Kabupaten Kampar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Indonesia. Di samping
julukan Bumi Sarimadu, Kabupaten Kampar yang beribukota di Bangkinang ini juga dikenal
dengan julukan Serambi Mekkah di Provinsi Riau. Kabupaten ini memiliki luas 10.928,20
km² atau 12,26% dari luas Provinsi Riau dan berpenduduk ±688.204 jiwa berdasar sensus
2010.
Kabupaten Kampar dilalui oleh dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil, di
antaranya Sungai Kampar yang panjangnya ± 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m
dan lebar rata-rata 143 meter. Seluruh bagian sungai ini termasuk dalam Kabupaten Kampar
yang meliputi Kecamatan XIII Koto Kampar, Bangkinang, Bangkinang Barat, Kampar, Siak
Hulu, dan Kampar Kiri. Kemudian Sungai Siak bagian hulu yakni panjangnya ± 90 km
dengan kedalaman rata-rata 8 – 12 m yang melintasi kecamatan Tapung. Sungai-sungai besar
yang terdapat di Kabupaten Kampar ini sebagian masih berfungsi baik sebagai sarana
perhubungan, sumber air bersih, budi daya ikan, maupun sebagai sumber energi listrik
(PLTA Koto Panjang).
Kabupaten Kampar pada umumnya beriklim tropis, suhu minimum terjadi pada bulan
November dan Desember yaitu sebesar 21 °C. Suhu maksimum terjadi pada Juli dengan
temperatur 35 °C. Jumlah hari hujan pada tahun 2009, yang terbanyak adalah di sekitar
Bangkinang Seberang dan Kampar Kiri.
Semenjak terbentuk Kabupaten Kampar pada tahun 1949 sampai tahun 2006 sudah 21 kali
masa jabatan Bupati Kepala Daerah. Sampai Jabatan Bupati yang keenam (H. Soebrantas S.)
ibu kota Kabupaten Kampar dipindahkan ke Bangkinang berdasarkan UU No. 12 tahun 1956.
Bangkinang terletak di tengah-tengah daerah Kabupaten Kampar, yang dapat dengan mudah
untuk melaksanakan pembinaan ke seluruh wilayah kecamatan dan sebaliknya
WILAYAH GEOGRAFIS
Kabupaten Kampar dengan luas lebih kurang 1.128.928 Ha merupakan daerah yang terletak
antara 01000’40” Lintang Utara sampai 00027’00” Lintang Selatan dan 100028’30” –
101014’30” Bujur Timur. Batas-batas daerah Kabupaten Kampar adalah sebagai berikut :
Di daerah Kabupaten Kampar terdapat dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil
yaitu:
Sungai-sungai besar yang terdapat di Kabupaten Kampar ini sebagian masih berfungsi baik
sebagai prasarana perhubungan, sumber air bersih budi daya ikan maupun sebagai sumber
energi listrik (PLTA Koto Panjang).
Kabupaten Kampar pada umumnya beriklim tropis dengan temperatur maksimum 320C.
Jumlah hari hujan dalam tahun 2006, yang terbanyak adalah disekitar Salo, Bangkinang, dan
Bangkinang Seberang sedang yang paling sedikit terjadinya hujan adalah sekitar Tapung
Hulu
Kabupaten Kampar di Propinsi Riau memiliki julukan sebagai "negeri serambi Makkah". Julukan
lainnya yang juga diberikan kepada kabupaten yang beribu kota di Kota Bangkinang ini adalah "bumi
sarimadu". Secara garis lintang, kabupaten ini terletak pada 1°00’40” LU sampai 0°27’00” LS dan
100°28’30” – 101°14’30” BT. Sama seperti kabupaten lain di Riau, Kampar memiliki iklim tropis,
dengan suhu rendah terjadi pada bulan November dan Desember dengan capaian sebesar 21 °C,
sementara cuaca memanas terjadi pada bulan Juli dengan suhu sekitar 35 °C.
Bangkinang sebagai ibukota Kabupaten Kampar terletak hampir di tengah wilayah kabupaten
menjadi kekuatan daerah untuk melakukan pembinaan ke seluruh wilayah kecamatan dan memberi
kemudahan bagi kecamatan untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten.
Bangkinang juga menjadi lintasan transportasi utama dari wilayah Riau lainnya menuju ke Provinsi
Sumatera Barat.
Mengenai Catatan Penelitian oleh arkeolog berkebangsaan Belanda tersebut yang bernama Dr. F.M.
Schnitger dapat dibaca di :
Sejarah Candi Muara Takus The Forgotten Kingdoms in Sumatera
Pada jaman kemerdekaan, Kampar mengalami perubahan status kepemerintahan. Kampar
merupakan salah satu daerah dalam wilayah Propinsi Sumatera Tengah yang secara kepemerintahan
terbentuk pada tahun 1949. Berdasarkan surat keputusan Gubernur Militer Sumatera Tengah
Nomor : 10/GM/STE/49 tanggal 9 Nopember 1949, dinyatakan bahwa Ibukota Kabupaten Kampar
adalah Pekanbaru yang meliputi wilayah Pelalawan, Pasir Pangarayan, Bangkinang dan Pekanbaru
Luar Kota.
