Oleh:
Oleh :
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini menyatakan bahwa laporan skripsi dengan judul: Adsorpsi Ion Fe (II)
Menggunakan Adsorben Hollow Carbon Fiber Daun Akasia (Acacia
mangium wild) tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
Pada tanggal 17 November 2022
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Mengetahui,
Koordinator Program Studi Teknik Lingkungan S1
Fakultas Teknik Universitas Riau
iii
PRAKATA
iv
suka maupun duka, selalu memberikan nasehat, motivasi dan doa yang
tiada hentinya kepada penulis selama perkuliahan.
7. Diri saya sendiri yang sudah kuat dalam menghadapi rintangan, selalu
berjuang dan bertahan selama perkuliahan ini dan menyelesaikan tanggung
jawab yang diberikan.
8. Teman-teman seperjuangan Teknik Lingkungan 2017 yang selalu
membantu dan memberikan semangat dan menjadi tempat bertukar pikiran.
9. Teman-teman laboratorium Maura Mayrizki, Muhammad Fadil Ridho,
Marlina Sari.
10. Teman-teman yang membantu selama penelitian Maura Mayrizki,
Muhammad Fadil Ridho, Diki Ramadhan, Naufal Aldion, Panji Imanur,
Budhi Kurniawan, Marlina Sari.
11. Seluruh keluarga besar civitas Teknik Lingkungan FT UNRI.
12. Seluruh pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulisan menyadari masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan dan
penyusunan skripsi ini. Masukan dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
Penulis
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
vi
ADSORPSI ION FE (II) MENGGUNAKAN ADSORBEN HOLLOW
CARBON FIBER DAUN AKASIA
(ACACIA MANGIUM WILD)
ABSTRAK
Besi adalah logam yang umum digunakan di banyak industri, akibatnya air
buangan limbah mengandung kadar logam besi yang tinggi yang dapat
menyebabkan air menjadi berasa dan berbau tidak enak dan berdampak negatif
bagi kesehatan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar
logam berat adalah metode adsorpsi menggunakan adsorben sebagai bahan
penyerap. Hollow carbon fiber akasia merupakan salah satu adsorben berbasis
nano yang memiliki karakteristik luas permukaan yang tinggi dan diameter pori
yang kecil yang terbuat dari limbah daun akasia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi hollow carbon fiber akasia
terhadap logam besi (Fe) serta mempelajari kinetika dan isoterm yang sesuai pada
adsorpsi ini. Penelitian ini menggunakan variasi dosis adsorben (1; 1,5; 2; 2,5; 3)
g/L, variasi waktu kontak (10, 30, 60, 90, 120 dan 180) menit, dan variasi
konsentrasi awal (5, 10, 15, 20, 25, 30, 35 dan 40) mg/L. Kondisi optimum
diperoleh pada dosis 3 g/L dan waktu kontak 60 menit dengan efisiensi penyisihan
dan kapasitas adsorpsi sebesar 99,21% dan 2,81 mg/g. Model kinetika dan isoterm
yang cocok untuk adsorpsi logam Fe menggunakan hollow carbon fiber akasia
yaitu kinetika Pseudo Second Orde dan isoterm Langmuir, dengan nilai regresi
(R2) masing-masing sebesar 0,999 dan 0,997.
vii
ADSORPTION OF FE (II) ION USING HOLLOW CARBON ACACIA LEAF
(ACACIA MANGIUM WILD)
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PRAKATA iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.5 Ruang Lingkup 6
1.6 Sistematika Laporan 6
ix
3.1 Alat dan Bahan Penelitian 35
3.1.1 Alat Penelitian.......................................................................................35
3.1.2 Bahan Penelitian....................................................................................35
3.2 Variabel Penelitian 35
3.2.1 Variabel Tetap.......................................................................................35
3.2.3 Variabel Bebas.......................................................................................35
3.2.3 Variabel Terikat.....................................................................................36
3.3 Diagram Alir Penelitian 36
3.4 Rancangan Penelitian 38
3.5 Prosedur Penelitian 38
3.5.1 Studi Literatur........................................................................................38
3.5.2 Persiapan Alat dan Bahan......................................................................39
3.5.3 Pembuatan Hollow Carbon Fiber Akasia.............................................39
3.5.4 Pembuatan Larutan Logam Besi (Fe)....................................................39
3.5.5 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan Variasi
Dosis Adsorben...............................................................................................39
3.5.6 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan Variasi
Waktu Kontak.................................................................................................40
3.5.7 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan Variasi
Konsentrasi Awal Larutan..............................................................................40
3.5.8 Analisis dan Pengolahan Data...............................................................40
DAFTAR PUSTAKA 59
x
LAMPIRAN 68
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Tanaman Akasia
Gambar 2.2 Hasil SEM dari Hollow Carbon Fiber Akasia perbesaran 500x dan
5000 x
Gambar 2.3 Grafik Pengaruh Dosis Adsorben
Gambar 2.4 Grafik Pengaruh waktu kontak
Gambar 2.5 Grafik Pengaruh Konsentrasi Awal
Gambar 2.6 Grafik Pengaruh pH
Gambar 2.7 Pengaruh Grafik Kecepatan Pengadukan
Gambar 2.8 Grafik Pengaruh Temperatur
Gambar 2.9 Mekanisme Adsorpsi
Gambar 2.10 Skema Diagram Mekanisme Adsorpsi
Gambar 3.1 Diagram alir Penelitian
Gambar 4.1 Hubungan Antara Dosis Adsorben dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Gambar 4.2 Hubungan Antara Waktu Kontak dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Gambar 4.3 Hubungan Antara Konsentrasi Awal dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Gambar 4.4 Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde Hollow Carbon Fiber Akasia
Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+
Gambar 4.5 Kinetika Adsorpsi Pseudo Second Orde Hollow Carbon Fiber Akasia
Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+
Gambar 4.6 Isoterm Adsorpsi Langmuir Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+
Gambar 4.7 Isoterm Adsorpsi Freundlich Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+
Gambar 4.8 Mekanisme Adsorpsi Fe pada Gugus Fungsi Karboksil
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Perbedaan Jenis Adsorpsi
Tabel 3.1 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Dosis Adsorben
Tabel 3.2 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Waktu Kontak
Tabel 3.3 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Konsentrasi Awal
Tabel 4.1 Komposisi Hollow Carbon Fiber Akasia
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Kinetika Adsorpsi Pseudo Second Orde
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Isoterm Adsorpsi Langmuir
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Isoterm Adsorpsi Freundlich
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Energi Adsorpsi
Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Dosis Adsorben Optimum
dengan Baku Mutu
Tabel 4.9 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Waktu Kontak Optimum
dengan Baku Mutu
Tabel 4.10 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Konsentrasi Awal
dengan Baku Mutu
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN 1 PERHITUNGAN
LAMPIRAN 2 PROSEDUR ANALISIS BESI (Fe)
LAMPIRAN 3 BAKU MUTU AIR LIMBAH
LAMPIRAN 4 HASIL ANALISIS
LAMPIRAN 5 DOKUMENTASI PENELITIAN
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
manusia diantaranya bisa menyebabkan keracunan (muntah), kerusakan usus,
penuaan dini hingga kematian mendadak, radang sendi, cacat lahir, gusi berdarah,
kanker, sirosis ginjal, sembelit, diabetes, diare, pusing, mudah lelah, hepatitis,
hipertensi dan insomnia (Supriyantini dan Endrawati, 2015).
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah pada lampiran XXX
tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri asam tereftalat
(PTA), lampiran XLIV tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan
fasilitas pelayanan kesehatan dan lampiran XLVII tentang baku mutu air limbah
bagi usaha dan/atau kegiatan yang belum memiliki baku mutu air limbah yang
ditetapkan, kadar logam besi terlarut yang diperbolehkan adalah sebesar 5-7 mg/l.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pada air limbah yang mengandung
kadar logam besi terlarut sebelum dialirkan ke badan air.
Penanganan logam berat dapat menggunakan beberapa proses seperti
pertukaran ion, presipitasi, netralisasi, koagulasi dan flokulasi, kompleksasi,
membran, dan adsorpsi. Adsorpsi dapat menjadi metode penurunan kadar logam
berat dengan biaya relatif murah, dapat bekerja dalam konsentrasi rendah, desain
dan operasi yang fleksibel dan sederhana, dan ramah lingkungan (Hubadillah dkk,
2016).
Penelitian proses adsorpsi menggunakan adsorben berbasis nano telah
banyak dilakukan karena biayanya yang relatif murah, stabilitas kimia yang baik,
keragaman struktural, kepadatan rendah, dan sesuai diterapkan untuk
dekontaminasi air limbah dari polutan organik, zat warna dan logam berat (Ali
dkk, 2018). Carbon fiber banyak digunakan sebagai superkapasitor karena
memiliki karakteristik luas permukaan yang tinggi, struktur pori yang homogen.
Sifat fisik karbon seperti luas permukaan, ukuran dan morfologi carbon fiber
dapat diatur dan dikontrol dengan menggunakan berbagai metode aktivasi seperti
aktivasi kimia menggunakan senyawa kimia dan aktivasi fisika disertai dengan
proses karbonasi menggunakan gas N2, CO2 dan uap air (Apriwandi dkk, 2020).
Dari karakteristik luas permukaan yang tinggi, carbon fiber dapat dijadikan
adsorben untuk proses adsorpsi. Luas permukaan adsorben mempengaruhi
2
tersedianya tempat adsorpsi, semakin besar luas permukaan adsorben maka
semakin besar pula adsorpsi yang dilakukan (Irawan, 2018). Daun akasia
menunjukkan morfologi permukaan yang kaya akan nanofiber dengan diameter
sekitar 62-124 nm dan berbentuk hollow fiber, kombinasi serat nano dan serat
berongga memungkinkan untuk menyediakan banyak pori aktif dan luas
permukaan yang besar (Apriwandi dkk, 2020).
Hollow carbon fiber memiliki luas permukaan total 10 kali lebih besar
dibandingkan dengan karbon nanofiber normal. Hollow carbon fiber yang
disintesis memiliki kemampuan yang besar untuk mengadsorpsi dan mendesorpsi
garam dibandingkan dengan solid carbon fiber karena luas permukaan spesifik
yang tinggi dan diameter pori yang kecil. Pada penelitian desalinasi air payau
menggunakan hollow carbon fiber sebagai elektroda, diperoleh luas permukaan
hollow carbon fiber (186 m2/g) sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan luas
permukaan solid carbon fiber (17,7 m2/g), ukuran pori rata-rata hollow carbon
fiber 3,5 nm lebih kecil dibanding ukuran pori solid carbon fiber 4,6 nm.
Modifikasi karbon nanofiber tidak hanya dapat digunakan sebagai elektroda yang
baik untuk proses desalinasi tetapi juga untuk metode lain yang membutuhkan
bahan karbon dengan luas permukaan spesifik yang tinggi (El-Deen dkk, 2013).
Sedangkan untuk karbon aktif biasa morfologis adsorben daun akasia mempunyai
tekstur yang tidak merata, hampir seluruh permukaannya terdapat rongga. Namun
karena berbentuk powder jarak antar partikel terlihat sangat rapat dan memiliki
ukuran butir yang kecil.
Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan proses adsorpsi logam Fe
menggunakan adsorben hollow carbon fiber dari limbah daun akasia jenis akasia
mangium wild diyakini memiliki aktivitas yang besar sebagai biosorben.
3
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ketsela dkk (2020), dilakukan
penelitian penyisihan Fe dengan menggunakan adsorben dari sekam lupin putih.
Pada penelitian ini dilakukan variasi dosis adsorben (1; 1,5; 2; 2,5; dan 3) g/L, pH
(3, 5, 6, 8 dan 10), waktu kontak (10, 20, 30, 40 dan 50) menit, temperatur larutan
(45, 50, 60, 65 dan 70) ºC dan konsentrasi awal (40, 50, 60, 70 dan 80) mg/L.
Penyisihan Fe terbaik didapatkan pada pada dosis 2 gram dengan efisiensi 90%.
pH terbaik yaitu 5 dengan efisiensi 90,36%, waktu kontak terbaik 50 menit
dengan efisiensi 90%, temperatur terbaik yaitu 65ºC dan konsentrasi awal 50
mg/L. Model kesetimbangannya adalah isoterm Freundlich.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dkk (2017), dilakukan
pengujian pemanfaatan limbah daun nanas (Ananas Comosus) sebagai bahan
dasar arang aktif untuk adsorpsi Fe (II) dengan variasi aktivator H 2SO4 1 M dan
H3PO4 1 M, variasi waktu pengadukan 10, 30, 60, 120 dan 180 menit. Diperoleh
laju adsorpsi Fe (II) pada arang aktif teraktivasi H 2SO4 dan H3PO4 sebesar 9,07x10-
2
dan 7,08x10-2 L/mg.min mengikuti model kinetika pseudo orde kedua. Kapasitas
adsorpsi Fe (II) pada arang aktif teraktivasi H2SO4 sebesar 2,15 mg/g dan H3PO4
sebesar 1,07 mg/g, mengikuti model isoterm adsorpsi Langmuir.
Dalam penelitian yang dilakukan Irawan dkk (2018) dilakukan penelitian
penyisihan logam besi menggunakan adsorben abu layang dengan variasi pH.
Pada penelitian ini dilakukan variasi pH (2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8), diaduk dengan
kecepatan 100 rpm selama 30 menit dan dosis adsorben sebesar 2,5 gram.
Penyisihan terbaik untuk logam Fe didapatkan pada pH 5 dengan efisiensi sebesar
97,2%, dimana pada pH 2 sampai 5 terjadi peningkatan efisiensi penyerapan dan
pada pH 5 sampai 7 menunjukkan penurunan efisiensi penyerapan,
Dalam penelitian yang dilakukan Shavandi dkk (2012) dilakukan
penelitian penyisihan terhadap Fe pada limbah dengan menggunakan zeolit alam.
