Anda di halaman 1dari 10

Penyimpangan Pancasila sebagai Etika pada Orde Lama, Orde Baru, dan Era

Reformasi

Anda dipersilakan untuk membangun argumen dan menemukan faktor-faktor


penyebab terjadinya penyimpangan atas Pancasila sebagai sistem etika pada
zaman Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi.

Penyebab Penyimpangan atas Pancasila sebagai sistem etika

⚫ Pada Orde Lama (1945-1965)

- Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama


DPR) telah mengeluarkan ketentuan perundangan yang tidak ada dalam UUD
1945 dalam bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR.

- MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini
bertentangan dengan UUD 1945, karena DPR menolak APBN yang diajukan
oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-
GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

- Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN
yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong
Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh
presiden.

- Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara.


termasuk pimpinan MPR kedudukannya sederajat dengan menteri.
Sedangkan presiden menjadi anggota DPA.

- Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi terpimpin.

- Berubahnya arah politik luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik
yang memihak salah satu blok.

⚫ Pada Orde Baru (1966-1998)

- Dalam praktek pemilihan umum, terjadi pelanggaran misalnya:

a. Terpengaruhnya pilihan rakyat oleh campur tangan birokrasi.

b. Panitia pemilu tidak independen.

c. Kompetisi antarkontestan tidak leluasa.

d. Penghitungan suara tidak jujur.

e. Kampanye terhambat oleh aparat keamanan/perizinan.

- Di bidang politik, antara lain:


a. Ditetapkannya calon resmi partai politik dan Golkar dari keluarga
presiden atau yang terlibat dengan bisnis keluarga presiden, dan calon
anggota DPR/MPR yang monoloyalitas terhadap presiden (lahirnya budaya
paternalisti /kebapakan dan feodal gaya baru)

b. Tidak berfungsinya kontrol dari lembaga kenegaraan politik dan sosial,


karena didominasi kekuasaan presiden/eksekutif yang tertutup sehingga
memicu budaya korupsi kolusi dan nepotisme.

c. Golkar secara terbuka melakukan kegiatan politik sampai ke desa-desa,


sedangkan parpol hanya sampai kabupaten.

d. Ormas hanya diperbolehkan berafiliasi kepada Golkar.

e. Berlakunya demokrasi terpimpin konstitusional (Eep Saefulloh Fatah,


1997: 26).

- Di bidang hukum, antara lain:

a. Belum memadainya perundang-undangan tentang batasan kekuasaan


presiden dan adanya banyak penafsiran terhadap pasal-pasal UUD 1945.

b. Tidak tegaknya supremasi hukum karena penegak hukum tidak


konsisten, adanya mafia peradilan, dan banyaknya praktek korupsi, kolusi
dan nepotisme. Hal ini tidak menjamin rasa adil, pengayoman dan
kepastian hukum bagi masyarakat.

c. Ada penyimpangan sekurang-kurangnya 79 Kepres (1993-1998) yang


dijadikan alat kekuasaan sehingga penyelewengan terlindungi secara legal
dan berlangsung lama (hasil kajian hukum masyarakat transparansi
Indonesia).

- Di bidang ekonomi, antara lain:

a. Perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD 1945


tidak terpenuhi, karena munculnya pola monopoli terpuruk dan tidak
bersaing. Akses ekonomi kerakyatan sangat minim.

b. Keberhasilan pembangunan yang tidak merata menimbulkan


kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta merebaknya KKN.

c. Bercampurnya institusi negara dan swasta, misalnya bercampurnya


jabatan publik, perusahaan serta yayasan sehingga pemegang kekuasaan
dan keuntungan menjadi pemenang serta mengambil keuntungan secara
tidak adil. Sebagai contoh kasus-kasus Kepres Mobil Nasional, Institusi
Bulog, subordinasi Bank Indonesia, dan proteksi Chandra Asri
d. Adanya korporatisme yang bersifat sentralis, ditandai oleh urbanisasi
besar-besaran dari desa ke kota atau dari daerah ke pusat. Korporatisme
ialah sistem kenegaraan dimana pemerintah dan swasta saling
berhubungan secara tertutup satu sama lain, yang ciri-cirinya antara lain
keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi yang
dekat dengan kekuasaan, dan adanya kolusi antara kelompok kepentingan
ekonomi serta kelompok kepentingan politik

e. Perkembangan utang luar negeri dari tahun ke tahun cenderung


meningkat. f. Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang ditandai
naiknya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat.
Krisis ini melahirkan krisis politik, yaitu ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi yang berkepanjangan,
besarnya utang yang harus dipikul oleh negara, meningkatnya
pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial, menumbuhkan krisis di
berbagai bidang kehidupan. Hal ini mendorong timbulnya gerakan
masyarakat terhadap pemerintah, yang dipelopori oleh para mahasiswa
dan dosen. Demonstrasi besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1998
merupakan puncak keruntuhan Orde Baru, yang diakhiri dengan
penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada B.J. Habibie pada
tanggal 21 Mei 1998.

⚫ Pada Era Reformasi

- Belum terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan


perudang-undangan menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun
perekonomian menunjukkan perbaikan dibandingkan saat jatuhnya
Presiden Soeharto.
- Kasus pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada
masa pemerintahan Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru
bagi rakyat banyak karena tidak dipikirkan penggReformas
- Ada perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang
berlanjut dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus "Brunei
Gate" dan "Bulog Gate", kemudian MPR memberhentikan presiden karena
dianggap melanggar haluan negara.
- Baik pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati,
belum terselesaikan masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan
Tengah dan ancaman disintegrasi lainnya.
- Belum maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-
kasus pelanggaran HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran,
pemulihan investasi, kredibilitas aparatur negara, utang domestik,
kesehatan dan pendidikan serta kerukunan beragama.
Anda dipersilakan untuk menelusuri konsep dan pengertian Pancasila sebagai
sistem etika sebagaimana yang terkandung dalam sila 1, 2, 3, 4, dan 5 sehingga
penamaan etika Pancasila sebagai Common Denominator dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah-filosofis. Kemudian mendiskusikan tentang
etika Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia

JAWABAN

Pancasila adalah dasar filsafat negara dan ideologi yang menjadi panduan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Konsep Pancasila terdiri dari
lima sila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Mari kita telaah masing-masing sila dan hubungannya dengan sistem etika:

1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama Pancasila menegaskan pengakuan terhadap adanya Tuhan yang Maha
Esa. Dalam konteks etika, sila ini mencerminkan pentingnya nilai-nilai moral dan
etika yang bersumber dari keyakinan agama atau kepercayaan kepada Tuhan.
Etika Pancasila memandang bahwa nilai-nilai moral dan etika yang diperoleh dari
ajaran agama atau kepercayaan kepada Tuhan menjadi landasan penting dalam
kehidupan bermasyarakat.

2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua menggarisbawahi pentingnya menghargai martabat manusia,


menjunjung tinggi keadilan, dan menegakkan norma-norma etika dalam interaksi
sosial. Etika Pancasila dalam sila ini menekankan pentingnya menjunjung tinggi
hak asasi manusia, kesetaraan, keadilan, dan sikap beradab dalam berinteraksi
dengan sesama.

3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia

Sila ketiga menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara. Etika Pancasila dalam sila ini menekankan pentingnya
kerjasama, solidaritas, dan saling menghormati dalam membangun hubungan
sosial yang harmonis.

4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan

Sila keempat menggarisbawahi pentingnya partisipasi rakyat dalam pengambilan


keputusan politik dan pemerintahan yang bijaksana. Etika Pancasila dalam sila ini
menekankan pentingnya demokrasi, partisipasi aktif, transparansi, akuntabilitas,
dan keterbukaan dalam kehidupan politik dan pemerintahan.
5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima menegaskan pentingnya keadilan sosial dan kesetaraan dalam


masyarakat. Etika Pancasila dalam sila ini menekankan perlunya pembangunan
yang adil, pemerataan kesempatan, dan peningkatan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia,
etika Pancasila menjadi panduan moral dan prinsip yang dijadikan landasan untuk
menjaga keharmonisan dan keadilan dalam interaksi sosial. Etika Pancasila
mengajarkan nilai

Anda diharapkan untuk menelusuri dan mendiskusikan dalam kelompok Anda


berbagai contoh yang terkait dengan pemberian hadiah yang tulus dan hadiah
yang mengandung unsur gratifikasi sehingga Anda dapat membedakan antara
suatu pemberian itu dikatakan suap dan hadiah atau pemberian yang tulus atau
pemberian tanpa pamrih.

JAWABAN

Dalam kelompok, mari kita telusuri dan diskusikan beberapa contoh terkait
pemberian hadiah yang tulus, hadiah yang mengandung unsur gratifikasi, dan
perbedaan antara pemberian suap, hadiah tulus, dan pemberian tanpa pamrih.

1. Pemberian Hadiah yang Tulus:

Contoh pemberian hadiah yang tulus adalah saat seseorang memberikan hadiah
kepada teman atau anggota keluarga mereka untuk merayakan ulang tahun,
perayaan, atau pencapaian penting. Hadiah tersebut diberikan dengan niat baik,
cinta, atau apresiasi yang tulus tanpa ada harapan mendapatkan imbalan atau
pengaruh tertentu.

