Anda di halaman 1dari 2

Review Buku Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita

Mata Kuliah : Islam Indonesia


Dosen Pengampu : Arina rahmatika M. Sos
Nama : Sitti Sholeha putri (22051377)

Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita

Judul buku : Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita


Nama penulis : Ahmad syafii maarif, dkk
Tahun diterbitkan : 1 mei, 2010
Nama penerbit : Diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD)
Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan PT Newmont Pasific Nusantara
(NPN) dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada
(MPRK-UGM)
Jumlah halaman: 131 halaman
Nomor ISBN : 978-979-772-025-4

Buku politik identitas dan masa depan pluralisme kita karya Ahmad syafii
maarif dan kawan-kawan merupakan kumpulan orasi ilmiah dan tanggapan terhadap
orasi tersebut. Buku ini membahas isu politik identitas di Indonesia yang berkaitan
dengan masalah etnisitas, ideologi, agama, dan kepentingan lokal.
Pidato ilmiah Ahmad Syafii Maarif yang akrab disapa Buya Syafii pada
Kuliah Peringatan Nurcholis Madjid ini dilengkapi dengan tulisan tujuh narasumber
yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Buya kemudian merespons untuk
membuat buku ini lebih menarik dan “bergizi” dengan mengkaji bentuk awal politik
identitas dan mengajukan pertanyaan tentang masa depan pluralisme kita di Indonesia.
Buku dengan tebal 131 halaman ini sangat di rekomendasikan untuk di
baca.pada buku ini, penulis, memberikan beragam pandangan terkait politik identitas
dan pluralisme di Indonesia.buku in menyampaikn apa yang disampaikan oleh Ahmad
syafii maarif dalam orasi ilmiah yang disampaikan dalam acara Nurcholish Madjid
Memorial Lecture (NMML) yang dilaksanakan oleh Universitas Paramadina pada
tahun 2009 lalu.
Selain itu,buku ini juga membahas isu politik identitas di Indonesia yang
berkaitan dengan masalah etnisitas, ideologi, agama, dan kepentingan lokal, juga
menyoroti ancaman kekerasan oleh kelompok Islam tertentu di Indonesia dan
menekankan pentingnya pluralisme sebagai bagian esensial bagi keindonesiaan. Buku
ini juga didukung oleh sejumlah komentator yang menanggapi, mengkritik, bahkan
menyampaikan pandangan alternatif mengenai politik identitas dan masa depan
pluralisme Indonesia. Mengingat keberagaman latar belakang dan pemikiran para
responden, buku ini layak dibaca dan kaya akan pemikiran dan perspektif.
Di ruang publik Indonesia yang majemuk sejak awal berdirinya, seperti halnya
kelompok mana pun, kelompok agama tidak diremehkan atau diabaikan. Namun
tidak ada kelompok yang diunggulkan karena alasan yang sama, tidak peduli seberapa
tertutupnya mereka. Politik identitas, dalam bentuk apapun, tidak akan
membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, sepanjang cita-cita
para founding fathers tentang persatuan dan kesatuan bangsa, serta semangat
Komitmen Pemuda telah meluruhkan sentimen-sentimen kesukuan dan Pancasila
sebagai Pancasila. Landasan-landasan falsafah Negara bukannya dibiarkan begitu saja,
melainkan dihayati dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung
jawab. Ketulusan dan tanggung jawab inilah yang sering dimainkan oleh mereka yang
buta moral dan pragmatisme politik tanpa visi. Sikap inilah yang menjadi musuh
terbesar Indonesia, baik di masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Kemudian, tujuh orang merespons dengan membalas melalui postingannya
masing-masing. Martin Lukito Sinaga “Mengatasi politik identitas, mengalami
dinamika identitas”; Siti Musdah Mulia “Politik Identitas: Ancaman Masa Depan
Pluralisme di Indonesia”; Eric Hiariej “Pluralisme, politik identitas dan krisis
identitas”; Asfinawati “Sumber daya manusia, dialog dan masa depan pluralisme di
Indonesia”; Budiman Sudjatmiko “Politik Fleksibel dalam Pancasila: Keharusan
Sejarah dan Antitesis Fundamentalisme”; Yayah Khisbiyah “Membangun Harmoni
dalam Masyarakat Majemuk: Perspektif Psikologi dan Pedagogi Perdamaian”; dan
Tonny D. Pariela “Menjadi Orang Indonesia”. Ketujuh pembicara ini membawa
warna dan melengkapi ujian Buya Syafii.
Seolah mewakili perasaan banyak orang, Buya Ahmad Syafii Maarif juga
dalam bukunya ini secara terbuka membeberkan ancaman kekerasan dari sebagian
kelompok Islam di Indonesia yang disebutnya sebagai “preman berjubah”. “Yang
menjadi isu hangat terkait isu politik identitas selama 11 tahun terakhir adalah
munculnya gerakan-gerakan ekstremis atau semi-ekstremis yang bernuansa Islam,”
ujarnya. Seperti gerakan serupa di tempat lain di dunia, gerakan-gerakan ini juga anti-
demokrasi dan anti-pluralis, dan sampai batas tertentu, anti-nasionalis.” Meski terdiri
dari berbagai faksi, mereka tetap mempunyai tuntutan serupa dalam satu hal:
penerapan hukum syariah Islam dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, buku
ini memberikan beragam pandangan terkait politik identitas dan pluralisme di
Indonesia.
Politik identitas dalam bentuk apapun tidak akan membahayakan keutuhan
bangsa dan negara Indonesia di masa depan, sepanjang cita-cita para pendiri bangsa
yaitu persatuan dan kesatuan bangsa serta partisipasi integrasi, semangat Kekompakan
Pemuda meluruhkan sentimen-sentimen kesukuan dan Pancasila sebagai landasan
fisiologis bangsa. negara tidak terbengkalai tetapi dijalani dan dilaksanakan secara
sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Keseriusan dan tanggung jawab ini sering
dimanfaatkan oleh orang-orang yang tenggelam dalam pragmatisme politik, buta
moral dan tidak memiliki visi.

Anda mungkin juga menyukai