Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK 2

BLOK 15 MODUL 2

Disusun oleh : Kelompok 2

Way Wimaba R T 2010016107


Muh. Ari Alfauzan 2110016014
Karina Diva Cantika 2110016017
Achmad Alkaff 2110016033
Farsya Aulia Bahri 2110016053
Elias Fransiskus Pardosi 2110016063
Vhania Yuannisa 2110016069
Naomi Christy Natasha Tambunan 2110016076
Ruth Sheren Romauly Simorangkir 2110016093
Muh Dzulfikar A A 2110016099

Tutor : dr. Yetty Octavia Hutahaean, Sp.S

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas laporan yang berjudul
“Kejang Epilepsi” ini tepat pada waktunya. Laporan ini kami susun dari berbagai sumber
ilmiah sebagai hasil dari Diskusi kelompok Kecil (DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
terselesaikannya laporan ini, antara lain:
1. dr. Yetty Octavia Hutahaean, Sp.S selaku tutor kelompok 2 yang telah membimbing
kami dalam menyelesaikan Diskusi Kelompok Kecil (DKK).
2. dr. Khairul Nuryanto, M.Kes selaku penanggung jawab modul B15M2
3. Teman-teman kelompok 2 yang telah menyumbangkan pemikiran dan tenaganya
sehingga Diskusi Kelompok Kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik, serta
dapat menyelesaikan laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil (DKK).
4. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan
2021 dan pihak-pihak narasumber yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyelesaikan laporan ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil
(DKK) ini.

Samarinda, 17 November 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Tujuan 4
BAB II 5
SKENARIO 5
A. Step 1 Identifikasi Istilah 5
B. Step 2 Identifikasi Masalah 5
C. Step 3 Analisa Masalah 5
D. Step 4 Kerangka Konsep 9
E. Step 5 Learning Objectives 9
BAB III 28
A. Kesimpulan 28
B. Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 29
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otak merupakan organ penting dalam tubuh kita, sebab segala aktivitas tubuh
diatur oleh organ ini. Berbagai keadaan atau penyakit dapat menimbulkan berbagai
gangguan fungsi otak yang dapat menyerang baik bagian sensorik, motorik dan pusat
pengaturan fungsi tubuh lainnya dengan akibat kematian.
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia dan menempati
urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran darah otak. Walaupun
penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat, terbukti dengan adanya
istilah-istilah bahasa daerah untuk penyakit ini seperti sawan, ayan, sekalor, dan
celengan namun pengertian akan penyakit ini masih kurang bahkan salah sehingga
penderita digolongkan dalam penyakit gila, kutukan, turunan sehingga penderita
tidak diobati atau bahkan disembunyikan.
Sebenarnya epilepsi itu sendiri adalah gangguan kronik otak dengan ciri
timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel
dengan berbagai etiologi. Serangan itu sendiri adalah suatu gejala yang timbulnya
tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula. Dengan tatalaksana yang baik
sebagian penderita dapat terbebaskan dari penyakitnya.

B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi kejang dan bangkitan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi epilepsi berdasarkan
a. Etiologi
b. Tipe bangkitan dan distribusi
c. Sindrom epilepsi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi epilepsi
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis epilepsi
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana epilepsi
a. Umum
b. Kehamilan
BAB II

PEMBAHASAN

SKENARIO

A. Step 1 Identifikasi Istilah


a. Epilepsi : kondisi seseorang kejang yang recurrent tanpa provokasi
akibat kerusakan kronis pada SSP, gerakan yang tidak tidak terkendali,
dapat terjadi penurunan kesadaran, dikatakan epilepsi jika terjadi 2 kali
dengan interval antar kejang lebih dari sama dengan 24 jam,(brain
origin)