Pada penelitian ini dilakukan variasi pH (3; 4; 5; 6; 7; 8; dan 9), dosis adsorben
(1,25; 2,5; 5; 10; 15; 20; 25; dan 30) g/L, dan waktu kontak (10; 20; 30; 40; 50;
60; 120; 180; dan 240). Penyisihan terbaik untuk Fe didapatkan pada pH 7 dan
4
dosis 2,5 g dengan efisiensi penyisihan 64%. Waktu kesetimbangan dicapai dalam
waktu 2 jam. Model kesetimbangannya adalah isoterm Langmuir.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Radnia (2012), dilakukan pengujian
adsorpsi ion Fe (II) dari fase air oleh adsorben kitosan dengan melakukan studi
kesetimbangan, kinetik dan termodinamika. Pada penelitian ini dilakukan variasi
dosis adsorben (0,05, 0,1, 0,2, 0,3, 0,4, 0,5, 0,6, 0,7, 0,8, 0,9 dan 1) g/L, variasi pH
(3,5, 4, 4,5, 5,0 5,5 dan 6), konsentrasi awal (10, 15, 20, 15, 30, 35, 40, 45 dan 50)
dan suhu (20, 30 dan 40 0C). Diperoleh efisiensi penyisihan tertinggi 92,9% dan
kapasitas adsorpsi 28,7 mg/g, pH optimum 4. Model isoterm nya adalah
Langmuir, model kinetikanya adalah pseudo orde pertama.
Berdasarkan pada penelitian diatas maka pada penelitian ini akan
dilakukan menggunakan adsorben daun akasia menjadi carbon fiber yang
memiliki struktur hollow untuk mengetahui dosis adsorben, waktu kontak dan
konsentrasi awal yang paling efektif dalam menyerap ion logam Fe.
5
Memberikan wawasan tentang metode adsorpsi menggunakan adsorben
daun akasia dalam menurunkan kadar logam besi pada air limbah
6
Menjelaskan kesimpulan yang didapat dari penelitian yang telah dilakukan
serta saran yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan
penelitian selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
Besi atau ferrum (Fe) adalah salah satu logam yang paling banyak
dijumpai di kerak bumi, metal berwarna putih keperakan, simbol Fe, nomor atom
26, liat dan dapat dibentuk. Di alam didapat sebagai hematite, magnetite, dan
taconite. Secara kimia besi merupakan logam yang cukup aktif, hal ini karena besi
dapat bersenyawa dengan unsur-unsur lain. Air yang tinggi kandungan besinya
bila bersentuhan dengan udara menjadi keruh, berbau dan tidak menyenangkan
untuk dikonsumsi. Kekeruhan dan warna kuning terbentuk karena oksidasi besi
(II) menjadi besi (III) berupa endapan koloid berwarna kuning. Karena
oksidasinya berlangsung perlahan terutama pada pH<6 maka pembentukan dan
pengendapan Fe(OH)3 atau Fe2O3 berlangsung sangat lambat. Selain
penampilannya yang tidak menyenangkan, air yang tinggi kandungan besinya
mempunyai rasa yang tidak enak. Konsentrasi unsur besi yang melebihi ± 2 mg/L
akan menimbulkan noda-noda pada peralatan dan bahan yang berwarna putih
(Kacaribu, 2008). Salah satu kegunaan besi adalah sebagai campuran untuk
membuat paduan logam, misalnya untuk membuat baja, besi tempa, besi tuang
dan lain-lain yang banyak digunakan sebagai bahan bangunan, peralatan-peralatan
logam, rangka kenderaan dan lainnya (Apriani, 2011).
Logam Fe merupakan logam esensial yang keberadaannya dalam jumlah
tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah berlebih
dapat menimbulkan efek racun. Tingginya kandungan logam Fe akan berdampak
terhadap kesehatan manusia diantaranya bisa menyebabkan keracunan (muntah),
kerusakan usus, penuaan dini hingga kematian mendadak, radang sendi, cacat
lahir, gusi berdarah, kanker, sirosis ginjal, sembelit, diabetes, diare, pusing,
mudah lelah, hepatitis, hipertensi, insomnia (Supriyanti, 2015).
Besi adalah salah satu logam yang paling banyak di alam dan air tanah
dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk mineral atau kation, seperti Fe +2 dan
Fe+3 (Khatri dkk, 2017). Dalam sistem air tanah dengan kadar oksigen tinggi dan
pH netral, besi (Fe+2) dioksidasi menjadi besi (Fe+3) atau besi hidroksida, disertai
dengan endapan berwarna merah kecoklatan dan air yang kabur. Karena
penurunan kualitas air tersebut akibat dari endapan berwarna merah kecoklatan
dan air yang kabur berdampak pada ekosistem dan kesehatan manusia (Lazaratou,
9
2020). Batas besi total yang diizinkan menurut WHO, USEPA, Standar UE dan
permenkes sangat rendah, mulai dari 0,2-0,3 mg/L (Uddin, 2017).
Air limbah umumnya mengandung bahan buangan anorganik salah
satunya adalah logam berat besi, kandungan logam besi dapat ditemukan dalam
air limbah dari berbagai jenis usaha atau industri dengan berbagai konsentrasi.
Limbah cair yang mengandung besi terlarut dalam bentuk Ferro (Fe 2+) mudah
teroksidasi menjadi besi dalam bentuk Ferri (Fe 3+) dengan adanya oksigen di
udara (Febrina and Ayuna, 2015). Kekeruhan dan warna kuning terbentuk karena
oksidasi besi (II) menjadi besi (III) berupa endapan koloid berwarna kuning.
Karena oksidasinya berlangsung perlahan terutama pada pH<6 maka
pembentukkan dan pengendapan Fe(OH)3 atau Fe2O3 berlangsung sangat lambat.
Bakteri Crenothrix dan Gallionella dapat memanfaatkan Fe2+ sebagai sumber
energi dalam pertumbuhannya dan dapat mengendapkan Fe 3+. Semakin tinggi
kadar Fe2+ menjadikan pertumbuhan bakteri sangat cepat yang berakibat
tersumbatnya saluran pipa (Febrina dan Ayuna, 2015).
Besi (Fe) merupakan logam berat yang banyak digunakan pada industri
seperti elektroplating baja maupun sebagai logam pendukung dalam berbagai
industri. Fe juga ditemukan sebagai kontaminan pada industri pertambangan,
pengolahan air bersih, pemukiman, dan limbah (Sobah dkk, 2020). Sumber air
limbah industri dapat berasal dari air bekas cucian, peralatan proses yang
terkontaminasi bahan kimia atau terkandung bahan kimia yang sudah tidak layak
pakai. Kandungan logam besi (Fe) dalam air limbah dapat berasal industri kecil
atau industri besar (Sutanto, 2014).
Industri batik merupakan industri yang potensial dari proses awal hingga
penyempurnaan diindikasikan menggunakan bahan kimia yang mengandung
unsur logam berat. Hasil buangan limbah batik masih mengandung logam berat
salah satunya Fe, konsentrasi logam Fe pada limbah batik sebesar 2,06 ppm
(Handayani, 2017). Pada limbah cair laboratorium Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim dilakukan pengujian kadar logam Fe oleh Khakim tahun
2018, konsentrasi logam Fe pada limbah cair laboratorium sebesar 147,07 ppm
(Khakim, 2018). Pada air lindi karakteristiknya bervariasi sesuai dengan proses
10
yang terjadi di landfill, sehingga mempengaruhi produk yang dihasilkan.
Karakteristik air lindi secara umum mengandung logam Fe 0,4–2200 ppm untuk
TPA yang berlokasi di sekitar Amerika dan Eropa, sedangkan selain yang
berlokasi di Amerika dan Eropa berkisar 0.48–153 ppm (Ali, 2011). Pada
pengujian kadar logam Fe pada air lindi TPA Tlekung Kota Batu oleh Larasati
dkk di tahun 2015 dengan melakukan 3 kali pengambilan sampel uji diperoleh
konsentrasi logam Fe pada pengambilan pertama sebesar 24,58 ppm, pada
pengambilan kedua sebesar 23,39 ppm dan pengambilan ketiga sebesar 13,38 ppm
(Larasati dkk, 2015).
Pada industri pelapisan logam dengan seng menghasilkan limbah galvanis
tiga jenis, semuanya mengandung logam Fe yang tinggi. Limbah jenis pertama
terjadi pada proses pickling atau proses penghilangan karat pada logam yang akan
dilapisi menimbulkan endapan lumpur berupa FeCl 2 hasil pencampuran HCl
dengan karat besi. Limbah jenis kedua dihasilkan dari proses rinsing atau proses
pencucian logam yang telah melewati bak pickling menggunakan air bersih
menghasilkan Air yang mengandung FeCl2. Limbah jenis ketiga berasal dari
proses fluxing atau proses pencelupan logam pada bak yang berisi larutan ZAC.
Pada pengujian kadar logam Fe industri galvanis oleh Nugroho tahun 2013
diperoleh konsentrasi logam Fe sebesar 1,88 ppm (Nugroho, 2013). Industri
perhiasan emas merupakan salah satu industri yang menggunakan logam Fe dalam
proses produksinya sehingga menghasilkan limbah asam pekat dengan kadar
logam Fe yang cukup tinggi, pada uji mutu air limbah industri perhiasan emas
kota Surabaya diperoleh konsentrasi logam Fe sebesar 1.837,5 mg/l (Tuas, 2018)
Pada limbah cair domestik sumber air buangan berasal dari aktivitas
perdagangan, daerah rekreasi, permukiman, dan perkantoran mengandung bahan
anorganik berupa logam Fe, pada uji mutu air buangan IPAL Sewon Bantul tahun
2017 oleh Nugroho menunjukkan kandungan logam berat Fe pada inlet IPAL
sebesar 10,46 ppm dan pada outlet IPAL sebesar 6,06 ppm (Nugroho, 2017). Pada
limbah medis rumah sakit terdapat limbah yang berasal dari instalasi radiologi
rumah sakit yang disebut limbah fixer. Limbah fixer dihasilkan dari proses cetak
foto rontgen. Dalam prakteknya, foto rontgen yang didapat dari hasil penyinaran
11
dengan sinar X ditransfer secara digital ke dalam suatu komputer dan objek yang
terekam disimpan dalam bentuk kaset foto. Kaset foto ini selanjutnya di cuci-
cetak dalam suatu ruang gelap menggunakan suatu reagen khusus. Sisa bekas
pakai reagen/cairan yang dipakai untuk cuci-cetak foto rontgen yang kemudian
dikenal sebagai limbah fixer. Reagen ini mengandung sejumlah senyawa kimia
tertentu yang diperlukan untuk proses cuci-cetak foto negatif rontgen. Salah satu
logam yang banyak terkandung adalah besi (Fe). Pada analisa terhadap limbah
fixer rumah sakit diperoleh konsentrasi logam Fe sebesar 1,48 ppm (Syauqiah
dkk, 2011).
12
kertas, serta sebagai bahan baku mebel. Kayu akasia dapat digunakan untuk
kerangka pintu, bagian jendela dan bahan baku peti/kotak (Elfarisna dkk, 2016).
Sedangkan daun dari akasia ini menjadi limbah tidak terpakai, padahal daun
akasia memiliki potensi untuk dimanfaatkan karena kandungan polifenolnya.
Daun akasia mempunyai kandungan tanin yang cukup tinggi berkisar 13% hingga
22% dari bobot keringnya dan saponin 1,67% (Nurkaromah & Sukandar, 2017).
13
memiliki kinerja adsorpsi yang baik terhadap adsorpsi ion logam, zat warna dan
molekul kecil lainnya.
Carbon nanofibers merupakan nanomaterial yang memiliki luas
permukaan yang besar, karena luas permukaan per volume yang tinggi, karbon
nanofiber dapat menampung partikel oksida logam dalam jumlah yang lebih besar
dan morfologinya yang unik meningkatkan kapasitas adsorpsi (Kaerkitcha dkk,
2016). Untuk meningkatkan kapasitas adsorpsinya, karbon nanofiber dapat
dimodifikasi (Tuzen, 2020). Morfologi karbon nanofiber bermacam-macam salah
satunya adalah berstruktur hollow, hollow carbon berbahan bola silika telah
dimanfaatkan sebagai adsorben untuk proses adsorpsi dua pewarna asam, hollow
carbon ini memiliki keunggulan berupa difusi dan transportasi adsorbat karena
memiliki pori yang besar dan volume berongga. Hollow carbon berbahan bola
silika ini memiliki diameter pori sebesar 270 nm, luas permukaan 770 m 2/g dan
volume pori 0,59 cm3/g (Konicki dkk, 2013). Terdapat juga magnetic hollow
carbon dengan luas permukaan 579 m2/g, besar volume pori 0,795 cm3/g dan
besar ukuran pori 7,6 nm. Hollow carbon ini dimanfaatkan untuk mengadsorpsi
di-(2-ethylhexyl) phthalate yaitu bahan kimia yang sering digunakan dalam
produksi plastik, diperoleh kapasitas adsorpsi sebesar 783,1 mg/g (Kalantari dkk,
2017).
Apriwandi dkk (2020) menemukan struktur hollow fiber pada struktur
morfologi karbon aktif berbahan dasar daun akasia dengan diameter sekitar 62-
124 nm. Struktur hollow fiber yang memiliki ukuran nano ini dikenal juga dengan
istilah hollow carbon nanofiber. Hollow carbon nanofiber memiliki luas
permukaan lebih besar dibandingkan dengan karbon nanofiber normal. Hollow
carbon nanofiber yang disintesis memiliki kemampuan yang besar untuk
mengadsorpsi karena luas permukaan spesifik yang tinggi dan diameter pori yang
kecil. ukuran pori rata-rata hollow carbon nanofiber lebih kecil dibanding ukuran
pori solid carbon nanofiber. Modifikasi struktur karbon nanofiber dapat
dimanfaatkan untuk metode yang membutuhkan bahan karbon dengan luas
permukaan spesifik yang tinggi (El-Deen, 2013). Pada pembuatan hollow carbon
14
fiber dari biomassa willow catkins diperoleh luas permukaan spesifik yang tinggi
sebesar 1067 m2/g dan ukuran pori 0,7-1,2 nm (Wang dkk, 2017).
2.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah terserapnya suatu zat (molekul atau ion) pada permukaan
adsorben. Mekanisme adsorpsi digambarkan sebagai proses dimana molekul yang
15
semula ada pada larutan, menempel pada permukaan zat adsorben secara fisika
maupun kimia. Suatu molekul dapat teradsorpsi jika gaya adhesi antara molekul
adsorbat dengan molekul adsorben lebih besar dibanding dengan gaya kohesi pada
masing masing molekul ini. Proses adsorpsi terjadi karena adanya luas
permukaan, makin luas permukaan adsorben yang disediakan maka makin banyak
molekul yang diserap (Wijayanti dan Kurniawati, 2019).
Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Adsorpsi fisika
Adsorpsi fisika terjadi karena gaya Van Der Waals, yaitu bila gaya tarik
menarik molekul antara zat terlarut dengan pelarut lebih kecil daripada gaya tarik
menarik antara zat terlarut dengan adsorben, maka dengan demikian zat terlarut
akan teradsorpsi pada permukaan adsorben. Pada adsorpsi fisika bersifat
reversible atau dapat bereaksi balik, berlangsung cepat, dan dapat membentuk
lapisan jamak (multilayer). Contoh adsorpsi fisika yaitu adsorpsi oleh karbon
aktif. Akibat terjadi gaya Van Der Waals, maka polaritas zat terlarut yang akan
diserap juga sangat menentukan kemampuan penyisihan zat terlarut.
Pada penelitian Kim (2004) dalam proses adsorpsi logam Fe (III)
menggunakan karbon aktif granular, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel konsentrasi awal 50 mg/L, massa adsorben 1 g, pH 2-3,6
dengan interval 0,3, konsentrasi awal 0,5; 1; 1,5; 2 mg/L dan temperatur larutan
20,30,40 dan 50ºC. Isoterm yang diperoleh pada penelitian ini adalah isoterm
Freundlich (terjadi secara fisika), daya serap ion besi semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu dan energi aktivasi untuk memperkuat aspek
fisisorpsi. Pada penelitian Vasu (2008) dilakukan penelitian adsorpsi logam Fe
dalam larutan berair menggunakan karbon aktif, untuk menentukan isoterm
digunakan variabel dosis 0,1 g/50 ml, konsentrasi awal 15-80 mg/L, pH 2,5.
Isoterm yang diperoleh pada penelitian ini adalah isoterm Freundlich. Pada
penelitian Sheibani dkk (2012) dalam penyisihan logam Fe (III) dalam larutan
berair menggunakan adsorben kulit kemiri, untuk menentukkan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian konsentrasi awal larutan 20-60µg/ml, pH 3, suhu
30ºC, waktu kontak 60 menit dan dosis adsorben 0,6 g. isoterm adsorpsi yang
16
diperoleh pada penelitian ini adalah isoterm Freundlich dengan nilai R 2 0,9997.
Pada penelitian Abdulrasaq dkk (2010) dalam penyisihan logam Fe (III)
menggunakan adsorben kulit kelapa, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian massa adsorben 1 g, kecepatan pengadukan 150
rpm, waktu kontak 90 menit, suhu 50ºC dan konsentrasi awal 10-100 mg/L.
isoterm adsorpsi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah isoterm Freundlich
dengan nilai R2 1. Pada penelitian Nassar dkk (2004) dalam adsorpsi logam besi
menggunakan adsorben dengan biaya rendah, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian konsentrasi awal 1-50 mg/L, suhu larutan 22ºC dan
waktu kontak 3 hari. Isoterm adsorpsi yang diperoleh pada penelitian ini adalah
isoterm Freundlich dengan nilai R2 0,99.
2. Adsorpsi kimia
Pada adsorpsi kimia, terjadi reaksi kimia di permukaan molekul-molekul
adsorbat dengan adsorben dimana terbentuk ikatan kovalen dengan ion, sehingga
terjadi pemutusan dan pembentukan ikatan dan biasanya bersifat irreversible atau
tidak dapat bereaksi balik, hanya dapat membentuk lapisan tunggal (monolayer).
Pada penelitian Bhattacharyya dkk (2006) dalam proses adsorpsi Fe (III)
menggunakan adsorben tanah lempung, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian dosis adsorben 2 g/L, konsentrasi awal logam Fe
(III) 50 mg/L, waktu kontak 300 menit, pH 3 dan konsentrasi awal 10, 30, 40, 50,
75, 100, 150, 200 dan 250 mg/L. Isoterm yang didapat dari penelitian ini adalah
isoterm Langmuir (terjadi secara kimia). Pada penelitian Shukla (2006)
menggunakan serat sabut termodifikasi dalam mengadsorpsi logam Fe (II), untuk
menentukan isoterm adsorpsi digunakan variabel penelitian konsentrasi awal
73,5-444,8 mg/L, suhu 35ºC, waktu kontak 120 menit, adsorben diaktivasi
menggunakan H2O2 dan NaOH pH (10,5), pH larutan 3 dan 1,5. Isoterm yang
didapat dari penelitian ini adalah isoterm Langmuir. Pada penelitian Subramani
(2019) menggunakan sekam pinang ter pirolisis dalam menyisihkan logam Fe 2+,
pada penelitian ini dilakukan variasi variabel dosis adsorben 1-10 g/L, konsentrasi
awal adsorbat 1-5 mg/L, waktu kontak 30-360 menit, suhu 28ºC dan pH larutan 4.
Isoterm yang didapat pada penelitian ini adalah isoterm Langmuir. Pada penelitian
17
Shavandi dkk (2012) dalam meng adsorpsi logam Fe (III) menggunakan limbah
POME oleh zeolit alam. Untuk menentukan isoterm adsorpsi digunakan variabel
penelitian pH 8, dosis adsorben 20 g/250 ml, suhu ruang ( 25ºC), waktu kontak
180 menit, kecepatan pengadukan 120 rpm dan konsentrasi awal 20, 40, 60, 80
dan 100%. Isoterm yang didapat pada penelitian ini adalah isoterm Langmuir
Proses adsorpsi menggunakan activated carbon (AC) berbahan dasar
limbah biomassa banyak dikembangkan karena melimpahnya ketersediaan bahan
yang dapat dijadikan adsorben, dapat digunakan kembali (regeneratif), serta lebih
ekonomis. Metode ini juga memiliki efisiensi pengikatan logam berat tinggi dan
pengambilan kembali (desorpsi) ion–ion logam yang terikat relatif mudah
(Setiawan dkk, 2019).
Adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia dapat dibedakan berdasarkan kriteria,
perbedaan antara adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia dapat dilihat pada tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Perbedaan Jenis Adsorpsi
Adsorpsi Fisika Adsorpsi Kimia
Energi adsorpsi kecil (kurang dari 20 Energi adsorpsi besar (berkisar dari 40-400
KJ/mol) KJ/mol)
Terjadi adsorpsi multilayer Terjadi adsorpsi monolayer
Terjadi pada temperatur dibawah titik didih
Dapat terjadi pada temperatur tinggi
adsorbat
Proses adsorpsi terjadi bila sistem
Tidak melibatkan energi adsorpsi
mempunyai energi aktivasi
Sumber: Rizky, 2016
18
penjerapan semakin kecil. Pada penelitian Subramani dkk (2019), dalam adsorpsi
logam Fe2+ menggunakan adsorben sekam pinang ter pirolisis dengan interval
dosis adsorben 2, 4, 6, 8 dan 10 g/L.
19
Gambar 2.4 Grafik Pengaruh waktu kontak
Sumber: Arifiyana dkk, 2020
20
Obike dkk (2018), dalam adsorpsi logam Fe (II) menggunakan kulit buah kakao
dengan interval konsentrasi awal 10-100 mg/L.
21
meningkatnya pH, muatan permukaan adsorben menjadi lebih negatif, yang
merupakan faktor yang baik untuk adsorpsi ion positif Fe (ΙΙ). Tetapi pada pH
tinggi, keberadaan OH- menyebabkan pengendapan ion besi (Ghasemi dkk, 2015).
pH sangat mempengaruhi proses adsorpsi, dimana efisiensi penyerapan akan
menurun akibat mengendapnya logam pada pH tinggi. Logam besi akan
mengendap pada pH 6, sehingga proses adsorpsi harus dilakukan di bawah pH 6
(Ali dkk, 2018). Pada penelitian Maneechakr dkk (2016), adsorpsi Fe2+ dan
Activated carbon dilakukan variasi pH 1-9.
22
jika pengadukan terlalu cepat kemungkinan struktur adsorben cepat rusak,
sehingga proses adsorpsi kurang optimal. Pada penelitian Banerjee dkk (2016)
dalam adsorpsi logam Fe2+ menggunakan biochar teraktivasi yang berasal dari
colocasia esculenta dengan interval 100-180 rpm.
23
efisiensi penyisihan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena ukuran
partikel yang kecil mempunyai tenaga inter molekuler yang lebih besar sehingga
penyerapannya menjadi lebih baik. Semakin luas permukaan adsorben, maka
semakin banyak zat yang teradsorpsi. Luas permukaan adsorben ditentukan oleh
ukuran partikel dan jumlah dari adsorben (Juniarsih, 2018). Ukuran partikel
yang kecil memiliki porositas yang halus dan luas permukaan yang besar,
ukuran pori yang lebih kecil menghasilkan kapasitas adsorpsi yang lebih kuat
dan lebih besar karena ukuran partikel kecil mengurangi jalur untuk kedua massa
berdifusi (Al-Senani dkk, 2018).
7. Ukuran molekul adsorbat
Ukuran molekul merupakan bagian yang penting dalam adsorpsi molekul
adsorbat pada media adsorben terutama media berpori. Ukuran molekul adsorbat
yang lebih besar dari pada ukuran adsorben akan menyebabkan kecepatan
adsorpsi semakin kecil dibandingkan dengan ukuran molekul adsorbat yang
lebih kecil (Sirajuddin dkk, 2018). Apabila molekul adsorbat yang besar telah
masuk kedalam pori adsorben akan menyebabkan molekul-molekul adsorbat
yang lebih kecil tidak dapat terserap kedalam pori adsorben.
8. Temperatur Adsorbat
Pada saat molekul adsorbat melekat pada permukaan adsorben akan terjadi
pembebasan sejumlah energi yang dinamakan peristiwa eksotermis. Temperatur
semakin meningkat menyebabkan proses desorpsi juga akan meningkat, sehingga
terjadi penurunan jumlah adsorpsi (Syarief, 2010). Pengaruh suhu pada proses
adsorpsi telah dipelajari pada penelitian Vasu (2008) dalam mengadsorpsi logam
Fe dalam larutan berair menggunakan karbon aktif, dengan variasi suhu 30, 45
dan 60ºC. Diperoleh hasil bahwa seiring dengan peningkatan suhu pada larutan
efisiensi penyisihan logam Fe juga meningkat. Peningkatan efisiensi penyisihan
seiring dengan meningkatnya suhu disebabkan oleh percepatan proses yang
awalnya lambat, permukaan adsorben dan penurunan ukuran pori adsorben. Pada
penelitian Lazaratou dkk (2020) dilakukan proses adsorpsi logam menggunakan
adsorben mineral lempung palygorskite dan halloysite dengan interval suhu 20,
30, 45, 55 dan 60ºC.
24
Gambar 2.8 Grafik Pengaruh Temperatur
Sumber: Lazaratou dkk, 2020
25
2.5 Kinetika Adsorpsi
Kinetika adsorpsi adalah hubungan interaksi larutan adsorbat dengan
adsorben teraktivasi dengan pola adsorpsi ion logam pada adsorben dipengaruhi
oleh waktu (Wardani dkk, 2017), kinetika adsorpsi dilakukan untuk menentukan
waktu kontak yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan. Kinetika adsorpsi
menggambarkan tingkat kecepatan penyerapan yang terjadi pada adsorben
terhadap adsorbat (Ali, 2016).
Kinetika adsorpsi suatu zat dapat diketahui dengan mengukur perubahan
konsentrasi zat teradsorpsi tersebut dan menganalisis nilai k (berupa
slope/kemiringan) serta memplotkannya pada grafik. Kinetika adsorpsi
dipengaruhi oleh kecepatan adsorpsi. Kecepatan adsorpsi dapat didefinisikan
sebagai banyaknya zat yang teradsorpsi persatuan waktu (Yesya, 2012).
Kinetika adsorpsi digunakan untuk mengetahui laju adsorpsi yang terjadi
pada adsorben terhadap adsorbat dan dipengaruhi oleh waktu. Waktu kontak yang
diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi dijadikan sebagai ukuran laju
adsorpsi (Haryanto dkk, 2016). Analisa kinetika didasarkan pada kinetika reaksi
terutama pseudo first orde dan pseudo second orde. Untuk mengkarakterisasi laju
adsorpsi, konstanta kecepatan reaksi adsorpsi untuk ion-ion logam, digunakan
persamaan sistem pseudo orde pertama dan sistem pseudo orde kedua (Buhani
dkk, 2010).
Pengujian terhadap pseudo first orde dan pseudo second orde dilakukan
dengan membuat kurva yang ditentukan dengan cara membandingkan kelinieran
kurva yang ditunjukkan oleh harga R2, dimana persamaan kinetika yang nilai R2
paling mendekati 1 yang akan digunakan. Koefisien korelasi (R²) dipilih sebagai
fungsi kesalahan yang sesuai untuk menganalisis model kinetik. Hal ini karena
regresi linier secara implisit meminimalkan jumlah kuadrat dari kesalahan untuk
menentukan parameter persamaan (Tchuifon dkk., 2014).
1. Pseudo First Orde
Persamaan pseudo first orde didasarkan pada daya serap adsorben
terhadap adsorbat dengan mengasumsikan bahwa konsentrasi adsorbat berlebih
jika dibandingkan dengan sisi aktif pada permukaan adsorben (Tan dan Hameed,
26
2017). Model kinetika reaksi pseudo first orde menunjukkan bahwa adsorbat
dipermukaan adsorben bereaksi dengan cepat dan menempel pada permukaan
Dimana:
qt : Jumlah zat yang teradsorpsi pada waktu t (mg/g)
qe : Jumlah zat yang teradsorpsi pada saat kesetimbangan (mg/g)
K2 : Konstanta laju pseudo second orde (g/mg.menit)
27
2.6 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi
adsorbat yang dikontakkan pada permukaan adsorben. Tujuan isoterm adsorpsi
yaitu menentukan kapasitas adsorpsi pada adsorben, interaksi larutan zat terlarut
dan kadar akumulasi adsorben (Mohammad dkk, 2015). Isoterm adsorpsi sangat
penting dalam menjelaskan bagaimana adsorbat akan berinteraksi dengan
adsorben dan penting untuk mengoptimalkan penggunaan adsorben. Analisis data
isoterm pada dasarnya penting untuk menentukan kapasitas adsorpsi dari
adsorben. Kesetimbangan adsorpsi tercapai ketika konsentrasi adsorbat dalam
larutan berada dalam keseimbangan dinamis (Ali, 2016).