2. Hadiah yang Mengandung Unsur Gratifikasi:

Hadiah yang mengandung unsur gratifikasi adalah hadiah yang diberikan dengan
harapan atau tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau pengaruh tertentu.
Contohnya, seseorang memberikan hadiah kepada seorang pegawai pemerintah
dengan tujuan agar mendapatkan akses atau pengaturan kebijakan yang
menguntungkan mereka atau perusahaan mereka.

3. Pemberian Suap:

Suap adalah bentuk pemberian hadiah yang dilakukan dengan maksud


mempengaruhi atau memperoleh keuntungan yang tidak seharusnya melalui
tindakan korupsi. Contoh suap adalah saat seseorang memberikan uang atau
barang berharga kepada pejabat pemerintah dengan tujuan agar mereka
melakukan tindakan ilegal atau melanggar prosedur.
Perbedaan antara pemberian suap, hadiah yang tulus, dan pemberian tanpa
pamrih terletak pada niat di balik pemberian tersebut dan tujuan yang
diharapkan. Pemberian suap memiliki niat untuk memperoleh keuntungan yang
tidak seharusnya, sementara hadiah tulus diberikan sebagai tanda kasih sayang,
apresiasi, atau perayaan. Pemberian tanpa pamrih tidak memiliki harapan
pengaruh atau imbalan tertentu dan dilakukan semata-mata atas dasar kebaikan
hati atau keinginan untuk mempererat hubungan sosial.

Penting untuk memahami bahwa perbedaan antara hadiah tulus, hadiah dengan
unsur gratifikasi, dan suap dapat menjadi hal yang rumit dan tergantung pada
konteks dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan
niat, tujuan, dan konsekuensi dari pemberian hadiah agar tidak terjerat dalam
tindakan yang melanggar etika atau hukum.

Berbagai faktor penyebab terjadinya perusakan lingkungan dan dampak


perusakan lingkungan terhadap hajat hidup orang banyak. Ada beberapa faktor
penyebab terjadinya perusakan lingkungan yang dapat memiliki dampak negatif
pada hajat hidup orang banyak. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab dan
dampak perusakan lingkungan:

1. Faktor Penyebab Perusakan Lingkungan: Industrialisasi dan Urbanisasi:


Pertumbuhan industri dan perkotaan yang cepat menyebabkan peningkatan
penggunaan sumber daya alam, polusi, dan penurunan kualitas lingkungan.
2. Eksploitasi Sumber Daya Alam: Eksploitasi berlebihan terhadap sumber
daya alam seperti hutan, air tanah, mineral, dan energi fosil menyebabkan
kerusakan ekosistem dan kehilangan keanekaragaman hayati.
3. Polusi Lingkungan: Polusi udara, air, dan tanah akibat limbah industri,
pertanian intensif, limbah domestik, serta emisi gas rumah kaca
berdampak negatif pada kesehatan manusia dan ekosistem.
4. Deforestasi: Penggundulan hutan yang tidak terkendali untuk memperluas
lahan pertanian, industri kayu, atau keperluan lain merusak ekosistem,
mengurangi penyerapan karbon, dan menyebabkan banjir serta longsor.
5. Perubahan Iklim: Peningkatan emisi gas rumah kaca akibat pembakaran
bahan bakar fosil menyebabkan perubahan iklim global dengan dampak
seperti kenaikan suhu, perubahan pola cuaca, dan peningkatan kejadian
bencana alam.

Dampak Perusakan Lingkungan terhadap Hajat Hidup Orang Banyak:

1. Kehilangan Keanekaragaman Hayati: Perusakan lingkungan mengakibatkan


kepunahan spesies, hilangnya habitat alami, dan gangguan pada ekosistem,
mengurangi ketersediaan sumber daya hayati dan mengancam
keberlanjutan sistem kehidupan.
2. Perubahan Iklim dan Bencana Alam: Perubahan iklim akibat perusakan
lingkungan menyebabkan kenaikan suhu, cuaca ekstrem, banjir, kekeringan,
badai, dan bencana alam lainnya, yang mengganggu kehidupan dan
menyebabkan kerugian manusia yang besar.
3. Kesehatan Manusia: Polusi lingkungan dapat menyebabkan penyakit
pernapasan, keracunan, masalah kulit, dan gangguan kesehatan lainnya.
Pencemaran air dapat menyebabkan keracunan, penyakit perut, dan
penyebaran penyakit menular.
4. Ketidakseimbangan Ekonomi dan Sosial: Perusakan lingkungan dapat
mengganggu sektor ekonomi seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan
infrastruktur. Hal ini berdampak pada penghidupan masyarakat,
kemiskinan, migrasi, dan konflik sosial.
5. Kekurangan Sumber Daya: Perusakan lingkungan mengurangi ketersediaan
air bersih, pangan, energi, dan sumber daya alam lainnya, yang dapat

