Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

CROUP

COVER

Disusun oleh:

Fernando Adhitama Yusuf (01073210069)

Grady Ihsan Shaquille (01073210073)

Pembimbing:

dr. Erick Fransisco Kan, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE-RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE AGUSTUS - OKTOBER 2023

TANGERANG
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.................................................................................Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 5

1. Definisi ................................................................................................................................ 5

2. Etiologi ................................................................................................................................ 5

3. Epidemiologi ....................................................................................................................... 5

4. Klasifikasi ........................................................................................................................... 6

5. Patofisiologi ........................................................................................................................ 6

6. Manifestasi Klinis............................................................................................................... 8

7. Diagnosis ............................................................................................................................. 9

8. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................................. 10

9. Diagnosis Banding............................................................................................................ 12

10. Tatalaksana ................................................................................................................... 13

11. Komplikasi .................................................................................................................... 15

BAB III KESIMPULAN............................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 18


BAB I
PENDAHULUAN

Croup adalah suatu penyakit saluran pernapasan yang meliputi trakea, laring, dan bronki
yang dapat menimbulkan stridor saat inspirasi dan batuk menggonggong. Croup dapat
menyebabkan penyumbatan atau obstruksi pada saluran pernapasan yang dapat mengancam jiwa.
Pada umumnya, croup merupakan suatu penyakit yang dapat membaik dengan sendirinya atau
penyakit yang bersifat ”self-limiting” yang sering dijumpai pada anak usia dibawah 5 tahun.
Croup terjadi pada 3% anak setiap tahunnya, dan biasanya berada pada usia 6 bulan hingga 3
tahun.1,2 Pada penelitian di Kanada lebih dari 80.000 anak mengalami croup setiap tahunnya dan
merupakan penyebab tersering kedua gagal nafas pada dekade pertama kehidupan. Penyakit ini
lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan skala perbandingan 1,4:1.3

Virus Parainfluenza merupakan virus tersering yang menjadi penyebab dari croup dengan
2
angka kejadian sekitar 75%. Human parainfluenza virus (tipe 1 dan 3) menjadi patogen yang
sering ditemukan, penyebab kausatif virus lain diantaranya influenza A dan B, respiratory
syncytial virus, rhinovirus, coronavirus, human metapneumovirus, dan adenovirus. Selain hal
tersebut, meskipun jarang untuk dijumpai, bakteri juga diketahui dapat menjadi salah satu etiologi
dari penyakit ini. Croup yang terjadi karena infeksi virus di saluran pernapasan dapat
menyebabkan inflamasi pada saluran pernapasan, dan mukosa laring sehingga terjadi edema dan
penyempitan pada regio subglottic.3

Pada manifestasi klinisnya, croup sering didahului oleh gejala batuk nonspesifik,
rhinorrhea, coryza dan demam pada 24-72 jam. Setelah itu, timbul onset mendadak batuk
menggonggong, suara serak, dan sering timbul manifestasi stridor inspirasi pada malam hari.
Gejala dari croup umumnya memburuk pada malam hari dan dapat bersifat fluktuatif secara cepat.
Gejala yang timbul dari croup biasanya muncul relatif singkat, dengan 60% anak mengalami
resolusi dari batuk menggonggong dalam 48 jam dan kurang dari 2% tetap memiliki gejala lebih
dari 5 malam.3

Anamnesis serta pemeriksaan fisik yang tepat dapat mendiagnosis croup, dimana diagnosis
klinis dapat ditegakan melalui hasil temuan gejala klinis. Pemeriksaan penunjang lain seperti
pemeriksaan laboratorium dan radiografi dapat dilakukan dengan tujuan evaluasi dari penyakit
croup. Umumnya croup dapat sembuh dengan sendirinya, namun terdapat beberapa farmakoterapi
yang dapat digunakan untuk kondisi tertentu dan dapat bermanfaat untuk mengurangi keparahan
dan lamanya gejala serta untuk menurunkan angka kekambuhan.3

