Anda di halaman 1dari 110

SKRIPSI

ADSORPSI ION FE (II) MENGGUNAKAN ADSORBEN


HOLLOW CARBON FIBER DAUN AKASIA
(ACACIA MANGIUM WILD)

Oleh:

Endang Sri Winih


NIM: 1707111425

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN S1


JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2022
SKRIPSI

ADSORPSI ION FE (II) MENGGUNAKAN ADSORBEN


HOLLOW CARBON FIBER DAUN AKASIA
(ACACIA MANGIUM WILD)

Diajukan untuk Memenuhi


Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Teknik
Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Riau

Oleh :

Endang Sri Winih


NIM : 1707111425

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN S1


JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2022

i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini menyatakan bahwa laporan skripsi dengan judul: Adsorpsi Ion Fe (II)
Menggunakan Adsorben Hollow Carbon Fiber Daun Akasia (Acacia
mangium wild) tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.

Pekanbaru, 14 Desember 2022

Endang Sri Winih

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Adsorpsi Ion Fe (II) Menggunakan Adsorben Hollow


Carbon Fiber Daun Akasia (Acacia mangium wild)”

Yang dipersiapkan dan disusun oleh


Endang Sri Winih
NIM : 1707111425
Program Studi Teknik Lingkungan SI, Fakultas Teknik Universitas Riau

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
Pada tanggal 17 November 2022

Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. Lita Darmayanti, ST., MT Elvi Yenie, ST., M.Eng


NIP. 19710827 199702 2 001 NIP. 19700408 199702 2 001

Mengetahui,
Koordinator Program Studi Teknik Lingkungan S1
Fakultas Teknik Universitas Riau

Aryo Sasmita, ST., MT


NIP. 19860612 201212 1 003

iii
PRAKATA

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena


atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian
dengan judul “Adsorpsi Ion Fe (II) Menggunakan Adsorben Hollow Carbon
Fiber Daun Akasia (Acacia mangium wild)”. Penulisan usulan penelitian ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Teknik Lingkungan pada Fakultas Teknik Universitas Riau.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak selama masa perkuliahan sampai tahapan penyusunan skripsi ini, sangatlah
sulit bagi penulis untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Koordinator Program Studi Teknik Lingkungan, Bapak Aryo Sasmita, S.T.,
M.T.
2. Ibu Dr. Lita Darmayanti, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing I dan Ibu
Elvi Yenie, S.T., M.Eng selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan banyak waktu, pemikiran, ilmu dan nasehat dalam
memberikan bimbingan serta arahan selama penelitian dan penulisan
skripsi.
3. Ibu Dewi Fitria, Ph.D selaku ketua seminar dan dosen penguji Bapak David
Andrio, S.T., M.Si dan Ibu Shinta Elistya, S.T., M.Si atas saran dan
masukan yang telah diberikan dalam seminar proposal dan hasil penelitian
agar penulisan skripsi ini lebih sempurna.
4. Dosen Pembimbing Akademis penulis Ibu Elvi Yenie, S.T., M.Eng atas
nasihat dan arahan yang diberikan selama perkuliahan.
5. Para Dosen dan Staf Program Studi Teknik Lingkungan, Teknik Kimia dan
Teknik Sipil Universitas Riau yang telah banyak memberikan bekal
pendidikan yang sangat berharga dan berguna di dunia kerja nantinya.
6. Kedua orang tua tersayang, Bapak Marikan dan Ibu Boirah, Kakak-kakak
serta seluruh keluarga penulis yang telah menjadi sosok keluarga terhebat
bagi penulis, selalu mendukung dan memberikan semangat dalam keadaan

iv
suka maupun duka, selalu memberikan nasehat, motivasi dan doa yang
tiada hentinya kepada penulis selama perkuliahan.
7. Diri saya sendiri yang sudah kuat dalam menghadapi rintangan, selalu
berjuang dan bertahan selama perkuliahan ini dan menyelesaikan tanggung
jawab yang diberikan.
8. Teman-teman seperjuangan Teknik Lingkungan 2017 yang selalu
membantu dan memberikan semangat dan menjadi tempat bertukar pikiran.
9. Teman-teman laboratorium Maura Mayrizki, Muhammad Fadil Ridho,
Marlina Sari.
10. Teman-teman yang membantu selama penelitian Maura Mayrizki,
Muhammad Fadil Ridho, Diki Ramadhan, Naufal Aldion, Panji Imanur,
Budhi Kurniawan, Marlina Sari.
11. Seluruh keluarga besar civitas Teknik Lingkungan FT UNRI.
12. Seluruh pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulisan menyadari masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan dan
penyusunan skripsi ini. Masukan dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.

Pekanbaru, 14 Dosember 2022

Penulis

v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Riau, saya yang bertanda tangan


dibawah ini:
Nama : Endang Sri Winih
NIM : 1707111425
Program Studi : Teknik Lingkungan S1
Departemen : Teknik Kimia
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Riau Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Adsorpsi Ion Fe (II)
Menggunakan Adsorben Hollow Carbon Fiber Daun Akasia (Acacia
mangium wild)” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas
Royalti Non-Eksklusif ini Universitas Riau berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dengan pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Pekanbaru
Tanggal : 14 Desember 2022
Yang Menyatakan

(Endang Sri Winih)

vi
ADSORPSI ION FE (II) MENGGUNAKAN ADSORBEN HOLLOW
CARBON FIBER DAUN AKASIA
(ACACIA MANGIUM WILD)

Endang Sri Winih


Laboratorium Dasar Proses dan Operasi Pabrik
Program Studi Teknik Kimia S1, Fakultas Teknik Universitas Riau

ABSTRAK

Besi adalah logam yang umum digunakan di banyak industri, akibatnya air
buangan limbah mengandung kadar logam besi yang tinggi yang dapat
menyebabkan air menjadi berasa dan berbau tidak enak dan berdampak negatif
bagi kesehatan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar
logam berat adalah metode adsorpsi menggunakan adsorben sebagai bahan
penyerap. Hollow carbon fiber akasia merupakan salah satu adsorben berbasis
nano yang memiliki karakteristik luas permukaan yang tinggi dan diameter pori
yang kecil yang terbuat dari limbah daun akasia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi hollow carbon fiber akasia
terhadap logam besi (Fe) serta mempelajari kinetika dan isoterm yang sesuai pada
adsorpsi ini. Penelitian ini menggunakan variasi dosis adsorben (1; 1,5; 2; 2,5; 3)
g/L, variasi waktu kontak (10, 30, 60, 90, 120 dan 180) menit, dan variasi
konsentrasi awal (5, 10, 15, 20, 25, 30, 35 dan 40) mg/L. Kondisi optimum
diperoleh pada dosis 3 g/L dan waktu kontak 60 menit dengan efisiensi penyisihan
dan kapasitas adsorpsi sebesar 99,21% dan 2,81 mg/g. Model kinetika dan isoterm
yang cocok untuk adsorpsi logam Fe menggunakan hollow carbon fiber akasia
yaitu kinetika Pseudo Second Orde dan isoterm Langmuir, dengan nilai regresi
(R2) masing-masing sebesar 0,999 dan 0,997.

Kata kunci: besi, hollow carbon fiber, adsorpsi, kinetika, isoterm

vii
ADSORPTION OF FE (II) ION USING HOLLOW CARBON ACACIA LEAF
(ACACIA MANGIUM WILD)

Endang Sri Winih


Basic Laboratory Processes and Plant Operations
Environmental Engineering, Faculty of Engineering, Riau University

ABSTRACT

Iron is a metal that is commonly used in many industries, as a result,


wastewater contains high levels of ferrous metal which can cause water to taste
and smell bad and have a negative impact on health. One method that can be used
to reduce heavy metal levels is the adsorption method using an adsorbent as an
adsorbent. Hollow carbon fiber acacia is a nano-based adsorbent that has the
characteristics of a high surface area and small pore diameter made from acacia
leaf waste. This study aims to determine the removal efficiency and adsorption
capacity of acacia hollow carbon fibers against ferrous metal (Fe) and to study
the kinetics and the appropriate isotherm for this adsorption. This study used a
variety of adsorbent doses (1; 1.5; 2; 2.5; 3) g/L, variations in contact time (10,
30, 60, 90, 120 and 180) minutes, and variations in initial concentration (5, 10,
15, 20, 25, 30, 35 and 40) mg/L. Optimum conditions were obtained at a dose of 3
g/L and a contact time of 60 minutes with removal efficiency and adsorption
capacity of 99.21% and 2.81 mg/g, respectively. The suitable kinetic and isotherm
models for Fe metal adsorption using hollow carbon fibers acacia Pseudo Second
Order and Langmuir isotherms, with regression values (R2) are 0,99 and 0.997,
respectively.

Keywords: iron, hollow carbon fiber, adsorption, kinetics, isotherm

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PRAKATA iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.5 Ruang Lingkup 6
1.6 Sistematika Laporan 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8


2.1 Logam Berat 8
2.2 Tanaman Akasia 12
2.3 Hollow Carbon Fiber 13
2.4 Adsorpsi 15
2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi......................................18
2.5 Kinetika Adsorpsi 26
2.6 Isoterm Adsorpsi 27
2.6.1 Mekanisme Adsorpsi.............................................................................30
2.7 Penelitian Terdahulu 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 35

ix
3.1 Alat dan Bahan Penelitian 35
3.1.1 Alat Penelitian.......................................................................................35
3.1.2 Bahan Penelitian....................................................................................35
3.2 Variabel Penelitian 35
3.2.1 Variabel Tetap.......................................................................................35
3.2.3 Variabel Bebas.......................................................................................35
3.2.3 Variabel Terikat.....................................................................................36
3.3 Diagram Alir Penelitian 36
3.4 Rancangan Penelitian 38
3.5 Prosedur Penelitian 38
3.5.1 Studi Literatur........................................................................................38
3.5.2 Persiapan Alat dan Bahan......................................................................39
3.5.3 Pembuatan Hollow Carbon Fiber Akasia.............................................39
3.5.4 Pembuatan Larutan Logam Besi (Fe)....................................................39
3.5.5 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan Variasi
Dosis Adsorben...............................................................................................39
3.5.6 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan Variasi
Waktu Kontak.................................................................................................40
3.5.7 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan Variasi
Konsentrasi Awal Larutan..............................................................................40
3.5.8 Analisis dan Pengolahan Data...............................................................40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 42


4.1 Karakteristik Karbon Aktif Daun Akasia 42
4.2 Pengaruh Dosis terhadap Adsorpsi Logam Fe2+ 42
2+
4.3 Pengaruh Waktu terhadap Adsorpsi Logam Fe 44
4.4 Pengaruh Konsentrasi Awal terhadap Adsorpsi Logam Fe2+ 46
4.5 Kinetika Adsorpsi 48
4.6 Isotherm Adsorpsi 51
4.7 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu 55
4.8 Perbandingan Hasil Analisis Pengolahan dengan Baku Mutu 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 58


5.1 Kesimpulan 58
5.2 Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

x
LAMPIRAN 68

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Tanaman Akasia
Gambar 2.2 Hasil SEM dari Hollow Carbon Fiber Akasia perbesaran 500x dan
5000 x
Gambar 2.3 Grafik Pengaruh Dosis Adsorben
Gambar 2.4 Grafik Pengaruh waktu kontak
Gambar 2.5 Grafik Pengaruh Konsentrasi Awal
Gambar 2.6 Grafik Pengaruh pH
Gambar 2.7 Pengaruh Grafik Kecepatan Pengadukan
Gambar 2.8 Grafik Pengaruh Temperatur
Gambar 2.9 Mekanisme Adsorpsi
Gambar 2.10 Skema Diagram Mekanisme Adsorpsi
Gambar 3.1 Diagram alir Penelitian
Gambar 4.1 Hubungan Antara Dosis Adsorben dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Gambar 4.2 Hubungan Antara Waktu Kontak dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Gambar 4.3 Hubungan Antara Konsentrasi Awal dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Gambar 4.4 Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde Hollow Carbon Fiber Akasia
Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+
Gambar 4.5 Kinetika Adsorpsi Pseudo Second Orde Hollow Carbon Fiber Akasia
Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+
Gambar 4.6 Isoterm Adsorpsi Langmuir Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+
Gambar 4.7 Isoterm Adsorpsi Freundlich Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+
Gambar 4.8 Mekanisme Adsorpsi Fe pada Gugus Fungsi Karboksil

xii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Perbedaan Jenis Adsorpsi
Tabel 3.1 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Dosis Adsorben
Tabel 3.2 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Waktu Kontak
Tabel 3.3 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Konsentrasi Awal
Tabel 4.1 Komposisi Hollow Carbon Fiber Akasia
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Kinetika Adsorpsi Pseudo Second Orde
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Isoterm Adsorpsi Langmuir
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Isoterm Adsorpsi Freundlich
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Energi Adsorpsi
Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Dosis Adsorben Optimum
dengan Baku Mutu
Tabel 4.9 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Waktu Kontak Optimum
dengan Baku Mutu
Tabel 4.10 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Konsentrasi Awal
dengan Baku Mutu

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
LAMPIRAN 1 PERHITUNGAN
LAMPIRAN 2 PROSEDUR ANALISIS BESI (Fe)
LAMPIRAN 3 BAKU MUTU AIR LIMBAH
LAMPIRAN 4 HASIL ANALISIS
LAMPIRAN 5 DOKUMENTASI PENELITIAN

xiv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Besi adalah logam yang umum digunakan di banyak industri, industri
seperti elektroplating, baja maupun sebagai logam pendukung dalam berbagai
industri. Fe juga ditemukan sebagai kontaminan pada industri pertambangan,
pengolahan air bersih dan limbah (Sobah dkk, 2020). Dalam buangan limbah
industri kandungan besi dapat berasal dari korosi pipa-pipa air mineral (Ginting,
2007). Pada industri elektroplating, mengandung logam besi sebesar 46 ppm
(Nugroho dkk, 2013). Pada industri kerajinan tenun songket mengandung logam
besi sebesar 2,56 ppm (Atikah, 2021). Pada limbah cair usaha kerajinan perak
kelurahan Pandean, Pasuruan mengandung kadar logam besi sebesar 928,09 ppm
(Setyorini, 2002). Pada limbah cair peleburan emas kelurahan Kresikan, Pasuruan
mengandung kadar logam besi sebesar 1.593,8 ppm (Dahdah, 2002). Dalam
proses produksi besi atau barang manufaktur yang mengandung besi, banyak air
yang dibutuhkan. Akibatnya, cukup besar jumlah air limbah yang mengandung
besi dihasilkan sebagai sebuah produk sampingan (Kocaoba, 2019)
Oleh karena itu, air limbah yang mengandung zat besi harus diolah
sebelum dibuang ke lingkungan. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan substrat
pertumbuhan bakteri pada saluran air, ketika bakteri besi mati dan mengelupas
dapat menyebabkan rasa dan bau yang tidak enak pada air dan penyumbatan pada
pipa atau saluran transmisi dikarenakan proses pengendapan besi hidroksida
(Alimohammadi dkk, 2017). Limbah cair yang mengandung besi terlarut dalam
bentuk Ferro (Fe2+) mudah teroksidasi menjadi besi dalam bentuk Ferri (Fe 3+)
dengan adanya oksigen di udara. Bakteri Crenothrix dan Gallionella dapat
memanfaatkan Fe2+ sebagai sumber energi dalam pertumbuhannya dan dapat
mengendapkan Fe3+. Semakin tinggi kadar Fe2+ menjadikan pertumbuhan bakteri
sangat cepat yang berakibat tersumbatnya saluran pipa (Febrina dan Ayuna,
2015). Tingginya kandungan logam Fe juga berdampak terhadap kesehatan

1
manusia diantaranya bisa menyebabkan keracunan (muntah), kerusakan usus,
penuaan dini hingga kematian mendadak, radang sendi, cacat lahir, gusi berdarah,
kanker, sirosis ginjal, sembelit, diabetes, diare, pusing, mudah lelah, hepatitis,
hipertensi dan insomnia (Supriyantini dan Endrawati, 2015).
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah pada lampiran XXX
tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan industri asam tereftalat
(PTA), lampiran XLIV tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan
fasilitas pelayanan kesehatan dan lampiran XLVII tentang baku mutu air limbah
bagi usaha dan/atau kegiatan yang belum memiliki baku mutu air limbah yang
ditetapkan, kadar logam besi terlarut yang diperbolehkan adalah sebesar 5-7 mg/l.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan pada air limbah yang mengandung
kadar logam besi terlarut sebelum dialirkan ke badan air.
Penanganan logam berat dapat menggunakan beberapa proses seperti
pertukaran ion, presipitasi, netralisasi, koagulasi dan flokulasi, kompleksasi,
membran, dan adsorpsi. Adsorpsi dapat menjadi metode penurunan kadar logam
berat dengan biaya relatif murah, dapat bekerja dalam konsentrasi rendah, desain
dan operasi yang fleksibel dan sederhana, dan ramah lingkungan (Hubadillah dkk,
2016).
Penelitian proses adsorpsi menggunakan adsorben berbasis nano telah
banyak dilakukan karena biayanya yang relatif murah, stabilitas kimia yang baik,
keragaman struktural, kepadatan rendah, dan sesuai diterapkan untuk
dekontaminasi air limbah dari polutan organik, zat warna dan logam berat (Ali
dkk, 2018). Carbon fiber banyak digunakan sebagai superkapasitor karena
memiliki karakteristik luas permukaan yang tinggi, struktur pori yang homogen.
Sifat fisik karbon seperti luas permukaan, ukuran dan morfologi carbon fiber
dapat diatur dan dikontrol dengan menggunakan berbagai metode aktivasi seperti
aktivasi kimia menggunakan senyawa kimia dan aktivasi fisika disertai dengan
proses karbonasi menggunakan gas N2, CO2 dan uap air (Apriwandi dkk, 2020).
Dari karakteristik luas permukaan yang tinggi, carbon fiber dapat dijadikan
adsorben untuk proses adsorpsi. Luas permukaan adsorben mempengaruhi

2
tersedianya tempat adsorpsi, semakin besar luas permukaan adsorben maka
semakin besar pula adsorpsi yang dilakukan (Irawan, 2018). Daun akasia
menunjukkan morfologi permukaan yang kaya akan nanofiber dengan diameter
sekitar 62-124 nm dan berbentuk hollow fiber, kombinasi serat nano dan serat
berongga memungkinkan untuk menyediakan banyak pori aktif dan luas
permukaan yang besar (Apriwandi dkk, 2020).
Hollow carbon fiber memiliki luas permukaan total 10 kali lebih besar
dibandingkan dengan karbon nanofiber normal. Hollow carbon fiber yang
disintesis memiliki kemampuan yang besar untuk mengadsorpsi dan mendesorpsi
garam dibandingkan dengan solid carbon fiber karena luas permukaan spesifik
yang tinggi dan diameter pori yang kecil. Pada penelitian desalinasi air payau
menggunakan hollow carbon fiber sebagai elektroda, diperoleh luas permukaan
hollow carbon fiber (186 m2/g) sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan luas
permukaan solid carbon fiber (17,7 m2/g), ukuran pori rata-rata hollow carbon
fiber 3,5 nm lebih kecil dibanding ukuran pori solid carbon fiber 4,6 nm.
Modifikasi karbon nanofiber tidak hanya dapat digunakan sebagai elektroda yang
baik untuk proses desalinasi tetapi juga untuk metode lain yang membutuhkan
bahan karbon dengan luas permukaan spesifik yang tinggi (El-Deen dkk, 2013).
Sedangkan untuk karbon aktif biasa morfologis adsorben daun akasia mempunyai
tekstur yang tidak merata, hampir seluruh permukaannya terdapat rongga. Namun
karena berbentuk powder jarak antar partikel terlihat sangat rapat dan memiliki
ukuran butir yang kecil.
Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan proses adsorpsi logam Fe
menggunakan adsorben hollow carbon fiber dari limbah daun akasia jenis akasia
mangium wild diyakini memiliki aktivitas yang besar sebagai biosorben.

1.2 Rumusan masalah


Keberadaan logam berat pada perairan semakin hari semakin bertambah.
Salah satunya adalah logam besi yang berbahaya bagi manusia sehingga
keberadaannya harus mendapat penanganan yang tepat. Penanganan terhadap
logam berat besi dapat dilakukan dengan proses adsorpsi.

