Anda di halaman 1dari 24

M3 definisi dan epidemiologi

M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko

M3 patogenesis dan patofisiologi

M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang

M3 tatalaksana komprehensif

M3 diagnosis banding

M3 pronosis dan komplikasi

(bronkiolitis, croup, pneumonia, trakeitis, bronchitis akut, influenza)

Bronkiolitis
1. M3 definisi dan epidemiologi
 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respirasi akut bawah yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada bronkiolus. Pada umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara
klinis ditandai ndengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala
infeksi respirasi akut.

 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran nafas tersering pada bayi. Paling sering terjadi
pada usia 2-24 bulan, puncaknya 2-8 bulan. 95% kasus terjadi pada anak usia dibawah 2
tahun dan 75% diantaranya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. Menurut Orenstein,
bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki usia 3-6 bulan yang tidak mendapat asi
dan hidup di lingkungan padat penduduk. Menurut Louden, bronkiolitis terjadi lebih banyak
pada laki-laki dengan rasio 1,25 kali lebih banyak dari perempuan.
Di AS, 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun pernah
mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang hamper sama dengan di AS. Insidensi
terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim hujan di negara tropis.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara berkembang daripada negara
maju. Hal ini disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan
medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara
berkembang pada anak yang dirawat adalah 1-3%

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


 Klasifikasi
 Etiologi

 Faktor risiko

- Memiliki kekebalan tubuh yang rendah.


- Lahir prematur.
- Berusia kurang dari tiga bulan.
- Tidak pernah mendapat ASI. Anak yang disusui ASI memiliki imunitas tubuh yang lebih
baik dibanding dengan yang tidak.
- Tinggal di lingkungan padat.
- Sering melakukan kontak dengan anak-anak lain.
- Sering terpapar asap rokok.
- Memiliki penyakit paru-paru atau jantung.

3. M3 patogenesis dan patofisiologi


Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan rspon inflamasi akut yang
ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus, timbunan debris selular/sel
yang mati akibat terkelupas, kemudian diikuti oleh infiltrate limfosit peribronkial dan edema
submucosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang
saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran
udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori yang kecil.
Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius
saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan
hiperinflasi. Atelectasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak
diabsorpsi.
Proses patologis ini akan menganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja
ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbon dioksida tidak
selalu terjadi. Semakin tinggi laju pernafasan pasien, maka semakin rendah tekanan oksigen
arteri. Kerja oernafasan akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan
compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya terjadi bila rspirasi mencapai 60 kali per
menit.

4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang


 Manifestasi klinis
Umumnya anak pernah terpajan dengan anggota keluarga yang menderita infeksi virus
beberapa minggu sebelumnya. Gejala awal yang mungkin timbul adalah tanda-tanda infeksi
respiratorik atas akut berupa demam, batuk, pilek, dan bersin. Setelah gejala di atas timbul
biasanya diikuti oleh adanya kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada saat ekspirasi.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi nafas yang meningkat (takipnu), disertai adanya
ekspirasi yang memanjang bahkan mengi.
 Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis dijumpai gambaran
hiperinflasi, dengan infiltrat yang biasanya tidak luas. Bahkan ada kecenderungan
ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran radiologis. Berbeda dengan pneumonia
bakteri, gambaran klinis yang berat akan menunjukkan gambaran kelainan radiologis yang berat
pula, sementara pada bronkiolitis gambaran klinis berat tanpa gambaran radiologis berat. Pada
pemeriksaan laboratorium (darah tepi) umumnya tidak memberikan gambaran yang bermakna,
dapat disertai dengan limfopenia

Dapat pula Ditemukan gambaran atelectasis , terutama pada saat konvalesens akibat
secret pekat bercamur sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan
peningkatan diameter antero-pesterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, ELISA,
PCR, pengukuran titer antibody, dan rapid test

5. M3 tatalaksana komprehensif
- Bronkodilator & Kortikosteroid
Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus diberikan. Beberapa
penelitian meta-analisis dan systematic reviews di Amerika menemukan bahwa
bronkodilator dapat meredakan gejala klinis, namun tidak mempengaruhi penyembuhan
penyakit, kebutuhan rawat inap, ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan
tidak ada keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan.
Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009 menunjukkan
bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada anak dengan bronkiolitis dapat
mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit.
Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat. Nebulisasi ini
bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk membersihkan lendir dan
debris-debris seluler yang terdapat pada saluran pernapasan.

- Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres pernapasan
berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal prongs, kateter nasal, atau
kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30 – 40%. Apabila tidak ada oksigen, anak harus
ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin
(mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi oksigen diteruskan
sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter nasal >2 L/menit dengan maksimal 8-10
L/menit dapat menurunkan kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).
Penggunaan kateter nasal serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi
kebutuhan obat sedasi.
Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu memperhatikan
gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena tujuannya adalah untuk pemenuhan
kebutuhan oksigen anak yang terganggu akibat obstruksi yang mengganggu perfusi ventilasi
paru. Transient oxygen desaturation pada anak umum terjadi saat anak tertidur, durasinya
<6 detik, sedangkan hipoksia pada kejadian bronkiolitis cenderung terjadi dalam hitungan
jam sampai hari

- Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan respiratorik yang
mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui mekanisme
penguapan tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak
terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun
nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang terisi cairan

- Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih kontroversial
baik efektivitas maupun keamanannya. The American Academy of Pediatrics
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan akan menjadi
lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik,
penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit
jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer
aerosol dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3- 7 hari.

- Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene perorangan meliputi
desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air dan sabun sebelum dan
sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek tertentu yang berdekatan dengan
pasien. Perlindungan terhadap paparan asap rokok serta polusi udara serta pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian bronkiolitis. Perlu dilakukan edukasi anggota
keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan bronkiolitis sesuai evidence-
base.

Palivizumab merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap infeksi paru, terutama
yang disebabkan RSV, dapat diberikan terutama pada anak yang memiliki risiko tinggi
terinfeksi agen tersebut. Palivizumab perlu dibatasi pada anak yang dilahirkan sebelum usia
kehamilan 29 minggu, kecuali dengan penyakit jantung yang signifikan atau penyakit paru
kronik akibat prematuritas; dosis maksimum palivizumab 15 mg/kgBB/dosis diberikan 1
dosis setiap bulan, dapat diberikan 5 bulan berturut-turut selama musim RSV pada anak
yang memiliki kualifikasi diberi palivizumab pada tahun pertama kehidupan
Vitamin D adalah salah satu faktor yang berperan dalam perjalanan penyakit
bronkiolitis. Studi prospektif Birth Cohort oleh Camargo, dkk. pada 922 anak-anak Selandia
Baru, menyatakan bahwa rendahnya kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) darah tali pusat
berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernapasan dan mengi berulang. Selain itu,
studi case-control oleh Karatekin, dkk. menemukan bahwa pada bayi baru lahir dengan
kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) < 10 ng/mL memiliki risiko lebih besar terkena infeksi
saluran napas bawah. Hal ini terkait dengan peran vitamin D dalam aktivitas sistem
kekebalan bawaan. Sistem kekebalan tubuh bawaan, khususnya aktivitas cathelicidin,
membantu mencegah infeksi bakteri dan virus. Wang, et al, menunjukkan bahwa vitamin D
adalah pemicu langsung gen cathelicidin ini. The American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan konsumsi vitamin D 400 IU setiap hari untuk bayi baru lahir dilanjutkan
sampai memasuki usia remaja

6. M3 diagnosis banding

7. M3 pronosis dan komplikasi


Prognosis umumnya baik karena penyakit dapat sembuh sendiri dalam 2 atau 3 minggu
tanpa pengobatan. Namun pada bayi muda dapat terjadi perburukan penyakit, terutama jika
disertai dengan komorbid seperti penyakit jantung kongestif atau jika pasien gagal memberikan
respon setelah penatalaksanaan umum. Rekurensi bisa terjadi sepanjang kehidupan karena
infeksi tidak menginduksi imunitas permanen. Komplikasi dari bronkiolitis adalah Dehidrasi.
Gagal pernapasan atau kurangnya kadar oksigen di tubuh. Cyanosis yang ditandai dengan kulit
dan bibir berwarna biru akibat kurang oksigen.
Croup
1. M3 definisi dan epidemiologi
 Definisi
Croup, atau juga dikenal sebagai laringotrakeobronkitis merupakan infeksi respiratorik
yang sering menyerang anak-anak yang disebabkan oleh berbagai macam virus. Gejala klinis
Croup ditandai dengan suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau
tanpa adanya stres pernapasan. Sifat penyakit ini adalah self-limiting tetapi kadang-kadang
cenderung menjadi berat bahkan fatal akibat obstruksi yang berat pada saluran respiratorik

 Epidemiologi
Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-3 tahun, dengan puncaknya pada usia
1-2 tahun. Croup dapat dijumpai pada bayi kurang dari 3 bulan dan remaja usia 12-15 tahun,
namun jarang sekali dijumpai pada orang dewasa.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan
rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur, tetapi
penyakit ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh
pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan
pematangan struktur anatomi saluran respiratorik atas. Hampir 15% pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. Suatu studi retrospektif di Belgia
mendapatkanbahwa 16% dari anak berusia 5-8 tahun mengalami minimal satu kali episode
croup, sedangkan 5% mengalami croup berulang (sedikitnya 3 episode)