Tujuan dari penyusunan referat ini untuk membahas mengenai kondisi dari croup yang
meliputi definisi hingga tatalaksana. Dengan harapan referat ini dapat menjelaskan serta
memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai croup.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Croup adalah suatu terminologi yang diberikan kepada suatu penyakit saluran pernapasan
yang meliputi laring, infra/subglotis, trakea, dan bronkus. Croup merupakan sindrom klinis yang
ditandai dengan suara serak, batuk menggonggong, stridor saat inspirasi dengan atau tanpa stres
pernapasan. Croup merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Anglo-Saxon yang berarti
“tangisan keras”.1,4

2.2 Etiologi

Croup merupakan suatu penyakit yang dapat membaik dengan sendirinya atau penyakit
yang bersifat “self-limiting”. Penyakit ini sering sekali disebabkan oleh virus akan tetapi dapat
juga disebabkan oleh bakteri. Virus yang sering diketahui menyebabkan penyakit croup adalah
parainfluenza virus dengan sekitar 75% kasus dari semua croup. Human parainfluenza virus tipe
1 dan 3 merupakan patogen yang sering ditemukan. Virus-virus lain yang diketahui dapat
menyebabkan croup adalah respiratory syncytial virus, rhinovirus, coronavirus, human
metapneumovirus, dan adenovirus. Pada beberapa kasus istimewa, penyakit croup juga dapat
disebabkan oleh mycoplasma pneumonia.

2.3 Epidemiologi

Croup sering dijumpai pada usia dibawah 5 tahun, dengan jangkauan umur 6 bulan hingga
6 tahun dan puncak angka kejadian pada 1-2 tahun. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan
pertumbuhan seorang anak akan sejalan dengan pematangan struktur anatomi respiratori atas.
Selain kategori umur tersebut, croup juga dapat terjadi pada anak usia 3 bulan dan diatas 15 tahun.
Pada penelitian di Kanada, diketahui bahwa 80.000 anak mengalami croup setiap tahunnya dan
merupakan salah satu penyebab tersering kedua dari gagal nafas yang ada.

Croup lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan
perbandingan diantaranya 4:1 atau 3:2 pada penelitian lainnya. Meskipun penyakit ini dapat
dijumpai pada sepanjang tahun, penyakit ini paling sering dijumpai pada musim dingin dan juga
musim gugur. Pasien dengan croup cenderung memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang
serupa dengan angka kejadian sebesar 15%.

2.4 Klasifikasi

Croup dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, diantaranya adalah:

1. Viral croup, meliputi gejala prodromal dari infeksi respiratori, gejala penyumbatan atau
obstruksi di saluran respiratori dapat berlangsung selama 3 hingga 5 hari. Kelompok ini
sering juga disebut laringotrakeobronkitis oleh beberapa ahli.
2. Spasmodic croup, kondisi dimana terdapat faktor atopik, tanpa disertai gejala prodromal,
manifestasi obstruksi saluran respiratori yang cepat pada anak, terutama pada waktu malam
dan menjelang tidur, kondisi tersebut bersifat singkat, yang kemudian dapat kembali
normal.4

Berdasarkan derajat keparahan¸croup dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu:3–5

1. Ringan, adanya batuk keras dan menggonggong yang terkadang timbul, stridor tidak
terdengar ketika anak beristirahat atau tidak beraktivitas, serta retraksi ringan pada dinding
dada.
2. Sedang, manifestasi berupa batuk menggonggong yang sering timbul, stridor mudah
didengar ketika anak beristirahat atau tidak beraktivitas, dan retraksi dinding dada yang
sedikit terlihat, namun tidak ditemukan adanya gawat napas.
3. Berat, adanya gejala batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi mudah
terdengar jelas terutama ketika pasien beristirahat, serta terkadang disertai dengan stridor
ekspirasi, dan adanya retraksi pada dinding dada, juga gawat napas.
4. Gagal napas yang bersifat mengancam jiwa, meliputi batuk yang timbul kadang-kadang
dan tidak jelas, terdengar stridor semakin jelas ketika pasien beristirahat, adanya gangguan
kesadaran, serta adanya letargi.
2.5 Patofisiologi

