Anda di halaman 1dari 24

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
POTENSI VEGETASI DALAM MENYERAP
KARBON DIOKSIDA DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI

2.1. Vegetasi
2.1.1. Pengertian Vegetasi

Penyediaan ruang terbuka hijau ditengarai dapat mereduksi gas CO 2


melalui vegetasi yang ada didalamnya (Setiawan & Hermana, 2013). Ruang
terbuka hijau (RTH) adalah area memanjang atau jalur dan atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman (vegetasi),
baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sedangkan
vegetasi adalah keseluruhan tetumbuhan dari suatu kawasan baik yang berasal
dari kawasan itu atau yang didatangkan dari luar meliputi: pohon, perdu, semak,
dan rumput (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M, 2008 Tentang
Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Tebuka Hijau Di Kawasan
Perkotaan, 2008).
Vegetasi memiliki manfaat sebagai pengendali / pembatas pandangan,
pengendali iklim, pengendali erosi, tempat kehidupan (habitat satwa), dan
memiliki nilai estetika (Carpenter, 1975 dalam Irwan dkk., 2012). Selain itu,
menurut Chiara dan Lee E. Koppelman (1997) dalam (Rochim & Syahbana,
2013), jenis dan pola vegetasi merupakan sumber daya rekreasi, visual, dan
ekologi. Lebih lanjut, kualitas ruang terbuka hijau sangat ditentukan dari vegetasi
yang tumbuh seperti: jenis, bentuk, lokasi tanam, jumlah, dan kondisinya. Dengan
demikian, pemilihan jenis tanaman yang tepat dapat mempengaruhi fungsi ruang
terbuka hijau, seperti: mereduksi pencemaran udara, menyerap debu, meredam
kebisingan, mengurangi bau, mencegah erosi tanah, dan penahan angin serta
hujan.
13

Melalui vegetasi, ruang terbuka hijau memiliki peranan yang penting


untuk meningkatkan kualitas kehidupan di kawasan perkotaan. Menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, fungsi ruang terbuka hijau adalah

a. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan


penyangga kehidupan.
b. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan
keindahan lingkungan.
c. Sebagai saran rekreasi.
d. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam
pencemaran baik di darat, perairan dan udara.
e. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi
masyrakat untuk membentuk kesadaran lingkungan.
f. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.
g. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro.
h. Sebagai pengaturan tata air.

Ruang terbuka hijau merupakan komponen penting yang menentukan


keberlanjutan kehidupan sebuah kota, ekosistem, dan masyarakat yang ada di
dalamnya (Yilmaz & Mumcu, 2016). Menurut Imansari & Khadiyanta (2015),
secara ekologis RTH memiliki peranan dalam mengurangi polusi udara,
penurunan iklim mikro, mencegah banjir, dan meningkatkan kualitas air tanah.
Diperjelas oleh Rimadewi (2010) dalam Sa’iedah (2018), pada suatu hamparan
ruang terbuka hijau seluas 1 Ha memiliki kemampuan untuk:

a. Menghasilkan oksigen sebesar 0,6 ton/hari.


b. Menentralisis air limbah sebesar 736.000 liter/hari.
c. Mentransfer air sebesar 4.000 liter/hari.
d. Menyimpan 900 m3 air tanah/tahun.
e. Meredam kebisingan sebesar 25-80%.
f. Mengurangi hempasan air sebesar 75-80%.
14

2.1.2. Jenis Vegetasi di Jalur Hijau Pedestrian


Pada ruas Jl. Gajah Mada vegetasi yang ada berupa jalur hijau yang terletak di
sepanjang jalur pedestrian. Vegetasi tersebut berfungsi sebagai peneduh,
estetika, pengendali iklim, dan mereduksi polutan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M, 2008
Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Tebuka Hijau di
Kawasan Perkotaan Tahun 2008, jenis vegetasi yang disarankan pada Jalur Hijau
Pedestrian adalah vegetasi yang memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Vegetasi Peneduh
Vegetasi peneduh adalah jenis vegetasi yang berbentuk pohon/perdu
dengan percabangan yang tingginya lebih dari 2 meter, memiliki
percabangan yang melebar ke samping (rindang) yang dapat memberikan
keteduhan.
b. Vegetasi Penyerap Polusi Udara
Merupakan jenis vegetasi yang berbentuk pohon/perdu yang memiliki
karakakteristik dapat menyerap gas polutan yang dihasilkan dari kegiatan
transportasi.
c. Vegetasi Peredam Kebisingan
Merupakan vegetasi yang berbentuk perdu/pohon yang memiliki fungsi
untuk meredam kebisingan. Vegetasi yang dipilih untuk meredam
kebisingan biasanya memiliki daun yang tebal dan kaku, sehingga
getaran suara sulit untuk ditembus.
d. Vegetasi Pemecah Angin
Vegetasi pembatas pandang adalah jenis vegetasi yang berbentuk
pohon/perdu yang diletakkan pada suatu komposisi sehingga membentuk
kelompok. Jenis vegetasi ini memiliki fungsi sebagai penahan atau
pemecah angin.
e. Vegetasi Pembatas Pandang
Vegetasi pembatas pandang adalah jenis vegetasi berbentuk pohon/perdu
yang membentuk kesan dinding dan memiliki fungsi sebagai pembatas
pemandangan yang kurang baik.
15

