Sumber:
(Hal. 117)
1. Stabilitas.
Institusi harus menjadi penyebab tidak adanya simpang-siur atau ketidakjelasan
di masyarakat, menciptakan keteraturan, dan menetapkan siapa yang berwenang
dalam menentukan batas-batas antar sesama anggota masyarakat.
2. Pemberi kerangka sosial terhadap kebutuhan dalam masyarakat.
3. Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia.
Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma yang menjadi
sarana untuk menjamin agar anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhannya
secara terorganisasi.
4. Jalinan antar institusi
Sebagai institusi sosial, hukum tidaklah maha kuasa atas segala hal yang
berhubungan dengan keadilan. Untuk memuaskan kebutuhan masyarakat,
diperlukan keikutsertaan dari institusi lain seperti ekonomi, dsb.
Inti penjelasan:
Yang dimaksud dengan hukum sebagai institusi sosial adalah ketika hukum
menjadi suatu kebutuhan pokok di masyarakat, maka dibentuklah sebuah
institusi untuk melayani kebutuhan tersebut. Dalam prosesnya, ada yang disebut
sebagai penginstitusionalan. Yakni, suatu proses guna meningkatkan keefektifan
institusi dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Sekalipun ditujukan untuk itu, hukum sebagai institusi sosial tidak semerta-
merta bisa mengatasi semuanya seorang diri. Harus ada keikutsertaan dari
institusi sosial lain untuk menciptakan kepuasan masyarakat.
Manusia memiliki berbagai macam kebutuhan. Dari yang pokok sampai yang
sekunder. Dalam hal ini, apa yang diinginkan oleh bangsa Indonesia dalam
menyatakan kebutuhannya yang dianggap fundamental? Sebagaimana yang
dikatakan, “adil dan makmur”. Pada hakikatnya, kebutuhan manusia lebih
kompleks dari sekedar kemakmuran dan kesejahteraan, tapi juga keadilan.
Ketertiban
Sistem Sosial
Timbulnya ketertiban ini karena anggota masyarakat tahu apa yang harus
dilakukan saat berhadapan dengan anggota lainnya. Mereka mendapat
informasi tentang apa yang diharapkan oleh masyarakat dari tingkah
lakunya. Informasi inilah yang disebut sebagai norma sosial.
Lembaga Sosial
Inti penjelasan:
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan memiliki banyak
kebutuhan. Untuk saling memenuhi kebutuhannya, diperlukan kontak atau
interaksi satu sama lain yang jika terjadi maka terjadi secara teratur dan tertib.
Ketertiban ini menjadi kunci dalam terbentuknya suatu sistem sosial yang
memiliki kemampuan untuk menciptakan keteraturan di masyarakat.
Darimana ketertiban itu muncul? Yakni dari kesadaran anggota-anggota
masyarakat dalam menghadapi diri dan sesama mereka. Mereka mengetahui apa
yang harus dilakukan melalui informasi yang disebut sebagai norma, tentang
apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat lain di sekitarnya.
Namun tidak semua manusia akan patuh terhadap “ketertiban” (petunjuk yang
diberikan oleh sistem sosial). Itulah mengapa, pengendalian sosial hadir dalam
rangka “mendisiplinkan” mereka yang menyimpang sekaligus memperkuat
eksistensi sistem sosial tersebut di masyarakat.
Dari sini dapat dipahami bahwa hampir setiap tingkah laku kita berdasarkan
pada “apa yang diharapkan oleh orang lain”. Semakin seseorang berlaku seperti
yang diharapkan masyarakat, maka semakin tinggi pula ketertiban yang akan
dicapai.
Meski begitu, apa yang diharapkan oleh norma sosial tidak hanya sebatas
ketertiban. Ada hal lain yang ingin dicapai. Yakni menciptakan moralitas di
masyarakat dengan bantuan dari sesuatu yang disebut dengan “budaya”.
Sebagai contoh, pencurian dikatakan sebagai perbuatan buruk bukan karena
sekedar sanksi yang dihasilkannya. Melainkan juga karena masyarakat
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tercela, tidak terpuji, dan memiliki
nilai moralitas yang buruk. Hal ini bisa terjadi karena budaya yang melekat di
masyarakat adalah “tidak boleh mencuri, karena itu adalah hal yang buruk”.
Dalam sistem sosial, terdapat sesuatu yang disebut sebagai bidang atau “sub-
sistem”. Sub-sistem ini memiliki fungsi sebagai sumber daya dari sebuah sistem
sosial. Selain sub-sistem budaya yang telah dijelaskan berikut fungsinya,
terdapat sub-sistem lain seperti ekonomi, sosial, dan politik. Masing-masing
memiliki fungsinya tersendiri. Seperti ekonomi, berfungsi agar manusia mampu
mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan cara menciptakan kegiatan-
kegiatan seperti berdagang, menambang, bertani, dan sebagainya.
Ada juga sub-sistem politik, yang memiliki fungsi primer untuk mengejar
tujuan. Yakni, masyarakat selalu berusaha untuk mencapai berbagai tujuan yang
dianggap baik. Dalam mencapai tujuan tersebut, masyarakat bergerak sebagai
satu kesatuan. Semakin baik kesatuan tersebut, semakin tinggi pula tingkat
politik pada masyarakat tersebut.
