Anda di halaman 1dari 40

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kota Palangka Raya

1. Sejarah Terbentuknya Kota Palangka Raya

Bermula dari sebuah desa yang bernama Pahandut, akhirnya dalam perkembangannya

dikenal sebagai kota Palangka Raya. Sejarah pembentukan Kota Palangka Raya merupakan

bagian integral dari pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang

Darurat Nomor 10 Tahun 1957, Lembaran Negara Nomor 53 berikut penjelasannya

(Tambahan Lembaran Negara Nomor 1284) berlaku mulai tanggal 23 Mei 1957, yang

selanjutnya disebut Undang-Undang pembentukan Daerah Swantantra Provinsi Kalimantan

Tengah.1

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958, Parlemen Republik Indonesia

tanggal 11 Mei 1959 mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, yang menetapkan

pembagian Provinsi Kalimantan Tengah dalam 5 (lima) Kabupaten dan Palangka Raya

sebagai Ibukotanya. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 dan Surat

Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1959 Nomor:

Des.52/12/2206, maka ditetapkanlah pemindahan tempat dan kedudukan Pemerintahan Daerah

Kalimantan dari Banjarmasin ke Palangka Raya terhitung tanggal 20 Desember 1959.2

Selanjutnya, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara bertahap

mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya, antara lain

1
Frofil Kota Palangka Raya, Edisi Juni 2015, 5.
2
Ibid, 5.

18
mempersiapkan Kotapraja Palangka Raya. Kahayan Tengah ini dipimpin oleh Asisten

Wedana, yang pada waktu itu dijabat oleh J.M. Nahan.

Peningkatan secara bertahap Kecamatan Kahayan Tengah tersebut, lebih nyata lagi

setelah dilantiknya Bapak Tjilik Riwut sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan

Tengah pada tanggal 23 Desember 1959 oleh Menteri Dalam Negeri, dan Kecamatan Kahayan

Tengah di Pahandut dipindahkan ke Bukit Rawi. Pada tangal 11 Mei 1960 dibentuk pula

Kecamatan Palangka Khusus persiapan Kotapraja Palangka Raya, yang dipimpin oleh J.M.

Nahan. Selanjutnya sejak tanggal 20 Juni 1962 Kecamatan Palangka khusus persiapan

Kotapraja Palangka Raya dipimpin oleh W. Coendrat dengan sebutan Kepala Pemerintahan

Kotapraja Administratif Palangka Raya. Perubahan, peningkatan dan pembentukan yang

dilaksanakan untuk kelengkapan Kotapraja Administratif Palangka Raya dengan membentuk 3

(tiga) Kecamatan yaitu:3

1. Kecamatan Palangka di Pahandut.

2. Kecamatan Bukit Batu di Tangkiling.

3. Kecamatan Petuk Katimpun di Marang Ngandurung Langit.

Kemudian pada awal tahun 1964, Kecamatan Palangka di Pahandut dipecah menjadi 2

(dua) Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Pahandut di Pahandut.

2. Kecamatan Palangka di Palangka Raya.

3
Ibid, 6.

19
Sehingga Kotapraja Administratif Palangka Raya telah mempunyai 4 (empat)

Kecamatan dan 17 (tujuh belas) kampung, yang berarti ketentuan-ketentuan dan persyaratan-

persyaratan untuk menjadi 1 (satu) Kotapraja yang otonom sudah dapat dipenuhi serta dengan

disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965, Lembaran Negara Nomor 48 Tahun 1965

tanggal 12 Juni 1965 yang menetapkan Kotapraja Administratif Palangka Raya, maka

terbentuklah Kotapraja yang otonom. Peresmian Kotapraja Paangka Raya menjadi Kotapraja

yang otonom dihadiri oleh Ketua Komisi B DPRGR, Bapak L. S. Handoko Widjoyo, Deputi

antar daerah Kalimantan Brigadir Jendral TNI M. Panggabean para anggota DPRGR, pejabat-

pejabat Departemen Dalam Negeri, Dayahdak II Kalimantan utusan-utusan Pemerintahan

Daerah Kalimantan Selatan dan beberapa pejabat tinggi Kalimantan lainnya.4

Upacara peresmian berlangsung di Lapangan Bukit Ngalangkang Halaman Balaikota

dan sebagai catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan sebelum upacara peresmian

dilangsungnya pada pukul 08:00 pagi, diadakan demontrasi Penerjunan Payung dengan

membawa Lambang Kotapraja Palangka Raya. Selanjutnya Lambang Kotapraja Palangka

Raya dibawa parade jalan kaki oleh para penerjun payung ke Lapangan upacara.

Pada hari itu, dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia,

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Bapak Tjilik Riwut ditunjuk selaku

penguasa Kotapraja Palangka Raya. Dan oleh Menteri Dalam Negeri diserahkan Lambang

Kotapraja. Pada upacara peresmian Kotapraja Otonom Palangka Raya tanggal 17 Juni 1965

itu, penguasa Kotapraja Palangka Raya, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan

Tengah menyerahkan Anak Kunci Emas (seberat 170 gram) melalui Menteri Dalam Negeri

4
Ibid, 6.

20
kepada Presiden Republik Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan pembukaan selubung

papan nama Kantor Walikota Kepala Daerah Kotapraja Palangka Raya.5

Pada tahun 2015 ini, Kota Palangka Raya dipimpin oleh Walikota H.M. Riban Satia,

S.Sos (periode 22 September 2008 - sekarang) dan wakil Walikota Mofit Saptono (periode 23

September 2013 - sekarang). Secara umum Kota Palagka Raya dapat dilihat sebagai sebuah

kota yang memiliki tiga wilayah yakni wajah perkotaan, pedesaan dan wajah hutan.

2. Letak Geografis

Kota Palangka Raya yang dikenal dengan sebutan “Kota Pasir” terletak di antara

113°30’ - 114°07’ Bujur Timur dan 1°35’ - 2°24’ Lintang Selatan, dengan batas-batas sebagai

berikut:6

 Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas

 Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau

 Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau

 Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Katingan

Dengan luas wilayah sebesar 2.678,51 km², secara administratif Kota Palangka Raya

terbagi atas 5 Kecamatan dan 30 Kelurahan. Kelima Kecamatan tersebut adalah Kecamatan

Pahandut dengan luas 117.25 km², Kecamatan Bukit Batu dengan luas 572,00 km², Kecamatan

Jekan Raya dengan luas 352,62 km², Kecamatan Sebangau dengan luas 583,50 km², dan

Kecamatan Rakumpit dengan luas 1.053,14 km².

5
Ibid, 7.
6
Ibid, 7.

21
Rakumpit merupakan kecamatan terbesar dengan luas wilayah 1.053,14 km² atau 39,32

persen dari luas Kota Palangka Raya, sedangkan Kecamatan Pahandut merupakan Kecamatan

dengan luas wilayah terkecil yaitu 117.25 km² atau 4,38 persen dari luas Kota Palangka Raya,

dengan topografi terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40

persen.

Gambar I: Peta Wilayah Kota Palangka Raya berdasarkan Kecamatan

2. 1 Geografis Kecamatan Jekan raya

Kecamatan Jekan raya merupakan salah satu dari 5 (lima) kecamatan yang ada di kota

Palangka Raya Provinsi Kalimantan tengah, juga sekaligus Ibukota Provinsi Kalimantan

tengah yang merupakan pusat pengendalian kegiatan pemerintahan, pembangunan,

perekonomian, dan kemasyarakatan dengan luas wilayah 35.262 km yang terbagi ke dalam 4

22
(empat) wilayah kelurahan yaitu kelurahan Palangka, kelurahan Bukit Tunggal, kelurahan

Mentang, dan kelurahan Petuk Katimpun, dengan luas masing-masing wilayah sebagai

berikut:7

1. Kelurahan Palangka : 2. 475 km

2. Kelurahan Bukit Tunggal : 23.712 km

3. Kelurahan Menteng : 3.100 km

4. Kelurahan Petuk Katimpun : 5.975 km

Batas-batas wilayah sebagai berikut:

1). Sebelah Utara : Berbatasan dengan Bukit Rawi/Kabupaten Gunung Mas

2). Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Tumbang Rungan Kec.

Pahandut

3). Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kotawaringin Timur

4). Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Kereng Bangkirai, Kec.

Sabangau

Kecamatan Jekan Raya dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No 32 Tahun 2002

tentang pembentukan, pemecahan dan penggabungan kecamantan dan kelurahan. Kecamatan

Jekan Raya diresmikan pada tanggal 19 November 2002. Pemerintahan di Kecamatan Jekan

Raya sebagai pelaksana umum yang dibawahi 4 (empat) kelurahan dipimpin oleh camat yang

7
Keputusan Walikota Palangka “Penetapan Tabal Batas dan Luas Wilayah Kecamatan dan Kelurahan
Se Kota Palangkaraya”, 2004, 5.

23
mempunyai kedudukan sebagai perangkat wilayah yang memimpin penyelenggaraan

pemerintahan di tingkat kecamatan, dan bertanggung jawab kepada walikota

2. 2 Geografis Kecamatan Pahandut

Kecamatan Pahandut adalah salah satu diantara 5 (lima) Kecamatan yang ada di Kota

Palangka Raya dengan luas wilayah 117.25 km dengan topografi terdiri dari tanah datar,

berawa-rawa, dan dilintasi oleh sungai Kahayan.