Proses adsorpsi oleh suatu adsorben dipengaruhi beberapa faktor serta
mempunyai pola isoterm adsorpsi tertentu yang khas. Jenis adsorben, jenis zat
yang diserap, luas permukaan adsorben, konsentrasi zat yang diadsorpsi, dan suhu
merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses adsorpsi. Dengan
adanya faktor-faktor tersebut, setiap adsorben yang menyerap zat satu dengan zat
lain tidak akan mempunyai pola adsorpsi yang sama. Diketahui ada dua jenis
persamaan pola isoterm adsorpsi yang biasa digunakan pada proses adsorpsi
dalam larutan, yaitu persamaan adsorpsi Langmuir dan Freundlich.
Pengukuran konsentrasi adsorbat dengan mekanisme adsorpsinya dalam
proses adsorpsi dapat dipelajari melalui penentuan isoterm adsorpsi. Isoterm
adsorpsi yang sering digunakan yaitu isoterm Langmuir dan Freundlich. Tipe ini
biasanya digunakan untuk ikatan antara molekul adsorbat dengan permukaan
adsorben pada fasa padat cair yang terjadi secara fisisorpsi dan kemisorpsi (Sahara
dkk, 2018). Persamaan Langmuir dan Freundlich digunakan untuk menganalisis
data eksperimental dari penyerap hollow carbon nanofiber untuk besi total.
1. Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir mengasumsikan bahwa adsorpsi yang terjadi akan
membentuk lapisan tunggal (monolayer), yang semua sisi dan permukaannya
bersifat homogen (Priadi dkk, 2014). Isoterm Langmuir hanya terbentuk satu
lapisan tunggal saat adsorpsi maksimum, tiap atom hanya teradsorpsi pada lokasi
tertentu di permukaan adsorben dan tiap bagian permukaan hanya dapat
28
menampung satu molekul atau atom. Isoterm Langmuir merupakan proses
adsorpsi yang dapat berlangsung secara fisik atau kimia (Handayani dan
Sulitiyono, 2009). Adapun persamaan model Langmuir yaitu:
ce 1 Ce
= + .........................................................(2.3)
qe qm K qm
Dimana:
qe : Jumlah zat yang terserap pada waktu kesetimbangan (mg/g)
qm : kapasitas adsorpsi maksimum (mg/g)
K : Konstanta Langmuir (L/mg)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada waktu kesetimbangan (mg/l)
Dari kurva linier hubungan antara Ce/qe dengan Ce dapat diperoleh
konstanta kesetimbangan (K) dan kapasitas adsorpsi maksimum (qm).
Berdasarkan nilai K, maka dapat dihitung energi adsorpsi menggunakan
persamaan sebagai berikut
Energi adsorpsi=R ×T × lnK (2.4)
Dimana:
R : Tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol)
T : Temperatur (K)
KL : Konstanta kesetimbangan Langmuir
K : ( MW × 55 ,5 ×1000 × K L )
2. Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich mengasumsikan bahwa adsorpsi yang terjadi akan
membentuk lapisan-lapisan (multilayer), namun sisi aktif pada permukaannya
bersifat heterogen yaitu adanya perbedaan energi pengikatan pada tiap-tiap sisi
aktif (Priadi dkk, 2014). Persamaan Freundlich juga menunjukkan proses
adsorpsi yang bersifat reversibel maupun ireversibel, dan tetap tidak terlarang
untuk membentuk proses adsorpsi yang bersifat monolayer (Tarapitakcheevin,
2013). Isoterm adsorpsi Freundlich dapat dirumuskan menggunakan persamaan:
1
log q e =log K f + log C e................................................... (2.5)
n
Dimana:
29
qe : Banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben (mg/g)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/l)
N : Intensitas adsorpsi
Kf : Konstanta Freundlich
30
Interaksi elektrostatik adalah fenomena yang paling sering diamati selama
adsorpsi penghilangan bahan berbahaya dalam air. Muatan permukaan adalah
muatan listrik yang ada pada antarmuka dan dispersi pada media polar seperti
air. Interaksi elektrostatik adalah gaya tarik-menarik pada tolakan antara
molekul-molekul yang bermuatan berlawanan (Igwegbe dkk, 2020).
2. Ikatan Hidrogen
Ikatan hidrogen adalah interaksi dipol yang kuat terjadi antara donor
hidrogen dan atom akseptor. Donor hidrogen biasanya terikat pada hidrogen
atom akseptor seperti nitrogen (N), oksigen (O), atau fluor (F) dalam gugus
fungsi, seperti –COOH, –OH, –NH 2 , dan sistem yang kaya elektron
3. Interaksi Asam Basa
4. Interaksi π-π
Jenis lain dari interaksi dipol adalah interaksi π, yaitu lebih lemah dari
ikatan hidrogen. Istilah ini digunakan untuk menginterpretasikan gaya tarik
antara molekul organik netral dan elektron sistem-π yang kaya. Sebuah sistem-π
biasanya merupakan gugus fungsi dengan ikatan-π yang dihasilkan dari tumpang
tindih elektron difusif orbital. Sistem-π seperti ikatan C=C atau cincin aromatik
yang dapat menarik molekul polar dan sistem-π lainnya.
5. Pengaruh Kerangka Kerja Logam
6. Efek Penyaringan Ukuran
7. Interaksi Hidropobik
Hidropobik umumnya terjadi pada senyawa nonpolar, larut dalam air
bermolekul rendah dan biasanya memiliki rantai karbon yang panjang. Interaksi
hidropobik sering diamati pada adsorpsi zat organik pada media air.
31
Gambar 2.10 Skema Diagram Mekanisme Adsorpsi
Sumber: Lv dkk, 2019
32
logam besi pada air limbah menggunakan karbon nanotube berlapis dimodifikasi
secara magnetis, dengan variasi pH larutan 4, 7, 9 dan variasi dosis adsorben 9, 8,
6. Diperoleh penyisihan optimum 98,97% pada pH 8 dan dosis adsorben 6 dengan
nilai kapasitas adsorpsi 200 mg/g mengikuti isoterm Langmuir.
Christica dkk (2018) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam besi
pada limbah industri menggunakan adsorben dari tongkol jagung, dengan
penambahan dosis 1 dan 1,5 gam. Diperoleh nilai efisiensi penyisihan pada 1
gram sebesar 60,20% dan 1,5 gram sebesar 80,01%.
Ali dkk (2018) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam pada air
limbah danau rawal menggunakan adsorben kapas berlapis nanopartikel logam,
dengan penambahan 0,5 gram adsorben dalam larutan sampel, diaduk selama 180
menit dan setiap 10 menit dilakukan pengambilan sampel. Diperoleh kapasitas
adsorpsi sebesar 333,3 mg/g mengikuti isoterm Langmuir dan dan kinetika pseudo
second orde.
Obike dkk (2018) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam besi
menggunakan adsorben dari kulit buah kakao, dengan variasi waktu 10 sampai 60
menit, dosis adsorben 1 sampai 12 g dalam 100 ml larutan sampel, konsentrasi
awal 10 sampai 100 mg/L. Diperoleh kapasitas adsorpsi optimum sebesar 4,16
mg/g mengikuti model isoterm Langmuir dan kinetika pseudo second orde.
Ketsala dkk (2020) melakukan penelitian adsorpsi logam besi
menggunakan karbon aktif dari serbuk lupine putih, dengan variasi dosis adsorben
1, 1,5, 2, 2,5 dan gr dalam 50 ml larutan sampel, pH 3, 5, 8 dan 10, waktu kontak
10, 20, 30, 40 dan 50 menit, suhu 40, 50, 60, 65 dan 70ºC, konsentrasi awal 40,
50, 60, 70 dan 80 mg/L. Diperoleh efisiensi penyisihan optimum 90,28% pada pH
5, dosis 2 g, waktu 30 menit, suhu 50ºC dan konsentrasi larutan 50 mg/L
mengikuti isoterm Freundlich dan kinetika pseudo second orde.
Sylvia dkk (2021) melakukan penelitian tentang efektivitas karbon aktif
kulit singkong dalam menurunkan kadar ion logam besi menggunakan aktivator
NaOH, dengan variasi konsentrasi aktivator 10%, 20%, 25% dan 30% dan variasi
waktu kontak selama 30, 60, 90 dan 120 menit. Hasi efisiensi penyisihan
33
maksimum sebesar 94,07% dan kapasitas adsorpsi 470,35 mg/g dalam konsentrasi
aktivator 30% dan waktu kontak 120 menit.
Amalia dkk (2022) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam besi
menggunakan adsorben cangkang telur ayam, dengan variasi waktu pengadukan
30 dan 60 menit, massa adsorben 0,5 g, 1 g, 1,5 g, 2 g dan 2,5 g. Diperoleh
efisiensi penyerapan yang paling tinggi pada massa adsorben 1,5 gr dan waktu
kontak 60 menit.
Arifiyana dan Devianti (2020) melakukan penelitian adsorpsi logam besi
dalam air limbah artifisial menggunakan karbon aktif dari kulit pisang kepok,
dengan dosis 1,5 gram dan variasi waktu kontak 10, 20, 30, 40 dan 50 menit,
variasi pH 3, 4, 5, 6 dan 7. Diperoleh efisiensi penyisihan optimum 86,387% pada
waktu 30 menit dan pH 6 dengan nilai kapasitas adsorpsi 1,44 mg/g.
Nurhidayati dkk (2022) melakukan penelitian tentang penghilangan ion
logam besi oleh sedimen sebagai adsorben, sebanyak 1 gram sedimen
ditambahkan kedalam 50 ml larutan besi dengan konsentrasi 10, 15, 20, 25 dan 30
ppm dengan pH larutan 5. Diperoleh penyerapan maksimum terjadi pada
konsentrasi 30 ppm dengan nilai kapasitas adsorpsi sebesar 1,45 mg/g.
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
35
3.2.3 Variabel Terikat
Variabel terikat dari penelitian ini adalah penyisihan logam Fe pada air
limbah
36
Mulai
Pembuatan larutan Fe
Penelitian utama :
Pengukuran dilakukan dengan metode SSA
1. Variasi dosis adsorben 1, 1,5, 2, 2,5, 3 g/L.
2. Variasi waktu kontak 10 menit, 30 menit, 60 menit, 90
menit, 120 menit dan 180 menit.
3. Variasi konsentrasi awal larutan Fe 5 mg/L, 10 mg/L, 15
mg/L, 20 mg/L, 25 mg/L, 30 mg/L, 35 mg/L, dan 40 mg/L
Selesai
37
3.4 Rancangan Penelitian
Tabel 3.1 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Dosis Adsorben
Parameter tetap V
A a
d r
s i
KA WK
o p a Keterangan
(mg/ (menit
r H s
L) )
b i
at D
A
B 1
e 1
si ,
( 5 Q Adsorpsi
F 5 10 120 2 % Removal
e 2 Dosis Optimum
(I ,
I) 5
) 3
38
ptimum
(men m (gr/L)
s ia an
it)
o si
r K
B 5
e 10
si 15
Q Adsorpsi
( 20
%
F 5 60 3 25
Rem
e 30
oval
(I 35
I) 40
)
Keterangan:
KA: Konsentrasi Awal
WK: Waktu Kontak
DA: Dosis Adsorben
39
pH netral atau 7 . Selanjutnya sampel daun akasia dioven selama 8 jam
dengan suhu 110oC untuk menghilangkan kadar air pada sampel serbuk
akasia. Sampel kemudian dibentuk menjadi pelet ukuran diameter 2 cm,
tinggi 0,2 cm dengan berat pelet 0,7 gram/pelet menggunakan hydraulic
press bertekanan 7 ton. Kemudian sampel diaktivasi fisika dengan cara
dikarbonasi menggunakan furnace dengan suhu 750oC dan dialiri gas CO2
pada kenaikan suhu 0 sampai 500oC, lalu pada suhu 500oC sampai
kenaikan suhu 750ºC dan penurunan di 500oC dialiri gas N2.
40
3.5.7 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan
Variasi Konsentrasi Awal Larutan
Dosis adsorben hollow carbon fiber akasia optimum yang diperoleh dari
penentuan dosis adsorben dimasukkan ke dalam larutan Fe 100 ml dengan variasi
konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, dan 40 mg/L. kemudian diaduk dengan
kecepatan 120 rpm pada pH 5 selama waktu kontak optimum. Selanjutnya
didiamkan selama 15 menit, kemudian disaring menggunakan kertas saring
whatman 42. Dilakukan pengukuran kadar Fe2+ pada filtrat dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom (SSA).
41
Cout : Konsentrasi efluen Fe pada sampel setelah perlakuan (mg/L)
V : Volume sampel (L)
M : Massa adsorben yang digunakan (g)
3. Menentukan Jenis kinetika adsorpsi
Kinetika yang akan ditentukan yaitu pseudo orde satu dan pseudo orde
dua.
a) Pseudo first orde
Lihat persamaan rumus 2.1
b) Pseudo second orde
Lihat persamaan rumus 2.2
4. Menentukan Jenis Isoterm Adsorpsi
Isoterm yang akan ditentukan yaitu isoterm Langmuir dan isoterm
Freundlich.
a) Isoterm Langmuir
Lihat persamaan rumus 2.3
b) Isoterm Freundlich
Lihat persamaan rumus 2.5
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
42
100.00
9.00
80.00
7.00
Kapasitas (mg/g)
Efisiensi (%)
60.00
5.00
40.00
20.00 3.00
0.00 1.00
1 1.5 2 2.5 3
efisiensi rata-rata (%) kapasitasg/L
Dosis Adsorben adsorpsi (mg/g) KA 10 mg/L
WK 120 menit
Gambar 4.1 Hubungan Antara Dosis Adsorben dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa dosis adsorben
mempengaruhi nilai efisiensi penyerapan dan kapasitas adsorpsi, semakin besar
dosis yang ditambahkan maka nilai efisiensi penyerapannya semakin tinggi dan
nilai kapasitas adsorpsi semakin kecil. Pada penambahan dosis 1 gr/L sampai 3
gr/L diperoleh nilai efisiensi penyisihan sebesar 97,92% meningkat menjadi
99,68% dan kapasitas adsorpsi sebesar 8,32 mg/g menurun menjadi 2,82 mg/g,
diperoleh dosis optimum yang dicapai untuk mengadsorpsi logam Fe 2+
menggunakan adsorben hollow carbon fiber akasia pada dosis 3 g/L dengan nilai
efisiensi sebesar 99,68% dan kapasitas adsorpsi sebesar 2,824 mg/g. Rendahnya
nilai efisiensi pada dosis 1 g/L dibandingkan dengan dosis adsorben berikutnya
disebabkan karena jumlah adsorbat lebih banyak dibandingkan pori aktif dari
adsorben sehingga tidak ada ruang lagi bagi adsorbat untuk melekat.
