Anda di halaman 1dari 17

Rangkuman Materi

Pengantar Ilmu Hukum

Sumber:

Ilmu Hukum, Prof. Satjipto Rahardjo

(Hal. 117)

Hukum Sebagai Institusi Sosial:

Di dalam masyarakat, kita menjumpai banyak institusi yang dibuat dengan


tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Baik itu kebutuhan primer
hingga sekunder. Agar dapat dilayani oleh institusi, "kebutuhan" itu harus
terlebih dahulu diakui oleh masyarakat sekitar. Dimana masyarakat mengakui
betapa pentingnya hal itu.
Agar kebutuhan tersebut terpenuhi, tidaklah mungkin untuk diserahkan kepada
setiap pribadi. Justru, kehadiran masyarakat adalah untuk mengusahakan agar
semua anggota masyarakat dapat terpenuhi kebutuhannya bersama-sama.
Apabila masyarakat telah mulai memperhatikan pentingnya suatu kebutuhan,
maka disinilah masyarakat mulai membentuk institusi sebagai usaha agar
kebutuhan tersebut terpenuhi.
Dan keadilan adalah salah satu kebutuhan hidup manusia yang umumnya diakui
oleh semua tempat di dunia ini.

Diantara ciri dari institusi sebagai perlengkapan masyarakat adalah:

1. Stabilitas.
Institusi harus menjadi penyebab tidak adanya simpang-siur atau ketidakjelasan
di masyarakat, menciptakan keteraturan, dan menetapkan siapa yang berwenang
dalam menentukan batas-batas antar sesama anggota masyarakat.
2. Pemberi kerangka sosial terhadap kebutuhan dalam masyarakat.
3. Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia.
Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma yang menjadi
sarana untuk menjamin agar anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhannya
secara terorganisasi.
4. Jalinan antar institusi
Sebagai institusi sosial, hukum tidaklah maha kuasa atas segala hal yang
berhubungan dengan keadilan. Untuk memuaskan kebutuhan masyarakat,
diperlukan keikutsertaan dari institusi lain seperti ekonomi, dsb.

Institusi diciptakan secara sengaja oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-


kebutuhan primer (utama), dan tidak begitu saja menjadi sempurna sebagai
sarana penyelenggaraan kebutuhan tersebut. Proses untuk membuat institusi
semakin efektif ini disebut sebagai "penginstitusional-an".
Hukum sebagai institusi sosial bertujuan untuk menciptakan keadilan di
masyarakat. Sebagai institusi sosial, penyelanggaraan kebutuhan tersebut
setingkat dengan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam pelaksanaannya.

Penginstitusionalan pada tingkat yang sederhana dapat ditemukan pada


masyarakat primitif. Dengan cirinya sebagai berikut:
1. Merupakan masyarakat yang kecil.
2. Hubungan antar anggota masyarakat terjalin erat atas dasar kekerabatan dan
kepercayaan yang sama.
3. Lingkungan yang relatif stabil.

Penyelenggaraan keadilannya dilakukan melalui peraturan yang tidak resmi


yang terdiri dari suatu cara untuk bertingkah laku dalam masyarakat. Hal ini
disebut sebagai peraturan kewajiban primer. Meski sudah memenuhi standar
dan tidak memerlukan pengaturan lainnya yang lebih rinci, peraturan ini
memiliki kelemahan:
1. Ketidakpastian, dimana tidak ada suatu ciiri kesamaan yang bisa dijadikan
patokan bagi peraturan disitu.
2. Peraturan yang bersifat statis. Perubahan melalui proses pertumbuhan yang
lambat. Tidak bisa semerta-merta langsung bisa beradaptasi dengan perubahan
yang ada.
3. Ketidakefisienan masyarakat dalam mempertahankan aturan yang berlaku.
Cara-cara untuk menyelesaikan sengketa dilakukan melalui tekanan sosial yang
bersifat kabur.

Sistem ini kemudian berkembang menjadi peraturan kewajiban sekunder yang


mengadakan peraturan sebagai berikut:

1. Pengakuan terhadap norma-norma tertentu untuk dijadikan ketentuan hukum


mengenai tingkah laku manusia.

2. Mengakui adanya perubahan sehingga aturan yang baru akan menggantikan


aturan yang lama.
3. Pemberian wewenang kepada seseorang yang dipercaya untuk menyelesaikan
sengketa di masyarakat.

 Inti penjelasan:
Yang dimaksud dengan hukum sebagai institusi sosial adalah ketika hukum
menjadi suatu kebutuhan pokok di masyarakat, maka dibentuklah sebuah
institusi untuk melayani kebutuhan tersebut. Dalam prosesnya, ada yang disebut
sebagai penginstitusionalan. Yakni, suatu proses guna meningkatkan keefektifan
institusi dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Sekalipun ditujukan untuk itu, hukum sebagai institusi sosial tidak semerta-
merta bisa mengatasi semuanya seorang diri. Harus ada keikutsertaan dari
institusi sosial lain untuk menciptakan kepuasan masyarakat.

Sistem Sosial dan Pengendalian Sosial:

Manusia memiliki berbagai macam kebutuhan. Dari yang pokok sampai yang
sekunder. Dalam hal ini, apa yang diinginkan oleh bangsa Indonesia dalam
menyatakan kebutuhannya yang dianggap fundamental? Sebagaimana yang
dikatakan, “adil dan makmur”. Pada hakikatnya, kebutuhan manusia lebih
kompleks dari sekedar kemakmuran dan kesejahteraan, tapi juga keadilan.

Mengenai hal tersebut, manusia juga memiliki kebutuhan sosial yang


dikategorikan secara tersendiri di samping kebutuhannya yang lain. Namun
kebutuhan sosial ini tidak kalah fundamental dalam kehidupan manusia. Adapun
mengenai unsur-unsur dalam kehidupan sosial adalah:

 Ketertiban

Ia adalah syarat dalam terjadinya interaksi antara satu manusia dengan


manusia lainnya. Syarat dalam keberlangsungan hubungan interaksi antar
sesama anggota masyarakat. Meski tanpa adanya pengenalan secara jelas,
namun bisa kita lihat bagaimana lalu-lintas dan sistem perdagangan
berjalan. Bagaimana hubungan antara produsen dengan konsumennya
begitu teratur. Ketertiban, yang kemudian menghasilkan keteraturan,
adalah tulang punggung dari timbulnya hubungan-hubungan sosial yang
tertib.

 Sistem Sosial

Dalam sebuah lingkungan sosial, masyarakat mengalami kontak atau


interaksi antar sesamanya. Dimana hal tersebut tidak terjadi secara acak-
acakan, melainkan adanya keteraturan yang disebabkan oleh sesuatu yang
disebut dengan ketertiban. Dari sini, dapat dipahami bahwa ketertiban
adalah unsur pertama terbentuknya sistem sosial.

Timbulnya ketertiban ini karena anggota masyarakat tahu apa yang harus
dilakukan saat berhadapan dengan anggota lainnya. Mereka mendapat
informasi tentang apa yang diharapkan oleh masyarakat dari tingkah
lakunya. Informasi inilah yang disebut sebagai norma sosial.

Dengan demikian, sistem sosial adalah suatu cara untuk mengorganisasi


kehidupan orang dalam masyarakat.

 Lembaga Sosial

Masyarakat berfungsi untuk menyediakan berbagai fasilitas yang bisa


memperlancar usaha untuk mempertahankan kehidupan bermasyarakat.
Fungsi ini dapat diwujudkan di saat ada kontak antar anggota masyarakat
dengan membawa berbagai kepentingan seperti perdagangan, dan
sebagainya.

Dalam perdagangan misalnya, masyarakat dituntut untuk menyediakan


wadah yang memungkinkan segala proses di bidang itu berjalan teratur.
Yang mana hal itu dilakukan dengan mengadakan aturan-aturan,
mengembangkan nilai-nilai yang berhubungan dengan kegiatan tersebut,
dan sebagainya. Inilah yang kemudian dimaksud dengan lembaga.

Dan lembaga-lembaga yang berusaha memenuhi kebutuhan pokok


tersebut, disebut sebagai lembaga sosial.
 Pengendalian Sosial

Setiap sistem sosial memiliki cara tersendiri dalam mempertahankan


eksistensinya di masyarakat. Dan usaha sistem sosial dalam
mempertahankan keberadaannya disebut sebagai Pengendalian Sosial.