Patogenesis dari croup serupa dengan infeksi respiratori pada umumnya yang dimana
penularan virus croup dapat melalui adanya kontak langsung, ataupun melalui paparan sekret
nasofaring, serta melalui droplet udara dalam jarang yang dekat.6 Infeksi akibat virus pada
laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, serta laringotrakeobronkopneumonia dapat diawali dari
nasofaring yang kemudian menyebar menuju epitel trakea dan juga laring. Setelah terjadinya
kolonisasi dari patogen pada bagian mukosa nasofaring, sitokin inflamasi akan diekskresikan dan
menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler di mukosa nasal. Hal tersebut kemudian akan
membuat adanya kebocoran protein dan cairan ke jaringan sekitar dan menyebabkan adanya
peradangan dari mukosa nasal. Manifestasi yang muncul dari hal ini adalah adanya coryza dan
kongesti. Ekskresi dari sitokin inflamasi juga akan memicu disrupsi dari termoregulasi dan
menyebabkan demam.

Gambar 2.1 Patofisiologi croup

Patogen yang ada pada mukosa nasofaring juga kemudian dapat migrasi kebagian laring,
trakea dan menyebabkan adanya inflamasi dari jaringan-jaringan tersebut. Inflamasi pada bagian
laring akan menyebabkan kebocoran dari cairan dan protein yang kemudian membuat adanya
pembengkakan dari bagian laring dan iritasi dari pita suara. Manifestasi dari suara parau atau serak
kemudian muncul karena hal ini. Pada hal lainnya, migrasi kebagian trakea dapat terjadi dan
menyebabkan adanya pembengkakan dari bagian trakea dan penyempitan dari saluran tersebut.
Sesuai dengan prinsip bernoulli, penyempitan dari saluran trakea akan menyebabkan
peningkatan dari velositas dan penurunan dari tekanan bagian dalam saluran tersebut. Saluran
respirasi atas yang dilewati oleh udara dapat mengalami turbulensi sehingga akan muncul
manifestasi berupa stridor, yang diikuti dengan retraksi pada dinding dada selama inspirasi.
Konsekuensi lain dari hal ini adalah munculnya batuk yang menggonggong. Pergerakan dinding
dada dan abdomen yang tidak teratur, nantinya juga dapat menyebabkan pasien kelelahan dan
menyebabkan hipoksia serta hiperkapnea. Pada keadaan yang berat, akibat akumulasi dari kondisi
tersebut, pasien akan kesulitan untuk bernafas dan menyebabkan adanya respiratory distress atau
gagal nafas.4,7

2.6 Manifestasi Klinis

Croup pada umumnya memiliki manifestasi klinis yang didahului oleh demam yang bersifat
tidak tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, batuk ringan, dan nyeri menelan. Pada perjalanan
penyakitnya, manifestasi yang akan muncul adalah batuk yang nyaring seperti menggonggong,
serta suara menjadi parau dan kasar. Terdapat beberapa gejala sistemik yang sering menyertai
penyakit ini seperti demam, dan malaise. Apabila keadaan semakin memburuk maka pasien dapat
mengalami sesak napas, stridor inspirasi yang cukup berat, retraksi, dan gelisah. Gejala dari croup
biasanya akan semakin memberat terutama pada malam hari. Puncak dari gejala croup dapat
terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam setelahnya dan fase perbaikan akan dimulai dalam
kurun waktu 1 minggu.4

Berdasarkan tingkat keparahan dari gejala serta perjalanan penyakitnya, setiap anak sangat
bervariasi dan tidak dapat diprediksi. Durasi rata-rata dari penyakit ini adalah 3 hari, dengan
rentang waktu dimulai dari 1 hari hingga 1 minggu. Penyakit ini umumnya memiliki sifat hilang
timbul dan dengan gejala yang semakin memberat pada malam hari.8 Dampak yang dapat terjadi
pada kebanyakan pasien relatif ringan, namun dapat juga berkembang secara perlahan ataupun
cepat menjadi kondisi gangguan pernapasan yang berat. Saluran napas yang kering akibat dari
pernapasan mulut karena hidung yang tersumbat (terutama ketika tidur) serta postnasal drip,
mampu menyebabkan keadaan semakin memburuk pada laring sehingga dapat memicu batuk.
Manifestasi gejala batuk dapat menyebabkan peradangan pada laring dan dapat mengakibatkan
iritasi saraf yang dapat memperburuk kondisi serta perjalanan penyakit.8,9
Tabel 2.1 Perbandingan antara viral croup dengan spasmodic croup.4

Karakteristik Viral croup Spasmodic croup

Usia 6 bulan – 6 tahun 6 bulan – 6 tahun

Gejala prodromal Ada Tidak jelas

Stridor Ada Ada

Batuk Sepanjang waktu Terutama pada malam hari

Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi

Lama sakit 2- 7 hari 2-4 jam

Riwayat keluarga Tidak ada Ada

Predisposisi asma Tidak ada Ada

2.7 Diagnosis

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tepat mampu untuk mendiagnosis croup. Diagnosis
klinis dapat dinilai dan ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang dialami oleh pasien. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya suara serak, hidung berair, peradangan pada faring, dan
frekuensi napas yang meningkat. Kondisi dari pasien dapat bervariasi terkait dengan derajat
keparahan dari gangguan pernapasan. Pemeriksaan laring juga dapat ditemukan apabila ada
kecurigaan terjadi epiglottitis (serangan akut, gawat napas, disfagia, drooling). Pemeriksaan
penunjang juga dapat dilakukan dengan tujuan membantu untuk menegakkan diagnosis.10

Evaluasi croup pada pasien anak yaitu dengan menilai:3,10

1. Tipe stridor (inspirasi, ekspirasi, atau bifasik)


2. Frekuensi napas
3. Retraksi dada
4. Sianosis
5. Desaturasi oksigen
6. Kesadaran
2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium serta radiografi bukan suatu hal
yang wajib dilakukan karena diagnosis pada umumnya dapat ditegakkan melalui anamnesis, gejala
klinis, dan melakukan pemeriksaan fisik yang tepat. Namun, apabila ditemui peningkatan leukosit
>20,000/mm3 yang didominasi oleh PMN, maka dapat dicurigai terjadinya superinfeksi yang dapat
diakibatkan oleh epiglotitis.4

Pemeriksaan radiografi dengan posisi anteroposterior dan juga lateral pada saluran napas
bagian atas dapat dilakukan untuk mengevaluasi croup. Pada kondisi croup, tampilan khas yang
dapat ditemui dengan posisi anteroposterior menunjukan tanda “steeple sign” atau disebut juga
tanda menara pada daerah subglotis (Gambar 2.2B). Temuan radiografi khas tersebut mungkin
juga tidak ditemukan pada 50% pasien dan bukan suatu patognomonik dari croup.9,11

Gambar 2.2. (A) Gambaran radiologi leher anteroposterior menunjukan kontur area trakea
proksimal normal (panah putih). (B) Gambaran radiologi leher anteroposterior menunjukkan penyempitan
subglotis pada croup yang diakibatkan virus.3,11
Berdasarkan pemeriksaan radiografi, maka dapat membedakan croup dengan diagnosis
banding lainnya. Gambaran foto dari jaringan lunak (intensitas rendah) saluran napas bagian atas
diantaranya dapat ditemukan:4

1. Trakeitis bacterial, gambaran membrane trakea compang camping,

2. Epiglotitis, gambaran epiglotis menebal.

3. Abses retrofaringeal, gambaran posterior faring menonjol.

Flexible fiberoptic laryngoscopy dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis


croup, namun perlu diperhatikan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya obstruksi pada
jalan napas akut. Pada anak dengan gejala obstruksi sedang hingga berat, diagnosis yang tidak
pasti, atau terdapat faktor risiko patologi jalan napas lain, maka dapat dilakukan pemeriksaan
laringoskopi langsung dan bronkoskopi. Hasil temuan endoskopi khas pada croup diantaranya
edema dan penyempitan dari pita suara dan subglotis (Gambar 2.2B). Namun yang harus dicermati
bahwa endoskopi mampu sepenuhnya untuk menilai dan mengevaluasi kelainan anatomi terutama
apabila dilakukan selama infeksi akut.6,9–11

Gambar 2.3 Rigid laryngoscopy (A) Laring normal (B) Viral croup dengan edema pada pita suara dan
subglotis.3,11

