Anda di halaman 1dari 15

i

TINGKAT KESEHATAN KREDIT PERBANKAN

Makalah Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah legalitas
perbankan syariah di Indonesia Program Studi Perbankan Syariah 3

Oleh:
HERDIANTI
01175078

HASRAHWATI
01175076

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2020

i
ii

DAFTAR ISI

Daftar Isi.......................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 2

BAB II: PEMBAHASAN............................................................................... 3

A. Pengertian Kesehatan Bank......................................................... 3

B. NPL dan Kolektibilitas Bank....................................................... 7

C. Penyelesaian Perkreditan Bank.................................................... 8

D. Regulasi Pengawasan Bank........................................................ 10

BAB III: PENUTUP.......................................................................................... 12

A. Simpulan............................................................................................. 12

B. Saran................................................................................................... 12

Daftar Rujukan

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kredit atau pinjaman merupakan hal klasik yang diperlukan oleh hampir

setiap orang dan ditemui di setiap kehidupan semua orang. Beberapa dari

mereka mengambil kredit untuk keperluan investasi dan sebagian yang lain

memang menggunakan kredit untuk keperluan konsumsi. Hampir setiap orang

membutuhkan kredit, baik untuk kredit modal kerja, kredit kepemilikan rumah,

kredit konsumtif dan kredit usaha. Oleh karena itu Bank BRI KC Bangkalan

mengeluarkan fasilitas untuk nasabah berupa KMK atau Kredit Modal Kerja.

Bank BRI KC Bangkalan sebagai bank milik negara mempunyai tugas untuk

memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana disaat

masyarakat kekurangan modal untuk usaha, di sisi lain untuk menjalin mitra

usaha antara pihak Bank dengan nasabah atau masyarakat.

Menurut pasal 1 butir (11) UU No. 10 Tahun 1998, “Kredit adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga”. Sedangkan menurut Hasibuan (2001:87), 2 “kredit adalah

semua jenis pinjaman yang harus dibayar kembali bersama bunganya oleh

peminjam sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati ”.

Menurut Rivai (2004:4), “definisi kredit adalah penyerahan barang, jasa,

atau uang dari satu pihak (kreditur atau pemberi pinjaman) atas dasar

kepercayaan kepada pihak lain (nasabah atau pengutang) dengan janji membayar

dari penerima kredit kepada pemberi kredit pada tanggal yang telah disepakati

kedua belah pihak”. Jadi, kesimpulannya Kredit adalah jenis pinjaman yang
2

harus dibayar sesuai dengnan perjanjian bersamaan dengan bunga yang telah

ditentukan atas dasar kepercayaan antara pihak nasabah dengan pihak bank,

yang sebelumnya telah dilakukan survey sebelum pemutusan kredit.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana yang dimaksud dengan Kesehatan Bank ?

2. Bagaimana NPL dan Kolektibilitas Bank ?

3. Bagaimana Penyelesaian Perkreditan Bank ?

4. Bagaimana Regulasi Pengawasan Bank ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Kesehatan Bank

2. Untuk mengetahui NPL dan Kolektibilitas Bank

3. Untuk mengetahui Penyelesaian Perkreditan Bank

4. Untuk mengetahui Regulasi Pengawasan Bank

2
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Bank

Menurut Bank of Settlement, bank dapat dikatakan sehat apabila bank

tersebut dapat melaksanakan kontrol terhadap aspek modal, aktiva, rentabilitas,

manajemen dan aspek likuiditasnya. Pengertian Kesehatan bank menurut Bank

Indonesia sesuai dengan Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan

Pasal 29 adalah Bank dikatakan sehat apabila bank tersebut memenuhi ketentuan

Kesehatan bank dengan memperhatikan aspek Permodalan, Kualitas Asset,

Kualitas Manajemen, Kualitas Rentabilitas, Likuiditas, Solvabilitas, dan aspek

lain yang berhubungan dengan usahabank.1

Penilaian kesehatan Bank Syariah dilakukan berdasarkan Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan

Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang berlaku mulai 24 Januari 2007.