Pengendalian Sosial diperlukan untuk menghadapi kemungkinan-


kemungkinan seperti adanya anggota masyarakat yang menyimpang dari
aturan yang telah ditetapkan oleh sistem sosial. Dalam hal ini,
pengendalian sosial berfungsi untuk menyalurkan tingkah laku orang-
orang agar sejalan dengan keinginan masyarakat. Untuk menghadapi
orang-orang yang menyimpang dari keinginan masyarakat, ditetapkanlah
sebuah mekanisme pengendalian sosial yang disebut sebagai sanksi.

Bagaimanapun, sistem sosial memiliki kemampuan untuk mengadakan


kehidupan bersama secara teratur. Dan proses ini hanya bisa terjadi di
saat masyarakat mematuhi petunjuk-petunjuk atau aturan yang diberikan
oleh sistem sosial tersebut.

Inti penjelasan:

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan memiliki banyak
kebutuhan. Untuk saling memenuhi kebutuhannya, diperlukan kontak atau
interaksi satu sama lain yang jika terjadi maka terjadi secara teratur dan tertib.
Ketertiban ini menjadi kunci dalam terbentuknya suatu sistem sosial yang
memiliki kemampuan untuk menciptakan keteraturan di masyarakat.
Darimana ketertiban itu muncul? Yakni dari kesadaran anggota-anggota
masyarakat dalam menghadapi diri dan sesama mereka. Mereka mengetahui apa
yang harus dilakukan melalui informasi yang disebut sebagai norma, tentang
apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat lain di sekitarnya.
Namun tidak semua manusia akan patuh terhadap “ketertiban” (petunjuk yang
diberikan oleh sistem sosial). Itulah mengapa, pengendalian sosial hadir dalam
rangka “mendisiplinkan” mereka yang menyimpang sekaligus memperkuat
eksistensi sistem sosial tersebut di masyarakat.

Norma Sosial: Tempat dan Peranannya dalam


Masyarakat

Hubungan atau kontak yang terjadi antar anggota masyarakat mengandung


suatu pola tertentu. Yang jika semakin banyak orang yang mematuhi pola
tersebut, maka semakin tertib keadaan masyarakat. Pola tersebut berisi tentang
bagaimana cara seseorang bersikap terhadap dirinya dan orang lain. Sehingga,
hal itu akan menimbulkan perasaan “jika aku ingin orang lain berlaku baik
kepadaku, maka aku juga harus berlaku baik kepada mereka”.

Dari sini dapat dipahami bahwa hampir setiap tingkah laku kita berdasarkan
pada “apa yang diharapkan oleh orang lain”. Semakin seseorang berlaku seperti
yang diharapkan masyarakat, maka semakin tinggi pula ketertiban yang akan
dicapai.

Meski begitu, apa yang diharapkan oleh norma sosial tidak hanya sebatas
ketertiban. Ada hal lain yang ingin dicapai. Yakni menciptakan moralitas di
masyarakat dengan bantuan dari sesuatu yang disebut dengan “budaya”.
Sebagai contoh, pencurian dikatakan sebagai perbuatan buruk bukan karena
sekedar sanksi yang dihasilkannya. Melainkan juga karena masyarakat
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tercela, tidak terpuji, dan memiliki
nilai moralitas yang buruk. Hal ini bisa terjadi karena budaya yang melekat di
masyarakat adalah “tidak boleh mencuri, karena itu adalah hal yang buruk”.

Dalam sistem sosial, terdapat sesuatu yang disebut sebagai bidang atau “sub-
sistem”. Sub-sistem ini memiliki fungsi sebagai sumber daya dari sebuah sistem
sosial. Selain sub-sistem budaya yang telah dijelaskan berikut fungsinya,
terdapat sub-sistem lain seperti ekonomi, sosial, dan politik. Masing-masing
memiliki fungsinya tersendiri. Seperti ekonomi, berfungsi agar manusia mampu
mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan cara menciptakan kegiatan-
kegiatan seperti berdagang, menambang, bertani, dan sebagainya.

Ada juga sub-sistem politik, yang memiliki fungsi primer untuk mengejar
tujuan. Yakni, masyarakat selalu berusaha untuk mencapai berbagai tujuan yang
dianggap baik. Dalam mencapai tujuan tersebut, masyarakat bergerak sebagai
satu kesatuan. Semakin baik kesatuan tersebut, semakin tinggi pula tingkat
politik pada masyarakat tersebut.

Sementara sub-sistem sosial bertujuan untuk menciptakan integrasi dalam


masyarakat sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran dan kekacauan dalam
hubungan antar anggota masyarakat. Dan hukum termasuk dalam sub-sistem
ini. Karena dia tidak bisa menciptakan sendiri nilai-nilai atau aturan yang perlu
ditetapkan, melainkan hanya bisa mendapatkannya dari sub-sistem budaya. Dan
hukum timbul karena adanya praktek kegiatan yang dijalankan sehari-hari yang
didasari oleh pemikiran “give and receive” dalam suatu hubungan normal atau
suatu kerjasama sosial.

Sebagai suatu proses sosial, hukum memiliki faktor-faktor yang tidak dapat
diganggu gugat. Oleh karena itu, hadirnya berbagai lembaga seperti
perkawinan, jual-beli, dan sebagainya bukan disebabkan oleh hukum,
melainkan sudah ada sebagai hasil dari ciptaan proses sosial yang terjadi di
masyarakat.

Menurut Francois Geny, salah satu pengembang Teori Hukum Alam, hukum
mencakup faktor yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat universal. Di
manapun hukum diterapkan, ia ridak dapat mengingkari adanya faktor-faktor
tersebut dan harus bekerja menggunakan faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
yang merupakan sumber dari hukum positif tersebut dibagi menjadi 4 kategori
sebagai berikut:

 Le donné réel (tradisi dan fakta mengenai hal-hal psikologis)


 Le donné historique (fakta atau cara dalam mengolah informasi mengenai
hal-hal yang bersifat fisik dan psikologis berdasarkan cara tertentu. Bisa
disebut sebagai penelitian sejarah)
 Le donné rational (asas-asas tentang hubungan antar manusia)
 Le donné idéal (unsur dinamis berupa aspirasi dari moral suatu masa dari
waktu ke waktu).

Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, hukum tidak bisa menciptakan apa


yang dibutuhkan. Ia hanya bisa mengorganisasikan apa yang sudah ada
kemudian membentuk suatu lembaga sehingga bisa bersesuaian dengan
kebutuhan yang muncul dari sesuatu yang sudah ada tersebut. Sebagai contoh,
perkawinan.
Fakta tentang adanya laki-laki dan perempuan tidak diciptakan oleh hukum.
Masyarakat membutuhkan ikatan yang permanen antara kedua makhluk itu.
Hukum kemudian menerimanya dan membentuk sesuatu yang disebut sebagai
“hukum perkawinan” demi memenuhi kebutuhan tersebut.
Meski tanpa adanya hukum pun, kedua makhluk itu akan saling tertarik dan
membuat ikatan mereka sendiri. Inilah yang disebut sebagai proses sosial tanpa
adanya campur tangan.

 Inti penjelasan:

Dalam interaksi dengan sesamanya, manusia memiliki sesuatu yang disebut


sebagai norma. Ia adalah pengatur tingkah laku manusia dalam menghadapi
dirinya sendiri atau orang lain. Norma sosial bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dan menanamkan moralitasnya di tengah masyarakat. Selain itu, pada
sistem sosial terdapat sesuatu yang membantu manusia dalam bermasyarakat
yang disebut sebagai “sub-sistem”.
Ia adalah sumber daya dari sebuah sistem sosial. Masing-masing sub-sistem
memiliki fungsinya masing-masing, yang pada hakikatnya menciptakan
integrasi di lingkungan masyarakat agar tidak terjadi ketidakteraturan.
Sebagai bagian dari sub-sistem sosial, hukum tidak menciptakan aturannya
sendiri. Melainkan hanya mengadopsi apa yang sudah ada dan terjadi secara
alamiah, kemudian mengorganisasikannya dalam bentuk lembaga sebagai cara
pelayanannya kepada masyarakat. Karena pada hakikatnya, hukum hadir di
tengah masyarakat atas dasar “pelayanan” kebutuhan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.

Hukum Sebagai Mekanisme Pengintegrasi

Sebagai institusi yang melakukan pengintegrasian, hukum menerima “asupan-


asupan” dari bidang lain seperti ekonomi, politik, dan budaya dalam bentuk
sebuah konflik atau sengketa. Yang kemudian diolah dan dikembalikan kepada
masyarakat dalam bentuk “produk” (sengketa yang sudah terselesaikan dan
direstrukturisasi sehingga menciptakan aturan baru). Pola kerja hukum ini
berpusat pada pengadilan sebagai sumber kegiatannya. Dengan kata lain, segala
sengketa dari berbagai bidang akan “bertemu” dengan pengadilan terlebih
dahulu sebelum berubah menjadi “produk baru”.

Sebagai contoh, di sektor ekonomi. Produk yang kembali kepada masyarakat


adalah restrukturisasi terhadap suatu proses ekonomi tertentu yang sebelumnya
terhambat oleh berbagai konflik antar komponen.
Dalam prosesnya, terlihat adanya unsur-unsur politik disini. Dimana pembuatan
hukum terjadi sebagai manifestasi dari kegiatan politik. Yakni, dengan cara
membuat deskripsi mengenai keadaan yang ideal dan memobilisasi sumber-
sumber daya menggunakan kekuasaan. Hasil dari pembuatan aturan oleh badan
pembuat hukum itu akan menjadi patokan tentang bagaimana hukum –dalam
hal ini, pengadilan– sebagai mekanisme pengintegrasi menyelesaikan konflik-
konflik yang ada.

Jika patokan atau aturan yang dibuat tidak sesuai dengan penilaian pengadilan–
dengan kata lain, tidak baik. Maka pengadilan bisa menolaknya dan menyatakan
bahwa aturan itu tidak sah. Dengan begitu, hukum melalui pengadilan telah
menyingkirkan hal-hal yang akan mengganggu efisiensi tugasnya. Sebaliknya,
jika patokan itu digunakan oleh pengadilan, maka secara tidak langsung
pengadilan mengakui bahwa patokan yang dibuat itu bersifat baik. Dalam dunia
hukum, hal ini disebut sebagai “pemberian legitimasi”.

Jika hukum ingin diakui sebagai mekanisme pengintegrasi di masyarakat, maka


ia harus terlebih dahulu memenangkan hati masyarakatnya. Ia harus membuat
orang berpikir bahwa pengadilan adalah satu-satunya tempat untuk memuaskan
rasa keadilan mereka. Dengan kata lain, rakyat harus percaya dan bersandar
pada pengadilan sebagai satu-satunya institusi dimana mereka bisa
mendapatkan keadilan yang mereka inginkan.

 Inti Penjelasan:

Yang dimaksud dengan hukum sebagai mekanisme pengintegrasi, adalah hukum


sebagai lembaga yang menampung aspirasi-aspirasi yang berupa sengketa dari
sektor lain dan kemudian mengolah aspirasi tersebut sebelum nantinya
dikembalikan kepada masyarakat sebagai suatu aturan yang telah “diperbaiki”.
Dalam hal ini, hukum atau pengadilan berhak memutuskan apakah aturan yang
dibuat oleh badan pembuat hukum dapat dijadikan sebagai patokannya dalam
membuat keputusan untuk menyelesaikan sengketa. Jika tidak, maka aturan
tersebut berarti tidak sah. Dan jika iya, artinya pengadilan telah memberikan
legitimasi dan menyetujui aturan tersebut.
Untuk membuat hukum menjadi suatu mekanisme pengintegrasi, masyarakat
harus diarahkan dan dibuat untuk bersandar dan bergantung kepada pengadilan.
Jika hal itu terjadi, masyarakat akan mempercayai pengadilan sebagai satu-
satunya sumber keadilan dan akan membawa berbagai sengketa mereka kesana.
Dengan kata lain, hukum akan bekerja lebih efisien dengan tidak perlu
menelaah atau mencari apakah ada sengketa yang terjadi atau tidak.

Hukum dan Kekuasaan

Hukum bekerja dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik bagi
masyarakat, bukan dengan ukuran dan pertimbangannya sendiri. Untuk
menjalankan sesuatu seperti itu, hukum memerlukan suatu pendorong. Suatu
kekuatan yang dapat membuatnya mampu menjalankan fungsi hukum. Hukum
membutuhkan kekuasaan. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan
menungganginya.

Konflik utama yang terjadi antara keduanya adalah karena kekuasaan dalam
bentuk paling murni tidak menerima pembatasan. Sementara, hukum bekerja
dengan cara memberikan patokan-patokan tingkah laku dan pembatasan.
Oleh ahli sosiologi, kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
memaksakan kehendaknya pada orang lain. Dengan kata lain, konsep dari
kekuasaan itu dominasi terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain. “Kekuasaan”
ini sering disebut sebagai penggerak dinamika masyarakat, dikarenakan ia
sering dikejar-kejar oleh banyak orang, baik secara individu atau kelompok.
Kekuasaan memberikan individu sebuah kesempatan dan kemampuan untuk
menguasai harta benda dan sebagainya. Sementara di tingkat sosial, ia akan
membuat bermacam-macam golongan dan kelompok, sehingga menciptakan
lapisan dan struktur kekuasaan di masyarakat.

Jika ada sebuah masa dimana masyarakat mulai mengontrol dan menghentikan
dorongan yang dilakukan oleh “kekuasaan”, sehingga mereka membentuk
sebuah organisasi yang didasarkan pada asas persamaan kekuasaan dan
kekuatan, maka masyarakat sudah bergerak ke arah yang diinginkan oleh
hukum. Yakni, hukum mengontrol dan membatasi keinginan orang terhadap
kekuasaan dengan “penginstitusionalisasian hukum” sebagai sarananya.

Tidak hanya membatasi, hubungan hukum dengan kekuasaan juga sebagai


sarana untuk mengontrol dan menyalurkan kekuasaan kepada orang-orang,
terutama pada masyarakat yang diatur oleh hukum. Kekuasaan yang diberikan
kepada orang-orang hanya bisa diberikan melalui hukum. Dengan kata lain,
hukum adalah sumber kekuasaan. Karena darinya lah, kekuasaan dibagikan.

 Inti Penjelasan:

Hukum membutuhkan kekuasaan untuk bergerak, dan kekuasaan butuh hukum


agar bisa dikontrol, dikendalikan, disalurkan secara benar. Karena hukum
sebagai institusi sosial, pada dasarnya memerlukan sebuah pendorong untuk
menciptakan lingkungan hukum yang ideal. Meski hal ini tidaklah dibutuhkan
pada masyarakat yang mendasarkan organisasinya pada struktur kekuasaan,
karena mereka tidak membutuhkan hukum sebagai penyalur kekuasaan. Namun
hal ini diperlukan pada masyarakat yang tidak demikian. Mereka membutuhkan
hukum sebagai sumber dan penyalur kekuasaan.
Hukum dan Perlapisan Sosial

Terkadang, pembagian kekuasaan dilakukan secara tidak merata. Sehingga, hal


ini menimbulkan suatu ketimpangan sosial. Dimana kekuasaan hanya bertumpu
pada satu sisi, yang menyebabkan terjadinya Perlapisan Sosial. Pada situasi ini,
kelompok yang bukan bagian dari “pemegang” kekuasaan, kurang atau bahkan
tidak mendapatkan kekuasaan sama sekali.

Bagaimana struktur kekuasaan ini terbentuk, kebanyakan bergantung pada


sistem ekonomi di masyarakat. Pada hakikatnya, kekuasaan memberikan
wewenang kepada seseorang atau suatu kelompok untuk menguasai sumber-
sumber daya yang ada. Meski begitu, mereka yang bisa menjalankan
kekuasaannya secara efektif adalah mereka yang mampu mengontrol institusi-
institusi politik dan ekonomi dalam masyarakat.

Dalam bukunya yang berjudul, Society and Power, Schemerhorn membedakan


masyarakat menjadi dua golongan. Yakni, masyarakat sederhana dan
masyarakat yang memiliki ruang lingkup luas.

Pada golongan sederhana, surplus ekonomi sedikit atau bahkan tidak dijumpai
dan saling berbagi adalah hal yang harus dilakukan disini. Kemiskinan merata
atau demokrasi kelangkaan juga biasanya ditemukan disini. Bentuk organisasi
formal sama sekali tidak dikenal. Kepentingan-kepentingan perorangan tetap
terkontrol, dan pemimpin hanya muncul sesekali pada waktu-waktu khusus.
Yakni, pada saat dibutuhkan untuk mendorong masyarakat mencapai tujuan
tertentu. Secara singkat, masyarakat ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

 Konsensus yang bisa diandalkan


 Nilai kooperatif
 Tidak ada institusi khusus
 Dominasi keseluruhan kehidupan sosial atas para anggotanya
 Sedikitnya sanksi
 Dominasi tujuan atas sarana
 Sedikit/tidak ada Perlapisan Sosial
 Hanya ada 1 kekuasaan yang mencakup semuanya

Berbeda dengan masyarakat yang memiliki ruang lingkup luas, yang disebabkan
oleh penduduk yang makin bertambah dan peralihan ke ekonomi pertanian.
Dimana produksi yang teratur menyebabkan bertambahnya penduduk dan
meningkatnya surplus ekonomi. Dengan semua hal itu, muncul perlapisan sosial
lain yang didasari pada perbedaan kekayaan. Ciri pada masyarakat yang
memiliki ruang lingkup luas ini adalah:

 Konsensus tidak menentu


 Nilai-nilai yang bertentangan
 Berkembangnya lembaga-lembaga pemerintahan
 Bentuk dominasi campuran
 Meningkatnya sanksi di berbagai bidang tertentu
 Terjadinya perlapisan sosial
 Timbulnya lingkungan masyarakat yang lebih kecil dalam lingkup
masyarakat yang lebih besar
 Timbul perbedaan pendapat antara sarana dan tujuan
 Pluralitas struktur kekuasaan yang tidak sama

Para ahli sosiologi memberikan perhatian besar pada masalah ini. Karena
dengan adanya Perlapisan sosial, akan menyebabkan hukum sulit bersikap
netral dan justru berpihak pada salah satu golongan. Perlapisan Sosial ini juga
yang menyebabkan hukum tampak bersifat diskriminatif, baik pada
peraturannya atau atau penegakannya. Para ahli berpendapat, bahwa sebenarnya
peraturan hukumnya sendiri bersifat normal dan berasal dari perjuangan yang
dilakukan oleh kekuasaan di masyarakat. Dalam situasi ini, pendapat yang
berkuasa pun akan menentukan isi peraturan hukum tersebut.
Di titik ini, kepustakaan sosiologi hukum banyak berbicara mengenai
penegakan hukum yang pilih-pilih. Chambliss dan Seidman menjelaskan
alasannya sebagai berikut:

1. Berawal dari pembagian sumber daya, yang kemudian berlanjut hingga


menimbulkan struktur kekuasaan. Dijumpai disitu golongan yang lebih
besar dibanding yang lain, dan bisa mendapatkan kekayaan ekonomi dan
politik yang lebih besar. Tercapailah sebuah perlapisan sosial di
masyarakat berupa perbedaan derajat sosial, politik, dan ekonomi.

2. Penegakan yang dilakukan oleh badan-badan penegak hukum dilakukan


secara terorganisasi. Sehingga, pelaksanaannya diusahakan agar
menguntungkan dan menghindari hambatan-hambatan.

3. Keuntungan akan diperoleh jika hukum ditegakkan pada masyarakat yang


sedikit atau tidak sama sekali memiliki kekuasaan. Dan akan memperoleh
hambatan jika ditegakkan pada masyarakat yang memiliki kekuasaan
besar.
4. Peraturan yang sifatnya larangan cenderung lebih sering diterapkan pada
masyarakat lapisan bawah. Sementara masyarakat lapisan menengah ke
atas, kemungkinan besar tidak akan dijalankan.

 Inti Penjelasan:

Pada dasarnya, perlapisan sosial terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan


pada kekuasaan dan sumber daya yang diberikan. Hal ini membuat masyarakat
terbagi menjadi dua, serta membuat hukum berpotensi kehilangan netralitasnya.
Karena hal ini, hukum dipandang bersifat diskriminatif. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Chambliss dan Seidman, diantara alasan kenapa banyak ahli
sosiologi hukum yang mengatakan bahwa hukum itu pilih kasih adalah karena
hukum itu “tajam ke bawah, dan tumpul ke atas”.

Anda mungkin juga menyukai