Anda di halaman 1dari 30

Muscoloskeletal Disorders

Dosen Pengampuh : Yudi Daeng Polewangi, ST. MT.

Kelompok 3 :

1. Agung permana ( 228150020 )

2. Muhammad Halil Hamda Siregar


( 228150016 )

3. Muhammad Ibnu
Batutah ( 228150018 )
Muscoloskeletal Disorders pada k3

A. DEFINISI MSDs

Musculoskeletal disorders (MSDs) atau gangguan otot rangka merupakan


kerusakan pada otot, saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus
invertebralis. Kerusakan pada otot dapat berupa ketegangan otot, inflamasi, dan
degenerasi. Sedangkan kerusakan pada tulang dapat berupa memar, mikro faktur, patah,
atau terpelintir. MSDs terjadi dengan dua cara:

1. Kelelahan dan keletihan terus menerus yang disebabkan oleh frekuensi atau
periode waktu yang lama dari usaha otot, dihubungkan dengan pengulangan atau usaha
yang terus menerus dari bagian tubuh yang sama meliputi posisi tubuh yang statis;
2. Kerusakan tiba-tiba yang disebabkan oleh aktivitas yang sangat kuat/berat atau
pergerakan yang tak terduga.

Frekuensi yang lebih sering terjadi MSDs adalah pada area tangan, bahu, dan
punggung. Aktivitas yang menjadi penyebab terjadinya MSDs yaitu penanganan bahan
dengan punggung yang membungkuk atau memutar, membawa ke tempat yang jauh
(aktivitas mendorong dan menarik), posisi kerja yang statik dengan punggung
membungkuk atau terus menerus dan duduk atau berdiri tiba-tiba, mengemudikan
kendaraan dalam waktu yang lama (getaran seluruh tubuh), pengulangan atau gerakan
tiba-tiba meliputi

B. Sinonim MSDs

Musculoskeletal disorders (MSDs) juga dikenal dengan nama lain, diantaranya:

 Repetitive Strain Injuries (RSIs);


 Cumulative Trauma Disorders (CTDs);
 Overuse Injuries;
 Repetitive Motion Disorders;
 Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs).

C. Gejala MSDs

Gejala Musculoskeletal disorders (MSDs) dapat menyerang secara cepat maupun


lambat (berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada 3 tahap terjadinya MSDs yang
dapat diidentifikasi yaitu:

Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini
biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh
pada performance kerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat;

Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja.
Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan
berkurangnya performance kerja;

Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika bergerak
secara repetitive. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan, kadang-kadang
tidak sesuai kapasitas kerja

D. Jenis keluhan MSDs

a. Sakit Leher

Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang mengenai leher,
peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring atau kaku leher. Pengguna
komputer yang terkena sakit ini adalah pengguna yang menggunakan gerakan berulang
pada kepala seperti menggambar dan mengarsip, serta pengguna dengan postur yang
kaku;
b. Nyeri Punggung

Nyeri punggung merupakan istilah yang digunakan untuk gejala nyeri punggung yang
spesifik seperti herniasi lumbal, arthiritis, ataupun spasme otot. Nyeri punggung juga
dapat disebabkan oleh tegangan otot dan postur yang buruk saat menggunakan
komputer;

c. Carpal Tunnel Syndrome

Merupakan kumpulan gejala yang mengenai tangan dan pergelangan tangan yang
diakibatkan iritasi dan nervus medianus. Keadaan ini disebabkan oleh aktivitas
berulang yang menyebabkan penekanan pada nervus medianus. Keadaan berulang ini
antara lain seperti mengetik, arthritis, fraktur pergelangan tangan yang
penyembuhannya tidak normal, atau kegiatan apa saja yang menyebabkan penekanan
pada nervus medianus;

d. De Quervains Tenosynovitis

Penyakit ini mengenai pergelangan tangan, ibu jari, dan terkadang lengan bawah,
disebabkan oleh inflamasi tenosinovium dan dua tendon yang berasa di ibu jari
pergelangan tangan. Aktivitas berulang seperti mendorong space bar dengan ibu jari,
menggenggam, menjepit, dan memeras dapat menyebabkan inflamasi
pada tenosinovium. Gejala yang timbul antara lain rasa sakit pada sisi ibu jari lengan
bawah yang dapat menyebar ke atas dan ke bawah;

e. Thoracic Outlet Syndrome

Merupakan keadaan yang mempengaruhi bahu, lengan, dan tangan yang ditandai
dengan nyeri, kelemahan, dan mati rasa pada daerah tersebut. Terjadi jika lima saraf
utama dan dua arteri yang meninggalkan leher tertekan. Thoracic Outlet
Syndrome disebabkan oleh gerakan berulang dengan lengan diatas atau maju kedepan.
Pengguna komputer beresiko terkena sindrom ini karena adanya gerakan berulang
dalam menggunakan keyboard dan mouse;

f. Tennis Elbow

Tennis elbow adalah suatu keadaan inflamasi tendon ekstensor, tendon yang berasal
dari siku lengan bawah dan berjalan keluar ke pergelangan tangan. Tennis
elbow disebabkan oleh gerakan berulang dan tekanan pada tendon ekstensor.
g. Low Back Pain

Low back pain terjadi apabila ada penekanan pada daerah lumbal yaitu L4 dan L5.
Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan posisi tubuh membungkuk ke depan maka akan
terjadi penekanan pada discus.Hal ini berhubungan dengan posisi duduk yang janggal,
kursi yang tidak ergonomis, dan peralatan lainnya yang tidak sesuai dengan
antopometri pekerja

Penyebab gangguan muskuloskeletal

Mengingat muskuloskeletal meliputi banyak bagian dari tubuh, penyebab dari


gangguan ini sangat bervariasi.

Penyebab pasti dari gangguan muskuloskeletal tergantung pada hal-hal di bawah ini.

 Usia, lanjut usia cenderung mengalami nyeri muskuloskeletal dari sel-sel tubuh yang
rusak.
 Jenis pekerjaan atau profesi.
 Intensitas dalam berkegiatan.
 Kebiasaan postur tubuh yang buruk.
 Terlalu pasif dalam melakukan aktivitas fisik.
 Cedera atau trauma pada suatu bagian tubuh yang disebabkan gerakan tiba-tiba.
 Kecelakaan mobil atau motor.

Siapa yang berisiko terkena gangguan muskuloskeletal?

Gangguan muskuloskeletal terjadi ketika Anda terlalu sering menggunakan atau


menyalahgunakan sekelompok otot atau tulang dalam waktu yang lama tanpa
beristirahat.

Ada beberapa beberapa hal yang mungkin bisa meningkatkan risiko Anda mengalami
gangguan sistem gerak ini, di antaranya:

1. Gerakan tertentu

Ini termasuk membungkuk atau berjongkok, mengangkat benda berat, mendorong atau
menarik benda berat, meregangkan otot berlebihan.
Anda juga mungkin kesulitan dalam meraih suatu benda yang jaraknya jauh,
melakukan pekerjaan fisik terlalu lama, serta melakukan gerakan mengulang
menggunakan anggota tubuh yang sama terus-menerus.

Berkendara dengan kendaraan yang berat, melakukan perjalanan jauh, atau berkendara
di jalanan yang berat juga termasuk faktor risiko gangguan muskuloskeletal.

2. Stres

Tidak hanya aktivitas fisik, ternyata stres dan terlalu banyak pikiran dapat
menyebabkan munculnya gangguan muskuloskeletal.

3. Kondisi kesehatan tertentu

Jika Anda memiliki penyakit, masalah kesehatan tertentu, atau baru saja mengalami
cedera, bisa saja Anda mengalami gangguan muskuloskeletal.

Tak hanya itu, kehamilan juga meningkatkan risiko Anda mengalaminya. Bahkan, saat
Anda merasa lelah dan kurang fit, akan lebih mudah mengalami gangguan sistem gerak
dibanding saat sedang dalam kondisi sehat dan bugar.

Cara mendiagnosis gangguan muskuloskeletal

Untuk mendiagnosis gangguan muskuloskeletal, dokter Anda akan


melakukan pemeriksaan fisik dan riwayat medis secara menyeluruh untuk mengetahui
penyebab pasti dari rasa sakit Anda.
Dokter Anda mungkin menguji otot dan sendi untuk:
 kelemahan atau degenerasi,
 setiap kedutan yang dapat menunjukkan kerusakan saraf, serta
 pembengkakan atau kemerahan.
Selain itu, tergantung pada gangguan tertentu, dokter mungkin melakukan tes
pencitraan untuk mengonfirmasi diagnosis.
Mereka mungkin melakukan rontgen untuk melihat tulang, atau tes darah untuk
penyakit rematik.

