Anda di halaman 1dari 16

15 Bacaan dan Tontonan Agar Tidak Jadi Zionis Jaksel

indoprogress.com/2023/11/agar-tidak-jadi-zionis-jaksel/

1 November 2023

Foto: Pejuang Palestina membaca Ketua Mao

PERANG di Gaza kembali pecah. Setelah Hamas, gerakan islamis Palestina, melancarkan
serangan terhadap Israel dalam Operasi Badai Al-Aqsa (Operation Al-Aqsa Storm) secara tak
terduga pada 7 Oktober lalu, pemerintah Israel segera melancarkan balasan melalui tentara

1/16
kolonialnya, Israel Occupation Force, IOF).[1] Mohammed Deif, komandan tertinggi dari Brigade
Izzudin al-Qassam (sayap militer Hamas), menyebutkan bahwa operasi militer ini merupakan
balasan atas agresi dan okupasi Zionis terhadap rakyat Palestina yang semakin parah dalam
beberapa tahun terakhir, termasuk pendudukan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa dan represi atas
jamaah masjid yang dilakukan secara arogan.

Kecuali Anda hidup di bawah tanah atau bersemedi di dalam gua, sangat sulit untuk melewatkan
berita mengenai eskalasi konflik dan momen historis ini. Sampai artikel ini ditulis, lebih dari 1.400
warga Israel meninggal dan di sisi Palestina lebih dari 7.000 syahid, termasuk perempuan dan
anak-anak.

Dari kacamata strategis, serangan Hamas mengejutkan dunia. Bagaimana mungkin pasukan
gerilya yang hidup dalam kondisi yang serba terbatas, termasuk pasokan nutrisi yang sangat
minim (ingatlah, Jalur Gaza sudah diblokade Israel selama 16 tahun terakhir, dan salah satu
akibatnya adalah pasokan bahan makanan untuk penduduk Gaza sangat terbatas), bisa menjebol
tembok apartheid Israel yang berteknologi canggih, yang secara efektif menjadikan Gaza sebagai
penjara terbuka? Para militan Hamas menorehkan kesan visual yang amat dalam bagi dunia. Sulit
dipercaya bagaimana mereka berhasil menjebol pagar perbatasan Israel-Gaza dengan buldoser
dan memasuki wilayah Israel dengan motor dan parasut rakitan. Bagaikan Serangan Tet (Tet
Offensive) dari gerilyawan Viet Cong yang mengejutkan kaum imperialis, bagaimana mungkin
pasukan kaipang Gaza berhasil menggentarkan salah satu tentara terkuat di dunia?

Tentu saja, dalam setiap perang dan perjuangan pembebasan nasional, ada ekses kematian dari
pihak lawan, misalnya berpulangnya ratusan warga sipil Israel. Etika perang Islam jelas melarang
serangan atas warga sipil dan mewajibkan kombatan pro-pembebasan untuk meminimalisir
kematian non-kombatan. Oleh karena itu, ekses kematian yang dilakukan/terjadi dalam serangan
Hamas tentu perlu dikritik. Bahkan, sejumlah kalangan Islam dan progresif mengkritik keras dan
bahkan mengutuk ekses tersebut.

Tetapi kita perlu berhati-hati di sini. Kita perlu membedakan mana ekses kematian warga sipil
yang disebabkan karena berbagai faktor tak terduga dan pembantaian atau terorisme atas warga
sipil secara terencana dan sistematis. Di sini, saya menggunakan istilah “ekses” untuk
mengategorikan imbas tak terduga dari serangan Hamas karena sejumlah alasan. Pertama,
sejumlah hasil investigasi terbaru (misalnya ini dan ini dan juga laporan ini) menunjukkan bahwa
banyak korban warga sipil Israel yang tewas karena serangan IOF sendiri ketika mereka berusaha
memukul balik pasukan Hamas, yang justru menjaga para warga sipil ini dengan baik.

Kedua, sudah ada sejumlah bukti dan testimoni yang menunjukkan bagaimana pasukan Hamas,
setidaknya elemen-elemen yang lebih terorganisir dan disiplin, menjalankan kaidah etika perang
Islam dengan tidak melukai warga dan memperlakukan tahanan sipil dengan baik. Hamas juga
lebih tepat dilihat sebagai gerakan sosial dan pembebasan nasional yang memiliki sejumlah sayap
organisasi–politik, sosial, dan militer. Baik kekurangan dan kelebihannya perlu dilihat dalam
konteks kapasitasnya sebagai gerakan pembebasan nasional, bukan kelompok teroris.

2/16
Ketiga, ekses serangan yang melukai dan menewaskan warga sipil Israel kemungkinan besar
dilakukan oleh elemen militan Hamas dan warga Gaza yang amarahnya sudah menumpuk
terhadap kolonialisme Israel. Perlu diingat bahwa warga Gaza senantiasa hidup dalam teror dan
brutalitas Israel, ditambah ada ribuan tahanan politik Palestina di Israel, yang kemungkinan besar
akan lebih berhati-hati dalam menyerang lawan. Dua faktor ini saya pikir berpengaruh ke karakter
dan tingkat kualitas pasukan/kombatan yang ikut dalam Operasi Badai Al-Aqsa kemarin–ada yang
disiplin, tetapi ada juga yang sudah dikuasai amarah dan dendam.

Keempat, sudah terbukti bahwa Israel sendiri memanipulasi informasi publik untuk memojokkan
perjuangan pembebasan Palestina dengan fitnah. Ini taktik yang dikenal sebagai propaganda
kekejaman (atrocity propaganda), misalnya fitnah bahwa “Hamas membantai bayi-bayi Israel
dengan cara memenggal kepala mereka.”

Sebaliknya, Israel melakukan pembalasan secara tidak proporsional dan melanjutkan


pembantaian dengan dalih membela diri. Secara brutal, Israel membombardir Gaza, membantai
warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan tanpa pandang bulu, menghentikan distribusi
semua kebutuhan logistik warga Gaza termasuk listrik dan air, hingga menyerang rumah sakit,
masjid dan gereja, serta kamp pengungsian. Apa namanya ini kalau bukan genosida? Apa lagi
namanya jikalau bukan kebiadaban dan kemunafikan yang ditunjukkan oleh “satu-satunya
demokrasi di Timur Tengah”?

Persis di titik ini, kita perlu sadar dan paham bahwa tragedi yang terjadi di Gaza dan seluruh
daerah okupasi Palestina oleh Israel tidaklah bermula dari serangan Hamas pada 7 Oktober lalu.
Bahkan, gelombang kekerasan sistemik dari Israel dan perlawanan dari rakyat Palestina, baik
melalui jalur nirkekerasan maupun perjuangan bersenjata, tidak dimulai dari beberapa tahun
terakhir ini.

Akar permasalahannya adalah kolonialisme Israel atas rakyat Palestina, yang dimulai dari teror
milisi Zionis terhadap rakyat Palestina yang telah menampung mereka yang berujung kepada
pengusiran dan perampasan lahan besar-besaran, Nakba, yang membuat rakyat Palestina terusir
dari tanah air mereka sendiri, yang dikukuhkan melalui politik apartheid dan ideologi zionisme,
yang secara brutal mengekang dan membunuh rakyat Palestina dan menjebloskan mereka ke
dalam penjara terbuka terbesar di dunia, Gaza.

Inilah pokok permasalahannya. Apa pun bentuk perjuangannya, siapa pun aktor utamanya,
sekecil apa pun ekses perlawanannya, tiap bentuk perjuangan rakyat Palestina akan selalu
dihajar oleh IOF dan rezim apartheid Israel. Dengan atau tanpa serangan Hamas, Netanyahu
(atau lebih tepatnya SETANyahu) dan para politikus sayap kanan Israel akan selalu mencari cara
untuk membombardir Gaza, menganeksasinya, dan mengenyahkan rakyat Palestina dari rumah
mereka sendiri. Gelombang protes damai rakyat Gaza sekitar 2018-2019 yang dikenal sebagai
The Great March of Return disambut dengan represi besar-besaran oleh Israel. Upaya mobilisasi
massa dan perjuangan bersenjata gerakan-gerakan nasionalis dan kiri Palestina seperti Fatah
dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine,
PFLP) selama puluhan tahun dilabeli sebagai aksi-aksi “teroris” dan dibalas habis-habisan oleh
Israel dengan dukungan imperialis.

3/16
Sayangnya, narasi ini secara sistematis dipinggirkan dan sebagai gantinya kita disuguhi oleh
propaganda Hasbara (strategi “diplomasi publik” Israel) dan “humanitarianisme” liberal nan
abstrak yang munafik dan bungkam tentang realitas penindasan rakyat Palestina. Ironisnya,
propaganda Zionis dan imperialis ini bahkan memengaruhi sejumlah kelompok di Indonesia,
termasuk kelompok-kelompok Islam “moderat” dengan dalih “anti-terorisme” dan “pro-
perdamaian”.

Untuk itulah, kita perlu pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sejarah
pembebasan nasional Palestina agar tidak latah menjadi Zionis Jaksel yang hanya bisa membeo
bahwa “Israel punya hak membela diri” dan mengabaikan genosida yang terjadi di depan mata.
Sebagai pengantar, berikut saya sajikan 15 bacaan dan tontonan kunci sebagai referensi untuk
kita semua.

Sejarah Palestina dan Israel

1. The Question of Palestine (Edward W. Said, 1979, New York: Vintage Books)

Edward Said, sang intelektual Palestina, tentu saja lebih


terkenal dengan karya klasiknya, Orientalism, yang
menggugat kecenderungan metodologis dan bias orientalis
dan imperialis dalam berbagai kajian tentang Timur Tengah
dan masyarakat non-Barat lain di berbagai disiplin
humaniora di Barat. Tetapi, ada salah satu karyanya yang
juga tidak kalah penting, yaitu mengenai konflik Palestina-
Israel, yang dituangkan dalam buku The Question of
Palestine.

Buku ini dapat dikategorikan sebagai setengah kajian dan


setengah observasi “orang dalam” yang terlibat dalam
perjuangan pembebasan nasional Palestina. Sejumlah
momen dan periode sejarah penting dibahas dengan
cukup mendalam, mengenai sejarah rakyat Palestina dan tanah air mereka; evolusi Zionisme
sebagai proyek kolonialisme dan imbasnya bagi rakyat Palestina; sejarah perjuangan
pembebasan Palestina; dan persoalan nasib Palestina setelah ditandatanganinya Perjanjian
Perdamaian Israel dan Mesir yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Camp David (Camp David
Accords).

Said menyebutkan sejumlah argumen jitu yang saya pikir masih relevan hingga sekarang. Dia
mengeluhkan labelisasi “teroris” kepada organisasi-organisasi politik Palestina dan miopia serta
kemunafikan Barat yang tidak bisa melihat dan mengakui bahwa teror Zionis jauh lebih besar dari
upaya perlawanan dan ekses yang dilakukan oleh para militan Palestina. Dia mempertanyakan
pandangan naif yang masih berharap bahwa artikulasi zionisme yang liberal dan bahkan progresif
itu masih mungkin, sebelum ramai gerakan boikot Israel. Dia memberikan penjelasan historis
tentang rakyat Palestina sebagai penduduk asli di tanah air mereka. Dia juga menunjukkan
kebangkrutan proyek politik zionisme.

4/16
Buku ini memang cukup padat dan karenanya butuh waktu untuk dibaca secara mendetail, tetapi
karya klasik ini fondasional dan perlu dibaca. Bonus: bukunya bisa diunduh secara gratis di sini.

2. Kolonialisme Zionis di Palestina (Fayez A. Sayegh, 2021, IndoProgress, diterjemahkan


oleh Azhar Irfansyah ke bahasa Indonesia dari edisi bahasa Inggris terbitan 1965).

Apabila karya Edward Said tentang Zionisme dan


persoalan Palestina dapat dikategorikan sebagai
karya yang padat, maka buku Fayez A. Sayegh ini
dapat dikategorikan sebagai buku saku ringkas
tentang kolonialisme Zionis. Dapat dikatakan,
seperti halnya buku Said, buku ini merupakan
salah satu pionir dari analisis tentang zionisme
sebagai kolonialisme.

Sayegh adalah seorang diplomat, penulis, dan


akademisi dengan latar belakang Arab Kristen
yang aktif di lingkar intelektual dan politik Timur
Tengah. Dalam bukunya, Sayegh melacak akar
historis dan intelektual zionisme, persekutuannya
dengan imperialisme Inggris, karakter rezim Zionis
dan pola diskriminasi serta represi sistematik yang
diterapkannya kepada warga Arab, dan kenaikan perlawanan rakyat Palestina terhadap
kolonialisme Zionis. Dalam bukunya, Sayegh menganalisis penjajahan Zionis dan perjuangan
pembebasan rakyat Palestina dari perspektif anti-kolonialisme dan pembebasan nasional di Dunia
Ketiga yang marak di dekade 1960-an.

Buku ini merupakan pengantar yang baik sebelum Anda masuk menyelami karya-karya lain
mengenai konflik Israel-Palestina. Dapat diunduh langsung dari sini.

3. The Ethnic Cleansing of Palestine (Ilan Pappé, 2006, Oxford: Oneworld Publications).

Ilan Pappé adalah seorang sejarawan Israel progresif anti-Zionis yang terpaksa mengeksilkan diri
karena telah menjadi persona non grata di Israel yang semakin kanan, otoriter, dan diam-diam
fasistik. Dia termasuk dalam generasi baru sejarawan Israel, New Historians, yang membongkar
historiografi (atau hagiografi?) Zionis yang “membersihkan” Israel dari dosa-dosa asalnya dan
sebaliknya menggambarkan Israel sebagai “Daud baru” yang berjuang melawan “Goliat-Goliat
Arab” yang penuh dengki dan anti-Semitik. Generasi sejarawan baru ini, termasuk Pappé, berhasil
mengkritik narasi sejarah Zionis karena dibukanya arsip-arsip militer dan pemerintah Israel 30
tahun setelah deklarasi pembentukan Israel.

Berdasarkan arsip-arsip baru ini, Pappé menunjukkan bahwa Nakba itu nyata adanya, bahwa
terjadi upaya sistematis dari milisi-milisi Zionis seperti Haganah dan Irgun untuk mengusir paksa
rakyat Palestina dari rumah mereka atas permohonan dan dukungan David Ben-Gurion, Perdana

5/16
Menteri pertama dan Bapak Bangsa(t) Israel. Tidak
hanya itu, terjadi juga pembantaian warga sipil
Palestina di sejumlah tepat, termasuk pembantaian
Deir Yassin, dalam proses pengusiran paksa ini.

Operasi teror ilegal nan sistematis ini dikenal dengan


nama Plan Dalet (Rencana Dalet, yang merupakan
nama dari huruf keempat dalam abjad Ibrani).
Terbongkarnya Plan Dalet menggugurkan argumen
usang Zionis yang mengklaim bahwa warga Palestina
ditipu oleh pemimpin mereka sendiri dan negara-
negara Arab untuk meninggalkan rumah mereka
secara sukarela. Plan Dalet adalah penyebab dari
katastrofi besar Nakba dan menandai pembersihan
etnis (ethnic cleansing) rakyat Palestina secara besar-
besaran. “Kemerdekaan” Israel, dengan kata lain, berdiri di atas penindasan Palestina.

Ditulis dengan bahasa yang gamblang dan gaya penuturan yang jelas, buku ini akan memberikan
kita gambaran yang sesungguhnya mengenai formasi Israel sebagai sebuah negara/rezim dan
asal-usul kolonialisme Zionis di Palestina. Bonus: bukunya bisa diunduh secara gratis di sini.

4. 10 Myths about Israel (Ilan Pappé, 2017, London/New York: Verso).

“Israel adalah satu-satunya demokrasi di Timur


Tengah”, “Israel adalah benteng bagi Peradaban Barat
dan Dunia Merdeka melawan fundamentalisme”,
“Hanya di Tel Aviv parade pride bisa dilakukan secara
meriah dan bebas di Timur Tengah”, dan lain-lain, dan
sebagainya. Kurang lebih itulah sejumlah mitos yang
disebarkan oleh Hasbara, antek-anteknya, dan para
fanboys serta fangirls-nya. Lagi-lagi, Ilan Pappé secara
mendalam membongkar mitos-mitos omong kosong
macam ini dan menunjukkan karakter sesungguhnya
dari Israel sebagai rezim apartheid dan kolonial.
Disajikan lewat penuturan yang mudah diikuti dan
dipahami, Pappé membongkar sejumlah mitos-mitos
yang dianggap sudah terberi mengenai Israel.

Bukunya dibagi kedalam tiga bagian. Bagian pertama membongkar enam mitos tentang masa
lampau: 1) Palestina adalah “tanah yang kosong” (rakyat Palestina sudah ada sebelum warga
Yahudi dan pendatang Zionis hadir di sana); 2) Yahudi adalah bangsa tanpa tanah air (klaim yang
sering dipakai secara serampangan oleh pemerintah Israel kiwari demi kepentingan politiknya); 3)
Zionisme merupakan komponen utama dan bahkan ekuivalen dengan agama dan budaya Yahudi
(tentu saja tidak); 4) Zionisme bukanlah kolonialisme (kenyataannya, Zionisme meneguhkan
supremasi warga Yahudi atas warga Arab); 5) rakyat Palestina meninggalkan tanah airnya secara

6/16
“sukarela” di tahun 1948 (halo, bagaimana dengan Nakba dan Plan Dalet?), dan 6) Perang Arab-
Israel di tahun 1967 adalah perang yang tak terhindarkan (padahal ada langkah-langkah negosiasi
alternatif yang bisa ditempuh).