Menggali sumber historis Pancasila sebagai sumber etika pada zaman Orde Lama,
Orde Baru, dan era reformasi. Membandingkan dan menunjukkan kekhasan yang
terdapat pada masing-masing zaman. Menunjukkan dalam berbagai contoh bentuk
pelanggaran etis yang dilakukan pada masing-masing zaman

Pancasila sebagai sumber etika memiliki sejarah yang berbeda pada zaman Orde
Lama, Orde Baru, dan era reformasi di Indonesia. Berikut ini adalah gambaran
umum mengenai sumber historis Pancasila sebagai sumber etika pada masing-
masing zaman:

1. Zaman Orde Lama:

Pada zaman Orde Lama, Pancasila menjadi landasan filosofis negara dan
pemerintahan Indonesia. Sumber historis Pancasila pada masa ini terkait dengan
proses penyusunan dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang
diresmikan melalui Piagam Jakarta pada tahun 1945. Pancasila dianggap sebagai
panduan moral dan nilai-nilai etika yang mendasari kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam konteks pelanggaran etika, zaman Orde Lama juga menyaksikan
beberapa bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila. Salah satu contohnya
adalah pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, di mana
kebebasan berekspresi dan partisipasi politik dibatasi oleh pemerintah. Selain
itu, korupsi dan nepotisme juga menjadi pelanggaran terhadap prinsip keadilan
sosial dalam Pancasila.

2. Zaman Orde Baru:

Pada zaman Orde Baru, Pancasila juga diakui sebagai sumber etika negara.
Namun, dalam praktiknya, pemerintahan Orde Baru memberikan penekanan yang
lebih kuat pada satu interpretasi Pancasila yang dikenal sebagai “Pancasila dalam
Trilogi Pembangunan” yang terdiri dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Di
era Orde Baru, terjadi beberapa pelanggaran etika yang berkaitan dengan
pemaksaan interpretasi Pancasila yang sempit dan represi terhadap kebebasan
berpendapat dan berekspresi. Terdapat pembatasan terhadap kebebasan pers,
penganiayaan terhadap kelompok-kelompok minoritas, serta pembredelan partai
politik dan organisasi masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan paham
Pancasila yang diusung oleh rezim.

3. Era Reformasi:

Era reformasi, yang dimulai pada tahun 1998, ditandai dengan perubahan politik
yang signifikan di Indonesia. Pancasila tetap menjadi sumber etika negara dan
diakui sebagai landasan moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun,
perubahan tersebut membawa pergeseran dalam interpretasi dan praktik
penerapan Pancasila.

Dalam era reformasi, Pancasila lebih diartikulasikan sebagai landasan demokrasi,


hak asasi manusia, pluralisme, dan supremasi hukum. Pemerintah dan masyarakat
lebih terbuka terhadap perbedaan pendapat dan menempatkan pentingnya dialog,
partisipasi, dan keadilan dalam konteks nilai-nilai Pancasila. Meskipun demikian,
era reformasi juga menghadapi berbagai pelanggaran etika, seperti korupsi yang
masih meluas, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, serta politik
identitas yang memicu konflik

Menggali sumber politis tentang Pancasila sebagai sistem etika dalam bentuk
perilaku politik yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pancasila sebagai sistem etika memiliki implikasi politis yang penting dalam
perilaku politik di Indonesia. Berikut ini adalah contoh perilaku politik yang
sesuai dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila:

Perilaku Politik yang Sesuai dengan Pancasila:

1. Keterbukaan dan Partisipasi Politik: Pancasila menganjurkan keterbukaan


dalam berpendapat, memperjuangkan kepentingan bersama, dan partisipasi
aktif dalam proses politik. Perilaku politik yang sesuai dengan Pancasila
adalah mendukung kebebasan berekspresi, berorganisasi politik, dan
berpartisipasi dalam pemilihan umum.
2. Keadilan Sosial: Pancasila menekankan pentingnya keadilan sosial. Perilaku
politik yang sesuai dengan Pancasila adalah memperjuangkan kebijakan dan
langkah-langkah yang mengurangi kesenjangan sosial, melindungi hak-hak
rakyat, dan memperjuangkan akses yang adil terhadap sumber daya dan
layanan publik.
3. Persatuan dan Kerukunan: Pancasila mengajarkan pentingnya persatuan dan
kerukunan antarwarga negara yang beragam. Perilaku politik yang sesuai
dengan Pancasila adalah membangun dialog, menghormati perbedaan, dan
mendorong integrasi sosial dalam membangun persatuan dan kesatuan
bangsa.