Gangguan muskuloskeletal pada tulang

Penyakit, kelainan, atau masalah pada tulang yang mengganggu fungsinya dalam
sistem gerak termasuk sebagai gangguan muskuloskeletal.

Berikut macam-macam gangguan sistem rangka berupa penyakit, kelainan, dan


masalah kesehatan tulang.
1. Osteoporosis

Osteoporosis yaitu penyakit tulang yang muncul saat terjadi pengeroposan pada tulang-
tulang di dalam tubuh.
Hal tersebut menyebabkan tulang menjadi lemah dan mudah patah. Pada kasus yang
parah, tulang bisa patah hanya karena bersin atau benturan kecil.

2. Patah tulang (fraktur)

Patah tulang bisa dibedakan berdasarkan tingkat keparahannya. Pada tingkatan yang
masih tergolong ringan, tulang mungkin hanya akan mengalami keretakan saja.
Namun, pada tingkatan yang parah, tulang mungkin patah hingga terbagi dua atau
lebih.ser.

3. Kelainan tulang belakang

Kelainan pada tulang belakang juga termasuk ke dalam gangguan muskuloskeletal.


Ciri-ciri kelainan tulang belakang ialah terjadi masalah pada kelengkungan atau
posisinya.
Ragam kelainan tulang belakang ini termasuk kifosis, lordosis, dan skoliosis.

4. Osteopenia

Osteopenia menyerang tulang ditandai dengan berkurangnya kepadatan tulang. Hal ini
menyebabkan tulang menjadi lebih rapuh.
Kondisi ini terjadi saat kebutuhan tulang akan kalsium tidak terpenuhi. Jika Anda
mengalami osteopenia, risiko untuk mengalami pengeroposan tulang menjadi lebih
tinggi.

5. Osteomalasia

Osteomalasia terjadi saat tulang menjadi lebih lentur dan tidak bisa mengeras, sehingga
sering bengkok dan rentan patah. Kondisi ini biasanya terjadi karena tubuh kekurangan
vitamin D.
Jika dialami pada masa pertumbuhan, postur tubuh menjadi membungkuk atau tulang
menjadi bengkok saat dewasa.

6. Penyakit paget tulang

Penyakit paget tulang akan mengganggu proses daur ulang jaringan tulang yang baru
saat mengganti jaringan tulang yang lama.
Seiring berjalannya waktu, penyakit ini dapat menyebabkan tulang rapuh. Biasanya,
penyakit paget tulang menyerang area panggul, tengkorak, tulang belakang, dan tulang
kaki.
7. Osteopetrosis

Osteopetrosis ditandai dengan bertambahnya kepadatan tulang yang terjadi akibat


masalah reabsorbsi tulang oleh sel tubuh yang dikenal dengan osteoklas.

Kondisi ini menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada kondisi
tertentu, osteopetrosis terjadi bersamaan dengan kelainan pada kerangka tulang.

8. Achondroplasia

Achondroplasia merupakan masalah muskuloskeletal yang menghambat pertumbuhan


tulang rawan menjadi tulang seutuhnya.
Kondisi ini ditandai dengan tubuh kerdil atau dwarfism, pergerakan siku yang terbatas,
ukuran kepala lebih besar daripada normal, dan ukuran jari lebih kecil daripada normal.

9. Osteogenesis imperfecta

Osteogenesis imperfecta (OI) yaitu gangguan muskuloskeletal yang terjadi secara


turun-temurun dan muncul sejak lahir.
Anak yang lahir dengan OI mungkin memiliki tulang yang mudah patah, atau tulang
yang tidak terbentuk dengan sempurna, serta berbagai macam penyakit tulang lainnya.

10. Osteomyelitis

Osteomyelitis ialah infeksi yang menyerang tulang melalui aliran darah atau
penyebaran dari jaringan yang berada dekat dengan tulang.
Namun, infeksi ini juga bisa berasal dari tulang itu sendiri akibat terkontaminasi oleh
bakteri saat mengalami cedera.

Gangguan muskuloskeletal yang menyerang sendi

Masalah-masalah dan penyakit yang menyerang sendi juga termasuk bagian dari
gangguan muskuloskeletal atau sistem gerak. Berikut beberapa jenis gangguan pada
sendi.

1. Arthritis
Arthritis yaitu penyakit yang menyebabkan peradangan pada sendi.
Penyakit ini terbagi ke dalam beberapa jenis, di antaranya osteoarthritis, rheumatoid
arthritis, gout atau asam urat, psoriasis arthritis, dan ankylosing spondylosis.

2. Bursitis
Bursitis merupakan gangguan muskuloskeletal yang mengganggu persendian,
tepatnya bursae, yaitu bagian dari sendi berupa kantung yang menyimpan cairan
pelumas.
Menurut National Health Service, kondisi ini bisa menyebabkan rasa sakit atau nyeri
pada persendian.

3. Tendinitis
Tendinitis yaitu masalah sendi yang menyerang tendon, yaitu penghubung antara tulang
dengan otot. Saat mengalaminya, tendon akan mengalami pembengkakan parah.
Biasanya, kondisi ini terjadi setelah Anda mengalami cedera yang sama berulang kali di
area seperti pergelangan tangan atau kaki.

4. Cedera tendon
Cedera tendon biasanya terjadi karena tendon yang mengalami kerusakan akibat terlalu
sering digunakan atau bagian dari proses penuaan.
Biasanya, orang yang melakukan suatu gerakan yang sama berulang kali berpotensi
mengalaminya.

5. Tennis elbow
Tennis elbow biasanya terjadi di sendi di area siku saat Anda terlalu banyak
menggunakannya.
Ini diakibatkan gerakan berulang yang dilakukan terus-menerus dari pergelangan
tangan atau lengan.

6. Carpal tunnel syndrome


Penyakit ini terjadi karena adanya tekanan di pergelangan tangan Anda. Hal ini dapat
menyebabkan rasa sakit hingga mati rasa di area tangan dan jari tangan.

Carpal tunnel syndrome mungkin terjadi apabila sendi di area tersebut menekan saraf
median sehingga timbul rasa sakit.

Gangguan muskuloskeletal yang menyerang otot

Mengingat sistem muskuloskeletal mencakup sistem otot manusia, berikut ragam


masalah kesehatan dan kelainan pada otot.

1. Myalgia

Myalgia atau nyeri otot merupakan suatu kondisi yang terjadi saat otot terlalu sering
digunakan untuk melakukan gerakan berulang.
Biasanya, kondisi ini dialami setelah Anda melakukan pekerjaan berat yang
mengharuskan untuk melakukan gerakan yang sama berulang kali, atau olahraga intens
dengan gerakan yang sama.
2. Fibromyalgia

Hampir mirip dengan myalgia, fibromyalgia yaitu nyeri otot yang muncul di sekujur
tubuh di waktu yang bersamaan.
Biasanya, kondisi ini juga disertai dengan rasa lelah berlebihan, gangguan tidur, atau
suasan hati yang kacau.

3. Cedera otot

Cedera otot atau dikenal sebagai keseleo juga merupakan salah satu gangguan
muskuloskeletal yang mengganggu sistem otot manusia.
Keseleo bisa dibedakan berdasarkan lokasinya. Sebagai contoh, jika cedera menyerang
tendon, disebut muscle strain. Sedangkan keseleo yang menyerang ligamen
disebut muscle sprain.

4. Distrofi otot

Distrofi otot yaitu sekumpulan penyakit otot yang menyebabkan kelemahan otot secara
perlahan. Kondisi ini disebabkan gen abnormal yang mengganggu produksi protein
yang dibutuhkan oleh otot yang sehat.
Kondisi ini tidak bisa disembuhkan, tapi setidaknya pengobatan dan terapi bisa
dilakukan untuk mengatasi atau meredakan gejala yang ada.

5. Atrofi otot

Penyakit pada otot ini ditandai dengan kelemahan otot yang membuatnya tidak bisa
digunakan.

Atrofi otot bisa disebabkan karena otot terlalu sering tidak digunakan, seperti pada
penderita stroke. Lalu, malnutrisi, penggunaan obat-obatan, hingga penyakit tertentu
juga bisa menjadi penyebabnya.

6. Kram dan kejang otot

Kram otot dan kejang otot merupakan kondisi yang terjadi saat otot mengalami
kontraksi secara tiba-tiba dan di luar kendali.
Kondisi ini bisa saja muncul saat Anda sedang tidur di malam hari, sehingga Anda
terjaga.

Pengobatan gangguan muskuloskeletal

Untuk nyeri yang tergolong ringan atau muncul sesekali, Anda bisa menggunakan obat
pereda nyeri yang dijual secara bebas di apotek seperti ibuprofen atau paracetamol.
Sementara, obat-obatan seperti obat anti-inflamasi (NSAID) dapat digunakan untuk
mengobati peradangan dan nyeri.
Untuk sakit yang lebih parah, Anda mungkin perlu penghilang rasa sakit yang lebih
kuat yang akan memerlukan resep dari dokter.
Untuk nyeri yang berhubungan dengan pekerjaan, terapi fisik dapat membantu Anda
menghindari kerusakan lebih lanjut, sekaligus mengontrol rasa sakit.
Terapi manual, atau mobilisasi, dapat digunakan untuk mengobati masalah dengan
keselarasan tulang belakang. Pengobatan lain mungkin termasuk di bawah ini.

 Teknik relaksasi
 Suntikan dengan obat anestesi atau anti-inflamasi
 Penguatan otot dan latihan peregangan
 Perawatan chiropractic
 Terapi pijat

Bagaimana mengelola gangguan muskuloskeletal?

Anda dapat mengontrol gangguan muskuloskeletal dengan mengelola faktor risiko


Anda dan mencegah cedera. Berikut beberapa tips yang dapat membantu.
 Letakkan benda yang sering digunakan dekat dengan Anda dan mudah diraih untuk
menghindari peregangan berlebih pada lengan Anda.
 Gunakan mesin pembantu sebisa mungkin, seperti menggunakan troli saat hendak
berbelanja dalam jumlah yang banyak.
 Beristirahat sebentar saat melakukan kegiatan yang membuat Anda melakukan gerakan
berulang dalam jangka panjang.
 Gunakan kursi yang empuk saat harus duduk dalam kurun waktu yang lama.
 Atur letak benda-benda di meja secara efektif saat hendak bekerja.
 Gunakan headset atau earphone saat hendak berkomunikasi dalam waktu lama melalui
telepon genggam.
 Batasi mengangkat beban yang berat.
Cakupan

Kesehatan muskuloskeletal mengacu pada kinerja sistem alat gerak, yang terdiri dari
otot utuh, tulang, sendi dan jaringan ikat yang berdekatan. Gangguan muskuloskeletal
terdiri dari lebih dari 150 penyakit/kondisi berbeda yang memengaruhi sistem dan
ditandai dengan gangguan pada otot, tulang, sendi, dan jaringan ikat di sekitarnya yang
menyebabkan keterbatasan fungsi dan partisipasi sementara atau seumur hidup. Kondisi
muskuloskeletal biasanya ditandai dengan nyeri (seringkali menetap) dan keterbatasan
mobilitas dan ketangkasan, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk bekerja
dan berpartisipasi dalam masyarakat. Nyeri yang dialami pada struktur muskuloskeletal
merupakan bentuk nyeri non-kanker yang paling umum.

Kondisi muskuloskeletal relevan sepanjang hidup - dari masa kanak-kanak hingga usia
tua. Ini berkisar dari kondisi yang muncul tiba-tiba dan berumur pendek (seperti patah
tulang, keseleo, dan ketegangan, terkait dengan nyeri dan keterbatasan fungsi) hingga
kondisi jangka panjang seperti nyeri punggung bawah primer kronis dan osteoartritis.

Kondisi muskuloskeletal termasuk kondisi yang mempengaruhi:


 sendi, seperti osteoarthritis, rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis, gout,
spondyloarthritis;

 tulang, seperti osteoporosis, osteopenia dan fraktur kerapuhan terkait, fraktur traumatis;

 otot, seperti sarcopenia;

 beberapa area atau sistem tubuh, seperti kondisi nyeri regional (misalnya nyeri
punggung dan leher) dan meluas (misalnya fibromyalgia), penyakit radang seperti
penyakit jaringan ikat dan vaskulitis yang memiliki manifestasi muskuloskeletal,
seperti lupus eritematosus sistemik, atau amputasi sebagai akibat penyakit atau trauma.

Kondisi muskuloskeletal juga merupakan kontributor tertinggi untuk kebutuhan global


akan rehabilitasi. Mereka termasuk kontributor terbesar untuk kebutuhan layanan
rehabilitasi di antara anak-anak dan mencapai sekitar dua pertiga dari semua orang
dewasa yang membutuhkan rehabilitasi (1). Kondisi muskuloskeletal sering
berdampingan dengan penyakit tidak menular lainnya dan meningkatkan risiko
berkembangnya penyakit tidak menular lainnya, seperti penyakit kardiovaskular (2).
Orang dengan kondisi muskuloskeletal juga berisiko lebih tinggi mengalami masalah
kesehatan mental.

Besarnya

Analisis terbaru dari data Global Burden of Disease (GBD) 2019 menunjukkan bahwa
sekitar 1,71 miliar orang di dunia hidup dengan kondisi muskuloskeletal, termasuk
nyeri punggung bawah, nyeri leher, patah tulang, cedera lainnya, osteoarthritis,
amputasi, dan rheumatoid arthritis (1). Sementara prevalensi kondisi muskuloskeletal
bervariasi berdasarkan usia dan diagnosis, orang-orang dari segala usia di seluruh dunia
terpengaruh. Negara-negara berpenghasilan tinggi adalah yang paling terpengaruh
dalam hal jumlah orang – 441 juta – diikuti oleh negara-negara di Wilayah Pasifik
Barat WHO dengan 427 juta dan Wilayah Asia Tenggara dengan 369 juta. Kondisi
muskuloskeletal juga merupakan penyumbang terbesar untuk tahun hidup dengan
disabilitas (YLDs) di seluruh dunia dengan sekitar 149 juta YLDs, terhitung 17% dari
semua YLDs di seluruh dunia.

Nyeri punggung bawah adalah kontributor utama beban keseluruhan kondisi


muskuloskeletal (570 juta kasus umum di seluruh dunia, bertanggung jawab atas 7,4%
YLD global). Kontributor lain untuk keseluruhan beban kondisi muskuloskeletal
termasuk patah tulang dengan 440 juta orang secara global (26 juta YLDs),
osteoarthritis (528 juta orang; 19 juta YLDs), nyeri leher (222 juta orang; 22 juta
YLDs), amputasi (180 juta orang ; 5,5 juta YLDs), rheumatoid arthritis (18 juta orang;
2,4 juta YLDs), asam urat (54 juta orang; 1,7 juta YLDs) kondisi muskuloskeletal
lainnya (453 juta orang; 38 juta YLDs) [data dari IHME Viz Hub dan Kebutuhan
Rehabilitasi WHO Penaksir].

Sementara prevalensi kondisi muskuloskeletal meningkat seiring bertambahnya usia,


orang yang lebih muda juga terpengaruh, seringkali selama tahun-tahun penghasilan
puncak mereka. Misalnya, kondisi peradangan auto-imun masa kanak-kanak seperti
juvenile arthritis mempengaruhi perkembangan anak-anak, sementara nyeri punggung
bawah adalah alasan utama untuk keluar dari dunia kerja sebelum waktunya. Dampak
sosial dari pensiun dini dalam hal biaya perawatan kesehatan langsung dan biaya tidak
langsung (yaitu, ketidakhadiran kerja atau kehilangan produktivitas) sangat besar.
Proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penderita nyeri punggung bawah akan meningkat
di masa depan, dan bahkan lebih cepat lagi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah (3).

Estimasi kesehatan

Alat Estimator Kebutuhan Rehabilitasi WHO memberikan peluang unik untuk mencari
prevalensi negara, regional atau global dan data YLD tentang kondisi muskuloskeletal
yang dapat diuntungkan dari rehabilitasi, berdasarkan data GBD 2019. Demikian pula,
Alat Bandingkan GBD juga memberikan perkiraan kesehatan untuk kondisi
muskuloskeletal dan lainnya. Variasi perkiraan kesehatan agregat antara alat dapat
dijelaskan oleh perbedaan di mana kondisi muskuloskeletal spesifik dan
subkelompoknya disertakan.