B. Step 2 Identifikasi Masalah


1. Mengapa bisa terjadi kejang ?
2. Apakah epilepsi selalu kejang dan kejang sudah pasti epilepsi
3. Apa saja jenis kejang?
4. Mengapa kejang terjadi di tangan dan kaki, disertai hilangnya kesadaran?
dan dapatkah kejang hanya terjadi di salah satu anggota gerak?
5. Apakah ada hubungan usia, siklus menstruasi dengan kejang yang
dialami
6. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan terhadap pasien?
7. Apa kemungkinan diagnosis pasien?
8. Apa tatalaksana awal jika pasien mengalami kejang?
9. Apa yang harus dilakukan jika pasien berencana untuk hamil dalam
waktu dekat?
C. Step 3 Analisa Masalah
1. Mengapa bisa terjadi kejang ?
● kejang adanya peningkatan eksibisi( yang terlibat adalah Glutamat
dan Acetylcholin) dan pengurangan inhibisi(yang terlibat ada GABA
dan Glisin),
● peningkatan fungsi reseptor NMDA meningkatkan positif dalam sel
neuron dan penurunan fungsi reseptor GABA-R yang terlibat dalam
inhibisi tidak terjadi hiperpolarisasi dan aksi potensial nya
meningkat
● ketidak seimbangan potensial membran, harusnya ekstrasel terdapat
banyak Ca dan Cl diluar sel dan dapat masuk jika receptor terbuka,
jika terjadi ketidak seimbangan potensial membran, Na akan mudah
masuk dan Cl mudah masuk tanpa kontrol sehingga terjadi kejang
● terjadi karena adanya hipersinkronisasi,
● kejang provoke karena tumor, obat, alkohol, trauma atau cedera pada
sel glia > rasio Ion kalium di ekstrasel tidak normal sehingga terjadi
depolarisasi tidak terkontrol
● kejang unprovoke tidak terdapat pencetus

2. Apakah epilepsi selalu kejang dan kejang sudah pasti epilepsi?


● kejang dapat terjadi pada demam, atau kontraksi otot akibat
olahraga,
● kejang belum tentu epilepsi, sedangkan epilepsi gejalanya sudah
pasti kejang
● kejang tidak selalu gerakan tiba” dan convulsion,
● kejang adalah gejala epilepsi dengan syarat 2 kali, dan gejala
epilepsi tidak selalu kejang
● bedakan kejang dengan bangkitan

3. apa saja jenis kejang?


● dibagi dua, fokal dan general
● focal dibagi : simple(sadar, ingat dan hentakan, durasi nya
detik-menit) dan kompleks(tidak sadar, tidak ingat kejadian,
bingung, sekujur tubuh, automatisme contoh kedip,mengunyah,
durasi menit-jam), focal to tonik klonik/ secondary general seizure
(awalnya focal menjadi general)
● general dibagi : tonik(gerakan mengunci, kaku, jatuhnya biasanya
kebelakang) dan klonik(gerakan berulang dan ritmis), Atonik (jatuh
biasanya kedepan, biasa terjadi pada pasien serangan jantung),
tonik-klonik(didahului dengan jatuh terkunci lalu 10-30 detik
dilanjut gerakan berulang ekstremitas), absence(bengong),
Mioklonik(berkedut)
● status epileptikus (jika kejang terjadi lebih dari 5 menit)
● bangkitian visual, autonomic, audio, penciuman
● kejang unknown dan unclassified
4. mengapa kejang terjadi di tangan dan kaki, disertai hilangnya kesadaran?
dan dapatkah kejang hanya terjadi di salah satu anggota gerak?
● bagian tubuh yang bergerak ketika kejang, berdasarkan sumber dan
penyebaran eksitasi di lobus otak yang terlibat
● autonomic di insula
● precentral gyrus > motorik
● adanya keterlibatan retikulo Formation dan hipotalamus (arousal
system)

5. apakah ada hubungan usia, siklus menstruasi dengan kejang yang


dialami?
● usia tidak terlalu berpengaruh, kecuali pada bayi yaitu kejang
demam
● menstruasi memiliki hubungan akibat kadar hormon pada sebelum
dan sesudah menstruasi, ada epilepsi yang diperburuk akibat siklus
menstruasi
● biasa terjadi pada fase luteal dan pre menstruasi akibat menurunnya
kadar estrogen > hipereksitasi, sedangkan progesteron meningkatkan
fungsi reseptor inhibitor disebut katamenial epilepsy
● ada 3 tipe, C1 / type 1 > terjadi pada saat pre menstruasi, tipe2/C2
pada saat menstruasi, tipe C3 terjadi ketika fase luteal
● allopregnanolone (anti seizure masuk ke reseptor gaba juga)

6. apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan terhadap pasien?


● CT scan dan MRI : Pencitraan untuk mendeteksi apakah ada Lesi
● EEG : untuk klasifikasi kejangnya, fungsi elektrisitas otak
● Pemeriksaan Darah : hipoglikemia, hipocalcemia, hiponateremia,
hipernatremia, hiperuremia
● Pemeriksaan urin :
● Pemeriksaan pungsi lumbal : kejang akibat infeksi contoh
meningitis bakterial akut

7. apa kemungkinan diagnosis pasien?