Pada pemeriksaan CT-scan mampu menggambarkan lebih jelas penyebab dari obstruksi
pasien dengan kondisi keadaan klinis pasien yang lebih berat, diantaranya stridor sejak usia <6
bulan, serta stridor saat aktivitas. Pemeriksaan CT-scan juga dapat dilakukan apabila hasil temuan
gambaran radiografi mengarah pada kecurigaan temuan massa.4
2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding diantaranya adalah epiglotitis dan abses retrofaringeal. Sangat penting
untuk diperhatikan untuk membedakan antara croup dan epiglotitis karena adanya perubahan yang
cepat pada pasien. Batuk merupakan gejala yang sensitif dan spesifik pada croup, sedangkan
drooling merupakan gejala yang sensitif dan spesifik pada epiglotitis.12 Gejala lainnya yang perlu
diperhatikan pada epiglotitis adalah onset akut disfagia, odinofagia, demam tinggi, dan suara
muffled. Anak dengan abses retrofaringeal juga dapat memiliki gejala demam, drooling, disfagia,
odinofagia, namun juga memiliki manifestasi nyeri pada leher dengan adanya penonjolan atau
bulging pada dinding posterior faring ketika dilakukan pemeriksaan radiografi leher.1

Trakeitis bakteri dapat dipikirkan dimana suatu kondisi akut dan mengancam jiwa, yang
memiliki manifestasi onset stridor cepat dan gagal napas akibat adanya sekresi membranosa yang
tebal di dalam trakea, sehingga terkadang sulit dibedakan dengan croup. Pada trakeitis bakteri
sering memiliki ciri seperti infeksi saluran napas akibat virus, dimana anak seolah-olah membaik
namun kemudian akan mengalami kondisi yang semakin parah dengan cepat. Patogen tersering
yang menjadi penyebabnya adalah Staphylococcus aureus.3,7

Tabel 2.2 Diagnosis banding infeksi saluran napas atas pada anak.3,10,11

Laringotrakeitis Supraglotitis Trakeitis Abses


(viral croup) (epiglotitis) Bakteri Retrofaringeal

Usia 6 bulan – 3 tahun 1 - 8 tahun 6 bulan – 8 1 – 5 tahun


tahun

Onset Lambat Cepat Cepat Lambat

Gejala Gejala saluran Tidak ada atau Gejala saluran Gejala saluran
Prodromal napas atas gejala saluran napas atas napas atas
napas atas
ringan

Demam Variasi/tidak Tinggi Tinggi Biasanya tinggi


Serak, Batuk Ada Tidak Ada Tidak
Menggonggong

Disfagia Tidak Ada Ada Ada

Gambaran Penyempitan Epiglotis Penyempitan Pelebaran ruang


Radiografi subglotis membesar subglotis, prevertebral
dinding trakea
ireguler

Gambar 2.4 Diagnosis banding croup.4

2.10 Tatalaksana

Pada tatalaksana penyakit croup, diketahui sebagian besar pasien tidak memerlukan
perawatan di RS dan dapat ditangani dalam poli rawat jalan saja. Pada penyakit ini, hal yang utama
pada pemberian tatalaksana adalah untuk mengatasi obstruksi dari jalan nafasnya sehingga tidak
menjadi hal yang lebih serius. Indikasi perawatan dari penyakit croup adalah sebagai berikut yaitu;
anak berusia 6 bulan, stridor terdengar saat beristirahat dan terkesan progresif, gejala gawat nafas,
hipoksemia, sianosis, gelisah, demam tinggi, dan adanya gangguan kesadaran. Pasien yang sudah
mendapatkan penanganan akan tetapi tidak membaik juga bisa menjadi salah satu indikasi
perawatan di rumah sakit.

Gambar 2.5 Algoritma Tatalaksana Croup


Kortikosteroid merupakan salah satu tatalaksana yang diberikan untuk individu yang
terkena croup. Kortikosteroid diketahui dapat mengurangi edema pada mukosa laring dengan
mekanisme antiradang. Pemberian dexamethasone 0,6 mg/kgBB per oral atau intramuskular
sebanyak satu kali dan diulang dalam 6-24 jam jika tidak terdapat perbaikan. Pemilihan
kortikosteroid lainnya adalah prednison dengan dosis 1-2mg/ kgBB. Penggunaan kortikosteroid
juga diketahui dapat digunakan nebulasi. Nebulasi yang digunakan adalah budesonide dengan
larutan 2-4 mg (2ml) dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam. Pemberian ini bermanfaat pada pasien
dengan gejala respiratory distress yang berat. Pada beberapa kasus, ditemukan bahwa pemberian
steroid oral lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan nebulasi.
Penggunaan obat-obat lain yang biasa digunakan adalah terapi inhalasi dan penggunaan
epinefrin. Meskipun terapi inhalasi merupakan salah satu tatalaksana yang kerap digunakan, pada
penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa tidak menunjukan hasil yang signifikan. Pada
penggunaan epinefrin dalam bentuk nebulasi, diketahui dapat meredakan sindrom croup dengan
cara menurunkan permeabilitas vaskuler epitel bronkus dan trakea dan memperbaiki edema
mukosa laring. Penggunaan epinefrin nebulasi ini, diketahui dapat menurunkan penggunaan
trakeostomi pada croup berat. Epinefrin yang biasa digunakan adalah racemir epinephrine dengan
dosis 0,5 mL larutan racemic epinephrine 2,25% yang sudah dilarutkan dengan 3 mL normal salin
atau dapat juga meggunakan L-epinephrine sebanyak 5mL menggunakan nebulizer selama 2 jam.
Pemberian antibiotik, pada penelitian sebelumnya ditemukan tidak diperlukan kecuali pada
kasus infeksi bakteri. Pada kasus tersebut, antibiotik empiris bisa digunakan sebelum munculnya
hasil kultur. Sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3 kerap digunakan sebagai pilihan antibiotik
empiris.
Pada kasus croup derajat berat, intubasi endotrakeal mungkin dibutuhkan apabila tidak
ditemukan respon terhadap terapi-terapi farmakologi lainnya. Indikasi dari tatalaksana ini adalah
apabila ditemukan adanya hiperkarbia, ancaman gagal nafas, stidor yang kerap meningkat,
peningkatan frekensi nafas, nadi, retraksi dinding dada yang persisten, sianosis, letargi, atau
penurunankesadaran. Tindakan intubasi ini hanya dilakukan untuk jangka waktu yang singkat,
sampai edema dari laring teratasi. Pemilihan intubasi endotrakeal merupakan suatu tindakan yang
menjadi alternatif dari tindakan trakeostomi untuk mengatasi adanya obstruksi dari jalan nafas.

2.11 Komplikasi

Komplikasi terjadi pada 15% kasus diantaranya adalah, otitis media, dehidrasi, dan
pneumonia. Pada beberapa kasus tindakan intubasi diperlukan. Komplikasi lainnya yang dapat
terjadi pada croup adalah gagal napas dan gagal jantung akibat pengobatan yang tidak adekuat.4

2.12 Prognosis
Croup memiliki prognosis yang baik dengan penyakit yang bersifat “self limited”.4 Gejala
dari croup pada anak umumnya membaik dalam 48 jam. Namun, Sebagian kecil persentase pada
anak dengan croup memiliki gejala yang persisten hingga hitungan minggu. Angka rawat inap
secara signifikan bervariasi diantara berbagai komunitas, namun rata-rata kurang dari 5% dari
seluruh anak dengan croup datang ke rumah sakit. Berdasarkan data dari seluruh pasien yang
masuk ke rumah sakit, hanya 1% hingga 3% yang memerlukan tindakan intubasi. Mortalitas croup
rendah, pada suatu penelitian 10 tahunan, kurang dari 0,5% pasien yang terintubasi mengalami
kematian.2
BAB III
KESIMPULAN
Croup merupakan suatu terminologi yang diberikan kepada penyakit saluran pernafasan
yang meliputi laring, infra/subglotis, trakea, dan bronkus. Croup dapat seringkali disebabkan oleh
virus parainfluenza dan memiliki manifestasi klinis yang khas berupa suara serak, batuk
menggong, stridor saat insipirasi dan pada keadaan berat dapat terjadi adanya distress pernafasan.
Diagnosis dari croup dilakukan dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik
saja. Pemeriksaan penunjang jarang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan hanya dilakukan
pada keadaan tertentu. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk melihat apakah adanya
superinfeksi yang biasanya mengarahkan ke bagian infeksi subglottis.Pada pemeriksaan
radiografi, gambaran khas pada penyakit ini adalah ditemukan adanya steeple sign yang ditandai
dengan gambaran “menara” pada area subglotis.
Terdapat 2 klasifikasi dari croup yang dimana klasifikasi tersebut dibagi menjadi
klasifikasi etiologi dan klasifikasi derajat keparahannya. Pada klasifikasi derajat keparahan, croup
dapat dibagi menjadi derajat ringan, sedang, berat dan gagal nafas. Pada derajat ringan, terdapat
semua manifestasi croup, akan tetapi stridor yang didapatkan tidak terdengar ketika anak tidak
beraktivitas dan ditemukan retraksi yang minimal. Pada derajat sedang, manifestasi batuk
menggonggong lebih sering timbul, stridor terdengar saat istirahat, tanpa adanya gejala gawat
nafas. Pada derajat berat, batuk yang menggonggong lebih sering timbul, stridor terdengar saat
ekspirasi, dan tanpa adanya gejala gawat nafas. Pada derajat terakhir, ditemukan adanya gangguan
kesadaran, letargi, dan adanya gagal nafas.
Klasifikasi croup sesuai dengan derajat keparahan menjadi penting untuk menentukan
tatalaksana yang akan digunakan. Meskipun penyakit ini pada umumnya bersifat “self-limitting”,
pada keadaan tertentu tatalaksana farmakoterapi diperlukan. Beberapa pilihan obat yang
digunakan adalah penggunaan kortikosteroid, dimana dapat diberikan dexamethasone
0,6mg/kgBB. Pertimbangan intubasi atau penanganan lebih lanjut hanya direkomendasikan pada
kasus croup berat atau jika ditemukan adanya gagal nafas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sizar O, Carr B. Croup. 2023 Jul 24 [cited 2023 Sep 4];1. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431070/