Portal Data Penuaan WHO menyatukan data tentang indikator global yang tersedia
yang relevan untuk memantau kesehatan dan kesejahteraan orang berusia 60 tahun ke
atas. Melalui peta, bagan, dan tabel, portal menawarkan opsi yang disesuaikan untuk
visualisasi dan analisis data. Portal ini menyediakan data prevalensi untuk nyeri
punggung bawah pada orang tua.

Tanggapan WHO (Rehabilitasi 2030)


WHO meluncurkan inisiatif Rehabilitasi 2030 pada tahun 2017 untuk menarik
perhatian pada kebutuhan rehabilitasi yang tidak terpenuhi di seluruh dunia, dan
menyoroti pentingnya memperkuat rehabilitasi dalam sistem esehatan. Inisiatif ini
menandai pendekatan strategis baru untuk komunitas rehabilitasi global dengan
menekankan bahwa:

 Rehabilitasi merupakan pelayanan kesehatan yang esensial dan krusial untuk mencapai
universal health coverage.

 Rehabilitasi harus tersedia untuk semua populasi, melalui semua tahap perjalanan hidup
dan sepanjang rangkaian perawatan. Ini termasuk semua orang dengan kondisi
muskuloskeletal.

 Upaya untuk memperkuat rehabilitasi harus diarahkan untuk mendukung sistem


kesehatan secara keseluruhan dan mengintegrasikan rehabilitasi ke dalam semua tingkat
pelayanan kesehatan.

Inisiatif Rehabilitasi 2030 diluncurkan untuk mendukung negara-negara untuk


menanggapi kebutuhan rehabilitasi yang ada, termasuk orang dengan kondisi
muskuloskeletal, serta perkiraan peningkatan yang timbul dari tren kesehatan dan
demografi. Rehabilitasi seringkali bukan merupakan prioritas politik di negara-negara
dan dengan demikian terus kekurangan sumber daya. Akibatnya, kebutuhan rehabilitasi
individu terus tidak terpenuhi, yang mengarah pada memperburuk kondisi mereka,
konsekuensi seumur hidup dan ketidaksetaraan hasil kesehatan. Informasi lebih lanjut
tentang inisiatif Rehabilitasi 2030 dapat ditemukan di sini.

WHO juga sedang mengembangkan Paket Intervensi untuk Rehabilitasi termasuk


kondisi muskuloskeletal berikut: nyeri punggung bawah, osteoarthritis, rheumatoid
arthritis, sarkopenia, patah tulang pada ekstremitas, dan amputasi. Setiap paket akan
berisi daftar intervensi penting untuk rehabilitasi dan sumber daya yang diperlukan
untuk melaksanakannya dengan aman dan efektif. Intervensi ini akan relevan untuk
orang-orang di semua tahap kehidupan, di sepanjang rangkaian perawatan, di semua
platform pemberian layanan, dan di seluruh wilayah dunia, dengan fokus khusus pada
konteks sumber daya rendah dan menengah.

Pengguna sasaran utama Paket Intervensi untuk Rehabilitasi adalah Kementerian


Kesehatan yang dapat menggunakan sumber daya ini untuk merencanakan dan
menganggarkan integrasi rehabilitasi dalam layanan kesehatan nasional mereka.
Pengguna target lain yang mungkin mendapat manfaat dari Paket Intervensi untuk
Rehabilitasi termasuk peneliti untuk mengidentifikasi kesenjangan penelitian
rehabilitasi; akademisi untuk mengembangkan kurikulum untuk pelatihan profesional
rehabilitasi; dan penyedia layanan untuk merencanakan dan melaksanakan intervensi
khusus dalam program rehabilitasi mereka.

EPIDEMIOLOGI GANGGUAN MUSKULOSKELETAL DI AMERIKA


SERIKAT

Gangguan muskuloskeletal lazim dan merupakan salah satu kondisi yang paling
melumpuhkan dan mahal di Amerika Serikat. Nyeri kronis dan hilangnya fungsi adalah
mekanisme utama yang menyebabkan gangguan muskuloskeletal menyebabkan
kecacatan dan kehilangan pekerjaan. Survei Wawancara Kesehatan Nasional (NHIS)1
untuk 2013–2015 memperkirakan bahwa satu dari dua orang dewasa AS (126,6 juta)
memiliki kondisi muskuloskeletal (USBJI, 2014a). The Global Burden of Disease
Study, yang memberikan penilaian tahunan yang komprehensif tentang hilangnya
kesehatan terkait dengan penyakit tertentu, cedera, dan faktor risiko, secara konsisten
menempatkan gangguan muskuloskeletal di antara penyebab utama kecacatan. Pada
tahun 2016 penyebab utama tahun-tahun hidup dengan disabilitas di Amerika Serikat
termasuk nyeri punggung bawah , gangguan muskuloskeletal lainnya , nyeri leher
Gangguan muskuloskeletal memiliki dampak ekonomi yang cukup besar. Pada tahun
2015 ada 264 juta hari kerja yang hilang hanya karena sakit punggung dan leher, yang
mengakibatkan hilangnya pendapatan tahunan sebesar $131,8 miliar (USBJI, 2014b).
Proyeksi berdasarkan data NHIS 2010–2012 memperkirakan bahwa pada tahun 2040
satu dari empat orang dewasa (78 juta) akan menderita artritis yang didiagnosis dokter
dan, dari mereka yang menderita artritis, diperkirakan 44 persen akan melaporkan
keterbatasan aktivitas yang disebabkan oleh artritis (CDC, 2019a). Selain itu, orang
dengan OA kehilangan pendapatan tahunan $71,3 miliar, dan orang dengan RA
kehilangan $7,9 miliar. Pada tahun 2013, terdapat 62,8 juta kunjungan perawatan
kesehatan untuk nyeri punggung bawah dan 6,4 juta rawat inap untuk artritis dan
kondisi rematik lainnya (USBJI, 2014a).

ISU LINTAS GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

Bagian ini membahas isu-isu yang umum untuk setiap gangguan muskuloskeletal yang
dibahas dalam bab ini. Masalah tersebut meliputi jenis profesional medis yang biasanya
terkait dengan perawatan orang dengan gangguan muskuloskeletal, pengaturan yang
terlibat dalam perawatan tersebut, dan, terakhir, masalah rasa sakit dan mobilitas
terbatas yang mungkin diakibatkan oleh gangguan ini.

Profesional Medis Terkait dengan Perawatan

Berbagai profesional dapat dikaitkan dengan perawatan orang dengan gangguan


muskuloskeletal. Sebagian besar kondisi muskuloskeletal pada awalnya didiagnosis dan
dirawat di layanan primer, di mana kedokteran keluarga dan kedokteran internal umum
adalah spesialisasi yang menyediakan sebagian besar layanan primer untuk orang
dewasa. Selain itu, dokter pengobatan fisik dan rehabilitasi juga mendiagnosis dan
mengobati gangguan muskuloskeletal. Dokter kedokteran okupasi mungkin terlibat
dalam diagnosis dan pengobatan ketika gangguan muskuloskeletal dikaitkan dengan
cedera atau gangguan terkait pekerjaan. Pengobatan fisik dan dokter rehabilitasi (yaitu,
ahli fisioterapi), terapis fisik, dan terapis okupasi sering terlibat dalam pengelolaan
pasien dengan keterbatasan fungsional karena kondisi muskuloskeletal.

Pasien dengan potensi radang sendi atau penyakit jaringan ikat atau gangguan autoimun
sering dirujuk ke rheumatologists untuk diagnosis dan, jika diindikasikan, pengobatan
dengan terapi obat antirematik pemodifikasi penyakit. Pasien dengan kerusakan sendi
tingkat lanjut, baik akibat OA, penyakit radang, atau trauma biasanya dirujuk ke ahli
bedah ortopedi untuk perawatan bedah, termasuk penggantian sendi. Pasien dengan
artropati inflamasi yang diperumit oleh manifestasi penyakit ekstraartikular dapat
memperoleh manfaat dari konsultasi spesialis tambahan (misalnya, pasien dengan
penyakit paru interstisial terkait RA mendapat manfaat dari konsultasi dengan ahli
paru).