● Epilepsi : karena tidak ada riwayat cedera kepala, tidak ada
keluarga epilepsi, tidak ada konsumsi obat dan alkohol
● Katamenial Epilepsi : karena berhubungan dengan siklus
menstruasi pasien
● Generalize Seizure : jika disebutkan tangan dan kaki bilateral
● Focal Simpleks Seizure :
● Focal kompleks Seizure : jika pasien tidak sadar ketika kejang
8. apa tatalaksana awal jika pasien mengalami kejang?
Pre-Hospital
● Periksa ABC
● Amankan pasien, jauhkan dari benda disekitar
● pindahkan pasien ke tempat atau alas yang rata, diberi bantal
● dipastikan jangan memasukan apapun ke mulut pasien
● jangan ditahan atau dipegang
● menghubungi atau membawa ke fasilitas kesehatan
● menghitung waktu kejang
● memperhatikan kejang nya seperti apa

Hospital
● periksa ABC
● Diberi diazepam Suppositoria di 5 menit pertama
● 20 menit kejang jika belum berhenti diberi fenitoin, jika belum
berhenti dimasukan ke ICU
● pasien dimiringkan kesalah satu sisi
● diberi label epilepsi

9. apa yang harus dilakukan jika pasien berencana untuk hamil dalam
waktu dekat?
● diberi obat anti epilepsi dari dosis terendah minimal 6 bulan sebelum
konsepsi
● pasien kalau mau hamil diberi asam folat dari sebelum hamil hingga
trimester pertama
● setelah diberi OAE pasien akan ditinjau jika 9 bulan bebas kejang
baru diperbolehkan untuk hamil
● diperbolehkan saja untuk hamil namun pasien harus diberitahu kalau
banyak resiko pada bayi jika ibu meminum obat anti epilepsi
● ibu tersebut tidak boleh sembarangan menurunkan dosis, epilepsi akan
menjadi tidak terkontrol,
● memperbaiki diet, minum vitamin dll
● jika pasien tersebut sudah 9 bulan bebas kejang 80% akan bebas
kejang selamanya
● persalinan tetap pervaginam tidak perlu sesar, dan selama kehamilan
tetap di beri OAE namun diberi yang resiko teratogenik nya rendah
D. Step 4 Kerangka Konsep

E. Step 5 Learning Objectives


1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi kejang dan bangkitan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi epilepsi berdasarkan
a. Etiologi
b. Tipe bangkitan dan distribusi
c. Sindrom epilepsi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi epilepsi
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis epilepsi
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana epilepsi
a. Umum
b. Kehamilan
F. Step 6 Belajar Mandiri
Pada tahap ini, mahasiswa akan mencari jawaban dari tujuan pembelajaran
(learning objective) yang sudah disepakati, referensi yang digunakan adalah
buku-buku dan jurnal yang telah disarankan, serta referensi tambahan bila
diperlukan, untuk kemudian dipahami dan dijelaskan kembali pada DKK 2 di step
ke-7 yaitu sintesis.

G. Step 7 Sintesis
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi kejang dan bangkitan
Kejang atau Convulsion adalah aktivitas listrik otak yang tidak
terkontrol dan abnormal yang dapat menyebabkan perubahan tingkat
kesadaran, perilaku, ingatan, atau perasaan. Kejang menyebabkan otot
berkontraksi tanpa sadar dan kejang, mengakibatkan gerakan tubuh yang
tiba-tiba, keras, dan tidak teratur.
Bangkitan atau "Seizures" adalah perubahan paroksismal fungsi
neurologis yang disebabkan oleh pelepasan neuron yang berlebihan dan
hipersinkronisasi di otak. Bangkitan dipicu oleh gangguan reversibel
(misalnya, demam, hipoglikemia) tidak termasuk dalam definisi epilepsi
karena merupakan kondisi sekunder berumur pendek, bukan keadaan
kronis.
Kata-kata convulsion dan seizure sering digunakan secara
bergantian, tetapi secara fisiologis mereka adalah peristiwa yang
berbeda. Seizure terjadi karena gangguan listrik di otak, sedangkan
convulsion menggambarkan tindakan menyentak dan kontraksi yang
tidak disengaja.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi epilepsi berdasarkan


