Anda di halaman 1dari 7

DEKONTRUKSI TOKOH MABELLO SEBAGAI TO MANURUNG

DALAM NOVEL “LONTARA” KARYA WINDY JOANA: KAJIAN POST


MODERNISME JACQUES DERIDDA
Rani Adriani
Universitas Negeri Makassar, Indonesia
(Email: raniadriani1274@gmail.com)

ABSTRACT

This research discusses the history of To Manurung as written in the epic La Galigo which
was then deconstructed into the novel Lontara by Windy Joana. The method used in analyzing
this journal is qualitative with a literature study approach. The problem formulation in this
journal is to find the author's construction in the Lontara Novel with the original history written
in the La Galigo manuscript. This journal aims to determine changes in the history of To
Manurung as constructed by the author in the novel. The resulting conclusion is the
deconstruction of Mabello's character as To Manurung who was sent down to Wajo, To
Manurung was sent to a land that did not experience division, and La Galigo who wrote on palm
leaves.

Keywords: deconstruction, history, novel.

Abstrak
Penelitian ini membahas tentang sejarah To manurung yang tertulis dalam epos
La Galigo yang kemudian di dekontruki ke dalam novel Lontara karya Windy
Joana. Metode yang digunakan dalam menganalisis jurnal ini adalah kualitatif
dengan pendekatan Studi Pustaka. Rumusan masalah dalam jurnal ini adalah
untuk menemukan kontruksi pengarang yang ada dalam Novel Lontara dengan
Sejarah asli yang tertulis dalam naskah La Galigo. Jurnal ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan sejarah To manurung yang di kontruksi oleh penulis
dalan Novel. Kesimpulan yang dihasilkan adalah dekontruksi tokoh Mabello
sebagai To manurung yang di turunkan di wajo, diutusnya To manurug di tanah
yang tidak mengalami perpecahan, dan La Galigo yang menulis di daun lontar.

Kata kunci: dekontruksi, sejarah, novel.

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman, sastra juga berkembang dengan berbagai


teori dan genre di tiap zamannya. Di zaman sekarang karya sastra seperti novel
sudah berkembang dengan genre yang bermacam-macam. Salah satu genre
novel yang memiliki banyak peminat adalah genre sejarah fiksi yaitu sebuah
cerita yang memuat sejarah kemudian di rangkai ulang dengan imajinasi
penulisnya. Novel sejarah fiksi terdiri dari jalan cerita yang di susun berdasarkan
dunia nyata, penggambaran perasaan dan pemikiran tokohnya di gambarkan
secara mendalam, pengembangan karakter di dalam cerita tidak lengkap, dan
penggambaran cerita berdasarkan oleh pandangan pengarang.

Novel Lontara karya Windy Joana merupakan salah satu karya sastra dengan
genre fiksi sejarah bugis-makassar yaitu To Manurung. Istilah to manurung
dikenali pertama kali dalam epos La galigo yang menceritakan mitos to manurung
sebagai sesuatu yang diturunkan Dewata Usewa’E ke tanah bugis untuk
memimpin tanah tersebut dan sebagai solusi kekacauan. Sejarah To manurung di
ceritakan dalam epos la Galigo. Naskah La Galigo merupakan salah satu karya
sastra terbesar di dunia yang di transkripkan dan telah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia. Naskah bugis tesebut berada di Perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda. (Enre dkk, 2017: 1)

Dekonstruksi yang dikemukakan oleh Derrida, adalah bagian dari teori post
modernisme. Dekonstruksi adalah cara berpikir yang menentang gagasan umum
dengan kuat. Pembacaan dekonstruksi berfokus pada apa yang terjadi di dalam
bahasa dan teksualitas yang memungkinkan penciptaan gagasan baru dengan
menolak dan memperluas gagasan umum (Setyawati, 2020: 2). Teori dekontruksi
Derrida merupakan hasil pengaruh dari pemikiran Saussure dan kaum
Strukturaslisme Saussure memandang bahasa sebagai sesuatu yang berpusat
oleh sang pencipta atau pengarangnya, namun pemikiran inilah yang kemudian
di tentang oleh Derrida. Dari pendapat yang dikemukakan oleh Haryatmoko
(dalam Ilham, 2022: 153) dekontruksi bertujuan untuk membuka sebuah peluang
baru terhadap sebuah pemikiran yang sebelumnya dianggap tidak mungkin.
Rumusan masalah yang akan di analisis dalam jurnal ini adalah menemukan
bentuk-bentuk dekontruksi yang ada dalam novel Lontara sebagai perubahan
dari epos La Galigo. Tujuan jurnal ini ialah untuk menemukan dekontruksi epos
La Galigo oleh pengarang ke dalam novel Lontara. Perubahan-perubahan dan
pemikiran yang dianggap mustahil yang tak pernah ada sebelumnya
berdasarkan kajian dekontruksi menjadi acuan dalam mengkaji karakter To
manurung dan Sejarah yang tertuang dalam epos La Galigo dengan cerita yang
ada di novel Lontara karya Windy joana.