3
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ketsela dkk (2020), dilakukan
penelitian penyisihan Fe dengan menggunakan adsorben dari sekam lupin putih.
Pada penelitian ini dilakukan variasi dosis adsorben (1; 1,5; 2; 2,5; dan 3) g/L, pH
(3, 5, 6, 8 dan 10), waktu kontak (10, 20, 30, 40 dan 50) menit, temperatur larutan
(45, 50, 60, 65 dan 70) ºC dan konsentrasi awal (40, 50, 60, 70 dan 80) mg/L.
Penyisihan Fe terbaik didapatkan pada pada dosis 2 gram dengan efisiensi 90%.
pH terbaik yaitu 5 dengan efisiensi 90,36%, waktu kontak terbaik 50 menit
dengan efisiensi 90%, temperatur terbaik yaitu 65ºC dan konsentrasi awal 50
mg/L. Model kesetimbangannya adalah isoterm Freundlich.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dkk (2017), dilakukan
pengujian pemanfaatan limbah daun nanas (Ananas Comosus) sebagai bahan
dasar arang aktif untuk adsorpsi Fe (II) dengan variasi aktivator H 2SO4 1 M dan
H3PO4 1 M, variasi waktu pengadukan 10, 30, 60, 120 dan 180 menit. Diperoleh
laju adsorpsi Fe (II) pada arang aktif teraktivasi H 2SO4 dan H3PO4 sebesar 9,07x10-
2
dan 7,08x10-2 L/mg.min mengikuti model kinetika pseudo orde kedua. Kapasitas
adsorpsi Fe (II) pada arang aktif teraktivasi H2SO4 sebesar 2,15 mg/g dan H3PO4
sebesar 1,07 mg/g, mengikuti model isoterm adsorpsi Langmuir.
Dalam penelitian yang dilakukan Irawan dkk (2018) dilakukan penelitian
penyisihan logam besi menggunakan adsorben abu layang dengan variasi pH.
Pada penelitian ini dilakukan variasi pH (2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8), diaduk dengan
kecepatan 100 rpm selama 30 menit dan dosis adsorben sebesar 2,5 gram.
Penyisihan terbaik untuk logam Fe didapatkan pada pH 5 dengan efisiensi sebesar
97,2%, dimana pada pH 2 sampai 5 terjadi peningkatan efisiensi penyerapan dan
pada pH 5 sampai 7 menunjukkan penurunan efisiensi penyerapan,
Dalam penelitian yang dilakukan Shavandi dkk (2012) dilakukan
penelitian penyisihan terhadap Fe pada limbah dengan menggunakan zeolit alam.
Pada penelitian ini dilakukan variasi pH (3; 4; 5; 6; 7; 8; dan 9), dosis adsorben
(1,25; 2,5; 5; 10; 15; 20; 25; dan 30) g/L, dan waktu kontak (10; 20; 30; 40; 50;
60; 120; 180; dan 240). Penyisihan terbaik untuk Fe didapatkan pada pH 7 dan

4
dosis 2,5 g dengan efisiensi penyisihan 64%. Waktu kesetimbangan dicapai dalam
waktu 2 jam. Model kesetimbangannya adalah isoterm Langmuir.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Radnia (2012), dilakukan pengujian
adsorpsi ion Fe (II) dari fase air oleh adsorben kitosan dengan melakukan studi
kesetimbangan, kinetik dan termodinamika. Pada penelitian ini dilakukan variasi
dosis adsorben (0,05, 0,1, 0,2, 0,3, 0,4, 0,5, 0,6, 0,7, 0,8, 0,9 dan 1) g/L, variasi pH
(3,5, 4, 4,5, 5,0 5,5 dan 6), konsentrasi awal (10, 15, 20, 15, 30, 35, 40, 45 dan 50)
dan suhu (20, 30 dan 40 0C). Diperoleh efisiensi penyisihan tertinggi 92,9% dan
kapasitas adsorpsi 28,7 mg/g, pH optimum 4. Model isoterm nya adalah
Langmuir, model kinetikanya adalah pseudo orde pertama.
Berdasarkan pada penelitian diatas maka pada penelitian ini akan
dilakukan menggunakan adsorben daun akasia menjadi carbon fiber yang
memiliki struktur hollow untuk mengetahui dosis adsorben, waktu kontak dan
konsentrasi awal yang paling efektif dalam menyerap ion logam Fe.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari pengaruh dosis adsorben, waktu kontak, dan konsentrasi awal
terhadap adsorpsi logam Fe oleh hollow carbon fiber akasia
2. Mengetahui kinetika dan isoterm untuk menjelaskan mekanisme adsorpsi
logam Fe oleh hollow carbon fiber akasia

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Terhadap Keilmuan
Memberikan ilmu pengetahuan tentang teknologi pengolahan air limbah
dengan metode adsorpsi menggunakan adsorben dari daun akasia
2. Manfaat Terhadap Kelembagaan
Menambah referensi penelitian bagi program studi teknik lingkungan,
sebagai data pembanding dan dasar untuk penelitian selanjutnya.
3. Manfaat Bagi Masyarakat

5
Memberikan wawasan tentang metode adsorpsi menggunakan adsorben
daun akasia dalam menurunkan kadar logam besi pada air limbah

1.5 Ruang Lingkup


1. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Teknik Lingkungan
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Riau.
2. Parameter uji pada penelitian ini adalah logam Fe pada air limbah.
3. Sampel uji yang digunakan adalah limbah sintetik FeSO4.7H2O.
4. Mempelajari pemodelan adsorpsi ion logam Fe (II) oleh hollow carbon
fiber menggunakan kinetika pseudo first orde dan pseudo second orde,
isoterm Langmuir dan Freundlich.

1.6 Sistematika Laporan


Sistematika pada laporan ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian
serta sistematika laporan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan tentang uraian teori logam berat Fe, proses adsorpsi, faktor-
faktor adsorpsi, adsorben dan pemodelan adsorpsi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Berisikan mengenai metode yang digunakan dalam penulisan usulan
penelitian, seperti alat dan bahan penelitian, variabel penelitian, prosedur
penelitian dan skema penelitian
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Menjelaskan tentang data-data hasil penelitian di laboratorium,
pengolahan data serta analisis dan pembahasan hasil yang diperoleh sesuai
tujuan penelitian
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

6
Menjelaskan kesimpulan yang didapat dari penelitian yang telah dilakukan
serta saran yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan
penelitian selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Logam Berat


Logam adalah zat dengan konduktivitas listrik yang tinggi, lentur dan
berkilau. Distribusi logam di atmosfer dipengaruhi oleh sifat dari logam dan
berbagai faktor lingkungan. Logam berat tergolong kriteria yang sama dengan
logam lainnya, hal yang membedakan adalah pengaruh yang dihasilkan saat
logam berat berikatan dan atau masuk ke dalam organisme hidup. Logam berat
adalah kelompok unsur logam dengan massa jenis lebih dari 5 gr/cm 3, yang pada
tingkat tertentu menjadi bahan beracun dan sangat berbahaya bagi makhluk hidup
(Adhani & Husaini, 2017).
Beberapa jenis logam yang termasuk kategori logam berat sebagai berikut:
aluminium (Al), antimon (Sb), kadmium (Cd), kromium (Cr), kobalt (Co),
merkuri (Hg), tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), molibdenum (Mo),
selenium (Se), perak (Ag), timah (Sn), timbal (Pb), vanadium (V) dan seng (Zn).
Logam berat seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr),
tembaga (Cu), kobalt (Co) sangat berbahaya bila kadar yang terlarut dalam tubuh
manusia cukup tinggi atau melebihi ambang batas baku. Logam-logam berat
tersebut bersifat sangat toksik yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
beberapa cara yaitu makanan, pernapasan dan penetrasi kulit (Adhani & Husaini,
2017).
Logam berat juga dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
1. Toksisitas tinggi : Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn
2. Toksisitas sedang : Cr, Ni, dan Co
3. Toksisitas rendah : Mn dan Fe
Logam berat ini berbahaya dikarenakan sifat logam berat yang sulit
didegradasi, akibatnya mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan
keberadaannya sulit terurai (Adli, 2012).

8
Besi atau ferrum (Fe) adalah salah satu logam yang paling banyak
dijumpai di kerak bumi, metal berwarna putih keperakan, simbol Fe, nomor atom
26, liat dan dapat dibentuk. Di alam didapat sebagai hematite, magnetite, dan
taconite. Secara kimia besi merupakan logam yang cukup aktif, hal ini karena besi
dapat bersenyawa dengan unsur-unsur lain. Air yang tinggi kandungan besinya
bila bersentuhan dengan udara menjadi keruh, berbau dan tidak menyenangkan
untuk dikonsumsi. Kekeruhan dan warna kuning terbentuk karena oksidasi besi
(II) menjadi besi (III) berupa endapan koloid berwarna kuning. Karena
oksidasinya berlangsung perlahan terutama pada pH<6 maka pembentukan dan
pengendapan Fe(OH)3 atau Fe2O3 berlangsung sangat lambat. Selain
penampilannya yang tidak menyenangkan, air yang tinggi kandungan besinya
mempunyai rasa yang tidak enak. Konsentrasi unsur besi yang melebihi ± 2 mg/L
akan menimbulkan noda-noda pada peralatan dan bahan yang berwarna putih
(Kacaribu, 2008). Salah satu kegunaan besi adalah sebagai campuran untuk
membuat paduan logam, misalnya untuk membuat baja, besi tempa, besi tuang
dan lain-lain yang banyak digunakan sebagai bahan bangunan, peralatan-peralatan
logam, rangka kenderaan dan lainnya (Apriani, 2011).
Logam Fe merupakan logam esensial yang keberadaannya dalam jumlah
tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah berlebih
dapat menimbulkan efek racun. Tingginya kandungan logam Fe akan berdampak
terhadap kesehatan manusia diantaranya bisa menyebabkan keracunan (muntah),
kerusakan usus, penuaan dini hingga kematian mendadak, radang sendi, cacat
lahir, gusi berdarah, kanker, sirosis ginjal, sembelit, diabetes, diare, pusing,
mudah lelah, hepatitis, hipertensi, insomnia (Supriyanti, 2015).
Besi adalah salah satu logam yang paling banyak di alam dan air tanah
dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk mineral atau kation, seperti Fe +2 dan
Fe+3 (Khatri dkk, 2017). Dalam sistem air tanah dengan kadar oksigen tinggi dan
pH netral, besi (Fe+2) dioksidasi menjadi besi (Fe+3) atau besi hidroksida, disertai
dengan endapan berwarna merah kecoklatan dan air yang kabur. Karena
penurunan kualitas air tersebut akibat dari endapan berwarna merah kecoklatan
dan air yang kabur berdampak pada ekosistem dan kesehatan manusia (Lazaratou,

9
2020). Batas besi total yang diizinkan menurut WHO, USEPA, Standar UE dan
permenkes sangat rendah, mulai dari 0,2-0,3 mg/L (Uddin, 2017).
Air limbah umumnya mengandung bahan buangan anorganik salah
satunya adalah logam berat besi, kandungan logam besi dapat ditemukan dalam
air limbah dari berbagai jenis usaha atau industri dengan berbagai konsentrasi.
Limbah cair yang mengandung besi terlarut dalam bentuk Ferro (Fe 2+) mudah
teroksidasi menjadi besi dalam bentuk Ferri (Fe 3+) dengan adanya oksigen di
udara (Febrina and Ayuna, 2015). Kekeruhan dan warna kuning terbentuk karena
oksidasi besi (II) menjadi besi (III) berupa endapan koloid berwarna kuning.
Karena oksidasinya berlangsung perlahan terutama pada pH<6 maka
pembentukkan dan pengendapan Fe(OH)3 atau Fe2O3 berlangsung sangat lambat.
Bakteri Crenothrix dan Gallionella dapat memanfaatkan Fe2+ sebagai sumber
energi dalam pertumbuhannya dan dapat mengendapkan Fe 3+. Semakin tinggi
kadar Fe2+ menjadikan pertumbuhan bakteri sangat cepat yang berakibat
tersumbatnya saluran pipa (Febrina dan Ayuna, 2015).
Besi (Fe) merupakan logam berat yang banyak digunakan pada industri
seperti elektroplating baja maupun sebagai logam pendukung dalam berbagai
industri. Fe juga ditemukan sebagai kontaminan pada industri pertambangan,
pengolahan air bersih, pemukiman, dan limbah (Sobah dkk, 2020). Sumber air
limbah industri dapat berasal dari air bekas cucian, peralatan proses yang
terkontaminasi bahan kimia atau terkandung bahan kimia yang sudah tidak layak
pakai. Kandungan logam besi (Fe) dalam air limbah dapat berasal industri kecil
atau industri besar (Sutanto, 2014).
Industri batik merupakan industri yang potensial dari proses awal hingga
penyempurnaan diindikasikan menggunakan bahan kimia yang mengandung
unsur logam berat. Hasil buangan limbah batik masih mengandung logam berat
salah satunya Fe, konsentrasi logam Fe pada limbah batik sebesar 2,06 ppm
(Handayani, 2017). Pada limbah cair laboratorium Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim dilakukan pengujian kadar logam Fe oleh Khakim tahun
2018, konsentrasi logam Fe pada limbah cair laboratorium sebesar 147,07 ppm
(Khakim, 2018). Pada air lindi karakteristiknya bervariasi sesuai dengan proses

10
yang terjadi di landfill, sehingga mempengaruhi produk yang dihasilkan.
Karakteristik air lindi secara umum mengandung logam Fe 0,4–2200 ppm untuk
TPA yang berlokasi di sekitar Amerika dan Eropa, sedangkan selain yang
berlokasi di Amerika dan Eropa berkisar 0.48–153 ppm (Ali, 2011). Pada
pengujian kadar logam Fe pada air lindi TPA Tlekung Kota Batu oleh Larasati
dkk di tahun 2015 dengan melakukan 3 kali pengambilan sampel uji diperoleh
konsentrasi logam Fe pada pengambilan pertama sebesar 24,58 ppm, pada
pengambilan kedua sebesar 23,39 ppm dan pengambilan ketiga sebesar 13,38 ppm
(Larasati dkk, 2015).
Pada industri pelapisan logam dengan seng menghasilkan limbah galvanis
tiga jenis, semuanya mengandung logam Fe yang tinggi. Limbah jenis pertama
terjadi pada proses pickling atau proses penghilangan karat pada logam yang akan
dilapisi menimbulkan endapan lumpur berupa FeCl 2 hasil pencampuran HCl
dengan karat besi. Limbah jenis kedua dihasilkan dari proses rinsing atau proses
pencucian logam yang telah melewati bak pickling menggunakan air bersih
menghasilkan Air yang mengandung FeCl2. Limbah jenis ketiga berasal dari
proses fluxing atau proses pencelupan logam pada bak yang berisi larutan ZAC.
Pada pengujian kadar logam Fe industri galvanis oleh Nugroho tahun 2013
diperoleh konsentrasi logam Fe sebesar 1,88 ppm (Nugroho, 2013). Industri
perhiasan emas merupakan salah satu industri yang menggunakan logam Fe dalam
proses produksinya sehingga menghasilkan limbah asam pekat dengan kadar
logam Fe yang cukup tinggi, pada uji mutu air limbah industri perhiasan emas
kota Surabaya diperoleh konsentrasi logam Fe sebesar 1.837,5 mg/l (Tuas, 2018)
Pada limbah cair domestik sumber air buangan berasal dari aktivitas
perdagangan, daerah rekreasi, permukiman, dan perkantoran mengandung bahan
anorganik berupa logam Fe, pada uji mutu air buangan IPAL Sewon Bantul tahun
2017 oleh Nugroho menunjukkan kandungan logam berat Fe pada inlet IPAL
sebesar 10,46 ppm dan pada outlet IPAL sebesar 6,06 ppm (Nugroho, 2017). Pada
limbah medis rumah sakit terdapat limbah yang berasal dari instalasi radiologi
rumah sakit yang disebut limbah fixer. Limbah fixer dihasilkan dari proses cetak
foto rontgen. Dalam prakteknya, foto rontgen yang didapat dari hasil penyinaran

11
dengan sinar X ditransfer secara digital ke dalam suatu komputer dan objek yang
terekam disimpan dalam bentuk kaset foto. Kaset foto ini selanjutnya di cuci-
cetak dalam suatu ruang gelap menggunakan suatu reagen khusus. Sisa bekas
pakai reagen/cairan yang dipakai untuk cuci-cetak foto rontgen yang kemudian
dikenal sebagai limbah fixer. Reagen ini mengandung sejumlah senyawa kimia
tertentu yang diperlukan untuk proses cuci-cetak foto negatif rontgen. Salah satu
logam yang banyak terkandung adalah besi (Fe). Pada analisa terhadap limbah
fixer rumah sakit diperoleh konsentrasi logam Fe sebesar 1,48 ppm (Syauqiah
dkk, 2011).

2.2 Tanaman Akasia


Acacia mangium merupakan salah satu jenis tanaman yang umum
digunakan untuk program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik. Jenis
ini memiliki pertumbuhan pohon yang cepat, memiliki kualitas kayu yang baik
dan kemampuan toleransinya terhadap jenis tanah dan lingkungan. Di Indonesia
sendiri sekitar 1,3 juta hektar tanaman acacia mangium dibangun untuk tujuan
produksi kayu pulp (Sulendra dkk, 2017).

Gambar 2.1 Tanaman Akasia


Sumber: RimbaKita.com
Tanaman akasia (Acacia mangium wild.) termasuk jenis legum yang
tumbuh cepat, dapat tumbuh pada lahan tidak subur serta tidak begitu terpengaruh
oleh jenis tanahnya. Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp dan

12
kertas, serta sebagai bahan baku mebel. Kayu akasia dapat digunakan untuk
kerangka pintu, bagian jendela dan bahan baku peti/kotak (Elfarisna dkk, 2016).
Sedangkan daun dari akasia ini menjadi limbah tidak terpakai, padahal daun
akasia memiliki potensi untuk dimanfaatkan karena kandungan polifenolnya.
Daun akasia mempunyai kandungan tanin yang cukup tinggi berkisar 13% hingga
22% dari bobot keringnya dan saponin 1,67% (Nurkaromah & Sukandar, 2017).

2.3 Hollow Carbon Fiber


Karbon aktif memiliki banyak aplikasi potensial, termasuk untuk
pengolahan air minum, pengolahan air limbah, perbaikan lingkungan, pemurnian
udara. Sebagai teknologi pengolahan air modern, karbon aktif biasanya digunakan
untuk menghilangkan polutan dengan konsentrasi yang relatif rendah dari air
minum. Bahan karbon aktif secara komersial ada dalam dua bentuk utama,
granular (GAC) dan bubuk (PAC), yang diproduksi menggunakan berbagai
metode aktivasi dari sumber karbon seperti kayu atau batu bara. Bahan karbon
dasar biasanya diaktifkan menggunakan proses fisik dan/atau kimia yang
melibatkan suhu tinggi dan zat pengaktif untuk meningkatkan luas permukaan dan
kapasitas adsorpsi. Distribusi dan struktur ukuran pori bergantung pada bahan
baku dan metode aktivasi yang digunakan. Ukuran pori yang lebih besar dan
struktur stabil memudahkan sorbat untuk mengakses dan berdifusi ke dalam pori-
pori karbon aktif (Beck, 2017).
Saat ini untuk menghilangkan ion logam beracun dari air limbah dapat
menggunakan beberapa jenis adsorben seperti resin amberlite, manik-manik
polimer, silika gel, karbon aktif, karbon nanotube dan karbon nanofiber. Karbon
nanofiber adalah material berpori yang memiliki luas permukaan BET yang besar
(Mishra, 2016). Karbon nanofiber merupakan bahan karbon yang menunjukkan
kinerja adsorpsi yang baik karena strukturnya berukuran nano, porositas
mikrometer yang melimpah, kemampuan elektromagnetik, luas permukaan
spesifik yang tinggi dan distribusi ukuran mikropori yang seragam (Xiong, 2017).
Diameter nanofiber kurang dari 100 nm (1 nm=10 -9 meter), rasio permukaan
terhadap volume yang besar. Menurut Hina dkk (2018), karbon aktif berserat

13
memiliki kinerja adsorpsi yang baik terhadap adsorpsi ion logam, zat warna dan
molekul kecil lainnya.
Carbon nanofibers merupakan nanomaterial yang memiliki luas
permukaan yang besar, karena luas permukaan per volume yang tinggi, karbon
nanofiber dapat menampung partikel oksida logam dalam jumlah yang lebih besar
dan morfologinya yang unik meningkatkan kapasitas adsorpsi (Kaerkitcha dkk,
2016). Untuk meningkatkan kapasitas adsorpsinya, karbon nanofiber dapat
dimodifikasi (Tuzen, 2020). Morfologi karbon nanofiber bermacam-macam salah
satunya adalah berstruktur hollow, hollow carbon berbahan bola silika telah
dimanfaatkan sebagai adsorben untuk proses adsorpsi dua pewarna asam, hollow
carbon ini memiliki keunggulan berupa difusi dan transportasi adsorbat karena
memiliki pori yang besar dan volume berongga. Hollow carbon berbahan bola
silika ini memiliki diameter pori sebesar 270 nm, luas permukaan 770 m 2/g dan
volume pori 0,59 cm3/g (Konicki dkk, 2013). Terdapat juga magnetic hollow
carbon dengan luas permukaan 579 m2/g, besar volume pori 0,795 cm3/g dan
besar ukuran pori 7,6 nm. Hollow carbon ini dimanfaatkan untuk mengadsorpsi
di-(2-ethylhexyl) phthalate yaitu bahan kimia yang sering digunakan dalam
produksi plastik, diperoleh kapasitas adsorpsi sebesar 783,1 mg/g (Kalantari dkk,
2017).
Apriwandi dkk (2020) menemukan struktur hollow fiber pada struktur
morfologi karbon aktif berbahan dasar daun akasia dengan diameter sekitar 62-
124 nm. Struktur hollow fiber yang memiliki ukuran nano ini dikenal juga dengan
istilah hollow carbon nanofiber. Hollow carbon nanofiber memiliki luas
permukaan lebih besar dibandingkan dengan karbon nanofiber normal. Hollow
carbon nanofiber yang disintesis memiliki kemampuan yang besar untuk
mengadsorpsi karena luas permukaan spesifik yang tinggi dan diameter pori yang
kecil. ukuran pori rata-rata hollow carbon nanofiber lebih kecil dibanding ukuran
pori solid carbon nanofiber. Modifikasi struktur karbon nanofiber dapat
dimanfaatkan untuk metode yang membutuhkan bahan karbon dengan luas
permukaan spesifik yang tinggi (El-Deen, 2013). Pada pembuatan hollow carbon

14
fiber dari biomassa willow catkins diperoleh luas permukaan spesifik yang tinggi
sebesar 1067 m2/g dan ukuran pori 0,7-1,2 nm (Wang dkk, 2017).

