TAHAP III
TAHAP III
di : Bandung
Tanggal : 15 Oktober 2021
KATA PENGANTAR
Pada bulan September-Oktober 2021, selama 25 (dua puluh lima) hari lapangan,
mulai tanggal 15 September – 9 Oktober 2021 telah dilakukan penelitian prasejarah
lanjuta (Tahap III) di Gua Pawon, yang berada dalam wilayah administrasi Desa Gunung
Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat. Penelitian
dilakukan oleh tim dari Balai Arkeologi Jawa Barat dengan dibantu oleh tenaga ahli
paleontology, tenaga arkeologi dari Niskala Institute, beberapa orang tenaga lokal dan
informan yang berasal dari penduduk Kampung Pawon, dengan susunan Tim Penelitian
sebagai berikut :
Ketua : Dr. Lutfi Yondri, M.Hum.
Anggota : 1. Nurul Laili, S.S
2. Katrynada Jauharatna, S.S
3. Benyamin Perwira Shidqi, S.T
4. Azhar, S.Hum.
5. Irwan Setiagama, S.Ds
6. Dani Sunjana, S.S
7. Garby Citra Perdana, S.Hum
8. Dede Saripudin
9. Dadan
Penyusun
5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………… 4
DAFTAR ISI ………………………… 5
DAFTAR TABEL ………………………… 7
DAFTAR GAMBAR ………………………… 7
DAFTAR FOTO ………………………… 8
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. Detail sebaran karst Citatah di sebelah barat kawasan karst Rajamandala
(Sumber: KRCB, 2001)
Gambar 3. Bagian ruang Gua Pawon yang masih utuh, ditambang dan tertimbun runtuhan
bagian atap gua (Sumber: Yondri, 2004)
Gambar 4. Diagram diversitas temuan fauna Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-
2021)
Gambar 5. Grafik perubahan presensi fauna tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)
Gambar 6. Grafik temuan teridentifikasi tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)
Gambar 7. Grafik temuan seluruh spesimen tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)
Gambar 8. Grafik temuan spesimen terbakar tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)
8
DAFTAR FOTO
Foto 30. Keadaan akhir pendalaman spit 46 dan sisapemecahan blok batu gamping yang
menutupi kotak T3U1
Foto 31. Keadaan akhir pendalaman spit 49 setelah blok batu gamping yang menutupi
kotak T3U1 dibongkar
Foto 32. Keadaan akhir pendalaman spit 55 sebagian besar Kembali tertutup oleh blok
batu gamping runtuhan
Foto 33. Keadaan akhir pendalaman spit 57 dan kemudian berlanjut ke spit 58 dengan
bagian akhir pendalaman spit tertutup oleh blok batu gamping runtuhan
Foto 34. Keadaan akhir pendalaman spit 38 lanjutan pendalaman kotak T3S1 yang
tertutup oleh blok batu gamping
Foto 35. Keadaan spit 39 kotak T3S1 dengan bidang permukaan tertutup oleh blok batu
gamping
Foto 36. Keadaan akhir pendalaman spit 40 dengan bidang permukaan yang masih
tertutup oleh blok batu gamping
Foto 37. Keadaan akhir pendalaman spit 41 dengan bidang permukaan mayoritas
tertutup oleh blok batu gamping Foto 38. Keadaan akhir pendalaman spit 42
setelah pengangkatan blok-blok batu gamping
Foto 39. Keadaan akhir pendalaman spit 46 yang tertutup berbagai ukuran pecahan blok
batu gamping Foto 40. Keadaan akhir pendalaman spit 49 yang masih tertutup
oleh blok batu gamping
Foto 41. Keadaan akhir pendalaman spit 50 dengan satu blok batu gamping bentuk
memanjang (stalagtit)
Foto 42. Keadaan akhir pendalaman spit 54
Foto 43. Keadaan akhir pendalaman spit 56 dengan satu blok batu gamping bentuk
memanjang (stalagtit) di permukaan akhir penggalian
Foto 44. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T3S1
Foto 45. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T3S2 di antara pembukaan kotak-
kotak ekskavasi Gua Pawon 2021
Foto 46. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T4S1 di antara pembukaan kotak-
kotak ekskavasi Gua Pawon 2021
Foto 47 Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T4S2
Foto 48. Proses pemasangan batu untuk penguatan dinding ekskavasi sisi utara
Foto 49. Penyelesaian akhir kegiatan ekskavasi
Foto 50. Ragam Fragmen Gigi Gajah Temuan Hasil Ekskavasi Kotak T3S1
Foto 51. Alat batu inti berupa kapak perimbas, penetak, lancipan temuan baru yang dibuat
dari batu gamping sebagai indikasi kuat dari lapisan budaya Plestosen akhir-Awal
Holosen di Gua Pawon
Foto 52. Site Museum Song Terus hasil kunjungan ekskursi 8-14 Nov 2021
10
BAB I
PENDAHULUAN
juga terdapat satu temuan yang tidak insitu yang mewakili periode budaya yang lebih tua
yang di banyak tempat berasal dari periode akhir Plestosen yaitu artefak kapak perimbas
(Yondri 2016).