Perilaku Politik yang Tidak Sesuai dengan Pancasila:

1. Korupsi: Korupsi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama


prinsip keadilan sosial. Perilaku politik yang tidak sesuai dengan Pancasila
adalah menerima atau memberikan suap, memperkaya diri sendiri melalui
jabatan politik, atau menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan
pribadi.
2. Diskriminasi dan Intoleransi: Pancasila menegaskan pentingnya
menghormati keberagaman dan mendorong kerukunan antarwarga negara.
Perilaku politik yang tidak sesuai dengan Pancasila adalah mempromosikan
diskriminasi ras, agama, suku, atau gender, serta memicu konflik antar
kelompok.
3. Otoritarianisme dan Pembatasan Kebebasan: Pancasila menghargai
kebebasan berpendapat, beragama, dan berekspresi. Perilaku politik yang
tidak sesuai dengan Pancasila adalah membatasi kebebasan individu,
menekan oposisi politik, atau melakukan tindakan represif yang melanggar
hak asasi manusia.

Penting untuk diingat bahwa interpretasi dan penerapan nilai-nilai Pancasila


dalam konteks politik dapat berbeda-beda, dan adanya perbedaan pendapat
merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Namun, penting bagi para pemimpin
dan warga negara untuk memastikan bahwa perilaku politik mereka selaras
dengan prinsip-prinsip dasar Pancasila.

Membangun argunien dan menemukan faktor-faktor penyebab terjadinya


penyimpangan atas Pancasila sebagai sistem etika pada zaman Orde Lama, Orde
Baru, dan era Reformasi.

Faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan terhadap Pancasila sebagai


sistem etika dapat bervariasi pada zaman Orde Lama, Orde Baru, dan era
Reformasi. Berikut ini adalah argumen dan faktor-faktor penyebab yang dapat
diidentifikasi:

Zaman Orde Lama:

Kekuasaan Otoriter: Pada zaman Orde Lama, kekuasaan yang terpusat pada
pemerintahan dan kurangnya mekanisme checks and balances dapat menjadi
faktor penyebab penyimpangan terhadap Pancasila. Kekuasaan yang tidak
terkendali dan kurangnya transparansi bisa memungkinkan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Ketidakjelasan Interpretasi: Pancasila masih dalam proses pengembangan dan
belum memiliki kerangka interpretasi yang jelas pada zaman Orde Lama. Hal ini
dapat menyebabkan penafsiran yang beragam dan kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila.

Zaman Orde Baru:

Dominasi Ideologi Tunggal: Pemerintahan Orde Baru menekankan satu


interpretasi Pancasila yang dikenal sebagai “Pancasila dalam Trilogi
Pembangunan”. Dominasi ideologi tunggal dapat membatasi kebebasan
berpendapat dan menghambat kemajuan demokrasi, sehingga terdapat ruang
untuk penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila yang lebih inklusif.

Represi Politik: Penindasan terhadap oposisi politik, pembatasan kebebasan


berekspresi, dan penganiayaan terhadap kelompok minoritas dapat melanggar
nilai-nilai Pancasila, seperti persatuan, keadilan sosial, dan hak asasi manusia.

Era Reformasi:

Korupsi dan Ketidakadilan: Meskipun era Reformasi memberikan harapan baru


untuk transparansi dan akuntabilitas, korupsi masih menjadi faktor
penyimpangan utama terhadap nilai-nilai Pancasila. Praktik korupsi dan
ketidakadilan dalam sistem politik dan pemerintahan dapat merusak kepercayaan
masyarakat dan melanggar prinsip-prinsip etika Pancasila.

Politik Identitas dan Konflik: Perilaku politik yang didasarkan pada politik
identitas dan kelompok dapat melanggar nilai-nilai persatuan dan kerukunan
dalam Pancasila. Ketegangan antar kelompok, diskriminasi, dan konflik sosial bisa
terjadi sebagai penyimpangan dari semangat inklusif Pancasila.

Penting untuk diingat bahwa faktor-faktor penyebab penyimpangan terhadap


Pancasila sebagai sistem etika dapat saling berkaitan dan terjadi dalam konteks
yang kompleks. Pengaruh politik, kekuasaan, kurangnya transparansi, dan
ketidakadilan sistem dapat menjadi pendorong utama terjadinya penyimpangan
nilai-nilai Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai