Anda di halaman 1dari 4

Nama : Azis Irwansyah

Kelas :X.E.1
Tugas : Hikayat

Hikayat Negeri Jambi: Struktur dan Sumber


Naskah Kesejarahan Melayu Abad XIX
(Bagian I)
Silsilah Raja-Raja Jambi

Oleh: Sergei Kukushkin*

Wilayah di timur Sumatera yang sekarang dinamakan Jambi mempunyai sejarah yang
kaya. Pada masa permulaan kerajaan Hindu, Jambi menjadi kesultanan yang makmur dan
kuat, secara bertahap jatuh di bawah kontrol orang Eropa, dan sekarang menjadi bagian
dari negara Indonesia.

Mengenai awal mula Jambi, kita tidak banyak tahu. Namun demikian, periode
semenjak abad XVII dan seterusnya digambarkan secara detail dalam beberapa kajian2
yang terutama merujuk pada sumber-sumber Eropa. Naskah kesejarahan berbahasa
Melayu yang berasal dari Jambi terbilang langka. Naskah-naskah tersebut disusun pada
paruh kedua abad XIX. Berdasarkan standar historiografi modern, sebagian besar
informasi yang tercantum di dalamnya sangat dapat digolongkan sebagai sejarah.

Pada saat yang sama, naskah-naskah tersebut menyediakan kesempatan unik:


memungkinkan kita untuk mengamati sejarah Jambi melalui pandangan cendekiawan
lokal yang hidup pada abad XIX yang percaya bahwa catatannya atas berbagai peristiwa
merupakan kebenaran, persis seperti pendirian sarjana modern saat membuat rekonstruksi
sejarah yang terutama didasarkan atas sumber-sumber Eropa. Rujukan cendekiawan
Melayu tradisional beraneka ragam, termasuk Al-Qur-an dan al-Sunnah, yakni sumber
pengetahuan tertinggi dalam agama Islam. Untuk menciptakan pola narasi historis, ia
menggunakan naskah Melayu atau naskah asing3 sebagai model. Ia juga menggunakan
tradisi lokal sebagai sumber informasi yang relevan.

Salah satu naskah kesejarahan itu adalah Hikayat Negeri Jambi4 (selanjutnya disingkat
HNJ). HNJ adalah naskah yang paling konsisten memuat, dan sepenuhnya merupakan
sebuah, narasi historis Melayu. HNJ menarasikan sejarah kesultanan sejak awal hingga
akhir, atau sejak penguasa pertama bertahta hingga masa penulisan naskah tersebut. Ada
dua manuskrip HNJ: Leiden Cod. Or. 2013 dan Cod. Or. 12182. Keduanya adalah naskah
asli yang ditulis pada paruh kedua abad XIX. Saat itu, Belanda telah menguasai Jambi,
memaksa Sultan melarikan diri dari ibu kota, dan mengangkat salah satu anggota
keluarganya sebagai penguasa boneka.

Sebagaimana Sejarah Melayu, yang ditulis setelah kejatuhan Malaka untuk


mengabadikan kebesaran sejarah kerajaan itu bagi kepentingan generasi mendatang dan
untuk menjelaskan proses kehancurannya, HNJ mencerminkan pandangan dan sikap
penyusunnya terhadap sejarah Jambi kerajaan yang bersaing dengan lawan yang kuat
tetapi seimbang, yaitu Johor dan Palembang yang pada akhirnya jatuh ke tangan orang-
orang Eropa.

Berdasarkan tokoh-tokoh utamanya dan hubugan mereka dengan alam dan politik,
HNJ dapat dibagi menjadi beberapa bagian: Hikayat Tun Telanai5, Hikayat Orang Kaya
Hitam, dan Hikayat Pangeran Rengas Pendek. Setelah akhir bagian ketiga, masih ada dua
bagian lanjutan, yang disebut fasal dan diberi nomor 4 dan 5 (bagian ketiga juga disebut
fasal, tetapi tanpa nomor).

Dalam artikel ini, kami hanya akan mengkaji tiga bagian pertama dan permulaan fasal
keempat saja yang tampaknya menjelaskan periode awal sejarah Jambi. Pada periode ini,
kita tidak mempunyai dekomentasi apa pun. Jadi, satu-satunya hal yang dapat kita
rekonstruksi adalah gagasan sejarah lokal yang tersimpan dalam kepala pengarang HNJ
ketika ia menulis naskah itu. Dalam masyarakat yang pada dasarnya tidak akrab dengan
tradisi tulis, ingatan kolektif masyarakat ditransmisikan secara lisan, dan pengarang HNJ
mesti menggunakan cerita rakyat dan legenda lokal (sebagai sumber rujukan untuk
menulis naskah tersebut). Di bawah ini saya akan menunjukkan bagaimana dalam HNJ
sumber lisan digunakan dan diorganisir menurut gagasan tertentu.