Peningkatan nilai efisiensi penyerapan adsorpsi berbanding lurus dengan
meningkatnya jumlah dosis yang ditambahkan kedalam larutan sampel, hal ini
dikarenakan semakin banyak jumlah adsorben yang terdapat dalam larutan
sampel, maka semakin banyak pula pori aktif dan luas permukaan adsorben dalam
menjerap ion logam. Berbanding terbalik dengan efisiensi penyisihan, kapasitas
43
adsorpsi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya dosis adsorben,
pada kondisi waktu dan konsentrasi yang sama kenaikan dosis adsorben
menurunkan kapasitas adsorpsi. Kapasitas adsorpsi menunjukkan banyaknya
adsorbat yang diadsorpsi per satuan dosis adsorben, nilai kapasitas adsorpsi
dipengaruhi oleh besarnya dosis adsorben. Jika dosis adsorben dinaikkan
sedangkan konsentrasi adsorbat tetap, peningkatan jumlah pori aktif atau luas
permukaan adsorben akan meningkatkan penyebaran penyerapan adsorbat
(Nurulita, 2020).
Variasi dosis adsorben berpengaruh terhadap jumlah pori aktif dan luas
permukaan adsorben dalam menjerap logam besi (Fe2+). Hal ini didukung oleh
penelitian Taufiqurrahman (2022) tentang adsorpsi ion besi (Fe 2+) dalam air
menggunakan adsorben zeolit dari POFA, dari dosis adsorben yang diberikan 1-3
g/L diperoleh dosis dengan efisiensi penyisihan logam Fe 2+ tertinggi pada dosis 3
g/L. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Baby dkk (2019) bahwa pengaruh dosis
adsorben terhadap efisiensi penyisihan logam pada air limbah akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah dosis adsorben yang
ditambahkan.
44
100.00 3.00
80.00
60.00
2.00
40.00
1.50
20.00
0.00 1.00
10 30 60 90 120 180
Menit
Efisiensi penyisihan kapasitas adsorpsi KA 10 mg/L
DA 3 g/L
Gambar 4.2 Hubungan Antara Waktu Kontak dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan efisiensi
dan kapasitas adsorpsi seiring dengan penambahan waktu kontak. Waktu kontak
optimum yang dicapai untuk mengadsorpsi logam Fe 2+ menggunakan adsorben
hollow carbon fiber akasia yaitu pada waktu kontak 60 menit dengan nilai
efisiensi sebesar 99,21% dan kapasitas adsorpsi sebesar 2,81 mg/g. Pada waktu
kontak 10 menit nilai efisiensi dan kapasitas adsorpsinya lebih rendah
dibandingkan pada waktu kontak berikutnya dengan nilai efisiensi 89,56% dan
kapasitas adsorpsi sebesar 2,54 mg/g. Hal ini dikarenakan pada waktu kontak 10
menit, gugus fungsi pada pori aktif adsorben belum maksimal untuk berinteraksi
dengan logam Fe2+, sehingga logam Fe2+ yang teradsorpsi tidak lebih banyak
dibandingkan waktu kontak berikutnya (Arifiyana dkk, 2020). Daya adsorpsi
logam Fe2+ semakin meningkat pada waktu 10 menit sampai waktu 60 menit.
Setelah interaksi berlangsung selama 60 menit adsorpsi ion logam Fe 2+ oleh
adsorben terjadi penurunan efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi, hal ini
menunjukkan telah tercapainya keadaan kesetimbangan. Waktu kesetimbangan
ditentukan untuk mengetahui kapan suatu adsorben mengalami kejenuhan
sehingga proses adsorpsi terhenti. Pada keadaan ini, kapasitas adsorpsi permukaan
45
karbon aktif telah jenuh dan telah tercapai kesetimbangan antara konsentrasi ion
logam Fe2+ dalam adsorben dengan lingkungannya, sehingga penyerapan pada
waktu kontak di atas 60 menit menjadi menurun dan konstan.
Pada variasi waktu kontak efisiensi penyisihan tertinggi terjadi pada waktu
kontak 60 menit dengan efisiensi sebesar 99,21% dan kapasitas adsorpsi 2,81
mg/g. Hal ini didukung oleh penelitian Setiawan (2017) tentang adsorpsi logam
Fe (II) menggunakan adsorben limbah daun nanas, dari waktu kontak yang
diberikan 10-180 menit diperoleh waktu kesetimbangan pada waktu 60 menit
dengan efisiensi penyisihan 22,63%. Efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi
meningkat karena reaksi adsorpsi terjadi secara cepat di awal waktu kontak dan
kemudian menurun secara bertahap sampai mencapai kesetimbangan. Pada waktu
awal banyak pori aktif yang kosong dan jumlahnya berlimpah, seiring dengan
bertambahnya waktu kontak adsorben akan menjadi jenuh (Azari dkk, 2020).
Pada saat proses adsorpsi telah mencapai kesetimbangan, tidak akan terjadi
peningkatan adsorpsi seiring dengan meningkatnya waktu kontak yang diberikan.
46
100.00 10.00
8.50
80.00
5.50
40.00
4.00
20.00
2.50
0.00 1.00
5 10 15 20 25 30 35 40
Konsentrasi Awal (mg/L)
Efisiensi Penyisihan Kapasitas Adsorpsi DA 3 g/L WK 60 menit
Gambar 4.3 Hubungan Antara Konsentrasi Awal dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kapasitas
adsorpsi seiring dengan semakin tinggi konsentrasi awal logam Fe 2+. Pada
konsentrasi awal 5 mg/L diperoleh nilai kapasitas adsorpsi sebesar 1,53 mg/g
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal ion logam Fe 2+, untuk
nilai efisiensi terjadi penurunan nilai dari 99,75% menurun seiring dengan
meningkatnya konsentrasi awal logam Fe2+. Pada konsentrasi awal yang rendah
terbentuk lapisan monolayer pada permukaan pori aktif adsorben yang
menyebabkan proses adsorpsi terjadi secara intens dan cepat, tetapi pada sebagian
besar pori aktif adsorben tetap tidak jenuh akibatnya kapasitas adsorpsi kecil.
Pada konsentrasi awal yang lebih tinggi situs pori aktif yang tersedia akan terisi
oleh lebih banyak ion logam, sehingga ion logam yang teradsorpsi tidak hanya
membentuk lapisan monolayer tetapi akan berdifusi kedalam permukaan adsorben
sehingga terbentuk lapisan multilayer yang menyebabkan penyerapan ion logam
lebih efektif.
Pada setiap kenaikan konsentrasi awal larutan Fe 2+ lebih banyak ion logam
yang tidak terjerap pada permukaan pori aktif adsorben dikarenakan permukaan
pori aktif dari hollow carbon fiber akasia sudah dalam keadaan jenuh akibat telah
47
terisinya semua pori aktif adsorben sehingga pori aktif pada adsorben sudah tidak
tersedia. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion logam Fe, maka efisiensi
penyisihan semakin berkurang. Hal ini disebabkan pada konsentrasi yang lebih
tinggi, jumlah ion logam Fe dalam larutan tidak sebanding dengan jumlah partikel
adsorben hollow carbon fiber akasia yang tersedia sehingga permukaan pori
adsorben akan mencapai titik jenuh. Dalam hal ini akan terjadi proses desorpsi
atau pelepasan kembali ion logam yang telah terjerap pada pori adsorben hollow
carbon fiber akasia.
Pada variasi konsentrasi awal nilai efisiensi penyisihan tertinggi diperoleh
pada konsentrasi awal logam Fe2+ 5 mg/L dengan nilai sebesar 85,02%. Hal ini
didukung oleh penelitian Radnia (2012) tentang adsorpsi logam besi oleh
adsorben kitosan, dari variasi konsentrasi awal yang diberikan diperoleh nilai
efisiensi tertinggi pada konsentrasi awal 10 mg/L dan kapasitas adsorpsi terbesar
pada konsentrasi awal 50 mg/L. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Awual dkk
(2018) bahwa pada konsentrasi awal yang rendah, kesediaan pori aktif relatif
tinggi sehingga logam akan mudah terjerap oleh jumlah pori adsorben yang
tersebar sehingga efisiensi penyisihan tinggi. Berlawanan dengan konsentrasi awal
yang tinggi efisiensi penyerapan akan menurun akibat terbatasnya pori aktif pada
adsorben. Pada pernyataan Azari dkk (2020) dijelaskan bahwa pada konsentrasi
rendah terdapat pori aktif yang kosong yang cukup di permukaan adsorben untuk
menyerap adsorbat, yang akan jenuh seiring dengan peningkatan konsentrasi
adsorbat. Ini menyebabkan berkurangnya pori aktif yang diperlukan untuk
mengadsorpsi adsorbat, disisi lain konsentrasi adsorbat memberikan daya
pendorong untuk perpindahan adsorbat. Pada konsentrasi awal adsorbat yang
tinggi jumlah ion bersaing untuk mengisi pori aktif yang tersedia di permukaan
adsorben tinggi, sehingga menyebabkan kapasitas adsorpsi logam Fe 2+ lebih
tinggi.
48
terutama untuk merancang sistem adsorpsi dari proses batch skala besar (Bulut
dkk, 2008). Penentuan kinetika adsorpsi dilakukan untuk menentukan orde reaksi
dari penentuan waktu optimum. Laju adsorpsi yang dihasilkan (kinetika adsorpsi)
yaitu menggambarkan tingkat kecepatan adsorben terhadap adsorbat. Kinetika
adsorpsi dilakukan dengan variasi waktu kontak yang akan menunjukkan berapa
banyak adsorbat yang dapat teradsorpsi pada setiap waktu (Karsa, 2020).
Studi persamaan pseudo first orde dilakukan dengan memplotkan data Log
(qe-qt) terhadap t, sedangkan persamaan pseudo second orde dilakukan dengan
memplotkan data t/qt terhadap t. Penentuan kinetika pada penelitian ini
menggunakan karbon aktif dengan pH 5, dosis 3 gr/L dan waktu kontak 10, 30,
60, 90, 120 dan 180 menit. Dari hasil pengolahan data kedua model persamaan
kinetika maka dapat diperoleh kurva perbandingan antara kinetika pseudo first
orde dan pseudo second orde untuk adsorben hollow carbon fiber akasia pada
Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 berikut.
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
-0.20
-0.40
-0.60
-0.80
Log (qe-qt)
-1.40
-1.60
-1.80
-2.00
waktu (t)
Gambar 4.4 Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde Hollow Carbon Fiber
Akasia Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+
49
80.00
70.00
40.00
t/qt
30.00
20.00
10.00
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
waktu (t)
Gambar 4.5 Kinetika Adsorpsi Pseudo Second Orde Hollow Carbon Fiber
Akasia Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+
Hasil perbandingan nilai R2 dari model kinetika adsorpsi pseudo first orde
dan pseudo second orde pada gambar 4.5 dan 4.8 menunjukkan persamaan
kinetika pseudo first orde nilai R2 = 0,651 dan persamaan kinetika pseudo second
orde nilai R2 = 0,999. Hal ini menunjukkan bahwa proses adsorpsi logam besi
(Fe2+) oleh adsorben hollow carbon fiber akasia mengikuti model kinetika pseudo
second orde. Perhitungan parameter kinetika pseudo first orde dan pseudo second
orde dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde
Intercep
Persamaan Garis Slope qe(mg/g) qe2 K2 R2
t
y = 0,356x + 0,214 0,215 0,357 2,803 7,856 0,593 0,999
Dari hasil di atas, pada penyisihan logam Fe 2+ untuk kinetika yang paling
sesuai adalah model kinetika pseudo second orde karena nilai R2 yang mendekati
1 yaitu 0,999. Nilai R2 merupakan nilai yang menunjukkan tingkat linearitas suatu
50
kurva, semakin besar nilainya maka semakin representatif hasilnya. Nilai R 2
adalah salah satu penentu yang penting dan mewakili data eksperimen yang paling
cocok dengan model kinetika (Chieng dkk, 2015). Selain itu nilai qe yang
dihitung yang diturunkan dari model pseudo second orde sangat dekat dengan
nilai eksperimental (qeexp). Menurut Farooq dkk (2011) model kinetika pseudo
second orde mengindikasikan adanya proses kemisorpsi dalam reaksi.
Nilai konstanta laju adsorpsi (K) untuk penyisihan logam Fe 2+ berdasarkan
model kinetika pseudo second orde yaitu 0,593 lebih besar dibandingkan pseudo
first orde yaitu 0,0152, hal ini membuktikan bahwa nilai K yang semakin besar
menunjukkan semakin cepat adsorpsi berlangsung. Kinetika pseudo second orde
mengasumsikan bahwa kemisorpsi adalah penentu laju adsorpsi, diasumsikan ion
logam Fe teradsorpsi secara kimia melalui perbentukan ikatan kimia antara ion
logam Fe dengan situs aktif adsorben. Kinetika pseudo second orde
menggambarkan bahwa ketersediaan situs adsorpsi pada permukaan adsorben
lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi adsorbat (Lee dkk, 2018).
51
pada saat kesetimbangan (Ce) dengan konsentrasi adsorbat pada saat
kesetimbangan per banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben
(Ce/Qe). Pada model isoterm Freundlich ditentukan berdasarkan pengolahan data
dari nilai log konsentrasi limbah akhir (Log Ce) dan nilai log kapasitas adsorpsi
(Log qe) (Ismiyati, 2020). Penentuan isoterm pada penelitian ini menggunakan
karbon aktif dengan pH 5, dosis 3 gr/L dan waktu kontak 60 menit. Dari hasil
pengolahan data kedua isoterm maka dapat diperoleh kurva perbandingan antara
isoterm Langmuir dan isoterm Freundlich untuk adsorben hollow carbon fiber
akasia pada gambar 4.6 dan gambar 4.7 berikut.
0.600
0.400
Ce/Qe
0.300
0.200
0.100
0.000
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0
Ce (mg/L)
Gambar 4.6 Isoterm Adsorpsi Langmuir Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+
52
1.10
1.00
f(x) = 0.284519664727403 x + 0.841651894591079
R² = 0.935166688110622
0.90
0.80
0.70
Log Qe
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-2.20 -1.70 -1.20 -0.70 -0.20 0.30 0.80
Log Ce
Gambar 4.7 Isoterm Adsorpsi Freundlich Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+
Hasil perbandingan nilai R2 dari model isoterm adsorpsi Langmuir dan
Freundlich pada gambar 4.6 dan 4.7 menunjukkan persamaan isoterm Langmuir
nilai R2 = 0,997 dan persamaan isoterm Freundlich nilai R2 = 0,935. Hal ini
menunjukkan bahwa proses adsorpsi logam besi (Fe2+) oleh adsorben hollow
carbon fiber akasia mengikuti model isoterm Langmuir. Perhitungan parameter
isoterm adsorpsi Langmuir dan Freundlich dapat dilihat pada tabel 4.4 dan tabel
4.5 berikut.
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Isoterm Adsorpsi Langmuir
53
terjerap hanya pada satu sisi pori aktif pada permukaan adsorben dan masing-
masing pori aktif hanya mengikat satu ion logam besi (Fe 2+). Isoterm Langmuir
memiliki karakteristik utama yang dapat dinyatakan dengan nilai konstanta R L,
nilai RL menentukan jenis isoterm. Untuk adsorpsi irreversible nilai RL= 0,
sedangkan untuk adsorpsi favorable nilai RL=0<RL<1, adsorpsi linier RL=1, dan
adsorpsi unfavorable RL>1 (Kartika dan Amran, 2021).
Nilai perhitungan energi adsorpsi dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut.
Isoterm Langmuir
Konstanta Energi adsorpsi
Adsorben Langmuir (KL) Temperatur (K) (kJ/mol)
Hollow carbon nanofiber 6,264 300,15 41,88
Jenis ikatan yang terbentuk antara adsorbat dan adsorben ketika proses
adsorpsi dapat ditentukan dari energi adsorpsi. Energi adsorpsi mencerminkan
seberapa kuat ikatan antara logam Fe dengan gugus aktif adsorben (Irawati dkk,
2017). Adsorpsi dikategorikan sebagai proses fisika jika energinya antara 2,1-20,9
kJ/mol sedangkan energi untuk proses kemisorpsi terjadi antara 20,9-418,4 kJ/mol
(Kosasih dkk, 2010). Berdasarkan perhitungan energi adsorpsi diperoleh nilai
41,88 kJ/mol yang menandakan bahwa proses adsorpsi terjadi secara kimia atau
kemisorpsi dikarenakan nilai energi adsorpsi yang diperoleh masuk kedalam
rentang dari 20,9-418,4 kJ/mol (Pohan, 1993). Berdasarkan dari pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa proses adsorpsi pada penelitian ini melibatkan proses
adsorpsi secara kimia. Pada proses ini terjadi interaksi elektrostatik atau gaya tarik
menarik antar molekul-molekul yang berbeda muatan (Igwegbe dkk, 2020),
dimana terjadi reaksi antara gugus karboksil pada hollow carbon fiber dengan
logam Fe2+ sehingga membentuk ikatan ion antara Fe dan O.
54
Gambar 4.8 Mekanisme Adsorpsi Fe pada Gugus Fungsi Karboksil
55
Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat jika hasil penelitian ini
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian adsorpsi ion
logam Fe menggunakan adsorben hollow carbon fiber akasia menghasilkan nilai
persentase penyisihan logam Fe lebih tinggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
adsorben hollow carbon fiber akasia dapat dijadikan sebagai adsorben karena
memiliki nilai efisiensi penyisihan yang baik.
56
lampiran XLVII tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan yang
belum memiliki baku mutu air limbah yang ditetapkan dapat dilihat pada tabel 4.8
sampai 4.10 berikut.
Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Dosis Adsorben Optimum
3 10 0,027 5-7
Sumber: (*) Hasil Uji 2022
(**)
Permen LH RI No. 5 Tahun 2014
57
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2014.
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian adsorpsi logam Fe menggunakan adsorben hollow
carbon fiber akasia dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni:
1. Pada penelitian adsorpsi logam Fe menggunakan hollow carbon fiber
akasia diperoleh dosis optimum adalah 3 gr/L dengan efisiensi
penyisihan sebesar 99,68%, waktu kontak optimum 60 menit dengan
efisiensi penyisihan sebesar 99,21% dan konsentrasi awal
mempengaruhi nilai efisiensi penyisihan, dimana nilai efisiensi
penyisihan berbanding terbalik seiring dengan kenaikan konsentrasi
awal.
2. Model kinetika dan isoterm yang sesuai untuk adsorpsi logam Fe
menggunakan adsorben hollow carbon fiber akasia yaitu kinetika
pseudo second orde dengan nilai R2 sebesar 0,999 dan isoterm
Langmuir dengan nilai R2 sebesar 0,997.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian penelitian yang telah dilakukan sebagai
pengembangan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan variabel lain
seperti variasi variabel kecepatan pengadukan, variasi pH, variasi
ukuran mesh adsorben agar lebih banyak ilmu pengetahuan tentang
kemampuan adsorpsi oleh adsorben hollow carbon fiber akasia.
2. Dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk logam berat lain seperti
aluminium (Al), kadmium (Cd), kromium (Cr), timbal (Pb), atau
aplikasi selain adsorpsi logam berat.
58
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrasaq, O.O., & Basiru, O.G. 2010. Removal of Copper (II), Iron (III) and
Lead (II) Ions from Monocomponent Simulated Waste Effluent by
Adsorption on Coconut Husk. African Journal of Environmental Science
and Technology. Nigeria.
Adhani, R., & Husaini. 2017. Logam Berat Sekitar Manusia. Lambung Mangkurat
University Press. Banjarmasin.
Al-Senani, G. M., & Al-Fawzan, F. F. 2018. Study of Heavy Metal Ions From
Aqueous Solution by Nanoparticle of Wild Herbs. Egyptian Journal of
Aquatic Research.
Al-Shahrani, S.S. 2013. Treatment of Wastewater Contaminated With Fe (II) by
Adsorption Onto Saudi Activated Bentonite. Internation Journal of
Engineering & Technology. King Abdulaziz University. Saudi Arabia.
Ali, A., Gul, A., Mannan, A., & Zia, M. 2018. Efficient Metal Adsorption and
Microbial Reduction From Rawal Lake Wastewater Using Metal
Nanoparticle Coated Cotton. Journal Science of the Total Environment.
639 26–39.
Ali, M. 2011. Rembesan Air Lindi (Leachate) Dampak Pada Tanaman Pangan
dan Kesehatan. UPN Press. Surabaya.
Ali, M.E.A., Aboelfadl, M.M.S., Selim, A.M., Khalil, H.F., & Elkady,
G.M. 2018.
Chitosan Nanoparticles Extracted From Shrimp Shells, Application For
Removal Of Fe (II) and Mn (II) From Aqueous Phases. Journal ISSN:
0149-6395.
Alimohammadi, V., Seidighi, M., & Jabbari, E. 2017. Experimental Study on
Efficient Removal of Total Iron From Wastewater Using Magnetic-
Modified Multi-Walled Carbon Nanotubes. Jurnal Ecological
Engineering. 102 90–97.
Amalia, V.N., Oktorina, S., & Setyowati, R.D.N. 2022. Efisiensi Penyerapan
Logam Besi (Fe) Menggunakan Adsorben Cangkang Telur Ayam dengan
Sistem Batch. Jurnal Teknologi Techno Scientia. Surabaya.
Anggriani, U.M., Hasan, A., & Purnamasari, A. 2021. Kinetic Adsorption of
Activated Carbon in Decreasing Concentrations of Copper (Cu) and Lead
(Pb) Metals. Jurnal kinetika Vol 12. Politeknik Negeri Sriwijaya.
Apriani, R., Faryuni, I.D., & Wahyuni, D. 2013. Pengaruh Konsentrasi Aktivator
Kalium Hidroksida (KOH) terhadap Kualitas Karbon Aktif Kulit Durian
sebagai Adsorben Logam Fe pada Air Gambut. Jurnal PRISMA FISIKA.
Vol. I, No. 2, Hal. 82 – 86.
Apriwandi., Agustino., Taer, E., & Taslim, R. 2020. A High Potential of Biomass
Leaves Waste for Porous Activated Carbon Nanofiber/Nanosheet as
Electrode Material of Supercapacitor. Journal of physic: conference
series 1655 01 2007.
Arif, M.D., & Mawardi. 2020. Pengaruh Konsentrasi Awal Larutan Terhadap
Penyerapan Ion Logam Cr6+ Menggunakan Biomassa Alga Hijau
Mougeotia Sp yang Diimobilisasi Dengan Natrium Silika. Chemistry
Journal of Universitas Negeri Padang. Sumatera Barat.
Arifiyana, D., & Deviyanti, V.A. 2020. Biosorpsi Logam Besi (Fe) Dalam Media
Limbah Cair Artifisial Menggunakan Biosorben Kulit Pisang Kepok
(Musa Acuminate). Jurnal Kimia Riset, Volume 5 No. 1, Juni 2020.
Astuti, Widi. 2018. Adsorpsi Menggunakan Material Berbasis Ligniselulosa.
Semarang. Unnes Press.
Awual, Md.R., Khraisheh, M., Alharthi, N, H., Luqman, M., Islam, A., Karim, M,
R., Rahman, M, M., & Khaleque, Md, A. 2018. Efficient detection and
adsorption of cadmium (II) ions using innovative nanocomposite
materials. Chemical Engineering Journal. Saudi Arabia.
Azari, A., Nabizadeh, R., Nasseri, S., Mahvi, A.H., & Mesdaghinia, A.R. 2020.
Comprehensive Systematic Review and Meta analysis of Dyes
Adsorption by Carbon-Based Adsorbent Materials: Classification and
Analysis of Last Decade Studies. Journal Chemosphere. Tehran
University of Medical Science. Iran
Baby, R., Saifullah, B., & Hussein, M, Z. 2019. Palm Kernel Shell as an Effective
Adsorbent for the Treatment of Heavy Metal Contamined Water. Journal
Scientific Reports.
Bahtiar, A., Faryuni, I.D., & Jumarang, M.I. 2015. Adsorpsi Logam Fe
Menggunakan Adsorben Karbon Kulit Durian Teraktivasi Larutan
Kalium Hidroksida. PRISMA FISIKA, Vol. III, No. 01.
Banerjee, S., Mukherjee, S., L., Minka-ot, A., Joshi, S.R., Mandal, T. & Halder,
G. 2016. Biosorptive Uptake of Fe2+, Cu2+ and As5+ by Activated Biochar
Derived from Colocasia Esculenta: Isotherm, Kinetics, Thermodynamics
and Cost Estimation. Journal of Advanced Research. India.
Beck, R.J., Zhao, Y., Fong, H., & Menkhaus, T.J. 2017. Electrospun lignin carbon
nanofiber membranes with large pores for highly efficient adsorptive
water treatment applications. Journal of Water Process Engineering. 16
(2017) 240–248.
Bhattacharyya, K.G., & Gupta, S.S. 2008. Adsorption of Fe (III), Co (II) and Ni
(II)on ZrO-kaolinite and ZrO-montmorillonite Surface in Aqueous
Medium. Journal Colloids and Surface: Physcochem Engineering. India.
Bulut, E., Ozacar, M., & Sengil, I, A. 2008. Adsorption of Malachite Green Onto
Bentonite: Equilibrium and Kinetic Studies and Process Design. Journal
Microporous and Mesoporous Materials. Sakarya University: Turki.
Chatterjee, A., Jayanta K.B., & Amiya K.J. 2019. Alumina-Silica Nano-Sorbent
From Plant Fly Ash and Scrap Aluminium Foil In Removing Nickel
Through Adsorption. Journal Powder Technology. 354, 792-803.
Chieng, H.L., Lim, L.B.L., Priyantha, N., 2015. Sorption characteristics of Peat
from Brunei Darussalam for the removal of rhodamine B dye from
60
aqueous solution: adsorption isotherms, thermodynamics, kinetics and
regeneration studies. Desalination and water treatment. 55, 664-667.
Christica, I.S., Muchlisyam., & Julia, R. 2018. Activated Carbon Utilization From
Corn Cob (Zea Mays) As A Heavy Metal Adsorbent In Industrial Waste.
Asian Journal Pharmaceutical Research and Development.
Denisova, T.R., Sippel, I.Y., Nguyen, K.T.., Galimova, R.Z., & Shaikhief, I.G.
2018. Investigation of Nickel Ions Adsorption by Acacia Auriculiformis
Components. Journal Department of Chemistry and Ecology. Kazan
Federal University, Russia.
Eka P, Christina., & Florentina, P.I. 2017. Ekstraksi Tanin Dari Kulit Kayu
Akasia Dengan Menggunakan Microwave: Pengaruh Daya Microwave,
Waktu Ekstraksi Dan Jenis Pelarut. Jurnal Teknik Kimia USU. Vol. 6,
No. 3.
El-Deen, A.G., Barakat, N.A.M., Khalil, K.A., & Kim, H.Y. 2013. Hollow
Carbon Nanofibers As An Effective Electrode for Brackish Water
Desalination Using The Capacitive Deionization Process. Journal
Chonbuk National University.
Elfarisna., Niaga, H., & Puspitasari. 2016. Tanaman Akasia (Acacia Mangium
Wild.) Terhadap Tingkat Salinitas Di Pembibitan. Jurnal Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Esterlita, M. O., & Herlina, N. 2015. Pengaruh Penambahan Aktivator ZnCl 2,
KOH dan H3PO4 dalam Pembuatan Karbon Aktif dari Pelepah Aren
(Arenga Pinnata). Jurnal Teknik Kimia USU.
Farooq, U., Khan, A.M., Athar, M., & Kozinski, J.A. 2011. Effect of Modification
of Environmentally Friendly Biosorbent Wheat (Triticum aestivum) on
The Biosorptive Removal of Cadmium (II) Ions from Aqueous Solution.
Journal Chemical Engineering.
Febriana, L., & Ayuna, A. 2015. Studi Penurunan Kadar Besi (Fe) Dan Mangan
(Mn) Dalam Air Tanah Menggunakan Saringan Keramik. Jurnal
Teknologi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Volume 7 No. 1.
Ghasemi, M., Ghoreyshi, A.A.., Younesi, H., & Khoshhah, S. 2015. Synthesis Of
A High Characteristics Activated Carbon From Walnut Shell For The
Removal Of Cr (VI) And Fe (II) From Aqueous Solution: Single And
Binary Solutes Adsorption. Iranian Journal of Chemical Engineering.