Gambar 2.2 Hasil SEM dari Hollow Carbon Fiber Akasia


perbesaran 500x dan 5000 x
Gambar 2.2 adalah hasil uji SEM (scanning electron microscopy) hollow
carbon fiber dari bahan daun akasia dengan konsentrasi aktivasi 1 m dengan suhu
aktivasi 750ºC, diperoleh luas permukaan spesifik sebesar 1445,5 m2/g.

2.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah terserapnya suatu zat (molekul atau ion) pada permukaan
adsorben. Mekanisme adsorpsi digambarkan sebagai proses dimana molekul yang

15
semula ada pada larutan, menempel pada permukaan zat adsorben secara fisika
maupun kimia. Suatu molekul dapat teradsorpsi jika gaya adhesi antara molekul
adsorbat dengan molekul adsorben lebih besar dibanding dengan gaya kohesi pada
masing masing molekul ini. Proses adsorpsi terjadi karena adanya luas
permukaan, makin luas permukaan adsorben yang disediakan maka makin banyak
molekul yang diserap (Wijayanti dan Kurniawati, 2019).
Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Adsorpsi fisika
Adsorpsi fisika terjadi karena gaya Van Der Waals, yaitu bila gaya tarik
menarik molekul antara zat terlarut dengan pelarut lebih kecil daripada gaya tarik
menarik antara zat terlarut dengan adsorben, maka dengan demikian zat terlarut
akan teradsorpsi pada permukaan adsorben. Pada adsorpsi fisika bersifat
reversible atau dapat bereaksi balik, berlangsung cepat, dan dapat membentuk
lapisan jamak (multilayer). Contoh adsorpsi fisika yaitu adsorpsi oleh karbon
aktif. Akibat terjadi gaya Van Der Waals, maka polaritas zat terlarut yang akan
diserap juga sangat menentukan kemampuan penyisihan zat terlarut.
Pada penelitian Kim (2004) dalam proses adsorpsi logam Fe (III)
menggunakan karbon aktif granular, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel konsentrasi awal 50 mg/L, massa adsorben 1 g, pH 2-3,6
dengan interval 0,3, konsentrasi awal 0,5; 1; 1,5; 2 mg/L dan temperatur larutan
20,30,40 dan 50ºC. Isoterm yang diperoleh pada penelitian ini adalah isoterm
Freundlich (terjadi secara fisika), daya serap ion besi semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu dan energi aktivasi untuk memperkuat aspek
fisisorpsi. Pada penelitian Vasu (2008) dilakukan penelitian adsorpsi logam Fe
dalam larutan berair menggunakan karbon aktif, untuk menentukan isoterm
digunakan variabel dosis 0,1 g/50 ml, konsentrasi awal 15-80 mg/L, pH 2,5.
Isoterm yang diperoleh pada penelitian ini adalah isoterm Freundlich. Pada
penelitian Sheibani dkk (2012) dalam penyisihan logam Fe (III) dalam larutan
berair menggunakan adsorben kulit kemiri, untuk menentukkan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian konsentrasi awal larutan 20-60µg/ml, pH 3, suhu
30ºC, waktu kontak 60 menit dan dosis adsorben 0,6 g. isoterm adsorpsi yang

16
diperoleh pada penelitian ini adalah isoterm Freundlich dengan nilai R 2 0,9997.
Pada penelitian Abdulrasaq dkk (2010) dalam penyisihan logam Fe (III)
menggunakan adsorben kulit kelapa, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian massa adsorben 1 g, kecepatan pengadukan 150
rpm, waktu kontak 90 menit, suhu 50ºC dan konsentrasi awal 10-100 mg/L.
isoterm adsorpsi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah isoterm Freundlich
dengan nilai R2 1. Pada penelitian Nassar dkk (2004) dalam adsorpsi logam besi
menggunakan adsorben dengan biaya rendah, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian konsentrasi awal 1-50 mg/L, suhu larutan 22ºC dan
waktu kontak 3 hari. Isoterm adsorpsi yang diperoleh pada penelitian ini adalah
isoterm Freundlich dengan nilai R2 0,99.
2. Adsorpsi kimia
Pada adsorpsi kimia, terjadi reaksi kimia di permukaan molekul-molekul
adsorbat dengan adsorben dimana terbentuk ikatan kovalen dengan ion, sehingga
terjadi pemutusan dan pembentukan ikatan dan biasanya bersifat irreversible atau
tidak dapat bereaksi balik, hanya dapat membentuk lapisan tunggal (monolayer).
Pada penelitian Bhattacharyya dkk (2006) dalam proses adsorpsi Fe (III)
menggunakan adsorben tanah lempung, untuk menentukan isoterm adsorpsi
digunakan variabel penelitian dosis adsorben 2 g/L, konsentrasi awal logam Fe
(III) 50 mg/L, waktu kontak 300 menit, pH 3 dan konsentrasi awal 10, 30, 40, 50,
75, 100, 150, 200 dan 250 mg/L. Isoterm yang didapat dari penelitian ini adalah
isoterm Langmuir (terjadi secara kimia). Pada penelitian Shukla (2006)
menggunakan serat sabut termodifikasi dalam mengadsorpsi logam Fe (II), untuk
menentukan isoterm adsorpsi digunakan variabel penelitian konsentrasi awal
73,5-444,8 mg/L, suhu 35ºC, waktu kontak 120 menit, adsorben diaktivasi
menggunakan H2O2 dan NaOH pH (10,5), pH larutan 3 dan 1,5. Isoterm yang
didapat dari penelitian ini adalah isoterm Langmuir. Pada penelitian Subramani
(2019) menggunakan sekam pinang ter pirolisis dalam menyisihkan logam Fe 2+,
pada penelitian ini dilakukan variasi variabel dosis adsorben 1-10 g/L, konsentrasi
awal adsorbat 1-5 mg/L, waktu kontak 30-360 menit, suhu 28ºC dan pH larutan 4.
Isoterm yang didapat pada penelitian ini adalah isoterm Langmuir. Pada penelitian

17
Shavandi dkk (2012) dalam meng adsorpsi logam Fe (III) menggunakan limbah
POME oleh zeolit alam. Untuk menentukan isoterm adsorpsi digunakan variabel
penelitian pH 8, dosis adsorben 20 g/250 ml, suhu ruang ( 25ºC), waktu kontak
180 menit, kecepatan pengadukan 120 rpm dan konsentrasi awal 20, 40, 60, 80
dan 100%. Isoterm yang didapat pada penelitian ini adalah isoterm Langmuir
Proses adsorpsi menggunakan activated carbon (AC) berbahan dasar
limbah biomassa banyak dikembangkan karena melimpahnya ketersediaan bahan
yang dapat dijadikan adsorben, dapat digunakan kembali (regeneratif), serta lebih
ekonomis. Metode ini juga memiliki efisiensi pengikatan logam berat tinggi dan
pengambilan kembali (desorpsi) ion–ion logam yang terikat relatif mudah
(Setiawan dkk, 2019).
Adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia dapat dibedakan berdasarkan kriteria,
perbedaan antara adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia dapat dilihat pada tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Perbedaan Jenis Adsorpsi
Adsorpsi Fisika Adsorpsi Kimia
Energi adsorpsi kecil (kurang dari 20 Energi adsorpsi besar (berkisar dari 40-400
KJ/mol) KJ/mol)
Terjadi adsorpsi multilayer Terjadi adsorpsi monolayer
Terjadi pada temperatur dibawah titik didih
Dapat terjadi pada temperatur tinggi
adsorbat
Proses adsorpsi terjadi bila sistem
Tidak melibatkan energi adsorpsi
mempunyai energi aktivasi
Sumber: Rizky, 2016

2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi


Menurut Lubis dkk (2016), beberapa faktor yang mempengaruhi proses
adsorpsi yaitu:
1. Dosis Adsorben
Semakin tinggi dosis karbon aktif menyebabkan semakin tinggi tingkat
penyisihan logam terlarut. Hal ini terjadi karena semakin banyak karbon aktif
yang ditambahkan semakin luas permukaan karbon aktif yang berperan dalam
mengadsorpsi logam terlarut. Semakin banyak karbon aktif yang ditambahkan per
satuan volume limbah cair, maka semakin kecil konsentrasi akhir dari logam
dalam larutan dan efisiensi penyisihan logam semakin besar namun kapasitas

18
penjerapan semakin kecil. Pada penelitian Subramani dkk (2019), dalam adsorpsi
logam Fe2+ menggunakan adsorben sekam pinang ter pirolisis dengan interval
dosis adsorben 2, 4, 6, 8 dan 10 g/L.

Gambar 2.3 Grafik Pengaruh Dosis Adsorben


Sumber: Subramani dkk, 2019
Gambar 2.3 menggambarkan pengaruh dosis adsorben pada 2, 4, 6, 8 dan
10 g/L dalam konsentrasi adsorbat 1-5 mg/L, terjadi peningkatan kemampuan
adsorpsi seiring dengan bertambahnya jumlah dosis yang ditambahkan dimana
dosis optimum pada penelitian ini adalah 10 g/L.
2. Waktu Kontak
Waktu adsorpsi berpengaruh terhadap proses adsorpsi dimana semakin
lama waktu kontak adsorpsi semakin besar jumlah zat yang terjerap (Padmavathy,
2016). Pada penelitian Arifiyani dkk (2020), proses adsorpsi logam Fe
menggunakan biosorben pisang kepok dengan interval waktu kontak adsorpsi 10,
20, 30, 40 dan 50 menit.

19
Gambar 2.4 Grafik Pengaruh waktu kontak
Sumber: Arifiyana dkk, 2020

Gambar 2.4 menggambarkan pengaruh waktu kontak terhadap efisiensi


penyisihan logam besi. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan
kemampuan adsorpsi dari menit 10 sampai 30 dan mencapai titik kesetimbangan
adsorpsi, efisiensi penyisihan pada waktu 30 menit sebesar 86,387%. Pada awal
proses adsorpsi, pori aktif pada permukaan adsorben masih cukup tersedia
sehingga tidak terjadi persaingan antar ion logam pada permukaan adsorben,
namun seiring dengan berjalannya waktu pori aktif yang tersedia untuk
penyerapan ion lainnya menjadi terbatas. Karena gaya tolak menolak antara ion
logam yang diserap pada permukaan adsorben dan ion dalam larutan, penyerapan
ion menjadi lebih sulit. Ketika seluruh permukaan adsorben dalam keadaan jenuh
maka terjadi keadaan setimbang, dimana efisiensi penyisihan penyerapan akan
tetap atau menurun walaupun waktu penyerapannya lebih lama (Jannah dkk,
2021).
3. Konsentrasi adsorbat
Semakin besar konsentrasi adsorbat dalam larutan maka semakin banyak
jumlah substansi yang terkumpul pada permukaan adsorben. Pada penelitian

20
Obike dkk (2018), dalam adsorpsi logam Fe (II) menggunakan kulit buah kakao
dengan interval konsentrasi awal 10-100 mg/L.

Gambar 2.5 Grafik Pengaruh Konsentrasi Awal


Sumber: Obike dkk, 2018

Gambar 2.5 menggambarkan pengaruh konsentrasi awal terhadap efisiensi


penyisihan logam besi. Terjadi peningkatan efisiensi penyisihan seiring dengan
meningkatnya konsentrasi awal. Peningkatan efisiensi penyisihan tertinggi pada
konsentrasi awal rendah, dengan seiring meningkatnya konsentrasi awal
peningkatan efisiensi tidak terjadi secara signifikan. Hal ini dikaitkan dengan
penurunan resistensi untuk penyerapan zat terlarut dengan peningkatan
konsentrasi logam.
Pada konsentrasi ion logam awal yang lebih rendah, situs adsorpsi yang
cukup tersedia untuk adsorpsi ion logam berat. Namun, pada konsentrasi tinggi
situs adsorpsi yang tersedia menjadi lebih sedikit dan karenanya persentase
penyisihan logam berat tergantung pada konsentrasi awal (Al-Shahrani, 2013).
4. pH Larutan
pH larutan merupakan parameter penting dalam penyerapan logam berat
oleh adsorben yang berkontribusi terhadap situs adsorpsi ion logam pada
permukaan adsorben serta struktur kimia logam di dalam air. Dengan

21
meningkatnya pH, muatan permukaan adsorben menjadi lebih negatif, yang
merupakan faktor yang baik untuk adsorpsi ion positif Fe (ΙΙ). Tetapi pada pH
tinggi, keberadaan OH- menyebabkan pengendapan ion besi (Ghasemi dkk, 2015).
pH sangat mempengaruhi proses adsorpsi, dimana efisiensi penyerapan akan
menurun akibat mengendapnya logam pada pH tinggi. Logam besi akan
mengendap pada pH 6, sehingga proses adsorpsi harus dilakukan di bawah pH 6
(Ali dkk, 2018). Pada penelitian Maneechakr dkk (2016), adsorpsi Fe2+ dan
Activated carbon dilakukan variasi pH 1-9.

Gambar 2.6 Grafik Pengaruh pH


Sumber: Maneechkar dkk, 2016

Gambar 2.6 menunjukkan bahwa ion bergabung dengan OH- membentuk


Fe(OH)2 mengendap pada pH>7. Oleh karena itu, kemampuan adsorpsi Fe 2+ yang
tinggi tidak dihasilkan pada pH>7 (Maneechakr dkk, 2016).
5. Kecepatan Pengadukan
Kecepatan pengadukan mempengaruhi hasil adsorpsi yaitu jika
pengadukan terlalu lambat maka proses adsorpsi berlangsung lambat, akan tetapi

22
jika pengadukan terlalu cepat kemungkinan struktur adsorben cepat rusak,
sehingga proses adsorpsi kurang optimal. Pada penelitian Banerjee dkk (2016)
dalam adsorpsi logam Fe2+ menggunakan biochar teraktivasi yang berasal dari
colocasia esculenta dengan interval 100-180 rpm.

Gambar 2.7 Pengaruh Grafik Kecepatan Pengadukan


Sumber: Banerjee dkk, 2016

Gambar 2.7 menggambarkan pengaruh kecepatan pengadukan terhadap


efisiensi penyisihan, terjadi peningkatan efisiensi penyisihan dari 100 sampai 160
rpm dengan nilai efisiensi penyisihan optimum adalah 92,39%. Pada kecepatan
180 rpm terjadi penurunan efisiensi penyisihan akibat kecepatan adsorpsi yang
tinggi menyebabkan ion logam tidak dapat mengikat permukaan adsorben.
6. Luas permukaan
Semakin luas permukaan pada adsorben maka proses adsorpsi akan
semakin baik. Hal ini dapat terjadi tergantung pada banyaknya tumbukan yang
terjadi antara partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan akan efektif
antara partikel tersebut dengan meningkatnya luas permukaan. Ukuran partikel
juga mempengaruhi proses adsorpsi. Dimana semakin halus ukuran partikel

23
efisiensi penyisihan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena ukuran
partikel yang kecil mempunyai tenaga inter molekuler yang lebih besar sehingga
penyerapannya menjadi lebih baik. Semakin luas permukaan adsorben, maka
semakin banyak zat yang teradsorpsi. Luas permukaan adsorben ditentukan oleh
ukuran partikel dan jumlah dari adsorben (Juniarsih, 2018). Ukuran partikel
yang kecil memiliki porositas yang halus dan luas permukaan yang besar,
ukuran pori yang lebih kecil menghasilkan kapasitas adsorpsi yang lebih kuat
dan lebih besar karena ukuran partikel kecil mengurangi jalur untuk kedua massa
berdifusi (Al-Senani dkk, 2018).
7. Ukuran molekul adsorbat
Ukuran molekul merupakan bagian yang penting dalam adsorpsi molekul
adsorbat pada media adsorben terutama media berpori. Ukuran molekul adsorbat
yang lebih besar dari pada ukuran adsorben akan menyebabkan kecepatan
adsorpsi semakin kecil dibandingkan dengan ukuran molekul adsorbat yang
lebih kecil (Sirajuddin dkk, 2018). Apabila molekul adsorbat yang besar telah
masuk kedalam pori adsorben akan menyebabkan molekul-molekul adsorbat
yang lebih kecil tidak dapat terserap kedalam pori adsorben.
8. Temperatur Adsorbat
Pada saat molekul adsorbat melekat pada permukaan adsorben akan terjadi
pembebasan sejumlah energi yang dinamakan peristiwa eksotermis. Temperatur
semakin meningkat menyebabkan proses desorpsi juga akan meningkat, sehingga
terjadi penurunan jumlah adsorpsi (Syarief, 2010). Pengaruh suhu pada proses
adsorpsi telah dipelajari pada penelitian Vasu (2008) dalam mengadsorpsi logam
Fe dalam larutan berair menggunakan karbon aktif, dengan variasi suhu 30, 45
dan 60ºC. Diperoleh hasil bahwa seiring dengan peningkatan suhu pada larutan
efisiensi penyisihan logam Fe juga meningkat. Peningkatan efisiensi penyisihan
seiring dengan meningkatnya suhu disebabkan oleh percepatan proses yang
awalnya lambat, permukaan adsorben dan penurunan ukuran pori adsorben. Pada
penelitian Lazaratou dkk (2020) dilakukan proses adsorpsi logam menggunakan
adsorben mineral lempung palygorskite dan halloysite dengan interval suhu 20,
30, 45, 55 dan 60ºC.

24
Gambar 2.8 Grafik Pengaruh Temperatur
Sumber: Lazaratou dkk, 2020

Gambar 2.8 menggambarkan pengaruh suhu terhadap efisiensi penyisihan,


diperoleh bahwa efisiensi penyisihan tertinggi pada suhu kamar (20ºC) dengan
nilai efisiensi sebesar 99%, seiring dengan kenaikan suhu efisiensi penyisihan
logam Fe menurun. Karbon aktif mampu membentuk ikatan yang kuat dan
berkurang dengan naiknya suhu, dengan demikian adsorpsi bersifat eksotermik
karena efisiensi adsorpsi menurun dengan meningkatnya suhu (Banerjee dkk,
2016).
9. Kepolaran Zat
Jenis kepolaran adsorbat dengan adsorbennya dapat mempengaruhi
jalannya adsorpsi. Jika adsorbat dan adsorben sama-sama bersifat polar maka
proses penyerapan akan lebih cepat, begitu sebaliknya jika sama-sama bersifat
non-polar. Jika jenis kepolaran adsorbat dengan adsorben berbeda maka
penyerapan akan cenderung lambat (Pranaridho dkk, 2015).