Dari hasil penjelasan Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Chalimah Fadjrijah

menjelaskan bahwa penerapan ini dilakukan dengan memperkirakan produk dan

jasa perbankan syariah ke depan kian beragam dan kompleks sehingga eksposur

risiko yang dihadapi juga meningkat. Meningkatnya eksposur risiko tersebut akan

mengubah profil risiko Bank Syariah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi

tingkat kesehatan bank tersebut. Dalam penilaian tingkat kesehatan, Bank

Syariah telah memasukkan risiko yang melekat pada aktivitas bank (inherent

risk), yang merupakan bagian dari proses penilaian manajemen risiko.Bank

Umum Syariah wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara

triwulanan, yang meliputi faktor-faktor antara lain:


1
Intan Permana, Kesehatan Bank, https://id.scribd.com/doc/105266010/Makalah-
Kesehatan-Bank, h. 4.

3
4

1. Permodalan (capital)

2. Kualitas asset (asset quality)

3. Rentabilitas (earning)

4. Likuiditas (liquidity)

5. Sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk)

6. Manajemen (management)

Penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor

finansial (permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap

risiko pasar) dihitung secara kuantitatif dan kualitatif dengan mempertimbangkan

unsur judgment.

Khusus untuk tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

berdasarkan prinsip syariah (BPRS), Bank Indonesia mengeluarkan aturan baru

yang mulai berlaku 4 Desember 2007, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

9/17/PBI/2007 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan

Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah mengatur penilaian kesehatan BPRS

mencangkup penilaian diantara:

1. Faktor Permodalan (capital);

2. Faktor Kualitas asset (asset quality);

3. Faktor Rentabilitas (earning);

4. Faktor Likuiditas (liquidity) atau faktor keuangan dilakukan secara

kuantitatif dan kualitatif;

5. Penilaian atas komponen dari faktor manajemen (management);

Rincian penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut:

1. Penilaian secara kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan indikator

pendukung dan/atau pembanding yang relevan.

4
5

2. Peringkat setiap komponen pembentuk faktor keuangan terdiri dari

peringkat 1, 2, 3, 4, dan 5.

3. Peringkat setiap komponen pembentuk faktor manajemen terdiri dari

peringkat A, B, C dan D.

4. Proses penilaian peringkat faktor keuangan dilakukan dengan pembobotan

atas nilai peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan

likuiditas.

5. Berdasarkan hasil penilaian peringkat faktor keuangan dan penilaian

peringkat faktor manajemen, ditetapkan peringkat komposir yang

merupakan peringkat akibat hasil penilaian tingkat kesehatan bank.

6. Proses penilaian peringkat komposit dilaksankan melalui penggabungan

atas peringkat faktor keuangan dan peringkat manajemen menggunakan

tabel konversi dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan

unsur judgment.

Kemudian untuk menentukan peringkat komposit yang merupakan

peringkat hasil penilaian tingkat kesehatan bank ditetapkan sebagai berikut.

No peringkat Keterangan

1 Komposit 1 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang sangat

baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang sangat

baik.

2 Komposit 2 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang baik

sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang cukup baik.

3 Komposit 3 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang cukup

baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha yang cukup

baik.

5
6

4 Komposit 4 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang kurang

baik sebagai akibat dari pengelolaan usaha yang

kurang baik.

5 Komposit 5 Bank memiliki kondisi tingkat kesehatan yang tidak

baik sebagai akibat dari pengelolaan usaha yang tidak

baik.

Dengan kata lain, setiap komposit memberikan penilaian terhadap kondisi

kesehatan bank berikut ini.

1. Peringkat Komposit 1; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi

tingkat kesehatan yang sangat baik sebagai hasil dari pengelolaan usaha

yang sangat baik.

2. Peringkat Komposit 2; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi

tingkat kesehatan yang baik sebagai hasil pengelolaan usaha yang baik.

3. Peringkat Komposit 3; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi

tingkat kesehatan yang cukup baik sebagai hasil pengelolaan usaha yang

cukup baik.

4. Peringkat Komposit 4; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi

tingkat kesehatan yang kurang baik sebagai akibat pengelolaan usaha yang

kurang baik.

5. Peringkat Komposit 5; mencerminkan bahwa bank memiliki kondisi

tingkat kesehatan yang tidak baik sebagai akibat pengelolaan usaha yang

tidak baik.

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) wajib melakukan penghitungan

rasio-rasio yang terkait dengan penilaian tingkat kesehatan BPRS secara

triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.

6
7

Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau

pemegang saham untuk menyampaikan rencana tindakan (action plan) apabila

hasil penilaian tingkat kesehatan BPRS menunjukan:

1. Satu atau lebih faktor permodalan, faktor Kualitas asset, faktor rentabilitas,

dan faktor likuiditas memiliki peringkat 4 atau 5.