2. Johnson D. Croup. BMJ Clin Evid [Internet]. 2009 [cited 2023 Sep 4];2009.
Available from: /pmc/articles/PMC2907784/

3. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in children. CMAJ : Canadian Medical


Association Journal [Internet]. 2013 Oct 10 [cited 2023 Sep 4];185(15):1317. Available
from: /pmc/articles/PMC3796596/

4. IDAI | Respirologi Anak [Internet]. [cited 2023 Sep 5]. Available from:
https://www.idai.or.id/publications/buku-ajar/respirologi-anak

5. Association AM. Guideline for the Diagnosis and Management of Croup. Alberta:
Alberta Medical Association: http://www topalbertadoctors
org/download/252/croup_guideline pdf. 2009;

6. Burke CW, Bridges O, Brown S, Rahija R, Russell CJ. Mode of Parainfluenza


Virus Transmission Determines the Dynamics of Primary Infection and Protection from
Reinfection. PLoS Pathog [Internet]. 2013 Nov [cited 2023 Sep 5];9(11):1003786.
Available from: /pmc/articles/PMC3836739/

7. Cherry JD, Feigin RD. Textbook of pediatric infectious diseases. Saunders; 1998.

8. Zitelli BJ (Basil J, McIntire SC, Nowalk AJ, Garrison J, Davis HW. Zitelli and
Davis’ atlas of pediatric physical diagnosis. :992.

9. Rankin I, Wang SM, Waters A, Clement WA, Kubba H. The management of


recurrent croup in children. J Laryngol Otol [Internet]. 2013/04/02. 2013;127(5):494–500.
Available from: https://www.cambridge.org/core/article/management-of-recurrent-croup-
in-children/721FEDBB758BF0E7F0CEE43DD7BE937F
10. Susanto W. Tata Laksana Croup pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran [Internet].
2023 Apr 3;50(4):194–8. Available from:
https://cdkjournal.com/index.php/cdk/article/view/856

11. Paul Flint, Bruce Haughey, Valerie Lund, K. Robbins, J. Regan Thomas, Marci
Lesperance, et al. CUMMINGS OTOLARYNGOLOGY - INTERNATIONAL EDITION :
head and neck surgery. 2020 [cited 2023 Sep 5];7:1323–44. Available from:
https://www.worldcat.org/title/1239324944

12. Tibballs J, Watson T. Symptoms and signs differentiating croup and epiglottitis. J
Paediatr Child Health [Internet]. 2011 Mar 1 [cited 2023 Sep 6];47(3):77–82. Available
from: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1440-1754.2010.01892.x

Anda mungkin juga menyukai