Berdasarkan hasil sintesis di atas dapat disimpulkan, vegetasi di lokasi studi


termasuk dalam bagian Jalur Hijau Pedestrian yang memiliki fungsi utama untuk
menyerap polusi udara khususnya CO2.

2.1.3. Pedoman Penyediaan Vegetasi di Jalur Hijau Jalur Hijau Pedestrian


Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
5/PRT/M, 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Tebuka
Hijau di Kawasan Perkotaan Tahun 2008, vegetasi pada jalur hijau dialokasikan
sebesar 20% – 30% dari area tersebut. Secara umum, pemilihan vegetasi harus
memperhatikan beberapa ketentuan seperti:

a. Perakaran tidak merusak konstruksi jalan


b. Mudah dalam melakukan perawatan
c. Percabangan batang tidak mudah patah
d. Daun tidak mudah gugur.
e. Mudah didapatkan / memiliki kearifan lokal
Lebih lanjut, untuk masing – masing vegetasi terdapat kriteria vegetasi jalur
hijau pedestrian yang harus dipenuhi yaitu:

a. Vegetasi Peneduh, memiliki kriteria:


- Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1,5 m dari tepi jalan)
- Percabangan 2 meter di atas tanah
- Bentuk percabangan batang tidak merunduk
- Memiliki massa daun yang padat
- Berasal dari perbanyakan biji
- Ditanam secara berbaris
- Tidak mudah tumbang.
b. Vegetasi Penyerap Polusi Udara, memiliki kriteria:
- Terdiri dari pohon, perdu, atau semak
- Memiliki manfaat untuk menyerap polutan udara
- Jarak tanaman rapat (< 3 meter)
- Memiliki massa daun yang padat
16

c. Vegetasi Peredam Kebisingan, memiliki kriteria:


- Terdiri dari pohon, perdu, atau semak
- Membentuk massa / ditanam berbaris
- Memiliki massa daun yang padat dan kaku
- Memiliki berbagai bentuk tajuk
d. Vegetasi Pemecah Angin, memiliki kriteria:
- Merupakan tanaman perdu atau semak yang tinggi
- Memiliki massa daun yang padat
- Membentuk massa / ditanam berbaris
- Jarak tanaman rapat (< 3 meter)
e. Vegetasi Pembatas Pandang, memiliki kriteria:
- Terdiri dari tanaman perdu atau semak
- Jarak tanaman rapat
- Memiliki ketinggian 1,5 m
- Memiliki massa daun yang padat

Berdasarkan hasil sintesis di atas, kriteria pemilihan vegetasi yang efektif untuk
menyerap polusi udara (khususnya CO2) pada jalur hijau pedestrian adalah:

a. Perakaran tidak merusak konstruksi jalan (kuat dan bukan akar dangkal)

b. Mudah dalam melakukan perawatan

c. Percabangan batang & ranting tidak mudah patah (batang tidak


bercabang di bawah dan randing tidak menjuntai kebawah)

d. Daun dan bunga tidak mudah gugur

e. Terdiri dari pohon, perdu, atau semak


f. Memiliki manfaat untuk menyerap polutan udara
g. Jarak tanaman rapat (< 3 meter)
h. Memiliki massa daun yang padat
17

2.2. Emisi CO2 dari Kegiatan Transportasi


Transportasi adalah pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat
ke tempat lain. Kegiatan transportasi terdiri dari 2 (dua) unsur penting yaitu
pergerakan (movement) dan perpindahan tempat atas barang / penumpang
dengan atau tanpa menggunakan alat angkut ke tempat lain. Saat ini, alat angkut
atau moda transportasi darat yang banyak diminati masyarakat modern adalah
kendaraan bermotor. Transportasi darat merupakan sarana pergerakan vital yang
tidak bisa dipisahkan dari aktivitas keseharian. Khususnya di Indonesia, hampir
seluruh kota-kota besarnya dikembangkan berdasarkan pola jaringan
transportasi darat. Hal ini menimbulkan dilema, disatu sisi sistem transportasi
darat sudah menjadi kebergantungan bagi masyarakat, namun disisi lain
transportasi darat ditengarai mengancam kondisi ekologis perkotaan akibat
kontribusi emisi yang dihasilkan. Emisi adalah zat, energi, dan komponen lain
yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk atau dimasukkanya kedalam
udara ambien yang memiliki potensi sebagai unsur pencemar (Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah, 2010).