Ibu kota Kabupaten Kampar kemudian dipindahkan dari Pekanbaru ke Bangkinang berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1956 tanggal 19 Maret 1956 mengingat Pekanbaru
dijadikan Ibukota Propinsi Riau. Mengenai Pekanbaru sendiri telah dijadikan Daerah Otonom Kota
Ketjil Pekanbaru berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1956 tanggal 19
Maret 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil Dalam Lingkungan Daerah Propinsi
Sumatera Tengah. Kedua undang-undang ini dikeluarkan pada hari yang sama dengan nomor yang
berbeda.
Undang-undang Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1956 No. 8 tahun 1956 berisikan tentang
Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah pada
pasal 1 yang terdiri dari :
1. Pakan Baru dengan nama Kota Kecil Pakan Baru, dengan watas-watas sebagaimana
ditetapkan dengan Keputusan Komisaris Negara Urusan Dalam Negeri tanggal 28 November
1947 No. 13/DP;
2. Sawah Lunto, dengan nama Kota Kecil Sawah Lunto, dengan watas-watas sebagaimana
ditetapkan dengan beslit-beslit Gubernur - Jenderal Hindia - Belanda tanggal 1 Desember
1888 No. 1 (Staatsblad 1888 No. 181) dan tanggal 25 Oktober 1929 No. 31 (Staatsblad 1929
No. 400);
3. Padang Panjang, dengan nama Kota Kecil Padang Panjang dengan watas-watas sebagaimana
ditetapkan dengan beslit Gubernur - Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Desember 1898 No. 1
(Staatsblad 1888 No. 181) termasuk wilayah Negeri Gunung dan Bukitsurungan;
4. Solok, dengan nama Kota Kecil Solok, dengan watas-watas yang akan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri;
5. Payakumbuh, dengan nama Kota Kecil Payakumbuh, dengan watas-watas yang akan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Undang-undang Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1956 No. 12 tahun 1956 berisikan tentang
Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah
pada pasal 1 yang terdiri dari :
Kedua undang-undang di atas terlahir berdasarkan Undang-Undang Pokok Nomor 22 Tahun 1948
Tentang Pemerintahan Daerah yang ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1948 oleh
Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Undang-undang ini membagi Daerah Negara Republik
Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Provinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota
kecil), negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957,
Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Kemudian
yang menjadi wilayah provinsi Riau yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri
Inderapura dan Keresidenan Riau serta ditambah Kampar. Sejak itu Kampar menjadi bagian dari
Provinsi Riau.
Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 kemudian ditetapkan lagi melalui Undang-Undang
Nomor 61 tahun 1958 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negera
Tahun 1957 No. 75) sebagai Undang-Undang.
Undang-Undang tersebut pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan pembubaran Daerah Swatantra Tingkat I
Sumatera Tengah, sebagaimana di maksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No. 4 tahun 1950, dan membaginya menjadi tiga bagian yaitu Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera
Barat, Riau dan Jambi.
Daerah Swatantra Tingkat I Riau berkedudukan di Tanjung Pinang yang wilayahnya meliputi wilayah-
wilayah Daerah-daerah Swatantra Tingkat II pasal 1 ayat (1) huruf c :
1. Bengkalis
2. Kampar
3. Inderagiri
4. Kepulauan Riau
Keempat daerah ini termaksud dalam Undang-undang No. 12 tahun 1956 (Lembaran Negara
tahun 1956 No. 25),
5. Kotapraja Pakanbaru, termaksud dalam Undang-undang No. 8 tahun 1956 (Lembaran
Negara tahun 1956 No. 19).
Kemudian terjadi perubahan sebagian wilayah Kabupaten Kampar menjadi bagian wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Pekanbaru terjadi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
Pekanbaru dan Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar. Peraturan ini merubah batas wilayah yang
diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 dan Nomor 12 tahun 1956.
Batas wilayah Kota Madya Tingkat II Pekanbaru diubah dan diperluas dengan memasukkan sebagian
wilayah Kecamatan Siak Hulu P.W dan Kecamatan Kampar yang sebelumnya masuk wilayah
Kabupaten Tingkat II Kampar, yang terdiri dari :
Pada tahun 1999, berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 53 Tahun 1999, Kabupaten Kampar
dipecah menjadi 3 kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Kampar
2. Kabupaten Pelalawan
3. Kabupaten Rokan Hulu
Seiring perjalalan waktu dengan berbagai perubahan peraturan, sekarang Kabupaten Kampar terus
mengalami pemekaran dengan jumlah kecamatan yang terus berkembang. Daftar 21 kecamatan di
Kabupaten Kampar (Wikipedia) :
1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Rokan Hulu
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuantan Singingi
3. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Provinsi Sumatera barat.
4. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Palalawan, Kabupaten Siak dan Kota
Pekanbaru.