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


 Klasifikasi
Secara umum, croup dibagi menajdi 2 kelompok, yaitu :
- Viral croup, ditandai oleh gejala prodromal infeksi respratori, gejala obstruksi saluran
respiratori yang berlangsung 3-5 hari
- Spasmodic croup, dimana terdapat faktor atopic, tanpa gejala prodromal, anak dapat
tiba” mengalami obstruksi saluran nafas, biasanya terjadi waktu menjelang tidur,
serangan terjadi sebentar, kemudian normal kembali
Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kategori.
- Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadangkadang
muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/ tidak beraktivitas, dan
retraksi ringan dinding dada.
- Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor yang mudah
didengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit
terlihat, tetapi tidak ada gawat napas (respiratory distress).
- Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadangkadang disertai dengan stridor
ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat napas.
- Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadang-
kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.

 Etiologi
Virus penyebab tersering croup adalah Human Parainfluenza virus yaitu sekitar 75%
terutama parainfluenza type 1. Virus lain yang sering didapati sebagai etiologi croup adalah
Respiratory Syncytial virus (RSV), metapneumovirus, virus Influenza A dan B, Adenovirus,
dan corona virus. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia

 Faktor risiko
- Berada di musim dingin dan musim gugur,
- Berusia antara 6 bulan – 6 tahun.
- Berjenis kelamin laki-laki.
- Tinggal di daerah dengan kepadatan penduduk tinggi.
- Tidak pernah menerima vaksinasi virus influenza.
- Keluarga memiliki keluhan atau penyakit yang sama.

3. M3 patogenesis dan patofisiologi


Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus dimulai dari nasofaring dan
menyebar ke epitelium trakea dan laring. Invasi virus ke dalam mukosa laring menyebabkan
inflamasi, hiperemis dan edema. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada
dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami
iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Area subglotis mengalami
penyempitan sehingga aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Biasanya
anak akan mengkompensasi keadaan ini dengan bernapas lebih cepat dan dalam. Pergerakan
dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami
hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.

4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang


 Manifestasi klinis
Gejala Croup biasanya didahului dengan coryza (pilek), demam yang tidak begitu tinggi
selama 12−72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan dapat disertai malaise. Pada
kasus tertentu demam dapat mencapai 40 C. Gejala dan tanda Croup akan muncul setelah 1-2
hari, biasanya menetap selama 3-7 hari, meskipun kadang dijumpai kasus yang persisten sampi
2 minggu. Karakteristik croup yang spesifik adalah suara serak,batuk yang menggonggong dan
stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. Bila keadaan memberat dapat
terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan
bertambah berat pada malam hari. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman
jika duduk di tempat tidur atau digendong.

 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak perlu
dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis,
dan pemeriksaan fisis. Pemeriksaan laringoskopi / bronkoskopi biasanya tidak diperlukan pada
kasus dengan gejala yang khas, kecuali bila mengenai bayi kurang dari 6 bulan. Pada
pemeriksaan radiologis leher posisi postero-anterior ditemukan gambaran udara steeple sign
(seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna subglotis
5. M3 tatalaksana komprehensif
Anak yang mengalami croup dengan gejala yang ringan berupa batuk menggonggongg
dan hidung berair namun tidak didapatkan stridor saat istirahat dapat dirawat di rumah.
Parasetamol dapat diberikan jika didapatkan demam atau nyeri tenggorok. Pemberian steroid
oral dosis tunggal merupakan opsi yang bisa dikerjakan. Orangtua diberi edukasi tentang gejala
dan tanda perburukan klinis yang mengharuskan anak dibawa kembali ke RS. Pasien dirawat di
RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar
stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas,
hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak
ada respons terhadap terapi.

Terapi inhalasi, biasanya digunakan uap dingin daripada uap panas karena kulit akan
melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori,
meringankan inflamasi, mengencerkan lender pada saluran nafas sekaligus memberi efek
nyaman pada anak. Namun, penggunaan terapi uap tidak direkomendasikan karena dapat
memperberat anak dengan bronkospasme yang disertai mengi, seperti laringotrakeobronkitis
atau pneumonia.