Batas-batas wilayah sebagai berikut:8

1). Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kec. Kahayan Tengah

2). Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kec. Sabangau

3). Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kec. Sabangau

4). Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kec. Jekan Raya

Pemerintahan Kota Palangka Raya sebelumnya terdiri dari 2 (dua) Kecamatan, 21 (dua

puluh satu) kelurahan. Pada tahun 2002 dimekarkan menjadi 5 (lima) kecamatan dan 30 (tiga

puluh) kelurahan sementara itu di Kecamatan Pahandut yang sebelumnya terdiri dari 1 (satu)

kecamatan dan 11 (sebelas) kelurahan, dalam rangka mempercepat pelayan kepada

masyarakat, maka pada tahun 2002 dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan, 16 (enam belas)

kelurahan, dan kecamatan Pahandut terdiri dari 6 (enam) kelurahan yaitu:

1. Kelurahan Pahandut (lama)

2. Kelurahan Panarung (lama)

8
Ibid, 1.

24
3. Kelurahan Langkai (lama)

4. Kelurahan Tumbang Rungan (lama)

5. Kelurahan Pahandut Seberang (lama)

6. Kelurahan Tanjung Pinang (baru)

Pemerintahan di kecamatan Pahandut sebagai pelaksana pemerintah umumnya yang

membawahi 6 (enam) kelurahan, dalam melaksanakan tugasnya Camat mempunyai

kedudukan sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan di

Tingkat Kecamatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota.

3. Gambaran Perekonomian Kota Palangka Raya

3. 1 Struktur Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan untuk menggambarkan

pertumbuhan ekonomi suatu daerah/wilayah pada periode waktu tertentu, juga dapat dijadikan

sebagai barometer penting dalam mengukur hasil-hasil pembangunan yang telah dilakukan.

PDRD adalah jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit

produksi di dalam suatu daerah atau wilayah dalam jangka waktu tertentu ( satu tahun).

3. 2 Sumber Daya Alam (SDA)

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan

untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik berupa komponen biotik (hewan dan

tumbuhan) maupun abiotic (minyak bumi, gas alam, logam, air, dan tanah). Potensi sumber

daya alam (SDA) berupa mineral yang terdapat di Kota Palangka Raya diantaranya adalah

25
Pasir Kuarsa, Kaolin, Emas, dan Batu Bara. Pasir Kuarsa dan Kaolin banyak tersebar di

Kecamatan Rakumpit.9

3. 3 Potensi Wisata

Salah satu visi Kota Palangka Raya adalah ingin mewujudkan Kota Palangka Raya

sebagai salah satu kota tujuan wisata di Indonesia. Untuk itu Pemerintah Kota Palangka Raya

saat ini terus berupaya untuk mengembangkan sektor pariwisata di Kota Palangka Raya

dengan melakukan berbagai perbaikan dan pembedahan baik terhadap instrukturnya, tata

pengelolaan, dan ragam/jenisnya. Kota Palangka Raya memiliki cukup banyak daerah tujuan

wisata yang cukup menarik, diantaranya adalah Taman Alam Bukit Tangkiling, Danau dan

Hutan Penelitian Nyaru Menteng, Kawasan Rehabilitasi Orang Utan Nyarung Menteng dan

Pulau Kuja, Taman Nasional Sabangau, Batu Banama, Taman Fantasi “Pantai Gaul”, Kum-

Kum, Monumen Tugu Soekarno, Sandung Nga Sukah, maupun Museum Balanga.10

Selain itu guna menarik lebih banyak wisatawan, Pemerintah Kota Palangka Raya

setiap tahun bertepatan perayaan hari jadi Kota Palangka Raya, menyelenggarakan Festival

Budaya Isen Mulang (FBIM). Festival seni dan budaya tahunan ini dilaksanakan sebagai

wujud apresiasi pemerintah dan masyarakat Kota Palangka Raya atas peninggalan adat istiadat

leluhur. Dalam festival ini ditampilkan berbagai perlombaan tradisional seperti Tari

Tradisional, Karungut, Malamang, Mangenta, Masakan Tradisional, Melukis Ornamen Dayak,

maupun Seni bela diri Lawang.11

9
Frofil Kota Palangka Raya, Edisi Juni 2015, 14.
10
Ibid, 18.
11
Ibid, 19.

26
3. 4 Sosial Budaya

Pengertian sosial budaya bila dilihat dari segi istilahnya, dapat diartikan sebagai segala

hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya dalam kehidupan

bermasyarakat. Terciptanya sosial budaya dalam masyarakat merupakan hasil dari interaksi

antara manusia dengan alam sekitarnya. Dari interaksi tersebut, terciptalah kebiasaan/tata nilai

(umumnya diturunkan secara dinamis dari leluhur) yang berlaku dengan kehidupan

bermasyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kondisi sosial budaya ini akan terus menerus

berkembang secara dinamis sering dengan perubahan kondisi sosial dan kondisi

alam/lingkungan sekitar.12

Penduduk Kota Palangka Raya terdiri dari beragam etnis, budaya dan agama, dengan

filosofi “Huma Betang” (Rumah Besar), yang secara ringkas dapat diartikan sebagai

kebersamaan dalam perbedaan (Togetherness in Diversity), warga masyarakat Kota Palangka

Raya dapat selalu menjaga keharmonisan dengan cara saling menghormati dan sikap toleransi.

Dengan berbekal falsafah budaya Betang ini, Kota Palangka Raya siap membangun dirinya

menjadi sebuah komunitas (Rumah Besar/Huma Betang) yang maju/modern tanpa mesti harus

kehilangan identitasnya.13

3. 5 Jumlah Penduduk

No Kelompok Pahandut Jekan Raya


Pendidikan L P L+P L P L+P
1 Tidak/Belum Sekolah 12,138 11,492 23,630 17,142 16,351 33,493
2 Tdk Tamat SD/Sederajat 7,805 7,919 15,724 11,388 11,057 22,445
3 Tamat SD 10,835 11,600 22,435 9,836 10,965 20,801
4 Tamat SLTP 10,975 10,666 21,641 13,734 13,650 27,384

12
Ibid, 19.
13
Ibid, 19.

27
5 Tamat SLTA 18,804 15,841 34,645 33,700 28,306 62,006
6 Diploma I/II 578 945 1,523 1,213 2,156 3,369
7 Diploma III 1,093 1,272 2,365 2,476 3,098 5,574
8 Diploma IV/Strata I 4,824 4,191 9,015 11,393 10,264 21,657
9 Strata II 504 313 817 1,447 887 2,334
10 Strata III 34 15 49 133 49 182
Jumlah 67,590 64,254 131,844 102,462 96,783 199,245

Tabel I: Data Penduduk Berdasarkan Pendidikan Kota Palangka Raya Bulan November 2015

No Agama Pahandut Jekan Raya


L P L+P L P L+P
1 Islam 53,537 50,322 103,859 64,554 59,668 124,222
2 Kristen 12,322 12,286 24,608 32,239 31,959 64,198
3 Khatolik 715 642 1,357 2,939 2,615 5,554
4 Hindu 561 555 1,116 1,910 1,784 3,694
5 Budha 174 139 313 186 148 334
6 Konghuchu 1 0 1 6 2 8
7 Kepercayaan 280 590 590 628 607 1,235
Jumlah 67,590 64,254 131,844 102,462 96,783 199,245

Tabel II: Data Penduduk Berdasarkan Agama Kota Palangka Raya Bulan November 2015

Kecamatan Kelurahan L P L+P


Pahandut 15,734 14,948 30,682
Panarung 12,944 12,515 25,459
Pahandut Langkai 16,273 15,744 32,017
Tumbang Rungan 356 341 697
Pahandut Seberang 2,652 2,466 5,118
Tanjung Pinang 1,816 1,747 3,563
Jumlah 49,775 47,761 97,536

28
Palangka 26,231 25,005 51,236
Menteng 23,872 22,857 46,729
Jekan Raya Bukit Tunggal 25,237 23,234 48,471
Petuk Katimpun 1,265 1,505 2,770
Jumlah 76,605 72,601 149,206
Jumlah Total 126,380 120,362 246,742

Tabel III: Data Penduduk Berdasarkan Wajib KTP S/D Bulan November 2015

Kecamatan Kelurahan L P L+P


Pahandut 10,515 1,445 11,960
Panarung 8,502 975 9,477
Pahandut Langkai 10,242 1,674 11,916
Tumbang Rungan 264 29 293
Pahandut Seberang 1,783 184 1,967
Tanjung Pinang 1,260 115 1.375
Jumlah 32,566 4,422 36,988
Palangka 15,892 2,551 18,443
Menteng 14,805 2,116 16,921
Jekan Raya Bukit Tunggal 16,435 1,999 18,434
Petuk Katimpun 806 160 966
Jumlah 47,938 6,826 54,764
Jumlah Kota/Kab 80,504 11,248 91,752

Tabel IV: Data Penduduk Berdasarkan Kepala Keluarga S/D Bulan November 2015

Kecamatan Kelurahan L P L+P Sexraxio Ket


Pahandut 21,757 20,473 42,230 106 Dlm 100 Pr ada 106 Lk
Panarung 17,539 16,727 34,266 105 Dlm 100 Pr ada 105 Lk
Pahandut Langkai 21,490 20,566 42,056 104 Dlm 100 Pr ada 104 Lk
Tumbang Rungan 506 503 1,009 101 Dlm 100 Pr ada 101 Lk
Pahandut Seberang 3,711 3,516 7,227 106 Dlm 100 Pr ada 106 Lk
Tanjung Pinang 2,587 2,469 6,056 105 Dlm 100 Pr ada 105 Lk