Keberadaan Gua Pawon di antara gua-gua yang pernah disurvei dan diteliti selama
ini memberikan arti yang sangat penting dalam pemahaman sejarah masa lalu di Jawa
Barat. Penelitian terhadap gua-gua yang terdapat di kawasan Jawa Barat (kawasan selatan
Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya), yang selama ini telah dilakukan oleh Ir. Agus tahun
2003 hanya menemukan gua-gua dari periode budaya yang lebih muda, karena dari
beberapa gua yang diekskavasi seperti Gua Keraton dan Gua Gaok (Tasikmalaya) (Agus
2003). Dari hasil penelitia tersebut tampak ragam temuannya hanya berhasil menemukan
keberadaan hunian gua dari periode yang lebih muda dengan temuan utama berupa
fragmen tembikar. Data ini sangat menarik untuk dikembangkan dalam penelitian karena
berdasarkan jalur migrasi budaya prasejarah, terutama yang berlangsung pada periode
Plestosen Akhir- Awal Holosen, datanya telah ditemukan di kawasan Jawa Bagian tengah
dan timur 1 , sementara di kawasan Jawa Barat belum ditemukan atau belum berhasil
diungkapkan, padahal indikasi terkait hal itu beberapa di antaranya sangat besar
kemungkinan ada seperti yang dapat dibaca dari beberapa bentuk artefak yang dihasilkan
dari penelitian terkait dengan temuan alat-alat serpih obsidian yang dilakukan oleh
oleh(Koenigswald 1935), selanjutnya oleh (Rotpletz 1952), (Bandi 1951), dan
(Anggraeni 1986). Para ahli saling berbeda pendapat mengenai temuan, khususnya alat
serpih obsidian tersebut. Van Stein Callenfels, von Koeningswald dan van der Hoop,
dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, mereka lebih cenderung
menggolongkan alat serpih obsidian sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok
tanam. Hal tersebut mereka dasarkan atas adanya temuan serta berupa pecahan gerabah,
fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels 1934), (Koenigswald
1935), (Hoop 1940), (Soejono 1984). Pendapat lain dikemukakan oleh (Geldern 1945)
yang lebih cenderung menggolongkan alat-alat obsidian tersebut ke masa yang lebih tua.
Hal senada juga dikemukakan oleh H.G Bandi dan W. Rothpletz. Mereka lebih cenderung
menarik masa budaya alat obsidian Bandung sebagai alat yang berasal dari masa berburu
dan mengumpulkan makanan. Pendapat ini tampak lebih kuat karena umumnya budaya
serpih oleh para ahli prasejarah selama ini lebih banyak dikaitkan dengan alat-alat masa
1
Hunian di dalam gua dari periode mesolitik atau dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
lanjut, antara lain ditemukan di Jawa Timur: Gua Lawa, Song Keplek, Song Terus, Gua Prajekan, Gua
Tuban, Gua Marjan, dan Gua Sodong, di Jawa Tengah: Gua Braholo (Soejono, 1984:132-135; Simanjuntak,
1999:12).
12
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Masa budaya yang demikian
seringkali disebut sebagai masa mesolitik (Soejono 1984), prekeramik (Belwood 1985),
atau preneolitik (Simanjuntak 1993), yaitu satu era budaya dimana masyarakat
pendukung budaya tersebut sudah mulai mengembangkan kehidupan menetap (semi –
sedentaire), baik untuk sementara maupun untuk waktu yang agak lama dengan
memanfaatkan gua-gua atau ceruk yang tersedia di alam dimana mereka melangsungkan
kehidupan dan budayanya. Secara kronologi budaya tersebut diperkirakan berkembang
dari akhir Plestosen dan mengalami puncak perkembangan pada awal Holosen. Latar
belakang kehidupan masyarakat prasejarah yang telah memanfaatkan gua sebagai tempat
hunian di sekitar tepian Danau Bandung Purba ini mulai terungkap dengan ditemukannya
Gua Pawon di kawasan bukitgamping (karst) Gunung Masigit, yang terletak di kawasan
bagian barat Danau Bandung Purba.
Dapat dicatat sampai sekarang, indikasi hunian prasejarah yang berlangsung pada
periode Plestosen Akihir-Awal Holosen di kawasan Jawa Barat baru ditemukan di Gua
Pawon, dan baru sebagian kecil terungkapkan. Hal ini terjadi karena penelitian di gua
tersebut belum secara intensif dilakukan. Keberadaan temuan manusia yang ditemukan
dari kegiatan ekskavasi di Gua Pawon sampai sekarang belum teranalisis secara spesifik,
penggalian (ekskavasi) masih terbatas, sehingga bagaimana pola aktivitas atau pola pola
hunian yang berlangsung di dalam gua saat itu belum bias terungkapkan. Untuk
menjawab hal tersebut ke depan perlu dilakukan perluasan kotak-kotak ekskavasi secara
horizontal yang dibuka dengan kedalaman temuan yang sudah ditemukan sebelumnya.
Pengungkapan kehidupan prasejarah dari periode akhir Plestosen – awal Holosen
di Gua Pawon tentunya tidak mudah dilakukan, mengingat seluruh kandungan manusia
dan budaya dari era yang demikian tidak berada di permukaan tanah yang dengan mudah
untuk diamati, akan tetapi seluruhnya terpendam di bawah permukaan tanah, dan untuk
mengamatinya harus melalui serangkaian kegiatan ekskavasi yang dilakukan secara
vertikal, dan horizontal, dilakukan secara bertahap, dan dilakukan dengan hati-hati
sehingga berbagai temuan yang terkait dengan hal itu dapat ditemukan untuk dianalisis.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini tentunya tidak dapat dilakukan
dalam waktu singkat melainkan membutuhkan waktu yang panjang. Di samping
penemuan benda-benda arkeologis, juga dibutuhkan penguatan dinding-dinding kotak
ekskavasi dengan membuatkan konstruksi tambahan, sehingga bahaya keruntuhan
dinding dapat dihindari. Oleh karena itu penelitian ini direncanakan dalam kurun waktu
3 (tiga) tahun.
13
penelitian yang dilakukan dengan pengawasan langsung Balai Arkeologi dalam rangka
pratikum arkeologi mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Pajajaran pada April 2012.
Sampai sekarang dari kegiatan penelitian tersebut telah dilakukan pembukaan 11 kotak
ekskavasi di Gua Pawon, Sementara di gua lain yang berdekatan lokasi adalah ekskavasi
di gua Gunung Tanjung, 2009, Gua Parebatu pada 2010, dan pada tahun 2011 yaitu
ekskavasi di ruang-ruang gua yang termasuk dalam gugusan Gua Ketuk, yaitu di Ruang
3, Ruang 4, serta Gua Ketuk Ujung yang masih berada satu kompleks dengan Gua Pawon.
Penggalian tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengalian terpilih
(selective excavation) yang dilakukan pada lantai gua yang relatif utuh di masing-masing
gua (Yondri 2019b).
Pembukaan kotak ekskavasi di situs Gua Pawon sampai sekarang masih dalam
proses penelitian. Sampai bulan Mei 2018 telah berhasil dilakukan pembukaan 14 kotak
ekskavasi, 7 di antaranya ditempatkan di dalam ruang yang telah dilakukan survei
geomagnetiknya, dan 7 kotak lagi ditempatkan di ceruk bagian luar ruang kea rah utara
pembagian kuadran penelitian. Kotak-kotak yang telah dilakukan penggaliannya terdiri
dari kotak T2S2, T2S3, T2S4, T3S2, T3S3, T3S4, T1S1, T1U1, T2S1, T2U1, T3S1,
T3U1, T1U3, dan T2U3 (Yondri, 2003, 2004, 2005, 2009, 2010, 2011, 2012, 2017, 2018,
2019) (Yondri 2019b).
Penelitian pada tahun 2019 yang direncanakan untuk membuka kotak T2S1,
T2U1, T3S1, dan T3U1, karena keterbasan dana baru sebagian kedalaman yang berhasil
dibuka, dengan kedalaman rerata 1,5 m. Pendalaman ekskavasi dengan kedalaman rerata
3,20 m tidak dapat dilakukan, selain keterbatasan waktu dan anggaran, juga terhalang
oleh sebaran bongkahan besar blok batu gamping dari runtuhan atap. Sementara itu
rencana ekskavasi lanjutan pada tahun 2020 tidak dapat dilakukan karena wabah
pandemic Covid-19. Maka pada tahun 2020 kegiatan penelitian lapangan tahap III yang
tadinya ditujukan untuk melanjutkan pembukaan kotak ekskavasi T2S1, T2U1, T3S1, dan
T3U1 tidak dapat dilakukan, dan kegiatan dilanjutkan berupa analisis temuan fragmen
tembikar yang ditunjang oleh analisis laboratoris dan analisis fragmen vertebrata hasil
ekskavasi tahun 2019.
banyak lagi temuan yang dapat direkam baik temuan yang terkait dengan budaya, maupun
manusia pendukung budayanya.
Perluasan kotak ekskavasi secara horizontal tersebut ditujukan untuk menjawab
permasalahan tentang bagaimana pola pemanfaatan dan aktivitas budaya yang
berlangsung di situs Gua Pawon pada periode Akhir Plestosen-awal Holosen. Penemuan
artefak sejenis melalui serangkaian kegiatan ekskavasi perlu dilakukan sehingga nantinya
dapat menjawab dua permasalahan mendasar terkait deposisi budaya masa lalu di Gua
Pawon, antara lain;
1. Bagaimana bentuk pemanfaatan situs Gua Pawon pada masa akhir Plestosen-
Awal Holosen, apakah digunakan hanya sebagai tempat penguburan seperti
yang telah ditampakkan oleh penelitian sebelumnya, atau juga memiliki
indikasi sebagai tempat hunian, atau campuran sebagai gua yang multi fungsi.
2. Bagaimana bentuk tinggalan budaya yang terdeposisi di kedalaman yang sama
dengan temuan kubur dan jejak budaya sebelumnya, terutama yang berada di
lapisan budaya dengan rentang waktu antara Plestosen Akhir-Awal Holosen
di Gua Pawon di kotak T2U1, T2S1, T3U1, dan T3S1 yang belum selesai
proses ekskavasinya.
Secara keseluruhan dari rencana penelitian prasejarah di Gua Pawon dengan
mengusung tema Manusia dan Budaya Masa Plestosen Akhir- Awal Holosen ini. Di
harapkan dari kegiatan ekskavasi lanjutan yang dilakukan di kotak T2U1, T2S1, T3U1,
dan T3S1 proses pengumpulan data dapat diselesaikan dan pada akhir penelitian dapat
diungkapkan tentang ragam aktivitas yang pernah berlangsung atau pernah dilakukan
oleh manusia yang menghuni Gua Pawon pada masa lalu, baik dalam kaitannya dengan
aktivitas yang berkaitan dengan okupasi; ragam artefaktual yang digunakan, pola
konsumsi: pola penguburan; kaitan manusia dengan lingkungan pada masa lalu, serta
tentang keberadaan manusia pendukung budaya sendiri. Sehingga nantinya dapat disusun
satu uraian yang komprehensif tentang Manusia dan Budaya Prasejarah era Plestosen
Akhir-Awal Holosen di Gua Pawon.
dengan tujuan untuk mendapatkan keberadaan temuan yang berkaitan dengan keberadaan
manusia dan budaya yang berlangsung di Gua Pawon pada era Plestosen Akhir-Awal
Holosen yang terdeposisi di setiap spit penggalian hingga sampai batas kedalaman yang
sama dengan kotak sebelumnya yaitu 3,2 m. Dari hasil penelitian tahap akhir ini
diharapkan dapat disuguhkan data tentang tahapan budaya preneolitik atau mesolitik
secara komprehensif, dan menjadi dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya di
gua-gua yang belum tersentuh oleh penelitian arkeologi di kawasan kars Citatah,
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
manusia masa prasejarah, tentunya budaya tersebut didukung oleh manusia yang sudah
mulai hidup menetap atau sementara di gua-gua atau ceruk yang seringkali dijumpai di
kawasan perbukitan gamping.
Pemanfaatan ruang gua sebagai tempat berkativitas pada masa prasejarah di
antaranya telah dikemukakan oleh (Heekeren 1972) yang secara umum membedakan
menjadi tiga kelompok, 1) sebagai tempat aktivitas domestik, 2) tempat penguburan, dan
3) gabungan dari 1 dan 2. Berdasarkan hasil temuan kubur di dalam gua selama ini, lokasi
yang dijadikan sebagai tempat penguburan cenderung memilih bagian atau ruang gua
tertentu yang agak terisolasi dan dekat dengan dinding gua (Chia, Yondri, dan
Simantunjak 2011). Berdasarkan pengamatan terhadap penempatan kubur di Gua Pawon,
menunjukkan bahwa ruang yang dipergunakan sebagai tempat pelaksanaan penguburan
pada saat itu adalah ruang yang paling dalam, terletak di bagian paling selatan. Ruang
tersebut tidak memiliki lorong penghubung dengan ruang yang lain, dan hanya memiliki
satu pintu masuk dari sisi sebelah utara. Bila dikaitkan dengan bentuk rekonstruksi gua,
dapat dikatakan ruang pengburan tersebut terletak agak terisolir, kurang mendapat
cahaya, dan kemungkinan di masa lalu pada saat penguburan dilakukan, ruang tersebut
jarang digunakan sebagai tempat beraktivitas oleh penghuni gua. Rangka-rangka
ditemukan lebih kurang pada jarak 30 cm dari ujung bongkahan batu gamping yang
terbentuk di lantai gua. Tujuh rangka manusia telah ditemukan di Gua Pawon, terletak
secara stratigrafis dalam lintasan waktu yang termasuk kurun Plestosen Ahkir – Awal
Holosen dengan rentang pertanggalan karbon (14C) antara 5600+ 170 BP- 11778+ 650
BP (Yondri 2019a). Rentang pertanggalan ini tentunya dapat dijadikan sebagai pemandu
dalam pengembangan penelitian atau ekskavasi secara horizontal yang akan
dikembangkan untuk melihat ragam aktivitas manusia masa lalu di Gua Pawon.
Oleh karena ekskavasi di situs Gua Pawon sampai saat ini masih lebih banyak
mengungkap aktivitas penguburan dengan temuan manusianya, sesuai dengan lokasi
yang di ekskavasi selama ini, dan penelitian selama ini belum dilakukan secara intensif,
sehingga sekarang masih banyak permasalahan yang belum terungkapkan dari temuan
Gua Pawon tersebut. Berkaitan dengan permasalahan di atas, pada penelitian prasejarah
tahun 2019 di Gua Pawon sebagai kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang
mengusung tema Manusia dan Budaya Masa Plestosen Akhir- Awal Holosen tersebut di
tahun ini akan dilakukan serangkaian ekskavasi secara horizontal di areal sebelah utara
penemuan rangka Manusia Pawon I, III, IV, V, VI, dan VII, yang ditujukan untuk melihat
19
ragam aktivitas manusia dan budaya selain kegiatan penguburan yang terdeposisi di
dalam lapisan tanah di Gua Pawon.
Untuk mendukung hal tersebut, selain pengummpulan data di lapangan melalui
serangkaian kegiatan ekskavasi secara vertikal, juga dibutuhkan berbagai analisis
laboratoris terhadap temuan-temuan artefaktual yang ditunjang oleh analasisi di
laboratorium, sehingga rangkaian keberadaan manusia dan budaya era Plestoses Akhir-
Awal Holosen yang berlangsung pada masa lalu di Gua Pawon dapat dipaparkan secara
lebih komprehensif.
1.6 Metodologi
Hakekat data arkeologi yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya, memacu
kita berupaya keras untuk memperoleh, merekam dan menafsirkan data-data tersebut.
Semakin jauh rentang waktu dari sekarang, semakin terbatas data yang sampai ke masa
kini, begitu juga dengan data-data tentang budaya prasejarah, oleh karena itu untuk
menafsirkannya perlu diterapkan berbagai bentuk analogi. Dari analogi-analogi tersebut
nantinya diharapkan dapat dijelaskan tentang arti, fungsi, dan lain sebagainya dari benda-
benda arkeologi masyarakat pendukungnya.
Beralihnya kecenderungan penelitian arkeologi dari dimensi bentuk dan waktu
menjadi dimensi ruang, tetap saja memerlukan penjelasan yang relevan melalui analogi
tersebut. Walaupun harus diakui ketiga dimensi: bentuk, waktu dan ruang tidak dapat
dipisahkan begitu saja karena ruang merupakan bagian penting dari satu sistim
permukiman di masa lalu. Dalam melangsung kehidupan dan budayanya manusia selalu
mempertimbangkan dimensi ruang. Dalam hal ini perilaku manusia di dalam ruang
tersebut tidak berperilaku secara acak, melainkan berpola dan mengikuti pola-pola
tertentu (Hooder 1976).
Berkaitan dengan permasalahan di atas, penelitian prasejarah tahun 2018 di situs
Gua Pawon, penelitian ini akan berkaitan dengan dengan bagaimana manusia masa
lampau memanfaatkan ruang pada masa lalu. Dalam skala kecil karena penelitian ini akan
dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama dengan skala ruang Gua Pawon, dan
dalam skala yang lebih besar nantinya adalah gua-gua yang terdapat dalam kawasan Karst
Rajamandala.
Penelitian di situs Gua Pawon ini merupakan bagian dari penelitian yang
direncanakan dilakukan secara bertahap karena di kawasan karst Rajamandala ini
memiliki 30 titik tinggalan gua yang dicurigai pernah dimanfaatkan oleh manusia masa
lalu sebagai tempat hunian, dan sebagian di antaranya juga diduga digunakan sebagai
20
tempat melaksanakan ritual yang terkait dengan budaya penghuinian gua pada masa itu.
Untuk mencapai tujuan tersebut data yang digunakan adalah data dari ekskavasi dan hasil
kajian kepustakaan. Untuk itulah serangkaian cara kerja disusun secara bertahap yang
meliputi pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data.
Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan. Langkah ini
dilakukan dengan tujuan untuk menjaring atau mengumpulkan data yang berasal dari
sumber-sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian, dan laporan perjalanan yang
pernah menyinggung atau membahas objek penelitian. Penelitian kepustakaan tidak
hanya dilakukan saat kegiatan pralapangan tetapi kegiatan ini berlanjut hingga tahap
pengolahan dan penafsiran data.
Sumber-sumber tertulis tersebut, antara lain merupakan hasil penelitian geologi
dan biologi yang pernah dilakukan oleh para ahli. Hasil kajian geologi, dibutuhkan untuk
mengetahui sejarah geologi kawasan dan perubahannya. Sementara hasil kajian biologi
diperlukan untuk mengetahui jejak-jejak keterkaitan antara gua dan penghuniannya
dengan faktor lingkungan pada masa lalu.
Langkah kedua adalah penelitian lapangan atau pengumpulan data lapangan yaitu
dengan melakukan serangkaian kegiatan penggalian arkeologis (ekskavasi). Ekskavasi
yang dilakukan di Gua Pawon merupakan usaha pengumpulan informasi budaya (artefak
dan non artefak) yang tertimbun di dalam tanah. Berkaitan dengan hal tersebut lapisan
tanah atau stratigrafi dipandang sebagai hasil rangkaian proses budaya secara berselang
dari seluruh kehidupan ketika gua tersebut dihuni. Selanjutnya dilakukan deskripsi dan
analisis data.
prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan itu, juga nantinya dapat dijadikan sebagai
bahan kajian bandingan dari penelitian dengan tujuan yang sama yang dilakukan oleh
para peneliti prasejarah Indonesia di daerah yang lain. Mengingat temuan yang dihasilkan
di Gua pawon selama ini lebih kompleks dan lebih variatif jenis temuan budayanya.
Temuan hasil penelitian dan berbagai pengetahuan yang akan diungkapkan dan
telah diungkapkan selama ini di Gua pawon, tentunya juga sangat berguna untuk
pengembangan kajian arkeologi secara lintas disiplin, dan pengembangan Site Museum
yang sedang direncanakan pembangunannya oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini hasil
penelitian ini nantinya selain dapat menambah wawasan budaya masa lalu, siharapkan
juga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar Gua Pawon dengan
hadirnya Museum Pawon yang memamerkan hasil penelitian yang telah dilakukan
sebagai salah satu tujuan wisata di Jawa Barat.
Hasil penelitian prasejarah yang dilakukan di situs Gua Pawon juga diharapkan
dapat memperkaya ranah terbitan ilmiah baik yang tersuguh dalam bentuk artikel ilmiah,
juga menjadi bagian dari pengembangan pengetahuan di tingkat perguruan tinggi, serta
dalam muatan lokal di Jawa Barat.
BAB II
GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
Dari adanya proses alam tersebut dapat dilihat berbagai bentuk gua. Gua-gua yang
terbentuk pada kekar tiang umumnya memiliki ruang yang sempit, atap tinggi dan secara
horizontal tidak terlalu panjang. Di gua-gua tersebut biasanya banyak ditemukan stalagtit,
stalagmit, dan sinter yang merupakan gabungan antara stalagtit dan stalagmit. Berbeda
halnya dengan gua kekar lembaran, gua-gua yang terbentuk secara horizontal dapat
memiliki ruang yang luas dan panjang akan tetapi memiliki atap yang pendek. Stalagtit,
stalagmit ataupun sinter pada gua kekar lembaran ini jarang dijumpai atau bahkan tidak
ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena air sebagai mediator utama tidak langsung
dapat mencapai atap, tetapi bergerak secara horizontal sesuai dengan arah rekahan.
Disamping itu, di kawasan karst tersebut juga ada yang menyebutnya dengan
istilah gua tebing karena terletak di dinding perbukitan yang agak vertikal dan curam.
Mungkin gua ini terbentuk sebagai akibat pelarutan dan perekahan yang terjadi kemudian
pada gua-gua kekar tiang setelah terangkat ke permukaan.
Gambar 1. Keletakan kawasan gamping (karts) Citatah pada Formasi Rajamandala (Sumber : Sudjatmiko, 1972)
: Kawasan gamping
25
Gambar 2. Detail sebaran karst Citatah di sebelah barat kawasan karst Rajamandala
(Sumber: KRCB, 2001)
26
27
bagian bukit ada yang telah rusak sebagai akibat adanya aktivitas pnambangan pospat. Di
kawasan Karst Pasir Pawon ditemukan beberapa buah gua yang umumnya tersebar di
dinding sisi sebelah utara bukit. Dari hasil pengamatan sekitar perbukitan gamping
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tinggalan gua/ceruk hanya ditemukan di dinding sisi
sebelah utara. Gua/ceruk yang terdapat pada sisi ini, berurut dari arah timur ke barat
terdiri dari sebuah ceruk yang belum belum diberikan nama oleh penduduk setempat,
kemudian gua Ketuk, dan kompleks Gua Pawon. (termasuk dalam kesatuan ini adalah
Gua Peteng dan Gua Barong).
Secara garis besar kompleks gua Pawon, terdiri atas empat ruang yang masing-
masingnya dihubungkan oleh jalan masuk yang terdapat di bagian depan gua. Ruang
pertama terletak di sisi paling barat dengan ukuran ruang yang agak sempit. Oleh
penduduk setempat gua ini disebut sebagai Gua Barong. Panjang dari bagian mulut
hingga dinding gua paling belakang 7 m dan tinggi bagian mulut gua 2,4 m. Lantai gua
sebagai besar sudah terkikis (tererosi), sehingga membentuk kelerengan yang cukup
tajam ke arah barat daya. Dari hasil pengamatan, di bagian permukaan gua masih
dijumpai beberapa fragmen gerabah polos.
Ruang ke dua dari Gua Pawon adalah ruang yang memiliki bagian atap tembus.
Atap tembus tersebut dipersonifikasikan oleh masyarakat setempat sebagai sebuah
cerobong asap. Mungkin karena bentukan inilah kemudian kompleks gua tersebut
dinamakan Gua Pawon (bhs. Sunda Pawon = dapur). Bagian depan ruang du ini sangat
terbuka, dengan kondisi lantai yang sudah sangat rusak, sebagai akibat dari adanya
penambangan pospat oleh penduduk setempat. Dari jejak penggalian yang masih tersisa,
dapat diperkirakan bagian lantai ruang ini sudah terkikis lebih dari 2,5 m. Kegiatan
penggalian pospat yang dilakukan oleh penduduk setempat ini juga menyisakan sebuah
lorong yang mungkin dibuat untuk memudahkan pengangkutan tanah yang mengandung
pospat ke luar gua. Di bagian ruang ini, khususnya pada dinding tanah sisa penggalian
pospat, masih dapat dijumpai jejak-jejak budaya masa lalu berupa fragmen gerabah,
serpih, dan fragmen tulang binatang.
Ruang ke dua dan ruang ke tiga dihubungan oleh sebuah pintu yang terletak di
bagian dalam gua. Ruang ketiga komples Gua Pawon, berdasarkan pengamatan bentuk
dan ukurannya, dapat dikatakan bahwa ruang ke tiga merupakan ruang yang paling besar.
Ruang ke tiga memiliki 38 meter, lebar 16, dengan dua bagian mulut gua di sisi sebelah
utara. Di bagian tengah ruang terdapat sebuah bagian ruang yang masih tampak utuh dan
terletak menjorok ke arah dinding selatan gua. Sebagian besar lantai ruang ketiga,
30
terutama bagian depan (utara) gua sudah tererosi karena sebagian besar atap gua sudah
rubuh. Ruang tersebut menjadi terbuka sehingga air yang turun dari bagian atas, baik air
yang berasal dari dari lahan di bagian atas gua maupun air hujan, langsung jatuh dan
mengalir di permukaan lantai gua. Hal ini terjadi tidak hanya di bagian halaman tengah
ruang tiga tetapi juga terjadi pada lantai di bagian utara dan bagian timur. Bila bagian atap
gua yang runtuh tersebut dikembalikan kepada posisinya, dapat diperkirakan ruang itu di
masa lalu merupakan satu ruang yang ideal untuk menampung aktivitas manusia
penghuninya. Pengamatan secara geomorfologis dan geologis pada dinding gua sisi
sebelah barat menunjukkan adanya endapan abu yang kemungkinan berasal dari gunung
berapi. Pengendapan ini kemungkinan terjadi sebagai akibat dari terjadinya letusan
gunung berapi yang terletak di sisi utara Bandung yang diperkirakan selain mengasilkan
material yang cukup banyak sehingga mampu membendung aliran sungai Citarum purba
dan akhirnya membentuk Danau Bandung Purba (Bramantio dkk, 2000)
Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua lagi yang terletak
memanjang dengan orientasi utara selatan, dengan bagian mulut berada di sisi sebelah
utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan pohon yang
cukup besar, sehingga mengakibatkan pencahaan ke bagian dalam gua menjdi berkurang.
Mungkin karena kurangnya pencahaan itulah kemudian gua tersebut disebut oleh
masyarakat setemapt dengan nama Gua Peteng (Bhs. Sunda peteng berarti remang-
remang atau gelap). Agak ke timur dari Gua Pawon, pada jarak lebih kurang 100 meter,
terdapat sebuah gua lagi yang oleh penduduk setempat disebut Gua Ketuk. Gua tersebut
sampai sekarang jarang dikunjungi, dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh
semak yang cukup rapat.
Di bagian utara gua dengan perbedaan ketinggian yang berkisar antara 2,5 meter
hingga 7 meter terdapat hamparan dataran dan kawasan perbukitan bergelombang yang
cukup luas dan subur yang dibelah oleh aliran sungai Cibukur. Air dari aliran Sungai
Cibukur dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk keperluan irigasi, sedangkan untuk
kebutuhan sehari-hari, masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan mata-mata air
yang terdapat di sekitar perkampungan. Kawasan sekitar sungai dikerjakan oleh
penduduk setempat untuk persawahan dengan irigasi yang cucuk maju, karena lahan
tersebut berada lebih tinggi dari sungai. Untuk mengalirkan air sungai ke areal
persawahan penduduk setempat kadangkala menggunakan bantuan kincir air yang
dipasang di sisi aliran sungai dan juga aliran air yang bersumber dari mata air yang berasal
dari bagian kaki Pasir Pawon. Saat sekarang sebagian dari kawasan ada yang diolah oleh
31
masyarakat sebagai lahan pertanian dengan jenis tanaman seperti jambu biji, ubi kayu,
jagung dan sebagainya. Disamping bercocok tanam, sebagai mata pencaharian sampingan
sebagian penduduk, terutama laki-laki berkerja sebagai penambang batugamping dan
penambang pospat.
Berdasarkan pengamatan lingkungan di sekitar Pasir Pawon dapat dilihat bahwa
di kawasan tersebut selain terdapat Gua Pawon yang memilk potensi untuk
dikembangkan lebih lanjut baik untuk kepentingan penelitian, ternyata di lokasi tersebut
pada jarak yang berdekatan masih berada di gunung/pasir yang sama terdapat dua gua
lagi yang juga sangat memiliki potensi arkeologis untuk diteliti. Di sisi sebelah utara
terdapat Gua Peteng. Sementara itu, di sisi sebelah selatan terdapat satu gua dengan
ukuran yang cukup besar dilihat dari arah jalan raya. Sampai sekarang gua tersebut belum
terjamah oleh penelitian arkeologi.
2
Topografi karst secara setempat-setempat dicirikan oleh kenampakan bukit-bukit berbentuk kerucut,
lembah antar bukit, serta ditemuinya lubang-lubang hasil pelarutan seperti gua kapur, dan bentukan depresi
karst berupa dolina, uvala maupun penyaluran bawah permukaan (Zuidam 1983, Ko, 1984, Soetoto 1986).
Dolina adalah lekukan atau cekungan yang kadangkala berisi air hingga membentuk telaga. Dolina sering
disebut juga dengan istilah sink hole, cockpit, blue hole, swalow hole atau cenote. Ulvala adalah lekukan
atau cekungan yang luas, merupakan gabungan dari beberapa dolina (Suharsono, 1988:49; Poerbo-
Hadiwidjojo, 1994:37).