Epinefrin dapat juga digunakan sebagai terapi dari croup. Nebulisasi epinefrin diberikan
kepada anak dengan sindrom croup sedang—berat yang disertai dengan stridor saat istirahat
dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami
perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin. kus dan trakea, memperbaiki edema mukosa
laring, dan meningkatkan laju udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind,
efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua jam.
Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut.
- Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin); dengan dosis 0,5 ml larutan
racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml salin normal. Larutan tersebut
diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.
- L-epinephrine 1:1000 dengan dosis 0.5ml/kg maksimal sebanyak 5 ml; diberikan melalui
nebulizer. Efek terapi terjadi dalam dua jam.
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan
mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi. Namun
demikian, L-epinefrin standard tersedia di lebih banyak RS dan dapat berkerja sebaik epinefrin
rasemik. Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan
jantung seperti tetralogi Fallot

Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme antiradang.


Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/ kgBB per oral/intramuskular sebanyak satu kali,
dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan. Selain
deksametason, dapat juga diberikan prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB.

Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak
responsif terhadap terapi lain. Intubasi endotrakeal merupakan terapi alternatif selain
trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal
adalah adanya hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila
terdapat peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi
dinding dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk
jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi

Antibiotic tidak diperlukan pada pasien croup. Namun, pada pasien croup dengan
disertai infeksi bakeri, dapat diberikan antibiotic. Terapi awal adalah sefalosporin generasi kedua
atau ketiga

6. M3 diagnosis banding
7. M3 prognosis dan komplikasi
Prognosis dari sindrom croup biasanya bersifat self limited dengan prognosis yag baik.
Pada 15% kasus dilaporkan adanya komplikasi, seperti otitis media, dehidrasi, dan pneumonia
meskipun jarang terjadi. Gagal jantung dan gagal nafas dapat terjadi pada pasien yang
perawatan dan pengobatannya tidak adekuat

Pneumonia

1. M3 definisi dan epidemiologi


 Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim paru distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.

 Epidemiologi
Menurut WHO dan UNICEF (2006) pneumonia merupakan penyebab kematian pada
anak yang paling sering terjadi di negara berkembang dan memiliki angka kematian yang
tinggi melebihi kematian akibat AIDS, malaria, dan campak. Diperkirakan ada 1,8 juta atau
20% dari kematian anak yang diakibatkan oleh pneumonia di dunia. Di Indonesia,
pneumonia menjadi penyebab kematian kedua setelah diare pada anak-anak. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) melaporkan bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir
(periode prevalence) mengalami peningkatan pada tahun 2007 sebesar 2,1% dan di tahun
2013 sebesar 2,7%. Tingkat kematian pneumonia pada balita di Indonesia cukup besar yaitu
sebanyak 15,5% (Statistik, Berencana, & Kesehatan, 2013).
Angka cakupan pneumonia pada balita tidak mengalami perkembangan pada tahun
2014 yaitu sekitar 20%-30% namun mengalami peningkatan 63,45% di tahun 2015. Angka
kematian akibat pneumonia pada balita di tahun 2015 lebih tinggi dibandingkan tahun 2014
yaitu sebesar 0,16% yang sebelumnya hanya 0,08%. Kelompok bayi memiliki angka kematian
sedikit lebih tinggi yaitu 0,17% dibandingkan kelompok usia 1-4 tahun sebesar 0,15% pada
tahun 2015. Daerah Yogyakarta sekitar 21,91% penemuan kasus pneumonia yaitu sekitar
2.829 balita pada tahun 2015 (Kemenkes, 2016).
Pneumonia pada penelitian yang telah ada sebelumnya disebutkan sebagai penyebab
utama kematian pada anak dibawah 5 tahun dan bertanggung jawab atas 18% kematian
balita dan anak pada tahun 2010 di seluruh dunia (Liu et al., 2012). Sebanyak 81% anak yang
meninggal karena penyakit ini merupakan balita usia dibawah 2 tahun (Walker et al., 2013).
Pada negara di Asia dan Afrika lebih dari setengah jumlah total episode pneumonia terjadi
pada anak kurang dari 5 tahun (Rudan et al., 2004). Pada negara di Eropa sekitar 14,4 per
10.000 anak-anak berusia diatas 5 tahun dan 33,8 per 10.000 dengan usia dibawah 5 tahun
didiagnosis Community Acquired Pneumonia (CAP) setiap tahunnya di rumah sakit yang
berada di Eropa (Haq I.J et al., 2017). Persentase angka mortalitas pneumonia di negara
berkembang termasuk Indonesia merupakan penyusun terbesar mortalitas pada balita dan
anak yang diperkirakan sebesar 21% (Unicef, 2006).