Kendaraan bermotor memerlukan bahan bakar sebagai energi


penggeraknya. Sumber utama emisi gas buang berasal dari pembakaran bahan
bakar yang tak sempurna dalam ruang bakar, sehingga menghasilkan gas polutan
yang keluar melalui saluran knalpot. Menurut IPCC (2006) penggunaan bahan
bakar menghasilkan gas utama berupa CO2 dan gas tambahan lainnya berupa
CO, CH4, N₂O, HC, SO2, PM10. Tiap jenis kendaraan memiliki faktor emisi yang
berbeda, bergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan, tipe kendaraan, dan
panjang jalan yang dilewati (Jianca et all (2009) dalam (Laksono & Damayanti,
2015).

Transportasi merupakan penyebab bertambahnya CO2 di udara. Menurut


Ismiyati dkk. (2014), kegiatan transportasi kendaraan bermotor menyumbang
85% polusi udara. Sektor transportasi termasuk dalam peringkat ke-4 tertinggi
yang menghasilkan gas CO2 di Indonesia. Sejak tahun 1970-2016, terjadi
18

peningkatan gas CO2 akibat kegiatan transportasi sebesar 95% dari 8,0 MT CO2e
menjadi 157 MT CO2e (Dunne, 2019).

Gas CO2 merupakan gas yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Gas
CO2 atau zat asam arang memiliki karakteristik tidak berwarna, tidak beraroma,
tidak mudah terbakar, dan sedikit asam (Rochim & Syahbana, 2013). CO2
merupakan gas yang dapat bertahan paling lama di atmosfer. Sejati (2011)
menyebutkan, Gas CO2 dapat bertahan 50 – 200 tahun, N2O selama 114 – 120
tahun, CH4 dan pengganti CFC selama 12 tahun. Pada dasarnya, gas CO2
merupakan gas yang penting bagi proses fotosintesis. Namun kadar CO 2 yang
berlebih dapat berbahaya bagi lingkungan sekitar. Kelebihan gas CO2 akan naik
ke atmosfer dan membentuk lapisan transparan di atsmosfer yang menghalangi
pemancaran panas bumi. Akibatnya panas akan dipantulkan kembali ke bumi
dan berdampak luas pada peningkatan suhu rata – rata bumi. Bagi kesehatan,
paparan gas CO2 kadar rendah dapat menyebabkan pusing, hipervebntilasi,
kerusakan penglihatan, kemacetan paru – paru, cedera sistem saraf pusat, dll.
Sedangkan paparan kadar tinggi dapat menyebabkan pasokan oksigen
terhambat, sehingga dapat menyebabkan kejang – kejang, bahkan kematian.

Berdasarkan hasil sintesis di atas dapat disimpulkan, kegiatan transportasi


menghasilkan gas buang utama berupa CO2 yang dapat bertahan paling lama di
atmosfer.

2.3. Potensi Serapan Karbon Dioksida (CO2) oleh Vegetasi dari Kegiatan
Transportasi
Vegetasi memiliki berbagai macam manfaat, salah satunya untuk
mereduksi polutan, khususnya CO2. Kemampuan tumbuhan untuk menyerap
karbon disebut dengan carbon sequestration. Menurut Hairiah dkk., (2011),
pengukuran jumlah karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman (biomassa)
dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang terserap oleh vegetasi.
19

Melalui proses fotosintesis vegetasi menyerap CO2 yang ada di udara, air
dan unsur hara lain untuk kelangsungan hidupnya. Bagian dari vegetasi yang
berfungsi menyerap CO2 adalah daun melaui stomata. CO2 yang diserap akan
dirubah menjadi karbohidrat dan disebarkan ke seluruh tubuhnya. Selanjutnya,
CO2 ditimbun dalam bagian tubuh tanaman berupa: daun, batang, ranting, bunga,
dan buah. Proses penimbunan karbon (C) dalam tubuh tanaman disebut dengan
C-Sequestration. Kerapatan tajuk / daun sangat mempengaruhi laju fotosintesis.
Semakin tinggi laju penyerapan fotosintesis maka semakin tinggi biomassa
pohon, sehingga akan semakin tinggi pula penyerapan karbon yang terjadi.