Sebagai suatu proses sosial, hukum memiliki faktor-faktor yang tidak dapat
diganggu gugat. Oleh karena itu, hadirnya berbagai lembaga seperti
perkawinan, jual-beli, dan sebagainya bukan disebabkan oleh hukum,
melainkan sudah ada sebagai hasil dari ciptaan proses sosial yang terjadi di
masyarakat.
Menurut Francois Geny, salah satu pengembang Teori Hukum Alam, hukum
mencakup faktor yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat universal. Di
manapun hukum diterapkan, ia ridak dapat mengingkari adanya faktor-faktor
tersebut dan harus bekerja menggunakan faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
yang merupakan sumber dari hukum positif tersebut dibagi menjadi 4 kategori
sebagai berikut:
Inti penjelasan:
Jika patokan atau aturan yang dibuat tidak sesuai dengan penilaian pengadilan–
dengan kata lain, tidak baik. Maka pengadilan bisa menolaknya dan menyatakan
bahwa aturan itu tidak sah. Dengan begitu, hukum melalui pengadilan telah
menyingkirkan hal-hal yang akan mengganggu efisiensi tugasnya. Sebaliknya,
jika patokan itu digunakan oleh pengadilan, maka secara tidak langsung
pengadilan mengakui bahwa patokan yang dibuat itu bersifat baik. Dalam dunia
hukum, hal ini disebut sebagai “pemberian legitimasi”.
Inti Penjelasan:
Hukum bekerja dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik bagi
masyarakat, bukan dengan ukuran dan pertimbangannya sendiri. Untuk
menjalankan sesuatu seperti itu, hukum memerlukan suatu pendorong. Suatu
kekuatan yang dapat membuatnya mampu menjalankan fungsi hukum. Hukum
membutuhkan kekuasaan. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan
menungganginya.
Konflik utama yang terjadi antara keduanya adalah karena kekuasaan dalam
bentuk paling murni tidak menerima pembatasan. Sementara, hukum bekerja
dengan cara memberikan patokan-patokan tingkah laku dan pembatasan.
Oleh ahli sosiologi, kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
memaksakan kehendaknya pada orang lain. Dengan kata lain, konsep dari
kekuasaan itu dominasi terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain. “Kekuasaan”
ini sering disebut sebagai penggerak dinamika masyarakat, dikarenakan ia
sering dikejar-kejar oleh banyak orang, baik secara individu atau kelompok.
Kekuasaan memberikan individu sebuah kesempatan dan kemampuan untuk
menguasai harta benda dan sebagainya. Sementara di tingkat sosial, ia akan
membuat bermacam-macam golongan dan kelompok, sehingga menciptakan
lapisan dan struktur kekuasaan di masyarakat.
Jika ada sebuah masa dimana masyarakat mulai mengontrol dan menghentikan
dorongan yang dilakukan oleh “kekuasaan”, sehingga mereka membentuk
sebuah organisasi yang didasarkan pada asas persamaan kekuasaan dan
kekuatan, maka masyarakat sudah bergerak ke arah yang diinginkan oleh
hukum. Yakni, hukum mengontrol dan membatasi keinginan orang terhadap
kekuasaan dengan “penginstitusionalisasian hukum” sebagai sarananya.
Inti Penjelasan:
Pada golongan sederhana, surplus ekonomi sedikit atau bahkan tidak dijumpai
dan saling berbagi adalah hal yang harus dilakukan disini. Kemiskinan merata
atau demokrasi kelangkaan juga biasanya ditemukan disini. Bentuk organisasi
formal sama sekali tidak dikenal. Kepentingan-kepentingan perorangan tetap
terkontrol, dan pemimpin hanya muncul sesekali pada waktu-waktu khusus.
Yakni, pada saat dibutuhkan untuk mendorong masyarakat mencapai tujuan
tertentu. Secara singkat, masyarakat ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Berbeda dengan masyarakat yang memiliki ruang lingkup luas, yang disebabkan
oleh penduduk yang makin bertambah dan peralihan ke ekonomi pertanian.
Dimana produksi yang teratur menyebabkan bertambahnya penduduk dan
meningkatnya surplus ekonomi. Dengan semua hal itu, muncul perlapisan sosial
lain yang didasari pada perbedaan kekayaan. Ciri pada masyarakat yang
memiliki ruang lingkup luas ini adalah:
Para ahli sosiologi memberikan perhatian besar pada masalah ini. Karena
dengan adanya Perlapisan sosial, akan menyebabkan hukum sulit bersikap
netral dan justru berpihak pada salah satu golongan. Perlapisan Sosial ini juga
yang menyebabkan hukum tampak bersifat diskriminatif, baik pada
peraturannya atau atau penegakannya. Para ahli berpendapat, bahwa sebenarnya
peraturan hukumnya sendiri bersifat normal dan berasal dari perjuangan yang
dilakukan oleh kekuasaan di masyarakat. Dalam situasi ini, pendapat yang
berkuasa pun akan menentukan isi peraturan hukum tersebut.
Di titik ini, kepustakaan sosiologi hukum banyak berbicara mengenai
penegakan hukum yang pilih-pilih. Chambliss dan Seidman menjelaskan
alasannya sebagai berikut:
Inti Penjelasan: