BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
POTENSI VEGETASI DALAM MENYERAP
KARBON DIOKSIDA DARI AKTIVITAS TRANSPORTASI
2.1. Vegetasi
2.1.1. Pengertian Vegetasi
Berdasarkan hasil sintesis di atas, kriteria pemilihan vegetasi yang efektif untuk
menyerap polusi udara (khususnya CO2) pada jalur hijau pedestrian adalah:
a. Perakaran tidak merusak konstruksi jalan (kuat dan bukan akar dangkal)
peningkatan gas CO2 akibat kegiatan transportasi sebesar 95% dari 8,0 MT CO2e
menjadi 157 MT CO2e (Dunne, 2019).
Gas CO2 merupakan gas yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Gas
CO2 atau zat asam arang memiliki karakteristik tidak berwarna, tidak beraroma,
tidak mudah terbakar, dan sedikit asam (Rochim & Syahbana, 2013). CO2
merupakan gas yang dapat bertahan paling lama di atmosfer. Sejati (2011)
menyebutkan, Gas CO2 dapat bertahan 50 – 200 tahun, N2O selama 114 – 120
tahun, CH4 dan pengganti CFC selama 12 tahun. Pada dasarnya, gas CO2
merupakan gas yang penting bagi proses fotosintesis. Namun kadar CO 2 yang
berlebih dapat berbahaya bagi lingkungan sekitar. Kelebihan gas CO2 akan naik
ke atmosfer dan membentuk lapisan transparan di atsmosfer yang menghalangi
pemancaran panas bumi. Akibatnya panas akan dipantulkan kembali ke bumi
dan berdampak luas pada peningkatan suhu rata – rata bumi. Bagi kesehatan,
paparan gas CO2 kadar rendah dapat menyebabkan pusing, hipervebntilasi,
kerusakan penglihatan, kemacetan paru – paru, cedera sistem saraf pusat, dll.
Sedangkan paparan kadar tinggi dapat menyebabkan pasokan oksigen
terhambat, sehingga dapat menyebabkan kejang – kejang, bahkan kematian.
2.3. Potensi Serapan Karbon Dioksida (CO2) oleh Vegetasi dari Kegiatan
Transportasi
Vegetasi memiliki berbagai macam manfaat, salah satunya untuk
mereduksi polutan, khususnya CO2. Kemampuan tumbuhan untuk menyerap
karbon disebut dengan carbon sequestration. Menurut Hairiah dkk., (2011),
pengukuran jumlah karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman (biomassa)
dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang terserap oleh vegetasi.
19
Melalui proses fotosintesis vegetasi menyerap CO2 yang ada di udara, air
dan unsur hara lain untuk kelangsungan hidupnya. Bagian dari vegetasi yang
berfungsi menyerap CO2 adalah daun melaui stomata. CO2 yang diserap akan
dirubah menjadi karbohidrat dan disebarkan ke seluruh tubuhnya. Selanjutnya,
CO2 ditimbun dalam bagian tubuh tanaman berupa: daun, batang, ranting, bunga,
dan buah. Proses penimbunan karbon (C) dalam tubuh tanaman disebut dengan
C-Sequestration. Kerapatan tajuk / daun sangat mempengaruhi laju fotosintesis.
Semakin tinggi laju penyerapan fotosintesis maka semakin tinggi biomassa
pohon, sehingga akan semakin tinggi pula penyerapan karbon yang terjadi.
Klasifikasi
SR (Sangat Rendah) : < 9,99
Rd (Rendah) : 10 – 49,9
Sd (Sedang) : 50 - 150
Tg (Tinggi) : >150 - 500
ST (Sangat Tinggi) : > 500 - 1000
ET (Ekstra Tinggi) : > 1000
a. Biomassa pohon
Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai
ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter atau lebih yang diukur pada
ketinggian 1,50 (satu koma lima puluh) meter di atas permukaan tanah
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013). Lebih lanjut,
habitus atau perawakan pohon adalah tumbuhan berkayu yang memiliki satu
batang panjang dan beberapa cabang menyebar setelah tinggi tertentu yang
membentuk sebuah tajuk (crown). Batang pohon biasanya memiliki
diameter minimum 10 cm pada titik setinggi dada. Daunnya bisa meranggas
(deciduous) atau hijau sepanjang tahun (evergreen).
c. Nekromasa
Nekromasa adalah batang pohon yang mati baik yang masih tegak atau telah
tumbang atau tergeletak di tanah.
d. Seresah
Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting
– ranting yang terletak dipermukaan tanah.
fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto, 2001 dalam
(Widayanti, 2010). Secara fisik, pertumbuhan perkotaan terlihat dari perubahan
tata guna lahan. Ruang terbuka hijau berubah menjadi lahan permukiman,
perdagangan dan jasa, fasilitas umum, pabrik, dan lain sebagainya. Perubahan tata
guna lahan sebanding dengan peningkatan transportasi. Perubahan tata guna lahan
menjadi aktivitas baru mengakibatkan peningkatan terhadap bangkitan dan
tarikan dari dan menuju lahan tersebut.
