Anda di halaman 1dari 4

TAJARRUD

Komitmen terhadap dakwah hingga akhir hayat tidak akan terjadi tanpa adanya pilar tajarrud. Secara
lughawi tajarrud bermakna: mengosongkan, membersihkan, melepaskan, atau menanggalkan.

Makna syar’i tajarrud adalah: membersihkan dan melepaskan diri dari segala ikatan selain dari ikatan
Allah dan segala keberpihakan selain kepada Allah.

Menurut Imam Hasan Al Banna : “Engkau harus tulus pada fikrahmu dan membersihkannya dari
prinsip-prinsip lain serta pengaruh orang lain. Sebab ia adalah setinggi-tinggi dan selengkap-lengkap
fikrah”.

Tajarrud, menurut Al-Fadhil Ustadz Fathi Yakan di dalam karangannya “Madza ya’ni Intima’i lil
Islam” : “Tajarrud bermakna saudara mestilah ikhlas terhadap fikrah yang saudara dukung”.

Jadi secara umum, Tajarrud adalah : “ Mengkhususkan diri untuk Allah swt dan berlepas diri dari
segala sesuatu selain Allah. Yakni menjadikan gerak dan diam serta yang rahasia dan yang terang-
terangan untuk Allah swt semata, tidak tercampuri oleh keinginan jiwa, hawa nafsu, undang-undang,
kedudukan, dan kekuasaan”.

Tajarrud menuntut kita untuk:

Pertama, membebaskan dari keterikatan dan loyalitas kepada selain Allah dan pihak-pihak yang
direkomendasikan oleh-Nya. Sebagaimana yang dicontohkan para Nabi, di antaranya: Nabi Musa as.
Yang ber-tajarrud dari Firaun. Ketika Allah swt. memerintahkan Kepada Nabi Musa untuk
mendakwahi Fir’aun, Fir’aun menjawab, “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga)
kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.
(QS. Asy-Syu’ara’ (26): 18). Tapi itu tidak menjadi penghalang bagi Nabi Musa untuk tetap
menyampaikan kebenaran dan mengajak Fir’aun untuk bertaubat dan beriman kepada Allah. Karena
loyalitas Nabi Musa bukanlah kepada Fir’aun. Nabi Musa malah mengatakan, “Budi yang kamu
limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil” (QS. An-Nahl (16):
24). Sama sekali tidak ada perasaan terikat.

Rasulullah saw. juga diperintahkan Allah agar bertajarrud dari orang-orang kafir yang membujuknya
untuk mengusap-usap patung-patung mereka. Mereka berjanji jika itu dilakukan, mereka akan masuk
Islam. Allah swt. menjelaskan hal itu, “Dan mereka hampir memalingkan engkau (Muhammad) dari
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau mengada-ada yang lain terhadap Kami; dan
jika demikian tentu mereka menjadikan engkau sahabat yang setia. Dan sekiranya Kami tidak
memperteguh (hati) mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka, jika demikian,
tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah
mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami."
(QS. Al-Isra’ (17): 73-75)
Kedua, membebaskan diri dari segala pengaruh selain pengaruh shibghah (celupan) Allah swt. Jadi
tidak cukup hanya bertajarrud dari orangnya tanpa tajarrud dari ideologi, akhlak, pemikiran,
pengaruh, dan rayuan-rayuannya. Apa artinya kita membenci Zionis, kalau kita melestarikan perilaku-
perilaku Zionis dalam diri kita. Apa artinya kita membenci orang-orang yang menghalang-halangi
penerapan Syari’at Islam, sementara kita sendiri tidak menunjukkan keseriusan untuk
menjalankannya dalam kehidupan nyata. Hanya dengan menerima sepenuhnya celupan Allah yang
berupa aqidah, ibadah, akhlak dan menolak segala celupan selain itu manusia benar-benar menjadi
abdi Allah. Firman-Nya:

"Shibghah Allah (celupan Allah). Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan
kepada-Nya kami menyembah." (QS. Al-Baqarah (2): 138)

Teramat banyak rintangan dalam dakwah yang dapat menyebabkan seorang da’iyah terpelanting dari
jalan dakwah. Lebih-lebih bila yang diusung dalam dakwah bersifat syamilah, menyeluruh, dan
integral. Dakwah dengan corak ini menghadapi tantangan berat dan beresiko tinggi serta tidak
disukai terutama oleh orang-orang yang menyekutukan Allah, orang-orang yang benci bila tauhid
tegak di muka bumi. Yaitu orang-orang yang merasa terancam bila syari’at Allah berlaku dalam
kehidupan nyata. Firman-Nya:

“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu
berpecah belah di dalamnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang
kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." (QS. Asy-Syura (42): 13)

Seorang da’iyah yang bertajarrud tidak akan terjebak dalam logika dan ambisi: "Yang penting semua
orang bisa menerima dakwah saya, tanpa ada yang tersinggung, tanpa konflik." Bila itu yang menjadi
cita-cita, maka seorang da’i dan da’iyah hanya akan mencari aman dalam dakwahnya. Akibatnya dia
tidak segan-segan menyembunyikan ayat-ayat Allah. Sebetulnya dia tidak sedang mempertahankan
risalah Islam melainkan risalah dirinya; popularitas.

Ketiga, mempersembahkan jiwa dan harta secara mudah hanya untuk Allah swt, dan hanya dalam
rangka mencari ridho-Nya. Rasulullah saw. bersabda:

"Allah telah menjamin bagi orang yang berjihad di jalan Allah, tidak ada yang mendorongnya keluar
dari rumah selain jihad di jalan-Nya dan membenarkan kalimat-kalimat-Nya untuk memasukkannya
ke surga atau mengembalikannya ke tempat tinggal semula dengan membawa pahala atau
ghanimah." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Para sahabat memahami hal itu dan mengaplikasikannya dalam diri mereka. Maka dampaknya pun
terlihat dalam perilaku mereka. Syadad bin Al-Hadi mengatakan, seorang Arab gunung datang kepada
Rasulullah saw. lalu beriman dan mengikutinya. Orang itu mengatakan, "Aku akan berhijrah
bersamamu." Maka Rasulullah saw. menitipkan orang itu kepada para sahabatnya.
Saat terjadi perang Khaibar, Rasulullah saw. memperoleh ghanimah (rampasan perang). Lalu beliau
membagi-bagikannya dan menyisihkan bagian untuk orang itu seraya menyerahkannya kepada para
sahabat.

Orang Arab gunung itu tengah menggembalakan ternak mereka. Ketika ia datang para sahabat pun
menyerahkan jatah ghanimahnya. Maka orang itu pun berkata, "Apa ini?" Sahabat berkata lagi, "Aku
mengikutimu bukan karena ingin mendapatkan bagian seperti ini. Aku mengikutimu (Rasulullah)
semata-mata karena aku ingin tertusuk dengan anak panah di sini (sambil menunjuk
tenggorokannya), lalu aku mati lalu masuk surga." Rasulullah saw. mengatakan, "Jika kamu jujur
kepada Allah maka Dia akan meluluskan keinginanmu."

Beberapa waktu kemudian mereka berangkat untuk memerangi musuh dan orang itu terkena panah
pada tenggorokannya. Para sahabat mendatangi Rasulullah dengan membopong orang itu. Rasulullah
saw. berkata, "Inikah orang itu?" Mereka menjawab, "Ya." Rasulullah saw. berujar, "Ia telah jujur
kepada Allah maka Allah meluluskan keinginannya." Lalu Rasulullah saw. mengafaninya dengan
jubahnya dan menshalatinya. Dan di antara doa yang terdengar dalam shalatnya itu adalah:
"Allaahumma haadza ‘abduka kharaja muhaajiran fii sabiilika faqutila syahiidan wa ana syahidun
alaihl” (Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Dia keluar dalam rangka berhijrah di jalan-Mu, lalu ia
terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya)." (Diriwayatkan oleh An-Nasai)

Keempat, tajarrud untuk dakwah ditandai dengan selalu menimbang segala sesuatu dari sudut
pandang kepentingan dakwah dan selalu mengarahkan segala sesuatu untuk kepentingan dakwah.
Jadi, makna tajarrud itu bukanlah meninggalkan segala sesuatu dengan dalih dakwah. Melainkan
justru melibatkan segala sesuatu untuk mendukung dakwah. Adalah Rasulullah, da’i ideal itu. Beliau
adalah panutan dalam segala sisi kehidupan, termasuk dalam kehidupannya dengan lingkungan sosial
terkecil yakni keluarganya.

Rasulullah saw. dengan segala kesibukan, keseriusan, beban-beban umat, masih menyempatkan diri
membantu beban-beban domestik istrinya. Dari Al-Aswad, ia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah
ra,’ Apa yang Rasulullah saw. lakukan untuk keluarganya?’ Ia berkata, ‘Beliau selalu membantu
urusan rumah tangga dan apabila datang waktu shalat, beliau bergegas menunaikannya’." (HR.
Bukhari).

Kesimpulan

Orang yang tajarrud mempunyai sifat :

1. Tulus dan ikhlas dalam dakwah.

2. Selalu menilai orang lain, organisasi, dan segala sesuatu dengan timbangan dakwah
(melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas). Konsep Pemikiran Ikhwan Hal. 190.

3. Mempersembahkan jiwa dengan mudah (tanpa rasa takut) di jalan Allah.

4. Orang yang menegakkan Islam di dalam hatinya.


5. Selalu tawakkal secara mutlak kepada Allah.

Wallahu a’lam bish shawwab

Anda mungkin juga menyukai