Pasien dengan nyeri kronis yang melumpuhkan dapat menerima perawatan dari tim
multidisiplin yang mencakup ahli fisioterapi atau dokter nyeri (yang mungkin memiliki
berbagai spesialisasi medis) berkolaborasi dengan psikolog, terapis rehabilitasi, dan
profesional kesehatan lainnya. Perawatan berbasis tim dapat mencakup manajer
perawatan (seringkali perawat atau pekerja sosial) atau pelatih kesehatan (yang
mungkin profesional kesehatan atau orang awam).

Pengaturan Perawatan

Perawatan untuk orang dengan gangguan muskuloskeletal paling sering terjadi pada
pengaturan berbasis kantor rawat jalan; namun, perawatan dapat diberikan di
departemen darurat dan/atau perawatan darurat. Terapi latihan biasanya diberikan atau
diawasi oleh terapis fisik, tetapi juga dapat diakses di komunitas atau pengaturan
kesehatan integratif. Penelitian telah menunjukkan bahwa triase awal untuk terapis fisik
di pusat perawatan kesehatan primer memiliki keunggulan dalam hal efisiensi di
lingkungan kerja dan dalam penggunaan perawatan kesehatan (Bornhoft et al., 2019).
Berbagai pendekatan latihan telah terbukti bermanfaat bagi pasien dengan nyeri
punggung bawah kronis, termasuk kekuatan/daya tahan, koordinasi/stabilisasi, akuatik,
bersepeda, dan berjalan (VA/DoD, 2017). Perawatan bedah dapat terjadi di rumah sakit
atau pusat bedah mandiri. Perawatan rehabilitasi dapat diberikan di kantor, di rumah
sakit setelah operasi, di pusat rehabilitasi, atau di fasilitas perawatan terampil.

Penelitian tentang Musculoskeletal Disorders

Mempertimbangkan prevalensi populasi dan beban kesehatan masyarakat dari kondisi


muskuloskeletal, penelitian tentang kondisi ini didanai pada tingkat yang lebih rendah
daripada kondisi kronis lainnya. Gereau dkk. (2014) memperkirakan bahwa pada tahun
2012 National Institutes of Health (NIH) menghabiskan $4 per orang AS yang terkena
nyeri kronis, dibandingkan dengan $41 untuk diabetes dan $431 untuk kanker.
Kesenjangan dalam pendanaan penelitian paling dramatis untuk nyeri punggung kronis,
penyebab kecacatan paling umum di Amerika Serikat dan di seluruh dunia (Mokdad et
al., 2018). Menurut perkiraan pendanaan NIH yang dilaporkan secara publik untuk
berbagai kategori penyakit atau kondisi, nyeri punggung tidak dilacak sebagai kategori
kondisi hingga 2016, dan pengeluaran tahunan untuk tahun fiskal 2016–2018 hanya
$23 juta hingga $30 juta, dibandingkan dengan $1,039 miliar hingga $1,108 miliar
untuk diabetes dan $5,389 miliar hingga $6,335 miliar untuk kanker (NIH, 2019).
Kelangkaan dana penelitian ini telah mengakibatkan keterbatasan penting dalam
pemahaman kita tentang mekanisme penyakit, prognosis, dan pengobatan untuk nyeri
punggung kronis dan gangguan muskuloskeletal pada umumnya.

Ukuran Standar Hasil untuk Nyeri Muskuloskeletal

Karena nyeri dan gangguan fungsi merupakan ciri utama dari sebagian besar gangguan
muskuloskeletal, studi pengobatan biasanya menilai ukuran nyeri atau fungsi yang
dilaporkan pasien sebagai hasil utama. Meskipun hasil nyeri dan hasil fungsional sering
berkorelasi, tidak dapat diasumsikan bahwa perbaikan rasa sakit secara otomatis
mengarah pada perbaikan fungsi, dan sebaliknya. Tindakan yang berfokus pada atau
menyertakan fungsi adalah yang paling relevan dengan laporan ini. Nyeri yang
dilaporkan pasien atau tindakan fungsional spesifik kondisi yang biasa digunakan
dalam penelitian hasil muskuloskeletal meliputi skala Interferensi Inventarisasi Nyeri
Singkat, Kuesioner Disabilitas Roland Morris, dan Indeks Disabilitas Oswestry.

Perawatan untuk Nyeri pada Gangguan Muskuloskeletal

Gangguan muskuloskeletal adalah penyebab nyeri kronis yang paling umum, dan nyeri
menyumbang banyak beban kondisi muskuloskeletal. Menurut data NHIS 2016,
estimasi prevalensi nyeri kronis—didefinisikan sebagai nyeri hampir setiap hari dalam
6 bulan sebelumnya—di antara orang dewasa AS adalah 20,4 persen (50,0 juta)
(Dahlhamer, 2018). Nyeri berdampak tinggi, didefinisikan sebagai nyeri kronis yang
membatasi aktivitas hidup atau pekerjaan hampir setiap hari atau setiap hari selama 6
bulan terakhir, memengaruhi 8 persen (19,6 juta) (CDC, 2018). Sebagian besar rasa
sakit itu disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal.

Dalam klasifikasi sistematis nyeri kronis yang dikembangkan oleh Asosiasi


Internasional untuk Studi Nyeri (IASP) dan diadopsi oleh Organisasi Kesehatan Dunia
untuk Klasifikasi Penyakit Internasional, Revisi ke-11 (ICD-11), nyeri muskuloskeletal
kronis digambarkan sebagai nyeri persisten atau nyeri berulang yang dialami pada
struktur muskuloskeletal seperti otot, tulang, sendi, atau tendon (Perrot et al., 2019).
Klasifikasi IASP membedakan antara (1) nyeri kronis yang tidak dapat dikaitkan
langsung dengan penyakit yang diketahui atau proses kerusakan dan didiagnosis secara
independen dari kontributor biologis atau psikologis yang teridentifikasi (nyeri
muskuloskeletal primer kronis), dan (2) nyeri kronis yang muncul dari penyakit yang
mendasarinya. penyakit (nyeri muskuloskeletal sekunder kronis). Nyeri punggung
bawah kronis adalah contoh dari kondisi nyeri muskuloskeletal primer kronis,
sedangkan nyeri OA dan nyeri sendi yang terkait dengan penyakit radang (RA, PsA)
adalah kondisi nyeri muskuloskeletal sekunder (Nicholas et al., 2019; Perrot et al.,
2019) .

Banyak obat dan perawatan non-farmakologis tersedia untuk menghilangkan rasa sakit
yang terkait dengan gangguan muskuloskeletal. Tinjauan sistematis baru-baru ini
tentang bukti pengobatan nyeri muskuloskeletal menemukan bukti sedang hingga kuat
bahwa olahraga dan intervensi psikososial efektif dalam menghilangkan rasa sakit dan
meningkatkan fungsi di berbagai kondisi nyeri muskuloskeletal yang umum (Babatund
NYERI PUNGGUNG RENDAH KRONIS

Nyeri punggung kronis adalah penyebab utama tahun hidup dengan disabilitas di
Amerika Serikat dan menyumbang lebih dari 264 juta hari kerja yang hilang per tahun
(USBJI, 2014a). Pada tahun 2013 nyeri punggung adalah alasan paling umum untuk
kunjungan perawatan kesehatan di antara gangguan muskuloskeletal, dengan lebih dari
57 juta kunjungan ke dokter. Kunjungan kantor untuk sakit punggung secara
keseluruhan telah meningkat dari waktu ke waktu. Tingkat kunjungan ke dokter karena
nyeri punggung meningkat dari 11,8 dari setiap 100 orang pada tahun 1998 menjadi
18,1 dari setiap 100 orang pada tahun 2013. Nyeri punggung bawah menyumbang
sebagian besar peningkatan kunjungan (USBJI, akan datang).

Nyeri punggung bawah kronis adalah sindrom klinis yang didefinisikan oleh rasa sakit
yang terus-menerus di punggung bawah selama minimal 3 bulan. Pada beberapa orang,
nyeri punggung bawah kronis dapat berkembang dari waktu ke waktu menjadi kondisi
yang kompleks “melibatkan perubahan anatomis dan fungsional yang terus-menerus
pada sistem saraf pusat, selain perubahan struktural di punggung (misalnya, perubahan
tulang belakang degeneratif, atrofi, atau asimetri tulang paraspinal). otot)” (Deyo et al.,
2014).