2. Faktor manajemen memiliki peringkat C atau D memiliki peringkat

komposit 4 atau 5.2

B. NPL dan Kolektibilitas Bank

Selama semester 2 tahun 2004, hampir seluruh bnk papan atas

mengalami perbaikan dalam pengelolaan portofolio kreditnya. Hal itu terlihat dari

semakin mengecilnya NPL. Namun secara serentak keadaan itu berbalik karena

pada semester 1 tahun 2005 kondisi NPL sangat memprihatinkan. NPL dari

hampir seluruh bank memburuk drastis. Rata-rata terjadi pertumbuhan NPL

84,2% hanya dalam waktu 6 bulan.

Terlepas dari alasan pembenaran, perbankan dewasa ini menyikapi

bahwa peningkatan NPL ini adalah sebagai akibat dari Peraturan Bank Indonesia

(PBI) No. 7/2/PBI/2005 yang mulai diterapkan sejak 20 Januari 2005. Inti dari

PBI tersebut adalah bahwa kualitas aktiva produktif yang diberikan oleh lebih dari

satu bank untuk satu debitor mengikuti kualitas aktiva produktif yang paling

rendah. Artinya apabila debitor A dengan kolektibilitas lancar di Bank X

sedangkan di Bank Y debitor tersebut berada pada kolektibilitas diragukan maka

Bank X harus melakukan penggeseran kolektibilitas kredit debitornya dari lancar

menjadi diragukan dan pada saat yang sama pula, PPAP Bank X naik dari 1%

menjadi 50%. Semakin banyak debitor yang dibiayai oleh beberapa bank dan

2
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 97-
98.

7
8

kejadiannya seperti ini maka tidak dapat dihindari bahwa kualitas kredit akan

menjadi buruk. Terjadi pembengkakan NPL dan penurunan laba bank.

Dalam melaksanakan fungsi intermediasi, masing-masing bank

menerapkan model tersendiri untuk menilai kelayakan bisnis debitornya dan

berbeda dalam menilai aspek resiko sebagai pengejawantahan dari risk

management. Perbedaan pandangan ini menjadi faktor dominan dalam penilaian

kualitas kredit. Yang jelas, masing-masing bank bertujuan untuk meminimalisasi

resiko dengan mendasain perangkat analisis kreditnya sedemikian rupa sehingga

terhindar dari pemberian yang asal-asalan. Bagaimana kalau perangkat analisis ini

distandarisasi? Kualitas kredit akhirnya dapat terstandarisasi sehingga tidak akan

ada lagi perbedaan kualitas kredit antar bank dan PBI No. 7/2 menjadi bermakna

dalam tatanan implementasinya.

Memang di setiap kebijakan pasti ada plus minusnya, termasuk dalam

standarisasi perangkat analisis kredit. Namun alangkah lebih baik apabila

standarisasi dilakukan sebagai kebijakan deviratif PBI No. 7/2 dan diberlakukan

hanya pada masa transisi sampai kepada saatnya kelak di mana bank-bank dapat

dilepaskan dari keterikatan standarisasi tersebut.3

C. Penyelesaian Perkreditan Bank

Apabila tindakan penyelamatan kredit yang dilakukan oleh bank ternyata

tidak berhasil, maka bank dapat melakukan tindakan lanjutan berupa kredit macet

melalui program penghapusan kredit macet (write-off). Penghapusan kredit macet

terbagi dalam 2 tahap, yaitu: a. Hapus buku atau penghapusan secara bersyarat

atau conditional write-off, dan b. Hapus tagih atau penghapusan secara mutlak

atau absolute write-off.


3
Mangasa Augustinus Sipahutar, Persoalan-Persoalan Perbankan Indonesia, (Jakarta
Pusat: Gorga Media, 2007), h. 22-23.

8
9

Jika kemudian program hapus buku dan hapus tagih juga belum berhasil

mengembalikan dana kredit yang disalurkan kepada debitur, maka bank dapat

menyelesaikan portofolio kredit macet tersebut melalui jalur litigasi (proses

peradilan)maupun jalur non-litigasi. Program hapus buku dan hapus tagih

dilakukan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah (NPL) sehingga dapat

meningkatkan tingkat kesehatan bank.

Menurut Rachmadi Usman, bank dalam penyelesaian kredit macet dapat

menempuh cara: (1) Penyerahan pengurusan kredit macet kepada PUPN, (2)

proses gugatan perdata lewat Pengadilan Negeri, (3) penyelesaian melalui badan

arbitrase (perwasitan), (4) penagihan oleh penagih utang swasta (debt-collector).

Penyelesaian kredit bermasalah, menurut Muhammad Djumhana, juga dapat

dilakukan melalui jalur hukum, yaitu (a) melalui PUPN/BUPLN, (b) melalui

Badan Peradilan Umum atau Peradilan Niaga, (c) melalui Arbitrase atau Badan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan (d) melalui Badan Penyehatan Perbankan

Nasional (BPPN).