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


 Klasifikasi
Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling sering ialah
menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia (pneumonia
komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial
pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering
diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens
(pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik), pneumonia
aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada pasien
tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS)

1) Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di
sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and resistant
strains ), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant strains) and Moraxella
catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir 85%
kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk melalui inhalasi atau aspirasi organisme
patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang
purulen merupakan karakteristik penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai
lobus atau segmen paru. Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan
taktil fremitus, nafas bronkial
2) Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial ( lebih
dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated pneumonia )
didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48 jam di rawat di
rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal . Terjadinya pneumonia nosokomial
akibat tidak seimbangnya pertahanan inang dan kemampuan kolonisasi bakteri sehingga
menginvasi traktus respiratorius bagian bawah. Bakteria yang berperan dalam
pneumonia nosokomial adalah P. Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia.
Penyakit ini secara signifikan akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama
rawat di rumah sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset
(biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya
muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit)
3) Ventilator-Acquired pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat yang
dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi dapat
muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru

 Etiologi
- Bakteri
1) Typical organism :
 Gram positif : Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, Enterococcus
(E. faecalis, E faecium)
 Gram negative : Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, Haemophilus
influenza
2) Atypical organism : Mycoplasma sp. , chlamedia sp. , Legionella sp

- Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya
menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya adalah
cytomegalivirus , herpes simplex virus, varicella zooster virus.

- Jamur
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik,
dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme yang
menyerang adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus neoformans.

 Faktor risiko
Faktor risiko pneumonia meliputi malnutrisi, berat badan lahir rendah, ASI non-eksklusif,
kurangnya imunisasi campak, polusi udara didalam rumah, ke- padatan rumah, orangtua
yang merokok, kekurang- an zinc, pengalaman ibu sebagai pengasuh, penyakit penyerta
misalnya diare, penyakit jantung, asma, defisiensi vitamin A, udara dingin

3. M3 patogenesis dan patofisiologi


Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru
merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Mekanisme pertahanan saluran pernapasan yaitu (PDPI, 2003) : Filtrasi partikel di hidung,
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis, Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk,
Pembersihan kearah kranial oleh mukosilier, Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar,
Netralisasi kuman oleh substansi imun local, Drainase melalui sistem limfatik
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1) Inokulasi langsung;
2) Penyebaran melalui darah;
3) Inhalasi bahan aerosol, dan
4) Kolonosiasi di permukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai brokonsul terminal atau
alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas
(hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak

bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses fagositosis

4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang


Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit
dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada
yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau
penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil
fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura,
ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.

5. M3 tatalaksana komprehensif

6. M3 diagnosis banding
1) Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M.
tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari
3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil,
keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan.
2) Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan
menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara
dan kolaps.
3) Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan menetap pada
saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis. COPD lebih sering
menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu
keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan.
4) Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru). Penyakit
bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada 7 akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi
pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit
paru-paru) dan pada usia lanjut, bronchitis bisa bersifat serius.
5) Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran pernapasan,
sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan bernapas. Tingkat
keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan paru dalam menyimpan
oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti semakin buruk kondisi asma.

7. M3 pronosis dan komplikasi


Secara umum, angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%,
namun dapat meningkat pada lanjut usia dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan
influenza di Amerika Serikat merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 dengan kejadian
sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia, yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien PK yang
dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor modifikasi
yang ada pada pasien.
Komplikasi dari pneumonia adalah
1) Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.
2) Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru dan
infark miokard akut.
3) ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
4) Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosocomial
5) Sepsis
6) Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
7) Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
8) Abses paru
9) Efusi pleura

Bronkitis Akut
1. M3 definisi dan epidemiologi
 Definisi
Menurut Dorland (2002), bronkhitis adalah peradangan satu atau lebih bronkhus, dapat
bersifat akut dan kronik. Gejala-gejala yang biasanya termasuk demam, batuk dan
ekspektorasi. Bronkhitis adalah inflamasi jalan pernafasan dengan penyempitan atau
hambatan jalan nafas di tandai peningkatan produksi sputum mukoid, menyebabkan ketidak
cocokan ventilasi- perfusi dan menyebabkan sianosis (FKUI, 2007).Bronkhitis adalah infeksi
pada bronkus yang berasal dari hidung dan tenggorokan di mana bronkus merupakan suatu
pipa sempit yang berawal pada trakhea, yang menghubungkan saluran pernafasan atas,
hidung, tenggorokan, dan sinus ke paru. Gejala bronkhitis di awali dengan batuk pilek, akan
tetapi infeksi ini telah menyebar ke bronkus, sehingga menjadikan batuk akan bertambah
parah dan berubah sifatnya (Hidayat, 2011). Bronkhitis akut adalah serangan bronkhitis
dengan perjalanan penyakit yang singkat atau kurang berat, gejalagejala termasuk
demam,batuk dan pilek. Serangan berulang mungkin menunjukkan bronkhitis kronis.

 Epidemiologi
Bronkitis akut merupakan penyakit yang cukup sering terjadi dan merupakan
salah satu dari 5 penyakit tersering penyebab pasien datang ke pelayanan
kesehatan. Bronkitis akut sering kali terjadi pada musim hujan atau musim dingin
dan musim gugur. Terdapat sekitar 5% populasi dewasa di dunia dilaporkan
mengalami bronkitis akut setiap tahunnya.

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


 Klasifikasi

 Etiologi
Etiologi Bronchitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, Respiratory
Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus par influenza, dan Coxsackie virus. Bronchitis
adalah suatu peradangan pada bronchus yang disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme baik virus, bakteri, maupun parasit.
- Infeksi virus: influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytialvirus (RSV),
adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.
- Infeksi bakteri: Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumonia, Legionella).
- Infeksi jamur
- Noninfeksi: polusi udara, rokok, dan lain-lain.Penyebab bronkitis akut yang paling sering
adalah infeksi virus yakni sebanyak 90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10%
(Jonssonet al, 2008).

 Faktor risiko

3. M3 patogenesis dan patofisiologi

4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang


- Tubuh terasa sakit dan kedinginan, seperti meriang.
- Demam ringan.
- Pilek, hidung tersumbat.
- Sakit tenggorokan.
- Nyeri dada, perasaan ketika dada terasa penuh atau tersumbat.
- Batuk yang mengeluarkan lendir yang bening, putih, kuning, atau hijau.
- Sesak napas.
- Mengi atau muncul suara seperti siulan saat bernapas

Recommendations on the use of Gram staining and culture of sputum to direct therapy
for acute bronchitis vary, because these tests often show no growth or only normal respiratory
flora. Chest radiography should be reserved for use in patients whose physical examination
suggests pneumonia or heart failure, and in patients who would be at high risk if the diagnosis
were delayed

5. M3 tatalaksana komprehensif
Karena bronkitis akut paling sering disebabkan oleh infeksi virus, biasanya hanya
diperlukan pengobatan simtomatik. Pengobatan bisa fokus untuk mencegah atau
mengendalikan batuk (terapi antitusif) atau membuat batuk lebih efektif (terapi protusif). Terapi
protusif diindikasikan ketika batuk harus didorong (misalnya, untuk membersihkan lendir di
saluran udara). Terapi antitusif diindikasikan jika batuk menciptakan ketidaknyamanan yang
signifikan dan jika menekan mekanisme perlindungan tubuh pembersihan jalan napas tidak akan
menunda penyembuhan.
Bronkitis akut dan asma memiliki kesamaan gejala. Akibatnya, perhatian memiliki baru-
baru ini diberikan untuk penggunaan bronkodilator pada pasien dengan bronkitis akut.
Meskipun relatif sedikit penelitian yang meneliti kemanjuran agonis beta oral atau inhalasi, satu
penelitian menemukan bahwa pasien dengan bronkitis akut yang menggunakan albuterol
inhaler dosis terukur lebih kecil kemungkinannya batuk dalam satu minggu, dibandingkan
dengan yang menerima plasebo.

6. M3 diagnosis banding

7. M3 pronosis dan komplikasi

Pertussis

1. M3 definisi dan epidemiologi


 Definisi
Pertussis merupakan salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh Bordetella Pertussis
atau Hemophilus Pertussis; adenovirus tipe 1,2,3 dan 5 dapat ditemukan dalam traktus
respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan traktus genitourinarius penderita Pertussis
bersama-sama Bordetella Pertussis atau tanpa adanya Bordetella Pertussis.

 Epidemiologi
Perkiraan dari Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2008,
sekitar 16 juta kasus pertusis dan 195.000 kematian masa kanak-kanak terjadi di seluruh
dunia, 95% di antaranya terjadi di negara berkembang. Organisasi Kesehatan Dunia juga
memperkirakan bahwa pada tahun 2008, 82% bayi di seluruh dunia menerima 3 dosis vaksin
pertusis, dan bahwa vaksinasi global terhadap pertusis mencegah 687.000 kematian.
Sebelum vaksinasi tersedia, pertusis adalah penyebab utama kematian akibat penyakit
menular di antara anak-anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat, dengan 10.000
kematian setiap tahun. Penggunaan vaksin pertusis sel utuh (DTP) secara luas menyebabkan
penurunan kasus> 99%. Setelah sedikitnya 1.010 kasus di Amerika Serikat yang dilaporkan
pada tahun 1976, terjadi peningkatan insiden pertusis tahunan menjadi 1,2 kasus per
100.000 penduduk dari tahun 1980 hingga 1989, dengan epidemi pertusis di banyak negara
bagian pada tahun 1989-1990, 1993, dan 1996. Sejak itu, pertusis menjadi semakin
endemik, dengan pergeseran beban penyakit ke bayi muda, remaja, dan dewasa. Pada
tahun 2004, kejadian pertusis yang dilaporkan di Amerika Serikat adalah 8,9 kasus per
100.000 pada populasi umum dan sekitar 150 per 100.000 pada bayi di bawah usia 2 bulan,
menghasilkan total 25.827 kasus, jumlah tertinggi sejak 1959. Calon dan studi serologi
menunjukkan bahwa pertusis kurang dikenali, terutama di kalangan remaja dan dewasa, di
mana jumlah kasus sebenarnya diperkirakan 600.000 setiap tahun. Sejumlah penelitian
mendokumentasikan pertusis pada 13-32% remaja dan orang dewasa dengan penyakit
batuk selama lebih dari 7 hari. Sebanyak 40 kematian terkait pertusis dilaporkan pada tahun
2005, dan 16 dilaporkan pada tahun 2006; lebih dari 90% kasus ini terjadi pada bayi muda.

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


 Klasifikasi
 Etiologi
 Faktor risiko

3. M3 patogenesis dan patofisiologi


Organisme bordetella adalah coccobacillus Gram-negatif kecil, rewel, yang hanya
berkoloni di epitel bersilia. Mekanisme pasti dari gejala penyakit masih belum diketahui. Spesies
bordetella memiliki derajat homologi DNA yang tinggi di antara gen virulensi. Hanya B. Pertusis
mengekspresikan toksin pertusis (PT), protein virulensi utama. PT memiliki banyak aktivitas
biologis yang terbukti (misalnya, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit). Injeksi
PT pada hewan coba menyebabkan limfositosis segera dengan mengubah rute limfosit untuk
tetap berada di kolam darah yang bersirkulasi tetapi tidak menyebabkan batuk. PT tampaknya
memiliki peran sentral, tetapi tidak tunggal, dalam patogenesis. B. pertusis menghasilkan
serangkaian zat aktif biologis lainnya, banyak di antaranya didalilkan memiliki peran dalam
penyakit dan kekebalan. Setelah akuisisi aerosol, hemaglutinin berfilamen, beberapa
aglutinogen (terutama fimbriae [Fim] tipe 2 dan 3), dan protein permukaan imbrial 69-kDa nonf
yang disebut pertactin (Prn) penting untuk melekat pada sel epitel pernapasan bersilia .
Sitotoksin trakea, adenylate cyclase, dan PT tampaknya menghambat pembersihan organisme.
Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenylate cyclase didalilkan sebagai penyebab
utama kerusakan epitel lokal yang menghasilkan gejala pernapasan dan memfasilitasi
penyerapan PT. Respon imun antibodi dan seluler mengikuti infeksi dan imunisasi. Antibodi
terhadap PT menetralkan toksin, dan antibodi terhadap Prn meningkatkan opsonofagositosis.
Pertusis sangat menular, dengan tingkat serangan setinggi 100% pada individu yang rentan
terpapar tetesan aerosol dari jarak dekat. Tingkat penularan melalui udara yang tinggi
ditunjukkan pada model babon dari pertusis meskipun telah divaksinasi dengan vaksin aseluler.
B. pertusis tidak dapat bertahan hidup dalam waktu lama di lingkungan. Pengangkutan kronis
oleh manusia tidak didokumentasikan. Setelah pajanan yang intens seperti di rumah tangga,
tingkat infeksi subklinis mencapai 80% pada individu yang diimunisasi lengkap atau yang
sebelumnya terinfeksi. Jika dicari dengan cermat, kasus sumber gejala dapat ditemukan untuk
kebanyakan pasien.

4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang


Secara klasik, pertusis adalah penyakit yang berkepanjangan, terbagi menjadi stadium
katarak, paroksismal, dan penyembuhan. Stadium katarak (1-2 minggu) dimulai secara diam-
diam setelah masa inkubasi mulai dari 3-12 hari dengan gejala kongesti dan rinore yang tidak
khas yang disertai dengan demam ringan, bersin, lakrimasi, dan sesak napas konjungtiva. Saat
gejala awal berkurang, batuk menandai awal tahap paroksismal (2-6 minggu). Batuk dimulai
sebagai retakan yang kering, intermiten, dan iritasi dan berkembang menjadi paroxysms yang
tak terhindarkan yang merupakan ciri pertusis. Balita yang berpenampilan baik dan suka
bermain dengan provokasi yang tidak berarti tiba-tiba menunjukkan aura cemas dan mungkin
mencengkeram orang tua atau orang dewasa yang menghibur sebelum memulai ledakan
senapan mesin berupa batuk tanpa henti dengan sekali pernafasan, dagu dan dada terangkat ke
depan, lidah menonjol secara maksimal, mata melotot dan menyiram, wajah ungu, sampai
batuk berhenti dan teriakan keras mengikuti saat udara yang diilhami melintasi jalan napas yang
masih tertutup sebagian. Emesis posttussive sering terjadi, dan kelelahan bersifat universal.
Jumlah dan tingkat keparahan paroxysms meningkat selama beberapa hari hingga satu minggu
dan tetap pada level tersebut selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Pada puncak
tahap paroksismal, pasien mungkin mengalami lebih dari 1 episode setiap jam. Saat tahap
paroksismal memudar ke tahap penyembuhan (≥2 minggu), jumlah, keparahan, dan durasi
episode berkurang.
Bayi di bawah usia 3 bulan tidak menampilkan tahapan klasik. Fase katarak hanya
berlangsung beberapa hari atau tanpa disadari, dan kemudian, setelah kejutan yang paling tidak
signifikan dari hembusan angin, cahaya, suara, isapan, atau peregangan, bayi kecil yang tampak
baik mulai tersedak, terkesiap, muntah, dan mencambuk ekstremitas, dengan wajah memerah.
Batuk mungkin tidak menonjol, terutama pada fase awal. Whoop jarang terjadi pada bayi di
bawah usia 3 bulan yang pada akhir paroxysm kekurangan perawakan atau kekuatan otot untuk
menciptakan tekanan intratoraks negatif yang tiba-tiba. Apnea dan sianosis dapat terjadi setelah
paroksisma batuk, atau apnea dapat terjadi tanpa batuk. Apnea mungkin satu-satunya gejala.
Apnea dan sianosis lebih sering terjadi pada pertusis dibandingkan dengan infeksi neonatal dari
virus, termasuk virus pernapasan syncytial. Tahap paroksismal dan penyembuhan pada bayi
muda berlangsung lama. Paradoksnya, pada bayi, batuk dan rejan bisa menjadi lebih keras dan
lebih klasik pada masa penyembuhan. Kesembuhan termasuk batuk paroksismal intermiten
sepanjang tahun pertama kehidupan, termasuk "eksaserbasi" dengan penyakit pernapasan
berikutnya; ini bukan akibat infeksi berulang atau reaktivasi B. pertusis.
Remaja dan anak-anak yang sebelumnya diimunisasi mengalami penurunan semua
tahap pertusis. Orang dewasa tidak memiliki tahapan yang berbeda. Secara klasik, remaja dan
orang dewasa menggambarkan perasaan tercekik yang tiba-tiba diikuti oleh batuk yang tidak
terputus, perasaan tercekik, sakit kepala yang meledak, kesadaran yang berkurang, dan
kemudian napas terengah-engah, biasanya tanpa teriakan. Emesis posttussive dan paroxysms
intermiten yang dipisahkan oleh jam-jam kesehatan adalah petunjuk khusus untuk diagnosis
pada remaja dan orang dewasa. Setidaknya 30% orang yang lebih tua dengan pertusis memiliki
penyakit batuk nonspesifik, hanya dibedakan berdasarkan durasinya, yang biasanya lebih lama
dari 21 hari.
5. M3 tatalaksana komprehensif

6. M3 diagnosis banding

7. M3 pronosis dan komplikasi


Bayi di bawah usia 6 bulan memiliki mortalitas dan morbiditas yang berlebihan; bayi di
bawah usia 2 bulan memiliki tingkat rawat inap terkait pertusis tertinggi yang dilaporkan (82%),
pneumonia (25%), kejang (4%), ensefalopati (1%), dan kematian (1%). Bayi di bawah usia 4 bulan
merupakan 90% kasus pertusis yang fatal. Kelahiran prematur dan usia ibu muda secara
signifikan berhubungan dengan pertusis yang fatal. Neonatus dengan pertusis memiliki rawat
inap yang jauh lebih lama, kebutuhan oksigen yang lebih besar, dan kebutuhan ventilasi mekanis
yang lebih besar daripada neonatus dengan infeksi saluran pernapasan akibat virus.

Trakeitis
1. M3 definisi dan epidemiologi
 Definisi

 Epidemiologi

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


3. M3 patogenesis dan patofisiologi
4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang
5. M3 tatalaksana komprehensif
6. M3 diagnosis banding
7. M3 pronosis dan komplikasi

Influenza

1. M3 definisi dan epidemiologi


 Definisi

 Epidemiologi

2. M3 klasifikasi, etiologi, dan faktor risiko


3. M3 patogenesis dan patofisiologi
4. M3 manifestasi klinis dan pemeriksaan penujang
5. M3 tatalaksana komprehensif
6. M3 diagnosis banding
7. M3 pronosis dan komplikasi

Anda mungkin juga menyukai