Anda di halaman 1dari 21

URGENSI PENGATURAN FIT AND PROPER TEST BAGI

CALON DIREKSI BANK DIGITAL

JURNAL

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat


Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum

Oleh:

GREGORIO FASIUS

NIM 185010100111001

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022
URGENSI PENGATURAN FIT AND PROPER TEST BAGI CALON DIREKSI
BANK DIGITAL
Gregorio Fasius, Reka Dewantara, Ranitya Ganindha
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
gregorio_fasius@student.ub.ac.id
Abstrak
Intensi dalam penelitian ini adalah terkait pengaturan fit and proper test bagi
lembaga perbankan telah terlebih dahulu diatur melalui “Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan” yang selanjutnya disebut sebagai
POJK PKKPULJK. POJK PKKPULJK mengatur bahwa calon direksi bank harus
memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan, dan kompetensi.
Persyaratan kompetensi dalam POJK PKKPULJK belum mengakomodir kompetensi
yang diwajibkan bagi calon direksi bank digital sebagaimana diatur dalam “POJK
12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum” yaitu setiap direksi bank digital memiliki
kompetensi di bidang teknologi informasi. Sehingga pada saat ini masih terdapat
situasi ketidaklengkapan pengaturan“fit and proper test bagi calon direksi bank
digital. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini memiliki tujuan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis urgensi pengaturan fit and proper test bagi
calon direksi bank digital serta mendeskripsikan dan menganalisis konseptualisasi
pengaturan fit and proper test bagi calon direksi bank digital di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan metode“pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)”. Bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan
menggunakan metode penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, dan
penafsiran komparatif. Dari hasil penelitian dengan metode diatas, penulis
memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada bahwa diperlukan
pembentukan pengaturan fit and proper test bagi calon direksi bank digital yang
memasukkan persyaratan kompetensi di bidang teknologi informasi bagi calon
direksi bank digital sehingga memberikan kepastian hukum bagi OJK sebagai
lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi calon direksi bank digital sesuai dengan kompetensinya di bidang
teknologi informasi. Sehingga konseptualisasi yang dapat penulis ajukan
berdasarkan penelitian dan analisis terhadap peraturan yang ada serta studi
perbandingan dengan pengaturan batasan kompetensi di bidang teknologi
informasi di negara Hong Kong adalah dengan melakukan penambahan
pengaturan terkait kompetensi di bidang teknologi informasi bagi calon direksi
bank digital pada pasal 8 POJK PKKPULJK serta penambahan batasan-batasan
kompetensi teknologi informasi pada bagian penjelasan pasal 8 POJK PKKPULJK.

Kata Kunci : Bank Digital, Direksi Bank, Uji Kemampuan dan Kepatutan
Abstract
The intention of this research is related to setting up a fit and proper test for
banking institutions. Regulated through “Financial Services Authority Regulation
Number 27/POJK.03/2016 concerning Fit and Proper Test for Main Parties in
Financial Services Institutions”, hereinafter referred to as POJK PKKPULJK. POJK
PKKPULJK stipulates that prospective bank directors must meet the requirements
of integrity, financial reputation, and competence. The competency requirements
in POJK PKKPULJK have not accommodated the competencies required for
prospective directors of digital banks as stipulated in “POJK 12/POJK.03/2021
concerning Commercial Banks”, namely that every digital bank director has
competence in the field of information technology. So that at this time there is still
a situation of incomplete "fit and proper test" arrangements for prospective
directors of digital banks. Based on this, this study aims to describe and analyze
the urgency of setting up a fit and proper test for candidates for directors of digital
banks and to describe and analyze the conceptualization of arrangements for fit
and proper tests for prospective directors of digital banks in Indonesia. This study
uses a normative juridical method with the method of "statutory approach,
comparative approach, and conceptual approach". The primary, secondary, and
tertiary legal materials obtained by the author will be analyzed using the methods
of grammatical interpretation, systematic interpretation, and comparative
interpretation. From the results of the research using the above method, the
authors obtain answers to the existing problems that it is necessary to establish a
fit and proper test arrangement for prospective directors of digital banks that
includes competency requirements in the field of information technology for
prospective directors of digital banks so as to provide legal certainty for OJK as an
institution that has the authority to conduct fit and proper tests for candidates for
directors of digital banks in accordance with their competence in the field of
information technology. So that the conceptualization that the author can propose
based on research and analysis of existing regulations as well as comparative
studies with setting limits on competence in the field of information technology in
Hong Kong is to add regulations related to competence in the field of information
technology for prospective directors of digital banks in article 8 of the POJK
PKKPULJK as well as the addition of information technology competency limits in
the explanation section of Article 8 of POJK PKKPULJK.

Keywords : Digital Bank, Bank Directors, Fit and Proper Test


A. Pendahuluan
Perkembangan dunia ekonomi di seluruh dunia yang begitu pesat telah banyak
mempengaruhi dan merubah kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Perkembangan ekonomi yang begitu pesat tersebut didukung dan ditopang
dengan berbagai institusi ekonomi dan keuangan yang kuat. Salah satu katalisator
perkembangan ekonomi tersebut adalah aktivitas dari sektor-sektor institusi jasa
keuangan seperti sektor perbankan. Perbankan di seluruh dunia memiliki bentuk
dan corak yang berbeda-beda, demikian pula corak perbankan Indonesia yang
mempunyai kekhasan karakteristik yang mungkin sedikit berbeda dengan corak
perbankan yang lazim di negara lain, tetapi secara umumnya corak perbankan
Indonesia tetap sama dengan yang berlaku menyeluruh di belahan dunia
manapun. Kekhasan corak ini banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila dan
tujuan negara yang tercantum dalam UUD NRI 1945 beserta amandemennya, hal
ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan
“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi”. Perbankan Indonesia didasarkan pada demokrasi ekonomi
mempunyai arti bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan
perbankan, sedangkan pemerintah dan lembaga regulator perbankan dalam hal ini
Otoritas Jasa Keuangan bertindak memberikan arahan dan bimbingan terhadap
pertumbuhan dunia perbankan sekaligus menciptakan iklim yang sehat terhadap
perkembangannya.