29
Jumlah 67,590 64,254 131,844
Palangka 34.458 32,880 67,338 105 Dlm 100 Pr ada 105 Lk
Jekan Raya Menteng 32,029 30,303 62,332 106 Dlm 100 Pr ada 106 Lk
Bukit Tunggal 34,236 31,638 65,874 108 Dlm 100 Pr ada 108 Lk
Petuk Katimpun 1,739 1,962 3,701 89 Dlm 100 Pr ada 89 Lk

Jumlah 47,938 6,826 54,764

Tabel V: Data Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin S/D Bulan November 2015

Kelompok Pahandut Jekan Raya


No Umur L P L+P L P L+P
1 0-4 4,318 4,059 8,377 6,703 6,353 13,056
2 5-9 5,779 5,387 11,166 8,726 7,970 16,696
3 10-14 6,003 5,455 11,458 8,356 7,881 16,237
4 15-19 5,331 5,216 10,547 7,854 7,550 15,404
5 20-24 6,060 6,319 12,379 10,399 10,137 20,536
6 25-29 6,804 6,996 13,800 11,260 11,679 22,939
7 30-34 6,984 6,821 13,805 10,425 10,291 20,716
8 35-39 6,538 5,891 12,429 9,557 8,540 18,097
9 40-44 5,552 4,746 10,298 7.715 6,888 14,603
10 45-49 4,137 3,789 7,926 6,286 5,713 11,999
11 50-54 3,179 2,875 6,054 5,085 4,652 9,737
12 55-59 2.464 2,272 4,736 3,960 3,435 7,395
13 60-64 1,738 1,582 3,320 2.543 2,084 4,627
14 65-69 1,040 994 2.034 1,375 1,320 2.695
15 70-74 742 794 1,536 922 919 1,841
16 75 + 921 1,058 1.979 1,296 1,371 2,667
Jumlah 67,590 64,254 131,844 102,461 96,783 199,245

Tabel VI: Data Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Kota Palangka Raya Bulan
November 2015

30
4. Tentang Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah

Asal mula Suku Dayak adalah para penutur bahasa Austronesia yang berada di sekitar

daerah Taiwan saat ini. Sekitar 4000 tahun yang lalu, sekelompok orang Austronesia mulai

bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, sebagian dari kelompok ini melanjutkan

migrasinya ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang. Diperkirakan, dalam rentang

waktu yang lama, kelompok ini kemudian bergerak lagi menyebar menelusuri sungai-sungai

hingga ke hilir dan kemudian mendiami pedalaman pulau Kalimantan. Suku Dayak Ngaju

yang dipersatukan melalui penggunaan Bahasa Ngaju yang merupakan bagian dari bahasa

Austronesia, menempati DAS Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya, Seruyan dan Barito,

sedangkan Suku Dayak Ot-Danum yang merupakan leluhur dari Suku Dayak Ngaju ini

bermukim di hulu-hulu sungai besar tersebut.14

Menurut catatan dalam Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah

dan Nilai Tradisional bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya juga

tertulis bahwa suku Dayak Ngaju tersebar mendiami hampir sebagian besar Kalimantan

Tengah. Agama asli dari Suku Dayak Ngaju adalah agama Helo atau kemudian dikenal

dengan Hindu Kaharingan. Dalam mitologi Kaharingan yang merupakan satu-satunya sumber

bagi orang Dayak Ngaju dalam menceritakan asal-usul mereka, dikatakan bahwa mereka

berasal dari dunia atas dan datang di Kalimantan setelah diturunkan dengan Palangka yaitu

sejenis kendaraan yang hanya dipergunakan oleh kekuatan-kekuatan suci. Menurut Mitologi

itu manusia merupakan turunan Maharaja Bunu, salah seorang dari tiga bersaudara yang lahir

di dunia atas. Suatu saat mereka harus berpisah untuk melaksanakan tugas atau

14
Mikhail Coomans, Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, Masa Depan, (Jakarta : PT Gramedia, 1987),
4-5.

31
tanggungjawab masing-masing di dunia yang berbeda. Maharaja Bunu diturunkan ke bumi

dengan kendaraan palangka.15

Suku Dayak dapat dibagi menjadi beberapa sub-suku yang dibedakan berdasarkan

lokasi tempat tinggal dan bahasa atau juga dialek. Mengenai pembagian sub-suku Dayak ini

ternyata ada beberapa bendapat yang berbeda. W. Stohr, sebagaimana yang dikutip oleh

Fridolin Ukur dalam Bukunya Tantang Djawab Suku Dajak, membagi suku Dayak menjadi 3

Golongan besar dan 5 golongan kecil, yaitu:

1. Ot Danum, yang meliputi:

a. Ot Danum – Ngaju

b. Ma’anyan – Lawangan

2. Moerot, yang meliputi:

a. Dusun Murut

b. Kelabit

3. Klemantan, yang meliputi

a. Klemantan

b. Land - dayak16

Mikhail Cooman yang membagi suku-suku Dayak atas enam Kelompok besar, yaitu:

1. Ot Danum yang umumnya mendiami daerah Kalimantan Tengah.

2. Keenyah, Kayan, dan Bahau yang mendiami dareah Kalimantan Timur

15
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional bagian Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 55-56.
16
Rama Tulus, Agama Sebagai identitas Sosial, (Salatiga: UKSW 2010), 88.

32
3. Kelematan yang mendiami daerah Kalimantan Barat

4. Heban yang mendiami daerah Malaysia Timur, bagian Serawak

5. Murut, yang mendiami daerah Malaysia Timur bagian sabah dan bagian utara

Kalimantan Timur

6. Punan atau suku-suku yang mengembara di pedalaman Kalimantan17

Tjilik Riwut membagi daerah suku Dayak menjadi tujuh suku besar, 18 suku kecil, dan

405 suku kekeluargaan/klan.18 Ketujuh suku besar dan bagian-bagiannya yang dimaksud ialah

sebagai berikut:

1. Dayak Ngaju, yang terbagi menjadi 4 suku kecil (Ngaju, Ma’anyan, Dusun, dan

Lawangan) serta 90 suku sedatuk.

2. Suku Apukayan, yang terbagi menjadi 3 suku kecil, dan 60 suku sedatuk.

3. Dayak Iban dan Heban, yang terbagi menjadi 11 suku kecil

4. Dayak Klemantan, yang terbagi menjadi 2 suku kecil, dan 37 suku sedatuk.

5. Dayak Murut, yang terbagi menjadi 3 suku, dan 44 suku kecil.

6. Dayak Punan, yang terbagi menjadi 52 suku kecil, dan 4 suku daerah.

7. Dayak Ot Danum, yang terbagi menjadi menjadi 61 suku kecil.

Pada saat ini suku Dayak Ngaju telah banyak yang memeluk agama yang diakui

Indonesia seperti Kristen, Khatolik, Islam, Hindu, dan Budha. Akan tetapi kebudayaan atau

warisan adat dari kepercayaan Kaharingan masih melekat dalam kehidupan suku Dayak

17
Ibid, 89.
18
Ibid, 89.

33
Ngaju, hal ini dapat dilihat dari kehidupan suku Dayak Ngaju yang masih mempercayai ritual-

ritual adat dalam kehidupan.19 Ritual-ritual yang dilakukan oleh suku Dayak Ngaju seperti:

1. Nahunan Palas Bidan, yaitu ritual yang dilakukan untuk pengucapan terima kasih

kepada seseorang yang membantu proses persalinan wanita suku Dayak Ngaju, dan

pelaksanaan setelah tali pusar bayi putus.

2. Kawin adat wajib dilakukan oleh suku Dayak Ngaju yang akan melangsungkan

perkawinan. Hal ini bertujuan agar kehidupan berumah tangga setelah perkawinan

dijauhkan dari mala petaka.

3. Tiwah, upacara ini masih dilakukan oleh suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan

arwah keluarganya atau leluhurnya yang pada saat meninggalnya masih menganut

kepercayaan Kaharingan.

B. Batang Garing

Masyarakat Dayak Ngaju yang kaya akan unsur budayanya juga memiliki simbol yang

cukup eksis di kalangan masyarakat Dayak Ngaju sendiri. Diantara simbol yang digunakan

ialah lunju, balanai, garantung, bulun tingang, tutang/tato dan diantaranya Batang Garing.

Batang Garing yang berarti Pohon Kehidupan berbentuk seperti mata tombak yang mengarah

ke atas atau langit. Hal ini dipercaya melambangkan kepercayaan Agama Kaharingan kepada

Ranying Mahatala Langit sebagai sumber segala kehidupan. Dalam suku Dayak Ngaju,

Batang Garing dianggap sebagai anugerah Tuhan yang di turunkan lansung dari Ranying

Hatalla Langit. Batang Garing Juga melambangkan tiga alam yang di percayai yaitu alam

19
Yan Frist David, Budaya Hukum Perkawinan Adat di Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,
(Salatiga: UKSW 2010), 59.

34
bawah, Pantai Danum Kalunen, dan alam atas. Alam atas merupakan tempat tinggal Ranying

Hatalla Langit, sedangkan Pantai Danum Kalunen yaitu bumi menjadi tempat tinggal manusia.

Sementara itu, alam bawah adalah tempat tinggal Jata atau Lilih atau Raden Tamanggung

Sali.

Gambar II. Batang Garing di Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi

Kalimantan Tengah

35
Gambar III. Batang Garing di Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi

Kalimantan Tengah

Gambar IV. Batang Garing di Hotel Obelix Kota Palangka Raya

36
Gambar V. Batang Garing di Depan Gedung Gereja Katolik Kota Palangka Raya

Gambar VI. Batang Garing di Depan Komplek Kaharingan Kota Palangka Raya

37
Gambar VII. Motif Batang Garing di salah Satu Baju Batik

Seperti terdapat dalam gambar di atas, Batang Garing sering dilihat dan dijumpai di

beberapa ornamen, pakaian, maupun diukir dalam sebuah bangunan di perkantoran. Selain

sebagai simbol yang sering digunakan, nyatanya Batang Garing juga dipahami sebagai simbol

kesatuan dan kehidupan dari suku Dayak Ngaju. Oleh karena itu, Batang Garing ini akan

dibahas dalam uraian berikut.

1. Sejarah Batang Garing berdasarkan Kitab Panaturan, Fridolin Ukur, Y. Nathan Ilon,

dan Juli Noman

Sejarah Batang Garing terdapat dalam Kitab Panaturan dan buku seperti yang ditulis

oleh Fridolin Ukur dalam karyanya yang berjudul Tantang-Djawab Suku Dayak terbitan tahun

1971, dan Y. Natan Ilon dalam Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan

Dandang Tingang sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju

Kalimantan Tengah terbitan tahun 1997. Kisah mengenai cerita penciptaan ini terdiri atas

38
beberapa versi yang berbeda, seperti Kitab Panaturan sering dipakai sebagai acuan dalam

memahami sejarah Batang Garing, namun hal itu tidak mengesampingkan sejarah Batang

Garing dalam versi yang lain. Cerita mengenai sejarah Batang Garing di dalam Kitab Panaturan

dikisahkan sebagai berikut:

Pada zaman dahulu kala, permulan segala kejadian, Ia yang Maha Sempurna diliputi oleh
kekuatan dan kekuasaaNya, yang menyatu di dalam keagungan dan kemulianNya. Ia adalah
awal segala kejadian, memperlihatkan kebesaran dan kekuasaanNya; Ia yang Maha Sempurna;
menyatakan keagungan dan kemulianNya, dan bersama dengan itu, bergetarlah alam semesta
laksana guntur menggelegar langit, petir, dan halilintar menggetarkan semesta alam, maka
memancarkan cahaya terang yang bersih suci, menghalau kegelapan alam, serta Ia yang awal
segala kejadian, berfirmanlah dan menyatakan diriNya: Aku Inilah Ranying Hatalla yang
bertahta pada Balai Bulau Napatah Hintan, Balai Hintan Napatah Bulau, dikelilingi Tasik
Malambung Bulau, Laut Bapantan Hintan. Aku Inilah Ranying Hatalla yang Maha Kuasa, awal
dan akhir segala kejadian, dan cahaya kemulianKu yang terang, bersih, dan suci, adalah Cahaya
Kehidupan Yang Kekal Abadi, dan Aku sebut ia Hintan Kaharingan.20

Dari tahtaNya, Ranying Hatalla menuju puncak Bukit Bulau Kangantung Gandang, Kereng
Rabia Nunyang Hapalangka Langit, yang terletak pada Batang Danum Mendeng Ngatimbung
Langit, Guhung Tenjek Nyampalak Hawun. Disanalah Ia melihat sekelilingNya, memperhatikan
sekitarNya, sepi, sunyi, senyap; Ia memandang ke bawah disitu terlihat olehNya, ada suatu
wujud serupa Ia. Ranying Hatalla memperhatikan wujud itu dengan sungguh-sungguh, bahwa
itu adalah bayanganNya sendiri, dan Ia memberikan nama bayanganNya itu adalah Jatha
Balawang Bulau, Kanaruhan Bapager Hintan (Zat Yang Maha Mulia), yang berada di dalam
Papan Malambung Bulau, Bertahta pada Laut Bapantan Hintan. Karena kebesaranNya dan
kekuasaanNya, Jatha Balawang Bulau menampakkan wujudNya bersama Papan Malambung
Bulau, menuju Bukit Bulau Kangantung Gandang, nyahendeng Kereng Rabia Nunyang
Hapalangka Langit.21 Di atas puncak bukit Bulau Kaharingan Gandang, Tahanjung Kereng
Rabia Nunyang Hapalangka Langit, Jata Balawang Bulau berada bersama Ranying Hatalla.

Sesudah mereka bertemu di atas puncak bukit Bulau Kaharingan Gandang, Tahanjung
Kereng Rabia Nunyang Hapalangka Langit, mereka membuka kuasa dan kebesaranNya;

20
Kitab Suci Panaturan, (Denpasar Bali: 1989), 1.
21
Ibid, 3.

39
bersama itu Ranying Hatalla berfirman: Alangkah indahnya jika Aku menjadikan Bumi, Langit,
Bulan, Bintang, dan segala isinya. Jata Balawang Bulau, menyatakan kegembiraanNya atas
segala kehendak yang akan dijadikan Ranying Hatalla. Kemudian Ranying Hatalla
memperlihatkan kemulian dan kebesaranNya, Jata Balwang Bulau menampakkan pula
keagungan dan kejayaanNya. Dari puncak bukit Bulau Kaharingan Gandang, Tahanjung
Kereng Rabia Nunyang Hapalangka Langit, Ranying Hatalla memperlihatkan kuasaNya Ia
Yang Maha Kuasa menyatakan KebasaranNya. Di sana Ranying Hatalla melepaskan Sarumpah
Bulau langsung meletakkannya di tempat yang dikehendakiNya, serta kedengaranlah bunyi
Guntur menggerumuh memenuhi alam semesta, Petir Halalintar menggetarkan buana, dan
Sarumpah Bulau berubah menjadi Naga Hai Galang Petak; begitulah Ranying Hatalla
menjadikan kehendakNya yang pertama.22 Sesudah itu Ranying Hatalla mengambil dan
melepaskan Lawung Singkap Antang serta membukanya dan meletakkannya di atas Naga Hai
Galang Petak, bersama itu pula kedengaranlah suara Guntur menggerumuh memenuhi alam
semesta, Petir Halilintar menggetarkan buana, Lawung Singkap Antang kejadian menjadi Petak
Sintel Habalang Tambun, Liang Deret Habangkalan Karangang (tanah bumi); Begitulah
Ranying Hatalla menjadikan kehendakNya yang kedua.23 Bersama itu pula di atas Petak Sintel
Habalang Tambun, Liang Deret Habangkalan Karangang, ada laut, ada samudera, ada sungai-
sungai, serta segala yang hidup di atas tanah, juga di dalam air.

Kemudian Ranying Hatalla mengambil lagi panatau Ranying Pandareh Bunu, yaitu sifat
KemulianNya Yang Maha Lurus, Maha Jujur dan Maha Adil, Ia menempatkan itu di tengah-
tengah samudera luas, yang disertai bunyi Guntur menggerumuh memenuhi alam semesta, Petir
Halilintar menggetarkan buana, Ranying Pandareh Bunu berubah menjadi Batang Haring;
bersama itu Ia menyebutkan namanya Batang Kayu Janji; begitulah Ranying Hatalla
menjadikan kehendakNya yang ketiga.24 Dari puncak tahta KemuliaanNya Yang Maha Tinggi,
Maha Suci dan Maha Agung itu, Ranying Hatalla melihat segalanya yang Ia telah jadikan; dan
pada saat itu pula Ia mengambil lagi panatau Peteng Liung Lingkar Tali Wanang yaitu sifat
KewibaanNya yang Maha Besar dan Maha Agung, Ia meletakkannya di tengah-tengah
samudera laus. Sesungguhnya bersama bunyi Guntur menggerumuh memenuhi alam semesta.
Petir Halilintar menggetarkan buana. Sifat KewibaanNya Yang Maha Basar dan Maha Agung itu

22
Ibid, 4.
23
Ibid, 4.
24
Ibid, 5.

40
menjadi Tambun Hai Nipeng Pulau Pulu (Kekuasaan yang Maha Kuat dari segala penjuru
KebasaranNya); demikian Ranying Hatalla mejadikan kehendakNya yang keempat.25

Setelah itu Ranying Hatalla dan Jata Balawang Bulau, mantar Pinang Hanjenan Kapantar
Nyipa Ulang Nantali Tanteng Endas Bulau Pulu Batanjung Hendae, memakan pantar buah
pinang yaitu memperlihatkan sifatNya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Minyip
Rukun Tarahan yaitu memperlihatkan sifatNya Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana;
Sesungguhnya kelembutan itu yang Maha indah. Demikian Ranying Hatalla menempatkan
sifatNya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Adil, dan Maha Bijaksana di tengah
kekosongan alam semesta, disertai guntur menggerumuh memenuhi alam semesta, Petir
Halilintar manggetarkan buana, panatau Juhun Pinang menjadi Tingang Hai Nipeng Randung
Banama, dan panatau Tatauuyas Pinang menjadi Antang Datuh Ngampuh Pulau Pulu; Panatau
Puting Rukun Tarahan menjadi Tambarirang Hai Marung Singkap Langit; begitulah Ranying
Hatalla menjadikan KehendakNya yang kelima.26

Kemudian disertai bunyi Guntur menggerumuh memenuhi alam semesta, Petir Halilintar
menggetarkan buana, Ia menjadikan Langit, Bulan, Bintang, dan Matahari, bersih cemerlang
berkilauan; demikian Ranying Hatalla menjadikan kehendakNya yang keenam.27 Pada Terang
yang maha indah, bersih cemerlang berkilauan itu, sudah ada Bumi, Langit, Bulan, Bintang,
Matahari, begitu pula Samudera, Sungai-sungai, dan semua yang hidup di permukaan Bumi, di
dalam air dan di bawah Langit. Ranying Hatalla membagi gelap dan Terang, seraya Ia menyebut
Terang itu Siang, dan Gelap itu Malam; saat itu pula Ia menempatkan Bumi di tempatnya, air di
tempatnya, bulan, bintang, dan matahari; sejak itu Ia menyebutkan diriNya: AKU adalah
Ranying Hatalla Langit, Raja Tuntung Matan Andau, Tuhan Tambing Kabuntaran Bulan;
demikian Ranying Hatalla menjadikan kehendakNya yang ketujuh.28

Kisah sejarah Batang Garing dalam Kitab Panaturan ini tercipta pada saat Ranying

Hatalla menciptakan isi bumi yaitu di dalam kehendaknya yang ketika sesuai dengan yang

tertulis dalam Kitab Panaturan, terciptanya Batang Garing yang dituliskan sebagai Batang

25
Ibid, 6.
26
Ibid, 6.
27
Ibid, 7.
28
Ibid, 7.

41
Haring yang berasal dari panatau Ranying Pandareh Bunu yang kemudian disebut oleh Hatalla

sebagai Batang Kayu Janji atau Pohon Perjanjian.

Sedangkan kisah Penciptaan Batang Garing dalam versi Fridolin Ukur yang dimuat

dalam karyanya yang berjudul Tantang-Tjawab Suku Dayak memiliki kisah yang berbeda dari

kisah terciptanya Batang Garing dalam Kitab Panaturan, yaitu;

Pada suatu ketika Ranying Mahatara Langit bersama dengan Bawin Jata Balawang sepakat
untuk menciptakan dunia. Mahatara mulai dengan melepaskaan “Lawung” atau biasa disebut
ikat kepala yang terbuat dari emas bertahtakan intan kemudian dilemparkan sehingga menjelma
sebuah Batang Garing yakni Pohon Gading yang diartikan pohon kehidupan. Pohon ini
berbuah dan berdaunkan segala macam permata, seperti emas, intan, dan batu-batu mulia.
Setelah Batang Garing ini menjelma maka Jata melepaskan Burung Tingang betina dari sangkar
emasnya yang kemudian terbang dan hinggap di pohon kehidupan tersebut dan menikmati
segala buahnya. Melihat kejadian itu Mahatara lalu melempar keris emasnya yang bertahtakan
permata mulia yang kemudian menjelma menjadi Burung Tingang Jantan yang disebut
Tambarirang.29 Ia juga hinggap dan mengenyangkan dirinya dari buah-buah dan daun-daun
Batang Garing. Kehadiran kedua burung sakti ini kemudian membangkitkan kecemburuan dan
keirian sehingga mengakibatkan perkelahian mati-matian antara keduanya. Pada saat itu
terjadilah perang suci. Pertemuan mahadasyat ini mengakibatkan hancurnya seluruh Batang
Garing. Dari kepingan-kepingan kehancuran Batang Garing ini terjadilah buah ciptaan lainnya,
antaranya adalah pasangan manusia pertama: seorang pria dan seorang wanita. Juga tercipta
dua buah kapal permata yang dilayari masing-masing oleh pria dan wanita pertama, yakni:
Banama Bulau (Bahtera Emas) yang dilayari oleh wanita pertama yang bernama “Putir
Kahukup Bungking Garing” (Putri dari kepingan gading) dan Banama Hintan (Bahtera intan)
yang ditumpangi oleh pria pertama yang bernama “Manjamei Limut Garing Balua Unggom
Tingang” (Sari pohon kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang).

Pertempuran antara kedua burung sakti tadi berlangsung terus sampai akhirnya keduanya
pun hancur binasa. Dari pecah-pecahan tubuh yang hancur itu terciptalah seluruh alam semesta
ini, seperti gunung, bukit, laut, sungai, maupun hutan rimba. Kedua manusia pertama tadi
mengembara dimasing-masing perahu mereka di tengah-tengah laut yang merupakan sumber

29
Fridolin Ukur, Tantang-Djawab Suku Dayak, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 1971), 35.

42
segala yang mengalir. Akhirnya sang pria meminta si wanita menjadi istrinya, yang diterima
oleh si wanita dengan sarat agar: Pertama-tama supaya diadakan terlebih dahulu suatu daratan
tempat mereka tinggal. Kedua agar di atas tanah itu didirikan sebuah rumah tempat mereka
hidup. Tuntutan pertama kemudian diberikan oleh Mahatara, sedangkan tuntutan kedua
dianugerahkan oleh Djata kepada mereka berdua. Barulah mereka menikah dan hidup selaku
suami istri. Dari pernikahan ini lahirlah keturunan mereka yang pertama: Babi, ayam, kucing
dan anjing. Binatang ini kemudian dikenal selaku binatang piaraan-rumah.30

Cerita mengenai sejarah Batang Garing menurut versi Fridolin Ukur, bahwa Batang

Garing atau disebut sebagai Pohon Gading merupakan jelmaan dari Lawung atau ikat kepala

dari Ranying Mahatara Langit yaitu Hatalla. Pohon Gading ini diartikan sebagai pohon

kehidupan yang artinya sumber dari segala terciptanya dunia dari Ranying Mahatara Langit

bersama dengan Bawin Jata Balawang.

Versi yang berbeda pula ditulis oleh Y. Natan Ilon dalam Ilustrasi dan Perwujudan

Lambang Batang garing dan Dandang Tingang sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia

dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, kisah mengenai Batang Garing

menurutnya yaitu:

Pada awal mulanya hanya ada Sang Ranying Hatala Langit bersama bayanganNya sendiri yang
di sebut Bulan Bawin Jata Balawang Bulau, yang selanjutnya di bawah ini disebut Ranying
Hatala dan Bawin Jata dimaksudkan selaku Tuhan Yang Maha Esa, tampil dengan kuat kuasa
yang tak terbatas, bersama kilat panjang, petir nyaring membahana memenuhi ruang cakrawala.
Sehingga kemudian terciptalah dua buah bukit bergantung disebut Bukit Hintan Baragantung
dengan Bukit Bulau Baratuyang Hawun yang berarti bukit hintan dan bukit emas yang
memancarkan sinarnya terang benderang kesegala penjuru alam sejagat.31 Kedua bukit ini
bergoyang saling membentur dasyat beberapa kali, setiap itu pula menimbulkan pancaran sinar
kuat, disambut petir halilintar membahana atau Basaluh Bajea.

30
Ibid, 36.
31
Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang garing dan Dandang Tingang sebuah
Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah , (Palangka Raya:
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Tengah, 1997), 12.

43
Benturan pertama, terjadi ketika Sang Ranying menjulurkan tangan yakni mandepe lenge, dan
terjadilah pancaran sinar membahana sehingga terciptalah tujuh unsur oknum yang hidup
disebut Raja Tujuh Bersaudara atau Raja Uju Hakanduang, kemudian diberi nama khusus
sesuai dengan perannya masing-masing, selaku unsur Ilah-ilah yang paling dekat dengan Sang
Ranying.32 Benturan kedua, terjadi ketika Sang Ranying melemparkan alas tapak kakiNya
panatau sarumpah bulau disambut oleh petir halilintar membahana, menjelma menjadi
samudera raya, Naga Raksasa dan berbagai ragam jenis ikan disebut Naga Galang Petak yakni
naga alas bumi atau pulau.33 Benturan ketiga, terjadi ketika Sang Ranying melemparkan tutup
kepalanya Panatau Lawung Bulau Singkap Antang disambut oleh petir halilintar panjang
membahana, menjelma menjadi berbagai jenis tanah batang petak disebut Petak Sintel
Habalambang Tambun Liang Deret Habangkalan Garantung, berbagai tumbuh-tumbuhan
beserta binatang darat.34 Benturan keempat, terjadi ketika Sang Ranying dan Jata melemparkan
selempang atau taliwanan dan selendang atau kakamban disambar oleh petir halilintar panjang
membahana, menjelma menjadi Ular Raksasa yaitu Tambun Hai Nipeng Pulau Pulu tercipta
pula pulau-pulau, bukit, dan lembah serta sungai-sungai.35

Benturan kelima, terjadi ketika Sang Ranying melemparkan puntung rokok atau puting
tukun tatahan dan Bawin Jata melemparkan ampas penginangan tangkaunyas pantar giling
pinang, disambar oleh petir halilintar panjang membahana menjelma menjadi sepasang mahluk
angkasa yang anggun perkasa berkeleluasaan dalam ruang cakrawala disebut namanya; Hatuen
Tambarirang marung batantan singkap ruang langit dan Bawin Tingang Rangga Bapantung
Nyahu Burung Tingang jantan dan betina yang kemudian helai bulu ekornya berbelang tiga,
diraih menjadi lambang yang dominan bagi seluruh suku Dayak Kalimantan dengan sebutan
Lambang Dandang Tingang, terdiri dari helai-helai bulu kendali.36 Benturan keenam, terjadi
ketika Sang Ranying melemparkan tombak pusaka senjata rabayang yang berperan ganda
membunuh dan meraih, disebut pula Ranying Pandereh Bunu, disambut sambar oleh petir
halilintar panjang membahana memenuhi ruang angkasa, menjelma menjadi Pohon unik yang
kokoh, kuat - ramba - rimbun berbunga dan berbuah lebat. Kadar sari pohon unik ini dinikmati
oleh kedua mahluk angkasa yang anggun perkasa Tingang serta Tambarirang. 37 Benturan
ketujuh, Kedua mahluk angkasa yang anggun perkasa, rakus makan kadar sari pohon Garing,