Bagian pertama bercerita tentang negeri asal yang dikuasai Tun Telanai. Nama tokoh
ini tidak dikenal dalam literatur Melayu.6 Kerajaannya terletak di dekat muara sungai,
dan disebutkan bahwa kerajaan itu masih ada bekasnya di sana. Tun Telanai dibantu lima
hulubalang: Si Kentang Perak, Si Mata Empat, Si Pahit Lidah, Si Tajam Burit, dan Si
Tahi Mata. Tentang cikal-bakal nama kerajaan itu, diceritakan bahwa: Tun Telanai
memerintahkan Si Pahit Lidah untuk menggali terusan yang membentang dari ibu kota
sampai ke laut. Tugas tersebut diselesaikan dalam waktu empat “jam”. Karena inilah
kerajaan itu dinamai Jam-bi.

Tun Telanai awalnya tidak punya anak. Setelah jampi-jampi dukun ternyata gagal
membuat istrinya hamil, ia berdoa kepada dewa mohon diberi keturunan. Ada peramal
yang memperingatkan Tun Telanai bahwa anaknya kelak akan membunuhnya. Setelah
anak itu lahir, Tun Telanai memerintahkan agar anak itu dimasukkan ke dalam peti yang
akan dibuang ke laut. Akan tetapi, anak itu selamat, dan diadopsi oleh raja-ratu kerajaan
Siam sebagai putra mereka. Ia dibesarkan layaknya putra kandung mereka sendiri.
Namun, ketika bermain bersama anak-anak menteri dan pegawai kerajaan lainnya, putera
Tun Telanai itu menunjukkan kekuatan yang dahsyat dan karakter yang membahayakan.
Saat dewasa, ia ingin menyelidiki asal-asulnya. Diiringi tentara Siam, ia7 pun pergi ke
Jambi. Tapi ternyata Tun Telanai menolak mengakuinya sebagai anak. Selanjutnya
pecahlah pertempuran antara Tun Telanai dan putranya. Tidak ada yang menang. Melihat
hal ini, Tun Telanai memutuskan bahwa salah satu di antara mereka harus kalah agar
pertempuran berakhir. Ia pun memberi petunjuk kepada anaknya bagaimana cara untuk
membunuhnya. Setelah membunuh ayahnya, putra Tun Telanai membawa seluruh rakyat
ke Siam, meninggalkan kerajaan itu. Seiring bergulirnya waktu, kerajaan itu berubah
menjadi hutan belantara. Inilah akhir dari Hikayat Tun Telanai.

Bagian HNJ berikutnya, Hikayat Orang Kaya Hitam, bermula dengan kisah seorang
pangeran Turki, Datuk Paduka Berhala. Bangkai kapalnya ada di pulau Berhala yang
terletak antara pulau Singkep dan muara Batang Hari. Di sana ia membangun
pemukiman, dan pergi ke Palembang untuk menikah dengan anak perempuan Demang
Lebar Daun. Setelah Datuk Paduka Berhala wafat, anaknya, yaitu Datuk Paduka Ningsun
melaksanakan wasiat ayahnya untuk membangun pemukiman baru di Ujung Jabung (kini
Tanjung Jabung) yang berlokasi di wilayah daratan. Berdasarkan wasiat ayahnya pula,
Datuk Paduka Ningsun mulai menyerahkan upeti tahunan kepada kerajaan Mataram
Jawa. Ketika ia wafat, anak sulungnya, yaitu Orang Kaya Hitam menjadi pengusa baru
dan memindahkan ibu kota serta seluruh rakyatnya lebih ke hulu, ke Muara Simpang.

Orang Kaya Hitam berhenti mengirim upeti ke Mataram dan menerima surat murka
dari raja Jawa. Dengan menyamar, Orang Kaya Hitam serta dua saudaranya pergi ke
Mataram. Di sana mereka mendapatkan keris sakti.8 Sekembalinya dari Jawa, Orang
Kaya Hitam menaklukkan seluruh kampung yang terletak di hulu sungai Batang Hari
hingga Muara Tembesi. Lantaran Orang Kaya Hitam tidak punya anak, maka setelah ia
wafat kerajaan itu diperintah oleh saudara-saudaranya. Salah satu dari mereka, Orang
Kaya Mamak, pergi ke Jawa, menikah dengan perempuan Jawa, dan dikaruniai lima anak.
Sesudah saudaranya yang terakhir wafat, Orang Kaya Mamak dipanggil pulang ke Jambi
untuk memimpin kerajan itu, tetapi meninggal dalam perjalanan. Inilah akhir Hikayat
Orang Kaya Hitam dan tiga saudaranya.

Pada permulaan bagian berikutnya, Hikayat Pangeran Rengas Pendek, kelima anak
Orang Kaya Mamak harus mengangkat raja baru Jambi dari kalangan mereka sendiri,
untuk memenuhi wasiat ayah mereka. Pertama-tama, mereka memindahkan ibu kota ke
Rengas Pendek, lebih ke hulu, dan kemudian memilih saudara termuda mereka untuk
menjadi raja dengan gelar Pangeran Rengas Pendek.

Cerita sekarang berpindah ke Puteri Pinang Masak, anak perempuan Yang Dipertuan
Minangkabau. Ingin membangun tempat tinggalnya sendiri, ia meninggalkan
Minangkabau dan bermukim di wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh Tun Telanai,
yang hingga saat itu masih berupa hutan belantara. Mendengar hal ini, Pangeran Rengas
Pendek mengirim duta untuk mengunjungi Sang Puteri. Kemudian pangeran menemui
sendiri Sang Puteri. Kasih sayang yang terbit di dalam lubuk hati mereka, berujung di
pelaminan. Mereka kembali untuk hidup bersama di Rengas Pendek. Mereka dikaruniai
empat anak. Inilah akhir Hikayat Pangeran Rengas Pendek.

Bagian selanjutnya, fasal keempat, berkisah tentang anak-anak Pangeran Rengas


Pendek, yang memindahkan ibu kota ke hulu. Sebelum memilih raja dari kalangan
mereka sendiri, mereka memulai ekspansi lanjutan, berencana menaklukkan seluruh
daerah pedalaman anak sungai Batang Hari. Mendengar keberhasilan penaklukan mereka,
Yang Dipertuan Minangkabau menghimpun prajurit dan rakyatnya, dan pergi ke Tanjung
Semalidu yang terletak di perbatasan Minangkabau-Jambi. Di sana ia pun sadar bahwa
pesaing potensialnya yang berasal dari Jambi adalah cucu-cucunya sendiri. Disaksikan
Yang Dipertuan Minangkabau, empat kakak-beradik itu memilih yang paling muda di
antara mereka, yaitu Panembahan Di Bawah Sawah, sebagai raja berikutnya. Mereka juga
membuat kesepakatan dengan orang-orang Minangkabau terkait pembagian wilayah
kekuasaan dan batas-batas kerajaan.

Dalam perjalanan pulangnya, Panembahan Di Bawah Sawah mengumpulkan makanan


dari kampung-kampung jajahan yang baru ditaklukkan, mengirim makanan itu ke hilir
menggunakan ratusan rakit yang terbuat dari batang pisang. Rakit-rakit itu berhenti di
sebuah tempat bernama Tanah Pilih (sekarang ibu kota Provinsi Jambi), di mana
Panembahan naik ke daratan dan bertapa selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya, ada
dua roh leluhur yang datang menemuinya. Dengan imbalan baju Panembahan sendiri,
kedua roh leluhur itu memberinya tiga benda pusaka: Si Jimat (sebuah meriam keramat),
Si Timang Jambi (sebuah gong), dan Si Macan Turu (sebuah tombak). Setelah itu, rakyat
mulai membangun benteng dan kota, tepat ketika Panembahan Di Bawah Sawah
dianugerahi aneka gelar dan jabatan oleh saudara-saudaranya.

Panembahan Di Bawah Sawah punya dua anak, seorang puteri yang menikah dengan
raja Johor, dan seorang putera yang setelah kematian ayahnya mewarisi tahta kerajaan
dengan gelar Sultan Agung Seri Ingalaga, penguasa Jambi pertama yang menyandang
gelar sultan. Di titik ini, bagian HNJ yang bernuansa legenda berakhir karena kami
percaya bahwa Sultan Agung adalah raja yang menguasai Jambi pada abad XVII. Para
sejarawan menjumpai nama Sultan Agung dalam sumber-sumber Eropa.

Sisa bagian keempat dan seluruh fasal kelima juga cukup menarik, karena di sini kita
punya kesempatan untuk membandingkan naskah Melayu dengan sumber Belanda, tetapi
kajian itu jauh melampaui lingkupan artikel ini. Sekarang, mari kita amati bagaimana
pengarang HNJ menata informasi dari sumber-sumber lokal yang tersedia dalam rangka
menyusun narasi tentang Jambi mengikuti pola umum naskah-naskah kesejarahan
Melayu.

Anda mungkin juga menyukai