Bagi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, keberadaan industri


perbankan menjadi semakin penting. Keterlibatan perbankan dalam
mengumpulkan dan menyalurkan kembali dana-dana masyarakat akan sangat
membantu proses pembangunan ekonomi. “Perkembangan dan pertumbuhan
perekonomian nasional tidak terlepas dari peran serta dunia perbankan yang
sangat besar memberikan kontribusi kepada masyarakat Indonesia, mulai dari
kredit usaha kecil, menengah ataupun kredit usaha lainnya, bahkan sebagai
tempat penjaminan simpanan oleh masyarakat.”1 Keberadaan perbankan yang
sangat berpengaruh dalam perkembangan ekonomi dalam masyarakat ini harus
diatur dan diawasi aktivitasnya agar dapat beroperasi secara sehat dan tidak
membawa dampak buruk bagi aktivitas ekonomi masyarakat.

Pasal 2 “Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan”


menyatakan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Salah satu
implementasi dari pengaturan prinsip kehati-hatian dalam dunia perbankan adalah
prinsip kehati-hatian harus dapat meyakinkan bahwa pemilik dan pengelola bank
adalah orang yang fit and proper atau kompeten dan mempunyai integritas dan
tanggung jawab yang tinggi. Otoritas pengawas sebaiknya melakukan fit and
proper test terhadap pengurus bank. Pengaturan juga harus secara jelas mengatur
peran dan tanggung jawab pemilik dan pengelola bank. Hal ini penting karena
bank yang sehat hanya mungkin dikelola oleh bankir yang baik pula. Dengan
pengurus bank yang fit and proper tersebut, pengelolaan bank diharapkan akan
menjadi lebih baik. Sebelum suatu bank diberi izin, pemilik mayoritas atau
pemegang saham pengendali, direksi, dan pimpinan bank harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari otoritas pengawas. Setelah bank beroperasi, dengan
berbagai ketentuan kehati-hatian yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas,
pengelolaan bank harus menjadi lebih baik. Berbagai konflik kepentingan antara
pengurus dengan nasabah (kreditur maupun debitur) harus dihindarkan.2
Pengaturan terkait fit and proper test bagi pemilik dan pengelola perbankan
telah diatur oleh OJK melalui “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama
Lembaga Jasa Keuangan” yang selanjutnya disebut sebagai POJK PKKPULJK.
Penilaian dilakukan terhadap pihak utama lembaga jasa keuangan, pihak utama
adalah pihak yang memiliki, mengelola, mengawasi dan/atau mempunyai
pengaruh signifikan pada Lembaga Jasa Keuangan, seperti contohnya direksi
perbankan. Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon

1 “H. Bachtiar Simatupang”. “Peranan Perbankan dalam Meningkatkan


Perekonomian Indonesia”, “Jurnal Riset Akuntansi Multiparadigma, Universitas Islam Sumatera
Utara, Medan”, Vol. 6 No.2, 2019, hlm 10.
2 “Perry Warjiyo”, “Bank Indonesia Bank Sentral Republic Indonesia Sebuah

Pengantar”, “Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentrakan (PPSK)-Bank Indonesia, Jakarta”, 2004,
hlm 146.
direksi perbankan, OJK menetapkan 3 faktor penilaian yaitu faktor integritas, faktor
reputasi keuangan, dan faktor kompetensi. Di dalam Pasal 24 POJK Bank Umum
diatur mengenai berbagai syarat operasional Bank Digital. Salah satu syarat
beroperasinya Bank Digital berdasarkan POJK Bank Umum adalah dipenuhinya
syarat “memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan Direksi yang
mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sesuai
dengan ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak
utama lembaga jasa keuangan” sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) huruf
d POJK Bank Umum. Di dalam POJK Bank Umum tersebut mengatur bahwa jajaran
direksi Bank Digital diwajibkan untuk memiliki kompetensi di bidang teknologi
informasi, berdasarkan penjelasan pasal 24 ayat (1) huruf d tersebut, kompetensi
di bidang teknologi informasi mencakup pengalaman dan/atau keahlian di bidang
teknologi informasi3. Namun POJK tidak mengatur secara lebih rinci mengenai
batasan makna dari kompetensi teknologi informasi itu sendiri termasuk di
dalamnya mengenai pengalaman seperti apa maupun keahlian seperti apa yang
masuk dalam kategori kompetensi teknologi informasi yang wajib dimiliki oleh
setiap direksi bank digital, ketiadaan pengaturan ini menyebabkan makna dari
kompetensi di bidang teknologi informasi menjadi kabur serta menimbulkan
banyak penafsiran (multitafsir). Pada kenyataannya hingga saat ini, belum ada
pengaturan lebih lanjut oleh OJK mengenai fit and proper test calon direksi bank
digital yang mengakomodasi kompetensi di bidang teknologi informasi. Ketiadaan
pengaturan tersebut akan menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan bank digital
yang diakibatkan tidak kompetennya direksi bank digital, sehingga pengaturan
lebih lanjut mengenai fit and proper test calon direksi bank digital terkait
pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi
merupakan sebuah kebutuhan.
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka penulis terdorong untuk
melakukan penelitian yang berjudul “Urgensi Pengaturan fit and proper test
Calon Direksi Bank Digital”.