Nyeri punggung bawah kronis kadang-kadang dikaitkan dengan nyeri yang menjalar ke
ekstremitas bawah dalam distribusi karakteristik (yaitu, nyeri radikuler, kadang-kadang
disebut "sciatica") atau radikulopati, yang berarti kelainan neurologis objektif yang
terkait dengan keterlibatan akar saraf tulang belakang. Stenosis tulang belakang lumbal
adalah sindrom klinis yang paling umum pada orang dewasa yang lebih tua, di mana
nyeri khas pada bokong atau tungkai terjadi saat berjalan.

Kehadiran nyeri radikular atau radikulopati dikaitkan dengan keparahan nyeri


punggung bawah kronis yang lebih buruk dan hasil fungsional. Faktor lain yang terkait
dengan hasil fungsional yang lebih buruk pada nyeri punggung bawah kronis termasuk
kondisi medis dan psikiatri yang ada bersama dan kondisi nyeri kronis lainnya. Selain
itu, penggunaan pendekatan biomedis yang berlebihan untuk mengobati nyeri
punggung bawah kronis (misalnya, opioid dan operasi tulang belakang) telah
diidentifikasi sebagai kontributor potensial yang penting terhadap kecacatan
(Buchbinder et al., 2018).
Kriteria Diagnostik yang Diterima Profesional

Nyeri punggung bawah kronis ditentukan oleh lokasinya (yaitu, antara margin tulang
rusuk bawah dan lipatan gluteal) dan dengan durasi minimal 3 bulan. Ini sering
digambarkan sebagai “nonspesifik” karena penyebab spesifiknya jarang teridentifikasi
(Hartvigsen et al., 2018). Sebagian besar kasus nyeri punggung bawah kronis,
diperkirakan lebih dari 95 persen di sebagian besar populasi pekerja, tidak memiliki
kelainan patofisiologis yang dapat ditentukan (Hegmann et al., 2019). Dalam klasifikasi
nyeri kronis yang dikembangkan oleh IASP dan diadopsi untuk ICD-11, nyeri
punggung yang bertahan atau berulang selama lebih dari 3 bulan dan berhubungan
dengan tekanan emosional yang signifikan atau gangguan fungsional dikategorikan
sebagai kondisi nyeri primer kronis kecuali jika nyerinya lebih baik.
dipertanggungjawabkan oleh diagnosis lain (misalnya, spondyloarthritis aksial, multiple
myeloma) (Nicholas et al., 2019).

Nyeri punggung bawah kronis melibatkan beragam faktor patofisiologis, kognitif,


emosional, dan sosial yang berkontribusi terhadap onset, pemeliharaan, dan gangguan
terkait. Banyak penghasil rasa sakit lokal diketahui hadir di punggung bawah. Faktor
kognitif dan perilaku seperti bencana dan penghindaran aktivitas diketahui terlibat
dalam beberapa individu. Baru-baru ini, perubahan dalam struktur dan fungsi sistem
saraf pusat yang terkait dengan pemrosesan rasa sakit dan emosi telah diidentifikasi.
Sayangnya, ada sedikit konsensus ilmiah tentang kepentingan relatif dari faktor-faktor
tersebut atau sejauh mana faktor tersebut menjadi penyebab daripada konsekuensi dari
nyeri punggung kronis (Vlaeyen et al., 2018). Diagnosis historis seperti gangguan nyeri
psikogenik, yang sebelumnya diterapkan pada orang yang mengalami nyeri kronis
tanpa kelainan anatomi lokal yang jelas, telah dianggap usang oleh kemajuan
pengetahuan ilmiah (Katz et al., 2015). Diagnosis seperti nyeri sendi sakroiliaka dan
penyakit cakram degeneratif memiliki nilai terbatas karena kurangnya kriteria
diagnostik yang ditentukan dan penggunaan yang tidak konsisten oleh dokter dan
peneliti (Battie et al., 2019).

Pencitraan rutin dan pengujian laboratorium biasanya tidak diindikasikan dalam


evaluasi awal nyeri punggung bawah kronis. Seperti disebutkan di atas, diagnosis nyeri
punggung bawah kronis adalah sindrom yang ditentukan oleh pengalaman nyeri
subyektif di wilayah anatomi yang ditentukan untuk jangka waktu tertentu. Pencitraan
dan pengujian laboratorium digunakan untuk mengecualikan sumber nyeri punggung
yang berisiko tinggi pada beberapa pasien, tetapi pencitraan khusus atau pengujian
laboratorium untuk diagnosis nyeri punggung bawah kronis tidak tersedia. Selain itu,
ada atau tidak adanya kelainan radiografi tidak boleh dipertimbangkan saat
mengevaluasi keparahan atau prognosis nyeri punggung bawah kronis, dan pencitraan
ulang tidak berguna untuk mengevaluasi efektivitas pengobatan atau kemajuan. Seperti
dicatat oleh penulis pedoman gangguan punggung bawah American College of
Occupational and Environmental Medicine 2019, temuan "abnormal" pada

Perawatan untuk Nyeri Punggung Bawah Kronis

Banyak perawatan telah menunjukkan keefektifan untuk meningkatkan fungsi pada


nyeri punggung bawah kronis. Ini termasuk terapi olahraga, terapi perilaku / psikologis,
dan terapi manual. Pendekatan multidisiplin, termasuk program rehabilitasi nyeri kronis
intensif dan intervensi manajemen perawatan kolaboratif berbasis perawatan primer
yang kurang intensif, juga telah menunjukkan manfaat untuk fungsi.

Terapi olahraga adalah perawatan lini pertama yang direkomendasikan dalam pedoman
untuk penggunaan rutin pada nyeri punggung bawah kronis (Foster et al., 2018;
Qaseem et al., 2017; VA/DoD, 2017). Pedoman ini didukung oleh banyak bukti yang
agak dibatasi oleh metodologi, ukuran, dan heterogenitas uji klinis yang dipublikasikan.
Studi telah mengevaluasi berbagai pendekatan latihan pada pasien dengan nyeri
punggung bawah, termasuk kekuatan/resistensi, kontrol/stabilisasi motorik, dan latihan
aerobik. Secara umum, pendekatan tersebut tampaknya memiliki kemanjuran yang
serupa, dan tidak ada satu pendekatan pun yang efektif untuk sebagian besar pasien.

Sebuah Badan Penelitian Kesehatan yang komprehensif dan Tinjauan keefektifan


komparatif Kualitas dari perawatan nonfarmakologis farmakologis dan non-invasif
untuk nyeri punggung bawah menemukan bukti kekuatan sedang bahwa terapi olahraga
meningkatkan nyeri dan fungsi pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis
(Chou et al., 2016) . Perbandingan percobaan tidak menemukan perbedaan efektivitas
antara teknik latihan yang berbeda (Chou et al., 2016). Meskipun manfaat tampaknya
serupa untuk teknik terapi olahraga yang berbeda, faktor seperti jumlah sesi dan
pengawasan dapat dikaitkan dengan peningkatan yang lebih besar. Tinjauan sistematis
terapi olahraga untuk nyeri punggung bawah non-akut berfokus secara khusus pada
disabilitas kerja sebagai hasil dan menemukan bahwa olahraga dikaitkan dengan
kemungkinan disabilitas kerja yang lebih rendah pada sekitar 1 tahun tindak lanjut
(Chou et al., 2017b; Oesch et al., 2010).
Bukti yang muncul mendukung pendekatan berbasis gerakan, yang terkadang dianggap
sebagai terapi komplementer atau integratif (misalnya, yoga, tai chi), sebagai
pengobatan yang efektif untuk nyeri punggung bawah kronis. Sintesis dari lima
percobaan yoga versus pendidikan untuk nyeri punggung bawah kronis menemukan
bahwa yoga lebih unggul, dengan peningkatan ukuran sedang dalam fungsi spesifik
punggung (Chou et al., 2016). Empat percobaan yoga versus intervensi latihan lainnya
menghasilkan hasil yang tidak konsisten. Satu percobaan menemukan peningkatan
fungsional yang signifikan secara klinis pada 50 persen pasien yang ditugaskan untuk
tai chi selama 10 minggu dibandingkan dengan 24 persen pasien yang ditugaskan ke
kelompok kontrol daftar tunggu (Chou et al., 2016).

Terapi psikologis atau perilaku juga dianggap sebagai terapi lini pertama untuk pasien
dengan nyeri punggung kronis (Foster et al., 2018; Qaseem et al 2017; VA/DoD, 2017).
Intervensi terapi perilaku kognitif (CBT) sudah mapan meskipun kekuatan bukti untuk
perbaikan nyeri dan fungsi dinilai rendah karena keterbatasan kuantitas dan kualitas uji
coba yang dipublikasikan (Chou et al., 2016). Tinjauan sistematis intervensi perilaku
kognitif untuk nyeri punggung bawah nonspesifik menemukan peningkatan yang lebih
besar pada nyeri, fungsi, dan kualitas hidup dibandingkan dengan kontrol atau terapi
lain (Richmond et al., 2015). Uji coba efektivitas komparatif acak menemukan CBT
dan mindfulness-based stress reduction (MBSR) masing-masing lebih unggul dari
perawatan biasa, tetapi tidak berbeda satu sama lain; persentase peserta dengan
peningkatan fungsional yang bermakna secara klinis dalam 1 tahun adalah 60,5 persen
untuk MBSR, 57,7 persen untuk CBT, dan 44,1 persen untuk perawatan biasa (Cherkin
et al., 2016). Setelah 2 tahun, CBT tetap jauh lebih baik daripada perawatan biasa, dan
MBSR tidak lagi berbeda dari dua kelompok lainnya; tingkat peningkatan fungsional
yang berarti adalah 55,4 persen untuk MBSR, 62,0 persen untuk CBT, dan 42,0 persen
untuk perawatan biasa (Cherkin et al., 2016).

Rehabilitasi multidisiplin, yang mengacu pada program terpadu yang biasanya


menggabungkan olahraga, perilaku, dan terapi lainnya, seringkali dengan pengurangan
opioid jika berlaku, direkomendasikan untuk pasien yang tidak menanggapi intervensi
yang kurang intensif, dan mungkin sangat relevan dengan populasi pasien. menerima
Asuransi Jaminan Sosial dan Asuransi Disabilitas Jaminan Sosial (Foster et al., 2018;
VA/DoD, 2017). Tinjauan sistematis menemukan bahwa rehabilitasi multidisiplin
dikaitkan dengan peningkatan fungsional dalam jangka pendek dan panjang, tetapi
tidak dengan kembali bekerja (Chou et al., 2016). Tinjauan model pemberian perawatan
terkoordinasi berbasis perawatan primer yang kurang intensif menemukan bukti bahwa
intervensi tersebut meningkatkan fungsi selama 9-12 bulan (Peterson et al., 2018).
Terapi konservatif tambahan, seperti akupunktur, manipulasi, dan pijat, juga dapat
dikaitkan dengan perbaikan jangka panjang yang sederhana (Bronfort et al., 2014; Chou
et al., 2016; Qaseem et al., 2017; Rubinstein et al., 2011). Maks

Lamanya Waktu Perbaikan untuk Nyeri Punggung Bawah Kronis

Panitia tidak mengidentifikasi bukti tentang kemungkinan bahwa pengobatan akan


mencapai titik di mana nyeri punggung bawah tidak lagi melumpuhkan atau berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik tersebut. Tidak ada bukti bahwa
kemanjuran perawatan nyeri punggung kronis berbeda berdasarkan usia.

OSTEOARTHRITIS

OA terdiri dari keluarga gangguan sendi degeneratif yang ditandai dengan temuan
klinis dan radiografi. Ini adalah bentuk artritis yang paling umum, menyerang lebih dari
30 juta orang Amerika (Arthritis Foundation, 2018). OA telah dianggap sebagai bentuk
artritis yang “keausan”; namun, ini adalah kombinasi kompleks dari perubahan sendi
genetik, metabolik, biomekanik, dan biokimia yang dapat melibatkan seluruh sendi dan
jaringan di sekitarnya. OA menjadi penyebab paling umum kecacatan bagi orang
Amerika paruh baya dan telah menjadi penyebab paling umum kecacatan bagi orang
yang berusia lebih dari 65 tahun. Faktanya, usia adalah salah satu faktor risiko terkuat
untuk OA dari semua persendian. Wanita lebih mungkin mengalami OA dibandingkan
pria, dan OA mereka cenderung lebih parah (Zhang dan Jordan, 2010).

OA adalah penyakit yang secara progresif merusak atau menghancurkan struktur sendi
sinovial dan, khususnya, permukaan bantalan sendi, yaitu kartilago artikular. OA dapat
mempengaruhi setiap sendi sinovial dan muncul di semua populasi. Tidak ada obat atau
metode yang diketahui untuk membalikkan proses. Untuk alasan tersebut, terapi OA
diarahkan untuk mengurangi nyeri sendi dan meningkatkan fungsi serta mencakup
intervensi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi farmakologi sering dimulai
dengan obat analgesik atau analgesik topikal dan NSAID sesuai kebutuhan; obat-obatan
semacam itu mungkin diresepkan oleh dokter perawatan primer atau dokter pengobatan
fisik dan rehabilitasi di kantor dokter. Injeksi kortikosteroid2 intra-artikular dapat
menghilangkan rasa sakit, tetapi efeknya terbatas dan harus digunakan jarang; suntikan
semacam itu dapat diberikan di kantor dokter. Terapi non-farmakologis meliputi
edukasi pasien, penurunan berat badan jika terindikasi secara klinis, terapi fisik (PT)
yang diarahkan untuk menjaga mobilitas sendi dan memperkuat kelompok otot atau
program latihan berdampak rendah yang terorganisir, dan alat bantu sesuai kebutuhan;
biasanya yang terjadi dalam pengaturan PT atau terapi okupasi untuk OA tangan.
Penggantian sendi total mungkin diresepkan, yang akan dilakukan di kamar bedah di
rumah sakit (Lane dan Thompson, 1997). Dengan demikian, pengaturan perawatan
kesehatan dapat berlokasi di kantor dokter, pusat PT, dan rumah sakit dan pusat
rehabilitasi.

Gejala utama OA adalah nyeri sendi yang memburuk saat beraktivitas dan membaik
saat istirahat. Ciri utama OA adalah degenerasi kartilago artikular sebagai respons
terhadap stres, cedera, kelebihan beban mekanis, dan bertambahnya usia (Frontera et
al., 2019). Insiden penyakit meningkat di semua sendi sinovial dan semua populasi
dengan bertambahnya usia. Cedera sendi merupakan faktor risiko OA, tetapi sebagian
besar kasus terjadi tanpa riwayat cedera yang spesifik.

OA biasanya menyebabkan kerusakan progresif pada tulang rawan artikular, yang pada
gilirannya menyebabkan nyeri sendi dan gangguan fungsi sendi. Seiring waktu sendi
mungkin kehilangan bentuk normalnya. Kondisi tersebut dapat menyebabkan taji
tulang tumbuh di tepi sendi. Potongan tulang atau tulang rawan dapat patah dan
mengapung di dalam ruang sendi, yang menyebabkan rasa sakit dan kerusakan
tambahan. Tidak seperti bentuk radang sendi lainnya, OA hanya menyerang sendi dan
bukan organ dalam. Ini paling sering terjadi pada orang tua; sebelum usia 45 tahun
lebih banyak pria daripada wanita yang mengalami OA, sedangkan setelah usia 45
tahun lebih banyak terjadi pada wanita (NIAMS, 2016). Prevalensi OA lutut
simtomatik meningkat setiap dekade kehidupan, dengan kejadian tahunan tertinggi
antara usia 55 dan 64 tahun. OA dapat menyebabkan rasa sakit, kaku, dan bengkak, dan
dalam beberapa kasus menyebabkan penurunan fungsi dan kecacatan; beberapa orang
tidak lagi dapat melakukan tugas atau pekerjaan sehari-hari. Dalam beberapa kasus,
penyakit ini menyebabkan kelainan bentuk sendi yang progresif, kontraktur sendi, dan
pembengkakan sendi.

OA primer atau idiopatik dapat terlokalisasi (mempengaruhi satu sendi) atau umum
(melibatkan tiga atau lebih sendi) (Frontera et al., 2019). Meskipun cedera sendi
merupakan faktor risiko OA, sebagian besar kasus terjadi tanpa riwayat cedera yang
spesifik. Obesitas merupakan faktor risiko untuk OA lutut dan, pada tingkat yang lebih
rendah, untuk OA pinggul dan tangan. Wanita memiliki risiko OA lutut lebih besar
daripada pria. Displasia dan kelemahan sendi, beberapa neuropati dan gangguan
metabolisme, dan predisposisi genetik juga dapat meningkatkan risiko OA, seperti
aktivitas yang menuntut fisik secara terus-menerus.
Gejala OA spesifik termasuk nyeri, kaku, gerakan berkurang, dan pembengkakan sendi
yang terkena. OA biasanya diperburuk dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat
(Zhang dan Jordan, 2010). Kelembutan sendi dan krepitasi saat bergerak mungkin juga
ada; tidak ada gejala sistemik (Frontera et al., 2019)

Kriteria Diagnostik yang Diterima Profesional untuk Osteoarthritis

Tidak ada tes tunggal yang dapat mendiagnosis OA. Dokter menggunakan beberapa
metode untuk mendiagnosis penyakit dan mengesampingkan masalah lain (lihat di
bawah). Berbagai spesialisasi medis mengobati OA. Perawatan untuk OA meliputi
obat-obatan, teknik pereda nyeri non-obat, pembedahan, dan terapi alternatif; ini
dibahas secara rinci di bawah ini.

