebabkan trakea menjadi tempat berkembang biaknya bakteri.
Abses retrofaring jarang ditemukan namun memiliki potensi penyakit yang
mengancam jiwa. Abses retrofaring ini paling sering terjadi pada anak-anak di bawah
usia 5 tahun, namun bisa dapat terjadi pada orang dewasa. Tanpa pengobatan yang
tepat, abses retrofaring dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas dan sesak
napas. Gejala yang dialami pada pasien dengan abses retrofaring antara lain disfagia,
odinofagia, ketidakmampuan untuk mentoleransi sekresi oral, leher kaku,
limfadenopati, nyeri dada, gangguan pernafasan yaitu stridor, takipnea, dan
retraksi.5,7,8,9
2.10 Tatalaksana

Tatalaksana utama bagi pasien croup bertujuan untuk mengatasi


obstruksi jalan napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat di
rumah sakit dan cukup dirawat di rumah. Peran orangtua selama perawatan di
rumah meliputi menjaga anak tetap tenang dengan mengurangi rangsangan
yang membuat anak menangis dan cemas, karena anak yang menangis dapat
memperburuk kondisi batuk yang terjadi. Indikasi untuk rawat inap antara lain
adalah jika ditemukan salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di
bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang
beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis,
gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak terdapatnya
respons terhadap terapi. ​ Algoritma tatalaksana croup berdasarkan derajatnya
adalah sebagai berikut:1,5
Gambar 2.1 Algoritma Tatalaksana Croup

Terapi oksigen di indikasikan pada anak dengan hipoksemia atau


severe respiratory distress. Selain suplai oksigen, terapi pernapasan lainnya
yang dapat dilakukan adalah dengan humidified air inhalation dan heliox.
Heliox merupakan suatu campuran antara helium dan oksigen, yang bertujuan
untutk memperbaiki resistensi di jalan napas dengan menurunkan densitas
udara karena sifat helium yang densitasnya rendah.6,10
Terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid dapat diberikan pada pasien terlepas dari derajat keparahannya.
Kortikosteroid bekerja sebagai agen anti-inflamasi yang dapat menurunkan
edema pada mukosa laring. Kortikosteroid bermanfaat untuk mengurangi
keparahan dan durasi gejala, serta dapat menurunkan risiko kekambuhan,
rawat inap, intubasi, dan penggunaan epinephrine secara signifikan.6

Jenis kortikosteroid yang dapat digunakan antara lain adalah


dexamethasone, budesonide [Rhinocort], atau methylprednisolone.
Dexamethasone lebih di rekomendasikan dibandingkan jenis lainnya karena
cukup diberikan dengan dosis tunggal dan metode administrasinya yang
fleksibel, yaitu secara per oral, intramuskular, atau intravena. Dosis yang
disarankan untuk pengobatan rawat jalan adalah dosis rendah yaitu 1 hingga 2
mg/kg/hari dibagi dua kali per hari. Dosis optimal untuk rawat inap adalah
0.15 hingga 0.6 mg/kg. Dexamethasone juga disebutkan lebih superior
dibandingkan dengan budesonide karena dapat memperbaiki skor gejala secara
lebih signifikan.6,10

Tatalaksana kedua yang dapat diberikan adalah epinephrine.


Mekanisme kerja epinephrine adalah dengan menginduksi vasokonstriksi
arteriol di mukosa dan penurunan permeabilitas vaskular, yang selanjutnya
menurunkan edema. Pemberian epinefrin juga dikaitkan dengan penurunan
kebutuhan intubasi atau trakeostomi. Epinefrin umumnya digunakan
bersamaan dengan kortikosteroid karena onsetnya yang cepat namun half-life
pendek, sementara sebaliknya kortikosteroid memiliki onset lebih lambat
namun half-life yang lebih panjang. Epinephrine nebulisasi dapat
memperbaiki tanda-tanda gangguan pernapasan dalam 10 hingga 30 menit
setelah inisiasi pemberian, dan durasi efek klinisnya adalah sekitar 1 hingga 2
jam. Epinefrin dapat digunakan pada anak dengan croup derajat sedang hingga
berat, dengan rekomendasi dosis 0.05 mL/kg racemic epinephrine 2.25%
(dosis maksimal 0.5 mL) atau 0.5 mL/kg L-epinephrine 1:1.000 melalui
nebulizer (dosis maksimal 5 mL). Dalam pengobatan rawat inap, agen ini
dapat digunakan setiap 30 menit, biasanya setiap 3 sampai 4 jam.10
Tidak ada perbedaan awal antara penggunaan racemic epinefrin dan
L-epinefrin, meskipun L-epinefrin lebih efektif selama durasi dua jam pertama
karena efeknya yang lebih lama. Efek epinefrin berkurang setelah satu hingga
dua jam, sehingga pasien harus dimonitor setidaknya dua jam setelah
pemberian sebelum mereka dipulangkan. Meskipun efek samping dari
epinefrin nebulisasi jarang terjadi, pasien tetap harus dipantau untuk efek
samping kardiovaskular seperti takikardia, agitasi, dan hipertensi.6,10

Modalitas tatalaksana lainnya seperti antibiotik dan bronkodilator


beta-2 agonis short-acting pada anak-anak dengan croup jarang diindikasikan
karena insidensi kejadian infeksi bakteri yang relatif rendah. Pada pasien
laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis dengan suspek infeksi
bakteri, terapi empiris dapat diberikan sambil menunggu hasil kultur. Terapi
awal yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3.
Sementara itu pemberian sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada
pasien dengan sindrom croup.1,5