Gambar 1. Proses Fotosintesis


Sumber: Hairiah dkk., (2011)

Pada dasarnya, carbon sequestration untuk masing – masing pohon tidak


dapat disama ratakan. Berikut disajikan kemampuan pohon dalam menyerap
CO2 dari berbagai jenis pohon:
20

Tabel 2. Kemampuan Pohon dalam Menyerap CO2

No Nama Lokal Nama Latin Rosot Klasifikasi


CO2 Daya
(kg/tahun) Rosot
1. Bangris Coompasia excelsa 0,20 SR
2. Merawan Hopea mengarawan 0,42 SR
3. Asem Jawa Tamarindus indica 1,49 SR
4. Rambutan Nephelium lappaceum 2,19 SR
5. Merawan Hopea odorata 4,23 SR
6. Dadap merah Erythrina crista galli 4,55 SR
7. Pohon Saputangan Maniltoa grandiflora 8,26 SR
8. Asem Keranji Pithecellobium dulce 8,48 SR
9. Angsana Pterocarpus indicus 11,12 Rd
10. Pacira Pachira affinis 12,63 Rd
11. Akasia Mangium Acacia mangium 15,19 Rd
12. Maya-maya Sapium indicum 16,50 Rd
13. Merbau pantai Intsia bijuga 19,25 Rd
14. Mahoni afrika Khaya anthotheca 21,90 Rd
15. Pelahlar Dipterocarpus retusa 24,24 Rd
16. Bunga merak Caesalpinia 30,95 Rd
pulcherrima
17. Carapa Carapa guinensis 34,15 Rd
18. Tanjung Mimusops elengi 34,29 Rd
19. Pterigota Pterygota alata 36,19 Rd
20. Sawo kecik Manilkara kauki 41,78 Rd
21. Flamboyan Delonix regia 42,20 Rd
22. Akasia daun Acacia auriculiformis 48,68 Rd
telinga
23. Puspa Schima wallichii 63,31 Sd
24. Sirsak Anona muricata 75,29 Sd
21

No Nama Lokal Nama Latin Rosot Klasifikasi


CO2 Daya
(kg/tahun) Rosot
25. Khaya Khaya senegalensis 83,86 Sd
26. Mahoni Swietenia 114,03 Sd
macrophylla
27. Johar Cassia grandis 116,25 Sd
28. Nangka Artocarpus 126,51 Sd
heterophyllus
29. Jati Tectona grandis 135,27 Sd
30. Bungur Lagerstroemia 160,14 Tg
speciosa
31. Saga pohon Adenanthera 221,18 Tg
pavoniana
32. Kenari Canarium asperum 225,418 Tg
33. Selasihan Cinnamomum 227,21 Tg
parthenoxylon
34. Mahoni Swietenia mahagoni 295,73 Tg
35. Matoa Pometia pinnata 329,76 Tg
36. Kiara payung Filicium decipiens 404,83 Tg
37. Medang Beilschmiedia 442,63 Tg
roxburghiana
38. Tabebuya** Tabebuia 520,00 ST
chrysotricha
39. Beringin Ficus benjamina 535,90 ST
40. Kopal Trachylobium 562,09 ST
verrucossum
41. Pulai* Alstonia scholaris 638,00 ST
42. Pingku Dysoxylum excelsum 720,49 ST
43. Kenanga Canangium odoratum 756,59 ST
44. Glodokan** Polythea longifolia 1.016,42 ET
22

No Nama Lokal Nama Latin Rosot Klasifikasi


CO2 Daya
(kg/tahun) Rosot
45. Ketapang* Terminalia cattapa 1.474,00 ET
46. Strombosia zeylanica 1.603,20 ET
47. Akasia Cassia sp. 5.295,47 ET
48. Trembesi Samanea saman 28.488,39 ET
Sumber: (Dahlan, 2008) dalam (Mukhlison, 2013), *Masfiro Lailati, **Wibowo
dan Samsoedin dalam Lilis Suryaningsih, **Kartika Eka Sari

Klasifikasi
SR (Sangat Rendah) : < 9,99
Rd (Rendah) : 10 – 49,9
Sd (Sedang) : 50 - 150
Tg (Tinggi) : >150 - 500
ST (Sangat Tinggi) : > 500 - 1000
ET (Ekstra Tinggi) : > 1000

Tabel 3. Daya Serap Gas CO2 berbagai Penutup Vegetasi

No Tipe Tutupan Rosot CO2 (kg/Ha/tahun)


1. Pohon 569.070
2. Perdu / Semak Belukar 55.000
3. Padang Rumput 12.000
4. Sawah 12.000
Sumber: Prasetyo et all (2002) dalam Kartika Eka Sari (2018).