Vol. 12, No. 4 (Autumn 2015), IAChE.
Haryanto, B., Panjaitan, F., Haloho, H., Rawa, R., Ridho, M. 2016. Kajian
Kemampuan Adsorpsi Batang Jagung (Zea mays) terhadap Ion Logam
Cd2+. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas.
Hasanah, A.U. 2019. Adsorpsi Fenol Menggunakan Karbon Aktif Dari Kulit
Salak (Salacca Edulis) Dengan Aktivasi Co2. Skripsi. Universitas
Sumatera Utara.
Herlenasari., Agustina., Sari, M.P., & Mardiah. 2017. Pembuatan Adsorben dari
Koran Bekas untuk Mengurangi Kadar Fe dan Cu dalam Air Limbah.
Journal of Chemical Process Engineering. Kalimantan Timur.
61
Hina, K., Zou, H., Qian, W., Zuo, D., & Yi, C. 2018. Preparation and
Performance Comparison of Cellulose-based Activated Carbon Fibers.
Journal Cellulose.
Ho, Y.S., McKay, G., Wase, D.A.J., & Foster, C.F. 2000. Study of The Sorption
Isotherms of Divalent Metal Ions On To Peat. Adsorption Science and
Technology. 96. 1285-1291.
Ho, Y, S., Huang, C, T., & Huang, H, W. 2002. Equilibrium Sorption Isotherm for
Metal Ions on Tree Fern. Journal Process Biochemistry. Taiwan.
Huang, Y., Li, S., Chen, J., Zhang, X., & Chen, Y. 2014. Adsorption of Pb (II) on
Mesoporous Activated Carbons Fabricated from Water Hyacinth using
H3PO4 Activation: Adsorption Capacity, Kinetic and Isotherm Studies.
Journal Applied Surface Science. China.
Hubadillah, S.K., Othman, M.H.D., Harun, Z., Ismail, A.F., Rahman, M.A., &
Jaafar, J. 2016. A Novel Green Ceramic Hollow Fiber Membrane
(CHFM) Derived From Rice Husk Ash As Combined Adsorbent-
Separator For Efficient Heavy Metals Removal. Manuscript Ceramics
International.
Irawan, C., & M.Ain, M.I. 2018. Pengaruh Ph Terhadap Adsorpsi Logam Fe
Dengan Menggunakan Abu Layang Sebagai Adsorben. Jurnal Politeknik
Negeri Balikpapan.
Irawati, H., Aprilita, N.H., & Sugiharto, E. 2018. Adsorpsi Zat Warna Kristal
Violet Menggunakan Limbah Kulit Singkong (Manihot esculenta).
Journal of Mathematics and Natural Science.
Irhamni., Pandia, S., Purba, E. dan Hasan, W. 2017. Serapan Logam Berat
Esensial dan Non Esensial pada Air Lindi TPA Kota Banda Aceh dalam
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Serambi Engineering.
2(3): 134 – 140.
Ismiyati, Ma’rifatul. 2020. Pemanfaatan Sabut Kelapa dan Tempurung Kelapa
Sebagai Bioadsorben Untuk Penurunan Kadar Besi (Fe) Dengan Sistem
Batch. Skripsi. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Jannah, M., Mulyati, S., Rosnelly, C.M., & The influences of operating conditions
on the removal of Fe(II) in water by adsorption using bentonite as a low-
cost adsorbent. Journal Materials Science and Engineering. Indonesia.
Kacaribu, K. 2008. Kandungan Kadar Seng (Zn) dan Besi (Fe) dalam Air Minum
dari Depot Air Minum Isi Ulang Air Pegunungan Sibolangit di Kota
Medan. Sumatera Utara. Skripsi. Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Kalantari, M., Yu, M., Noonan, O., Song, H., Xu, C., Huang, X., Xiang, F., Wang,
X., & Yu, C. 2017. Rattle-type Magnetic Mesoporous Hollow Carbon as
a High Performance and Reusable Adsorbent for Water Treatment.
Journal Chemosphere. Australia.
Kartika, S.E., & Amran, M.B. 2021. Sintesis dan Karakterisasi Poly (Antrhanilic
Acid –Co-Formaldehyde) untuk Adsorpsi Ion Pb (II). Journal of
Chemistry. Bandung
62
Kang, Y.G., Vu, H.C., Chang, Y.Y., Chang, Y.S. 2020. Fe (III) Adsorption on
Graphene Oxide: A Low-cost and Simple Modification Method for
Persulfate Activation. Chemical Engineering Journal. Korea Selatan:
Kwangwoon University.
Karsa, A.F. 2020. Studi Adsorpsi Limbah Caulerpa Lentillifera Terhadap
Methylene Blue. Skripsi. Universitas Pertamina.
Khalik, A. 2015. Analisis Sistem Pengolahan Air Limbah Pada Kelurahan
Kelayan Luar Kawasan IPAL Pekapuran Raya PD PAL Kota
Banjarmasin. Jurnal POROS TEKNIK. Volume 7 No. 1 Juni 2015 : 1-53.
Khatri, N., Tyagi, S., & Rawtani, D. 2017. Recent Strategies For The Removal Of
Iron From Water: A Review. Journal of Water Process Engineering.
Volume 19, Pages 291-304.
Kim, D.S. 2004. Adsorption Characteristic of Fe (II) and Fe (III)-NTA Complex
on Granular Activated Carbon. Journal of Hazardous Materials. EHWA
Womans University, South Korea.
Kocaoba, Sevgi. 2019. Adsorption of Fe (II) and Fe (III) from Aqueous Solution
by Using Sepiolite: Speciation Studies With MINEQL+ Computer
Program. Journal Separation Science and Technology. Turkey.
Konicki, W., Cendrowski, K., Chen, X., & Mijowska, E. 2013. Application of
Hollow Mesoporous Carbon Nanosphere as an High Effective Adsorbent
for the Fast Removal of Acid Dyes from Aqueous Solution. Chemical
Engineering Journal. Polandia.
Kosasih, A.N., Febrianto, J., Sunarso, J., Ju, Y.H., Indraswati, N., & Ismadji, S.
2010. Sequestering of Cu (II) from Aqueous Solution Using Cassava Peel
(Manihot escelenta). Journal Hazard matter.
Lazaratou, C.V., Panagiotaras, D., Panagopulos, G., Pospisil, M., & Papoulis, D.
2020. Ca Treated Palygorskite And Halloysite Clay Minerals For Ferrous
Iron (Fe+2) Removal From Water Systems. Journal Environmental
Technology & Innovation.
Lee, S.P., Ali, G.A.M., & Chong, K.F. 2018. Flake Size-Dependent Adsorption of
Graphane Oxide Aerogol. Journal of Molecular Liquids. Saudi Arabia.
Maneeckhar, P., & Karnjankom, S. 2016. Adsorption Behavior of Fe (II) And Cr
(VI) on Activated Carbon: Surface Chemistry, Isotherm, Kinetic and
Thermodynamic Studies. Journal Of Chemical Thermodynamics.
Mishra, S., & Verma, N. 2016. Surface Ion Imprinting-Mediated Carbon
Nanofiber-Grafted Highly Porous Polymeric Beads: Synthesis and
Application Towards Selective Removal Of Aqueous Pb (II). Chemical
Engineering Journal.
Mudmainah., Anita, S., & Itnawati. 2015. Potensi Arang Aktif Daun Dan Ranting
Akasia (Acacia Mangium Willd) Sebagai Adsorben Terhadap Ion Pb (II).
Jurnal Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Riau.
Nassar, M.M., Ewida, K.T., Ebrahiem, E.E., Magdy, Y.H., & Mheaedi, M.H.
2004. Adsorption of Iron and Manganese Using Low Cost Materials as
Adsorbent. Journal of Environmental Science and Health. Mesir.
63
Nugroho, D. 2013. Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tahu dan Reaktor
Biosand Filter Untuk Menurunkan Kadar Ion Logam Fe 3+ Dan Zn2+ Pada
Industri Galvanis. Skripsi. Jurusan Kimia Universitas Negeri Semarang.
Nugroho, S.C.W. 2017. Kemampuan Serbuk Kulit Salak (Salacca Zalacca)
Dalam Menurunkan Kadar Fe Pada Inlet Limbah Cair Rumah Tangga
IPAL Sewon Bantul. Thesis. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Nurhidayati, I., Mellisani, B., Puspita, F., & Putri, F.A.R. 2022. Penentuan
Isoterm dan Kinetika Adsorpsi Ion Besi oleh Sedimen sebagai Adsorben.
Journal WARTA AKAB. Bogor.
Nurkaromah, A., & Sukandar. 2017. Modifikasi Tanin Dari Biomassa Daun
Akasia (Acacia Mangium Wild) Dengan Cara Polimerisasi Sebagai
Biosorben Untuk Logam Pb (II). Journal of Env. Engineering & Waste
Management. Vol. 2, No. 2.
Nurmanita, Ullan. 2019. Efektivitas Adsorben Dari Ampas Kopi Dalam
Pengolahan Limbah Cair Berwarna. Skripsi. Sarjana, Fakultas Teknologi
Industri, Institut Teknologi Nasional Bandung.
Nurulita, Ulfah. 2020. Pengaruh Aktivasi dan Waktu Aktivasi Spent Bleaching
Earth (SBE) sebagai Adsorben pada Proses Adsorpsi Ion Logam Cu 2+.
Skripsi. Universitas Riau.
Obike, A.I., Igwe, J.C., Emeruwa, C.N., Uwakwe, K.J. 2018. Equilibrium and
Kinetic Studies of Cu (II), Cd (II), Pb (II) and Fe (II) Adsorption from
Aqueous Solution Using Cocoa (Theobroma cacao) Pod Husk. Journal
Application Science Environmental Management. Nigeria.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup.
Pranaridho, F.D., & Renaldo. 2018. Pengaruh Debit Udara dan Rasio Massa
Karbon Dengan Slurry Terhadap Proses Adsorpsi Logam Fe3+. Skripsi.
Diploma, Program Studi Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung.
Prizlanto, G., & Rochardjo, H.S.B. 2014. Pembuatan Nanofiber Serat Rami
(Bohmeria nivea) dengan Metode Semi mekanis. Jurnal Universitas
Gadjah Mada.
Raziah, C., Putri, Z., Lubis, A.R., Sofyana., Zuhra., Suhendrayatna., Mulyati, S.
2017. Penurunan Kadar Logam dalam Air Kadmium Menggunakan
Adsorben Zeolit Alam Aceh. Jurnal Teknik Kimia USU. Sumatera Utara.
Salmariza, Sy., Kurniawati, D., Lestari,, I., Harmiwati, H., & Kasman, M. 2018.
Pengaruh pH dan Dosis Adsorben dari Limbah Lumpur Aktif Industri
Crumb Rubber Terhadap Kapasitas Penyerapan Ion Cd (II) dan Zn (II).
Jurnal Litbang Industri. Padang.
Sembiring, M., & Sinaga, T. 2003. Arang Aktif (Pengenalan dan Proses
Pembuatannya). USU Digital Library. Sumatera Utara.
Setiawan, A.A., Shofiyani, A., & Syahbanu, I. 2017. Pemanfaatan Limbah Daun
Nanas (Ananas Comosus) Sebagai Bahan Dasar Arang Aktif Untuk
Adsorpsi Fe (II). Jurnal Kimia Khatulistiwa. Vol 6(3), halaman 66-74.
64
Shavandi, M.A., Haddadian, Z., Ismail, M.H.S., Abdullah, N., & Abidin, Z.Z.
2012. Removal of Fe (III), Mn (II) and Zn( II) from Palm Oil Mill Effluent
(POME) by Natural Zeolite. Journal of the Taiwan Institute of Chemical
Engineers. 43, 750-759.
Shukla, S.R., Pai, R.S., & Shendarkar, A.D. 2006. Adsorption of Ni (II), Zn (II)
and Fe (II) on Modified Coir Fibers. Journal Separation and Purification
Technology.
Sianipar, L.D., Zaharah, T.A., & Syahbanu, I. 2016. Adsorpsi Fe (II) dengan
Arang Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Teraktivasi Asam
Klorida. Jurnal Kimia Khatulistiwa. Vol 5(2), halaman 50-59.
Sirajuddin., & Harjanto. Pengaruh Ukuran Adsorben dan Waktu Adsorpsi
Terhadap Penurunan Kadar COD pada Limbah Cair Tahu Menggunakan
Arang Aktif Tempurung Kelapa. Jurnal Prosiding Seminar Hasil
Penelitian (SNP2M).
Siwi, D.Y. 2020. Penentuan Kinetika Adsorpsi Pada Logam Timbal (Pb)
Menggunakan Adsorben Biomassa Hydrilla Verticillata Termodifikasi
Asam Sitrat. Skripsi. UIN Maulana Malik Ibrahim.
Subramani, B.S., Shrihari, S., Manu, B., & Babunarayan, K.S. 2019. Evaluation
of Pyrolyzed Areca Husk as a Potential Adsorbent for the Removal of Fe 2+
Ions from Aqueous Solution. Journal of Environmental Management.
India.
Sulendra, S., Suryantini., & Wulandari, R.S. 2017. Ketahanan Semai Akasia
(Acacia Mangium) Pada Variasi Umur Terhadap Infeksi Ganoderma Spp.
Jurnal Hutan Lestari. Vol. 5 (3) : 653 – 658.
Supriyantini, E., & Endrawati, H. 2015. Kandungan Logam Berat Besi (Fe) Pada
Air, Sedimen, Dan Kerang Hijau (Perna viridis) Di Perairan Tanjung
Emas Semarang. Jurnal Kelautan Tropis. Vol. 18 (1):38–45.
Syauqiah, I., Amalia, M., & Kartini, H.I. 2011. Analisis Variasi Waktu dan
Kecepatan Pengaduk Pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat dengan
Arang Aktif. INFO TEKNIK. Volume 12 No. 1.
Syarief, 2010. Pengaruh Konsentrasi Adsorbat, Temperatur dan Tegangan
Permukaan Pada Proses Adsorpsi Gliserol Oleh Alumina. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret.
Sylvia, N., Wijaya, Y.A., Masrulitta., & Safriwardy, F. 2021. Efektivitas Karbon
Aktif Kulit Singkong (Manihot esculentas craniz) Terhadap Adsorpsi Ion
Logam Fe2+ dengan Aktivator NaOH. Jurnal Teknologi Kimia UNIMAL.