32
Ibid, 12.
33
Ibid, 12.
34
Ibid, 13.
35
Ibid, 13.
36
Ibid, 13.
37
Ibid, 13.

44
sudah hampir habis dimakan oleh keduanya, maka timbullah emosi dan ambisi pergumulan
saling rebut, saling bersaing menjadi pertarungan sengit, sehingga keduanya masing-masing
mengeluarkan kadar sari garing kandungan perutnya. Pada saat itu Sang Ranying
mengencangkan tangannya serta dengan kuat kuasanya bersamaan dengan benturan kedua bukit
emas dan intan.38

Batang Garing menurut Y. Natan Ilon disebut sebagai Pohon Unik yang tercipta pada

benturan yang keenam. Pohon unik ini kemudian disebut sebagai pohon yang kokoh, kuat,

ribun, dan berbuah lebat Cerita mengenai sejarah Batang Garing menurut versi Juli Noman pun

berbeda dengan isi dari Kitab Panaturan, Fridolin Ukur, dan Y. Natan Ilon. Pemahamannya

mengenai sejarah Batang Garing dimulai dari:

Gajah Bakapek Bulau Tananjaran Tandang itu adalah ciptaan Hatala bermula di sebuah bukit
Kantung Gandang di situ ada Rajangging Penyang dengan Upu Pangawang. Saat Raja Bunu,
Raja Sangiang, dan Raja Sangen mandi memakai air Kaharingan, langsung datanglah tingkes
dari Hatala.39 Hatala menguji mereka dengan sebuah besi yang sebelah sisinya mengambang
dan pada sisi yang lain tenggelam. Melihat itu, lalu mereka bertiga berlomba menuju ke arah
besi yang berada di air tersebut. Raja Sangen dan Raja Sangiang berhasil memegang ujung besi
yang mengambang, dan Raja Bunu memegang sebelah sisi besi yang tenggelam. Oleh sebab
itulah, Raja Bunu mendapat bagian untuk manusia, yaitu bagian kematian karena dia
memegang besi yang tenggelam. Sedangkan Raja Sangen dan Raja Sangiang bukan di bagian
kematian, karena mereka memegang besi yang mengambang, sehingga mereka berdua tinggal
bersama dengan Hatalla. Setelah menerima tingkes itu, Rajangging Penyang membuat Guhung
Papan Benteng, mereka bertiga berangkat ke belakang desa untuk berburu tapi membawa
Duhung Pasuru Gajah Bakapek Bulau Hajaran Tandang Rima Takapek Talawang Amas.
Mereka menangkapnya karena pesan dari Rajangging Penyang untuk membawa pulang hasil
tangkapan/hasil buruan mereka. Kemudian mereka membawa hasil buruan itu kepada
Rajangging Penyang, lalu mereka membunuh gajah itu. Hasil buruan itu ditumbuk oleh Raja
Sangen menggunakan duhung, dan kemudin dipegang oleh Rajangging Penyang malah kembali
seperti semula. Lalu kemudian datanglah Raja Bunu untuk menumbuknya kembali dan
akhirnya mati. Hal itu disebabkan karena dia memegang bagian yang tenggelam, karena itu

38
Ibid, 16.
39
Wawancara dengan Juli Noman, 17 November 2015, pukul 10:00 WIB.

45
sang gajah lari dari arah barat ke timur. Dagingnya berubah menjadi Petak Kasambuyan,
darahnya berubah menjadi Nyalung Kaharingan dan sebagiannya menjadi emas dan intan, serta
tulangnya ini berubah menjadi Batang Garing.40

Menurut Juli Noman, Batang Garing berasal dari tulang seekor gajah, yaitu dari

hasil buruan dari Raja Sangen, Raja Bunu, dan Raja Sangiang atas tingkes dari Rajangging

Penyang. Gajah hasil buruan itu mati karena ditumbuk oleh Raja Bunu karena ia

memegang ujung besi yang tenggelam.

Dari keempat cerita di atas berdasarkan kisah yang dimuat dalam Kitab Panaturan,

Fridolin Ukur dalam karyanya Tantang-Tjawab Suku Dayak, Y. Natan Ilon, dan tokoh

adat Juli Noman, ternyata memiliki versi yang berbeda mengenai sejarah Batang Garing

yang dikenal sekarang ini. Akan tetapi, berdasarkan kisah dari Fridolin Ukur, Y. Natan

Ilon, dan Juli Noman memahami bahwa Batang Garing sebagai Pohon Kehidupan, kecuali

dalam Kitab Panaturan diartikan sebagai Pohon Perjanjian.

2. Pemahaman Masyarakat Dayak Ngaju Terhadap Batang Garing

2.1. Tokoh-tokoh Adat Masyarakat Dayak Ngaju

Pemahaman dari tokoh-tokoh masyarakat mengenai Batang Garing memiliki beberapa

hal yang cukup berbeda dalam mendeskripsikannya. Menurut Bajik S. Penyang, Batang Garing

merupakan terjemahan dari bahasa dayak yaitu bahasa Sangiang. Garing artinya kayu dan

batang artinya adalah pohon. Kata ini merupakan terjemahan bahasa reternik atau bahasa

sehari-hari. Garing sendiri berasal dari kata Haring, namun karena penyebutan di bahasa dayak

lafalnya menjadi “G” yaitu Garing. Jadi yang sebenarnya adalah Batang Haring yang berarti

40
Wawancara dengan Juli Noman, 17 November 2015, pukul 10:00 WIB.

46
Pohon Kehidupan. Batang Garing kemudian menjadi simbol kehidupan yaitu Tuhan atau Sang

pencipta sama halnya dengan Batang Garing itu. Hatala itu sama dengan Batang Garing atau

pohon kehidupan. Awalnya dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, karena ciptaan yang Maha

Kuasa. Dengan ciptaan inilah berkembang kemudian menuju ke arah atas dan berkembang lagi

sehingga bisa dilihat Batang Garing itu mempunyai cabang. Cabang itu dimulai dari cabang

pertama sampai cabang ketiga, dari ketiga sampai kelima, dari kelima sampai ketujuh, dari

ketujuh sampai ke puncak sebelas.

Tingkat pertama, ia duduk di dalam alam tanpa ada sesuatu dan merupakan sebuah

dasar, yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa atau kekuatan Yang Maha Esa. Kita

menggambarkan dalam penglihatan kita yang nyata yaitu dasar kita melihat Batang Garing ada

di dalam gelombang seperti sebuah danau yang disebut orang Danau Nyalung Kaharingan

Belum atau air suci kehidupan. Di sekeliling pangkal Garing itu adalah air suci kehidupan

tumbuhlah Batang Garing atau pohon kehidupan. Dari Pangkal Batang Garing itu kita bisa

melihat ada dua buah Garantung yaitu di sebelah kiri dan kanan. Ada lagi Rabayang, sejenis

lunju atau tombak yang ada kaitan di ujungnya. Lunju ini menunjukkan bahwa Batang Garing

atau pangkal Batang Garing itu tidak hanya berdiri sendiri. Artinya ciptaan Tuhan itu tidak

hanya satu, bumi, dan alam semesta saja, melainkan ada sesuatu di dalamnya. Di sampingnya

itu, di bagian sekitarnya ada yang memanggil dan memberi petujuk, sebuah garantung jika

dipukul maka mengluarkan bunyi, tetapi kalau tidak dipukul akan diam dan tidak berbunyi.

Tapi disitu ada rima orang sebelah kiri kanan rebayang tadi yakni Batunjang Duhung

Bahangkang Bunu. Sama dengan bahasa Sangiang yang tujuan murninya ke atas dan ke

samping kiri kanan, ia memanggil dan mengajak orang berbakti kepada Sang Sencipta. Artinya

yang ada di dalam garantung tadi merupakan bunyi gong yaitu bunyi untuk memanggil semua

47
makhluk hidup untuk berbakti kepada yang Maha Kuasa. Dari situlah gerantung memanggil

Lunju menuju ke atas Duhung Bahangkang Bunu memanggil dan mengumpulkan semua yang

diciptakan untuk berbakti kepada yang Maha Kuasa.

Tingkat kedua, setelah itu maju menuju ke atas dengan dahan kiri kanan terlihat apa

yang menjadi kewajiban manusia untuk memanfaatkan alam semesta tetapi, jangan dirambah

dan jangan dibuang. Terdapatlah sebuah Lamiang dan ada Garanuhing di dasar/pangkal

batangnya, serta Dandang Tingang yang merupakan simbol alam atau simbol kesuburan. Selain

itu, terdapat juga Mandawen Timpung Habeken Mantika. Jadi, Mandawen Timpung Habeken

Mantika yakni merajut kain yang memiliki bermacam-macam bintik warnanya, sebagai

kekayaan alam semua yang kesamping, kekanan, kemuka, kedepan, kebelakang semua isinya

dimanfaatkan dan untuk kejayaan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Dengan catatan

untuk tingkat pertama ini menjadi kebutuhan masyarakat atau seluruh manusia, dan apa yang

ada di dalam alam sudah tergambar atau bisa terlihat di Batang Garing tersebut.

Tingkat kedua ini ada perumpaan penempatannya, sebagaimana di dalam tandan

pemeliharaannya. Tingang Lamiang Bagaring Belum ada Garanuhing ia memucuk Garanuhing

Belum. Berbuah Lamiang Bagaring Belum setelah itu Mandawen Dandang Tingang Benang

Habeken Mantika dan Babungking Bakam Batu je balua Nyarungan Belum menjadi simbol

Batang Garing, simbol kekuatan yang maha kuasa. Keyakinan manusia kepada Sang Pencipta

yang menguasai seluruh alam yang menciptakan dan menguasai, kapanpun manusia meminta

maka Tuhan akan memberikan berkatnya. Akan tetapi, dengan catatan bahwa manusia

memelihara segala hal yang baik/kapatut belum selama kita hidup. Kapatut Belum ialah berpikir

dengan hati nurani yang bersih, berbicara yang santun dan berbuat hal-hal yang baik. Ketiga

Kapatut Belum ini jika kita laksanakan semua akan membuat kita hidup bahagia. Jadi, Batang

48
Garing itu merupakan simbol kekuatan Tuhan yang Maha Kuasa. Semua hal yang terkait

kekayaan alam ada di dalam Ranying Hatala yang disimbolkan dengan Batang Garing. Namun

jika kita ingin menggunakan ini di dalam kehidupan kita maka harus melaksanakan Tiga

Kapatut Belum.

Ketiga Kapatut Belum tadi, yaitu berhati nurani yang bersih, berpikir yang jernih dan

berucap santun yang baik, berarti kita telah mencapai kehidupan yang bahagia dan tercapai bila

kita mengamalkannya. Dengan begitu kita tidak memiliki musuh, kepentingan orang lain

merupakan kepentingan kita juga, dan keakraban kita dengan semua masyarakat membuat kita

hidup nyaman dan damai. Tujuan hidup adalah mengamalkan tiga Kapatut Belum menuju

kehidupan yang senang, bahagia, nyaman, dan damai. Seperti apa yang digambarkan dalam

Batang Garing. Kapatut Belum itu sampai ketujuh bahkan sampai kesebelas, namun tiga hal tadi

yang utama. Batang Garing itu sangat jarang kita melihatnya sampai lima, sampai tujuh, dan

bahkan sampai sebelas, karena hanya kekuatan Tuhan yang sanggup mengamalkan sampai

kesebelas karena Dia adalah Suci. Manusia hanya sampai ketiga, karena manusia bukanlah

orang suci yang mampu menyucikan diri sampai beramal dan sampai sekian tahun tidak makan.

Tiga Kapatut Pambelum ini tumbuh di dalam keyakinan yaitu Trimukti sang pencipta,

pemelihara, dan pelebur. Jika orang Hindu, Pencipta Brahma, Wisnu, dan Siwa, maka Trimukti

adalah Trisakti Tuhan. Nah di dalam Kaharingan Ranying Tempun Telun sebagai Pelebur,

Mantir Manuhing sebagai Pemelihara, Rajan Tunggal Sangumang sebagai Pencipta. Mereka itu

semua sama dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Simbol Batang Garing adalah simbol dari

Tuhan yang Maha Kuasa, karena itu di atasnya kita melihat simbol ada tiga bintang. Bintang itu

menyimbolkan Trisakti Tuhan, yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa. Inilah bahasa-bahasa sangiang.

Jadi, simbol Batang garing yang merupakan simbol Tuhan yang Maha Kuasa atau Pohon

49
kehidupan yang mencurahkan air suci kehidupan dengan tujuan menuju hanya satu Tuhan yang

Maha Esa dengan tiga fungsi Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur. Demikianlah deskripsi Batang

Garing menurut Bajik S. Peyang dalam pemahamannya.

Di samping itu, Natan Ilon menjelaskan dengan cukup sederhana mengenai bagaimana

cara menterjemahkan simbol Batang Garing. Menurutnya, Batang Garing tidak mudah untuk

diterjemahkan. Secara tunggal, justru kata ini selalu ditampilkan dengan kata awal atau kata

akhir selaku acuannya. Untuk memahaminya dimulai dengan memahami beberapa contoh

berikut;

1. Telur ayam yang berisikan cairan yang hidup, terdiri dari dua macam cairan bening dan

cairan kuning. Cairan bening itulah yang disebut garing. Sedang cairan kuning disebut

'bulau', jadi disini kata garing berarti cairan bening yang hidup (awal kehidupan) .

2. Garing tarantang = anak kandung sendiri (berawal dari cairan).

3. Garing tabela belom = anak-anak muda usia (Garing muda).

4. Garing tukang tuyang = anak/bayi yang sedang dalam ayunan.

5. Katil garing = bangku panjang tempat manusia duduk (para Basir).

6. Batang Garing Belum = Pohon Hayat kemanusiaan, yang tumbuh rimbun kokoh dan

produktif dalam arti berprestasi, trampil ujung jari dan ujung lidah. (Melambangkan peri

Hidup dan Kehidupan) dijadikan Lambang pokok selaku lukisan cikal-bakal manusia

dalam legenda Panaturan dan Karak Tungkup.

Dengan memahami beberapa makna dalam kalimat di atas, maka Nathan Ilon kemudian

mengartikan Batang Garing sebagai berikut;

50
1. Pohon Garing atau cairan bening yang hidup, dalam harkat ketinggian, milik Tuhan Yang

Maha Esa, tumbuh bergantung di bawah kuat-kuasa Sang Pencipta. Sumber kehidupan

pertumbuhan hayat, menaungi keleluhuran moyang para Sang Hiang.

2. Garing berbatang inti senjata rabayang berperan ganda dalam menolak dan meraih,

menghukum atau mengampuni.

3. Garing berakar panjang melingkar, kait mengait jalin menjalin melambangkan jalinan

nilai kekeluargaan, persatuan dan kesatuan, menjamin kekokohan produksi batang garing

itu sendiri.

4. Akar tunjang yang terdiri dari berbagai ragam senjata, melambangkan semangat yang

berani, jiwa kepahlawanan selaku benteng martabat harga diri.

5. Basung dan baner/pangkal pohon terdiri dari guci dan gong, atau berbagai ragam satuan

material kekayaan, melambangkan kemampuan harta benda.

6. Bungkingnya terdiri dari bakam batu atau bejana antik melambangkan wadah bekal

endapan spiritual leluhur atau kata-kata mutiara berisi ragam nilai-nilai filsafat.

7. Berlumut pasihai runjan dan berduri simbel randan melambangkan nilai keterampilan di

ujung lidah dan keterampilan di ujung jari dalam arti kerajinan mengukir dan menganyam.

8. Garing berdahan guntur, cabang pengharapan, bunyi suara yang nyaring membahana,

melambangkan kehadiran sang Anak yang utuh, berbudi luhur.

9. Garing beranting suling yang suaranya indah menghanyutkan, melambangkan kehadiran

generasi ketiga, sang Cucu, generasi penerus menjadi kebanggaan tersendiri bagi sang

nenek. Sehingga terlukis lah keharmonisan citra rasa kasih sayang antara ketiga jenjang

generasi berantai dirasa oleh generasi tua, generasi muda dan generasi penerus, yang

dimiliki oleh semua orang sepanjang jaman.

51
10. Daun garing terdiri dari helai-helai bulu kendali sikap moral, lambang Dandang Tingang

yang dominan.

11. Bunganya terdiri dari bunyi suara berita-berita indah, kata-kata yang muluk, belum tentu

enak dirasa, prestasi-prestasi yang bakal diraih saja.

12. Garing yang berbuah Tampung Penyang dan karuhei, atau tampung nilai spiritual,

himpunan prestasi yang sudah terjangkau, himpunan hasil akhir dari perjuangan yang

luhur. Garing berpucuk bunu, juga melambangkan keberanian, kepatriotan.

13. Pohon Garing yang tumbuh subur kokoh ramba rimbun dan produktif, bagai pilar

penyangga langit, melambangkan sebagai tokoh penegak wawasan.

14. Garing yang tumbuh kokoh menjadi tempat pemukiman Tambarirang dan Tingang, unsur

yang anggun perkasa serta menaungi berbagai ragam jenis mahluk di sekitarnya ikut

menikmati kesentosaan lingkungannya.

Jika Natan Y. Ilon menjelaskan dengan sederhana mengenai Batang Garing, maka

pemahaman Sius B. Dayat membahas mengenai penyebutan mengenai Batang Garing.

Penyebutan untuk Batang Garing bukan Batang Haring. Batang Haring itu hanya berlaku untuk

Liau Haring Kaharingan atau orang kaharingan yang sudah meninggal. Sebagai contoh, padi

yang tumbuh berbuah dan kemudian dipanen, lalu batangnya mati, kemudian muncullah

haringnya. Sama seperti manusia, setelah dia meninggal dunia lalu dia disebut liau karena

hidup kekal abadi. Haring berarti adalah kehidupan yang kedua. Di sana adalah tempat yang

kekal abadi karena ia sudah berada di Kerajaan Allah. Sedangkan Garing artinya adalah kokoh,

kuat, tidak tergoyahkan, dipercaya mempunyai kharisma, dan mempunyai pengetahuan yang

luar biasa. Kata Garing inilah yang dipakai untuk penyebutan Batang Garing.

52
Pemahaman Sius B. Dayat dan Lewis Kdr hanya membahas mengenai penyebutan

Batang Garing, namun pemahaman keduanya berbeda mengenai penyebutan Batang Garing ini.

Jika Sius B Dayat menyebutkan Batang Garing, maka hal yang berbeda diungkapkan oleh

Lewis Kdr menyebutnya Batang Haring sebagai penyebutan awal. Hal ini disebabkan karena

orang pada zaman dulu belum belajar bahasa Indonesia, sehingga tatacara pengucapan dari H

menjadi G, tapi yang sebenarnya penggunaan bahasa Batang Garing adalah Batang Haring.

Karena Garing itu tidak ada artinya. Bahasa Banjar, kata Garing berarti sakit, tetapi kalau

Haring artinya pambelum atau kehidupan. Oleh karena itu, apabila orang tua meninggal

biasanya orang bilang bahwa dia naik ke Lewu Tatau menghadap Batang Haring Uju

Kapendereng Mendeng.

Oleh sebab itu, tidak pernah kita membuat Batang Garing itu tujuh, melainkan hanya

diambil lima saja. Jika memakai tiga filosofi orang Kaharingan, karena memakai tiga tumpu

yaitu Kabayang Nyelu, Kabayang Tingang, dan Kayu Kambang Saribu. Kabayang Nyelu adalah

kita belajar agama. Kalau kebayang Tingang adalah bahadat. Kayu Kambang Saribu adalah saat

kita belajar dari TK, SD hingga perguruan tinggi yakni berapa ribu buku yang kita pakai,

cabang-cabang ilmu itu ada ribuan jumlahnya. Apabila orang yang masih hidup mendirikan tiga

batang kayu ini di rumah yakni kayu Erang Tingang, kayu Gambalang dan kayu Seribu, ia akan

selamat, dengan menggunakan dua kayu saja Erang Tingang dan Kambang Saribu ia bahadat

dan harati. Kayu Kambalang saja dengan kayu Erang Tingang, beragama namun tidak bahadat

dan juga bodoh karena tidak tau. Orang tua zaman dulu filosofinya adalah Garing Tungku

Tungket Langit yaitu tiga pohon kayu yang berdiri itu ada sejak kita hidup, Kayu Kambalang

Nyahu untuk Sang Pencipta, Kayu Kambang Saribu untuk kepintaran, dan Kayu Erang Tingang

adalah hadat/perbuatan.

53
Sedangkan menurut Juli Noman, beranggapan bahwa Batang Garing ada kaitannya

dengan manusia yang disebut sebagai Babungking Bakambatu, Bangkarungan Kaharingan

Belum. Dalam dunia ini, ada di dalam diri manusia yaitu Nyaru Kaharingan, wanita yang punya

anak yaitu memberikan ASI kepada anakanya karena ada Nyaru Kaharingan tersebut yang

membuat dia hidup. Batang Garing sebenarnya adalah bentuk manusia yang ada kaitannya

dengan tubuh manusia, makanya sering disebut sebagai pohon kehidupan. Batang Garing adalah

pohon gaib/sakti, yaitu tempat tinggal Japaan Hatala. Dia hidup di dalam Nyalu Tasik

Kaharingan, hidup berbagai macam burung seperti burung Tuntung Tingang. Jika burung

tersebut bersuara, dia bisa menghujani semua manusia, maka langsung mungku balian, Batang

Garing dera nafas manunjang kambang bantara bulan.

2.2. Pemahaman Masyarakat Umum mengenai Batang Garing

Maksud dari masyarakat umum di sini ialah masyarakat yang berada di Kecamatan

Pahandut dan Kecamatan Jekan raya. Masyarakat umum yang mencakupi semua bidang profesi,

baik itu Pegawai Negeri hingga ibu rumah tangga. Akan tetapi, Penulis hanya mengambil

beberapa pemahaman dari masyarakat mengenai Batang garing. Karena sebagian besar

pemahaman masyarakat di kedua kecamatan ini memiliki pemahaman yang sama mengenai

Batang Garing.

Rina adalah salah satu mahasiswi yang tinggal di wilayah kecamatan Jekan Raya

mengatakan bahwa, Batang Garing memang sering dijumpai dalam motif-motif batik

Kalimantan Tengah, gedung-gedung perkantoran, sekolah-sekolah, maupun dalam berbagai

pernak pernik khas Kalimantan Tengah. Meskipun sering dijumpai di berbagai tempat, sejauh

yang dipahaminya Batang Garing merupakan sebuah simbol yang sakral walaupun ia tidak

54
mengetahui makna dari simbol Batang Garing sendiri, yaitu hanya sebatas pemahaman umum

saja, yakni simbol khas dari masyarakat Kalimantan Tengah saja.41 Di samping itu, pemahaman

yang lebih jauh disampaikan oleh Gauri Vidya42 yang bekerja di salah satu kantor pemerintahan

mengatakan bahwa Batang Garing adalah pohon kehidupan. Sebagai pohon kehidupan, Batang

Garing kemudian dipakai sebagai simbol identitas masyarakat Dayak, khususnya dayak Ngaju

di Kalimantan Tengah. Batang Garing memang identik dengan orang Hindu Kaharingan, namun

simbol ini diadopsi supaya Batang Garing menjadi identitas kolektif atau identitas bersama

sebagai masyarakat yang hidup dengan damai di Kalimantan Tengah.

Hidup bersama di sini diartikan sebagai keseluruhan masyarakat, baik itu orang Dayak

Ngaju asli, pendatang, atau dari etnis yang lain. Batang Garing ini digunakan sebagai simbol

Kalimantan Tengah, karena batang Garing ini sudah jauh dikenal dalam suku Dayak Ngaju di

mana ada simbol ini maka di situ orang mengenal orang Dayak Kalimantan.43 Oleh sebab inilah,

maka kemudian Batang Garing ini dipakai kemudian oleh beberapa orang menjadi ornamen-

ornamen baik di perkantoran bahkan juga ada di pakain-pakain. Hal inilah yang kemudian

menjadi identitas bersama yakni Batang Garing adalah pohon kehidupan bagi semua orang.

Meskipun Batang Garing sering dipakai dalam beberapa ornament dan gedung

perkantoran, ternyata ada banyak masyarakat Dayak Ngaju yang memang tidak mengetahui apa

itu Batang Garing dan hanya memahaminya hanya sebagai simbol orang Dayak Ngaju. Seperti

Idrus Anom yang merupakan masyarakat asli Dayak Ngaju dan sudah mengenal simbol Batang

Garing sejak zaman Chilik Riwut sebagai Gubernur. ia mengatakan hanya mengenal Batang

Garing sebagai simbol orang Dayak dan tidak mengetahui apa makna maupun sejarah dari

41
Wawancara dengan Rina, 7 Januari 2016, pukul 11:00 WIB.
42
Wawancara dengan Gauri Vidya D, 11 Januari 2016, pukul 10:00 WIB.
43
Ibid, Wawancara dengan Gauri Vidya D, 11 Januari 2016, pukul 10:00 WIB.

55
Batang Garing, terlebih lagi kurangnya pemahamannya ini karena ia bukanlah orang yang

menganut agama Kaharingan.44 Hal ini menunjukkan bahwa, orang asli Dayak Ngaju yang

sudah lama tinggal dan menetap di Kalimantan khususnya yang berada di wilayah Kecamatan

Jekan Raya juga minim pengetahuannya mengenai Batang Garing.

Pemahaman lain yang disampaikan oleh Krimelisa, perempuan berusia 24 tahun yang

berprofesi sebagai arsitek ini memiliki pemahaman bahwa Batang Garing merupakan pohon

keramat. Ia mengatakan bahwa ibunya pernah bercerita bahwa Batang Garing adalah Batang

Pambelum atau Pohon Kehidupan yang dikenal sejak zaman dahulu di kalangan masyarakat

Dayak Ngaju yang menganut agama Kaharingan.45 Meskipun Krimelisa menganut agama

Kristen Protestan, ia setuju dengan dipakainya Batang Garing sebagai simbol orang Dayak

Ngaju karena simbol Batang Garing sendiri cukup eksis di kalangan masyarakat sejak lama.

Pemahaman serupa yang disampaikan oleh Tri yang bekerja sebagai Sapol PP, yang

menganggap Batang Garing sebagai Pohon Kehidupan dan menjadikan simbol Batang Garing

sebagai simbol Dayak Ngaju.46

Pemahaman masyarakat mengenai Batang Garing hanya sebagai Pohon Kehidupan atau

Batang Pambelum, dan menganggap Batang Garing sebagai simbol yang sakral. Meskipun

dianggap sebagai simbol yang sakral, simbol Batang Garing juga dianggap sebagai simbol

identitas kolektif bagi mayarakat yang berada di Kalimantan Tengah. Pengetahuan masyarakat

mengenai sejarah dan makna dari masing-masing bagian dari simbol Batang garing masih

kurang, bahkan banyak yang tidak mengetahuinya. Akan tetapi, pemahaman secara umum

44
Wawancara dengan Idrus Anom, 13 Januari 2016, pukul 16:00 WIB.
45
Wawancara dengan Krismelisa, 14 Januari 2016, pukul 10:00 WIB.
46
Wawancara dengan Tri, 14 Januari 2016, pukul 10:00 WIB.

56
Batang Garing sebagai Pohon kehidupan dan sebagai simbol masyarakat Dayak Ngaju cukup

eksis di kalangan masyarakat.

57

Anda mungkin juga menyukai