Menurut Hidayati dkk., (2013), kemampuan serapan karbon dioksida dari


masing – masing pohon dipengaruhi oleh banyak faktor. Tiap wilayah memiliki
jumlah karbon tersimpan yang berbeda, tergantung pada kerapatan dan
keragaman vegetasi, jenis tanah, serta cara pengolahannya. Tanaman atau pohon
yang berumur panjang dan serasah merupakan tempat penimbunan atau
penyimpanan karbon (C rosot) yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman
semusim (Hairiah et al., 2011).
23

Menurut Hairiah et al., (2011) pengukuran simpanan karbon dapat


dilakukan dengan cara menghitung total jumlah biomassa yang ada di
permukaan tanah kemudian mengkalikannya dengan keofisien kadar karbon
pada tumbuhan (0,46 – 0,5). Jenis biomassa yang ada di permukaan tanah
meliputi:

a. Biomassa pohon
Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai
ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter atau lebih yang diukur pada
ketinggian 1,50 (satu koma lima puluh) meter di atas permukaan tanah
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013). Lebih lanjut,
habitus atau perawakan pohon adalah tumbuhan berkayu yang memiliki satu
batang panjang dan beberapa cabang menyebar setelah tinggi tertentu yang
membentuk sebuah tajuk (crown). Batang pohon biasanya memiliki
diameter minimum 10 cm pada titik setinggi dada. Daunnya bisa meranggas
(deciduous) atau hijau sepanjang tahun (evergreen).

Menurut Lukmanniah (2011), pohon merupakan vegetasi yang memiliki


peranan penting dalam proses pengurangan konsentrasi CO2 di udara. Pohon
memiliki daya serap CO2 paling tinggi dibandingkan dengan jenis vegetasi
lainnya (perdu, semak dan groundcover), sebab memiliki biomassa yang
lebih besar dibandingkan dengan vegetasi lain. Menurut Brown (1997)
dalam Roshintha & Mangkoedihardjo (2016), 50% dari biomassa kayu
tropis terdiri dari CO2. Namun, ketersediaan vegetasi lainnya (perdu, semak
dan groundcover), tidak dapat diabaikan sebab juga memiliki potensi
serapan karbon yang cukup besar. Untuk mengurangi tindakan perusakan
selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan
persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang
yang dikalikan dengan jumlah pohon dan koefisiennya.

b. Biomassa tumbuhan bawah


Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang memiliki diameter batang
< 5cm, tumbuhan yang menjalar, rumput – rumputan, dan gulma.
24

c. Nekromasa
Nekromasa adalah batang pohon yang mati baik yang masih tegak atau telah
tumbang atau tergeletak di tanah.

d. Seresah
Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting
– ranting yang terletak dipermukaan tanah.

Berdasarkan hasil sintesis di atas dapat disimpulkan, perhitungan karbon


terserap pada permukaan tanah dihitung dengan menjumlahkan biomassa yang
ada di permukaan tanah yang meliputi: biomassa pohon, biomassa tumbuhan
bawah, nekromasa, dan seresah. Namun, jenis biomassa permukaan tanah pada
lokasi penelitian hanya berupa pohon. Dengan demikian perhitungan biomassa
hanya difokuskan pada biomassa pohon.

2.4. Manajemen Lingkungan


Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Lingkungan hidup disusun oleh tiga komponen yaitu komponen
lingkungan fisik / abiotic (benda tak hidup), hayati / biotic (benda hidup), dan
culture (sosial dan budaya). Ketiga komponen tersebut biasa disebut dengan ABC
Environment. ABC Environment terikat dalam satu kesatuan yang disebut
lingkungan hidup dan saling mempengaruhi. Hubungan antara ABC environment
digambarkan dalam diagram vena. Budaya masyarakat (culture) sangat
mempengaruhi komponen komponen biotic maupun abiotic.
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntuntan dalam
pemenuhan kebutuhannya, salah satunya perubahan tata guna lahan. Perubahan
tata guna lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi
penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe tata
guna lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya
25

fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto, 2001 dalam
(Widayanti, 2010). Secara fisik, pertumbuhan perkotaan terlihat dari perubahan
tata guna lahan. Ruang terbuka hijau berubah menjadi lahan permukiman,
perdagangan dan jasa, fasilitas umum, pabrik, dan lain sebagainya. Perubahan tata
guna lahan sebanding dengan peningkatan transportasi. Perubahan tata guna lahan
menjadi aktivitas baru mengakibatkan peningkatan terhadap bangkitan dan
tarikan dari dan menuju lahan tersebut.
Perubahan tata guna lahan di suatu wilayah mencerminkan upaya manusia
dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan tata guna
lahan seringkali dilakukan tanpa memperhatikan kondisi ekosistem yang ada,
akibatnya berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Perubahan
ekosistem di area perkotaan dari ekosistem alami menjadi ekosistem buatan sulit
untuk dicegah. Perubahan ekosistem tersebut tidak hanya memberikan dampak
bagi penurunan kualitas tetapi juga pada jasa ekosistem didalamnya. Jasa
ekosistem adalah manfaat yang didapat oleh manusia dari suatu ekosistem
(Millenium Ecosystem Assessment, 2005 dalam Ruhenda et al., 2016). Lebih
lanjut, ekosistem memiliki banyak jasa bagi kehidupan manusia yaitu:
a. Jasa penyediaan, meliputi: 1) bahan makanan, 2) air bersih, 3) serat, bahan
bakar dan bahan dasar lain, 4) materi genetic, 5) bahan obat dan biokimia,
6) spesies hias.
b. Jasa pengaturan, meliputi: 1) pengaturan kualitas udara, 2) pengaturan
iklim, 3) pencegahan gangguan, 4) pengaturan air, 5) pengolahan limbah,
6) perlindungan tanah, 7) penyerbukan, 8) pengaturan biologis,
9) pembentukan tanah.
c. Jasa budaya, meliputi: 1) estetika, 2) rekreasi, 3) inspirasi, 4) warisan dan
identitas budaya, 5) spiritual dan keagmaan, 6) pendidikan.
d. Jasa pendukung, meliputi: 1) habitat dan berkembang biak, 2)
perlindungan plasma nutfah.
26

Informasi mengenai fungsi ekosistem dapat mewakili kondisi daya


dukung dan daya tampung lingkungan hidup di suatu wilayah. Daya dukung dan
daya tampung merupakan kapasitas dari fungsi dan jasa ekosistem dalam
mendukung kehidupan manusia atau mahluk lainnya yang berada pada suatu
lokasi atau ekoregion tertentu. Daya dukung dan daya tampung juga dapat
mengindikasikan kualitas dari sebuah jasa ekosistem tertentu. Semakin baik atau
tinggi daya dukung dan daya tampung suatu lokasi atau ekoregion, maka dapat
dikatakan ekosistem di ekoregion tersebut memiliki kualitas yang baik dan dapat
berfungsi dengan baik untuk menyediakan jasa ekosistemnya
Lingkungan memiliki kemampuan untuk memulihkan diri setelah terjadi
gangguan yang disebut dengan daya lenting (Ghaniyyu et al., 2020), sehingga
buangan yang dihasilkan oleh manusia ke lingkungan dapat terserap dan tidak
membahayakan. Namun, dalam jangka panjang buangan dapat terakumulasi
sehingga melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungan. Dalam hal ini
lingkungan menjadi terbebani di luar batas kemampuanya sehingga
mengakibatkan gangguan pada lingkungan.
Untuk itu, dalam pemanfaatan alam perlu ada manajemen lingkungan
hidup. Bambang (2013), manajemen lingkungan hidup adalah proses
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha dari
manusia atau masyarakat dalam penggunaan sumberdaya agar mencapai tujuan
kemakmuran dan kelestarian lingkungan hidup. Manajemen lingkungan hidup
memiliki tujuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:.
a. Melindungi wilayah Negara Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

c. Menjamin kelangsungan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;

d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;


27

f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa


depan;

g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup


sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana;

i. Mengantisipasi isu lingkungan global.


Perwujudan manajemen lingkungan didalam sebuah kota dilakukan
dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa menurunkan kemampuan generasi yang akan datang (Budiharjo,
2005 dalam Jamaluddin, 2018). Kota yang berkelanjutan adalah kota yang mampu
menjaga keseimbangan lingkungan (ecology), ekonomi (economy) dan sosial
masyarakat (social).
Budihardjo (2005) dalam Jamaluddin (2018), pengelolaan fisik
lingkungan dilakukan melalui program – program pemerintah yang bertujuan
untuk meningkatkan keberlanjutan lingkungan hidup. Di Indonesia, untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan pelaksanaan
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Tujuan dari PK2H adalah
menciptakan kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif
dan efisien sumber daya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem
transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan
alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak
pada prinsip-prinsip kota yang berkelanjutan (Program Pengembangan Kota
Hijau (P2KH), 2016)
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang, P2KH merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah
pusat (Kementrian PUPR) bersama dengan pemerintah daerah guna mewujudkan
ruang perkotaan yang lebih berkualitas melalui perencanaan yang baik dengan
perwujudan 8 atribut kota hijau. Adapun 8 atribut kota hijau tersebut adalah:
28

a. Green Planning and Design, adalah perencanaan dan perancangan kota


yang ramah lingkungan. Green Planning and Design diwujudkan dengan:
1. Merencanakan ruang publik hijau dalam wilayah kota
2. Merencanakan RTH dengan mempertahankan karakter alami lokasi
terpilih.
3. Merencanakan lingkungan yang memiliki fungsi ekologis maupun
estetika dean memilih vegetasi yang dapat menghasilkan lebih banyak
O2 dan menyerap CO2.
4. Mengurangi peningkatan emisi karbon dengan perencanaan yang
memperhatikan material maupun vegetasi lokal.

b. Green Open Space, adalah peningkatan kuantitas dan kualitas RTH sesuai
dengan karakteristik kota dengan target penyediaan RTH publik sebesar
30%. Green open space, diwujudkan dengan:
1. Perencanaan RTH yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan
membentuk iklim mikro dengan mengurangi penguapan serta
menambah prosentase keteduhan.
2. Perencanaan RTH sebagai taman kota, hutan kota dan konservasi cagar
alam.
3. Perencanaan harus bersifat rekreatif maupun edukatif.
4. Perencanaan harus memenuhi standar desain yang berlaku untuk
menjaga keamanan dan keselamatan pengguna.
5. Perencanaan perlu memperhatikan sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan didalam desain.
6. Perencanaan harus memperhatikan pemanfaatan lahan sesuai lokasi.

c. Green Waste, adalah usaha untuk melakukan zero waste dengan


melaksanakan prinsip 4R yaitu: mengurangi sampah, mengembangkan
proses daur ulang, meningkatkan nilai tambah sampah, dan menggunakan
kembali. Green waste, diwujudkan dengan:
29

1. Merencanakan sistem persampahan dengan menyediakan sarana


pembuangan sampah, pemilahan sampah, dan penampungan sementara
(komunal/individual).
2. Penerapan dalam desain dapat berupa tempat sampah, bank sampah dan
tempat pembuangan sampah (TPS).
3. Konsep persampahan, pembuangan energi dan pembuangan air

d. Green Transportation, adalah pengembangan sistem transportasi yang


ramah lingkungan dan berkelanjutan seperti: penyediaan transportasi public,
jalur sepeda, dan jalur pejalan kaki.

e. Green Water, adalah efisiensi pemanfaatan sumberdaya air dengan cara


pencegahan pencemaran dan pengendalian resiko bencana terkait air.
Konsep green water dilakukan dengan merencanakan tata air yang dapat
memenuhi kriteria reduce, recycle dan reuse berupa:
1. Menampung air hujan (rainwater harvesting) dalam kolam resapan dan
memproses sebagai air siram taman dan kamar mandi.
2. Sedapat mungkin menerapkan konsep zero run off yang mengalirkan
air hujan dari drainase kedalam resapan.
3. Menggunakan sistem sprinkler untuk sistem perawatan tanaman agar
efisien penggunaan air.
4. Penampungan air hujan dapat berupa embung, bioswale, long soak pond.

f. Green Building, adalah pengesahan perda bangunan gedung untuk


mewujudkan bangunan hemat energi yang ramah lingkungan, berupa:
1. Murah dalam pemeliharaan jangka panjang
2. Hemat energi secara penggunaan listrik dalam penerapan sistem dan
pemilihan materialnya.
3. Memilih material yang tidak menyebabkan peningkatan suhu
disekitarnya.
4. Mengadopsi kemungkinan muatan lokal baik secara desain arsitekstural
maupun dalam pemilihan material lokal
30

g. Green Energy, adalah memanfaatkan energy terbarukan yang diperoleh


dari:
1. Sinar matahari dengan pembuatan pembuatan solar panel.
2. Energi angin dengan pembuatan wind turbin.
3. Energi pergerakan arus air dengan pembuatan water turbin.
4. Perbedaan ketinggian yang menyebabkan gravitasi untuk pengaliran air

h. Green Community, adalah pelibatan masyarakat adalam pembangunan


atribut kota hijau. Green Community, diwujudkan dengan:
1. Merencanakan RTH yang bisa mewadahi kegiatan komunitas.
2. Perencanaan dan desain harus memberikan manfaat bagi komunitas.

