Anda di halaman 1dari 7

Bronkiolitis

1. M3 definisi dan epidemiologi


 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respirasi akut bawah yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada bronkiolus. Pada umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara
klinis ditandai ndengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala
infeksi respirasi akut.

 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran nafas tersering pada bayi. Paling sering terjadi
pada usia 2-24 bulan, puncaknya 2-8 bulan. 95% kasus terjadi pada anak usia dibawah 2
tahun dan 75% diantaranya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. Menurut Orenstein,
bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki usia 3-6 bulan yang tidak mendapat asi
dan hidup di lingkungan padat penduduk. Menurut Louden, bronkiolitis terjadi lebih banyak
pada laki-laki dengan rasio 1,25 kali lebih banyak dari perempuan.
Di AS, 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun pernah
mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang hamper sama dengan di AS. Insidensi
terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim hujan di negara tropis.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara berkembang daripada negara
maju. Hal ini disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan
medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara
berkembang pada anak yang dirawat adalah 1-3%

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


 Klasifikasi

 Etiologi

 Faktor risiko

- Memiliki kekebalan tubuh yang rendah.


- Lahir prematur.
- Berusia kurang dari tiga bulan.
- Tidak pernah mendapat ASI. Anak yang disusui ASI memiliki imunitas tubuh yang lebih
baik dibanding dengan yang tidak.
- Tinggal di lingkungan padat.
- Sering melakukan kontak dengan anak-anak lain.
- Sering terpapar asap rokok.
- Memiliki penyakit paru-paru atau jantung.

3. M3 patogenesis dan patofisiologi


Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan rspon inflamasi akut yang
ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan debris selular/sel
yang mati akibat terkelupas, kemudian diikuti oleh infiltrate limfosit peribronkial dan edema
submucosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang
saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran
udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori yang kecil.
Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius
saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan
hiperinflasi. Atelectasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak
diabsorpsi.
Proses patologis ini akan menganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja
ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbon dioksida tidak
selalu terjadi. Semakin tinggi laju pernafasan pasien, maka semakin rendah tekanan oksigen
arteri. Kerja oernafasan akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan
compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya terjadi bila rspirasi mencapai 60 kali per
menit.

4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang


 Manifestasi klinis
Umumnya anak pernah terpajan dengan anggota keluarga yang menderita infeksi virus
beberapa minggu sebelumnya. Gejala awal yang mungkin timbul adalah tanda-tanda infeksi
respiratorik atas akut berupa demam, batuk, pilek, dan bersin. Setelah gejala di atas timbul
biasanya diikuti oleh adanya kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada saat ekspirasi.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi nafas yang meningkat (takipnu), disertai adanya
ekspirasi yang memanjang bahkan mengi.
 Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis dijumpai gambaran
hiperinflasi, dengan infiltrat yang biasanya tidak luas. Bahkan ada kecenderungan
ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran radiologis. Berbeda dengan pneumonia
bakteri, gambaran klinis yang berat akan menunjukkan gambaran kelainan radiologis yang berat
pula, sementara pada bronkiolitis gambaran klinis berat tanpa gambaran radiologis berat. Pada
pemeriksaan laboratorium (darah tepi) umumnya tidak memberikan gambaran yang bermakna,
dapat disertai dengan limfopenia
Dapat pula Ditemukan gambaran atelectasis , terutama pada saat konvalesens akibat
secret pekat bercamur sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan
peningkatan diameter antero-pesterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, ELISA,
PCR, pengukuran titer antibody, dan rapid test

5. M3 tatalaksana komprehensif
- Bronkodilator & Kortikosteroid
Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus diberikan. Beberapa
penelitian meta-analisis dan systematic reviews di Amerika menemukan bahwa
bronkodilator dapat meredakan gejala klinis, namun tidak mempengaruhi penyembuhan
penyakit, kebutuhan rawat inap, ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan
tidak ada keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan.
Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009 menunjukkan
bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada anak dengan bronkiolitis dapat
mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit.
Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat. Nebulisasi ini
bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk membersihkan lendir dan
debris-debris seluler yang terdapat pada saluran pernapasan.

- Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres pernapasan
berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal prongs, kateter nasal, atau
kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30 – 40%. Apabila tidak ada oksigen, anak harus
ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin
(mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi oksigen diteruskan
sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2 L/menit dengan maksimal 8-10
L/menit dapat menurunkan kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).
Penggunaan kateter nasal serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi
kebutuhan obat sedasi.
Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu memperhatikan
gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena tujuannya adalah untuk pemenuhan
kebutuhan oksigen anak yang terganggu akibat obstruksi yang mengganggu perfusi ventilasi
paru. Transient oxygen desaturation pada anak umum terjadi saat anak tertidur, durasinya
<6 detik, sedangkan hipoksia pada kejadian bronkiolitis cenderung terjadi dalam hitungan
jam sampai hari

- Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan respiratorik yang
mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui mekanisme
penguapan tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak
terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun
nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang terisi cairan

- Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih kontroversial
baik efektivitas maupun keamanannya. The American Academy of Pediatrics
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan akan menjadi
lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik,
penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit
jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer
aerosol dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3- 7 hari.

- Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene perorangan meliputi
desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air dan sabun sebelum dan
sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek tertentu yang berdekatan dengan
pasien. Perlindungan terhadap paparan asap rokok serta polusi udara serta pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian bronkiolitis. Perlu dilakukan edukasi anggota
keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan bronkiolitis sesuai evidence-
base.

Palivizumab merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap infeksi paru, terutama
yang disebabkan RSV, dapat diberikan terutama pada anak yang memiliki risiko tinggi
terinfeksi agen tersebut. Palivizumab perlu dibatasi pada anak yang dilahirkan sebelum usia
kehamilan 29 minggu, kecuali dengan penyakit jantung yang signifikan atau penyakit paru
kronik akibat prematuritas; dosis maksimum palivizumab 15 mg/kgBB/dosis diberikan 1
dosis setiap bulan, dapat diberikan 5 bulan berturut-turut selama musim RSV pada anak
yang memiliki kualifikasi diberi palivizumab pada tahun pertama kehidupan

Vitamin D adalah salah satu faktor yang berperan dalam perjalanan penyakit
bronkiolitis. Studi prospektif Birth Cohort oleh Camargo, dkk. pada 922 anak-anak Selandia
Baru, menyatakan bahwa rendahnya kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) darah tali pusat
berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernapasan dan mengi berulang. Selain itu,
studi case-control oleh Karatekin, dkk. menemukan bahwa pada bayi baru lahir dengan
kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) < 10 ng/mL memiliki risiko lebih besar terkena infeksi
saluran napas bawah. Hal ini terkait dengan peran vitamin D dalam aktivitas sistem
kekebalan bawaan. Sistem kekebalan tubuh bawaan, khususnya aktivitas cathelicidin,
membantu mencegah infeksi bakteri dan virus. Wang, et al, menunjukkan bahwa vitamin D
adalah pemicu langsung gen cathelicidin ini. The American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan konsumsi vitamin D 400 IU setiap hari untuk bayi baru lahir dilanjutkan
sampai memasuki usia remaja

6. M3 diagnosis banding
7. M3 pronosis dan komplikasi
Prognosis umumnya baik karena penyakit dapat sembuh sendiri dalam 2 atau 3 minggu
tanpa pengobatan. Namun pada bayi muda dapat terjadi perburukan penyakit, terutama jika
disertai dengan komorbid seperti penyakit jantung kongestif atau jika pasien gagal memberikan
respon setelah penatalaksanaan umum. Rekurensi bisa terjadi sepanjang kehidupan karena
infeksi tidak menginduksi imunitas permanen. Komplikasi dari bronkiolitis adalah Dehidrasi.
Gagal pernapasan atau kurangnya kadar oksigen di tubuh. Cyanosis yang ditandai dengan kulit
dan bibir berwarna biru akibat kurang oksigen.
Sakit sedang

Bronkovesikuler Nadi 105


Pemeriksaan Monia 1,5 Pemeriksaan TD 120/80
Rhonki (+/+)
paru tahun fisik
Wheezing (-/-) napas 28
Suhu 39,5°C
Unggas Anamnesis

Kontak
COVID-19
Batuk kering
Imunisasi Riwayat Diagnosis
Nyeri temggorokan Banding
Ayah Keluarga Demam tinggi

Cavitas dinding tebal


Air fluid level

Bronkiolitis
Flu burung
TAtalaksana Diagnosis Pemeriksaan COVID-19
Pencegahan
definitif definitif penunjang
Pneumonia

Komplikasi & Abses paru


Imunisasi Antibiotik Kultur
prognosis
Rontgen Tatalaksana
awal
Pewarnaan
gram
Oksigen
Hematologi

Anda mungkin juga menyukai