a. etiologi
➢ Struktural
Etiologi struktural mengacu pada kelainan yang terlihat
pada pencitraan saraf structural. Identifikasi lesi struktural halus
memerlukan studi MRI yang sesuai menggunakan protokol
epilepsi spesifik. Etiologi struktural dapat diperoleh seperti
stroke, trauma, dan infeksi, atau genetik seperti banyak
malformasi perkembangan kortikal. Dasar yang mendasari
kelainan struktural mungkin genetik atau didapat, atau keduanya.
Misalnya, polymicrogyria mungkin sekunder untuk mutasi pada
gen seperti GPR56, atau didapat, sekunder untuk infeksi
cytomegalovirus intrauterin. Penyebab struktural yang didapat
termasuk ensefalopati hipoksia-iskemik, trauma, infeksi, dan
stroke. Dimana etiologi struktural memiliki dasar genetik yang
terdefinisi dengan baik seperti tuberous sclerosis complex, yang
disebabkan oleh mutasi pada gen TSC1 dan TSC2. Contohnya :

● Malformasi vaskular

● Hippocampal sclerosis

● Tumor

● Malformasi dari korteks

➢ Genetik

Pertama, kesimpulan dari etiologi genetik mungkin hanya


didasarkan pada riwayat keluarga dari kelainan autosom
dominan. Misalnya, pada sindrom Epilepsi Neonatal Keluarga
Jinak, kebanyakan keluarga mengalami mutasi salah satu gen
saluran kalium, KCNQ2 atau KCNQ3. Kedua, etiologi genetik
mungkin disarankan oleh penelitian klinis pada populasi dengan
sindrom yang sama seperti Childhood Absence Epilepsi atau
Juvenile Myoclonic Epilepsy. Ketiga, dasar molekuler mungkin
telah diidentifikasi dan mungkin melibatkan gen tunggal atau
varian nomor salinan yang berpengaruh besar. Genetika
molekuler telah mengarah pada identifikasi mutasi penyebab
pada sejumlah besar gen epilepsy. Etiologi genetik mengacu pada
varian patogen (mutasi) yang berpengaruh signifikan dalam
menyebabkan epilepsi individu. Contohnya :

● Abnormalitas kromosoman

● Abnormalitas gen

➢ Infectious

Etiologi paling umum di seluruh dunia adalah di mana


epilepsi terjadi akibat infeksi. Etiologi infeksius mengacu pada
pasien epilepsi, bukan kejang yang terjadi dalam keadaan infeksi
akut seperti meningitis atau ensefalitis. Melainkan akibat dari
pasca-infeksi intracranial, Contoh umum di wilayah tertentu di
dunia termasuk neurocysticercosis, tuberculosis, HIV, malaria
serebral, panencephalitis sklerosis subakut, toksoplasmosis
serebral, dan infeksi bawaan seperti virus Zika dan
cytomegalovirus.

➢ Metabolik

Konsep epilepsi metabolik adalah hasil langsung dari


kelainan metabolik yang diketahui atau diduga dimana kejang
merupakan gejala inti dari gangguan tersebut. Penyebab
metabolik mengacu pada defek metabolik yang jelas dengan
manifestasi atau perubahan biokimia di seluruh tubuh seperti
porfiria, uremia, aminoasidopati, atau kejang yang bergantung
pada piridoksin. Dalam banyak kasus, kelainan metabolisme akan
memiliki kelainan genetik. Kemungkinan sebagian besar epilepsi
metabolik akan memiliki dasar genetik, tetapi beberapa dapat
diperoleh seperti defisiensi folat otak.

➢ Immune

Etiologi imun dapat dikonseptualisasikan sebagai bukti


adanya inflamasi sistem saraf pusat yang dimediasi oleh
autoimun. Contohnya termasuk ensefalitis reseptor anti-NMDA
(N-methyl-D- aspartat) dan ensefalitis anti-LGI1.

➢ Unknown

Penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya


berdasarkan usia hanya awitan, semiologi bangkitan dan
pemeriksaan EEG.

b. Tipe bangkitan dan distribusi


Secara garis besar menurut klasifikasi ILAE tahun 1981,
bangkitan epileptik dibagi menjadi:
1. Bangkitan parsial (fokal atau Iokal)
2. Bangkitan umum (tonik, klonik atau tonik- klonik, mioklonik,
dan absans tipikal atau atipikal)
3. Bangkitan epileptik tidak terklasifikasi
4. Bangkitan berkepanjangan atau berulang (status epileptikus)
c. Sindrom Epilepsi
Klasifikasi terbaru untuk sindrom epilepsi sampai saat ini belum ada,
sehingga dalam buku pedoman dan tata laksana ini masih digunakan
klasifikasi ILAE tahun 1989 untuk sindrom epilepsi.
1. Fokal
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah
sentrotemporal (childhood epilepsy with
centrotemporal spikes)
2) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada
daerah oksipital
3) Epilepsi primer saat membaca (primary reading
epilepsy)
b. Simtomatik
1) Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada
anak-anak (Kojenikow's Syndrome)
2) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh
suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal
tinggi, membaca)
3) Epilepsi lobus temporal
4) Epilepsi lobus frontal
5) Epilepsi lobus parietal
6) Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
a. Idiopatik
1) Epilepsi neonatus familial benigna
2) Epilepsi neonatus benigna
3) Epilepsi mioklonik benigna pada bayi (Benign
Myoclonic Epilepsy in Infancy)
4) Epilepsi lena pada anak (Childhood Absence Epilepsy)
5) Epilepsi lena pada remaja (Juvenile Absence Epilepsy)
6) Epilepsi mioklonik pada remaja (Juvenile Myoclonic
Epilepsy)
7) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada
saat terjaga
8) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
satu di atas
9) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi oleh faktor
tertentu
b. Kriptogenik atau simtomatik
1) Sindrom West (spasme infantil dan spasme salam)
2) Sindrom Lennox-Gastaut
3) Epilepsi mioklonik astatik
4) Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatik
1) Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik dini
- Ensefalopati pada infantil dini dengan burst
suppression
- Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak
termasuk di
atas
2) Sindrom spesifik
3) Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau


umum
a. Bangkitan umum dan fokal
1) Bangkitan neonatal
2) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3) Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur
dalam
4) Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom
Landau-Kleffner)
5) Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
1) Kejang demam
2) Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya
sekali (isolated)
3) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
metabolik akut, atau toksik, alkohol, obat-obatan,
Eklampsia, hiperglikemik non ketotik
4) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
refleks)

3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi epilepsi


Komposisi elektrolit dan neurotransmiter saling mempengaruhi
satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam dan
luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta
keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktivitas
tersebut akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan
repolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel
neuron. Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah
natrium (Na+), kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+), dan
klorida (Cl}.
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat
yang akan berikatan dengan reseptornya, yaitu N-metil-0-aspartat
(NMDA) dan non-NMDA (amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxazole
propionic acid/AMPA dan kainat). Sementara pada proses inhibisi,
neurotransmitter utama adalah (GABA) yang akan berikatan dengan
reseptornya GABAa dan GABAb.
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah
sinapsis, akan terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat akan
berikatan dengan reseptor non-NMDA, dan Na• akan masuk ke dalam
sel menyebabkan terjadinya depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi
mencapai ambang potensial, maka Mg2•yang menduduki reseptor
NMDA yang sudah berikatan dengan glutamat dan ko-agonisnya (glisin)
dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na•akan masuk ke dalam sel
diikuti oleh Ca2•. Masuknya Na• dan Ca2• akan memperpanjang
potensial eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah Na•
mencapai ambang batas depolarisasi, K• akan 'keluar dari dalam sel,
yang disebut sebagai repolarisasi.
Sementara itu, Ca2• yang masuk ke dalam sel juga akan
mendorong pelepasan neurotransmitter GABA ke celah sinaps. Saat
GABA berikatan dengan reseptor GABA pascasinaps dan mencetuskan
potensial inhibisi, CI- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan ambang
potensial membran sel sampai kembali ke ambang istirahat pada -70!-lV
yang disebut sebagai hiperpolarisasi. Reseptor GABA di presinaps
berperan memperpanjang potensial inhibisi. Adanya ketidakseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan hipereksitabilitas yang
pada akhirnya akan menyebabkan bangkitan epileptik.

4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis epilepsi


a. Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal berikut:
Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca-bangkitan
● Sebelum bangkitan/gejala prodromal Kondisi fisik dan psikis
yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain- lain.
● Selama bangkitan/iktal
➔ Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
➔ Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisme,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-lain. Akan lebih baik bila
keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau
merekam video saat bangkitan.
➔ Apakah terdapat lebih dari satu tipe bangkitan?
➔ Apakah terdapat perubahan tipe dari bangkitan
sebelumnya?
➔ Waktu terjadi bangkitan: saat tidur, saat terjaga, bermain,
video game, berkemih, atau sewaktu-waktu.
● Pasca-bangkitan/post-ictal: bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan
(paralisis Todd).
● Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres
psikologis, alkohol.
● Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
● Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya
➔ Jenis, dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
➔ Kadar OAE dalam plasma.
● Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang
menjadi penyebab serta komorbiditas.
● Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
● Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.

