Anda di halaman 1dari 10

Imperialisme Di Palestina dan Jalan Buntu Diplomasi PBB

Israel dan Palestina sepakat untuk melakukan gencatan senjata setelah perang 11

hari. Perang tersebut telah menewaskan 253 warga Palestina dan 12 warga Israel. Dikabarkan

puluhan ribu sipil Palestina kehilangan tempat tinggal, 400.000 penduduk tidak dapat

mengakses air bersih [ CITATION Oxf21 \l 1033 ].

Pada 6 April 2021, Biden memulai pembicaraan mengenai kemungkinan pembukaan

kembali kesepakatan JCPOA nuklir dengan Iran. Jika kesepakatan tersebut terjadi, Iran akan

menambah sokongan kepada Hamas. Ini berarti ancaman bagi Netanyahu. Selama hari-hari

pekan pertama penyerangan di Palestina, semua senat dari Republikan AS kecuali 6 anggota

lainnya menyurati Biden. Memintanya, “to immediately end negotiations with Iran, and

make clear that sanctions relief will not be provided”. Bukan malah meminta Biden untuk

segera menekan Netanyahu menghentikan perang.

Sejak berdirinya negara Israel, mereka telah melancarkan sebuah tindakan oleh apa

yang disebut oleh Patrick Wolfe sebagai kolonialisme-pemukim. Praktik tindakan ini

bertumpu pada upaya ‘menghancurkan untuk menggantikan’ [ CITATION Pat16 \l 1033 ].

Pemusnahan suatu etnis atau kelompok tertentu adalah praktik kongkritnya. Kolonilisme ini

berbeda dengan praktik Belanda terhadap Indonesia yang bertujuan mengambil sumber daya

alam daerah koloni.

Prediksi kedepan, kolonialisme terhadap bangsa Arab-Palestina tidak akan berhenti

sebelum seluruh warga Arab-Palestina musnah secara keseluruhan, atau menyerahkan seluruh

wilayah mereka kepada para Zionis. Tak ada satu aturanpun di abad-21 yang

memperbolehkan pemusnahan kelompok masyarakat. Jika memang demikian entitas

kelompok apakah yang dapat menghentikan praktik kolonialisme dan apartheid terhadap

penduduk Arab-Palestina?
Zionisme: Psikologi Sosial Menuju Ideologi Reaksioner

Bumi kita hanya satu. Tetapi ketika pembagian kerja manusia mulai berkembang

lebih jauh, muncul kepemilikan pribadi, klas-klas dan negara, kehidupan sosial menjadi lebih

kompleks. Kompleksitas aktivitas sosial ini berdampak pada semakin kompleksnya kesadaran

sosial setiap individu ataupun kelompok. Kemunculan Zionism, yang merupakan landasan

bagi berdirinya negara Israel merupakan bagian dari gerak sejarah kontradiksi manusia.

Telah banyak literatur ilmiah yang menekankan peran modernisasi untuk

menjelaskan kebangkitan anti-Semitisme di Eropa. Sejalan dengan itu, modernisasi alat

produksi mewujudkan munculnya liberalisme dan kapitalisme yang antara lain mengarah

pada emansipasi politik, sosial, dan ekonomi kaum Yahudi. Mobilitas sosial Yahudi dan

persaingan antar Yahudi menimbulkan ketakutan di antara banyak non-Yahudi, memperkuat

sikap anti-Semit [ CITATION Alm90 \l 1033 ],[ CITATION Fei87 \l 1033 ], [ CITATION Pat16 \l 1033 ] .

Di Eropa Timur orang Yahudi dipersekusi, sedangkan mereka dilarang untuk masuk ke Eropa

Barat. Sehingga dapat dipahami bahwa penindasan yang didapatkan oleh orang Yahudi di

Eropa adalah hasil dari kontradiksi dalam corak produksi kapitalisme.

Penindasan dan persekusi tersebut telah menimbulkan penderitaan bagi orang-orang

Yahudi di Eropa, terkhusus di bagian Timur. Maka masuk akal ketika mereka ingin keluar

dari lingkaran penindasan tersebut. Keinginan tersebutlah yang disebut sebagai psikologi

sosial—sebuah manifestasi atas pendapat, emosi, perasaan, suasana hati, tindakan sukarela,

dsb [ CITATION Dou99 \l 1033 ]. Namun, psikologi sosial tidak selalu memunculkan respon

yang tepat dalam mengakhiri penindasan. Inilah landasan untuk menjelaskan akar psikologis

kemunculan idelogi Zionism.

Ide gagasan Zionisme menyimpulkan bahwa orang Yahudi memang tidak dapat

hidup secara berdampingan dengan non-Yahudi. Gagasan seperti ini merupakan, seperti yang
disebutkan oleh Louise O’Shea [CITATION 2017 \n \t \l 1033 ] sebagai pendekatan Politik

Identitas dalam merespon penindasan. Persoalan dari pendekatan tersebut cenderung

mengedepankan pengalaman sebagai dasar untuk mencari solusi ketimbang menganalisa

secara integral perkembangan gerak sejarah manusia berdasarkan hubungan-hubungan

produksi yang muncul atas corak produksi dominan. Sifat yang dimunculkan dari ekspresi ini

sangatlah individualistik.

Respon kelompok Zionist berbeda dengan entitas Yahudi di luar mereka. Sebut saja

Bund—sebuah serikat pekerja Yahudi yang berada di Lituania, Polandia, dan Rusia. Lituania

dan Polandia merupakan bagian wilayah kekuasaan Raja Tsar Rusia. Seorang raja yang

sangat aktif mempersekusi penduduk Yahudi. Alih-alih mendukung, Bund justru menolak

pembangunan negara Yahudi dan menyebutnya sebagai respon pelarian dari penindasan

sistematis kapitalisme [ CITATION Abr48 \l 1033 ]. Penulis sepakat dengan dasar pemikiran

tersebut, penindasan yang diterima oleh penduduk Yahudi di Eropa merupakan bagian dari

konsekwensi praktik kapitalisme. Maka respon yang harus dilakukan justru bukan

memisahkan diri dari perjuangan kelas. Namun, Zionisme telah menjadi ideologi. Ide dan

gagasannya digerilyakan ke Eropa Barat untuk mendapatkan dukungan. Kemudian

membuahkan hasil dengan pemberian dukungan Inggris. Disamping karena nuansa anti-

Semitism juga merambah Eropa Barat, dukungan dari Inggris juga berlandaskan kepentingan

ekonomi-politik imperialisme Eropa.

Pertemuan Kepentingan Ideologi Reaksioner dan Imperialisme

Penemuan minyak di Iran oleh Inggris berujung pada kesadaran bahwa sejumlah

besar minyak bisa jadi terkumpul di gurun pasir Timur Tengah. Sebagian besar wilayah

tersebut dikuasai oleh Kekaisaran Ottoman Turki yang tengah bergejolak akibat kalah Perang

Dunia I (PD I). Pasca kekalahannya, Turki harus membayar dengan membagi kekuasaannya
kepada Inggris dan Perancis. Amerika, yang merasa memiliki andil positif bagi Inggris pada

PD I, akhirnya meminta konsesi kepada Inggris. Muncul lah konsorsium yang disebut sebagai

Iraq Petroleum Company. Sebuah perusahaan multinasional yang terdiri dari Exxon, Texaco,

Gulf, Chevron, dan Mobile milik AS, British Petroleum milik Inggris, dan Shell, perusahaan

gabungan antara Inggris dan Belanda [ CITATION Ant75 \l 1033 ]

Kesadaran Inggris atas pentingnya minyak baru muncul pasca Perang Dunia I. Pasca

perang, Inggris langsung berniat untuk mengganti seluruh bahan bakar armada perangnya

menggunakan minyak [ CITATION Kim17 \l 1033 ] . Bertemulah kepentingan Inggris dengan

kelompok etno-budaya Zionist yang saat itu dipimpin oleh Herzl. Gerakan ini, paham betul

kemana mereka seharusnya menggantungkan nasib untuk mengabulkan mimpinya

membentuk sebuah negara—yaitu negara imperial yang memiliki daerah-daerah koloni.

Selain memang, seiring munculnya Israel dalam peta perpolitikan global, minyak bukan

hanya untuk menyuapi negara penyokongnya. Namun juga sebagai penyokong vital ekonomi

Israel—sebagai sumber daya finansial eksternal, imigrasi dan alat perang [ CITATION Uri99 \l

1033 ].

Dalam perjalanannya, Israel menjadi negara kuat baru dalam peta perpolitikan dunia.

Realitas ini harus dipahami beriringan dengan pengakuan bahwa eksistensi mereka berada di

atas sokongan Amerika [ CITATION Jer20 \l 1033 ] dalam berbagai kondisii—perang ataupu

genjatan senjata dengan Hamas (Palestina). Bantuan ekonomi dari AS dan komunitas Yahudi

di luar Israel sangat menentukan dan strategis—ketika Israel dalam kondisi terancam,

bantuan dari negeri Paman Sam meningkat [ CITATION Pau11 \l 1033 ]. Mengapa AS selalu

menjadi sekutu loyal Israel?

Surat kabar Israel, Ha’aretz pada 30 September 1951, menuliskan poin penting

mengenai proyek strategis negara imperialis di Timur Tengah:


“Israel is to become the watchdog. There is no fear that Israel will undertake any

aggressive Policy towards the Arab states when this would explicitly contradict the

wishes of the US and Britain. But if for any reasons the Western powers should

sometimes prefer to close their eyes, Israel could be relied upon to punish one or

several neighbouring states whose discourtesy to the West went beyond the bounds

of the permissible.”

Dari pernyataan inilah, saya melihat pergeseran maksud dari proyek kolonialisme di

Palestina—tidak lagi menempatkan agenda pembebasan bangsa Yahudi dari penindasan anti-

Semitism. Namun berubah menjadi agenda Imperialisme untuk menguasai Timur Tengah

sehingga memudahkan negara-negara Imperialis mengamankan proyek-proyek multinasional

di daerah tersebut. Israel berperan melancarkan agenda-agenda ‘kotor’ yang tidak dapat

dilakukan oleh Amerika dan sekutu secara langsung karena berhubungan dengan nama baik

negaranya di mata dunia.

Anti-Imperialisme untuk Pembebasan Palestina

Kolonialisme imperial negara Dunia Pertama berakhir dengan menghasilkan

Amerika dan sekutu sebagai pemenang. Penyerahan Palestina ke Liga Bangsa-Bangsa oleh

Inggris dan berpindah ke tangan Israel. Penurunan eskalasi Perang Vietnam. Dilanjutkan

dengan keberhasilan AS melakukan pengkonsolidasian rezim militer di Indonesia, Chile,

Kongo, Brazil, dan Argentina. Berlanjut dengan penundukkan paksa sipil Palestina, kenaikan

Sadat di Mesir, telah memberikan angin segar bagi imperialisme untuk melebarkan sayapnya

dalam menerapkan kebijakan ‘globalisasi’ di Dunia Ketiga [ CITATION Sam19 \l 1033 ].

Penundukan model seperti ini, dalam literatur-literatur postcolonialism disebut dengan

neokolonialisme. Rekaman peristiwa tersebut juga telah membuat perjuangan massa anti

imperialisme di seluruh dunia ter-demoralisasi [ CITATION Sam19 \l 1033 ].