Kabupaten Kampar, Riau dialiri oleh beberapa sungai baik sungai besar maupun sungai kecil. Sungai
Kampar merupakan salah satu sungai terbesar di kawasan ini yang menjadi daerah pusat
pembangkit listrik. Sungai ini rata-rata memiliki panjangnya ± 413,5 km, kedalaman rata-rata 7,7
meter dan lebar rata-rata mencapai 143 meter. Selain Sungai Kampar, Sungai Siak juga mengaliri
kabupaten yang satu ini. Sungai Siak di Kabupaten Kampar melintasi daerah Tapung, Kampar.
Sungai-sungai tersebut digunakan untuk berbagai fungsi seperti perhubungan, pembangkit listrik,
budi daya perikanan, sumber air bersih dan sebagainya.
Kabupaten Kampar sangat kaya dengan budaya dan tempat-tempat wisata budaya yang menarik dan
bersejarah. Beberapa objek wisata yang bisa Anda kunjungi saat berada di kabupaten tersebut
antara lain sebagai berikut:
Namun sangat diyakini bahwa Candi Muara Takus adalah barang peninggalan sejarah
beberapa abad yang lalu dan sangat dipercayai oleh masyarakat beragama Budha. Pada
tahun 1935, seorang Belanda bernama FM. Schnitger mengunjungi candi dan menyaksikan
sesuatu yang aneh. Sepanjang malam dibawah sinar bulan, sekawanan gajah tiba-tiba
mendekat dan menundukkan kepala di dekat reruntuhan.
2. Danau Koto Panjang
Danau ini terletak sekitar 30 km dari Kota Bangkinang, atau 100 km dari Pekanbaru. Danau
ini merupakan danau buatan manusia yang tujuannya adalah sebagai waduk untuk proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Air – yang mengumpulkan air sejumlah 12.400 ha, dan terdapat 3
pulau di dalamnya.
3. Gunung Sahilan
Terletak 70 km dari Pekanbaru, merupakan sebuah wilayah dengan rumah tua dan istana
untuk mengingat bekas kerajaan pada masa lalu yang disebut dengan nama Kerajaan
Gunung Sahilan.
4. Mandi Potang Balimau
Ini adalah sebuah tradisi yang dilakukan penduduk Melayu di Kampar – yang diadakan di
Sungai Batang Kampar dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Tujuannya adalah untuk
mensucikan hati dan jiwa dan mempersiapkan diri untuk menyambut Ramadhan.
Mandi Balimau merupakan salah satu budaya Kampar yang cukup dikenal. Tradisi ini banyak
dilakukan pada saat menjelang bulan Ramadhan tiba. Biasanya penduduk akan mengadakan
acara mandi bersama di daerah sungai dengan diiringi berbagai bentuk hiburan. Dulunya
tradisi ini merupakan tradisi mandi menggunakan jeruk yang dipercaya akan mampu
membersihkan diri seseorang sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.
5. Mauwo
Adalah sebuah tradisi masyarakat Kampar untuk menangkap ikan di sebuah danau bernama
‘Bakuok’. Selama upacara ini, hampir seluruh permukaan danau dipenuhi oleh sampan yang
diisi oleh banyak orang, setiap sampan terdiri dari beberapa orang yang mendayung dan
menyebarkan jala untuk menangkap ikan.
6. Air Terjun Tertinggi di Riau : Batang Kapas
Air terjun ini berada di Kampar Kiri Hulu yang menjadi objek wisata petualangan bagi
peminat khusus mengingat perjalanan yang ditempuh untuk mencapai kesana cukup berat
dan ada daerah yang mendaki. Air terjun ini sangat fenomenal dengan ketinggiannya
mencapai 150 meter dan lokasi tempat beristirahat atau kemping di belakang air terjun.
Silahkan baca lebih lanjut tentang Air terjun ini : Riau Memiliki Air Terjun Tertinggi di
Sumatera
Mulai Akhir
No Bupati[1] Prd. Wakil Bupati Ket.
menjabat menjabat
1 Datuk Wan Abdul Rahman 1 Januari 1950 April 1954 1
September
2 Ali Lubis April 1954 2
1958
Abd. Muis Datuk September
3 Maret 1958 3
Rangkayo Maharajo 1958
September
(1) Datuk Wan Abdul Rahman Oktober 1959 4
1958
11 Februari
4 Datuk Harunsyah 2 Januari 1960 5
1965
11 November
5 T. Muhammad 17 Mei 1967 6
1965
18 Mei 1967 18 Mei 1972 7
18 Mei 1972 18 Mei 1974 8
6 R. Soebrantas Siswanto
18 September
18 Mei 1974 9
1978
7 September 14 Februari
7 A. Makahamid 10
1978 1979
8 Sartono Hadisumarto 14 Februari 14 Februari 11
1979 1984
9 Syarifuddin 28 Mei 1984 April 1986 12
H. April 1986 25 Maret 1991 13
10 Saleh Djasit
S.H 25 Maret 1991 3 April 1996 14
H.
4 November
11 M. Azaly Djohan, 3 April 1996 15
S.H.