METODE PENELITIAN

Penelitian kualitatif digunakan dalam mengkaji jurnal ini, dengan pendekatan


studi kasus untuk menentukan kontruksi pada karakter To manurung dalam
Novel Lontara. Sumber data yang digunakan adalah jurnal, buku, dan naskab
epos La Galigo yang terdapat dalam penelitian-penelitian yang relevan. Sumber
data yang lainnya adalah novel Lontara karya Windy Joana

PEMBAHASAN

A. Sejarah To Manurung dalam epos La galigo

Dalam penelitian Jufri (2017: 122) permulaan dari To manurung adalah


diturunkannya anak sulung To Palanroe yaitu La Toge Langi atau Batara Guru
untuk menanamkan tunas di bumi dengan membangun kedatuan seperti yang
ada di kekuasaan dunia atas. Selama periode Batara Guru, perkembangan
berbagai kegiatan untuk meluaskan kekuasaan To Palanroe di realisasikan
dengan menyebarkan ideologinya kepada masyarakat umum. Batara Guru
dengan seli-selirnya kemudian melahirkan putra-putri manurunge yang menjadi
keturunan datu luwu.

Dari perkawinan Batara Guru dengan We Nyiliq Timoq, lahirlah seorang putra
bernama Batara Lattu. Pernikahan dari Batara Lattu dan We Opu Senggeng
kemudian melahirkan Sawerigading yang dikenal sebagai culture hero dalam
sejarah Bugis. Sawerigading kemudian kawin ke cina, dengan seorang putri
bernama We Cudai dan dari pernikahan tersebut kemudian lahirlah seorang
Putera bernama La Galigo yang menjadi cikal bakal raja di Luwu dan di Cina.
(Akmad, 2018: 232 )
Dalam mitos Sejarah, to manurung juga diturunkan di beberapa wilayah selain
luwu, seperti di Sinjai dengan gelar Manurung Karampulu’e, Bone dengan gelar
To-Manurung Matasilompo’e, Soppeng dengan gelar Manurungnge Ri
Sekkanyili dengan nama Raja yaitu Latemmamala. Tujuan diutus to manurung
adalah untuk menjalankan mandat dewata dengan mendamaikan pertikaian dan
memimpin wanua atau wilayah tersebut.

B. To manurung dalam Novel Lontara Karya Windy Joana.


1. Dekontruksi: Mabello sebagai tokoh To manurung di wajo

Dalam novel Lontara karya Windy Joana, tokoh Mabello di jelaskan sebagai To
Manurung yang di turunkan di tanah Wajo pada pemerintahan Puange ri
Ampulung. Puang ri Ampulung merupakan raja yang memimpin pada zaman
ketika tanah Wajo masih dinamakan dengan Ri Ampulung yang berasal dari
nama danau yang saat itu menjadi rebutan pemimpin dari empat wanua, yaitu
danau ri ampulung.

Lalu mereka mendapati To manurung duduk di atas batu lappae (batu


lebar) dengan berpakaian serba kuning, bersama tiga abdinya, seorang di
antaranya memayungi dengan payung kuning, seorang lagi
mengipasinya dan seorang lagi memegang tempat sirih-pinang, dari
logam berupa kotak.

Orang-orang di sana seketika berlutut menyadari ada kekuatan maha


besar baru saja turun dari langit, perempuan elok rupanya, tidak pernah
ada manusia di tanah itu yang seindah dia- perempuan yang duduk
tenang tidak membuka matanya di atas batu besar itu. (Lontara : hal 18)

dalam narasi tersebut, to manurung di turunkan di atas batu dengan di saksikan


o;leh masyarakat Wajo dan empat penjaga Raja yaitu Makkarasseng, Pallawa
Rukka, Tamparang, dan Labbiri. Penulis menata ulang penggambaran Sejarah
dengan menuliskan tokoh Mabello sebagai To manurung di Wajo, yang tidak
tercatat dalam Sejarah.
2. Dekontruksi: To manurung di tolak memimpin wanua Ri ampulung

Dalam novel tersebut setelah kedatangan To manurung di Ri Ampulung,


manusia suci kiriman dewata itu tidak terima dengan baik oleh penjaga Puang
Ri ampulung terutama Makkarasseng yang menolak dengan tegas kehadiran To
manurung yang di perintahkan untuk menjadi pemimpin baru Ri ampulung.
Mabello diperlakukan baik namun hanya dikurung di Saoraja tanpa di izinkan
untuk bertemu Syailendra; puang ri ampulung.

“Aku tidak mau mendengar kabar to manurung turun ke tanah


riampulung bagaimana pun itu. Kalau sampai ada yang tahu kabar ini di
luar wanua maka akan kucari dan kutenggelamkan sendiri kalian ke
danau itu!"

Keempat kaki tangan Puang Ri Ampulung memberi penolakan keras,


mereka abdi yang terlewat patuh pada sang raja dan pemimpin hingga
langit sekalipun tidak akan menggoyahkannya. Lagi pula untuk apa to
manurung diturunkan? Tidak ada konflik di sini, semuanya damai, to
manurung bagi mereka hanya akan merusak tatanan yang susah payah
dibagun sejak awal mula. (Lontara: 20)

Teks tersebut menggambarkan bahwa meskipun Mabello merupakan sosok


yang di kirim Dewata namun tidak membuktikan bahwa ia di terima baik seperti
Manurung di wilayah lain. Sosok mabello kemudian di sembunyikan dan tidak
di beritakan kepada dunia. Karena kekuasaan Puang ri ampulung yang baik dan
tidak terjadi pertikaian apapun, membuat kehadiran To manurung dinilai
sebagai pandangan Dewata bahwa Puang Ri ampulung tidak cukup baik
memimpin selama ini. Dalam penceritaan mitos To manurung biasanya di
turunkan untuk menjalankan tugas untuk memimpin atau menyatukan
masyarakat di tanah itu, namun dalam penggambaran Mabello sebagai To
Manurung, ia di turunkan di tengah kondisi masyarakat yang dipimpin dengan
baik tanpa adanya pertikaian.
3. Dekontruksi: La Galigo yang menulis di daun lontar

Berkat ide Mabello yaitu menulis di atas daun lontara dan


menyebarkannya membuat nama La Galigo menyebar, bukan
hanya ta tentang ayahnya yang banyak dia tulis kisahnya
melainkan juga tentang tanah Riampulung, pemimpin dan to
manurung yang pernah kerajaan lain tahu kalau dia
diturunkan di sana. (Lontara: 233)

Dalam penggalan tersebut di jelaskan tulisan La Galigo mendapatkan ide dari


Mabello untuk menuliskan kisah mereka di atas daun lontar memggunakan
bahasa Lontara.

Dalam novel tersebut Sejarah To manurung di ceritakan ulang dengan


pemikiran pengarangnya yang telah dikontruksikan kedalam cerita romansa-
tragedi yang kemudian mengalami pengulangan kisah dengan reinkarnasi di
masa depan.

KESIMPULAN

Dekontruksi yang ada dalam novel Lontara karya Windy Joana antara lain:
Penggambaran Mabello sebagai To Manurung di Wajo merupakan
pembacaan ulang sejarah yang tidak tercatat, menampilkan tokoh yang tidak
ada dalam catatan sejarah resmi. Ini memberikan dimensi baru pada cerita
dengan menempatkan To Manurung dalam konteks yang tidak
menghadirkan konflik. Meskipun Mabello dianggap sosok suci, penerimaan
masyarakat terhadapnya di Ri Ampulung berbeda. Penolakan keras terhadap
kepemimpinannya menunjukkan bahwa keberadaannya tidak dibutuhkan
karena tidak ada konflik yang memerlukan penyelesaian. Kontribusi Mabello
dengan menulis kisah di atas daun lontar memunculkan nama La Galigo dan
menyebarkan cerita, tidak hanya tentang ayahnya tetapi juga mengenai Ri
Ampulung, pemimpinannya, dan To Manurung di sana, yang tidak
diketahui kerajaan lain.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, Idris, U., Siregar, L (2018). Mitos Sawerigading dalam Epos Lagaligo: Suatu
Analisis Struktural. ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia, 3(2), 224-249.
Ambo, F. E., et al. (2017). La Galigo: Menurut Naskah NBG 188, Jilid 1. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Ilham. Adi, M. A., Syafri, M. B. (2022). Dekontruksi Konsep Kepemimpinan Karaeng
Pattingalloang dalam Drama Karaeng Pattingalloang Karya Fahmih Syarif. Jurnal
Ilmu Budaya, 10(1). 151-162.
Joana, W. (2023). Lontara. Jawa Barat: Lovrinz Publishing.
Jufri. (2017). Struktur Super Dalam Wacana La Galigo.
Setyawati, I. (2020). Dekonstruksi Tokoh dalam Novel Sitayana Karya Cok Sawitri (Kajian
Dekonstruksi Jacques Derrida). Bapala, 7(2), 1-12.

Anda mungkin juga menyukai