b. Pemeriksaan fisik
a) Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan
epilepsi, misalnya :
● Trauma kepala
● Tanda-tanda infeksi
● Kelainan kongenital
● Kecanduan alkohol atau napza
● Kelainan pada kulit (neuro fakomatosis)
● Tanda-tanda keganasan
b) Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam
beberapa menit setelah bangkitan maka akan tampak tanda pasca
bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti :
● Paresis Todd
● Gangguan kesadaran pascaiktal/pasca bangkitan
● Afasia pascaiktal/pasca bangkitan

c. pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
i. Membantu menunjang diagnosis
ii. Membantu menentukan tipe epilepsi
iii. Membantu menentukan prognosis
iv. Membantu menentukan perlu atau tidaknya OAE
v. Membantu menentukan penghentian OAE
b. Pencitraan otak
i. CT-Scan, pada kasus kejang pertama di usia dewasa, lebih
ditujukan untuk kegawatdaruratan
ii. MRI
c. Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan hematologis
1. elektrolit, gula darah, fungsi hati(SGOT/SGPT)
2. dilakukan pada awal pengobatan untuk
menentukan obat yang akan diberikan
3. dua bulan setelah OAE untuk mengetahui efek
samping
4. rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor
efek samping
ii. kadar OAE plasma
Dilakukan bila bangkitan belum terkontrol meskipun
OAE sudah mencapai dosis maksimal untuk memonitor
kepatuhan pasien
d. Pemeriksaan lain yang menunjang indikasi
i. pungsi lumbal
ii. EKG

5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana epilepsi


a. Umum

Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang
epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk
penyandang mental yang dimilikinya. Harapannya adalah bebas
bangkitan, tanpa efek samping.

Indikasi pemberian obat OAB


Pada bangkitan epileptik pertama, OAB dapat diberikan bila
terdapat resiko yang tinggi untuk terjadinya bangkitan berulang.
Misalnya pada status epileptikus sebagai bangkitan epileptik pertama,
ditemukannya lesi intrakranial sebagai penyebab bangkitan, riwayat
keluarga epilepsi dan beberapa indikasi lainnya.

Mekanisme kerja OAB


Secara farmakologi, OAB dibagi menjadi tiga, yaitu OAB yang
memodulasi voltage gated ion channels yang bertanggung jawab
terhadap propagasi impuls listrik otak, OAB yang memperkuat inhibisi
sinaptik sehingga menghentikan impuls listrik otak, dan OAB yang
menginhibisi eksitasi sinaptik.
OAB yang memodulasi voltage gated ion channels adalah
obat-obat yang memiliki target kerja menginhibisi pada kanal natrium
dan kalsium diantaranya adalah karbamazepin, fenitoin, etosuksimid, dan
lamotrigin. OAB yang memperkuat inhibisi sinaptik akan meningkatkan
aktivitas GABA, sebagian neurotransmitter inhibitorik di sistem saraf
pusat, diantaranya adalah golongan benzodiazepin, vigabatrin, dan
tiagabin. Sedangkan OAB yang menginhibisi eksitasi sinaptik akan
menurunkan aktivitas neurotransmiter glutamat diantaranya felbamat,
topiramat, dan perampanel.

Pemilihan OAB
OAB diberikan berdasarkan tipe bangkitan dan usia
Sumber: Aninditha dkk., 2022.
Selain tipe bangkitan dan usia, pemilihan OAB perlu
memperhatikan faktor-faktor individual seperti komorbiditas, interaksi
obat, ekonomi, dan ketersediaan.
Pemberian OAB menggunakan prinsip start low go slow. Prinsip
ini digunakan untuk pemantauan efek samping dan mencari dosis
terendah yang sudah dapat mengontrol bangkitan. Dosis obat dimulai
dari dosis titrasi terkecil dan dinaikkan secara bertahap sampai dosis
terapi tercapai. Sebagian kecil pasien bahkan sudah mencapai dosis
optimal yang dapat mengontrol bangkitan sebelum mencapai dosis
terapi. Pantau efek samping jangka pendek, seperti mengantuk,
gangguan emosi dan perilaku, gangguan hematologi, fungsi hepar, atau
alergi.

Sumber: Kusumastuti., dkk. 2014.


Jika bebas bangkitan belum tercapai namun tidak ditemukan efek
samping dan pasien merasa nyaman dengan obat tersebut, dosis OAB
dapat dinaikkan bertahap sampai tercapai bebas bangkitan. Bila terjadi
efek samping atau intoksikasi maka dosis OAB dapat diturunkan atau
dihentikan.
Sebagian pasien memerlukan lebih dari satu percobaan OAB
untuk mengontrol bangkitan epileptik. Respons terhadap OAB dapat
dilihat dari berkurangnya 50% frekuensi bangkitan pada tiap peningkatan
dosis. Namun bila sampai dosis tertentu frekuensi bangkitan tidak
berkurang lagi, maka perlu dipertimbangan pemilihan OAB lini pertama
lainnya sebagai substitusi atau penambahan OAB lini lainnya yang
bersinergi dengan OAB pertama sebagai terapi ajuvan. Salah satu
indikator respons baik terhadap terapi apabila frekuensi bangkitan
berkurang sampai dengan kurang dari 1x per bulan atau interval antar
bangkitan 3 kali lebih panjang dibandingkan sebelum diberikan OAB.
Bila respon terhadap OAB pertama baik namun tidak bebas bangkitan,
maka diberikan terapi ajuvan. Namun bila respons terhadap OAB
pertama tidak baik, maka substitusi OAB ke-2 lebih dianjurkan. Apabila
tidak tercapai bebas bangkitan, maka ada kemungkinan pasien akan
mendapatkan politerapi untuk mengontrol bangkitannya.

Sumber: Aninditha dkk., 2022.


Bila bangkitan epileptik terkontrol dengan OAB selama minimal
3 tahun, OAB dapat dihentikan. Penghentian OAB dilakukan secara
bertahap minimal selama 3-6 bulan.
Apabila didapatkan bangkitan saat proses penurunan dosis OAB
atau setelah penghentian OAB, dosis OAB dikembalikan ke dosis
terakhir yang dapat mengontrol bangkitan. Selain itu disarankan untuk
kembali mengevaluasi bangkitan selama 3 tahun sebelum kembali
mencoba menghentikan pemberian OAB. Epilepsi baru dikatakan remisi
apabila pasien bebas bangkitan selama 5 tahun dan 5 tahun tanpa OAB.
Tatalaksana non medikamentosa
1. Pembedahan epilepsi
a. Lobektomi temporal anterior.
b. Selective Amygdalahippocampectomy.
2. Stimulasi nervus vagus
Menanam elektroda stimulator yang diletakkan pada nervus
vagus kiri.
3. Diet ketogenik
Merupakan diet rendah protein dan karbohidrat serta tinggi
lemak. Dalam kondisi kekurangan glukosa, badan keton
berfungsi menggantikan glukosa dalam bentuk ketosis. Badan
keton mempengaruhi kerja neuron dan pengeluaran
neurotransmitter, serta meningkatkan hiperpolarisasi membran
dengan peningkatan GABA atau penurunan glutamat, adenosin,
atau norepinefrin.

b. Pada kehamilan

Tata Laksana Sebelum Kehamilan

1. Berikan penyuluhan kepada setiap perempuan yang menggunakan


OAE dalam masa reproduksi tentang berbagai risiko dan keuntungan
akibat penggunaan OAE terhadap kehamilan dan janin.
2. OAE diberikan dalam dosis optimal sebelum konsepsi (bila
memungkinkan periksa kadar obat dalam darah sebagai basis
pengukuran).
3. Bila memungkinkan ganti ke OAE yang kurang teratogenik, dan dosis
efektif harus tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi.
4. Hindari penggunaan OAE politerapi.
5. Apabila memungkinkan, hindari penggunaan asam valproat. Apabila
terpaksa digunakan, berikan dosis terkecil (kurang dari 750 mg) dan
gunakan bentuk lepas lambat.

Tata Laksana Saat Hamil

1. Bila mengalami bebas bangkitan minimal 9 bulan sebelum kehamilan,


kemungkinan besar (84-92%) akan tetap bebas bangkitan selama
kehamilannya
2. Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya
hanya untuk mengurangi resiko teratogenik
3. Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi dianjurkan untuk
dilakukan:
● pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum dan asetilkolinesterase
dalam cairan amnion (pada minggu 14-16 kehamilan); dan
● pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan).
4. Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan di atas, merupakan
bahan pertimbangan untuk tidak meneruskan kehamilan:
5. Kadar OAE diperiksa awal trimester dan pada bulan terakhir
kehamilan.
6. Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun di bawah kadar
OAE sebelum kehamilan, atau sesuai kebutuhan klinik.

Persalinan pada Penyandang Epilepsi

1. Sebaiknya dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk


perawatan intensif untuk ibu dan neonatus.
2. Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam dengan
persalinan tanpa nyeri dengan epidural analgesia.
3. Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan.
4. Kejang saat persalinan dihentikan dengan menggunakan diazepam 10
mg i.v, atau fenitoin 15-20 mg/kg bolus iv diikuti dosis rumatan.
5. Vitamin K 1 mg intramuskular diberikan pada neonatus saat
dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE penginduksi-enzim
untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan.

Tatalaksana Setelah Persalinan

1. Bila dosis OAE dinaikkan selama kehamilan, maka turunkan kembali


secara bertahap sampai ke dosis sebelum kehamilan untuk
menghindari toksisitas. Kadar OAE perlu dipantau sampai minggu ke
8 pasca persalinan.
2. Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan
akibat kurang tidur dan kelelahan karena merawat bayi, sehingga
diperlukan pendampingan.
3. Merawat bayi sebaiknya dilakukan di lantai untuk menghindari bayi
terjatuh di saat ibu mengalami kekambuhan.

EPILEPSI PADA MENYUSUI

1. Semua OAE terdapat pada air susu ibu (ASI) walaupun dalam
proporsi yang berbeda-beda.
2. OAE yang relatif aman untuk menyusui adalah fenitoin, asam
valproat, dan karbamazepin. OAE dengan profil keamanan sedang
meliputi lamotrigin, okskarbazepin, levetiracetam, topiramat,
gabapentin, pregabalin, vigabatrin, dan tiagabine. OAE dengan
kemungkinan berisiko saat menyusui adalah fenobarbital, primidon,
benzodiazepine, etosuksimid, zonisamide, dan felbamat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Epilepsi adalah penyakit kronis yang memiliki ciri khas berupa kejang
kambuhan yang seringnya muncul tanpa pencetus. Kejang epilepsi terjadi karena
adanya gangguan sistem saraf pusat (neurologis) yang menyebabkan kejang atau
terkadang hilang kesadaran.
Dalam kebanyakan kasus, penyebabnya tidak diketahui, walaupun
beberapa orang menderita epilepsi sebagai akibat dari cedera otak, stroke,
kanker otak, dan penyalahgunaan obat dan alkohol, diantaranya. Kejang
epileptik adalah akibat dari aktivitas sel saraf kortikal yang berlebihan dan tidak
normal di dalam otak. Diagnosisnya biasanya termasuk menyingkirkan
kondisi-kondisi lain yang mungkin menyebabkan gejala-gejala serupa (seperti
sinkop) serta mencari tahu apakah ada penyebab-penyebab langsung. Epilepsi
sering bisa dikonfirmasikan dengan elektroensefalografi (EEG).
Epilepsi tidak bisa disembuhkan, tetapi serangan-serangan bisa dikontrol
dengan pengobatan pada sekitar 70% kasus. Bagi mereka yang serangannya
tidak berespon terhadap pengobatan, bedah, stimulasi saraf atau perubahan
asupan makanan bisa dipertimbangkan. Tidak semua gejala epilepsi berlangsung
seumur hidup, dan sejumlah besar orang mengalami perbaikan bahkan hingga
pengobatan tidak diperlukan lagi.

B. Saran
Di dalam proses pembuatan laporan dan diskusi kelompok kecil yang
telah kami lakukan tentu ada kesalahan yang kami lakukan baik mengenai
kekurangan materi atau selama proses perjalanan diskusi kelompok kecil. Dari
hasil laporan ini kami mengharapkan saran atau kritik yang dapat diberikan
kepada kami membantu agar kami dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan
kami untuk menjadi lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, dkk. (2016). Panduan Praktis Klinis Neurologi. Perhimpunan


Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Departemen Neurologi FKUI. (2017). Buku Ajar Neurologi FKUI, Jilid 2.


Jakarta. Departemen Neurologi FKUI.

Hauser, S. L. (2010). Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. (2nd ed).


United States: McGraw Hill Education

PERDOSSI. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta Pusat: Perhimpunan


Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2016

Ingrid E. Scheffer. 2017. ILAE Classification of the Epilepsies: Position Paper


of the ILAE Commission for Classification and Terminology. International League
Against Epilepsy.

Anda mungkin juga menyukai