Ada beberapa tes yang dapat dilakukan dokter untuk mengaktifkan diagnosis OA.
Umumnya dokter keluarga atau dokter penyakit dalam akan mengambil riwayat medis
untuk memahami gejalanya dan untuk menentukan apakah ada gangguan lain yang
terjadi bersamaan. Setelah pemeriksaan fisik, dokter yang mendiagnosis mungkin
memerlukan tes khusus untuk OA, yang meliputi

 Pemeriksaan fisik untuk memeriksa kesehatan umum, refleks, dan masalah persendian.

 Sinar-X untuk memberikan informasi tentang kehilangan tulang rawan, kerusakan


tulang, dan taji tulang, meskipun kerusakan dini mungkin tidak terlihat pada sinar-X.

 MRI untuk menunjukkan kerusakan pada jaringan sendi, terutama kartilago artikular,
menisci, dan jaringan tulang subkondral.

 Tes darah dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala.

 Sampel cairan sendi dapat diambil untuk mencari penyebab nyeri sendi lainnya, seperti
infeksi atau asam urat.

Perawatan yang Ditunjukkan untuk Meningkatkan Fungsi Pinggul dan Lutut

Olahraga telah menjadi andalan pengobatan non-farmakologis untuk OA lutut. Fokus


khusus adalah pada peregangan ekstremitas bawah, pengkondisian aerobik, dan latihan
keseimbangan. Perawatan untuk OA lutut dan pinggul serupa, dengan beberapa
perbedaan; pada beberapa pasien, misalnya, modifikasi aktivitas sangat membantu
karena dapat menghindari atau meminimalkan aktivitas yang memperburuk nyeri.
Terapi non-farmakologi sering dimulai dengan olahraga, dan ada bukti kuat yang
mendukung penggunaan PT sebagai pengobatan untuk meningkatkan fungsi dan
mengurangi rasa sakit pada pasien dengan gejala OA pinggul ringan sampai sedang.
Latihan untuk OA lutut dan pinggul telah terbukti mengurangi nyeri sebesar 6 persen,
meningkatkan fungsi fisik sebesar 5,6 persen, meningkatkan efikasi diri sebesar 1,66
persen, dan juga memiliki manfaat kecil untuk depresi (Hurley et al., 2018). Penelitian
yang melibatkan latihan berbasis rumah yang diawasi menunjukkan peningkatan yang
signifikan secara statistik dalam skor gejala artritis yang divalidasi pada 6, 12, 18, dan
24 bulan (Sinusas, 2012). Temuan penelitian merekomendasikan bahwa semua pasien
dengan gejala OA lutut atau pinggul didaftarkan dalam program latihan yang sepadan
dengan kemampuan mereka (Hurley et al., 2018). Keputusan mengenai jenis perawatan
harus bersifat individual dan berdasarkan preferensi pasien dan kemampuan untuk
melakukan latihan (Hochberg et al., 2012). Pasien dengan OA pada sendi metacarpal
pertama atau sendi pergelangan tangan dapat memperoleh manfaat dari kawat gigi atau
bidai. Bukti kekuatan sedang menunjukkan bahwa pasien obesitas dengan gejala OA
pinggul dapat mencapai skor hasil absolut yang lebih rendah setelah artroplasti pinggul
total daripada pasien non-obesitas tetapi masih melaporkan tingkat kepuasan pasien
yang sama dan peningkatan relatif dalam nyeri dan fungsi (AAOS, 2017) .

Penggantian lutut, yang meliputi penggantian lutut total dan sebagian, dilakukan untuk
mengembalikan fungsi dan menghilangkan rasa sakit pada pasien dengan lutut yang
rusak parah. Meskipun penggantian lutut total adalah pengobatan yang efektif,
komplikasi pasca operasi termasuk pembekuan darah, kerusakan luka, infeksi, dan
melonggarnya atau ketidaksejajaran komponen prostetik (Scott, 2015). Sebuah studi
oleh Scott et al. (2017) secara prospektif menilai 289 pasien (≤65 tahun) yang
menjalani penggantian lutut total. Para peneliti menemukan bahwa dari 90 persen
pasien yang bekerja sebelum penggantian lutut total, 40 persen kembali bekerja,
termasuk 34 persen yang kembali ke pekerjaan yang sama. Sebanyak 41 persen
pensiunan dan pasien sisanya tetap pada bantuan publik. Studi lain oleh Scott et al.
(2018) menilai 55 pasien (≤65 tahun), 95 persen di antaranya bekerja sebelum
menerima revisi artroplasti pinggul total. Penulis menemukan bahwa 1 tahun setelah
operasi, 33 persen telah kembali bekerja, 48 persen pensiun, dan 19 persen menerima
bantuan publik. Usia adalah prediktor paling signifikan untuk kembali bekerja; hanya
16 persen pasien yang berusia lebih dari 50 tahun yang kembali bekerja.

Tinjauan tentang OA pinggul dan pekerjaan (Harris dan Coggon, 2015) menemukan
beberapa studi deskriptif yang telah mendokumentasikan kembali bekerja setelah
artroplasti pinggul. Kisaran waktu bervariasi dari 8 hari (dengan rehabilitasi yang
dipercepat) hingga 13,9 minggu; namun, penulis mencatat bahwa data yang
dipublikasikan tidak memberikan panduan tentang waktu untuk kembali bekerja setelah
operasi tersebut.

Artroplasti sendi harus dipertimbangkan untuk kasus OA yang parah. Dalam kasus OA
pinggul, lutut, bahu, dan pergelangan tangan tingkat lanjut, penggantian sendi dapat
menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan fungsi bagi sebagian besar pasien. Namun,
tergantung pada pengalaman kerja pra-operasi, keterampilan, dan pendidikan pasien
serta tuntutan fisik dari kesempatan kerja yang memungkinkan, pengalaman kerja
pasca-operasi akan berbeda; tidak semua pasien yang berhasil melakukan penggantian
atau fusi sendi dapat kembali mendapatkan pekerjaan yang menguntungkan.

Meskipun ada banyak perawatan yang tersedia, OA lutut yang progresif dapat
menyebabkan penurunan mobilitas dan komplikasi sistemik berupa imobilitas dan
dekondisi. Risiko jatuh kemungkinan akan meningkat dengan penurunan mobilitas
lutut. Komplikasi dapat terjadi akibat penggunaan obat antiinflamasi, infeksi dapat
terjadi setelah injeksi atau pembedahan sendi, dan artroskopi dapat merusak membran
permukaan artikular, yang dapat menyebabkan kerusakan tulang rawan yang tidak
terlibat. Infeksi, trombosis vena dalam, dan kematian intraoperatif dapat terjadi akibat
pembedahan, sehingga membatasi pembedahan menjadi pilihan terakhir (Frontera et
al., 2018).

Ada beberapa bukti yang mendukung penggunaan PT pra-operasi dan pasca-operasi


untuk meningkatkan fungsi awal pada pasien dengan OA simptomatik pinggul setelah
artroplasti pinggul total. PT pasca operasi telah terbukti meningkatkan fungsi awal ke
tingkat yang lebih besar daripada tidak ada manajemen PT (AAOS, 2017). Selanjutnya,
tinjauan intervensi olahraga untuk OA lutut dan pinggul menunjukkan bahwa
partisipasi dalam program olahraga dapat meningkatkan fungsi fisik dan mengurangi
depresi dan nyeri (Hurley et al., 2018).
Daftar Pustaka

https://hellosehat.com/muskuloskeletal/gangguan-muskuloskeletal/

https://www.healthline.com/health/musculoskeletal-disorders

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/musculoskeletal-
conditions

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559512/

Anda mungkin juga menyukai