Ini ditambah kenyataan bahwa Amerika dan sekutu semakin kuat pasca kekalahan

Uni Soviet dalam Perang Dingin (perang ideologis). Kekalahan Soviet secara tidak langsung

juga berimplikasi pada massifnya gelombang perpindahan para penduduk Yahudi di Eropa

Timur ke Israel. Walaupun semenjak Stalin berkuasa, Soviet telah memberlakukan kebijakan-

kebijakan yang memperenggang hubungan baik dengan orang-orang Yahudi. Peristiwa ini

harus dimaknai sebagai celah penguatan hegemoni ideologi Zionisme dapat memberikan

jaminan hidup lebih baik daripada program sosialisme Eropa Timur bagi penduduk Yahudi di

Eropa dengan menjanjikan sumber daya tak terbatas dari negara-negara dan perusahaan

multinasional penyokong. Semakin banyak orang yang datang, semakin ‘ilmiah’ landasan

membutuhkan lahan lebih. Maka semakin massif pengusiran dan pembunuhan penduduk

Arab-Palestina.

Namun, penyerangan membabi buta tentara Israel selama 11 hari terhadap Hamas

dan sipil Palestina telah memberikan pelajaran penting bahwa program Barat (imperialisme)

dan retorikanya, tidak memiliki kepentingan untuk membantu dekolonisasi Palestina. Realitas

ini semakin tragis untuk dihadapi ketika negara-negara Arab mulai melakukan normalisasi

hubungannya dengan Israel dan meneruskan akrtivitas jual beli senjata dengan Amerika.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia tidak hanya terbagi menjadi negara-negara

penindas dan tertindas. Tetapi imperialis juga memiliki kepanjangan tangan di negara-negara

Dunia Ketiga. Realitas ini membuat kita semua dipaksa untuk beranjak dari pengharapan atas

penyelesaian dekolonisasi Palestina menggunakan hubungan diplomatik birokratis antar

negara sebagai tumpuan utama. Tetapi bertumpu pada solidaritas internasional. Solidaritas

internasional ini harus bertumpu pada kelas buruh.

Pemogokan Umum Sebagai Solusi Pembebasan


Mengapa kelas buruh harus mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa

Palestina? Imperialisme secara khusus dipupuk oleh sistem penanaman modal di negara

dunia ketiga. Ia bermakna tidak lebih daripada mempergemuk kekayaan para borjuasi di

negara-negara dunia pertama. Dua kalimat pernyataan inilah yang harus dipahami dalam

penjelasan panjang penulis. Maka dari itu, justru buruh yang memiliki posisi strategis dalam

menghentikan perang dan mendorong pengakuan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa

Palestina sebagai negara berdaulat. Buruh secara alamiah dalam relasi produksi kapitalisme

tidak memiliki kepentingan untuk mengakumulasi modal. Akumulasi modal kapitalisme,

pada tahapan tertentu membutuhkan perang. Selain karena industri persenjataan diuntungkan,

perang harus dijalankan sebagai kebijakan negara-negara imperialis karena harus menghadapi

kekuatan yang menghambat proses penanaman akumulasi modal. Inilahlah esensi sebenarnya

dari maksud terus menerus negara-negara imperialis terlibat dalam, baik secara langsung

ataupun mensponsori peperangan di Timur Tengah. Tak terkecuali seperti yang baru-baru

terjadi di Palestina.

Dorongan untuk mengakhiri perang dan memberikan hak kemerdekaan bagi

Palestina harus dilakukan dengan pemogokan umum di berbagai negara. Pemogokan umum

memiliki esensi penghentian proses produksi untuk menghambat sirkulasi kapital dalam

dunia industri. Buruh-buruh di negara imperialis seperti Amerika, Inggris, dan Australia

harus melancarkan tindakan tersebut atas dasar solidaritas internasional di tengah tidak

adanya kemauan para pemimpin pemerintahan mereka memutus hubungan diplomatik

dengan Israel.