Bagian kedua membongkar tiga mitos masa kini tentang Israel: 7) Israel adalah satu-satunya
demokrasi di Timur Tengah (baca laporan dari B’Tselem dan Human Rights Watch dan bahkan
pengakuan bekas Direktur Mossad Tamir Pardo mengenai karakter apartheid dari “demokrasi”
Israel); 8) Perjanjian Oslo adalah “proses perdamaian” (alias pemaksaan terhadap pihak Palestina
untuk menerima parameter “perdamaian” menurut Israel); dan 9) trilogi mitos Gaza–Hamas
adalah “organisasi teroris” (alih-alih melihatnya sebagai bagian dari gerakan pembebasan
nasional, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang juga berpartisipasi dalam proses
demokratik di Palestina), mundurnya Israel dari Jalur Gaza adalah upaya rekonsiliasi (Israel
mundur dari Gaza untuk memblokade Gaza), dan serangan Israel yang bertubi-tubi atas Gaza
adalah upaya pembelaan diri (alias dalih untuk melakukan genosida perlahan atas warga Gaza).

Di bagian ketiga, Pappé membongkar mitos terakhir: 10) Jawaban konflik Israel-Palestina adalah
solusi dunia negara (two-state solution). Bagi Pappé, solusi tersebut sudah kaput, sudah mati
dengan kontrol Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza dan berlanjutnya politik apartheid yang
mewajarkan pembersihan etnis, okupasi rakyat Palestina di tanahnya sendiri, dan posisi rakyat
Arab Palestina–baik di dalam Israel maupun di wilayah pendudukannya–sebagai warga negara
kelas dua yang mengalami diskriminasi dan bahkan kekangan militeristik. Solusi yang sejati, bagi
Pappé, adalah satu negara yang demokratis bagi rakyat Yahudi dan Arab, yang terbentang dari
sungainya hingga lautnya.

Dengan membaca buku ini, insyaallah kita akan memiliki amunisi yang jitu untuk mempreteli
argumen kosong dan retorika gembeng para Zionis Jaksel, kalangan “muslim moderat” yang diam
di hadapan kekerasan kapitalis dan imperialis, dan segenap kaum londo ireng lainnya. Oh, soal
parade pride bagi rekan-rekan queer di Timur Tengah? Coba tengok Beirut alih-alih Tel Aviv.

Bonus: Anda bisa menonton tausiah Ilan Pappé di Masjid Al-Quds di Capetown, Afrika Selatan di
sini dan pemaparannya dalam suatu diskusi berbahasa Arab, yang dikuasainya dengan lancar, di
sini. Bukunya dapat Anda unduh secara gratis langsung dari penerbitnya di sini.

Perspektif Sosialis tentang Kolonialisme Israel

5. Settler Colonialism: An Introduction (Sai Englert, 2022, London: Pluto Press).

Mungkin kawan-kawan pembaca sudah sering mendengar istilah settler colonialism atau
kolonialisme pendudukan, termasuk dalam diskusi soal penjajahan Israel atas Palestina. Tetapi
apa sesungguhnya kolonialisme pendudukan itu? Di dalam bukunya, Sai Englert, pengajar dan
peneliti di Universitas Leiden, memberikan penjelasan ringkas nan komprehensif tentang konsep
tersebut.

7/16
Englert membedakan antara kolonialisme jarak jauh
(franchise colonialism) dengan kolonialisme pendudukan.
Kolonialisme jarak jauh adalah model kolonialisme yang
populer di benak publik Indonesia: penjajahan oleh
kekuatan kolonial melalui penguasaan militer,
administrasi kolonial, dan kolaborator lokal yang menjadi
kelas penguasa, yang fokusnya adalah ekstraksi tenaga
kerja dan komoditas tanpa mengirim penduduk dari pusat
kekuasaan kolonial (metropole) ke koloni. Kolonialisme
pendudukan punya sejumlah fitur yang serupa, tetapi
mereka memiliki tujuan tambahan yaitu mendatangkan
penduduk dari metropole ke koloni dan dalam prosesnya
merampas tanah dan kampung halaman penduduk asli
untuk semakin memperkuat formasi masyarakat kolonial.

Contoh dari kategori pertama adalah penjajahan Inggris di India dan penjajahan Prancis di Suriah
(dan tentu saja penjajahan Belanda di Indonesia), sedangkan contoh dari kategori kedua adalah
pendudukan warga keturunan Eropa di Argentina, Aljazair, dan Australia.

Englert kemudian menjelaskan mekanisme umum dan tujuan dari proses kolonialisme
pendudukan. Akumulasi profit dan nilai lebih misalnya dilakukan dengan monopoli perdagangan
dan sektor-sektor komoditas bernilai tinggi serta perbudakan. Tidak lupa, ada proses perampasan
tanah dan peminggiran masyarakat asli dari tempat tinggal mereka selama berpuluh-puluh
generasi dan bahkan genosida. Tentu saja, pengukuhan kolonialisme pendudukan berkelit-
kelindan dengan proses konsolidasi kapitalisme modern, melalui proses akumulasi primitif,
misalnya. Rasisme kemudian menjadi ideologi yang menjustifikasi dan melanggengkan praktik-
praktik barbar ini, juga sebagai mekanisme kontrol sosial dan politik.

Tak lupa, Englert juga membahas tentang berbagai bentuk perlawanan masyarakat terjajah
terhadap kolonialisme pendudukan. Tentu saja, perlawanan Palestina dibahas secara cukup
mendalam. Singkatnya, buku ini merupakan pengantar yang baik untuk memahami sejarah dan
perkembangan kolonialisme pendudukan dan perlawanan atasnya.

6. Palestine: A Socialist Introduction (Editor: Sumaya Awad dan Brian Bean, 2020,
Chicago: Haymarket Books).

Pertautan perjuangan Palestina dengan berbagai gerakan dan ide kiri sesungguhnya sudah
berlangsung selama berpuluh tahun. Dimensi ini kadang kurang terbahas dalam diskursus
mengenai Palestina di Indonesia, meskipun sudah ada pergeseran yang menggembirakan, yaitu
melihat konflik Israel-Palestina bukan dari kacamata “perang agama” melainkan dari perspektif
anti-kolonialisme.

Sebagaimana terpampang di judulnya, buku ini menyajikan sejumlah analisis sosialis tentang
persoalan Palestina. Posisinya jelas dan tegas: persoalan Palestina adalah persoalan
pembebasan nasional dan mereka yang mengaku sosialis haruslah berpihak kepada rakyat

8/16
Palestina. Dua editornya, Sumaya Awad dan Brian
Bean, adalah aktivis sosialis. Awad asli Palestina,
sedangkan Bean adalah anak North Carolina.

Selain berbagai hal yang sudah kita bahas di atas


(tragedi Nakba, proyek kolonialisme pendudukan Zionis,
dan lain sebagainya), buku ini juga menyajikan sejumlah
analisis tambahan yang menarik. Esai oleh Shireen
Akram-Boshar misalnya menunjukkan hubungan mesra
antara imperialisme Amerika Serikat (AS) dan Israel
demi “kepentingan strategis” di Timur Tengah. Esai
Mostafa Omar, yang membahas tentang perjuangan
pembebasan nasional Palestina, singkat dan padat
namun isinya daging semua, terutama pembahasan
tentang mandeknya trajektori gerakan-gerakan nasionalis dan kiri sekuler seperti Fatah dan PFLP
dan kenaikan Hamas dalam politik Palestina. Daphna Tier membahas satu topik yang jarang
diketahui orang, yaitu posisi kelas pekerja Israel di dalam perjuangan pembebasan Palestina dan
bagaimana ketergantungan terhadap rezim okupasi Israel membuat mereka abai atas perjuangan
pembebasan Palestina.

Sejumlah bab lain di dalam buku ini membahas tentang kontur perjuangan pembebasan Palestina
dan koneksinya dengan berbagai gerakan pembebasan lainnya. Pembahasan ini mencakup
wawancara dengan Omar Barghouti, salah satu pendiri gerakan boikot Israel (Boycott,
Divestment, and Sanction, BDS), dan sejarah solidaritas antara gerakan kulit hitam dan Palestina.

Keragaman topik yang dibahas dan ketajaman analisis dalam buku bunga rampai ini membuatnya
layak menjadi acuan bagi mereka yang penasaran dengan konflik Israel-Palestina dari perspektif
sosialis. Bukunya juga dapat diunduh gratis langsung dari penerbitnya di sini.

7. On Zionist Literature (Ghassan Kanafani, Oxford: Ebb Books, 2022, diterjemahkan


oleh Mahmoud Najib ke Bahasa Inggris dari edisi Bahasa Arab terbitan 1967).

Ghassan Kanafani adalah seorang aktivis PFLP dan juga penulis kenamaan Palestina. Mungkin
Anda pernah melihat video wawancaranya yang tajam berseliweran di lini masa. Selain berpolitik,
Kanafani juga aktif menulis esai, karya sastra, dan kritik sastra, sebelum dia syahid karena rezim
Zionis membunuhnya ketika berumur 36.

Kanafani melihat ranah kesusastraan dan kebudayaan sebagai salah satu front agresi Zionis,
selain politik, militer, dan ekonomi. Itulah yang menjadi motivasi utamanya untuk menulis kritik
atas sejumlah karya sastra Zionis.

Kanafani menulis sejumlah amatan dan analisis penting. Misalnya, bagaimana Zionisme
mendorong dominasi bahasa Ibrani sebagai bahasa warga Yahudi dalam proyek politiknya,
mengesampingkan fakta bahwa banyak orang Yahudi menggunakan bahasa lain seperti bahasa
Yiddi dan bahkan bahasa Arab. Kemudian, Kanafani juga menunjukkan bagaimana kesusastraan

9/16
Zionis mendahului dan memberi landasan bagi
zionisme politik. Dan tentu saja dia juga menganalisis
sejumlah pemikiran dan karya sastra Zionis secara
ketat, mulai dari argumennya, penuturannya, alur
ceritanya, hingga pesan yang tersirat, mulai dari
tulisan-tulisan Theodor Herzl hingga Arthur Koestler.
Misalnya plot khas tentang petarung Yahudi yang
kuat dan siap menggempur siapa saja yang
mengadang, termasuk orang-orang Arab.

Bagi Anda yang tertarik dengan kritik atas zionisme


dari dimensi kebudayaan, buku ini perlu dibaca.

Instrumentalisasi Tragedi Holokaus

8. Beyond Chutzpah: On the Misuses of Anti-Semitism and the Abuse of History


(Norman Finkelstein, 2005/2008, Berkeley/Los Angeles: University of California Press).

Kita sering mendengar keluhan dan bahkan tuduhan


bahwa mengkritik Israel adalah mempraktikkan anti-
semitisme. Argumen ini sering dipakai untuk
membungkam kritik terhadap Israel dan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) yang dilakukannya secara
sistematis terhadap rakyat Palestina. Norman Finkelstein
menunjukkan bagaimana operasi ideologis dan trik politik
ini bekerja.

Norman Finkelstein, yang tentu saja bukanlah seorang


normie, adalah intelektual radikal dan aktivis. Dia
mendeskripsikan diri sebagai “ilmuwan forensik”, yaitu
detektif yang membongkar klaim-klaim pseudo-ilmiah
yang populer dan sering dijadikan justifikasi politik,
dengan spesialisasi kajian tentang instrumentalisasi tragedi Holokaus, Israel, zionisme, dan
Palestina. Kredensial ilmiah dan politiknya lengkap: dia adalah seorang kiri dengan gelar doktor
dari Universitas Princeton dan kedua orang tuanya adalah penyintas Holokaus yang turut serta
dalam Pemberontakan Ghetto Warsawa melawan fasis Nazi.

Dalam Beyond Chutzpah, Finkelstein menunjukkan bagaimana tuduhan “anti-Semitik” sering


digunakan untuk membungkam kritisisme atas rekam jejak HAM Israel alih-aling mendebat kritik
tersebut secara serius dan ilmiah. Finkelstein juga berargumen bahwa konflik Arab-Israel
bukanlah soal konflik agama atau “kecemburuan sosial” kepada Israel sebagai negara yang kaya,
melainkan soal aspirasi nasional untuk kemerdekaan jazirah Arab dan kritik atas supremasi
Yahudi melalui proyek zionisme.