B. Rumusan Masalah

3Lihat Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf d “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 2021 Nomor 163, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 6700)”
1. Apa urgensi pengaturan fit and proper test bagi calon direksi bank digital ?
2. Bagaimana konseptualisasi pengaturan fit and proper test bagi calon
direksi bank digital di Indonesia ?

C. Pembahasan
1. Urgensi Pengaturan Fit and Proper Test Bagi Calon Direksi Bank Digital
A. Urgensi Filosofis Pengaturan Fit and Proper Test bagi Calon Direksi
Bank Digital
Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, Negara mengakui
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut
Gustav Radbruch, kepastian hukum merupakan nilai dasar hukum,
kepastian hukum mengharapkan dan mewajibkan hukum dibuat secara
pasti dalam bentuk tertulis.4 Tanpa adanya kepastian hukum, maka
timbullah ketidakpastian (uncertainty).5Di dalam penelitian ini,
ketidakpastian hukum timbul ketika OJK menerbitkan POJK Bank Umum
yang mengatur bahwa setiap calon direksi bank digital wajib memiliki
kompetensi teknologi informasi, namun di sisi lain, OJK belum
memperbaharui atau menambahkan pengaturan terkait fit and proper test
(penilaian kemampuan dan kepatutan) bagi calon direksi bank digital yang
di dalamnya mengatur mengenai kompetensi teknologi informasi yang
wajib dimiliki serta batasan kompetensi teknologi informasi itu sendiri.
Merujuk pada pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945, pendapat Gustav
Radbruch, serta permasalahan tersebut, maka perlu diatur lebih lanjut
mengenai batasan-batasan kompetensi teknologi informasi serta
pengaturan lebih lanjut di dalam aturan penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi calon direksi bank digital agar tercipta suatu kepastian
hukum.
B. Urgensi Yuridis Pengaturan Fit and Proper Test bagi Calon Direksi Bank
Digital

4 “Mario Julyano, Aditya Yuli Sulistyawan”, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian


Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum”, “Jurnal Credipo, Vol. 1 Nomor 1,
2019”, hlm 13.
5 Ibid., hlm 15.
Di dalam persyaratan memenuhi aspek tata kelola termasuk
Pemenuhan Direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi
informasi dan kompetensi lain sesuai dengan ketentuan OJK mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa
keuangan, OJK memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi di bidang teknologi informasi mencakup pengalaman dan/atau
keahlian di bidang teknologi informasi. Maksud dari frasa “pengalaman
dan/atau keahlian di bidang teknologi informasi” tersebut belum memiliki
batasan maksud yang jelas. Ketiadaan batasan maksud dari frasa tersebut
tentu saja menimbulkan multitafsir yang menyebabkan ketidakpastian
hukum. Adanya penambahan kompetensi teknologi informasi bagi calon
direksi perbankan digital pada POJK Bank Umum membawa dampak
yuridis, yaitu diperlukannya pembaharuan pengaturan bagi POJK penilaian
kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan
terutama bagi calon direksi bank digital yang memasukkan kompetensi
teknologi informasi bagi calon direksi bank digital. Selain itu, di dalam POJK
tersebut juga harus diatur secara jelas dan rinci mengenai batasan-batasan
dari kompetensi teknologi informasi bagi calon direksi bank digital. Oleh
karena itu berdasarkan landasan yuridis yang sudah disebutkan tersebut,
perlu dilakukan pengaturan fit and proper test bagi calon direksi bank
digital.
C. Urgensi Sosiologis Pengaturan Fit and Proper Test bagi Calon Direksi
Bank Digital
Batasan makna kompetensi teknologi informasi bagi direksi perbankan
digital diharapkan dapat memberikan kepastian hukum mengenai sejauh
mana kompetensi yang dibutuhkan oleh calon direksi bank digital. Batasan
kompetensi teknologi yang jelas akan membuat pengelolaan teknologi
informasi di bank digital oleh direksi berjalan dengan efektif. Selain
pengaturan mengenai batasan tersebut, pengaturan mengenai kompetensi
teknologi informasi juga harus diatur lebih lanjut di dalam POJK yang
mengatur penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga
jasa keuangan dalam hal ini calon direksi bank digital, sebab hal tersebut
akan memberikan kewenangan yang berkepastian hukum bagi OJK dalam
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terkait kompetensi di
bidang teknologi informasi yang dikuasai oleh calon direksi bank digital.
Melalui penilaian dan kemampuan (fit and proper test) bagi pihak utama
lembaga jasa keuangan yang berkepastian hukum, maka diharapkan setiap
direksi bank digital memiliki kompetensi di bidang teknologi informasi yang
nantinya akan menunjang tugas kepengurusannya sebagai direksi bank
digital.

2. Konseptualisasi Pengaturan Fit and Proper Test bagi Calon Direksi Bank
Digital di Indonesia
A. Analisis Pengaturan Fit and Proper Test Direksi Perbankan di Indonesia
Pengaturan fit and proper test senantiasa mengikuti perkembangan
zaman sesuai dengan risiko dan tantangan yang dihadapi perbankan.
Dengan pengaturan fit and proper test yang memiliki standar yang terus
berkembang, diharapkan para pihak utama lembaga jasa keuangan
terkhusus direksi dapat melakukan pengelolaan yang baik sehingga akan
menjamin kesehatan dan keberlanjutan bisnis perbankan kedepannya.
Pembaharuan fit and proper test juga patut diperlukan bagi calon direksi
bank digital. Hal ini disebabkan ada penambahan kompetensi teknologi
informasi bagi setiap calon direksi bank digital sesuai dengan POJK Bank
Umum. Pembaharuan fit and proper test bagi calon direksi bank digital
dengan memasukkan kompetensi teknologi informasi ke dalam peraturan
tersebut diharapkan dapat menunjang aktivitas operasional yang sehat dan
keberlangsungan bisnis bank digital.
OJK memiliki kewenangan untuk membatalkan persetujuan yang telah
diberikan kepada calon direksi perbankan apabila setelah persetujuan
diberikan diketahui bahwa informasi atau dokumen yang disampaikan
dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan tidak benar sehingga
menjadi tidak memenuhi persyaratan; dan/atau terdapat informasi yang
diperoleh dari otoritas lain yang menyebabkan pihak calon direksi
perbankan yang telah disetujui menjadi tidak memenuhi persyaratan yang
telah diatur.6 Dari beberapa kewenangan diatas, kita dapat mengetahui

6 Pasal 28 ayat (1) “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2016 tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Tahun 2016 Nomor 147)”
bahwa lembaga OJK merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan
kewenangan oleh negara untuk melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan termasuk dalam hal
ini calon direksi bank digital.
Berdasarkan persyaratan bagi calon direksi bank yang ada di dalam PBI
12/23/PBI/2010, dapat diketahui bahwa persyaratan tersebut berlaku bagi
semua calon direksi bank umum, termasuk dalam hal ini bagi calon direksi
Bank Digital, sebab Bank Digital merupakan bank berbadan hukum
indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan melalui saluran
elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat atau dapat menggunakan
kantor fisik terbatas,7 sehingga segala persyaratan yang terdapat di dalam
PBI 12/23/PBI/2010 tersebut berlaku secara mutatis mutandis terhadap
calon direksi bank digital. Namun dengan terbitnya POJK Bank Umum yang
mensyaratkan bahwa setiap calon direksi bank digital memiliki kompetensi
di bidang teknologi informasi, maka perlu dilakukan pembaharuan dalam
pengaturan fit and proper test tersebut yang mengakomodasi kompetensi
teknologi informasi bagi jajaran direksi bank digital.
Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia pada dekade akhir tahun
1997 – 1998 bukan hanya semata-mata dihasilkan oleh krisis ekonomi saja,
namun disebabkan oleh belum terlaksananya Good Corporate Governance
di dalam perbankan serta etika yang melandasinya. Terjadinya pelanggaran
batas maksimum pemberian kredit, rendahnya praktek manajemen risiko,
tidak adanya transparansi terhadap informasi keuangan kepada nasabah,
dan adanya dominasi para pemegang saham dalam mengatur operasional
perbankan menyebabkan rapuhnya industri perbankan nasional. Sehingga
mulai saat itu, tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance/GCG) mulai dikenal8. Oleh sebab itu, usaha untuk
mengembalikan kepercayaan kepada dunia perbankan Indonesia melalui
restrukturisasi dan rekapitulasi hanya dapat mempunyai dampak panjang
dan mendasar apabila disertai tiga tindakan penting lain yaitu :

7 Pasal 23 “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum

(Lembaran Negara Tahun 2021 Nomor 163, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6700)”
8 “Aldira Maradita”, “Karakteristik Good Corporate Governance Pada Bank Syariah

dan Bank Konvensional”, “Jurnal Yuridika, Vol. 29, No.2, Universitas Airlangga, Surabaya”, 2014,
hlm 192-193.
a. Ketaatan terhadap prinsip kehati-hatian;
b. Pelaksanaan Good Corporate Governance ; dan
c. Pengawasan yang efektif dari Otoritas Pengawas Bank.9
Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat mengetahui bahwa
pelaksanaan fit and proper test bagi calon direksi bank terkhusus calon
direksi bank digital sangatlah berkaitan erat dengan pelaksanaan Good
Corporate Governance di dalam lingkungan bank digital itu sendiri.
Pemenuhan direksi yang memiliki integritas, kompetensi dan reputasi
keuangan yang baik merupakan perwujudan dari pemenuhan direksi bank
digital yang mampu untuk melaksanakan pengelolaan bank berdasar Good
Corporate Governance. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
bagi setiap calon direksi bank digital yang tidak memenuhi aspek-aspek
yang dipersyaratkan di dalam fit and proper test antara lain aspek
integritas, aspek kompetensi, dan aspek reputasi keuangan, maka secara
otomatis calon direksi bank digital tersebut juga tidak memenuhi prinsip
Good Corporate Governance di dalam pengelolaan bank digital.

B. Analisis Peraturan terkait Bank Digital dan Pemenuhan Kompetensi


Teknologi Informasi bagi Calon Direksi Bank Digital di Indonesia
Salah satu syarat untuk beroperasinya bank digital adalah agar bank
digital memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang
mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain
sesuai dengan ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Pemenuhan aspek
direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi belum
memiliki pengaturan lebih lanjut yang menjabarkan lebih jelas mengenai
batasan dari kompetensi teknologi informasi itu sendiri, hal ini tentu saja
membawa dampak yuridis mengenai ketidakpastian batasan dari
kompetensi teknologi informasi bagi calon direksi bank digital itu sendiri.
Selain ketiadaan pengaturan batasan dari kompetensi teknologi informasi
tersebut, masalah hukum lain yang timbul adalah bahwa peraturan

9 “Putri Indar Dewi”, “Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Lembaga


Perbankan Syariah”, “Jurnal At-Tsarwah, Vol. 3 No.2, Universitas Islam Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta”, 2020, hlm 3.
perundang-undangan belum mengatur tata cara yang harus dilakukan
untuk menyeleksi calon direksi bank digital yang memiliki kompetensi di
bidang teknologi informasi. Peraturan perundang-undangan yang penulis
maksud adalah peraturan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi pihak utama lembaga jasa keuangan yang di dalamnya belum
mengatur atau mengakomodasi mengenai kompetensi teknologi informasi
bagi calon direksi bank digital.

Dalam melakukan penelitian terhadap batasan kompetensi teknologi


informasi bagi calon direksi bank digital di Indonesia, penulis melakukan
komparasi atau perbandingan hukum dengan negara yang terlebih dahulu
telah mengatur mengenai batasan kompetensi teknologi informasi
tersebut. Menurut Romli Atmasasmita, tujuan perbandingan hukum bisa
dibedakan melalui asal-usul serta perkembangannya.10 Dilihat dari sudut
teori hukum alam, tujuan perbandingan hukum adalah membandingkan
sistem-sistem hukum untuk dapat melihat persamaan dan perbedaannya
dalam rangka mengembangkan hukum alam itu sendiri. Namun jika dilihat
dari sudut pragmatis, tujuan perbandingan hukum adalah tidak semata-
mata mencari persamaan dan perbedaan, namun lebih kepada
mengadakan pembaharuan hukum. Disamping itu apabila dilihat dari segi
fungsional, maka perbandingan hukum bertujuan untuk menemukan
jawaban atas masalah-masalah hukum yang nyata dan sama.11 Melalui
metode perbandingan pengaturan hukum dalam penelitian ini, diharapkan
dapat menjadi referensi yang mampu menjadi sumber pertimbangan dalam
rangka memperbaharui pengaturan hukum positif terkait batasan
kompetensi teknologi informasi yang harus dimiliki oleh calon direksi bank
digital.
Komparasi ini dilakukan agar penulis mendapatkan perbandingan yang
holistik serta komprehensif sehingga dapat ditemukan bentuk yang ideal
dari batasan kompetensi teknologi informasi bagi calon direksi bank digital
di Indonesia. Negara yang terlebih dahulu menerapkan batasan

10 “Romli Atmasasmita”, “Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana”, “Yayasan Lembaga


Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta”, 1989, hlm 20.
11 Ibid., hlm 28-29.
kompetensi teknologi informasi adalah negara Hong Kong. Pemilihan
negara Hong Kong oleh penulis sebagai objek pembanding dikarenakan
antara Hong Kong dan Indonesia memiliki model yang sama terkait
lembaga pengawas dan regulator di sektor jasa keuangan, yaitu model satu
atap. Lembaga tunggal tersebut memiliki kewenangan untuk mengawasi
dan mengatur seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan. Pasal 5 UU
OJK mengatur bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan
dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan dalam
sektor jasa keuangan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa OJK merupakan
suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi seluruh
kegiatan pada sektor jasa keuangan. Begitupun kewenangan yang
diperoleh HKMA untuk mengatur serta mengawasi berdasarkan “exchange
fund ordinance, the banking ordinance, the deposit protection scheme
ordinance dan the clearing and settlements systems ordinance.”12
Dengan berkembanganya ekonomi digital, usaha mikro, kecil dan
menengah sekarang dapat menjangkau konsumennya secara langsung,
bukan hanya di lingkungannya saja tetapi juga berpotensi menjangkau
konsumen di seluruh dunia. Dengan berkembangnya kesempatan baru bagi
para pelaku usaha serta ketergantungannya terhadap akses finansial digital
telah membuat pihak regulator dan bank secara global untuk mengeksplor
dunia teknologi digital dan bagaimana teknologi digital tersebut
memajukan inklusi keuangan dalam hal ini melalui bank virtual (bank
digital). Di Hong Kong, regulator bank digital yaitu “Hong Kong Monetary
Authority” (“HKMA”) mendefinisikan bank digital sebagai bank yang
utamanya melayani layanan perbankan ritel, jika tidak seluruhnya, melalui
jaringan internet atau melalui kanal teknologi informasi lainnya ketimbang
melalui cabang fisik.13
Teknologi Informasi merupakan aspek yang sangat penting bagi dunia
perbankan digital di Hong Kong, salah satu aspek Teknologi Informasi yang

12 “HKMA”, “Hong Kong Monetary Authority”,


“https://www.hkma.gov.hk/media/eng/publication-and-research/reference-
materials/intro_to_hkma.pdf” (online), (9 Mei 2022)
13 “Sau-Wai Law”, “Financial Inclusion and Virtual Bank in the Era of Digitalisayion

: A Regulatory Case Study in Hong Kong ”, “SocioEconomic Challenges Journal, Vol. 5 No. 3”,
2021, pp. 83.
diatur Hong Kong adalah terkait aspek Keamanan Siber. Keamanan siber
menjadi hal yang sangat penting bagi sektor perbankan di Hong Kong,
berdasarkan penelitian pada tahun 2015, rata-rata kerugian secara global
yang diakibatkan oleh kejahatan siber adalah sekitar HK$59.730.000 (lima
puluh sembilan juta tujuh ratus tiga puluh ribu dollar hongkong) per tahun
atau setara dengan US$ 7.700.000 (tujuh juta tujuh ratus ribu dollar
amerika serikat)14. Sejalan dengan layanan internet dan perbankan digital
yang semakin berkembang, perbankan modern belakangan ini menghadapi
serangan siber yang sangat canggih dan kompleks.
Di Hong Kong, lanskap keamanan siber di sektor perbankan telah
berubah drastis selama satu dekade terakhir. Ancaman siber di Hong Kong
telah meningkat, seperti pada tahun 2015, “the Hong Kong Computer
Emergency Response Team Coordination Centre” (“HKCERT”) menangani
hampir 5000 serangan siber, hal ini merepresentasikan 43% peningkatan
serangan siber dibanding tahun lalu.15 Berdasarkan data statistik yang
dikeluarkan oleh pihak kepolisian Hong Kong, kerugian finansial yang
diakibatkan oleh kejahatan siber telah mencapai HK$ 1.800.000.000 (satu
milyar delapan ratus juta dollar hongkong) selama tahun 2015.16 The Hong
Kong Institute of Bankers (“HKIB”) menyatakan bahwa sektor perbankan
300% lebih rentan untuk menjadi sasaran serangan siber ketimbang sektor
lainnya.17 Dengan adanya peningkatan risiko siber pada sektor perbankan,
industri perbankan menyadari pentingnya untuk melindungi bank dan
nasabahnya dari serangan siber, serta untuk selalu menjaga reputasi Hong
Kong sebagai pusat finansial internasional.
Dengan berbagai latar belakang yang telah disebutkan diatas, the Hong
Kong Monetary Authority (“HKMA”) sebagai lembaga otoritas moneter dan

14 “Hong Kong Computer Emergency Response Team Coordination Centre (HKCERT)”, 2016,

“HKPC Warns of Growing Cyber Attacks that Harvest Credentials for Profit “(online),
“https://www.hkcert.org/my_url/en/blog/16012701”, (23 April 2022)
15 Ibid
16 “South China Morning Post”, 2016, “Hackers have their sights on Hong Kong, cyber
security experts warn”, “http://www.scmp.com/news/hong-
kong/economy/article/1944676/hackers-have-their-sights-hong-kong-cyber-security-
experts”(online), (23 April 2022)
17 “South China Morning Post”, 2016, “On the defence: Hong Kong Monetary Authority

to boost cybersecurity for city's banking system” (online), “http://www.scmp.com/news/hong-


kong/economy/article/1946686/defence-hong-kong-monetary-authorityboost-cybersecurity”, (23
April 2016)
regulator lembaga keuangan di Hong Kong telah mempertimbangkan
pentingnya untuk menempatkan keamanan siber sebagai garda terdepan
pada agenda teknologi finansialnya. Pada bulan Mei 2016, HKMA telah
mengumumkan peluncuran Cybersecurity Fortification Initiative (“CFI”)
dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan Perbankan di Hong Kong
terhadap serangan siber dengan tiga pilar. Tiga pilar tersebut diantaranya
melalui CFI diatur mengenai kerangka penilaian berbasis risiko umum bagi
perbankan Hong Kong (Cyber Resilience Assessment Framework),
pelatihan profesional dan program sertifikasi yang bertujuan untuk
meningkatkan profesional terkualifikasi (Professional Development
Programme) serta platform pertukaran informasi berbasis intelijen siber
(Cyber Intelligence Sharing Platform). Sejalan dengan pelatihan profesional
CFI dan program pengembangan, HKMA meluncurkan modul peraturan
terkait keamanan siber perbankan yaitu Enhanced Competency Framework
on Cybersecurity (ECF-C) bagi praktisi perbankan. Tujuan dari ECF-C
adalah untuk memperkenalkan kerangka kompetensi pada sektor
perbankan yang memungkinkan pengembangan talenta dan memfasilitasi
pengembangan kompetensi dan kemampuan profesional di bidang
keamanan siber. Mengingat semakin meningkatnya risiko keamanan siber,
bank harus meningkatkan keamanan siber mereka dengan membekali para
pejabat dan karyawan mereka dengan keterampilan, pengetahuan dan
perilaku yang tepat dalam menghadapi tantangan keamanan siber.18
Pelaksanaan ketentuan ECF-C ditujukan bagi pejabat atau karyawan
perbankan yang memiliki peran dalam bidang keamanan siber di bank
tersebut. Kualifikasi dalam ketentuan ECF-C mengatur dua level yang
didasarkan pada lama waktu pengalaman kerja pejabat atau karyawan
pada bidang pekerjaan keamanan siber, yaitu sebagai berikut :
a. Core Level
Pada level ini, pekerjaan hanya dapat dilakukan oleh pejabat atau
karyawan yang memiliki pengalaman di bidang keamanan siber kurang
dari 5 tahun.
b. Professional Level

18 “Enhanced Competency Framework on Cybersecurity”, p 3.


Pada level ini, pekerjaan dapat dilakukan oleh pejabat atau karyawan
yang memiliki pengalaman selama 5 tahun atau lebih di bidang
keamanan siber.
Struktur kualifikasi pekerjaan didasarkan pada konsep tiga lapis
pertahanan siber dibawah pengaturan tata kelola keamanan siber :
a. IT Security Operations and Delivery
b. IT Risk Management and Control
c. IT Audit
Dalam pengaturan ECF-C, batasan terkait pengalaman di bidang
teknologi informasi dibagi menjadi dua berdasarkan lama waktu
pengalaman yaitu pada level pemula (core level) yang memiliki
pengalaman di bidang teknologi informasi dalam hal ini keamanan siber
selama kurang dari 5 tahun; dan level profesional (professional level) yang
memiliki pengalaman di bidang teknologi informasi dalam hal ini keamanan
siber selama 5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Pembagian level pengalaman
kompetensi tersebut akan menentukan kedudukan maupun jabatan yang
dapat ditempati oleh para pejabat maupun karyawan perbankan tersebut.
Bercermin pada batasan kompetensi teknologi informasi pada negara
Hong Kong tersebut, maka penulis mengajukan diperlukannya pengaturan
hukum dengan melakukan penambahan pengaturan terkait batasan
pengalaman di bidang teknologi informasi selama minimal 5 tahun
pengalaman kerja serta penambahan pengaturan terkait keahlian di bidang
teknologi informasi yang mensyaratkan keahlian yang dibutuhkan
berdasarkan sertifikasi di bidang teknologi informasi yang diakui oleh
otoritas keuangan dalam hal ini oleh Otoritas Jasa Keuangan. Rekonstruksi
ini perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum sehingga frasa
kompetensi di bidang teknologi informasi tidak bersifat multitafsir.

C. Konseptualisasi Pengaturan Fit and Proper Test bagi Calon Direksi Bank
Digital di Indonesia
Pengaturan terkait Fit and Proper Test bagi calon direksi perbankan
yang saat ini berlaku yaitu sebagaimana diatur dalam “POJK Nomor
27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak
Utama Lembaga Jasa Keuangan” yang selanjutnya disebut sebagai POJK
PKKPULJK dinilai belum dapat mengikuti perkembangan pengaturan yang
ada. Pasal 4 huruf c POJK PKKPULJK mengatur bahwa “penilaian
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dilakukan terhadap setiap
calon direksi perbankan terhadap integritas, reputasi keuangan dan
kompetensi”19. Dalam pasal 8 POJK PKKPULJK, diatur bahwa persyaratan
kompetensi meliputi pengetahuan dan/atau pengalaman yang mendukung
pengelolaan LJK. Pengaturan dalam pasal 8 POJK PKKPULJK tersebut
belum bisa mengakomodir terkait kebutuhan akan direksi bank digital yang
memiliki kompetensi di bidang teknologi informasi sebagaimana diatur di
dalam “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2021
tentang Bank Umum” yang selanjutnya disebut sebagai POJK BU. Pasal 24
ayat (1) huruf d POJK BU mengatur bahwa setiap direksi bank digital
diwajibkan untuk mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi.
Penambahan pengaturan terkait kompetensi di bidang teknologi
informasi pada pasal 8 POJK PKKPULJK merupakan suatu keharusan agar
dapat mengakomodasi kebutuhan terhadap direksi bank digital yang
memiliki kemampuan di bidang teknologi informasi, melalui penambahan
pengaturan tersebut juga OJK memiliki dasar hukum untuk menentukan
calon direksi yang memiliki kemampuan di bidang teknologi informasi
melalui mekanisme fit and proper test sebagaimana diatur dalam POJK
PKKPULJK. Selain melakukan penambahan pengaturan terhadap pasal 8
POJK PKKPULJK tersebut, lembaga regulator dalam hal ini OJK, juga harus
melakukan penambahan pengaturan terhadap batasan dari kompetensi
teknologi informasi bagi calon direksi bank digital.
Penulis merekomendasikan dilakukan penambahan pengaturan pada
pasal 8 POJK 27/POJK.03/2016 yang menambahkan persyaratan
kompetensi di bidang teknologi informasi bagi calon direksi bank digital
sehingga pasal 8 terdiri atas dua ayat yaitu ayat (1) dan ayat (2),
penambahan juga dilakukan di bagian penjelasan pasal 8 ayat (2) yang
memberikan batasan yang jelas terkait kompetensi di bidang teknologi
informasi yaitu batasan kompetensi di bidang teknologi informasi

19 Pasal 4 huruf c “Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2016 tentang


Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Tahun 2016 Nomor 147)”
mencakup pengalaman dengan lama pengalaman bekerja minimal 5 tahun
di bidang teknologi informasi dan/atau keahlian yang dibuktikan dengan
sertifikasi di bidang teknologi informasi.
Penulis mengkonseptualisasikan pengalaman kerja minimal 5 tahun di
bidang teknologi informasi karena waktu 5 tahun atau lebih merupakan
waktu yang cukup bagi seseorang untuk dapat dikatakan profesional di
bidang teknologi informasi sebagaimana diatur di dalam ECF-C. Sebagai
organ perseroan yang berwenang penuh dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan Bank Digital, maka sudah sepatutnya jajaran direksi Bank
Digital diisi oleh kalangan profesional yang memiliki pengalaman kerja di
bidang teknologi informasi sebagaimana diatur dalam ECF-C yaitu dengan
minimal pengalaman kerja selama 5 tahun atau lebih di bidang teknologi
informasi.