25
2.5 Kinetika Adsorpsi
Kinetika adsorpsi adalah hubungan interaksi larutan adsorbat dengan
adsorben teraktivasi dengan pola adsorpsi ion logam pada adsorben dipengaruhi
oleh waktu (Wardani dkk, 2017), kinetika adsorpsi dilakukan untuk menentukan
waktu kontak yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan. Kinetika adsorpsi
menggambarkan tingkat kecepatan penyerapan yang terjadi pada adsorben
terhadap adsorbat (Ali, 2016).
Kinetika adsorpsi suatu zat dapat diketahui dengan mengukur perubahan
konsentrasi zat teradsorpsi tersebut dan menganalisis nilai k (berupa
slope/kemiringan) serta memplotkannya pada grafik. Kinetika adsorpsi
dipengaruhi oleh kecepatan adsorpsi. Kecepatan adsorpsi dapat didefinisikan
sebagai banyaknya zat yang teradsorpsi persatuan waktu (Yesya, 2012).
Kinetika adsorpsi digunakan untuk mengetahui laju adsorpsi yang terjadi
pada adsorben terhadap adsorbat dan dipengaruhi oleh waktu. Waktu kontak yang
diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi dijadikan sebagai ukuran laju
adsorpsi (Haryanto dkk, 2016). Analisa kinetika didasarkan pada kinetika reaksi
terutama pseudo first orde dan pseudo second orde. Untuk mengkarakterisasi laju
adsorpsi, konstanta kecepatan reaksi adsorpsi untuk ion-ion logam, digunakan
persamaan sistem pseudo orde pertama dan sistem pseudo orde kedua (Buhani
dkk, 2010).
Pengujian terhadap pseudo first orde dan pseudo second orde dilakukan
dengan membuat kurva yang ditentukan dengan cara membandingkan kelinieran
kurva yang ditunjukkan oleh harga R2, dimana persamaan kinetika yang nilai R2
paling mendekati 1 yang akan digunakan. Koefisien korelasi (R²) dipilih sebagai
fungsi kesalahan yang sesuai untuk menganalisis model kinetik. Hal ini karena
regresi linier secara implisit meminimalkan jumlah kuadrat dari kesalahan untuk
menentukan parameter persamaan (Tchuifon dkk., 2014).
1. Pseudo First Orde
Persamaan pseudo first orde didasarkan pada daya serap adsorben
terhadap adsorbat dengan mengasumsikan bahwa konsentrasi adsorbat berlebih
jika dibandingkan dengan sisi aktif pada permukaan adsorben (Tan dan Hameed,

26
2017). Model kinetika reaksi pseudo first orde menunjukkan bahwa adsorbat
dipermukaan adsorben bereaksi dengan cepat dan menempel pada permukaan

adsorben (Hasanah, 2019). Adapun persamaan pseudo first orde yaitu


(Mohammad dkk., 2017) :
K1
log ( q e – q t ) =log ( q e )− (t)...........................(2.1)
2,303
Dimana:
qe : Kapasitas adsorpsi pada waktu kesetimbangan (mg/g)
qt : Kapasitas adsorpsi pada waktu t (mg/g)
K1 : Konstanta laju pseudo first orde (1/menit)
2. Pseudo Second Orde
Kinetika pseudo second orde digunakan untuk menjelaskan tentang
dinamika proses adsorpsi. Pseudo second orde ini mengasumsikan bahwa
penentu laju reaksi adalah proses penyerapan kimia yang meliputi pertukaran
elektron antara adsorben dengan adsorbat (Cahyani, 2020). Model kinetika
pseudo second orde menunjukkan bahwa reaksi adsorpsi terjadi secara adsorpsi
kimia (Hasanah, 2019). Laju reaksi dipengaruhi oleh konsentrasi awal kation
logam. Semakin besar konsentrasi awal kation logam maka akan semakin rapat
dan penuh kation-kation logam yang akan berdifusi dan ini dapat mengakibatkan
laju difusi akan menurun sehingga akan semakin kecil laju reaksi adsorpsinya
(Umaningrum, 2010). Adapun persamaan pseudo second orde yaitu
(Mohammad dkk, 2017) :
t 1 t
= + ..........................................................(2.2)
qt K 2 q e qe
2

Dimana:
qt : Jumlah zat yang teradsorpsi pada waktu t (mg/g)
qe : Jumlah zat yang teradsorpsi pada saat kesetimbangan (mg/g)
K2 : Konstanta laju pseudo second orde (g/mg.menit)

27
2.6 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi
adsorbat yang dikontakkan pada permukaan adsorben. Tujuan isoterm adsorpsi
yaitu menentukan kapasitas adsorpsi pada adsorben, interaksi larutan zat terlarut
dan kadar akumulasi adsorben (Mohammad dkk, 2015). Isoterm adsorpsi sangat
penting dalam menjelaskan bagaimana adsorbat akan berinteraksi dengan
adsorben dan penting untuk mengoptimalkan penggunaan adsorben. Analisis data
isoterm pada dasarnya penting untuk menentukan kapasitas adsorpsi dari
adsorben. Kesetimbangan adsorpsi tercapai ketika konsentrasi adsorbat dalam
larutan berada dalam keseimbangan dinamis (Ali, 2016).
Proses adsorpsi oleh suatu adsorben dipengaruhi beberapa faktor serta
mempunyai pola isoterm adsorpsi tertentu yang khas. Jenis adsorben, jenis zat
yang diserap, luas permukaan adsorben, konsentrasi zat yang diadsorpsi, dan suhu
merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi dalam proses adsorpsi. Dengan
adanya faktor-faktor tersebut, setiap adsorben yang menyerap zat satu dengan zat
lain tidak akan mempunyai pola adsorpsi yang sama. Diketahui ada dua jenis
persamaan pola isoterm adsorpsi yang biasa digunakan pada proses adsorpsi
dalam larutan, yaitu persamaan adsorpsi Langmuir dan Freundlich.
Pengukuran konsentrasi adsorbat dengan mekanisme adsorpsinya dalam
proses adsorpsi dapat dipelajari melalui penentuan isoterm adsorpsi. Isoterm
adsorpsi yang sering digunakan yaitu isoterm Langmuir dan Freundlich. Tipe ini
biasanya digunakan untuk ikatan antara molekul adsorbat dengan permukaan
adsorben pada fasa padat cair yang terjadi secara fisisorpsi dan kemisorpsi (Sahara
dkk, 2018). Persamaan Langmuir dan Freundlich digunakan untuk menganalisis
data eksperimental dari penyerap hollow carbon nanofiber untuk besi total.
1. Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir mengasumsikan bahwa adsorpsi yang terjadi akan
membentuk lapisan tunggal (monolayer), yang semua sisi dan permukaannya
bersifat homogen (Priadi dkk, 2014). Isoterm Langmuir hanya terbentuk satu
lapisan tunggal saat adsorpsi maksimum, tiap atom hanya teradsorpsi pada lokasi
tertentu di permukaan adsorben dan tiap bagian permukaan hanya dapat

28
menampung satu molekul atau atom. Isoterm Langmuir merupakan proses
adsorpsi yang dapat berlangsung secara fisik atau kimia (Handayani dan
Sulitiyono, 2009). Adapun persamaan model Langmuir yaitu:
ce 1 Ce
= + .........................................................(2.3)
qe qm K qm
Dimana:
qe : Jumlah zat yang terserap pada waktu kesetimbangan (mg/g)
qm : kapasitas adsorpsi maksimum (mg/g)
K : Konstanta Langmuir (L/mg)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada waktu kesetimbangan (mg/l)
Dari kurva linier hubungan antara Ce/qe dengan Ce dapat diperoleh
konstanta kesetimbangan (K) dan kapasitas adsorpsi maksimum (qm).
Berdasarkan nilai K, maka dapat dihitung energi adsorpsi menggunakan
persamaan sebagai berikut
Energi adsorpsi=R ×T × lnK (2.4)
Dimana:
R : Tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol)
T : Temperatur (K)
KL : Konstanta kesetimbangan Langmuir
K : ( MW × 55 ,5 ×1000 × K L )
2. Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich mengasumsikan bahwa adsorpsi yang terjadi akan
membentuk lapisan-lapisan (multilayer), namun sisi aktif pada permukaannya

bersifat heterogen yaitu adanya perbedaan energi pengikatan pada tiap-tiap sisi
aktif (Priadi dkk, 2014). Persamaan Freundlich juga menunjukkan proses
adsorpsi yang bersifat reversibel maupun ireversibel, dan tetap tidak terlarang
untuk membentuk proses adsorpsi yang bersifat monolayer (Tarapitakcheevin,
2013). Isoterm adsorpsi Freundlich dapat dirumuskan menggunakan persamaan:
1
log q e =log K f + log C e................................................... (2.5)
n
Dimana:

29
qe : Banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben (mg/g)
Ce : Konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/l)
N : Intensitas adsorpsi
Kf : Konstanta Freundlich

2.6.1 Mekanisme Adsorpsi


Mekanisme adsorpsi dapat digambarkan sebagai proses dimana molekul
meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat adsorben ((Reynolds,
1982). Mekanisme adsorpsi meliputi empat tahapan yaitu:
1. Difusi eksternal adsorbat dari fase cairan kebagian luar luar film
2. Difusi eksternal adsorbat dari lapisan film kepermukaan adsorben: jika
terdapat ketidaksesuain kepolaran antara adsorben dan adsorbat maka
proses adsorpsi berjalan lambat.
3. Difusi intrapartikel adsorbat melalui pori menuju situs adsorpsi:
dipengaruhi oleh ukuran butir adsorben, semakin kecil ukurannya maka
proses difusi semakin cepat
4. Pengikatan adsorbat oleh situs adsorpsi dipermukaan adsorben

Gambar 2.9 Mekanisme Adsorpsi


Sumber: Astuti, 2018
Mekanisme adsorpsi dapat ditemukan dalam berbagai proses, sebagai
berikut:
1. Interaksi Elektrostatik

30
Interaksi elektrostatik adalah fenomena yang paling sering diamati selama
adsorpsi penghilangan bahan berbahaya dalam air. Muatan permukaan adalah
muatan listrik yang ada pada antarmuka dan dispersi pada media polar seperti
air. Interaksi elektrostatik adalah gaya tarik-menarik pada tolakan antara
molekul-molekul yang bermuatan berlawanan (Igwegbe dkk, 2020).
2. Ikatan Hidrogen
Ikatan hidrogen adalah interaksi dipol yang kuat terjadi antara donor
hidrogen dan atom akseptor. Donor hidrogen biasanya terikat pada hidrogen
atom akseptor seperti nitrogen (N), oksigen (O), atau fluor (F) dalam gugus
fungsi, seperti –COOH, –OH, –NH 2 , dan sistem yang kaya elektron
3. Interaksi Asam Basa
4. Interaksi π-π
Jenis lain dari interaksi dipol adalah interaksi π, yaitu lebih lemah dari
ikatan hidrogen. Istilah ini digunakan untuk menginterpretasikan gaya tarik
antara molekul organik netral dan elektron sistem-π yang kaya. Sebuah sistem-π
biasanya merupakan gugus fungsi dengan ikatan-π yang dihasilkan dari tumpang
tindih elektron difusif orbital. Sistem-π seperti ikatan C=C atau cincin aromatik
yang dapat menarik molekul polar dan sistem-π lainnya.
5. Pengaruh Kerangka Kerja Logam
6. Efek Penyaringan Ukuran
7. Interaksi Hidropobik
Hidropobik umumnya terjadi pada senyawa nonpolar, larut dalam air
bermolekul rendah dan biasanya memiliki rantai karbon yang panjang. Interaksi
hidropobik sering diamati pada adsorpsi zat organik pada media air.

31
Gambar 2.10 Skema Diagram Mekanisme Adsorpsi
Sumber: Lv dkk, 2019

2.7 Penelitian Terdahulu


Herlenasari dkk (2017) melakukan penelitian adsorpsi logam Fe dalam air
limbah menggunakan adsorben dari koran bekas, dengan variasi konsentrasi awal
20, 100, 150 dan 200 mg/L, dosis adsorben 0,05, 0,1, 0,25, 0,5 dan 1 g dalam 50
ml larutan sampel. Diperoleh efisiensi optimum pada dosis 1 gram dengan nilai
97,18%.Alimohammadi dkk (2017) melakukan penelitian tentang penghilangan

32
logam besi pada air limbah menggunakan karbon nanotube berlapis dimodifikasi
secara magnetis, dengan variasi pH larutan 4, 7, 9 dan variasi dosis adsorben 9, 8,
6. Diperoleh penyisihan optimum 98,97% pada pH 8 dan dosis adsorben 6 dengan
nilai kapasitas adsorpsi 200 mg/g mengikuti isoterm Langmuir.
Christica dkk (2018) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam besi
pada limbah industri menggunakan adsorben dari tongkol jagung, dengan
penambahan dosis 1 dan 1,5 gam. Diperoleh nilai efisiensi penyisihan pada 1
gram sebesar 60,20% dan 1,5 gram sebesar 80,01%.
Ali dkk (2018) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam pada air
limbah danau rawal menggunakan adsorben kapas berlapis nanopartikel logam,
dengan penambahan 0,5 gram adsorben dalam larutan sampel, diaduk selama 180
menit dan setiap 10 menit dilakukan pengambilan sampel. Diperoleh kapasitas
adsorpsi sebesar 333,3 mg/g mengikuti isoterm Langmuir dan dan kinetika pseudo
second orde.
Obike dkk (2018) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam besi
menggunakan adsorben dari kulit buah kakao, dengan variasi waktu 10 sampai 60
menit, dosis adsorben 1 sampai 12 g dalam 100 ml larutan sampel, konsentrasi
awal 10 sampai 100 mg/L. Diperoleh kapasitas adsorpsi optimum sebesar 4,16
mg/g mengikuti model isoterm Langmuir dan kinetika pseudo second orde.
Ketsala dkk (2020) melakukan penelitian adsorpsi logam besi
menggunakan karbon aktif dari serbuk lupine putih, dengan variasi dosis adsorben
1, 1,5, 2, 2,5 dan gr dalam 50 ml larutan sampel, pH 3, 5, 8 dan 10, waktu kontak
10, 20, 30, 40 dan 50 menit, suhu 40, 50, 60, 65 dan 70ºC, konsentrasi awal 40,
50, 60, 70 dan 80 mg/L. Diperoleh efisiensi penyisihan optimum 90,28% pada pH
5, dosis 2 g, waktu 30 menit, suhu 50ºC dan konsentrasi larutan 50 mg/L
mengikuti isoterm Freundlich dan kinetika pseudo second orde.
Sylvia dkk (2021) melakukan penelitian tentang efektivitas karbon aktif
kulit singkong dalam menurunkan kadar ion logam besi menggunakan aktivator
NaOH, dengan variasi konsentrasi aktivator 10%, 20%, 25% dan 30% dan variasi
waktu kontak selama 30, 60, 90 dan 120 menit. Hasi efisiensi penyisihan

33
maksimum sebesar 94,07% dan kapasitas adsorpsi 470,35 mg/g dalam konsentrasi
aktivator 30% dan waktu kontak 120 menit.
Amalia dkk (2022) melakukan penelitian tentang adsorpsi logam besi
menggunakan adsorben cangkang telur ayam, dengan variasi waktu pengadukan
30 dan 60 menit, massa adsorben 0,5 g, 1 g, 1,5 g, 2 g dan 2,5 g. Diperoleh
efisiensi penyerapan yang paling tinggi pada massa adsorben 1,5 gr dan waktu
kontak 60 menit.
Arifiyana dan Devianti (2020) melakukan penelitian adsorpsi logam besi
dalam air limbah artifisial menggunakan karbon aktif dari kulit pisang kepok,
dengan dosis 1,5 gram dan variasi waktu kontak 10, 20, 30, 40 dan 50 menit,
variasi pH 3, 4, 5, 6 dan 7. Diperoleh efisiensi penyisihan optimum 86,387% pada
waktu 30 menit dan pH 6 dengan nilai kapasitas adsorpsi 1,44 mg/g.
Nurhidayati dkk (2022) melakukan penelitian tentang penghilangan ion
logam besi oleh sedimen sebagai adsorben, sebanyak 1 gram sedimen
ditambahkan kedalam 50 ml larutan besi dengan konsentrasi 10, 15, 20, 25 dan 30
ppm dengan pH larutan 5. Diperoleh penyerapan maksimum terjadi pada
konsentrasi 30 ppm dengan nilai kapasitas adsorpsi sebesar 1,45 mg/g.

34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan Penelitian


3.1.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah shaker, pipet tetes,
kertas saring Whatman, spatula, corong, timbangan analitik, gelas ukur 100 ml,
gelas beaker 1000 ml, erlenmeyer 250 ml, labu ukur 100 ml, pH meter, botol
plastik tertutup, alumunium foil, mortal, alu, Spektrofotometer Serapan Atom
(SSA), Microsoft excel.

3.1.2 Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah hollow carbon fiber
akasia, larutan besi sulfat (FeSO4.7H2O), asam klorida (HCl) 0,1 M, natrium
hidroksida (NaOH) 0,1 M, asam nitrat (HNO3), aquades (H2O) sebagai pencuci
dan pelarut.

3.2 Variabel Penelitian


3.2.1 Variabel Tetap
Variabel tetap yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Ukuran hollow carbon fiber akasia yang digunakan adalah 60 mesh
(Sodtipinta dkk, 2017)
2. Kecepatan pengadukan 120 rpm (Setiawan dkk, 2017)
3. pH larutan 5 (Irawan, 2018)

3.2.3 Variabel Bebas


1. Variasi dosis adsorben yang dipakai adalah 1, 1,5, 2, 2,5, dan 3 g/L
2. Variasi waktu kontak selama 10 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120
menit dan 180 menit
3. Variasi konsentrasi awal 5 mg/ L , 10 mg/L, 15 mg/L, 20 mg/L, 25 mg/L,
30 mg/L, 35 mg/L, dan 40 mg/L

35
3.2.3 Variabel Terikat
Variabel terikat dari penelitian ini adalah penyisihan logam Fe pada air
limbah

3.3 Diagram Alir Penelitian


Diagram alir prosedur penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 3.1

36
Mulai

Persiapan alat dan bahan

Pembuatan hollow carbon fiber akasia:


1. Daun akasia dikeringkan dengan menggunakan cahaya matahari
dan dilanjutkan dengan menggunakan oven bersuhu 150ºC selama
3,5 jam, kemudian dihaluskan dan diayak dengan ukuran ayakan 60
mesh
2. Sampel diaktivasi kimia menggunakan KOH 1M didiamkan selama
4 jam dan dilanjutkan dengan pengadukan menggunakan magnetic
stirrer selama 2 jam, kemudian dicuci hingga pH netral
3. Sampel dioven dengan suhu 110oC selama 8 jam untuk
menghilangkan kadar air pada sampel
4. Sampel dibentuk menjadi pelet dengan berat 0,7 gram/pelet
menggunakan hidraulic press dengan tekanan 7 ton
5. Sampel selanjutnya diaktivasi fisika menggunakan furnace sampai
suhu 750oC dengan dialiri gas N2 dan Co2

Pembuatan larutan Fe

Penelitian utama :
Pengukuran dilakukan dengan metode SSA
1. Variasi dosis adsorben 1, 1,5, 2, 2,5, 3 g/L.
2. Variasi waktu kontak 10 menit, 30 menit, 60 menit, 90
menit, 120 menit dan 180 menit.
3. Variasi konsentrasi awal larutan Fe 5 mg/L, 10 mg/L, 15
mg/L, 20 mg/L, 25 mg/L, 30 mg/L, 35 mg/L, dan 40 mg/L

Analisis data dan pembahasan penenlitian:


1. Analisa pengaruh variasi dosis, waktu kontak dan
konsentrasi awal terhadap penyerapan logam besi (Fe2+)
2. Analisis data menggunakan Isotherm Langmuir dan
Freundlich, kinetika pseudo first orde dan pseudo second
orde

Hasil dan pembahasan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir Penelitian

37
3.4 Rancangan Penelitian
Tabel 3.1 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Dosis Adsorben
Parameter tetap V
A a
d r
s i
KA WK
o p a Keterangan
(mg/ (menit
r H s
L) )
b i
at D
A
B 1
e 1
si ,
( 5  Q Adsorpsi
F 5 10 120 2  % Removal
e 2  Dosis Optimum
(I ,
I) 5
) 3

Tabel 3.2 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Waktu Kontak


Parameter tetap V
A a
d r
s i
KA
o p DAoptim a Keterangan
(mg/
r H um (g/l) s
L)
b i
at W
K
1
0
3
B
0
e
6
si
0  Q Adsorpsi
(
9  % Removal
F 5 10 3
0  Waktu Kontak
e
1 Optimum
(I
2
I)
0
)
1
8
0

Tabel 3.3 Penentuan Daya Adsorpsi Dengan Variasi Konsentrasi Awal


A Parameter tetap V Kete
d pH WKo DAoptimu ar rang

38
ptimum
(men m (gr/L)
s ia an
it)
o si
r K
B 5
e 10
si 15
Q Adsorpsi
( 20
%
F 5 60 3 25
Rem
e 30
oval
(I 35
I) 40
)
Keterangan:
KA: Konsentrasi Awal
WK: Waktu Kontak
DA: Dosis Adsorben

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Studi Literatur
Studi literatur bertujuan untuk memberikan informasi dan teori–teori yang
berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Studi literatur dalam usulan
penelitian ini mengkaji tentang logam Fe dan adsorpsi.

3.5.2 Persiapan Alat dan Bahan


Dilakukan persiapan pada peralatan dan bahan yang akan
digunakan dalam penelitian. Pada tahap ini dilakukan pembersihan alat
dan persiapan bahan–bahan yang akan digunakan untuk adsorpsi logam
Fe.

3.5.3 Pembuatan Hollow Carbon Fiber Akasia


Daun akasia dijemur menggunakan sinar matahari sampai kering
dilanjutkan dengan menggunakan oven dengan suhu 150oC selama 3,5
jam, kemudian daun akasia dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan
berukuran 60 mesh. Sampel selanjutnya diaktivasi kimia menggunakan
aktivator KOH berkonsentrasi 1 M selama 6 jam, selama 4 jam didiamkan
dan dilanjutkan dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer
dengan kecepatan 150 rpm dan suhu 80ºC, kemudian dinetralkan sampai

39
pH netral atau 7 . Selanjutnya sampel daun akasia dioven selama 8 jam
dengan suhu 110oC untuk menghilangkan kadar air pada sampel serbuk
akasia. Sampel kemudian dibentuk menjadi pelet ukuran diameter 2 cm,
tinggi 0,2 cm dengan berat pelet 0,7 gram/pelet menggunakan hydraulic
press bertekanan 7 ton. Kemudian sampel diaktivasi fisika dengan cara
dikarbonasi menggunakan furnace dengan suhu 750oC dan dialiri gas CO2
pada kenaikan suhu 0 sampai 500oC, lalu pada suhu 500oC sampai
kenaikan suhu 750ºC dan penurunan di 500oC dialiri gas N2.