1996
Drs. 4 November
12 Beng Sabil 5 april 2001 16
1996
Drs. 23 November
Syawir Hamid 5 April 2001
2001
H. 23 November
13 Jefry Noer 25 Maret 2004
2001
H. 23 September
Rusli Zainal 25 Maret 2004 17
2005
H. 23 September 23 November
(13) Jefry Noer
2005 2006
Drs. 23 November 11 Desember
Marjohan Yusuf 2006 2006
Drs. H.
11 Desember 11 Desember
14 Burhanuddin Husin 18
M.M
2006 2011
H.
11 Desember 11 Desember [2]
(14) Jefry Noer 19 Ibrahim Ali
S.H
2011 2016
Syahrial Abdi 11 Desember
AP, M.Si 22 Mei 2017
(Pejabat Wali Kota)
2016
H. Catur Sugeng
15 Azis Zaenal 22 Mei 2017 Petahana 20 Susanto
SH, MM SH
Pada zaman Belanda pembagian wilayah secara Administrasi dan Pemerintahan masih
berdasarkan persekutuan Hukum Adat, yang meliputi beberapa kelompok wilayah yang
sangat luas yakni :
Desa Swapraja Senapelan/ Pekanbaru meliputi Kewedan Kampar Kiri Senapelan dan
Swapraja Gunung Sahilan, Singingi sampai Kenegerian Tapung Kiri dan Tapung
Kanan termasuk Kesultanan Siak (Residensi Riau).
Desa Swapraja Pelalawan meliuti Bunut, Pangkalan Kuras, Serapung dan Kuala
Kampar (Residensi Riau), Situasi genting antara Republik Indoensia dengan Belanda
saat itu tidak memungkinkan untuk diresmikannya Kabupaten Kampar oleh
Pemerintah Propinsi Sumatera Tengah pada bulan Nopember 1948.
Saat itu guna kepentingan militer, Kabupaten Kampar dijadikan suatu Kabupaten, dengan
nama Riau Nishi Bunshu (Kabupaten Riau Barat) yang meliputi Kewedanaan Bangkinang
dan Kewedanaan pasir Pengarayan.
Dengan menyerahnya Jepang ke pihak sekutu dan setelah proklamasi Kemerdekaan, maka
kembali Bangkinang ke status semla, yakni Kabupaten Limapuluh Kota, dengan ketentuan
dihapuskannya pembagian Administrasi Pemerintahan berturut-turut seperti : cu
(Kecamatan), gun (Kewedanaan), bu (kabupaten), kedemangan Bangkinang dimasukkan ke
dalam Pekanbaru bun (Kabupaten) Pekanbaru.
C. ZAMAN KEMERDEKAAN
Untuk mempersiapkan pembentukan Pemerintah Propinsi dan Daerah yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri, maka komiseriat pemerintah pusat di Bukit Tinggi
menetapkan peraturan tentang pembentukan Kabupaten dalam Propinsi Sumatera Tengah
yang bersifat sementara, dengan pembagian 11 (sebelas) Kabupaten, yakni :
Berdasarkan pembagian tersebut, diketahui bahwa tanggal 1 Desember 1948 adalah proses
yang mendahului pengelompokan wilayah kabupaten Kampar. Pada Tanggal 1 Januari 1950
ditunjuklah Dt. Wan Abdul Rahman sebagai Bupati Kampar pertama dengan tujuan untuk
mengisi kekosongan pemerintah, karena adanya penyerahan kedaulatan Pemerintah Republik
Indonesia hasil Konfrensi Bundar.
Tanggal 6 Februari 1950 adalah sat terpenuhinya seluruh persyaratan untuk penetapan hari
kelahiran, hal ini sesuai ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah No. : 3/dc/stg/50
tentang penetapan Kabupaten Kampar, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri.
Sejak tanggal 6 Februari 1950 tersebut Kabupaten Kampar tersmi memiliki nama, batas-batas
wilayah, dan pemerintah yang sah dan kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor
12 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom Kabupaten Kampar lingkungan Daerah
Propinsi Sumatera Tengah.
Secara yuridis dan sesuai persyaratan resmi berdirinya suatu daerah, dasar penetapan hari jadi
Kabupaten Kampar adalah pada saat dikeluarkannya Ketetapan Gubernur Militer Sumatera
Tengah No. 3/dc/stg/50 Tanggal 6 Februari 1950, yang kemudian ditetapk dengan peraturan
daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar No. : 02 Tahun 1999 tentang hari jadi daerah
tingkat II Kampar dan disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingakt I Riau No. :
kpts.06/11/1999 Tanggal 4 Februari 1999 serta diundangkan dalam lembaran Daerah
Kabuapten Darah Tk. II Kampar Than 1999 No. : 01 Tanggal 5 Februari 1999 Dalam
perkembangan selanjutnya sesuai dengan perkembangan dan aspirasi masyarakat berdasarkan
undang-undang No. 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Kampar Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaen Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam (lembaran Negara tahun
1999 nomor Kampar dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Kampar,
Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hulu. Dua Kabupaten baru tersebut yaitu
Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Pelalawan sebelumnya merupakan wilayah pembantu
Bupati wilayah I dan Bupatei Wilayah II.