D. Penutup
1. Urgensi pengaturan fit and proper test bagi calon direksi bank digital dapat
ditinjau melalui 3 (tiga) landasan, yaitu landasan filosofis, yuridis dan
sosiologis. Secara filosofis, ketiadaan pengaturan terkait fit and proper test
bagi calon direksi bank digital bertentangan dengan pasal 28D ayat (1)
UUD NRI 1945 dimana negara menjamin kepastian hukum, menurut
Radbruch kepastian hukum mengharapkan dan mewajibkan hukum dibuat
secara pasti dalam bentuk tertulis. Ketidakpastian hukum timbul ketika OJK
menerbitkan POJK Bank Umum yang mengatur bahwa setiap calon direksi
bank digital wajib memiliki kompetensi teknologi informasi, namun di sisi
lain, OJK belum memperbaharui atau menambahkan pengaturan terkait fit
and proper test (penilaian kemampuan dan kepatutan) bagi calon direksi
bank digital yang di dalamnya mengatur mengenai kompetensi teknologi
informasi yang wajib dimiliki serta batasan kompetensi teknologi informasi
itu sendiri. Secara yuridis, adanya penambahan kompetensi teknologi
informasi bagi calon direksi bank digital pada POJK Bank Umum membawa
dampak yuridis, yaitu diperlukannya pengaturan fit and proper test bagi
calon direksi bank digital melalui pembaharuan pengaturan POJK penilaian
Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan
terutama bagi calon direksi bank digital yang memasukkan kompetensi di
bidang teknologi informasi bagi calon direksi bank digital, pembaharuan ini
juga merupakan bentuk pemenuhan prinsip tata kelola yang baik. Secara
sosiologis, pengaturan fit and proper test bagi calon direksi bank digital
harus dilakukan sebab pengaturan fit and proper test tersebut mengatur
terkait kompetensi di bidang teknologi informasi yang harus dimiliki oleh
calon direksi bank digital, sebagai bank yang bergerak di bidang digital
dengan memanfaatkan bidang teknologi informasi, maka sudah sepatutnya
setiap calon direksi bank digital harus memiliki kompetensi di bidang
teknologi informasi.
2. Konseptualisasi pengaturan fit and proper test bagi calon direksi bank
digital di Indonesia yang dapat penulis ajukan adalah dengan melakukan
pembaharuan atau penambahan pengaturan pada pasal 8 “POJK
27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak
Utama Lembaga Jasa Keuangan” yakni dengan menambahkan klausula
memenuhi kompetensi di bidang teknologi informasi bagi setiap calon
direksi LJK berbentuk Bank Digital. Penambahan pengaturan pada pasal 8
tersebut dilengkapi dengan penjelasan bahwa kompetensi di bidang
teknologi informasi mencakup pengalaman dengan lama pengalaman
bekerja minimal 5 tahun di bidang teknologi informasi dan/atau keahlian
yang dibuktikan dengan sertifikasi di bidang teknologi informasi
sebagaimana yang secara efektif batasan tersebut diterapkan oleh Hong
Kong. Konseptualisasi Pengalaman bekerja selama minimal 5 tahun di
bidang teknologi informasi tersebut karena waktu 5 tahun atau lebih
merupakan waktu pengalaman yang cukup bagi seseorang untuk dapat
dikatakan profesional sebagaimana diatur dalam ECF-C.
Daftar Pustaka
Buku :
Perry Warjiyo, Bank Indonesia Bank Sentral Republic Indonesia Sebuah
Pengantar, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentrakan (PPSK)-Bank
Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 146.
Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana , Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1989
Peraturan Perundang-Undangan :
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.03/2021 tentang
Bank Umum, Lembaran Negara Tahun 2021 Nomor 163, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 6700
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.03/2016 tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Nomor 147)
Enhanced Competency Framework on Cybersecurity

Jurnal :
Aldira Maradita, Karakteristik Good Corporate Governance Pada Bank
Syariah dan Bank Konvensional, Jurnal Yuridika, Vol. 29, No.2,
Universitas Airlangga, Surabaya, 2014.
H. Bachtiar Simatupang. Peranan Perbankan dalam Meningkatkan
Perekonomian Indonesia, Jurnal Riset Akuntansi Multiparadigma,
Universitas Islam Sumatera Utara, Vol. 6 No. 2, Medan, 2019.
Mario Julyano, Aditya Yuli Sulistyawan, Pemahaman Terhadap Asas
Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme
Hukum, Jurnal Credipo, Vol. 1 Nomor 1, 2019
Putri Indar Dewi, Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di
Lembaga Perbankan Syariah, Jurnal At-Tsarwah, Vol. 3 No.2,
Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2020.
Sau-Wai Law, Financial Inclusion and Virtual Bank in the Era of
Digitalisayion : A Regulatory Case Study in Hong Kong ,
SocioEconomic Challenges Journal, Vol. 5 No. 3, 2021.
Artikel Internet :
HKMA, 2019, The HKMA (online),
https://www.hkma.gov.hk/media/eng/publication-and-
research/reference-materials/intro_to_hkma.pdf diakses 9 Mei 2022
Hong Kong Computer Emergency Response Team Coordination Centre (HKCERT),
2016, HKPC Warns of Growing Cyber Attacks that Harvest
Credentials for Profit (online),
https://www.hkcert.org/my_url/en/blog/16012701, diakses 23 April 2022
South China Morning Post, 2016, Hackers have their sights on Hong Kong,
cyber security experts warn, http://www.scmp.com/news/hong-
kong/economy/article/1944676/hackers-have-their-sights-hong-kong-
cyber-security-experts (online), diakses 23 April 2022
South China Morning Post, 2016, On the defence: Hong Kong Monetary
Authority to boost cybersecurity for city's banking system (online),
http://www.scmp.com/news/hong-
kong/economy/article/1946686/defence-hong-kong-monetary-
authorityboost-cybersecurity, diakses 23 April 2016

Anda mungkin juga menyukai