3.5.4 Pembuatan Larutan Logam Besi (Fe)


Larutan sampel logam Fe dibeli dengan konsentrasi awal 40 mg/L, dengan
kondisi pH awal 3,8 dan massa relatif 278.

3.5.5 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan


Variasi Dosis Adsorben
Hollow carbon fiber akasia ditimbang masing-masing 1 gr/L, 1,5 gr/L, 2
gr/L, 2,5 gr/L dan 3 gr/L dimasukkan kedalam erlenmeyer berisi 100 ml larutan
Fe2+ dengan konsentrasi 10 mg/L. Larutan diaduk menggunakan shaker dengan
kecepatan 120 rpm selama 120 menit pada pH 5. Selanjutnya larutan didiamkan
selama 15 menit, kemudian disaring menggunakan kertas saring whatman 42.
Dilakukan pengukuran kadar Fe2+ pada filtrat dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom (SSA).

3.5.6 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan


Variasi Waktu Kontak
Dosis adsorben hollow carbon fiber akasia optimum yang diperoleh dari
penentuan dosis adsorben dimasukkan kedalam erlenmeyer berisi 100 ml larutan
Fe2+ dengan konsentrasi 10 mg/L. Larutan diaduk menggunakan shaker dengan
kecepatan 120 rpm pada pH 5 dengan variasi waktu kontak 10, 30, 60, 90, 120
dan 180 menit. Selanjutnya didiamkan selama 15 menit, kemudian disaring
menggunakan kertas saring whatman 42. Dilakukan pengukuran kadar Fe2+ pada
filtrat dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA).

40
3.5.7 Penentuan Daya Serap Adsorben Terhadap Fe (II) Dengan
Variasi Konsentrasi Awal Larutan
Dosis adsorben hollow carbon fiber akasia optimum yang diperoleh dari
penentuan dosis adsorben dimasukkan ke dalam larutan Fe 100 ml dengan variasi
konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, dan 40 mg/L. kemudian diaduk dengan
kecepatan 120 rpm pada pH 5 selama waktu kontak optimum. Selanjutnya
didiamkan selama 15 menit, kemudian disaring menggunakan kertas saring
whatman 42. Dilakukan pengukuran kadar Fe2+ pada filtrat dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom (SSA).

3.5.8 Analisis dan Pengolahan Data


Setelah dilakukan pengukuran sampel dengan spektrofotometer
serapan atom (SSA), maka diperoleh efisiensi waktu kontak, pH dan
massa adsorben terbaik. Kemudian data diolah dan dianalisis untuk
menghitung efisiensi penyisihan logam dan kapasitas adsorpsi.
1. Menghitung efisiensi penyisihan logam berdasarkan persamaan berikut:
C¿ −C out
%R= X 100 % (3.1)
C¿
Dimana:
%R : % Penyisihan
Cin : Konsentrasi influen Fe pada sampel sebelum perlakuan (mg/L)
Cout : Konsentrasi efluen Fe pada sampel setelah perlakuan (mg/L)
2. Menghitung kapasitas adsorpsi
Analisa kapasitas adsorpsi merupakan analisa pengukuran banyaknya
adsorbat pada setiap unit berat adsorben. Kapasitas penyerapan dinyatakan
dalam mg/g adsorben. Jadi besarnya kapasitas penyerapan atau kapasitas
adsorpsi dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:
( C ¿ −Cout ) ×V
Q= (3.2)
m
Dimana:
Q : Kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mg/g)
Cin : Konsentrasi influen Fe pada sampel sebelum perlakuan (mg/L)

41
Cout : Konsentrasi efluen Fe pada sampel setelah perlakuan (mg/L)
V : Volume sampel (L)
M : Massa adsorben yang digunakan (g)
3. Menentukan Jenis kinetika adsorpsi
Kinetika yang akan ditentukan yaitu pseudo orde satu dan pseudo orde
dua.
a) Pseudo first orde
Lihat persamaan rumus 2.1
b) Pseudo second orde
Lihat persamaan rumus 2.2
4. Menentukan Jenis Isoterm Adsorpsi
Isoterm yang akan ditentukan yaitu isoterm Langmuir dan isoterm
Freundlich.
a) Isoterm Langmuir
Lihat persamaan rumus 2.3
b) Isoterm Freundlich
Lihat persamaan rumus 2.5

42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Karbon Aktif Daun Akasia


Karbon aktif yang telah dibuat diuji karakteristiknya meliputi pengujian
kadar air, kadar volatil, kadar abu, daya serap iodin dan luas permukaan. Hasil
pengujian dan analisis karbon aktif hollow carbon fiber akasia yang digunakan
sebagai adsorben pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Komposisi Hollow Carbon Fiber Akasia

Unsur/Senyawa Nilai SNI


Kadar Air 3,5% Maks 15%
Kadar Abu 8,3% Maks 10%
Kadar Zat Terbang 15,4% Maks 25%
Daya Serapan Iodin 761,4 mg/g Min 750
Luas Permukaan 1445,5 m2/g
Sumber: Hasil Uji, 2022

Berdasarkan SNI 06-3730-1995 tentang standar kualitas arang aktif, hasil


pengujian karakteristik karbon aktif hollow carbon fiber akasia telah memenuhi
standar SNI, ini mengindikasikan bahwa limbah daun akasia dapat dijadikan
sebagai bahan baku adsorben untuk penyisihan logam Fe2+ pada air limbah.

4.2 Pengaruh Dosis terhadap Adsorpsi Logam Fe2+

Proses adsorpsi logam besi menggunakan adsorben hollow carbon fiber


akasia dilakukan dengan variasi dosis adsorben (1, 1,5, 2, 2,5, dan 3) g/L,
dilarutkan 0,1, 0,15, 0,2, 0,25 dan 0,3 gram adsorben hollow carbon fiber akasia
ke dalam larutan sampel air limbah volume 100 ml dengan konsentrasi logam Fe 2+
10 mg/L pada pH 5. Hasil pengujian pengaruh variasi dosis adsorben hollow
carbon fiber akasia terhadap efisiensi penyerapan logam Fe2+ dan kapasitas
adsorpsi larutan dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.

42
100.00
9.00
80.00

7.00

Kapasitas (mg/g)
Efisiensi (%)

60.00

5.00
40.00

20.00 3.00

0.00 1.00
1 1.5 2 2.5 3
efisiensi rata-rata (%) kapasitasg/L
Dosis Adsorben adsorpsi (mg/g) KA 10 mg/L
WK 120 menit

Gambar 4.1 Hubungan Antara Dosis Adsorben dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa dosis adsorben
mempengaruhi nilai efisiensi penyerapan dan kapasitas adsorpsi, semakin besar
dosis yang ditambahkan maka nilai efisiensi penyerapannya semakin tinggi dan
nilai kapasitas adsorpsi semakin kecil. Pada penambahan dosis 1 gr/L sampai 3
gr/L diperoleh nilai efisiensi penyisihan sebesar 97,92% meningkat menjadi
99,68% dan kapasitas adsorpsi sebesar 8,32 mg/g menurun menjadi 2,82 mg/g,
diperoleh dosis optimum yang dicapai untuk mengadsorpsi logam Fe 2+
menggunakan adsorben hollow carbon fiber akasia pada dosis 3 g/L dengan nilai
efisiensi sebesar 99,68% dan kapasitas adsorpsi sebesar 2,824 mg/g. Rendahnya
nilai efisiensi pada dosis 1 g/L dibandingkan dengan dosis adsorben berikutnya
disebabkan karena jumlah adsorbat lebih banyak dibandingkan pori aktif dari
adsorben sehingga tidak ada ruang lagi bagi adsorbat untuk melekat.
Peningkatan nilai efisiensi penyerapan adsorpsi berbanding lurus dengan
meningkatnya jumlah dosis yang ditambahkan kedalam larutan sampel, hal ini
dikarenakan semakin banyak jumlah adsorben yang terdapat dalam larutan
sampel, maka semakin banyak pula pori aktif dan luas permukaan adsorben dalam
menjerap ion logam. Berbanding terbalik dengan efisiensi penyisihan, kapasitas

43
adsorpsi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya dosis adsorben,
pada kondisi waktu dan konsentrasi yang sama kenaikan dosis adsorben
menurunkan kapasitas adsorpsi. Kapasitas adsorpsi menunjukkan banyaknya
adsorbat yang diadsorpsi per satuan dosis adsorben, nilai kapasitas adsorpsi
dipengaruhi oleh besarnya dosis adsorben. Jika dosis adsorben dinaikkan
sedangkan konsentrasi adsorbat tetap, peningkatan jumlah pori aktif atau luas
permukaan adsorben akan meningkatkan penyebaran penyerapan adsorbat
(Nurulita, 2020).
Variasi dosis adsorben berpengaruh terhadap jumlah pori aktif dan luas
permukaan adsorben dalam menjerap logam besi (Fe2+). Hal ini didukung oleh
penelitian Taufiqurrahman (2022) tentang adsorpsi ion besi (Fe 2+) dalam air
menggunakan adsorben zeolit dari POFA, dari dosis adsorben yang diberikan 1-3
g/L diperoleh dosis dengan efisiensi penyisihan logam Fe 2+ tertinggi pada dosis 3
g/L. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Baby dkk (2019) bahwa pengaruh dosis
adsorben terhadap efisiensi penyisihan logam pada air limbah akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah dosis adsorben yang
ditambahkan.

4.3 Pengaruh Waktu terhadap Adsorpsi Logam Fe2+

Proses adsorpsi logam besi menggunakan adsorben hollow carbon fiber


akasia dilakukan pada variasi waktu (10, 30, 60, 90, 120 dan 180) menit dengan
volume sampel air limbah 100 mL pada pH 5 dan dosis adsorben optimum 3 g/L.
Hasil pengujian pengaruh variasi waktu kontak terhadap efisiensi penyerapan
logam Fe2+ dan kapasitas adsorpsi larutan dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut.

44
100.00 3.00

80.00

kapasitas adsorpsi (mg/g)


2.50
Efisiesni penyisihan (%)

60.00
2.00
40.00

1.50
20.00

0.00 1.00
10 30 60 90 120 180
Menit
Efisiensi penyisihan kapasitas adsorpsi KA 10 mg/L
DA 3 g/L

Gambar 4.2 Hubungan Antara Waktu Kontak dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan efisiensi
dan kapasitas adsorpsi seiring dengan penambahan waktu kontak. Waktu kontak
optimum yang dicapai untuk mengadsorpsi logam Fe 2+ menggunakan adsorben
hollow carbon fiber akasia yaitu pada waktu kontak 60 menit dengan nilai
efisiensi sebesar 99,21% dan kapasitas adsorpsi sebesar 2,81 mg/g. Pada waktu
kontak 10 menit nilai efisiensi dan kapasitas adsorpsinya lebih rendah
dibandingkan pada waktu kontak berikutnya dengan nilai efisiensi 89,56% dan
kapasitas adsorpsi sebesar 2,54 mg/g. Hal ini dikarenakan pada waktu kontak 10
menit, gugus fungsi pada pori aktif adsorben belum maksimal untuk berinteraksi
dengan logam Fe2+, sehingga logam Fe2+ yang teradsorpsi tidak lebih banyak
dibandingkan waktu kontak berikutnya (Arifiyana dkk, 2020). Daya adsorpsi
logam Fe2+ semakin meningkat pada waktu 10 menit sampai waktu 60 menit.
Setelah interaksi berlangsung selama 60 menit adsorpsi ion logam Fe 2+ oleh
adsorben terjadi penurunan efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi, hal ini
menunjukkan telah tercapainya keadaan kesetimbangan. Waktu kesetimbangan
ditentukan untuk mengetahui kapan suatu adsorben mengalami kejenuhan
sehingga proses adsorpsi terhenti. Pada keadaan ini, kapasitas adsorpsi permukaan

45
karbon aktif telah jenuh dan telah tercapai kesetimbangan antara konsentrasi ion
logam Fe2+ dalam adsorben dengan lingkungannya, sehingga penyerapan pada
waktu kontak di atas 60 menit menjadi menurun dan konstan.
Pada variasi waktu kontak efisiensi penyisihan tertinggi terjadi pada waktu
kontak 60 menit dengan efisiensi sebesar 99,21% dan kapasitas adsorpsi 2,81
mg/g. Hal ini didukung oleh penelitian Setiawan (2017) tentang adsorpsi logam
Fe (II) menggunakan adsorben limbah daun nanas, dari waktu kontak yang
diberikan 10-180 menit diperoleh waktu kesetimbangan pada waktu 60 menit
dengan efisiensi penyisihan 22,63%. Efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi
meningkat karena reaksi adsorpsi terjadi secara cepat di awal waktu kontak dan
kemudian menurun secara bertahap sampai mencapai kesetimbangan. Pada waktu
awal banyak pori aktif yang kosong dan jumlahnya berlimpah, seiring dengan
bertambahnya waktu kontak adsorben akan menjadi jenuh (Azari dkk, 2020).
Pada saat proses adsorpsi telah mencapai kesetimbangan, tidak akan terjadi
peningkatan adsorpsi seiring dengan meningkatnya waktu kontak yang diberikan.

4.4 Pengaruh Konsentrasi Awal terhadap Adsorpsi Logam Fe2+

Proses adsorpsi logam besi menggunakan adsorben hollow carbon fiber


akasia dilakukan pada variasi konsentrasi awal (5, 10, 15, 20, 25, 30, 35 dan 40)
mg/L dengan volume sampel air limbah 100 mL pada pH 5 dan dosis adsorben
optimum 3 g/L. Hasil pengujian pengaruh variasi konsentrasi awal terhadap
efisiensi penyerapan logam Fe2+ dan kapasitas adsorpsi larutan dapat dilihat pada
Gambar 4.4 berikut.

46
100.00 10.00

8.50
80.00

Kapasitas Adsorpsi (mg/g)


7.00
60.00
Efisiensi (%)

5.50
40.00
4.00

20.00
2.50

0.00 1.00
5 10 15 20 25 30 35 40
Konsentrasi Awal (mg/L)
Efisiensi Penyisihan Kapasitas Adsorpsi DA 3 g/L WK 60 menit

Gambar 4.3 Hubungan Antara Konsentrasi Awal dengan Efisiensi Penyisihan dan
Kapasitas Adsorpsi Logam Fe2+ pada pH 5
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kapasitas
adsorpsi seiring dengan semakin tinggi konsentrasi awal logam Fe 2+. Pada
konsentrasi awal 5 mg/L diperoleh nilai kapasitas adsorpsi sebesar 1,53 mg/g
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal ion logam Fe 2+, untuk
nilai efisiensi terjadi penurunan nilai dari 99,75% menurun seiring dengan
meningkatnya konsentrasi awal logam Fe2+. Pada konsentrasi awal yang rendah
terbentuk lapisan monolayer pada permukaan pori aktif adsorben yang
menyebabkan proses adsorpsi terjadi secara intens dan cepat, tetapi pada sebagian
besar pori aktif adsorben tetap tidak jenuh akibatnya kapasitas adsorpsi kecil.
Pada konsentrasi awal yang lebih tinggi situs pori aktif yang tersedia akan terisi
oleh lebih banyak ion logam, sehingga ion logam yang teradsorpsi tidak hanya
membentuk lapisan monolayer tetapi akan berdifusi kedalam permukaan adsorben
sehingga terbentuk lapisan multilayer yang menyebabkan penyerapan ion logam
lebih efektif.
Pada setiap kenaikan konsentrasi awal larutan Fe 2+ lebih banyak ion logam
yang tidak terjerap pada permukaan pori aktif adsorben dikarenakan permukaan
pori aktif dari hollow carbon fiber akasia sudah dalam keadaan jenuh akibat telah

47
terisinya semua pori aktif adsorben sehingga pori aktif pada adsorben sudah tidak
tersedia. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion logam Fe, maka efisiensi
penyisihan semakin berkurang. Hal ini disebabkan pada konsentrasi yang lebih
tinggi, jumlah ion logam Fe dalam larutan tidak sebanding dengan jumlah partikel
adsorben hollow carbon fiber akasia yang tersedia sehingga permukaan pori
adsorben akan mencapai titik jenuh. Dalam hal ini akan terjadi proses desorpsi
atau pelepasan kembali ion logam yang telah terjerap pada pori adsorben hollow
carbon fiber akasia.
Pada variasi konsentrasi awal nilai efisiensi penyisihan tertinggi diperoleh
pada konsentrasi awal logam Fe2+ 5 mg/L dengan nilai sebesar 85,02%. Hal ini
didukung oleh penelitian Radnia (2012) tentang adsorpsi logam besi oleh
adsorben kitosan, dari variasi konsentrasi awal yang diberikan diperoleh nilai
efisiensi tertinggi pada konsentrasi awal 10 mg/L dan kapasitas adsorpsi terbesar
pada konsentrasi awal 50 mg/L. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Awual dkk
(2018) bahwa pada konsentrasi awal yang rendah, kesediaan pori aktif relatif
tinggi sehingga logam akan mudah terjerap oleh jumlah pori adsorben yang
tersebar sehingga efisiensi penyisihan tinggi. Berlawanan dengan konsentrasi awal
yang tinggi efisiensi penyerapan akan menurun akibat terbatasnya pori aktif pada
adsorben. Pada pernyataan Azari dkk (2020) dijelaskan bahwa pada konsentrasi
rendah terdapat pori aktif yang kosong yang cukup di permukaan adsorben untuk
menyerap adsorbat, yang akan jenuh seiring dengan peningkatan konsentrasi
adsorbat. Ini menyebabkan berkurangnya pori aktif yang diperlukan untuk
mengadsorpsi adsorbat, disisi lain konsentrasi adsorbat memberikan daya
pendorong untuk perpindahan adsorbat. Pada konsentrasi awal adsorbat yang
tinggi jumlah ion bersaing untuk mengisi pori aktif yang tersedia di permukaan
adsorben tinggi, sehingga menyebabkan kapasitas adsorpsi logam Fe 2+ lebih
tinggi.

4.5 Kinetika Adsorpsi

Model kinetika adsorpsi digunakan untuk menentukan tingkat laju


adsorpsi adsorbat. Laju adsorpsi merupakan faktor penting dalam proses adsorpsi

48
terutama untuk merancang sistem adsorpsi dari proses batch skala besar (Bulut
dkk, 2008). Penentuan kinetika adsorpsi dilakukan untuk menentukan orde reaksi
dari penentuan waktu optimum. Laju adsorpsi yang dihasilkan (kinetika adsorpsi)
yaitu menggambarkan tingkat kecepatan adsorben terhadap adsorbat. Kinetika
adsorpsi dilakukan dengan variasi waktu kontak yang akan menunjukkan berapa
banyak adsorbat yang dapat teradsorpsi pada setiap waktu (Karsa, 2020).
Studi persamaan pseudo first orde dilakukan dengan memplotkan data Log
(qe-qt) terhadap t, sedangkan persamaan pseudo second orde dilakukan dengan
memplotkan data t/qt terhadap t. Penentuan kinetika pada penelitian ini
menggunakan karbon aktif dengan pH 5, dosis 3 gr/L dan waktu kontak 10, 30,
60, 90, 120 dan 180 menit. Dari hasil pengolahan data kedua model persamaan
kinetika maka dapat diperoleh kurva perbandingan antara kinetika pseudo first
orde dan pseudo second orde untuk adsorben hollow carbon fiber akasia pada
Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 berikut.
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
-0.20

-0.40

-0.60

-0.80
Log (qe-qt)

f(x) = − 0.00659984241537091 x − 0.792636273482656


-1.00
R² = 0.651267491646481
-1.20

-1.40

-1.60

-1.80

-2.00
waktu (t)

Gambar 4.4 Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde Hollow Carbon Fiber
Akasia Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+

49
80.00

70.00

60.00 f(x) = 0.356775042438905 x + 0.214777297295502


R² = 0.999922872955277
50.00

40.00
t/qt

30.00

20.00

10.00

0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
waktu (t)

Gambar 4.5 Kinetika Adsorpsi Pseudo Second Orde Hollow Carbon Fiber
Akasia Terhadap Adsorpsi Logam Fe2+
Hasil perbandingan nilai R2 dari model kinetika adsorpsi pseudo first orde
dan pseudo second orde pada gambar 4.5 dan 4.8 menunjukkan persamaan
kinetika pseudo first orde nilai R2 = 0,651 dan persamaan kinetika pseudo second
orde nilai R2 = 0,999. Hal ini menunjukkan bahwa proses adsorpsi logam besi
(Fe2+) oleh adsorben hollow carbon fiber akasia mengikuti model kinetika pseudo
second orde. Perhitungan parameter kinetika pseudo first orde dan pseudo second
orde dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Kinetika Adsorpsi Pseudo First Orde

Persamaan Garis Intercept Slope qe(mg/g) K1 R2


y = -0,006x - 0,792 -0,793 -0,007 0,161 0,0152 0,651

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Kinetika Adsorpsi Pseudo Second Orde

Intercep
Persamaan Garis Slope qe(mg/g) qe2 K2 R2
t
y = 0,356x + 0,214 0,215 0,357 2,803 7,856 0,593 0,999

Dari hasil di atas, pada penyisihan logam Fe 2+ untuk kinetika yang paling
sesuai adalah model kinetika pseudo second orde karena nilai R2 yang mendekati
1 yaitu 0,999. Nilai R2 merupakan nilai yang menunjukkan tingkat linearitas suatu

50
kurva, semakin besar nilainya maka semakin representatif hasilnya. Nilai R 2
adalah salah satu penentu yang penting dan mewakili data eksperimen yang paling
cocok dengan model kinetika (Chieng dkk, 2015). Selain itu nilai qe yang
dihitung yang diturunkan dari model pseudo second orde sangat dekat dengan
nilai eksperimental (qeexp). Menurut Farooq dkk (2011) model kinetika pseudo
second orde mengindikasikan adanya proses kemisorpsi dalam reaksi.
Nilai konstanta laju adsorpsi (K) untuk penyisihan logam Fe 2+ berdasarkan
model kinetika pseudo second orde yaitu 0,593 lebih besar dibandingkan pseudo
first orde yaitu 0,0152, hal ini membuktikan bahwa nilai K yang semakin besar
menunjukkan semakin cepat adsorpsi berlangsung. Kinetika pseudo second orde
mengasumsikan bahwa kemisorpsi adalah penentu laju adsorpsi, diasumsikan ion
logam Fe teradsorpsi secara kimia melalui perbentukan ikatan kimia antara ion
logam Fe dengan situs aktif adsorben. Kinetika pseudo second orde
menggambarkan bahwa ketersediaan situs adsorpsi pada permukaan adsorben
lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi adsorbat (Lee dkk, 2018).