Sejak terbentuknya Kabupaten Kampar sampai dengan saat kita memperingati hari jadi ke –
63 ini, Pejabat-pejabat yang ernah menjadi Pimpinan Daerah di Kabupaten Kampar, adalah :
Penghulu dan perangkat adat lainnya di Kampar akan memegang jabatan selama hidupnya, Namun
ada lima alasan atau kondisi yang menyebabkan seorang Penghulu / Ninik mamak kehilangan
jabatannya. Lima hal itu adalah:
Balimau Kasai adalah sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat Kampar di Provinsi
Riau untuk menyambut bulan suci Ramadan. Acara ini biasanya dilaksanakan sehari menjelang
masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain sebagai ungkapan rasa syukur dan
kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian dan pembersihan diri.
Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh
masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan
jeruk kapas. Sedangkan kasai adalah wangi-wangian yang dipakai saat berkeramas.Bagi masyarakat
Kampar, pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang
ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa. Sebenarnya upacara bersih diri atau mandi
menjelang masuk bulan ramadhan tidak hanya dimiliki masyarakat Kampar saja. Kalau di Kampar
upacara ini sering dikenal dengan nama Balimau Kasai, maka di Kota Pelalawan lebih dikenal dengan
nama Balimau Kasai Potang Mamogang. Di Sumatera Barat juga dikenal istilah yang hampir mirip,
yakni Mandi Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata potang mamogong mempunyai
arti menjelang petang karena menunjuk waktu pelaksanaan acara tersebut. Tradisi Balimau Kasai di
Kampar, konon telah berlangsung berabad-abad lamanya sejak daerah ini masih di bawah kekuasaan
kerajaan. Upacara untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan ini dipercayai bermula dari
kebiasaan Raja Pelalawan. Namun ada juga anggapan lain yang mengatakan bahwa upacara
tradisional ini berasal dari Sumatera Barat. Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara Balimau Kasai
dianggap sebagai tradisi campuran Hindu- Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara Takus
berkuasa. Keistimewaan Balimau Kasai merupakan acara adat yang mengandung nilai sakral yang
khas. Wisatawan yang mengikuti acara ini bisa menyaksikan masyarakat Kampar dan sekitarnya
berbondong-bondong menuju pinggir sungai (Sungai Kampar) untuk melakukan ritual mandi
bersama. Sebelum masyarakat menceburkan diri ke sungai, ritual mandi ini dimulai dengan makan
bersama yang oleh masyarakat sering disebut makan majamba. 1. FILOSOFI DARI UPACARA RITUAL
BALIMAU KASAI Balaimau kasai ini berasal dari tradisi penduduk sungai gangga yang ada di india
mereka menganut agama hindu yang memeiliki tradisi penyucian diri di sungai, agar dosa-dosa
mereka hilang bersama mengalirnya air sungai tersebut dan kemudian agama itu berkembang di
Indonesia hingga sampai ke pelosok negeri yang ada di nusantara dan sungai di kampar ini sebagai
bukti bahwa adanya agama hindu sampai di kampar adalah dengan adanya gugusan candi di muara
takus (XIII Koto Kampar). Dan setelah masuk di daerah pelalawan berkembangnya Budaya dan
Tradisi dan budaya itu pun masih berkembang hingga sekarang ini semoga apa yang telah di
wariskan oleh nenek moyang kita dahulu dapat lebih berkembang lagi hingga ke sanak cucu kita
nanti. Balimau Kasai bagi masyarakat Kampar mempunyai makna yang mendalam yakni bersuci
sehari sebelum Ramadhan. Biasanya dilakukan ketika petang sebelum Ramadhan berlangsung. Tua-
muda turun ke sungai dan mandi bersama.Balimau artinya membasuh diri dengan ramuan rebusan
limau purut atau limau nipis. Sedangkan kasai yang bermakna lulur dalam bahasa Melayu adalah
bahan alami seperti beras, kunyit, daun pandan dan bunga bungaan yang membuat wangi tubuh.