2.5. Jalan Gajah Mada, Kota Semarang


Jalan Gajah Mada termasuk dalan Jalan Protokol utama di Kota Semarang.
Jalan Gajah Mada Kota Semarang memiliki lokasi yang strategis, yaitu
menghubungkan Kawasan Segitiga Emas (Jl. Pemuda – Jl. Pandanaran –
Jl. Gajah Mada). Jalan Gajah Mada terletak pada Kelurahan Sekayu, Kecamatan
Semarang Tengah, Kota Semarang. Peta Deliniasi Wilayah Studi disajikan pada
Gambar 6. Berikut ini merupakan batasan Jl. Gajah Mada secara fisik:

Sebelah Utara : Jl. Pemuda

Sebelah Selatan : Simpang Lima

Sebelah Timur : Pertokoan & Permukiman di Jl. Gajah Mada

Sebelah Barat : Pertokoan & Permukiman di Jl. Gajah Mada

Jalan Gajah Mada memiliki lebar 16 m dengan sistem pergerakan


kendaraan bermotor 1 arah. Perkerasan jalan yang ada pada koridor ini
menggunakan aspal hotmix. Pada Jl. Gajah Mada terdapat jalur pedestrian pada
masing – masing sisi dengan lebar 4 – 2,5 meter. Jalur pedestrian terdiri dari
trotoar dan jalur hijau. Jalur hijau pada Jl. Gajah Mada terdiri dari pohon yang
berfungsi sebagai peneduh dan penyerap polutan. Jenis pohon didominasi oleh
Pohon Mahoni, Glodokan Pohon, Angsana, dan Pulai.
31

Pemanfaatan lahan di ruas Jl. Gajah Mada sangat kompleks, terdiri dari
aktivitas: pendidikan, permukiman, peribadatan, serta perdagangan dan jasa.
Hal tersebut menimbulkan bangkitan dan tarikan lalu lintas yang tinggi,
seringkali terjadi kemacetan pada waktu peak hour. Jl. Gajah Mada termasuk ke
dalam ruas jalan dengan kepadatan lalu lintas yang tunggi. Pada Tahun 2013
hingga saat ini, Jl. Gajah Mada memiliki trend volume kendaraan yang fluktuatif
dengan kecenderungan meningkat (Putranto, 2014; Putranto, 2016; Dewi et al.,
2019). Pada tahun 2017, volume kendaraan telah melebihi kapasitas jalan
sehingga sering terjadi kemacetan (Dewi et al., 2019).

Gambar 2. Kondisi Lalu Lintas Jl. Gajahmada


Sumber: CCTV Dishub, 2021
32

Gambar 3. Kondisi Jalur Hijau dan Vegetasi Jl. Gajahmada


Sumber: Hasil Pra Survai, 2020
33

Gambar 4.
Hal. 46
34

Tabel 4. Sintesa Kajian Teori

No Sasaran Variabel Kebutuhan Data Sumber Pustaka


1. Menghitung estimasi stok karbon • Biomassa pohon • Jenis Pohon Hidayati dkk., (2013)
pada biomassa pohon yang ada di • Jumlah pohon
jalur hijau pada ruas Jl. Gajah • Diameter pohon
Mada.

2. Mengidentifikasi besaran emisi • Emisi CO2 dari Tipe Kendaraan Jianca et all (2009) dalam
CO2 yang dihasilkan dari kegiatan kegiatan Volume kendaraan dalam bentuk Laksono & Damayanti,
transportasi di ruas Jl. Gajah Mada transportasi cacahan kendaraan dijam puncak, (2015)
selama selama 3 (tiga) tahun meliputi:
terakhir • Mobil penumpang
• Bus (besar – sedang – kecil)
• Truk (besar – sedang – kecil)
• Sepeda motor
Konsumsi energi Spesifik
Kendaraan Bermotor, meliputi:
• Mobil penumpang
• Bus (besar – sedang – kecil)
• Truk (besar – sedang – kecil)
• Sepeda motor
Panjang Jalan
35

No Sasaran Variabel Kebutuhan Data Sumber Pustaka


3. Menganalisis kemampuan pohon • Kemampuan • Hasil Perhitungan Biomassa Hidayati dkk., (2013)
dalam menyerap emisi CO2 yang vegetasi dalam Pohon
dihasilkan di ruas Jl. Gajah Mada. menyerap
karbon
• Emisi CO2 yang • Hasil Perhitungan Emisi CO2 Jianca et all (2009)
dihasilkan dari dari kegiatan transportasi dalam Laksono &
kegiatan Damayanti, (2015)
transportasi

4. Memberikan arahan perencanaan • Kriteria Vegetasi • Jenis vegetasi Peraturan Menteri


lingkungan yang adaptif untuk Penyerap Polusi • Jarak antar pohon Pekerjaan Umum
mereduksi gas CO2 dari sektor Udara • Jenis massa daun Nomor 5/PRT/M, 2008
transportasi. • Karakteristik • Kondisi jalur hijau (luasan) Tentang Pedoman
Jalur hijau • Lebar akses masuk bangunan di Penyediaan dan
sekitar Pemanfaatan Ruang
Tebuka Hijau di
Kawasan Perkotaan
Tahun 2008

Sumber: Hasil Analisis, 2021

Anda mungkin juga menyukai