4.6 Isotherm Adsorpsi

Untuk melihat berapa besar mekanisme penyerapan dari adsorben pada


proses adsorpsi, data yang didapat dianalisis untuk memperoleh persamaan
isoterm adsorpsi. Dari persamaan isoterm adsorpsi tersebut dapat dilihat
karakteristik isoterm berupa kapasitas dan mekanisme proses adsorpsi (Ho dkk,
2002). Dengan membuat variasi konsentrasi dapat ditentukan isoterm adsorpsi
yang merupakan hubungan antara jumlah adsorbat yang terjerap oleh permukaan
adsorben sehingga tercapainya konsentrasi kesetimbangan (Wahyuningrum,
2016). Data yang digunakan untuk menentukan model isoterm adsorpsi diperoleh
dari percobaan dengan variasi konsentrasi awal untuk menentukan nilai R 2 yang
paling mendekati angka 1 atau nilai konstanta dengan nilai 0<K<1 jika nilai R2
pada kedua model isoterm bernilai sama (Sing dkk, 2016).
Model isoterm adsorpsi Langmuir ditentukan berdasarkan pengolahan data
dari hasil konsentrasi limbah besi (Fe2+) dan kapasitas adsorpsi. Isoterm Langmuir
dapat diketahui dengan menghubungkan grafik antara nilai konsentrasi adsorbat

51
pada saat kesetimbangan (Ce) dengan konsentrasi adsorbat pada saat
kesetimbangan per banyaknya zat yang terserap per satuan berat adsorben
(Ce/Qe). Pada model isoterm Freundlich ditentukan berdasarkan pengolahan data
dari nilai log konsentrasi limbah akhir (Log Ce) dan nilai log kapasitas adsorpsi
(Log qe) (Ismiyati, 2020). Penentuan isoterm pada penelitian ini menggunakan
karbon aktif dengan pH 5, dosis 3 gr/L dan waktu kontak 60 menit. Dari hasil
pengolahan data kedua isoterm maka dapat diperoleh kurva perbandingan antara
isoterm Langmuir dan isoterm Freundlich untuk adsorben hollow carbon fiber
akasia pada gambar 4.6 dan gambar 4.7 berikut.
0.600

0.500 f(x) = 0.106545209065358 x + 0.0171206092408553


R² = 0.997862302570566

0.400
Ce/Qe

0.300

0.200

0.100

0.000
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0
Ce (mg/L)

Gambar 4.6 Isoterm Adsorpsi Langmuir Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+

52
1.10
1.00
f(x) = 0.284519664727403 x + 0.841651894591079
R² = 0.935166688110622
0.90
0.80
0.70
Log Qe

0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-2.20 -1.70 -1.20 -0.70 -0.20 0.30 0.80
Log Ce

Gambar 4.7 Isoterm Adsorpsi Freundlich Hollow Carbon Fiber Akasia Terhadap
Logam Fe2+
Hasil perbandingan nilai R2 dari model isoterm adsorpsi Langmuir dan
Freundlich pada gambar 4.6 dan 4.7 menunjukkan persamaan isoterm Langmuir
nilai R2 = 0,997 dan persamaan isoterm Freundlich nilai R2 = 0,935. Hal ini
menunjukkan bahwa proses adsorpsi logam besi (Fe2+) oleh adsorben hollow
carbon fiber akasia mengikuti model isoterm Langmuir. Perhitungan parameter
isoterm adsorpsi Langmuir dan Freundlich dapat dilihat pada tabel 4.4 dan tabel
4.5 berikut.
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Isoterm Adsorpsi Langmuir

Persamaan garis intercept slope qmax (mg/g) KL R2 RL


y = 0.106x + 0.017 0,017 0,107 9,386 6,264 0,997 0,012

Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Isoterm Adsorpsi Freundlich

Persamaan garis Intercept Slope n KF R2


y = 0.289x + 0.840 0,842 0,285 3,515 6,9945 0,935

Berdasarkan teori adsorpsi isoterm Langmuir, persamaan Langmuir


mengasumsikan bahwa adsorpsi terjadi pada permukaan spesifik dalam adsorben
yang homogen (Ho dkk, 2000). Selain itu pada adsorpsi isoterm Langmuir hanya
terbentuk satu lapisan tunggal (monolayer) dimana masing-masing ion logam

53
terjerap hanya pada satu sisi pori aktif pada permukaan adsorben dan masing-
masing pori aktif hanya mengikat satu ion logam besi (Fe 2+). Isoterm Langmuir
memiliki karakteristik utama yang dapat dinyatakan dengan nilai konstanta R L,
nilai RL menentukan jenis isoterm. Untuk adsorpsi irreversible nilai RL= 0,
sedangkan untuk adsorpsi favorable nilai RL=0<RL<1, adsorpsi linier RL=1, dan
adsorpsi unfavorable RL>1 (Kartika dan Amran, 2021).

Nilai perhitungan energi adsorpsi dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Energi Adsorpsi

Isoterm Langmuir
Konstanta Energi adsorpsi
Adsorben Langmuir (KL) Temperatur (K) (kJ/mol)
Hollow carbon nanofiber 6,264 300,15 41,88

Jenis ikatan yang terbentuk antara adsorbat dan adsorben ketika proses
adsorpsi dapat ditentukan dari energi adsorpsi. Energi adsorpsi mencerminkan
seberapa kuat ikatan antara logam Fe dengan gugus aktif adsorben (Irawati dkk,
2017). Adsorpsi dikategorikan sebagai proses fisika jika energinya antara 2,1-20,9
kJ/mol sedangkan energi untuk proses kemisorpsi terjadi antara 20,9-418,4 kJ/mol
(Kosasih dkk, 2010). Berdasarkan perhitungan energi adsorpsi diperoleh nilai
41,88 kJ/mol yang menandakan bahwa proses adsorpsi terjadi secara kimia atau
kemisorpsi dikarenakan nilai energi adsorpsi yang diperoleh masuk kedalam
rentang dari 20,9-418,4 kJ/mol (Pohan, 1993). Berdasarkan dari pernyataan diatas
dapat disimpulkan bahwa proses adsorpsi pada penelitian ini melibatkan proses
adsorpsi secara kimia. Pada proses ini terjadi interaksi elektrostatik atau gaya tarik
menarik antar molekul-molekul yang berbeda muatan (Igwegbe dkk, 2020),
dimana terjadi reaksi antara gugus karboksil pada hollow carbon fiber dengan
logam Fe2+ sehingga membentuk ikatan ion antara Fe dan O.

54
Gambar 4.8 Mekanisme Adsorpsi Fe pada Gugus Fungsi Karboksil

Sumber: Kang dkk, 2020


Terjadi dua reaksi kimia antara gugus fungsi hollow carbon fiber akasia
dengan logam Fe2+ sebagai berikut.
1. Logam Fe2+ bereaksi dengan OH- membentuk senyawa Fe(OH)2 atau besi
(II) hidroksida dalam bentuk endapan putih.
Fe2+ + OH- 4.1
Fe2++2OH-→Fe(OH)2 4.2
2. Gugus karboksil COO- bereaksi dengan logam Fe2+ membentuk senyawa
FeCO3 atau besi (II) karbonat.
CO32-+ Fe2+→FeCO3 4.3
Setelah proses adsorpsi pH larutan sampel naik dari 5 menjadi 7,5,
kenaikan pH terjadi dikarenakan telah terjerapnya logam Fe dalam jumlah besar.
Ion Fe2+ merupakan kation bersifat asam, bereaksi dengan OH - yang merupakan
anion bersifat basa akan membentuk reaksi penetralan, reaksi asam dengan basa
membentuk air bersifat netral.

4.7 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu


Perbandingan hasil penelitian dengan penelitian terdahulu dapat dilihat
pada Tabel 4.7 berikut.

55
Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

Peneliti Adsorben Metode Hasil


Efisiensi
Taufiqurrahman pH 5
POFA penyisihan
(2022) Dosis adsorben 1, 1,5, 2, 2,5 dan 3 g/L
98,65%
Efisiensi
Sylvia dkk Kulit Waktu kontak 30, 60, 90 dan 120 menit
penyisihan
(2021) Singkong KA 5 mg/L
94,07%
Kulit Waktu kontak 10, 20, 30, 40 dan 50 Efisiensi
Arifiyana dkk
pisang menit penyisihan
(2020)
kepok pH 3, 4, 5, 6 dan 7 86,387%
Efisiensi
Christica dkk Tongkol Dosis adsorben 1,5 gr/100 ml
penyisihan
(2018) jagung Waktu kotak 3 jam
80,01%
Efisiensi
Setiawan Daun Waktu kontak 10, 30, 60, 120 dan 180
penyisihan
(2017) Nanas menit
22,63%
Dosis adsorben 0,15 g Efisiensi
Radnia
Kitosan Konsentrasi awal 10, 15, 20, 25, 30, 35, penyisihan
(2012)
40, 45 dan 50 mg/L 86%
Dosis adsorben 1, 1,5, 2, 2,5 dan 3 g/L
Hollow
Waktu kontak 10, 30, 60, 90, 120 dan Efisiensi
Penelitian ini carbon
180 menit penyisihan
(2022) fiber
akasia Konsentrasi awal 5, 10, 15, 20, 25, 30, 99,21%
35 dan 40 mg/L

Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat jika hasil penelitian ini
dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian adsorpsi ion
logam Fe menggunakan adsorben hollow carbon fiber akasia menghasilkan nilai
persentase penyisihan logam Fe lebih tinggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
adsorben hollow carbon fiber akasia dapat dijadikan sebagai adsorben karena
memiliki nilai efisiensi penyisihan yang baik.

4.8 Perbandingan Hasil Analisis Pengolahan dengan Baku Mutu


Hasil pengukuran kadar Fe terbaik pada air limbah setelah dilakukan
pengolahan pada penelitian ini dibandingkan dengan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu
Air Limbah pada lampiran XXX tentang baku mutu air limbah bagi usaha
dan/atau kegiatan industri asam tereftalat (PTA), lampiran XLIV tentang baku
mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan dan

56
lampiran XLVII tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan yang
belum memiliki baku mutu air limbah yang ditetapkan dapat dilihat pada tabel 4.8
sampai 4.10 berikut.
Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Dosis Adsorben Optimum

dengan Baku Mutu

Konsentrasi Logam Fe (mg/L)


Variasi Dosis Baku Mutu (mg/L)
Sebelum Setelah Pengolahan (**)
Adsorben (g/L)
Pengolahan (*) (*)

3 10 0,027 5-7
Sumber: (*) Hasil Uji 2022
(**)
Permen LH RI No. 5 Tahun 2014

Tabel 4.9 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Waktu Kontak Optimum

dengan Baku Mutu

Konsentrasi Logam Fe (mg/L)


Variasi Waktu Baku Mutu (mg/L)
Sebelum Setelah (**)
kontak (menit)
Pengolahan(*) Pengolahan(*)
60 8,5 0,068 5-7
Sumber: (*) Hasil Uji 2022
(**)
Permen LH RI No. 5 Tahun 2014

Tabel 4.10 Perbandingan Hasil Analisis Variasi Konsentrasi Awal

dengan Baku Mutu

Konsentrasi Logam Fe (mg/L


Baku Mutu (mg/L)
Sebelum Setelah (**)
Pengolahan(*) Pengolahan(*)
5 0,012
10 0,026
15 0,190
20 0,268
5-7
25 0,588
30 1,330
35 2,831
40 4,824
Sumber: (*) Hasil Uji 2022
(**)
Permen LH RI No. 5 Tahun 2014
Berdasarkan tabel 4.8 sampai 4.10 diatas, dapat dilihat bahwa hasil
pengolahan air limbah menggunakan adsorben hollow carbon fiber akasia dalam
menyisihkan logam Fe dengan variasi dosis adsorben optimum, waktu kontak
optimum dan konsentrasi awal telah memenuhi standar baku mutu yang telah

57
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2014.

58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian adsorpsi logam Fe menggunakan adsorben hollow
carbon fiber akasia dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni:
1. Pada penelitian adsorpsi logam Fe menggunakan hollow carbon fiber
akasia diperoleh dosis optimum adalah 3 gr/L dengan efisiensi
penyisihan sebesar 99,68%, waktu kontak optimum 60 menit dengan
efisiensi penyisihan sebesar 99,21% dan konsentrasi awal
mempengaruhi nilai efisiensi penyisihan, dimana nilai efisiensi
penyisihan berbanding terbalik seiring dengan kenaikan konsentrasi
awal.
2. Model kinetika dan isoterm yang sesuai untuk adsorpsi logam Fe
menggunakan adsorben hollow carbon fiber akasia yaitu kinetika
pseudo second orde dengan nilai R2 sebesar 0,999 dan isoterm
Langmuir dengan nilai R2 sebesar 0,997.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian penelitian yang telah dilakukan sebagai
pengembangan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan variabel lain
seperti variasi variabel kecepatan pengadukan, variasi pH, variasi
ukuran mesh adsorben agar lebih banyak ilmu pengetahuan tentang
kemampuan adsorpsi oleh adsorben hollow carbon fiber akasia.
2. Dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk logam berat lain seperti
aluminium (Al), kadmium (Cd), kromium (Cr), timbal (Pb), atau
aplikasi selain adsorpsi logam berat.

58
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrasaq, O.O., & Basiru, O.G. 2010. Removal of Copper (II), Iron (III) and
Lead (II) Ions from Monocomponent Simulated Waste Effluent by
Adsorption on Coconut Husk. African Journal of Environmental Science
and Technology. Nigeria.
Adhani, R., & Husaini. 2017. Logam Berat Sekitar Manusia. Lambung Mangkurat
University Press. Banjarmasin.
Al-Senani, G. M., & Al-Fawzan, F. F. 2018. Study of Heavy Metal Ions From
Aqueous Solution by Nanoparticle of Wild Herbs. Egyptian Journal of
Aquatic Research.
Al-Shahrani, S.S. 2013. Treatment of Wastewater Contaminated With Fe (II) by
Adsorption Onto Saudi Activated Bentonite. Internation Journal of
Engineering & Technology. King Abdulaziz University. Saudi Arabia.
Ali, A., Gul, A., Mannan, A., & Zia, M. 2018. Efficient Metal Adsorption and
Microbial Reduction From Rawal Lake Wastewater Using Metal
Nanoparticle Coated Cotton. Journal Science of the Total Environment.
639 26–39.
Ali, M. 2011. Rembesan Air Lindi (Leachate) Dampak Pada Tanaman Pangan
dan Kesehatan. UPN Press. Surabaya.
Ali, M.E.A., Aboelfadl, M.M.S., Selim, A.M., Khalil, H.F., & Elkady,
G.M. 2018.
Chitosan Nanoparticles Extracted From Shrimp Shells, Application For
Removal Of Fe (II) and Mn (II) From Aqueous Phases. Journal ISSN:
0149-6395.
Alimohammadi, V., Seidighi, M., & Jabbari, E. 2017. Experimental Study on
Efficient Removal of Total Iron From Wastewater Using Magnetic-
Modified Multi-Walled Carbon Nanotubes. Jurnal Ecological
Engineering. 102 90–97.
Amalia, V.N., Oktorina, S., & Setyowati, R.D.N. 2022. Efisiensi Penyerapan
Logam Besi (Fe) Menggunakan Adsorben Cangkang Telur Ayam dengan
Sistem Batch. Jurnal Teknologi Techno Scientia. Surabaya.
Anggriani, U.M., Hasan, A., & Purnamasari, A. 2021. Kinetic Adsorption of
Activated Carbon in Decreasing Concentrations of Copper (Cu) and Lead
(Pb) Metals. Jurnal kinetika Vol 12. Politeknik Negeri Sriwijaya.
Apriani, R., Faryuni, I.D., & Wahyuni, D. 2013. Pengaruh Konsentrasi Aktivator
Kalium Hidroksida (KOH) terhadap Kualitas Karbon Aktif Kulit Durian
sebagai Adsorben Logam Fe pada Air Gambut. Jurnal PRISMA FISIKA.
Vol. I, No. 2, Hal. 82 – 86.
Apriwandi., Agustino., Taer, E., & Taslim, R. 2020. A High Potential of Biomass
Leaves Waste for Porous Activated Carbon Nanofiber/Nanosheet as
Electrode Material of Supercapacitor. Journal of physic: conference
series 1655 01 2007.
Arif, M.D., & Mawardi. 2020. Pengaruh Konsentrasi Awal Larutan Terhadap
Penyerapan Ion Logam Cr6+ Menggunakan Biomassa Alga Hijau
Mougeotia Sp yang Diimobilisasi Dengan Natrium Silika. Chemistry
Journal of Universitas Negeri Padang. Sumatera Barat.
Arifiyana, D., & Deviyanti, V.A. 2020. Biosorpsi Logam Besi (Fe) Dalam Media
Limbah Cair Artifisial Menggunakan Biosorben Kulit Pisang Kepok
(Musa Acuminate). Jurnal Kimia Riset, Volume 5 No. 1, Juni 2020.
Astuti, Widi. 2018. Adsorpsi Menggunakan Material Berbasis Ligniselulosa.
Semarang. Unnes Press.
Awual, Md.R., Khraisheh, M., Alharthi, N, H., Luqman, M., Islam, A., Karim, M,
R., Rahman, M, M., & Khaleque, Md, A. 2018. Efficient detection and
adsorption of cadmium (II) ions using innovative nanocomposite
materials. Chemical Engineering Journal. Saudi Arabia.
Azari, A., Nabizadeh, R., Nasseri, S., Mahvi, A.H., & Mesdaghinia, A.R. 2020.
Comprehensive Systematic Review and Meta analysis of Dyes
Adsorption by Carbon-Based Adsorbent Materials: Classification and
Analysis of Last Decade Studies. Journal Chemosphere. Tehran
University of Medical Science. Iran
Baby, R., Saifullah, B., & Hussein, M, Z. 2019. Palm Kernel Shell as an Effective
Adsorbent for the Treatment of Heavy Metal Contamined Water. Journal
Scientific Reports.
Bahtiar, A., Faryuni, I.D., & Jumarang, M.I. 2015. Adsorpsi Logam Fe
Menggunakan Adsorben Karbon Kulit Durian Teraktivasi Larutan
Kalium Hidroksida. PRISMA FISIKA, Vol. III, No. 01.
Banerjee, S., Mukherjee, S., L., Minka-ot, A., Joshi, S.R., Mandal, T. & Halder,
G. 2016. Biosorptive Uptake of Fe2+, Cu2+ and As5+ by Activated Biochar
Derived from Colocasia Esculenta: Isotherm, Kinetics, Thermodynamics
and Cost Estimation. Journal of Advanced Research. India.
Beck, R.J., Zhao, Y., Fong, H., & Menkhaus, T.J. 2017. Electrospun lignin carbon
nanofiber membranes with large pores for highly efficient adsorptive
water treatment applications. Journal of Water Process Engineering. 16
(2017) 240–248.
Bhattacharyya, K.G., & Gupta, S.S. 2008. Adsorption of Fe (III), Co (II) and Ni
(II)on ZrO-kaolinite and ZrO-montmorillonite Surface in Aqueous
Medium. Journal Colloids and Surface: Physcochem Engineering. India.
Bulut, E., Ozacar, M., & Sengil, I, A. 2008. Adsorption of Malachite Green Onto
Bentonite: Equilibrium and Kinetic Studies and Process Design. Journal
Microporous and Mesoporous Materials. Sakarya University: Turki.
Chatterjee, A., Jayanta K.B., & Amiya K.J. 2019. Alumina-Silica Nano-Sorbent
From Plant Fly Ash and Scrap Aluminium Foil In Removing Nickel
Through Adsorption. Journal Powder Technology. 354, 792-803.
Chieng, H.L., Lim, L.B.L., Priyantha, N., 2015. Sorption characteristics of Peat
from Brunei Darussalam for the removal of rhodamine B dye from