Tradisi ini, berlangsung sejak turun menurun di kalangan Melayu Riau. Tradisi dilakukan hampir di
seluruh kabupaten/kota yang ada, dengan nama berbeda satu sama lain. Contohnya saja Balimau
Kasai lebih dikenal oleh masyarakat Kabupaten Kampar . Balimau Kasai artinya mensucikan diri baik
lahir dan batin, sebelum datangnya Ramadhan,"menurut masyarakat. Kebanyakan orang kegiatan
Balimau Kasai ini merupakan ritual wajib yang harus dilakukan. Selain mandi di sungai dengan limau
yang dianggap sebagai penyucian fisik, ajang ini juga dijadikan sarana untuk memperkuat rasa
persaudaraan sesama muslim dengan saling mengunjungi dan meminta maaf.Namun sangat
disayangkan pada saat ini, tradisi ini semakin menyalahi, dulu ada batasan antara lelaki dan
perempuan. Sekarang semua bercampur baur. Tidak lagi menunjukkan mensucikan diri yang
sebenarnya, 2. NILAI FILOSOFIS DARI MANDI BALIMAU Mandi Balimau kasai tersebut bukanlah
termasuk sunnah rosulullah, melainkan hanya sebagai tradisi semata yang memiliki nilai filosofis
yang tinggi bagi masyarakat pelalawan dan sekitarnya, Selain momen membersihkan diri secara
zahir, mandi Balimau Kasai juga merupakan momentum untuk menjalin silaturrahmi dan acara saling
maaf memaafkan dalam rangka menyambut tamu agung yaitu Syahru Ramadan Syahrus Siyam, jadi
bukanlah sebuah keyakian yang memiliki dalil naqli secara qat'i. tapi ini lebih kepada sebuah adat
yang bersendikan syara' (Syariat Islam) syara' bersandikan Kitabullah yang secara filosifisnya tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kemajuan zaman hari ini secara
langsung maupun tidak memberikan dampak negative terhadap kehidupan kita dalam kerangka adat
istiadat, banyak terjadi distorsi sejarah, salah interpretasi terhadap nilai-nilai adat yang telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, termasuk mandi Balimau Kasai.
Dahulunya jika ingin mandi di sungai ini, jangan pernah bergabung dengan para wanita, karena
antara 'topian" (tempat mandi) laki-laki dengan perempuan ada tempat khusus, yaitu antara tempat
lak-laki dengan perempuan berjarak sekitar 20 meter dan selang-seling. Dalam Mandi Balimau Kasai
pada awalnya tidak dilakukan secara bercampur antara laki-laki dengan perempuan, akan tetapi
akhir-akhir ini hal tersebut sudah tidak diindahkan lagi. Kalau kita lihat apa yang terjadi saat ini,
tradisi Mandi Balimau Kasai, sudah sangat jauh dilencengkan. Kita hanya akan melihat kegiatan yang
sifatnya hura-hura dan pergaulan yang tidak sepantasnya dilakukan didepan umum. Bahkan yang
memalukan adalah mandi bersamaan yang dilakukan anak muda laki-laki dengan perempuan dan
juga mabuk mabukan. Padahal dulunya, tradisi ini merupakan hal yang tergolong sakral. Sebelum
memasuki bulan puasa atau sebelum magrib, anak, anak kemenakan dan menantu atau juga yang
tua serta murid, akan mendatangi orang tua, mertua, mamak (paman), kepala adat, atau guru
mereka dalam rangka meminta maaf menjelang masuk bulan suci.Kedatangan generasi muda
menjenguk orang tua akan disertai dengan iring-iringan dan membawa bahan Limau dan Kasai, serta
membawa jambau (makan-makanan). 3. Ramuan dan Tata Cara Mandi Balimau Kasai Bahan ramuan
limau yaitu limau purut, kumanyang, kabelu, urat sirih koduok, lengkuas padang, serai wangi,
mayang pinang, daun nilam, urat siduo, urat usau, bunga kenanga, bunga tanjung dan bunga rampai.
Semua bahan ini direbus agak lama hingga kulit limau purut bisa hancur diremas. Adapun kasai
terbagi dua yaitu kasai kering dan kasai basah. Bahan ramuan kasai kering adalah beras, coku dan
kunyit. Membuat kasai kering dengan merendam beras hingga lunak kemudian ditumbuk bersama
coku dan kunyit. Sedangkan membuat kasai basah dengan merendam beras hingga lunak kemudian
ditumbuk bersama coku tanpa kunyit, ditambah kumanyang dan kulit limau purut. Kasai basah
berwarna putih sedangkan kasai kering berwarna kuning. Dahulu limau dan kasai dibungkus dengan
dengan daun pisang,yang mana daun pisang tersebut dilayukan terlebih dahulu. Namun sekarang
limau dan kasai sudah di bungkus dengan bungkusan plastik. Namun isi dari limau dan kasai nya
tetaplah sama. Cara Penggunaannya, ternyata Limau atau jeruk adalah untuk dilumuri di kepala
seperti halnya kita berkeramas menggunakan shampoo. Kemudian Kasai atau Lulur adalah
pembersih sebatang tubuh layaknya seperti kita menggunakan sabun. Bunga rampai adalah untuk
pewangi air yang kita gunakan untuk mandi, layaknya seperti mandi kembang. Selain kegunaan
Limau dan Kasai sebagai ramuan mandi sebagai bagian dari Pembersihan Raga, Limau dan Kasai juga
dijadikan sarana Pembersihan hati dan jiwa. Caranya adalah dengan memberikan Limau kasai
kepada sanak saudara atau kerabat yang dikunjungi dan saling bermaaf-maafan. Biasanya Tradisi
mengunjungi ini dilakukan oleh yang lebih muda mengunjungi yang tua, seperti Anak mengunjungi
Orang Tua, menantu mengunjungi mertua, kemenakan mengunjungi Paman dan seterusnya.
4. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Balimau Kasai Tokoh agama Sumatera Barat, Prof. Dr Duski
Samad menilai, tradisi balimau (mensucikan diri dengan mandi di sungai) menjelang Ramadhan,
akan menodai Ramadhan itu sendiri, karena tidak ada dalam ajaran Islam. "Tradisi balimau yang
masih dilaksanakan masyarakat sangat keliru, karena ibaratkan musik tidak ada notnya, sehingga
tidak memberikan arti apa-apa Menjelang Ramadhan 1431 H, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Kampar termasuk dalam balimau kasai diharamkan mandi bareng karena itu bukanlah
tradisi yang Islami," ungkap Ketua MUI Kampar Mawardi melalui Sekretaris Umum MUI Kampar H
Johar Arifin kemarin. Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Ketua MUI Kampar DR H Mawardi MS MA
melalui sekretaris MUI Kampar H Johar Arifin Lc MA menyatakan tradisi Balimau Kasai di Kampar
kalau mengikuti kepada konsep awal tidak ada masalah sama sekali dan tidak bertentangan dengan
agama Islam, karena pada awalnya dulu Balimau Kasai benar benar satu tradisi masyarakat dalam
menyambut ramadhan dalam bentuk saling mengunjungi antara keluarga yang satu dengan keluarga
yang lain. ''Dulunya yang disebut dengan Balimau Kasai itu adalah tradisi saling memaafkan satu
sama lainnya, mengunjungi keluarga, lalu kalaupun mandi mandinya sendiri sendiri dan tidak
bercampur baur antara laki laki dan perempuan, sehingga tidak ada masalah sama sekali dengan
agama dengan adanya tradisi balimau kasai ini, ''ujarnya. Islam sama sekali tidak pernah
mengajarkan ketika memasuki bulan suci ramadhan agar mandi menyiram sekujur tubuhnya (mirip
mandi junub),di dalam agama islam sebelum memasuki bulan ramadhan sangat dianjurkan untuk
saling mema'afkan satu sama lainnya, karena ramadhan adalah bulan untuk bertaubat, sementara
ampunan Allah terhalang jika urusan sesama manusia belum diselesaikan, disamping itu, kaum
muslimin dianjurkan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin secara fisik dan pisikis, agar
memperoleh hasil secara optimal dalam menjalankan ibadah puasa. Dan bukan dengan mandi
balimau kasai yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat Kampar. Balimau kasai yang sudah
dilaksanakan di kampar bertahun-tahun menimbulkan pro dan kontra dimasyarakat, karena dinilai
sudah jauh menyimpang dari makna yang sebenarnya. 5. Perubahan Nilai dari Mandi Balimau Kasai
Sekarang tradisi ini semakin menyalahi aqidah, dahulu ada batasan antara lelaki dan perempuan.
Sekarang semua bercampur baur. Musik yang dihadirkan pun bukanlah yang bernuasa Islami.
Melainkan musik dangdut dengan goyangan yang membangkitkan gairah. Tak ayal, ajang yang
semula dijadikan penyucian diri berubah makna menjadi ajang jodoh dan mandi bersama pasangan
yang bukan mahram. Balimau kasai di jadikan hari terakhir sebelum hari semuanya dilarang pada
keesokan harinya. Untuk menuju balimau kasai ini, orang akan menempuh satu jam perjalanan.
Namun hal ini sebanding dengan keringanan yang ia dapatkan. Ia tak memungkiri, jika balimau kasai
dijadikan sebagai ajang untuk berkenalan dengan gadis dari daerah lain.
Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub
Yang dimaksud dengan “Hari raya” dalam kertas kerja ini adalah hari berkumpul, perayaan atau
festival yang dibudayakan oleh suatu masyarakat…[5]
Kata “Puaso” dalam bahasa Indonesia adalah “puasa”, sedang kata “onam” dalam bahasa Indonesia
adalah “enam”. Bangkinang dan Sungai Tonang termasuk daerah Kampar (Minang rantau yang biasa
disebut dengan Limo Koto) bahasa daerahnya adalah Bahasa Melayu khas perpaduan antara bahasa
Minangkabau dengan bahasa Melayu Riau atau Malaya (Malaysia). Secara historis daerah Limo Koto
mempunyai akar budaya yang kuat dengan ranah Minangkabau[6] dan kerajaan tanah Malaya[7]…
Dalam banyak hal bunyi huruf “a” dalam suatu kata diucapkan dengan bunyi “o”, seperti “puasa”
diucapkan dengan “puaso”, “siapa”, dengan “siapo”.
Jadi, “puaso onam”, menurut pengertian bahasa adalah “berpuasa enam hari pada bulan syawal”,
yang oleh masyarakat Bangkinang dan Sungai Tonang difokuskan pada puasa sunat di awal bulan
Syawal; terhitung mulai dari tanggal 2 Syawal hingga tanggal 7 Syawal.[8]
Sedangkan Hari raya Puaso Onam, menurut pengertian dalam kertas kerja ini adalah “hari raya
budaya[9] Islami yang disemarakkan oleh masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang pada
tanggal 8 Syawal dengan rangkaian kegiatan yang bersumber dari ajaran syari’at Islam.”