Intubasi trakea di indikasikan pada croup derajat berat saat anak tidak
dapat bernapas spontan secara mandiri dan terjadi peningkatan CO2, atau saat
pengobatan lini pertama dan kedua tidak adekuat. Rekomendasi ukuran
endotracheal tube (ETT) adalah 0,5-1,0 mm lebih kecil dari yang biasanya
sesuai usia. Ukuran ETT harus tepat, sehingga pasien dapat bernapas dengan
mudah selama ventilasi spontan dan mempermudah proses suction lendir atau
sekret saluran napas.5

2.11 Komplikasi

Croup merupakan penyakit yang bersifat self-limiting, tetapi terkadang


dapat menjadi berat bahkan fatal. Pada 15% kasus croup yang dilaporkan,
komplikasi yang dapat terjadi antara lain adala otitis media, dehidrasi, dan
pneumonia meskipun jarang ditemukan. Sebagian kecil pasien memerlukan
tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien
yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat. Penatalaksanaan yang
segera dan tepat dapat mencegah atau mengurangi risiko morbiditas dan
mortalitas croup pada anak–anak.1,5
BAB III

KESIMPULAN

Croup merupakan penyakit saluran nafas pada trakea, laring, dan bronkus yang dapat
menyebabkan stridor saat inspirasi serta batuk menggonggong/barking cough. Croup sering
kali didahului dengan keluhan batuk yang bersifat non spesifik, kemudian terdapat rinorea,
coryza, dan demam selama 24-72 jam, disertai dengan batuk menggonggong yang terjadi
secara tiba-tiba, suara serak, dan temuan stridor saat inspirasi di malam hari. Patogen yang
paling sering adalah parainfluenza virus tipe 1 dan 3. Virus lain yang dapat menyebabkan
croup adalah influenza A dan B, adenovirus, metapneumovirus, respiratory syncytial virus
(RSV), dan measles virus. Croup mempengaruhi sekitar 3% anak-anak per tahunnya,
biasanya antara usia 6 bulan dan 3 tahun, dengan angka kejadian lebih tinggi pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio 1,5:1,6. Virus parainfluenza
berkontribusi pada lebih dari 75% infeksi croup.

Secara umum croup diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu viral croup dan
spasmodic croup. Berdasarkan beratnya gejala / derajat keparahan, croup dibagi menjadi
croup ringan, sedang, berat, dan gagal nafas yang mengancam jiwa. Penularan virus croup
dapat melalui kontak secara langsung, kemudian paparan dari sekret nasofaring atau droplet
udara jarak dekat. Infeksi dari virus penyebab croup berawal dari nasofaring kemudian akan
menyebar ke epitelium dari laring, trakea, dan bronkus besar dimana akan terjadi infiltrasi sel
darah putih. Perubahan ini ditandai dengan anak yang terbangun dengan gejala sistemik yang
meliputi demam tinggi dan malaise, stridor saat inspirasi yang keras dan dapat terdengar
bahkan saat anak beristirahat, batuk yang keras seperti “menggonggong” atau “seperti anjing
laut”, dan suara serak.

Tatalaksana utama pada pasien croup bertujuan untuk mengatasi obstruksi jalan
napas. Terapi oksigen diindikasikan pada anak dengan hipoksemia atau severe respiratory
distress. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah kortikosteroid, dengan tujuan
untuk menurunkan edema pada mukosa laring. Kortikosteroid bermanfaat untuk mengurangi
keparahan dan durasi gejala, serta dapat menurunkan risiko kekambuhan, rawat inap,
intubasi, dan penggunaan epinephrine secara signifikan. Epinephrine digunakan sebagai
tatalaksana pada anak dengan croup derajat sedang hingga berat. Epinephrine bekerja dengan
menginduksi vasokonstriksi arteriol di mukosa dan menurunkan permeabilitas vaskular
sehingga dapat megurangi edema. Croup merupakan penyakit yang bersifat self-limiting,
tetapi terkadang dapat menjadi berat bahkan fatal. Pada 15% kasus, komplikasi yang dapat
terjadi antara lain adala otitis media, dehidrasi, dan pneumonia meskipun jarang ditemukan
REFERENSI

1. Sizar O, Carr B. Croup. StatPearls Publishing. 2023. Available from:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431070/

2. Bjornson CL, Johnson DW. Croup. The Lancet. 2008;371(9609):329-39.

3. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in children. CMAJ. 2013;185(15):1317-23.

4. Susanto W. Tatalaksana Croup Pada Anak. CDK. 2023;50(4):194–8.

5. Kemenkes RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehat RI.
2018;53(9):1689–99.

6. Smith DK, Mcdermott AJ, Sullivan JF. Croup : Diagnosis and Management.
2018;97(9):575–80.

7. Guerra AM, Waseem M. Epiglottitis. StatPearls Publishing. 2023 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430960/

8. Burton LV, Lofgren DH, Silberman M. Bacterial Tracheitis. StatPearls Publishing.


2023 Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470240/

9. Jain H, Knorr TL, Sinha V. Retropharyngeal Abscess. StatPearls Publishing. 2023.


Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441873/

10. Ortiz-Alvarez O. Acute management of croup in the emergency department. Paediatr


Child Health. 2017 Jun;22(3):166–73.

Anda mungkin juga menyukai