60
aqueous solution: adsorption isotherms, thermodynamics, kinetics and
regeneration studies. Desalination and water treatment. 55, 664-667.
Christica, I.S., Muchlisyam., & Julia, R. 2018. Activated Carbon Utilization From
Corn Cob (Zea Mays) As A Heavy Metal Adsorbent In Industrial Waste.
Asian Journal Pharmaceutical Research and Development.
Denisova, T.R., Sippel, I.Y., Nguyen, K.T.., Galimova, R.Z., & Shaikhief, I.G.
2018. Investigation of Nickel Ions Adsorption by Acacia Auriculiformis
Components. Journal Department of Chemistry and Ecology. Kazan
Federal University, Russia.
Eka P, Christina., & Florentina, P.I. 2017. Ekstraksi Tanin Dari Kulit Kayu
Akasia Dengan Menggunakan Microwave: Pengaruh Daya Microwave,
Waktu Ekstraksi Dan Jenis Pelarut. Jurnal Teknik Kimia USU. Vol. 6,
No. 3.
El-Deen, A.G., Barakat, N.A.M., Khalil, K.A., & Kim, H.Y. 2013. Hollow
Carbon Nanofibers As An Effective Electrode for Brackish Water
Desalination Using The Capacitive Deionization Process. Journal
Chonbuk National University.
Elfarisna., Niaga, H., & Puspitasari. 2016. Tanaman Akasia (Acacia Mangium
Wild.) Terhadap Tingkat Salinitas Di Pembibitan. Jurnal Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Esterlita, M. O., & Herlina, N. 2015. Pengaruh Penambahan Aktivator ZnCl 2,
KOH dan H3PO4 dalam Pembuatan Karbon Aktif dari Pelepah Aren
(Arenga Pinnata). Jurnal Teknik Kimia USU.
Farooq, U., Khan, A.M., Athar, M., & Kozinski, J.A. 2011. Effect of Modification
of Environmentally Friendly Biosorbent Wheat (Triticum aestivum) on
The Biosorptive Removal of Cadmium (II) Ions from Aqueous Solution.
Journal Chemical Engineering.
Febriana, L., & Ayuna, A. 2015. Studi Penurunan Kadar Besi (Fe) Dan Mangan
(Mn) Dalam Air Tanah Menggunakan Saringan Keramik. Jurnal
Teknologi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Volume 7 No. 1.
Ghasemi, M., Ghoreyshi, A.A.., Younesi, H., & Khoshhah, S. 2015. Synthesis Of
A High Characteristics Activated Carbon From Walnut Shell For The
Removal Of Cr (VI) And Fe (II) From Aqueous Solution: Single And
Binary Solutes Adsorption. Iranian Journal of Chemical Engineering.
Vol. 12, No. 4 (Autumn 2015), IAChE.
Haryanto, B., Panjaitan, F., Haloho, H., Rawa, R., Ridho, M. 2016. Kajian
Kemampuan Adsorpsi Batang Jagung (Zea mays) terhadap Ion Logam
Cd2+. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas.
Hasanah, A.U. 2019. Adsorpsi Fenol Menggunakan Karbon Aktif Dari Kulit
Salak (Salacca Edulis) Dengan Aktivasi Co2. Skripsi. Universitas
Sumatera Utara.
Herlenasari., Agustina., Sari, M.P., & Mardiah. 2017. Pembuatan Adsorben dari
Koran Bekas untuk Mengurangi Kadar Fe dan Cu dalam Air Limbah.
Journal of Chemical Process Engineering. Kalimantan Timur.

61
Hina, K., Zou, H., Qian, W., Zuo, D., & Yi, C. 2018. Preparation and
Performance Comparison of Cellulose-based Activated Carbon Fibers.
Journal Cellulose.
Ho, Y.S., McKay, G., Wase, D.A.J., & Foster, C.F. 2000. Study of The Sorption
Isotherms of Divalent Metal Ions On To Peat. Adsorption Science and
Technology. 96. 1285-1291.
Ho, Y, S., Huang, C, T., & Huang, H, W. 2002. Equilibrium Sorption Isotherm for
Metal Ions on Tree Fern. Journal Process Biochemistry. Taiwan.
Huang, Y., Li, S., Chen, J., Zhang, X., & Chen, Y. 2014. Adsorption of Pb (II) on
Mesoporous Activated Carbons Fabricated from Water Hyacinth using
H3PO4 Activation: Adsorption Capacity, Kinetic and Isotherm Studies.
Journal Applied Surface Science. China.
Hubadillah, S.K., Othman, M.H.D., Harun, Z., Ismail, A.F., Rahman, M.A., &
Jaafar, J. 2016. A Novel Green Ceramic Hollow Fiber Membrane
(CHFM) Derived From Rice Husk Ash As Combined Adsorbent-
Separator For Efficient Heavy Metals Removal. Manuscript Ceramics
International.
Irawan, C., & M.Ain, M.I. 2018. Pengaruh Ph Terhadap Adsorpsi Logam Fe
Dengan Menggunakan Abu Layang Sebagai Adsorben. Jurnal Politeknik
Negeri Balikpapan.
Irawati, H., Aprilita, N.H., & Sugiharto, E. 2018. Adsorpsi Zat Warna Kristal
Violet Menggunakan Limbah Kulit Singkong (Manihot esculenta).
Journal of Mathematics and Natural Science.
Irhamni., Pandia, S., Purba, E. dan Hasan, W. 2017. Serapan Logam Berat
Esensial dan Non Esensial pada Air Lindi TPA Kota Banda Aceh dalam
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Serambi Engineering.
2(3): 134 – 140.
Ismiyati, Ma’rifatul. 2020. Pemanfaatan Sabut Kelapa dan Tempurung Kelapa
Sebagai Bioadsorben Untuk Penurunan Kadar Besi (Fe) Dengan Sistem
Batch. Skripsi. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Jannah, M., Mulyati, S., Rosnelly, C.M., & The influences of operating conditions
on the removal of Fe(II) in water by adsorption using bentonite as a low-
cost adsorbent. Journal Materials Science and Engineering. Indonesia.
Kacaribu, K. 2008. Kandungan Kadar Seng (Zn) dan Besi (Fe) dalam Air Minum
dari Depot Air Minum Isi Ulang Air Pegunungan Sibolangit di Kota
Medan. Sumatera Utara. Skripsi. Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Kalantari, M., Yu, M., Noonan, O., Song, H., Xu, C., Huang, X., Xiang, F., Wang,
X., & Yu, C. 2017. Rattle-type Magnetic Mesoporous Hollow Carbon as
a High Performance and Reusable Adsorbent for Water Treatment.
Journal Chemosphere. Australia.
Kartika, S.E., & Amran, M.B. 2021. Sintesis dan Karakterisasi Poly (Antrhanilic
Acid –Co-Formaldehyde) untuk Adsorpsi Ion Pb (II). Journal of
Chemistry. Bandung

62
Kang, Y.G., Vu, H.C., Chang, Y.Y., Chang, Y.S. 2020. Fe (III) Adsorption on
Graphene Oxide: A Low-cost and Simple Modification Method for
Persulfate Activation. Chemical Engineering Journal. Korea Selatan:
Kwangwoon University.
Karsa, A.F. 2020. Studi Adsorpsi Limbah Caulerpa Lentillifera Terhadap
Methylene Blue. Skripsi. Universitas Pertamina.
Khalik, A. 2015. Analisis Sistem Pengolahan Air Limbah Pada Kelurahan
Kelayan Luar Kawasan IPAL Pekapuran Raya PD PAL Kota
Banjarmasin. Jurnal POROS TEKNIK. Volume 7 No. 1 Juni 2015 : 1-53.
Khatri, N., Tyagi, S., & Rawtani, D. 2017. Recent Strategies For The Removal Of
Iron From Water: A Review. Journal of Water Process Engineering.
Volume 19, Pages 291-304.
Kim, D.S. 2004. Adsorption Characteristic of Fe (II) and Fe (III)-NTA Complex
on Granular Activated Carbon. Journal of Hazardous Materials. EHWA
Womans University, South Korea.
Kocaoba, Sevgi. 2019. Adsorption of Fe (II) and Fe (III) from Aqueous Solution
by Using Sepiolite: Speciation Studies With MINEQL+ Computer
Program. Journal Separation Science and Technology. Turkey.
Konicki, W., Cendrowski, K., Chen, X., & Mijowska, E. 2013. Application of
Hollow Mesoporous Carbon Nanosphere as an High Effective Adsorbent
for the Fast Removal of Acid Dyes from Aqueous Solution. Chemical
Engineering Journal. Polandia.
Kosasih, A.N., Febrianto, J., Sunarso, J., Ju, Y.H., Indraswati, N., & Ismadji, S.
2010. Sequestering of Cu (II) from Aqueous Solution Using Cassava Peel
(Manihot escelenta). Journal Hazard matter.
Lazaratou, C.V., Panagiotaras, D., Panagopulos, G., Pospisil, M., & Papoulis, D.
2020. Ca Treated Palygorskite And Halloysite Clay Minerals For Ferrous
Iron (Fe+2) Removal From Water Systems. Journal Environmental
Technology & Innovation.
Lee, S.P., Ali, G.A.M., & Chong, K.F. 2018. Flake Size-Dependent Adsorption of
Graphane Oxide Aerogol. Journal of Molecular Liquids. Saudi Arabia.
Maneeckhar, P., & Karnjankom, S. 2016. Adsorption Behavior of Fe (II) And Cr
(VI) on Activated Carbon: Surface Chemistry, Isotherm, Kinetic and
Thermodynamic Studies. Journal Of Chemical Thermodynamics.
Mishra, S., & Verma, N. 2016. Surface Ion Imprinting-Mediated Carbon
Nanofiber-Grafted Highly Porous Polymeric Beads: Synthesis and
Application Towards Selective Removal Of Aqueous Pb (II). Chemical
Engineering Journal.
Mudmainah., Anita, S., & Itnawati. 2015. Potensi Arang Aktif Daun Dan Ranting
Akasia (Acacia Mangium Willd) Sebagai Adsorben Terhadap Ion Pb (II).
Jurnal Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Riau.
Nassar, M.M., Ewida, K.T., Ebrahiem, E.E., Magdy, Y.H., & Mheaedi, M.H.
2004. Adsorption of Iron and Manganese Using Low Cost Materials as
Adsorbent. Journal of Environmental Science and Health. Mesir.

63
Nugroho, D. 2013. Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tahu dan Reaktor
Biosand Filter Untuk Menurunkan Kadar Ion Logam Fe 3+ Dan Zn2+ Pada
Industri Galvanis. Skripsi. Jurusan Kimia Universitas Negeri Semarang.
Nugroho, S.C.W. 2017. Kemampuan Serbuk Kulit Salak (Salacca Zalacca)
Dalam Menurunkan Kadar Fe Pada Inlet Limbah Cair Rumah Tangga
IPAL Sewon Bantul. Thesis. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Nurhidayati, I., Mellisani, B., Puspita, F., & Putri, F.A.R. 2022. Penentuan
Isoterm dan Kinetika Adsorpsi Ion Besi oleh Sedimen sebagai Adsorben.
Journal WARTA AKAB. Bogor.
Nurkaromah, A., & Sukandar. 2017. Modifikasi Tanin Dari Biomassa Daun
Akasia (Acacia Mangium Wild) Dengan Cara Polimerisasi Sebagai
Biosorben Untuk Logam Pb (II). Journal of Env. Engineering & Waste
Management. Vol. 2, No. 2.
Nurmanita, Ullan. 2019. Efektivitas Adsorben Dari Ampas Kopi Dalam
Pengolahan Limbah Cair Berwarna. Skripsi. Sarjana, Fakultas Teknologi
Industri, Institut Teknologi Nasional Bandung.
Nurulita, Ulfah. 2020. Pengaruh Aktivasi dan Waktu Aktivasi Spent Bleaching
Earth (SBE) sebagai Adsorben pada Proses Adsorpsi Ion Logam Cu 2+.
Skripsi. Universitas Riau.
Obike, A.I., Igwe, J.C., Emeruwa, C.N., Uwakwe, K.J. 2018. Equilibrium and
Kinetic Studies of Cu (II), Cd (II), Pb (II) and Fe (II) Adsorption from
Aqueous Solution Using Cocoa (Theobroma cacao) Pod Husk. Journal
Application Science Environmental Management. Nigeria.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup.
Pranaridho, F.D., & Renaldo. 2018. Pengaruh Debit Udara dan Rasio Massa
Karbon Dengan Slurry Terhadap Proses Adsorpsi Logam Fe3+. Skripsi.
Diploma, Program Studi Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung.
Prizlanto, G., & Rochardjo, H.S.B. 2014. Pembuatan Nanofiber Serat Rami
(Bohmeria nivea) dengan Metode Semi mekanis. Jurnal Universitas
Gadjah Mada.
Raziah, C., Putri, Z., Lubis, A.R., Sofyana., Zuhra., Suhendrayatna., Mulyati, S.
2017. Penurunan Kadar Logam dalam Air Kadmium Menggunakan
Adsorben Zeolit Alam Aceh. Jurnal Teknik Kimia USU. Sumatera Utara.
Salmariza, Sy., Kurniawati, D., Lestari,, I., Harmiwati, H., & Kasman, M. 2018.
Pengaruh pH dan Dosis Adsorben dari Limbah Lumpur Aktif Industri
Crumb Rubber Terhadap Kapasitas Penyerapan Ion Cd (II) dan Zn (II).
Jurnal Litbang Industri. Padang.
Sembiring, M., & Sinaga, T. 2003. Arang Aktif (Pengenalan dan Proses
Pembuatannya). USU Digital Library. Sumatera Utara.
Setiawan, A.A., Shofiyani, A., & Syahbanu, I. 2017. Pemanfaatan Limbah Daun
Nanas (Ananas Comosus) Sebagai Bahan Dasar Arang Aktif Untuk
Adsorpsi Fe (II). Jurnal Kimia Khatulistiwa. Vol 6(3), halaman 66-74.

64
Shavandi, M.A., Haddadian, Z., Ismail, M.H.S., Abdullah, N., & Abidin, Z.Z.
2012. Removal of Fe (III), Mn (II) and Zn( II) from Palm Oil Mill Effluent
(POME) by Natural Zeolite. Journal of the Taiwan Institute of Chemical
Engineers. 43, 750-759.
Shukla, S.R., Pai, R.S., & Shendarkar, A.D. 2006. Adsorption of Ni (II), Zn (II)
and Fe (II) on Modified Coir Fibers. Journal Separation and Purification
Technology.
Sianipar, L.D., Zaharah, T.A., & Syahbanu, I. 2016. Adsorpsi Fe (II) dengan
Arang Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) Teraktivasi Asam
Klorida. Jurnal Kimia Khatulistiwa. Vol 5(2), halaman 50-59.
Sirajuddin., & Harjanto. Pengaruh Ukuran Adsorben dan Waktu Adsorpsi
Terhadap Penurunan Kadar COD pada Limbah Cair Tahu Menggunakan
Arang Aktif Tempurung Kelapa. Jurnal Prosiding Seminar Hasil
Penelitian (SNP2M).
Siwi, D.Y. 2020. Penentuan Kinetika Adsorpsi Pada Logam Timbal (Pb)
Menggunakan Adsorben Biomassa Hydrilla Verticillata Termodifikasi
Asam Sitrat. Skripsi. UIN Maulana Malik Ibrahim.
Subramani, B.S., Shrihari, S., Manu, B., & Babunarayan, K.S. 2019. Evaluation
of Pyrolyzed Areca Husk as a Potential Adsorbent for the Removal of Fe 2+
Ions from Aqueous Solution. Journal of Environmental Management.
India.
Sulendra, S., Suryantini., & Wulandari, R.S. 2017. Ketahanan Semai Akasia
(Acacia Mangium) Pada Variasi Umur Terhadap Infeksi Ganoderma Spp.
Jurnal Hutan Lestari. Vol. 5 (3) : 653 – 658.
Supriyantini, E., & Endrawati, H. 2015. Kandungan Logam Berat Besi (Fe) Pada
Air, Sedimen, Dan Kerang Hijau (Perna viridis) Di Perairan Tanjung
Emas Semarang. Jurnal Kelautan Tropis. Vol. 18 (1):38–45.
Syauqiah, I., Amalia, M., & Kartini, H.I. 2011. Analisis Variasi Waktu dan
Kecepatan Pengaduk Pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat dengan
Arang Aktif. INFO TEKNIK. Volume 12 No. 1.
Syarief, 2010. Pengaruh Konsentrasi Adsorbat, Temperatur dan Tegangan
Permukaan Pada Proses Adsorpsi Gliserol Oleh Alumina. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret.
Sylvia, N., Wijaya, Y.A., Masrulitta., & Safriwardy, F. 2021. Efektivitas Karbon
Aktif Kulit Singkong (Manihot esculentas craniz) Terhadap Adsorpsi Ion
Logam Fe2+ dengan Aktivator NaOH. Jurnal Teknologi Kimia UNIMAL.
Aceh Utara.
Taufiqurrahman, R. 2022. Adsorpsi Ion Fe Dalam Air Menggunakan Zeolit Dari
POFA. Skripsi. Universitas Riau.
Tuas, M.A. 2018. Penurunan Kadar Logam Tembaga dan Besi Pada Limbah Cair
Industri Perhiasan Emas Menggunakan Karbon Aktif Melalui Proses
Presipitasi dan Adsorpsi. Tesis. Environmental Engineering Departemen
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Tuzen, M., Sari, A., & Saleh, T.A. 2020. Synthesis, Characterization And
Evaluation Of Carbon Nanofiber Modified-Polymer For ultra-Removal

65
Of Thorium Ions From Aquatic Media. Journal Chemical Engineering
Research and Design. 163 (2020) 76–84.
Umanigrum, D., Santoso, U.T., Nurmasari, R., & Yunus, R. 2010. Kinetika
Adsorpsi Pb (II), Cd (II) dan Cr (III) pada Adsorben Produk Pengikatan-
Silang Terproteksi Asam Humat/Kitosan. Indo. Journal Chemical. 10
(1), 80 – 87.Zat Warna Naphthol-As dan Naphthol-As.G. Skripsi. FKIP
Universitas Bengkulu.
Vasu, A. E. 2008. Adsorption of Ni (II), Cu (II) and Fe (III) From Aqueous
Solution Using Activated Carbon. Journal of Chemistry. India.
Wahyuningrum., Afrinda., Lutfi, M., Nyoman, I., & Chandra. 2016.
Perbandingan Arang Aktif Tempurung Kelapa Sawit dan Serbuk Gergaji
Kayu Sebagai Adsorben. Tesis. Universitas Bengkulu.
Wang, K., Song, Y., Yan, R., Zhao, N., Tian, X., Li, X., Guo, Q., & Liu, Z. 2017.
High Capacitive Performance Of Hollow Activated Carbon Fibers
Derived From Willow Catkins. Journal Institute of Coal Chemistry
Chinese Academy of Sciences.
Wijayanti, I.E., & Kurniawati, E.A. 2019. Studi Kinetika Adsorpsi Isoterm
Persamaan Langmuir dan Freundlich pada Abu Gosok Sebagai
Adsorben”. Jurnal Kimia dan Pendidikan. Vol.4, No.2, 2019.
Winata, B. Y., Erliyanti, N. K., Yogaswara, R. R., & Saputro, E. A. 2020. Pra
Perancangan Pabrik Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dengan Proses
Aktivasi Kimia pada Kapasitas 20.000 ton/tahun. Jurnal Teknik ITS.
Jawa Timur.
Xiong, W., Tong, J., Yang, Z., Zeng, G., Zhou, Y., Wang, D., Song, P. Zhang, C.,
& Cheng, M. 2017. Adsorption Of Phosphate From Aqueous Solution
Using Iron-Zirconium Modified Activated Carbon Nanofiber:
Performance and Mechanism. Journal of Colloid and Interface Science.
493 (2017) 17–23.

66
LAMPIRAN 1
PERHITUNGAN

1. Perhitungan Pembuatan Larutan


1.1 Pembuatan Larutan Sampel FeSO4.7H2O
Tabel 1 Pengenceran Larutan Sampel FeSO4.7H2O
Volume Larutan
No Larutan Konsentrasi (mg/L)
(Pengenceran ke-200 ml)
1 FeSO4.7H2O 5 25 ml
2 FeSO4.7H2O 10 50 ml
3 FeSO4.7H2O 15 75 ml
4 FeSO4.7H2O 20 100 ml
5 FeSO4.7H2O 25 125 ml
6 FeSO4.7H2O 30 150 ml
7 FeSO4.7H2O 35 175 ml
8 FeSO4.7H2O 40 200 ml
Sumber: Perhitungan Tugas Akhir Endang Sri Winih 2022
Larutan sampel akan dibuat pada konsentrasi 5 ppm dengan rumus:
V1 × N1 = V2 × N2
V1 × 40 ppm = 200 ml × 5 ppm
V1 = 25 ml
Jadi, diambil larutan sampel Fe sebanyak 25 ml lalu diencerkan dengan
aquades sampai volumenya 200 ml.