Aceh Utara.
Taufiqurrahman, R. 2022. Adsorpsi Ion Fe Dalam Air Menggunakan Zeolit Dari
POFA. Skripsi. Universitas Riau.
Tuas, M.A. 2018. Penurunan Kadar Logam Tembaga dan Besi Pada Limbah Cair
Industri Perhiasan Emas Menggunakan Karbon Aktif Melalui Proses
Presipitasi dan Adsorpsi. Tesis. Environmental Engineering Departemen
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Tuzen, M., Sari, A., & Saleh, T.A. 2020. Synthesis, Characterization And
Evaluation Of Carbon Nanofiber Modified-Polymer For ultra-Removal
65
Of Thorium Ions From Aquatic Media. Journal Chemical Engineering
Research and Design. 163 (2020) 76–84.
Umanigrum, D., Santoso, U.T., Nurmasari, R., & Yunus, R. 2010. Kinetika
Adsorpsi Pb (II), Cd (II) dan Cr (III) pada Adsorben Produk Pengikatan-
Silang Terproteksi Asam Humat/Kitosan. Indo. Journal Chemical. 10
(1), 80 – 87.Zat Warna Naphthol-As dan Naphthol-As.G. Skripsi. FKIP
Universitas Bengkulu.
Vasu, A. E. 2008. Adsorption of Ni (II), Cu (II) and Fe (III) From Aqueous
Solution Using Activated Carbon. Journal of Chemistry. India.
Wahyuningrum., Afrinda., Lutfi, M., Nyoman, I., & Chandra. 2016.
Perbandingan Arang Aktif Tempurung Kelapa Sawit dan Serbuk Gergaji
Kayu Sebagai Adsorben. Tesis. Universitas Bengkulu.
Wang, K., Song, Y., Yan, R., Zhao, N., Tian, X., Li, X., Guo, Q., & Liu, Z. 2017.
High Capacitive Performance Of Hollow Activated Carbon Fibers
Derived From Willow Catkins. Journal Institute of Coal Chemistry
Chinese Academy of Sciences.
Wijayanti, I.E., & Kurniawati, E.A. 2019. Studi Kinetika Adsorpsi Isoterm
Persamaan Langmuir dan Freundlich pada Abu Gosok Sebagai
Adsorben”. Jurnal Kimia dan Pendidikan. Vol.4, No.2, 2019.
Winata, B. Y., Erliyanti, N. K., Yogaswara, R. R., & Saputro, E. A. 2020. Pra
Perancangan Pabrik Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dengan Proses
Aktivasi Kimia pada Kapasitas 20.000 ton/tahun. Jurnal Teknik ITS.
Jawa Timur.
Xiong, W., Tong, J., Yang, Z., Zeng, G., Zhou, Y., Wang, D., Song, P. Zhang, C.,
& Cheng, M. 2017. Adsorption Of Phosphate From Aqueous Solution
Using Iron-Zirconium Modified Activated Carbon Nanofiber:
Performance and Mechanism. Journal of Colloid and Interface Science.
493 (2017) 17–23.
66
LAMPIRAN 1
PERHITUNGAN
68
Perhitungan persentase efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi logam besi
(Fe2+) pada pH 5, kecepatan pengadukan 120 rpm, ukuran adsorben 60 mesh,
waktu pengadukan 120 menit, volume 100 ml dan dosis 1 gr/L.
( C¿ −C out ) mg/ L
Efisiensi penyisihan logam besi (Fe2+) = ×100 %
C out
( 8.5−0,177 ) mg/ L
= ×100 %
8,5
= 97,92%
( C¿ −C out ) ×V
Kapasitas adsorpsi logam besi (Fe2+) =
m
( 8 , 5−0,177 ) mg/ L
×0 , 1 L
= L
0,1g
= 8,324 mg/g
69
= 89,56%
( C¿ −C out ) ×V
Kapasitas adsorpsi logam besi (Fe2+) =
m
( 8 ,5−0,888 ) × 0 ,1 L
=
0,3g
= 2,54 mg/g
70
3. Perhitungan Kinetika dan Isoterm Adsorpsi
3.1 Penentuan Kinetika Adsorpsi
a. Pseudo First Orde
1. Menghitung Log(qe-qt)
log ( qe−qt ) = log ( 2 , 81−2 , 54 ) = -0,56
Tabel 6 Data nilai log(qe-qt)
waktu (t) Ci(mg/L) Ce(mg/L) qe(mg/g) qt(mg/g) log(qe-qt)
10 10 0,888 2,81 2,54 -0,56
30 10 0,379 2,81 2,71 -0,98
60 10 0,068 2,81 2,81
90 10 0,106 2,81 2,80 -1,89
120 10 0,120 2,81 2,79 -1,68
180 10 0,143 2,81 2,79 -1,68
71
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
-0.20
-0.40
-0.60
Log (qe-qt)
-0.80
-1.00 f(x) = − 0.00659984241537091 x − 0.792636273482656
R² = 0.651267491646481
-1.20
-1.40
-1.60
-1.80
-2.00
waktu (t)
72
180 0,143 2,79 64,62
70.00
40.00
t/qt
30.00
20.00
10.00
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
waktu (t)
73
a. Isoterm Langmuir
Tabel 8 Data Percobaan Adsorpsi Variasi
Konsentrasi Awal
Ci(mg/L) Ce(mg/L) Qe(mg/g)
5 0,012 1,530
10 0,026 2,892
15 0,190 4,070
20 0,268 5,344
25 0,588 7,371
30 1,330 7,757
35 2,831 8,956
40 4,824 9,125
1. Menghitung Ce/Qe
Ce 0,012
= = 0,008
Qe 1 ,53
Tabel 9 Data nilai Ce/Qe
74
0.600
0.400
Ce/Qe
0.300
0.200
0.100
0.000
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0
Ce (mg/L)
75
Ci(mg/L) Ce(mg/L) Qe(mg/g) Log Ce Log Qe
8,7 0,026 2,89 -1,59 0,46
12,4 0,190 4,07 -0,72 0,61
16,3 0,268 5,34 -0,57 0,73
22,7 0,588 7,37 -0,23 0,87
24,6 1,330 7,76 0,12 0,89
29,7 2,831 8,96 0,45 0,95
32,2 4,824 9,13 0,68 0,96
1.10
1.00
f(x) = 0.284519664727403 x + 0.841651894591079
R² = 0.935166688110622 0.90
0.80
0.70
Log Qe
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-2.20 -1.70 -1.20 -0.70 -0.20 0.30 0.80
Log Ce
76
3.3 Energi Adsorpsi
Menghitung energi adsorpsi dengan nilai konstanta kesetimbangan Langmuir:
R : Ketetapan gas ideal (8,314 J/Kmol)
T : Temperatur (K)
K : Konstanta kesetimbangan
K :( MW × 55 ,5 ×1000 × K L )
K : ( 56 ×55 , 5 ×1000 ×6.945 )
Energi adsorpsi=R ×T × lnK
77
LAMPIRAN 2
PROSEDUR ANALISIS BESI (Fe)
Sumber: SNI 6989.4-2009
1. Prinsip
Analit logam besi dalam nyala udara asetilen diubah menjadi bentuk
atomnya, menyerap energi radiasi elektromagnetik yang berasal dari lampu katoda
dan besarnya serapan berbanding lurus dengan kadar analit.
2. Alat
a. Spektrofotometer serapan atom (SSA)
b. Lampu katoda berongga
c. Gelas piala 100 mL dan 250 mL
d. Pipet volumetrik 10 mL dan 50 mL
e. Labu ukur 50 mL, 100 mL dan 1000 mL
f. Erlenmeyer 100 mL
g. Corong gelas
h. Kaca arloji
i. Pemanas listrik
j. Seperangkat alat saring vakum
k. Saringan membran dengan ukuran pori 0,45 µm
3. Bahan
a. Air bebas mineral
b. Asam nitrat (HNO3) pekat
c. Larutan standar besi (Fe)
d. Gas etilen (C2H2)
e. Larutan pengencer HNO3 0,005 M
f. Larutan pencuci HNO3 5%
g. Larutan kalsium
h. Udara tekan
77
4. Pengawetan Contoh Uji
Bila contoh uji tidak dapat segera dianalisa, maka contoh uji diawetkan
dengan penambahan HNO3 sampai pH kurang dari 2 dengan waktu penyimpanan
maksimal 6 bulan.
5. Persiapan Contoh Uji Besi
a. homogenkan contoh uji, pipet 50 ml contoh uji ke dalam gelas piala 100
mL atau Erlenmeyer 100 ml
b. tambahkan 5 ml HNO3 pekat, bila menggunakan gelas piala, tutup
dengan kaca arloji dan bila dengan Erlenmeyer gunakan corong sebagai
penutup
c. panaskan perlahan-lahan sampai sisa volumenya 15 ml-20 ml
d. jika destruksi belum sempurna (tidak jernih), maka tambahkan lagi 5 ml
HNO3 pekat, kemudian tutup gelas piala dengan kaca arloji atau tutup
Erlenmeyer dengan corong dan panaskan lagi (tidak mendidih).
Lakukan proses ini secara berulang sampai semua logam larut, yang
terlihat dari warna endapan dalam contoh uji menjadi agak putih atau
contoh uji menjadi jernih
e. bilas kaca arloji dan masukkan air bilasannya ke dalam gelas piala
f. pindahkan contoh uji masing-masing ke dalam labu ukur 50 ml (saring
bila perlu) dan tambahkan air bebas mineral sampai tepat tanda tera dan
dihomogenkan
6. Pembuatan larutan baku logam besi (Fe) 100 mg/L
a. Pipet 10 mL larutan induk logam besi, Fe 1000 mg/L ke dalam labu
ukur 100 mL
b. Tepatkan dengan larutan pengencer sampai tanda tera
7. Prosedur dan Pembuatan Kurva Kalibrasi
a. Optimalkan alat SSA sesuai petunjuk penggunaan alat
b. Ukur masing-masing larutan kerja yang telah dibuat pada panjang
gelombang 248,3 nm
78
c. Buat kurva kalibrasi untuk mendapatkan persamaan garis regresi
d. Lanjutkan dengan pengukuran contoh uji yang sudah dipersiapkan
8. Perhitungan
Konsentrasi logam besi, Fe (mg/L) = C × fp
Dengan pengertian:
C = konsentrasi yang didapat dari hasil pengukuran (mg/L)
fp = faktor pengenceran persen temu balik (%Recovery, %)
A−B ×100 %
%R=
C
Dengan pengertian:
A = kadar contoh uji yang di spike
B = kadar contoh uji yang tidak di spike
C = kadar standar yang diperoleh (target value)
79
LAMPIRAN 3
BAKU MUTU AIR LIMBAH
80
Konsentrasi Paling Tinggi
Parameter
Nilai Satuan
Selenium (Se) 0,05 mg/L
Nikel (Ni) 0,2 mg/L
Kobalt (Co) 0,4 mg/L
Sianida (Cn) 0,05 mg/L
Sulfida (S=) 0,05 mg/L
Flourida (F-) 2 mg/L
Klorin bebas (Cl2) 1 mg/L
Amoniak bebas (NH3-N) 1 mg/L
Nitrat (NO3-N) 20 mg/L
Nitrit (NO2-N) 1 mg/L
Senyawa aktif biru metilen 5 mg/L
(MBAS)
Fenol 0,5 mg/L
AOX 0,5 mg/L
PCBS 0,005 mg/L
PCDS 10 mg/L
PCDDS 10 mg/L
Tabel 13 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Belum
Memiliki Baku Mutu Air Limbah yang ditetapkan
GOLONGAN
Parameter Satuan
I II
o
Temperatur C 38 40
Zat padat larut (TDS) mg/L 2000 4000
Zat padat suspensi (TSS) mg/L 200 400
pH mg/L 6-9 6-9
Besi terlarut (Fe) mg/L 5 10
Mangan terlarut (Mn) mg/L 2 5
Barium (Ba) mg/L 2 3
Tembaga (Cu) mg/L 2 3
Seng (Zn) mg/L 5 10
Krom valensi enam (Cr6+) mg/L 0,1 0,5
Krom total (Cr) mg/L 0,5 1
Kadmium (Cd) mg/L 0,05 0,1
Merkuri (Hg) mg/L 0,002 0,005
Timbal (Pb) mg/L 0,1 1
Stanum (Sn) mg/L 2 3
Arsen (As) mg/L 0,1 0,5
Selenium (Se) mg/L 0,05 0,5
Nikel (Ni) mg/L 0,2 0,5
Kobalt (Co) mg/L 0,4 0,6
Sianida (Cn) mg/L 0,05 0,5
Sulfida (S=) mg/L 0,5 1
Flourida (F-) mg/L 2 3
Klorin bebas (Cl2) mg/L 1 2
Amoniak bebas (NH3-N) mg/L 5 10
81
Nitrat (NO3-N) mg/L 20 30
Nitrit (NO2-N) mg/L 1 3
Total Nitrogen mg/L 30 60
BOD5 mg/L 50 150
COD mg/L 100 300
Senyawa aktif biru metilen mg/L 5 10
Fenol mg/L 0,5 1
Minyak & lemak mg/L 10 20
Total Bakteri Koliform MPN/100 mL 1000
82
LAMPIRAN 4
HASIL ANALISIS
83
4.2 Pengujian Logam Fe untuk Variasi Waktu Kontak
84
4.3 Pengujian Logam Fe untuk Variasi Konsentrasi Awal
85
86
LAMPIRAN 5
DOKUMENTASI PENELITIAN
87
Gambar 4.4 Aktivasi
Fisika
88
Gambar 4.5 Karbon Aktif Gambar 4.6 Penimbangan
Hollow Carbon Fiber Akasia Karbon Aktif Hollow Carbon
Fiber Akasia
89
Gambar 4.7 Pengaturan pH Gambar 4.9 Proses Adsorpsi
Larutan Sampel Akasia dengan Variasi Dosis
Adsorben
90
Gambar 4.10 Proses Gambar 4.11 Proses
Adsorpsi dengan Variasi Adsorpsi dengan Variasi
Waktu Kontak Konsentrasi Awal
91
Gambar 4.12 Proses Gambar 4.13 Proses
Pengendapan Setelah Proses Penyaringan
Pengadukan
92
Gambar 4.14 Proses Gambar 4.15 Sampel Hasil
Pengukuran pH setelah Pengolahan
penyaringan
93