Pemogokan seperti ini telah dilakukan oleh buruh pelabuhan di Livorno, Italia dalam

menolak bongkar muat alat perang yang diangkut oleh Asiatic Island menuju Israel saat

perang Israel-Palestina berlangsung. Namun berhasil dibongkar di pelabuhan lainnya, Naplas

[ CITATION Jul21 \l 1033 ] . Praktik pemogokan seperti ini juga pernah dilakukan oleh buruh
pelabuhan Pearl Harbour di Australia ketika mereka menolak bongkar muat persenjataan

Belanda dalam Agresi Militer tahun 1946. Membuat tentara Belanda kekurangan pasokan

senjata dalam peperangan melawan tentara dan sipil Indonesia. Metode ini harus diikuti oleh

buruh-buruh di sektor produksi dan negara-negara lainnya untuk mendorong terealisasinya

pemberian hak penentuan nasib sendiri bagi Bangsa Palestina.

Bibliography
Almog, S. (1990). Nationalism & Anti-Semitism in Modern Europe 1815–1945. Oxford: Pergamon.

Bialer, U. (1999). Oil and the Arab-Israel Conflict, 1948-63. New York: St. Martin's Press.

Bullimore, K. (2017). The Balfour Declaration: a century of colonisation and resistance. Socialist
Alternative Australia.

Fein, H. (1987). Explanations of the Origin and Evolution of Anti-Semitism. The Persisting Question:
Sociological Perspectives and Social Contexts of Modern Anti-Semitism.

Julio, A. (2021). Buruh Pelabuhan Italia Menolak Memuat Pengiriman Senjata ke Israel.
kontekstual.com.

King, S. T. (2019). Lenin's Theory of Imperialism Today: The Global Devide between Monopolu and
Non-Monopoly Capital . PhD thesis, Victoria University.

Lindemann, A. S. (1991). The Jew Accused: Three Anti-Semitic Affairs (Dreyfus, Beilis, Frank) 1894–
1915. Cambridge: Cambridge University Press.

Lindemann, A. S. (1997). Esau’s Tears: Modern Anti-Semitism and the Rise of the Jews. Cambridge
and New York: Cambridge University Press.

Lorimer, D. (1999). Fundamentals of Historical Materialism: The Marxist View of History and Politics.
Resistance Book.

Menes, A. (1948). The Jewish Socialist Movement in Russia and Poland.


https://www.marxists.org/subject/jewish/socialism-russia.pdf.

O'Shea, L. (2017, July 06). The problem with the identity politics.

Oxfam. (2021). After the bombing, Gaza struggles to restart power, water, hospitals, markets and
fishing for its 2.1m people. Oxfam.

Rivlin, P. (2011). The Israeli Economy from the Fondation of the State through the 21st Century. New
York: Cambridge University Press.

Samson, A. (1975). The Seven SIsters: The Great Oil Companies & The World They Shaped. New York:
Viking Press.

Sharp, J. M. (2020). U.S. Foreign Aid to Israel. Congressional Research Service.

William I. Brustein dan Ryan D. King. (2004). Anti-Semitism in Europe Before the Holocaust.
International Political Science Review (2004), Vol 25, No. 1, 35–53, 36-37.
Wolfe, P. (2016). Traces of history: elementary structures of race. Verso Books.
i
Lihat Ernest Mandel, The Meaning of the Second World War, Verso: London, 1986, hlm. 151. Pasca PD II
berakhir, pembagian daerah-daerah koloni negara Imperialis berubah. Sebagian lepas karena pengaruh nasionalisme
Uni Soviet yang anti terhadap imperialisme begitu kuat di daerah-daerah yang saat ini disebut sebagai ‘Third World
Country’. PD II telah memaksa Inggris mengeluarkan ongkos perang yang tinggi untuk tentara dan persenjataan
mereka. Di sisi yang lain biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus negara-negara koloni sangatlah besar menyusul
eskalasi perlawanan sipil daerah koloni meningkat. Sehingga harus memberikan sebagian daerah koloninya termasuk
daratan Palestina kepada sekutu menggunakan proyek dekolonisasi PBB sebagai agenda terselubung.

Anda mungkin juga menyukai