2. Perhitungan Efisiensi Penyisihan dan Kapasitas Adsorpsi

2.1 Perhitungan Efisiensi Penyisihan dan Kapasitas Adsorpsi Variasi Dosis


Tabel 2 Perhitungan Efisiensi Penyisihan dan Kapasitas Adsorpsi
Variasi Dosis Adsorben
Dosis Konsentrasi Konsentrasi Efisiensi Kapasitas
Adsorben awal (Cin) akhir (Cout) Penyisihan (%R) Adsorpsi
(gr/L) (mg/L) (mg/L) (%) (mg/g)
1 10 0,177 97,92 8,324
1.5 10 0,082 99,04 5,612
2 10 0,085 99,01 4,208
2.5 10 0,061 99,29 3,376
3 10 0,027 99,68 2,824
Sumber: Perhitungan Tugas Akhir Endang Sri Winih 2022

68
Perhitungan persentase efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi logam besi
(Fe2+) pada pH 5, kecepatan pengadukan 120 rpm, ukuran adsorben 60 mesh,
waktu pengadukan 120 menit, volume 100 ml dan dosis 1 gr/L.
( C¿ −C out ) mg/ L
Efisiensi penyisihan logam besi (Fe2+) = ×100 %
C out
( 8.5−0,177 ) mg/ L
= ×100 %
8,5
= 97,92%
( C¿ −C out ) ×V
Kapasitas adsorpsi logam besi (Fe2+) =
m
( 8 , 5−0,177 ) mg/ L
×0 , 1 L
= L
0,1g
= 8,324 mg/g

2.2 Perhitungan Efisiensi Penyisihan dan Kapasitas Adsorpsi Variasi Waktu


Kontak
Tabel 3 Perhitungan Efisiensi Penyisihan dan Kapasitas Adsorpsi
Variasi Waktu Kontak
Waktu Konsentrasi Konsentrasi Efisiensi Kapasitas
kontak awal (Cin) akhir (Cout) Penyisihan (%R) Adsorpsi
(menit) (mg/L) (mg/L) (%) (mg/g)
10 10 0,888 89,56 2,54
30 10 0,379 95,54 2,71
60 10 0,068 99,21 2,81
90 10 0,106 98,75 2,80
120 10 0,120 98,59 2,79
180 10 0,143 98,32 2,79
Sumber: Perhitungan Tugas Akhir Endang Sri Winih 2022
Perhitungan persentase efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi logam besi
(Fe2+) pada pH 5, kecepatan pengadukan 120 rpm, ukuran adsorben 60 mesh,
volume 100 ml, dosis 3 gr/L dan waktu pengadukan 10 menit .
( C¿ −C out ) mg/ L
Efisiensi penyisihan logam besi (Fe2+) = ×100 %
C out
( 8 ,5−0,888 ) mg/ L
= ×100 %
8,5

69
= 89,56%
( C¿ −C out ) ×V
Kapasitas adsorpsi logam besi (Fe2+) =
m
( 8 ,5−0,888 ) × 0 ,1 L
=
0,3g
= 2,54 mg/g

2.3 Perhitungan Efisiensi Penyisihan dan Kapasitas Adsorpsi Variasi


Konsentrasi Awal
Tabel 4 Perhitungan Efisiensi Penyisihan dan Kapasitas Adsorpsi
Variasi Konsentrasi Awal
Konsentrasi
Waktu Konsentrasi Efisiensi Kapasitas
awal (Cin)
kontak akhir (Cout) Penyisihan (%R) Adsorpsi
(mg/L)
(menit) (mg/L) (%) (mg/g)

5 0,012 99,75 1,530


10 0,026 99,69 2,725
15 0,190 98,47 4,070
20 0,268 98,36 5,344
60
25 0,588 97,41 7,371
30 1,330 94,59 7,757
35 2,831 90,47 8,956
40 4,824 85,02 9,125
Sumber: Perhitungan Tugas Akhir Endang Sri Winih 2022
Perhitungan persentase efisiensi penyisihan dan kapasitas adsorpsi logam besi
(Fe2+) pada pH 5, kecepatan pengadukan 120 rpm, ukuran adsorben 60 mesh,
volume 100 ml, dosis 3 gr/L dan konsentrasi awal 4,6 mg/L.
( C¿ −C out ) mg/ L
Efisiensi penyisihan logam besi (Fe2+) = ×100 %
C out
( 4 ,6−0,012 ) mg/ L
= ×100 %
4 ,6
= 99,75%
( C¿ −C out ) ×V
Kapasitas adsorpsi logam besi (Fe2+) =
m
= ¿¿
= 1,530 mg/g

70
3. Perhitungan Kinetika dan Isoterm Adsorpsi
3.1 Penentuan Kinetika Adsorpsi
a. Pseudo First Orde

Tabel 5 Data Percobaan Adsorpsi Variasi Waktu Kontak


Waktu (t) Ci(mg/L) Ce(mg/L) qe(mg/g) qt(mg/g)
10 10 0,888 2,81 2,54
30 10 0,379 2,81 2,71
60 10 0,068 2,81 2,81
90 10 0,106 2,81 2,80
120 10 0,120 2,81 2,79
180 10 0,143 2,81 2,79

1. Menghitung Log(qe-qt)
log ( qe−qt ) = log ( 2 , 81−2 , 54 ) = -0,56
Tabel 6 Data nilai log(qe-qt)
waktu (t) Ci(mg/L) Ce(mg/L) qe(mg/g) qt(mg/g) log(qe-qt)
10 10 0,888 2,81 2,54 -0,56
30 10 0,379 2,81 2,71 -0,98
60 10 0,068 2,81 2,81
90 10 0,106 2,81 2,80 -1,89
120 10 0,120 2,81 2,79 -1,68
180 10 0,143 2,81 2,79 -1,68

2. Plot log(qe-qt) sebagai fungsi dari t ke dalam grafik sehingga:

71
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
-0.20
-0.40
-0.60
Log (qe-qt)

-0.80
-1.00 f(x) = − 0.00659984241537091 x − 0.792636273482656
R² = 0.651267491646481
-1.20
-1.40
-1.60
-1.80
-2.00
waktu (t)

Dari grafik didapatkan persamaan y = -0,006x – 0,792, sehingga diperoleh


nilai slope = -0,793 dan intercept = -0,007
3. Menghitung nilai kapasitas adsorpsi maksimum, qe (mg/g)
qe = antilog of intercept
qe = 10-0,793
qe = 0,161
4. Menghitung nilai konstanta kesetimbangan adsorpsi, K1
K1 = ( 2.303 × slope )
= ( 2.303 ×0.007 )
= 0,0152
b. Pseudo second orde
1. Menghitung t/qt
t 10
= = 3,94
qt 2 ,54
Tabel 7 Data nilai qt dan t/qt
waktu (t) Ce qt(mg/g) t/qt
10 0,888 2,54 3,94
30 0,379 2,71 11,08
60 0,068 2,81 21,35
90 0,106 2,80 32,17
120 0,120 2,79 42,96

72
180 0,143 2,79 64,62

2. Plot t/qt sebagai fungsi dari t ke dalam grafik sehingga:


80.00

70.00

60.00 f(x) = 0.360624785246976 x + 0.0275101471401555


R² = 0.999737481614532
50.00

40.00
t/qt

30.00

20.00

10.00

0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
waktu (t)

Dari grafik diperoleh persamaan y = 0,360x + 0,027, sehingga diperoleh


nilai intercept = 0,028 dan slope = 0,361
3. Menghitung nilai kapasitas adsorpsi maksimum, qe (mg/g)
1
qe =
slope
1
qe =
0,357
qe = 2,803
4. Menghitung nilai konstanta kesetimbangan adsorpsi, K2
1
K2 =
( intercept x qe 2 )
1
K2 =
( 0,215 x 2,8032 )
K2 = 0,593

3.2 Penentuan Isoterm Adsorpsi

73
a. Isoterm Langmuir
Tabel 8 Data Percobaan Adsorpsi Variasi
Konsentrasi Awal
Ci(mg/L) Ce(mg/L) Qe(mg/g)
5 0,012 1,530
10 0,026 2,892
15 0,190 4,070
20 0,268 5,344
25 0,588 7,371
30 1,330 7,757
35 2,831 8,956
40 4,824 9,125

1. Menghitung Ce/Qe
Ce 0,012
= = 0,008
Qe 1 ,53
Tabel 9 Data nilai Ce/Qe

Ci(mg/L) Ce(mg/L) Qe(mg/g) Ce/qe


5 0,012 1,530 0,008
10 0,026 2,892 0,009
15 0,190 4,070 0,047
20 0,268 5,344 0,050
25 0,588 7,371 0,080
30 1,330 7,757 0,171
35 2,831 8,956 0,316
40 4,824 9,125 0,529

2. Plot Ce/Qe sebagai fungsi dari Ce ke dalam grafik sehingga:

74
0.600

0.500 f(x) = 0.106545209065358 x + 0.0171206092408553


R² = 0.997862302570566

0.400
Ce/Qe

0.300

0.200

0.100

0.000
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0
Ce (mg/L)

Dari grafik didapatkan persamaan y = 0,106x + 0,017, sehingga diperoleh


nilai slope = 0,107 dan intercept = 0,017
3. Menghitung nilai kapasitas adsorpsi maksimum, qm (mg/g)
1
qm =
slope
1
qm =
0,107
qm = 9,383
4. Menghitung nilai konstanta kesetimbangan adsorpsi, KL (L/mg)
1
KL =
qm ×intercept
1
KL =
9,386 ×0.017
KL = 6,264
b. Isoterm Freundlich
1. Menghitung nilai log qe dan log Ce
Tabel 10 Data nilai Log qe dan Log Ce
Ci(mg/L) Ce(mg/L) Qe(mg/g) Log Ce Log Qe
4,6 0,012 1,53 -1,94 0,18

75
Ci(mg/L) Ce(mg/L) Qe(mg/g) Log Ce Log Qe
8,7 0,026 2,89 -1,59 0,46
12,4 0,190 4,07 -0,72 0,61
16,3 0,268 5,34 -0,57 0,73
22,7 0,588 7,37 -0,23 0,87
24,6 1,330 7,76 0,12 0,89
29,7 2,831 8,96 0,45 0,95
32,2 4,824 9,13 0,68 0,96

2. Plot Log qe sebagai fungsi dari Log Ce ke dalam grafik sehingga:

1.10
1.00
f(x) = 0.284519664727403 x + 0.841651894591079
R² = 0.935166688110622 0.90
0.80
0.70
Log Qe

0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
-2.20 -1.70 -1.20 -0.70 -0.20 0.30 0.80
Log Ce

dari grafik didapatkan persamaan y = 0,284x + 0,841, dengan slope =


0,285 dan intercept = 0,842
3. Menghitung nilai n
1
n=
slope
1
n=
0,285
n = 3,515
4. Menghitung nilai konstanta kesetimbangan adsorpsi KF
KF = antilogintercept
KF = 6,945

76
3.3 Energi Adsorpsi
Menghitung energi adsorpsi dengan nilai konstanta kesetimbangan Langmuir:
R : Ketetapan gas ideal (8,314 J/Kmol)
T : Temperatur (K)
K : Konstanta kesetimbangan
K :( MW × 55 ,5 ×1000 × K L )
K : ( 56 ×55 , 5 ×1000 ×6.945 )
Energi adsorpsi=R ×T × lnK

Energi adsorpsi=8,314 ( Kmol


J
) ×300.15 K ×16,784
= 41.884,532 J/mol
= 41,88 KJ/mol

77
LAMPIRAN 2
PROSEDUR ANALISIS BESI (Fe)
Sumber: SNI 6989.4-2009

1. Prinsip
Analit logam besi dalam nyala udara asetilen diubah menjadi bentuk
atomnya, menyerap energi radiasi elektromagnetik yang berasal dari lampu katoda
dan besarnya serapan berbanding lurus dengan kadar analit.

2. Alat
a. Spektrofotometer serapan atom (SSA)
b. Lampu katoda berongga
c. Gelas piala 100 mL dan 250 mL
d. Pipet volumetrik 10 mL dan 50 mL
e. Labu ukur 50 mL, 100 mL dan 1000 mL
f. Erlenmeyer 100 mL
g. Corong gelas
h. Kaca arloji
i. Pemanas listrik
j. Seperangkat alat saring vakum
k. Saringan membran dengan ukuran pori 0,45 µm
3. Bahan
a. Air bebas mineral
b. Asam nitrat (HNO3) pekat
c. Larutan standar besi (Fe)
d. Gas etilen (C2H2)
e. Larutan pengencer HNO3 0,005 M
f. Larutan pencuci HNO3 5%
g. Larutan kalsium
h. Udara tekan

77
4. Pengawetan Contoh Uji
Bila contoh uji tidak dapat segera dianalisa, maka contoh uji diawetkan
dengan penambahan HNO3 sampai pH kurang dari 2 dengan waktu penyimpanan
maksimal 6 bulan.
5. Persiapan Contoh Uji Besi
a. homogenkan contoh uji, pipet 50 ml contoh uji ke dalam gelas piala 100
mL atau Erlenmeyer 100 ml
b. tambahkan 5 ml HNO3 pekat, bila menggunakan gelas piala, tutup
dengan kaca arloji dan bila dengan Erlenmeyer gunakan corong sebagai
penutup
c. panaskan perlahan-lahan sampai sisa volumenya 15 ml-20 ml
d. jika destruksi belum sempurna (tidak jernih), maka tambahkan lagi 5 ml
HNO3 pekat, kemudian tutup gelas piala dengan kaca arloji atau tutup
Erlenmeyer dengan corong dan panaskan lagi (tidak mendidih).
Lakukan proses ini secara berulang sampai semua logam larut, yang
terlihat dari warna endapan dalam contoh uji menjadi agak putih atau
contoh uji menjadi jernih
e. bilas kaca arloji dan masukkan air bilasannya ke dalam gelas piala
f. pindahkan contoh uji masing-masing ke dalam labu ukur 50 ml (saring
bila perlu) dan tambahkan air bebas mineral sampai tepat tanda tera dan
dihomogenkan
6. Pembuatan larutan baku logam besi (Fe) 100 mg/L
a. Pipet 10 mL larutan induk logam besi, Fe 1000 mg/L ke dalam labu
ukur 100 mL
b. Tepatkan dengan larutan pengencer sampai tanda tera
7. Prosedur dan Pembuatan Kurva Kalibrasi
a. Optimalkan alat SSA sesuai petunjuk penggunaan alat
b. Ukur masing-masing larutan kerja yang telah dibuat pada panjang
gelombang 248,3 nm

78
c. Buat kurva kalibrasi untuk mendapatkan persamaan garis regresi
d. Lanjutkan dengan pengukuran contoh uji yang sudah dipersiapkan
8. Perhitungan
Konsentrasi logam besi, Fe (mg/L) = C × fp
Dengan pengertian:
C = konsentrasi yang didapat dari hasil pengukuran (mg/L)
fp = faktor pengenceran persen temu balik (%Recovery, %)
A−B ×100 %
%R=
C
Dengan pengertian:
A = kadar contoh uji yang di spike
B = kadar contoh uji yang tidak di spike
C = kadar standar yang diperoleh (target value)

79
LAMPIRAN 3
BAKU MUTU AIR LIMBAH

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun


2014 tentang Baku Mutu Air Limbah pada Lampiran XXX tentang Baku Mutu
Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Industri Asam Tereftalat (PTA),
Lampiran XLIV tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Lampiran XLVII tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Belum Memiliki Baku Mutu Air
Limbah yang ditetapkan.
Tabel 11 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan
Industri Asam Tereftalat (PTA)
Parameter Satuan Kadar paling tinggi
pH 6-9
BOD mg/l 150
COD mg/l 300
TSS mg/l 100
Minyak dan Lemak mg/l 15
Fenol mg/l 1
Mangan Terlarut (Mn) mg/l 3
Cobalt (Co) mg/l 1
Besi Terlarut (Fe) mg/l 7
Kuantitas Air Limbah Paling Tinggi m3/ton produk 4,5

Tabel 12 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan


Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Konsentrasi Paling Tinggi
Parameter
Nilai Satuan
Kimia
pH 6-9
Besi terlarut (Fe) 5 mg/L
Mangan terlarut (Mn) 2 mg/L
Barium (Ba) 2 mg/L
Tembaga (Cu) 2 mg/L
Seng (Zn) 5 mg/L
Krom valensi enam (Cr6+) 0,1 mg/L
Krom total (Cr) 0,5 mg/L
Kadmium (Cd) 0,05 mg/L
Merkuri (Hg) 0,002 mg/L
Timbal (Pb) 0,1 mg/L
Stanum (Sn) 2 mg/L
Arsen (As) 0,1 mg/L

80
Konsentrasi Paling Tinggi
Parameter
Nilai Satuan
Selenium (Se) 0,05 mg/L
Nikel (Ni) 0,2 mg/L
Kobalt (Co) 0,4 mg/L
Sianida (Cn) 0,05 mg/L
Sulfida (S=) 0,05 mg/L
Flourida (F-) 2 mg/L
Klorin bebas (Cl2) 1 mg/L
Amoniak bebas (NH3-N) 1 mg/L
Nitrat (NO3-N) 20 mg/L
Nitrit (NO2-N) 1 mg/L
Senyawa aktif biru metilen 5 mg/L
(MBAS)
Fenol 0,5 mg/L
AOX 0,5 mg/L
PCBS 0,005 mg/L
PCDS 10 mg/L
PCDDS 10 mg/L

Tabel 13 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Belum
Memiliki Baku Mutu Air Limbah yang ditetapkan
GOLONGAN
Parameter Satuan
I II
o
Temperatur C 38 40
Zat padat larut (TDS) mg/L 2000 4000
Zat padat suspensi (TSS) mg/L 200 400
pH mg/L 6-9 6-9
Besi terlarut (Fe) mg/L 5 10
Mangan terlarut (Mn) mg/L 2 5
Barium (Ba) mg/L 2 3
Tembaga (Cu) mg/L 2 3
Seng (Zn) mg/L 5 10
Krom valensi enam (Cr6+) mg/L 0,1 0,5
Krom total (Cr) mg/L 0,5 1
Kadmium (Cd) mg/L 0,05 0,1
Merkuri (Hg) mg/L 0,002 0,005
Timbal (Pb) mg/L 0,1 1
Stanum (Sn) mg/L 2 3
Arsen (As) mg/L 0,1 0,5
Selenium (Se) mg/L 0,05 0,5
Nikel (Ni) mg/L 0,2 0,5
Kobalt (Co) mg/L 0,4 0,6
Sianida (Cn) mg/L 0,05 0,5
Sulfida (S=) mg/L 0,5 1
Flourida (F-) mg/L 2 3
Klorin bebas (Cl2) mg/L 1 2
Amoniak bebas (NH3-N) mg/L 5 10

81
Nitrat (NO3-N) mg/L 20 30
Nitrit (NO2-N) mg/L 1 3
Total Nitrogen mg/L 30 60
BOD5 mg/L 50 150
COD mg/L 100 300
Senyawa aktif biru metilen mg/L 5 10
Fenol mg/L 0,5 1
Minyak & lemak mg/L 10 20
Total Bakteri Koliform MPN/100 mL 1000

82
LAMPIRAN 4
HASIL ANALISIS

4.1 Pengujian Logam Fe untuk Variasi Dosis Adsorben

83
4.2 Pengujian Logam Fe untuk Variasi Waktu Kontak

84
4.3 Pengujian Logam Fe untuk Variasi Konsentrasi Awal

85
86
LAMPIRAN 5
DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 4.1 Limbah Gambar 4.2 Serbuk Daun


Daun Akasia Akasia Setelah Penghancuran

87
Gambar 4.4 Aktivasi
Fisika

Gambar 4.3 Aktivasi


Kimia

88
Gambar 4.5 Karbon Aktif Gambar 4.6 Penimbangan
Hollow Carbon Fiber Akasia Karbon Aktif Hollow Carbon
Fiber Akasia

89
Gambar 4.7 Pengaturan pH Gambar 4.9 Proses Adsorpsi
Larutan Sampel Akasia dengan Variasi Dosis
Adsorben

90
Gambar 4.10 Proses Gambar 4.11 Proses
Adsorpsi dengan Variasi Adsorpsi dengan Variasi
Waktu Kontak Konsentrasi Awal

91
Gambar 4.12 Proses Gambar 4.13 Proses
Pengendapan Setelah Proses Penyaringan
Pengadukan

92
Gambar 4.14 Proses Gambar 4.15 Sampel Hasil
Pengukuran pH setelah Pengolahan
penyaringan

93

Anda mungkin juga menyukai