Anda di halaman 1dari 2

Musik: Antara Hobi dan Studi

Terik masih menggelayuti langit di sepanjang perjalanan menuju Swara Harmony Music
School (SH) yang lokasinya di komplek Paskal Hypersquare, tempat saya mengajar les
violin. Hari ini saya hendak menyaksikan latihan bagi para kandidat yang tengah
mempersiapkan dirinya untuk mengikuti ujian musik internasional ABRSM (The Associated
Board of the Royal Schools of Music) dan RSL (Rockschool Limited) 2023. Tidak sulit
untuk menjangkau dan memarkir kendaraan di lokasi sekolah musik ini. Namun seperti terik,
pikiran saya masih digelayuti pertanyaan terkait musik: apakah kenikmatan bermusik tetap
bisa diraih ketika kita belajar musik hingga mencapai level tertentu secara formal dan
mendapat legalisasi berupa sertifikat atas upaya yang sudah dilakukan itu?

Saat memasuki gedung SH, hawa segar yang dihasilkan oleh AC menghalau hawa panas dari
luar. Saya menaiki lantai 2. Beberapa kandidat tampak tengah duduk nyaman di sofa-sofa
yang disediakan di sepanjang koridor. Salah satu pintu ruangan terbuka. Terdengar suara
denting piano, menyusul suara Ibu Carolina S. Yahya menyapa. Bu Lina, demikian saya
memanggilnya, sudah mengelola tempat kursus musik ini selama 19 tahun. Waktu yang
cukup lama untuk mematangkan proses “learning how to know and knowing how to learn”,
terutama yang berkaitan dengan (ilmu) musik. Beliau pun mengajar piano dan sangat
berperan besar dalam mendorong para kandidat ujian ABRSM (The Associated Board of the
Royal Schools of Music) dan RSL (Rockschool Limited) agar bisa mencapai nilai
‘distinction’, score tertinggi yang diraih pada ujian tersebut.

“Tahun ini saya ingin semua yang ikut ujian, instrumen apapun, dapat nilai ‘distinction’,
Pak,” ujarnya kepada saya. Ini adalah sebuah komitmen, sebuah tanggung jawab, dan juga
prestasi seorang pendidik terhadap anak didiknya. “Sertifikat internasional dengan nilai
distinction itu adalah “bonus” yang akan diperoleh kandidat dari proses yang penuh
keseriusan, habit yang baik, dan pelatihan span motorik halus. Melatih stamina fokus dan
konsentrasi di otak juga. Plus ngelatih mental karena kalau salah tapi males benerinnya, kalau
ngambek ataupun deg-degan saat tampil akan keliatan kok, bahkan sekalipun kita liatnya
lewat rekaman audio-visualnya,” demikian penjelasan Bu Lina.

Hari ini ada 4 kandidat, masing-masing memainkan instrumen yang berbeda, akan
memperbaiki dan menyempurnakan aspek-aspek musik yang hendak diuji nanti. Ini tahap
finishing sebelum jadwal ujiannya dimulai. Aspek-aspek tersebut menyangkut kualitas bunyi
(pitch), tempo, irama, nada (tone), dinamika & artikulasi, frase dan struktur, serta gaya (style)
& karakter. Kandidat I memainkan drum, kandidat II cello, kandidat III piano, kandidat IV
violin. Semua tak luput dari detail aspek-aspek tersebut.

“Atha pernah dengar atau nonton gitaris yang memainkan gitar bergaya Spanyol ngga?”
Tanya Bu Lina kepada Atha, kandidat yang memainkan piano, saat memainkan “The Spanish
Guitar”, salah satu komposisi untuk ujian ABRSM Grade 3 yang akan diikutinya. Atha
menggeleng.

“Kalau film tentang T-Rex atau dinosaurus, udah nonton?” tanya Bu Lina lagi saat ia
memainkan konposisi “T-Rex hungry”. Atha mengangguk pelan. “Pernah liat sih Bu, di film
Upin Ipin.” Kami berdua tertawa. “Gimana bisa ngebayangin betapa buasnya T-Rek yang
ngejar-ngejar dan mencakar mangsanya kalau yang ditonton T-Rex di Upin Ipin?” Kami
kembali tertawa.
“Kalau nada, irama, tempo, dan dinamika, bisa kita ajarin metode dan tekniknya, Pak. Nah
kalau sudah masuk ke struktur, style, dan karakter, butuh pemahaman yang lebih luas dari
sekadar itu,” kata Bu Lina kepada saya.

“The devil is in the details”, sebuah idiom yang mengingatkan saya akan sesuatu yang
tampak/terdengar sederhana namun di baliknya terdapat detail yang rumit dan mungkin
problematik. Piano sonata No.14 in C-Sharp Minor, Op,27 No.2 -" Moonlight" karya
Beethoven atau lebih populer dg judul “Moonlight Sonata", terdengar seperti komposisi
sederhana, namun di baliknya memuat detail yang penting. Pendengar akan merasakan
“vibes”-nya saat pianis membawakan detail musikalnya dengan baik dan
mempersembahkannya kepada audiens. Aspek performance memang berada di ujung aspek-
aspek musikal ini. Ada penafsiran atas karya, kualitas penjiwaan, penyatuan diri dengan
sebuah karya, dan imajinasi yang kuat atas sebuah karya dalam suatu performance, bukan
sekadar gimmick merem melek yang seolah-olah gitu deh.

Lantas, apakah kenikmatan bermusik tetap bisa diraih ketika kita belajar musik hingga
mencapai level tertentu secara formal dan mendapat legalisasi berupa sertifikat atas upaya
yang sudah dilakukan itu? Setiap orang punya niat dan tujuan yang berbeda-beda saat belajar
dan bermain musik. Dan itu sah-sah saja. Tujuan akhir atau kepuasannya bisa saja semata-
mata untuk mendapat sertifikat, syukur-syukur dapat nilai ‘distinction’, atau kelak akan
dijadikan profesi (baik profesi guru musik atau musisi, atau dua-duanya), atau untuk sekadar
menyalurkan hobi saja, melepas penat dan menjadi media untuk “healing” di sela-sela
keruwetan duniawi. Musik adalah air terjun yang bebas mendarat dan mengalir ke mana saja,
sementara belajar musik adalah pipa-pipa air yang menampung air terjun dan menyalurkan ke
titik-titik yang dibutuhkan.

Ah terik yang menggelayuti pikiran ini sudah mereda tampaknya.

Bandung, 09/11/2023
Imam Maulana
Pengajar Violin di Swara Harmony

Anda mungkin juga menyukai