Perubahan tata guna lahan di suatu wilayah mencerminkan upaya manusia
dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan tata guna
lahan seringkali dilakukan tanpa memperhatikan kondisi ekosistem yang ada,
akibatnya berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Perubahan
ekosistem di area perkotaan dari ekosistem alami menjadi ekosistem buatan sulit
untuk dicegah. Perubahan ekosistem tersebut tidak hanya memberikan dampak
bagi penurunan kualitas tetapi juga pada jasa ekosistem didalamnya. Jasa
ekosistem adalah manfaat yang didapat oleh manusia dari suatu ekosistem
(Millenium Ecosystem Assessment, 2005 dalam Ruhenda et al., 2016). Lebih
lanjut, ekosistem memiliki banyak jasa bagi kehidupan manusia yaitu:
a. Jasa penyediaan, meliputi: 1) bahan makanan, 2) air bersih, 3) serat, bahan
bakar dan bahan dasar lain, 4) materi genetic, 5) bahan obat dan biokimia,
6) spesies hias.
b. Jasa pengaturan, meliputi: 1) pengaturan kualitas udara, 2) pengaturan
iklim, 3) pencegahan gangguan, 4) pengaturan air, 5) pengolahan limbah,
6) perlindungan tanah, 7) penyerbukan, 8) pengaturan biologis,
9) pembentukan tanah.
c. Jasa budaya, meliputi: 1) estetika, 2) rekreasi, 3) inspirasi, 4) warisan dan
identitas budaya, 5) spiritual dan keagmaan, 6) pendidikan.
d. Jasa pendukung, meliputi: 1) habitat dan berkembang biak, 2)
perlindungan plasma nutfah.
26
b. Green Open Space, adalah peningkatan kuantitas dan kualitas RTH sesuai
dengan karakteristik kota dengan target penyediaan RTH publik sebesar
30%. Green open space, diwujudkan dengan:
1. Perencanaan RTH yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan
membentuk iklim mikro dengan mengurangi penguapan serta
menambah prosentase keteduhan.
2. Perencanaan RTH sebagai taman kota, hutan kota dan konservasi cagar
alam.
3. Perencanaan harus bersifat rekreatif maupun edukatif.
4. Perencanaan harus memenuhi standar desain yang berlaku untuk
menjaga keamanan dan keselamatan pengguna.
5. Perencanaan perlu memperhatikan sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan didalam desain.
6. Perencanaan harus memperhatikan pemanfaatan lahan sesuai lokasi.
Pemanfaatan lahan di ruas Jl. Gajah Mada sangat kompleks, terdiri dari
aktivitas: pendidikan, permukiman, peribadatan, serta perdagangan dan jasa.
Hal tersebut menimbulkan bangkitan dan tarikan lalu lintas yang tinggi,
seringkali terjadi kemacetan pada waktu peak hour. Jl. Gajah Mada termasuk ke
dalam ruas jalan dengan kepadatan lalu lintas yang tunggi. Pada Tahun 2013
hingga saat ini, Jl. Gajah Mada memiliki trend volume kendaraan yang fluktuatif
dengan kecenderungan meningkat (Putranto, 2014; Putranto, 2016; Dewi et al.,
2019). Pada tahun 2017, volume kendaraan telah melebihi kapasitas jalan
sehingga sering terjadi kemacetan (Dewi et al., 2019).
Gambar 4.
Hal. 46
34
2. Mengidentifikasi besaran emisi • Emisi CO2 dari Tipe Kendaraan Jianca et all (2009) dalam
CO2 yang dihasilkan dari kegiatan kegiatan Volume kendaraan dalam bentuk Laksono & Damayanti,
transportasi di ruas Jl. Gajah Mada transportasi cacahan kendaraan dijam puncak, (2015)
selama selama 3 (tiga) tahun meliputi:
terakhir • Mobil penumpang
• Bus (besar – sedang – kecil)
• Truk (besar – sedang – kecil)
• Sepeda motor
Konsumsi energi Spesifik
Kendaraan Bermotor, meliputi:
• Mobil penumpang
• Bus (besar – sedang – kecil)
• Truk (besar – sedang – kecil)
• Sepeda motor
Panjang Jalan
35