Disebut dengan “hari raya budaya Islami”, karena penentuan dan penetapan hari tanggal 8 Syawal
tersebut secara spesifik sebagai hari raya ummat Islam, tidak dijumpai ketetapannya dalam Al
Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas... Tidak pernah dilakukan secara khusus oleh Rasulullah SAW, para
sahabat, tabi’in, tabi’ tabiin, atau generasi salaf dan khalaf… tetapi hari raya ini timbul dari tradisi
lokal, yang telah membudaya dalam masyarakat. Namun, rangkaian kegiatan yang bertalian dengan
hari raya dimaksud adalah mengakar dalam ajaran syari’at Islam…
Yang dimaksud dengan masyarakat Islam Bangkinang dan desa Sungai Tonang adalah masyarakat
Islam yang berdomisili di kampung halaman, serta para perantau yang berasal dari Bangkinang dan
Sungai Tonang Kab. Kampar Riau yang sedang pulang kampung atau berada di kampung halaman.
Sebagai peristiwa budaya, maka “Hari raya Puaso Onam” identik dengan “Hari raya Ziarah Kubur”,
karena inti kegiatan yang dilakukan kaum laki-laki secara berjamaah di hari itu adalah “berziarah ke
seluruh pandam perkuburan yang ada lingkungan desa masing-masing”.
Untuk lebih jelasnya, budaya “Hari Raya Puaso Onam” dapat digambarkan sebagai berikut:
Diawali – biasanya setelah shalat shubuh - dengan berziarah ke pandam perkuburan yang ada di
lingkungan desa masing-masing secara berjama’ah oleh kaum laki-laki (yang terdiri dari berbagai
strata usia)… Di pandam perkuburan dilakukan serangkaian acara, seperti; membaca ayat-ayat
pendek, berzikir dan bertahlil, lalu diakhiri dengan berdo’a bersama untuk keampunan dan
keselamatan ahli kubur dan seluruh kaum muslimin. Setelah berziarah ke satu pandam perkuburan,
maka dilanjutkan dengan berziarah ke pandam perkuburan berikutnya, sampai semuanya mendapat
giliran...
Pada waktu kaum laki-laki melakukan ziarah kubur, maka kaum ibu secara bersama dan suka rela
menyiapkan hidangan makanan yang disebut dengan “jambar nasi” di masjid atau di menasah
(mushalla) yang telah ditetapkan panitia. Hidangan makanan ini disantap bersama setelah ziarah
kubur selesai.
Sebagai peristiwa budaya, Hari raya Puaso Onam atau Hari raya Ziarah Kubur, telah mengalami
perkembangan, sesuai dengan tingkat intlektualitas masyarakat dan tuntutan zaman; dimana nilai-
nilai keagamaan (Islam), pendidikan, sosial, budaya, dan politik, mengkristal menjadi satu…
Acara makan bersama bertujuan untuk mempererat silaturrahmi antar sesama, baik bagi penetap
maupun perantau.
Di Sungai Tonang setelah makan bersama dilanjutkan dengan acara “halal bil halal…” melalui
moment ini, maka persoalan-persoalan kampung halaman dimusyawarahkan, berikut program-
program ke depan, seperti masalah pendidikan dan masalah krusial keagamaan lainnya, sehingga
dapat dipahami oleh seluruh mereka yang menetap di kampung halaman dan mereka yang hidup di
perantauan.., lalu ditanggulangi secara bersama.
Jadi, kegiatan Hari raya Puaso Onam berawal dengan berziarah ke pandam perkuburan dan berakhir
dengan bersilaturrahmi dan bermusyawarah tentang persoalan yang dipandang paling krusial di
kampung halaman… Sebagai peristiwa budaya Islami Hari raya Puaso Onam mengandung banyak hal
positif, antara lain sebagai berikut:
Ziarah kubur; mengingat jasa-jasa para pendahulu yang telah berpulang ke rahmatullah, mendo’akan
mereka dan menginsafi bahwa kita yang masih hidup pada akhirnya akan kembali juga kepadaNya…
Melihat kondisi kampung halaman secara bersama-sama, sehingga para penetap dan para perantau
dapat bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, bahkan sesama penetappun jarang sekali
bertemu, tetapi pada hari tersebut semuanya dapat bertatap muka, mensurvei perobahan fisik
kampung halaman secara visual dan objektif, lalu timbul rasa cinta dan memiliki, serta keinginan
yang tulus untuk melakukan tindakan yang positif bagi kampung halaman.
Silaturrahmi; mempertemukan sesama saudara yang selama ini terpisah oleh kesibukan masing-
masing, dan mempererat tali ikatan kekeluargaan sebagai sesama muslim yang nenek moyangnya
berasal dari kampung halaman yang sama.
Silatul Fikri; menyatukan pemikiran untuk kemaslahatan dan kemajuan kampung halaman
khususnya, agama, bangsa dan negara umumnya.