Penyelesaian kredit, menurut Herowati Poesoko, dapat dilakukan

berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan (UU 4/1996) Pasal 20 ayat (1)

huruf a dan b, yaitu ditempuh dengan 3 cara: (a) parate executie, (b) title

executorial dan (c) penjualan di bawah tangan. Pengertian eksekusi dapat dibagi

dua yaitu eksekusi dalam arti sempit dan eksekusi dalam arti luas. Eksekusi dalam

arti sempit adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, sedangkan eksekusi dalam arti luas pelaksanaan

pemenuhan hak berdasarkan akta bertitel eksekutorial dengan atau tanpa fiat

pengadilan atau secara parate executie atau penjualan di bawah tangan.4

4
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo KOMPAS GRAMEDIA, 2010), h. 41-42.

9
10

D. Regulasi Pengawasan Bank

Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK secara yuridis diatur melalui

pasal 39 UU OJK, yaitu bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indoenesia dalam

menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di bidang perbankan.

Selain itu, pasal 40 UU OJK lebih lanjut mengatur bahwa untuk melaksanakan

fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan peraturan

pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan pemeriksaan

terhadap bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa walaupun di bidang pengaturan

dan pengawasan microprudential telah menjadi wewenang OJK, tetapi undang-

undang juga memerintahkan bahwa untuk kepentingan tersebut masih diperlukan

koordinasi dengan Bank Indonesia. Khusus terkait dengan perbankan syariah,

pengaturan kredit terkait dengan aspek kelembagaan Bank Syariah dan UUS,

pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan Bank Syariah dan UUS,

pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian Bank Syariah dan

UUS, serta terkait dengan pemeriksaan Bank Syariah dan UUS tetap memerlukan

koordinasi dengan Departemen Perbankan Syariah Bank Indonesia.

Adapun terkait dengan pengaturan dan pengawasan di bidang syariah,

selain perlu menjalin koordinasi dengan Departemen Perbankan Syariah juga

perlu menjalin komunikasi dan koordinasi dengan DSN-MUI. Pada aspek

pengaturan, komunikasi dan koordinasi dilakukan dalam pembuatan Peraturan

OJK tentang kegiatan usaha dan produk perbankan syariah yang senantiasa harus

sesuai dengan prinsip syariah, sementara pada aspek pengawasan, komunikasi dan

koordinasi dilakukan pada saat penentuan anggota DPS pada setiap Bank Syariah

dan UUS. Aktivitas konkret yang dapat dilakukan misalnya sebelum OJK

10
11

melakukan fit and proper test terhadap calon anggota DPS, maka terlebih dahulu

diperlukan rekomendasi dari DSN-MUI.5

5
Khotibul Umam dan Veri Antoni, Corporate Action Pembentukan Bank Syariah:
Akuisisi, Konversi dan Spin-Off, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2015), h. 158.

11
12

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Menurut Bank of Settlement, bank dapat dikatakan sehat apabila bank

tersebutdapat melaksanakan kontrol terhadap aspek modal, aktiva, rentabilitas,

manajemen danaspek likuiditasnya.

Apabila tindakan penyelamatan kredit yang dilakukan oleh bank ternyata

tidak berhasil, maka bank dapat melakukan tindakan lanjutan berupa kredit macet

melalui program penghapusan kredit macet (write-off). Penghapusan kredit macet

terbagi dalam 2 tahap, yaitu: a. Hapus buku atau penghapusan secara bersyarat

atau conditional write-off, dan b. Hapus tagih atau penghapusan secara mutlak

atau absolute write-off.

Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK secara yuridis diatur melalui

pasal 39 UU OJK, yaitu bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indoenesia dalam

menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di bidang perbankan.

Selain itu, pasal 40 UU OJK lebih lanjut mengatur bahwa untuk melaksanakan

fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan peraturan

pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan pemeriksaan

terhadap bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.

B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan, penulis
akan lebih fokus dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Maka,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

12
13

DAFTAR RUJUKAN

Intan Permana, Kesehatan Bank, https://id.scribd.com/doc/105266010/Makalah-

Kesehatan-Bank,

Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: PT Elex

Media Komputindo KOMPAS GRAMEDIA, 2010.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Khotibul Umam dan Veri Antoni, Corporate Action Pembentukan Bank Syariah:

Akuisisi, Konversi dan Spin-Off, Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 2015.

Mangasa Augustinus Sipahutar, Persoalan-Persoalan Perbankan Indonesia,

Jakarta Pusat: Gorga Media, 2007.

13

Anda mungkin juga menyukai