10/16
Jadi, kalau ada yang menuduh kawan-kawan pembaca yang mengkritik Israel sebagai anti-Semit
yang rasis, berikan saja buku Finkelstein kepada sang penuduh tersebut. Niscaya mereka akan
kaget dan malu sendiri. Bonus: tontonlah video legendaris Finkelstein yang mengkritik
instrumentalisasi tragedi Holokaus sebagai justifikasi untuk menindas rakyat Palestina di sini.

Panduan Perjuangan Pembebasan Nasional

9. Guerilla Warfare (Che Guevara, 1961) dan On Guerilla Warfare (Mao Zedong, 1937)

Dalam dunia yang ideal, di mana lawan-lawan politik


paling brutal sekalipun meminimalisir penggunaan
kekerasan atau berperang dengan etika, maka jalur
nirkekerasan merupakan metode yang layak
ditempuh. Tetapi, perjuangan kelas dan pembebasan
manusia tidak selamanya ideal. Di dalam arena
politik, kita akan menemukan musuh-musuh yang
brutal dan tak mau berkompromi.

Dalam kondisi penuh tekanan tersebut, maka metode


perjuangan bersenjata menjadi pilihan yang logis.
Cara ini banyak ditempuh oleh gerakan pembebasan
nasional di Dunia Ketiga, termasuk di Indonesia.

Karya klasik Che Guevara dan Mao Zedong tentang


metode perang gerilya dapat menjadi acuan dan bahan refleksi tentang strategi perjuangan
bersenjata dalam upaya pembebasan nasional dan pembangunan sosialisme. Tentu saja, perang
gerilya bukan sekadar mengumpulkan orang-orang yang marah, mengajak mereka membangun
markas di atas gunung dan di dalam hutan, lalu melancarkan serangan dan teror dengan penuh
amarah. Perang gerilya perlu perencanaan dan tujuan yang jelas, memenangkan hati rakyat, dan
tidak terlepas dari organisasi politik, perhitungan geopolitik, serta kebutuhan logistik.

Dua teks klasik ini, yang dapat diunduh secara gratis di sini dan di sini, saya pikir perlu dibaca
untuk menjadi bahan diskusi, debat, dan refleksi lebih lanjut, terutama di dalam konteks
perjuangan Palestina.

10. Leila Khaled: Kisah Pejuang Perempuan Palestina (Sarah Irving, 2016, Serpong:
Marjin Kiri, diterjemahkan oleh Pradewi Tri Chatami ke bahasa Indonesia dari edisi
bahasa Inggris terbitan 2012).

Siapa yang tidak kenal Leila Khaled? Sang perempuan pejuang pembebasan yang fotonya tenar
karena peranannya dalam pembajakan pesawat pada 1969 merupakan salah satu ikon kenamaan
dari perjuangan Palestina. Karya Sarah Irving, seorang ahli kajian Timur Tengah, menyajikan
potret biografis Leila Khaled sebagai seorang militan perempuan.

11/16
Irving membahas peranan Khaled sekaligus
menempatkannya dalam konteks sosial-historis dan
perjuangan yang lebih luas berdasarkan wawancara
dengan sang protagonis langsung dan orang-orang yang
dekat dengannya. Hidup Leila Khaled menjadi teropong
untuk melihat sejumlah dinamika lain yang lebih luas:
persoalan stratak dan etika dalam perjuangan bersenjata
(termasuk soal pembajakan pesawat), perjuangan
Palestina dalam konteks pembebasan nasional di Dunia
Ketiga, peran perempuan dalam perjuangan, dan
trajektori Khaled dalam kehidupannya dan politik
Palestina setelah pensiun dari tugas kombatan.

Buku ini menarik, berwarna, penuh sejarah, dan enak


dibaca. Karena itu buku ini perlu masuk menjadi salah satu bacaan wajib untuk memahami
perjuangan Palestina dan peranan perempuan di dalamnya.

11. “Beyond Fateh Corruption and Mass Discontent: Hamas, the Palestinian Left and the
2006 Legislative Elections” (Manal A. Jamal, 2013, British Journal of Middle Eastern
Studies, 40, Issue 3, 273-294).

Propaganda perang yang sedang berjalan dari pihak Israel dan Barat menyamakan Hamas
dengan ISIS, mengklaim bahwa gerakan Islam ini secara keseluruhan (termasuk sayap-sayap
politik dan sosialnya dan juga basis pendukungnya) sebagai gerombolan teroris biadab haus
darah yang anti-Semitik.

Yang luput dan sengaja ditutupi dari pembahasan ini adalah karakter Hamas sebagai sebuah
gerakan sosial-politik dan relasinya dengan organisasi-organisasi Palestina lain. Inilah yang
dikupas oleh ilmuwan politik Manal A. Jamal di dalam artikel jurnalnya, yang membahas
partisipasi Hamas dalam pemilu Palestina tahun 2006, pemilihan terakhir yang terselenggara
sejauh ini.

Jamal membahas sejumlah temuan menarik, misalnya jejaring penyediaan layanan sosial yang
diorganisir Hamas; juga upaya Hamas dalam mendorong aliansi lintas kelas antara kelas
menengah dan kaum miskin serta aliansi taktis dengan kelompok-kelompok kiri. Jamal juga
membahas tentang turunnya pamor Fatah, yang dianggap korup dan melakukan kapitulasi
kepada Israel, memberi kesempatan politik bagi Hamas.

Hamas juga memiliki strategi kampanye yang rapi. Sementara itu, kelompok-kelompok kiri
Palestina seperti PFLP, mengalami berbagai tantangan seperti imbas fragmentasi gerakan kiri
global, bubarnya Uni Soviet, hingga ketergantungan kepada pendanaan donor Barat.

Artikel jurnal ini, dalam hemat saya, dapat memberi gambaran mengenai kiprah elektoral Hamas
dan berbagai organisasi politik Palestina lainnya.

12/16
12. Digital Jihad: Palestinian Resistance in the Digital Era (Erik Skare, 2016, London: Zed
Books).

Kelompok militan Palestina terkenal dengan berbagai


metode perjuangan bersenjatanya, mulai dari serangan
roket hingga pertempuran gerilya melawan IOF. Tetapi,
bagaimana dengan perjuangan di arena digital? Erik
Skare, seorang peneliti ahli Palestina, menjawab
pertanyaan tersebut secara lengkap dalam bukunya
Digital Jihad.

Skare memulai bukunya dengan sejumlah cuplikan


amatan dan wawancara yang menarik, yaitu pertarungan
digital antara peretas/hacker Arab dan Israel. Di tahun
2000, para peretas Israel melumpuhkan laman web
Hezbollah, sedangkan di tahun 2012 sekelompok peretas
Arab Saudi menyerang laman web Bursa Efek Tel Aviv
dan El Al, maskapai penerbangan Israel. Dari kisah ini, Skare kemudian masuk ke dalam inti
ceritanya.

Bagi Skare, hacktivism yang dilakukan oleh para aktivis dan militan Palestina sama pentingnya
dengan berbagai jenis aksi yang lain–kampanye, boikot, demonstrasi, pembangkangan sipil, dan
perjuangan bersenjata. Sasarannya sama: zionisme Israel. Lebih spesifiknya, infrastruktur digital
dari rezim teknologis Israel. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Israel
cukup pesat dan infrastruktur digital ini tentu saja punya koneksi yang erat dengan pihak militer.
Sebagai contoh, IOF banyak mengintegrasikan temuan terbaru dan inovasi di bidang TIK untuk
kepentingan okupasi dan pertempuran.

Untuk melawan kecanggihan rezim okupasi ini, gerakan perjuangan Palestina melancarkan
perlawanan digital melalui berbagai unit dan kelompok peretas. Sejumlah kelompok peretas dari
negara-negara Arab lain pun turut serta dalam gerilya digital ini. Mengutip pernyataan Direktur
Utama dari Netvision, perusahaan layanan internet Israel, Gilad Rabinovich, interfada (istilah
gabungan dari internet dan intifada) adalah balasan atas provokasi Israel. Pasukan jihad online ini
tumbuh subur terutama di Gaza yang dimiskinkan oleh Israel. Bahkan, Hamas dan Palestinian
Islamic Jihad (PIJ) memiliki unit perang digital sendiri, meskipun banyak juga para hacktivist yang
beroperasi secara lebih bebas.

Membaca buku ini akan membuat kita sadar bahwa selayaknya Nabi Daud, para peretas kaipang
dari Palestina ini bisa menantang Raja Jalut bernama Israel. Dan juga akan sadar: kualitas buzzer
bayaran di Indonesia, yang lebih mirip dengan para propagandis Hasbara, tidak ada seujung
kukunya dibandingkan jihadis peretas di tepi Laut Tengah. Bonus: buku ini dapat diunduh gratis
dari laman web penulisnya.

Kemungkinan Sejarah Yang Lain

13/16
13. Three Worlds: Memoirs of an Arab-Jew (Avi Shlaim, 2023, London: OneWorld).

Kita kerap mendapat kesan bahwa identitas Arab dan


Yahudi bagaikan air dan minyak, tidak mungkin
bercampur. Apa benar? Avi Shlaim, sejarawan Israel
yang merupakan bagian dari kelompok New Historians,
menggugat dikotomi tersebut melalui memoarnya
sebagai seorang Yahudi-Arab.

Sebelum negara Israel terbentuk, keluarga Avi-Shlaim


tinggal lama di Irak selama beberapa generasi. Mereka
berbicara bahasa Arab, hidup bersama dengan
komunitas Arab, berteman dengan orang-orang Arab,
dan memainkan peranan penting di masyarakat Irak.
Mereka adalah Yahudi-Arab.

Semuanya berubah ketika Israel didirikan dan gelombang nasionalisme Arab menguat. Shlaim,
yang ketika itu masih anak-anak, harus pindah bersama keluarganya ke Israel. Keluarganya lebih
kerasan di Irak. Menurut orang tuanya, Irak adalah kampung halaman mereka, sedangkan Israel
adalah negeri nun jauh di sana.

Sebagai Yahudi Mizrahi/Mizrahim (Yahudi asal Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia), mereka
mengalami diskriminasi di negara yang mengaku sebagai suaka bagi orang Yahudi. Para Yahudi
Irak yang sampai di Bandara Ben-Gurion disemprot pestisida DDT untuk “membersihkan” mereka.
Keluarga Shlaim lebih beruntung karena ibunya memiliki paspor Inggris, yang menyelamatkan
mereka dari perlakuan memalukan itu.

Bagi Shlaim, zionisme adalah ideologi konstruksi para Yahudi Ashkenazi, yang menjunjung satu
kategori pengungsi (Yahudi “Barat” dari Eropa) tetapi meminggirkan dan bahkan mengusir
kategori-kategori pengungsi yang lain (Yahudi “Timur” dari negara-negara non-Eropa dan orang
Palestina). Shlaim juga mencatat pernyataan rasis dan diskriminatif dari Ben-Gurion, yang
menyatakan bahwa Yahudi Mizrahi adalah “gerombolan liar” (hal. 172).

Yang juga kontroversial dari buku ini adalah kecurigaan Shlaim bahwa aktivis Zionis Irak, yang
relatif kecil jumlahnya dibandingkan komunitas Yahudi di Irak, bekerja sama dengan intelijen Israel
untuk melakukan serangan bom di sejumlah tempat. Dengan kata lain, menciptakan teror sebagai
dalih untuk mendorong eksodus (baca: migrasi paksa) komunitas Yahudi Irak ke “tanah air” Israel.
Shlaim mendapatkan bukti operasi intelijen ini dari wawancara dengan Yaacov Karkoukli, seorang
sesepuh Yahudi Irak yang dekat dengan gerakan Zionis di masa itu.

Beberapa sketsa lain dalam buku ini juga menarik. Misalnya bagaimana ayah dan nenek Shlaim
terus berbicara dalam bahasa Arab sampai hari tua mereka, bahasa ibu mereka. Shlaim juga
mengingat masa kanak-kanaknya di Irak sebagai periode penuh kebahagiaan. Singkat kata,
memoar Avi Shlaim menunjukkan bahwa sejarah yang lain, sejarah ko-eksistensi (dan mungkin
ko-resistensi) Arab dan Yahudi, bebas dari anti-semitisme dan zionisme, adalah mungkin. Bonus:
wawancara dengan Avi Shlaim, yang bersuara lembut dan menyejukkan, bisa dilihat di sini.

14/16
Dokumenter Gratisan
The Lobby (2017, Al-Jazeera)

Tuduhan “lobi Yahudi” jelas keji, tidak beradab, dan anti-Semitik. Tetapi, bagaimana dengan “lobi
Israel” atau “lobi Zionis”? Yang kedua tentu saja nyata dan ada. Film dokumenter The Lobby, yang
dirilis oleh Al-Jazeera (media asal Qatar), adalah investigasi klandestin yang mengungkap
bagaimana Israel berupaya menancapkan pengaruh di Partai Buruh (Labour Party) Inggris demi
kepentingan geopolitiknya, termasuk lewat lobi-lobi, manipulasi, dan kampanye disinformasi,
terutama kepada Jeremy Corbyn.

Selama dua jam, film ini akan membawa Anda menelusuri upaya Israel untuk menancapkan
pengaruh dan menghapus suara-suara advokasi untuk Palestina di Partai Buruh. Film ini juga
menunjukkan upaya lobi dan intelijen Israel untuk menyalip dan memanfaatkan prosedur
demokrasi demi kepentingan politik Zionis. Bisa dikatakan bahwa lobi ini adalah ujung terdepan
dari the Zionist Deep State. Seru dan bernas, dokumenter ini bisa ditonton gratis di sini.

15. Gaza Fights for Freedom (2019, Abby Martin).

Dalam satu episode wawancara dengan Joe Rogan di podcast The Joe Rogan Experience, Abby
Martin menyatakan bahwa “you’re born dead in Gaza!” Di Gaza, bahkan bayi pun terlahir “mati”.
Bagaimana tidak? Mereka lahir di dalam wilayah yang sebelas dua belas kondisinya dengan kamp
konsentrasi–hidup dalam teror dan trauma, serangan udara, malnutrisi, dan tanpa penghidupan
yang layak.

Krisis humaniter di Gaza tidak bermula di awal Oktober kemarin, atau di tahun ini, melainkan
bermula ketika Israel memblokade Gaza berbelas tahun silam. Sebagai seorang jurnalis kiri
kawakan yang sudah melanglang buana mengungkap kejahatan imperialisme dan perlawanan
rakyat di berbagai tempat, Abby Martin mencoba menangkap realita kehidupan di Gaza di bawah
blokade dan tirani Israel dalam Gaza Fights for Freedom.

Dikemas dengan gaya dokumenter gerilya, film ini menangkap realita hidup keseharian rakyat
Gaza dan pandangan mereka tentang okupasi Israel dan masa depan Palestina. Martin juga
memberikan latar belakang sejarah yang cukup komprehensif mengenai Gaza dan berbagai
upaya resistensi rakyat Gaza, termasuk upaya protes damai The Great March of Return yang
direpresi habis-habisan oleh Israel. Suara-suara perlawanan yang didapat dari wawancara dan
obrolan serta diskusi sehari-hari, yang dilengkapi dengan footage dahsyat dan heroik, seperti
konfrontasi warga Gaza yang melempar batu ke pasukan IOF yang bersenjata lengkap, membuat
film ini wajib ditonton. Film ini dapat ditonton gratis di sini.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa
memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu
bantuan Anda.

Kirim Donasi

15/16
Bonus dan Penutup
Demikian sejumlah buku dan tontonan yang mudah-mudahan bisa menjadi referensi kawan-
kawan pembaca IndoProgress. Selain daftar di atas, saya ingin memberikan sedikit tambahan
referensi kanal media yang mengulas persoalan Palestina secara mendalam, antara lain Al-
Jazeera, AJ+, Electronic Intifada, Jadaliyya, Middle East Eye, dan The New Arab. Tentu ada juga
beberapa karya yang belum saya bahas di sini, seperti tulisan-tulisan sosiolog kritis Israel Baruch
Kimmerling dan karya terbaru jurnalis Antony Loewenstein, The Palestine Laboratory: How Israel
Exports the Technology of Occupation around the World, yang membahas mengenai “ekspor”
teknologi penjajahan ala Israel ke berbagai negara.

Semoga referensi ini dapat menajamkan perangkat analitis dan mempertebal militansi dalam
bersolidaritas dengan perjuangan pembebasan Palestina, dan meyakinkan kita bahwa imperialis
hanyalah macan kertas.

From the River to the Sea, Palestine will be free! Free, Free Palestine!

[1]
Secara resmi, tentara Israel bernama Israel Defense Force (IDF). Tetapi, pegiat gerakan
pembebasan Palestina kerap menyebutnya sebagai Israel Occupation Force (IOF) untuk
menunjukkan karakter sesungguhnya dari tentara Israel: alih-alih “melindungi” Israel, angkatan
bersenjata tersebut adalah tentara kolonial yang mengokupasi tanah rakyat Palestina dan
merepresi mereka. Saya menggunakan istilah IOF sebagai istilah yang lebih tepat dan juga untuk
menunjukkan solidaritas dengan rakyat Palestina.

Iqra Anugrah, editor IndoProgress, dalam beberapa minggu terakhir aktif dalam kerja-kerja
solidaritas Palestina di Belanda dan Indonesia.

Pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda melalui tangan Balai Poestaka berusaha
membendung arus penerbitan buku dan artikel karya para aktivis anti-kapitalis dan anti-kolonialis.
Barisan literatur yang berperan besar menyuburkan gerakan politik kelas di Indonesia ini dicap
Belanda sebagai “batjaan liar”. Kami mengklaim kembali istilah tersebut untuk sebuah rubrik berisi
rekomendasi bacaan yang disusun secara tematik untuk merespons berbagai macam isu. Klik di
sini untuk daftar lainnya.

16/16

Anda mungkin juga menyukai