3
Geologi adalah ilmu yang menguraikan sejarah dari bumi dan kehidupan, komposisi dari kulit bumi,
kondisi strukturnya, dan tenaga-tenaga yang mengatur evolusi yang mengambil peranan pada bumi (Katili
dan Marks, 1963)
4
Berdasarkan struktur geologi, Billing (1972) menyebutkan bahwa di daerah karst terbentuk dua jenis gua
yaitu gua kekar lembaran dan gua kekar tiang. Gua kekar lembaran memperlihatkan ruang yang luas dan
pendek, sedangkan gua kekar tiang memperlihatkan ruang yang sempit dan tinggi (Billing dalam Fadlan,
2001:37-38)
32
Gua Ketuk. Karena keterbatasan waktu penelitian, baru Gua Pawon yang teliti secara
maksimal, sementara gua-gua yang lain baru terbatas pada peneltian awal, bahkan seperti
Gua Peteng dan gua lain yang berada di sebelah selatan Gunung Pawon belum sempat
diteliti sama sekali.
Secara deskriptif, ukuran panjang Gua Pawon secara keseluruhan adalah 38 meter,
dengan lebar 16 meter dari bagian mulut/tebing gua ke bagian dinding terdalam. Secara
garis besar gua tersebut terdiri atas empat ruang yang masing-masing dihubungkan oleh
jalan masuk yang terdapat di bagian depan gua.
Ruang pertama. Ruang pertama di Gua Pawon terletak di sisi paling barat dengan
ukuran ruang yang agak sempit. Oleh penduduk setempat gua ini disebut sebagai Gua
Barong. Panjang dari bagian mulut hingga dinding gua paling belakang 7 meter dan tinggi
bagian mulut gua 2,4 meter. Sebagian besar lantai gua sudah terkikis (tererosi), sehingga
kelerengannya cukup tajam ke arah barat daya. Dari hasil pengamatan, di bagian
permukaan gua masih dijumpai beberapa fragmen gerabah polos.
Ruang kedua. Ruang kedua di Gua Pawon adalah bagian ruang yang memiliki
bagian atap tembus ke angkasa. Atap tembus tersebut dianggap oleh masyarakat setempat
sebagai sebuah cerobong asap. Mungkin karena bentukan inilah kemudian kompleks gua
tersebut dinamakan Gua Pawon (bhs. Sunda, Pawon = dapur). Bagian depan ruang ini
sangat terbuka, dan kondisi lantainya yang sudah sangat rusak, sebagai akibat
penambangan fosfat oleh penduduk setempat. Dari jejak penggalian yang masih tersisa,
dapat diperkirakan bagian lantai ruang ini sudah terkikis lebih dari 2,5 meter. Kegiatan
penggalian fosfat yang dilakukan oleh penduduk setempat ini juga menyisakan sebuah
lorong yang mungkin dibuat untuk memudahkan pengangkutan tanah yang mengandung
fosfat ke luar gua. Di bagian ruang ini, khususnya pada dinding tanah sisa penggalian
fosfat, masih dapat dijumpai beberapa artefak berupa fragmen gerabah, serpih, dan
fragmen tulang binatang. Ruang kedua dan ruang ketiga dihubungan oleh sebuah pintu
yang terletak di bagian dalam gua.
Ruang ketiga. Ruang ketiga di Gua Pawon berdasarkan pengamatan bentuk dan
ukurannya, merupakan ruang yang paling besar. Sebagian besar lantai ruang ketiga,
terutama bagian depan (utara) sudah tererosi karena sebagian besar atap gua sudah hilang.
Ruang tersebut menjadi terbuka sehingga air yang turun dari bagian atas, baik air yang
berasal dari dari lahan di bagian atas gua maupun air hujan langsung jatuh dan mengalir
di permukaan lantai. Hal ini terjadi tidak hanya di bagian halaman tengah ruang ketiga
tetapi juga terjadi pada lantai di bagian utara dan bagian timur.
33
Gambar 3. Bagian ruang Gua Pawon yang masih utuh, ditambang dan tertimbun runtuhan bagian atap gua (Sumber: Yondri, 2004)
34
Pengamatan secara geomorfologis 5 dan geologis pada dinding gua sisi sebelah
barat menunjukkan adanya endapan abu yang kemungkinan berasal dari gunung berapi.
Pengendapan ini kemungkinan terjadi sebagai akibat dari terjadinya letusan gunung
berapi yang terletak di sisi utara Bandung yang diperkirakan mengasilkan material yang
cukup banyak sehingga mampu membendung aliran Sungai Citarum Purba dan akhirnya
membentuk Danau Bandung Purba (Bramantio dkk, 2001:1-3).
Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua lagi yang terletak
memanjang dengan orientasi utara-selatan, dengan bagian mulut berada di sisi sebelah
utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan pohon yang
cukup besar, sehingga pencahayaan ke bagian dalam gua menjadi berkurang. Mungkin
karena kurangnya pencahayaan itulah gua tersebut disebut oleh masyarakat setempat
dengan nama Gua Peteng (bhs. Sunda peteng berarti remang-remang atau gelap). Agak
ke timur dari Gua Pawon, pada jarak lebih kurang 100 meter, terdapat satu gua lagi yang
oleh penduduk setempat disebut Gua Ketuk. Gua tersebut sampai sekarang jarang
dikunjungi, dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh semak yang cukup rapat.
Di bagian utara gua dengan perbedaan ketinggian yang berkisar antara 2,5 meter
hingga 7 meter terdapat dataran dan kawasan perbukitan bergelombang yang cukup luas
dan subur yang dibelah oleh aliran Sungai Cibukur. Air dari aliran Sungai Cibukur inilah
yang kemudian dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk keperluan irigasi, sedangkan
untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan beberapa
mata air6 yang terdapat di sekitar kaki sebelah utara Pasir Pawon. Mata air yang masih
lancar mengeluarkan air sampai sekarang hanya tersisa dua sumber yaitu yang terletak
lebih kurang 50 meter dan 100 meter di sebelah timur Gua Pawon.
Sebagian di antara area di sebelah utara Pasir Pawon, selain digunakan untuk
bermukim, ada yang dimanfaatkan sebagai lahan persawahan dan kebun dengan jenis
tanaman seperti jambu biji, ubi kayu, dan jagung. Di samping bercocok tanam, sebagai
mata pencaharian sampingan sebagian penduduk, terutama laki-laki bekerja sebagai
penambang batugamping dan penambang fosfat.
5
Geomorfologi adalah kajian yang mendeskripsikan bentuk lahan dan proses-proses yang mempengaruhi
pembentukannya, serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuk lahan dan proses-proses dalam
tatanan keruangan. Geomorfologi mempunyai peranan untuk menjelaskan mengenai watak suatu bentuk
lahan, baik mengenai genesis, konfigurasi, proses yang terjadi, dan kaitannya dengan lingkungan
(Thornbury 1969, Hadisumarno 1985).
6
Mata air adalah aliran airtanah yang terkonsentrasi dan keluar sebagai arus air yang mengalir (Tolman,
1937)
35
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
Foto 1. Kegiatan pertemuan pembahasan persiapan pelaksanaan penelitian Bersama seluruh anggota
tim penelitian di Balai Arkeologi Jawa Barat tanggal 8 September 2021)
Foto 2. Kegiatan Koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, 13
September 2021)
37
teridentifikasi, dan batu yang rinciannya yaitu 2 fragmen tulang terbakar, 1 tulang
teridentifikasi, dan 1 batuan.
JUMLAH
SPIT TEMUAN
42 270
43 51
44 95
45 14
46 37
47 66
48 6
49 4
50 0
51 1
52 4
53 6
54 50
55 4
56 4
57 0
58 5
46
pendalaman ekskavasi di kotak T2U1 karena di bagian permukaan kotak terdapat bongkahan
besar batu gamping runtuhan bagian atap gua pada masa lalu. Proses pemecahan dan
pembongkaran bongkahan besar batu gamping tersebut sama seperti pemecahan dan
pembongkaran blok batu gamping lainnya dilakukan secara manual menggunakan pahat besar
Foto 12,13 Persebaran bongkahan blok batu gamping yang menutupi area permukaan kotak ekskavasi dan
pemecahan dan pembongkaran blok batu gjamping secara manual
47
berikut.
Spit 38 dibuka sampai kedalaman 215 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
merupakan lapisan lempung pasiran berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerikil dan
kerakal serta akar tumbuhan. Temuan pada spit 38 didominasi oleh residu fauna berupa fragmen
tulang, gigi, dan moluska. Ditemukan pula fragmen batu. Rincian temuan dari spit 38 yaitu 40
tulang besar, 59 batuan, 4 gigi, 8 moluska, dan 100 tulang kecil.
Jumlah temuan hasil penelitian yang ditemukan dari pendalaman penggalian masing-
masing spit yang dibuka di kotak ekskavasi T2S1 ditabulasikan di halaman berikut.
54
bercampur dengan kerakal dan kerikil gamping. Pada spit 58 terdiri dari lima fragmen tulang
dan enam tulang teridentifikasi.
Secara keseluruhan jumlah temuan hasil pendalaman ekskavasi di kotak T2S2
ditabulasikan sebagai berikut.
Tabel 5 Rekapitulasi Temuan Kotak T2S2
SPIT JUMLAH TEMUAN
57 11
58 11
57
Foto 26. Bongkahan blok batu gamping yang makin muncul yaitu 150 tulang kecil, 85 tulang
setelah ekskavasi spit 40
besar, 4 alat tulang, 8 gigi, 2
obsidian, 1 rahang, dan 6 serpih batu.
Rincian temuan dari spit 41 yaitu 201 tulang, 7 tulang teridentifikasi, 4 gigi, 5 alat batu, dan 2
obsidian.
temuan dari spit 46 yaitu 84 Fragmen tulang, 4 tulang teridentifikasi, 1 gigi, 5 alat tulang, 1
obsidian, dan 2 batuan.
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 50 terdiri dari fragmen tulang, alat
serpih, serta rahang dan gigi yang rinciannya yaitu 95 fragmen tulang, 6 tulang teridentifikasi,
6 rahang dan gigi, dan 4 alat serpih.
JUMLAH
SPIT TEMUAN
38 219
39 168
40 256
41 237
42 219
43 362
44 219
45 107
46 97
47 24
48 54
49 95
50 111
51 160
52 179
53 189
54 0
55 25
56 60
57 4
58 10
66
residu fauna dengan rincian 1 kuku, 3 tulang terbakar, 18 fragmen tulang, dan 3 tulang
teridentifikasi.
JUMLAH
SPIT TEMUAN
38 547
39 610
40 256
41 385
42 237
43 229
44 39
45 25
46 20
47 17
48 3
49 7
50 5
51 1
52 18
53 10
54 26
55 10
56 4
57 29
58 0
74
Spit 41 digali hingga kedalaman 230 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir dan bercampur dengan kerikil
batu gamping, serta kerakal batu tuff. Temuan pada spit 41 terdiri dari residu fauna dalam
bentuk fragmen tulang, alat batu, dan alat buat dengan rincian 1 batu tuff, 1 perkutor, 4 alat
batu, dan 7 fragmen tulang.
JUMLAH
SPIT TEMUAN
39 72
40 168
41 13
42 8
43 3
44 0
45 0
46 0
47 0
48 0
49 0
50 0
51 0
52 0
53 0
54 0
55 0
56 0
57 29
58 0
80
Foto 48. Proses pemasangan batu untuk penguatan dinding ekskavasi sisi utara
Sebagai bagian akhir dari pengamanan kotak ekskavasi di situs Gua Pawon, dan menjadi
pembatas dari kunjungan masyarakat saat berkunjung ke lokasi penelitian, maka di atas lantai
cor bertulang tersebut didirikan pagar besi.
82
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Tujuh rangka manusia telah ditemukan di Gua Pawon, terletak secara stratigrafis dalam
lintasan waktu yang termasuk kurun Plestosen Ahkir – Awal Holosen dengan rentang
pertanggalan karbon (14C) antara 5600+ 170 BP- 11778+ 650 BP (Yondri, 2017) merupakan
acuan dalam pengembangan penelitian yang dilaksanakan melalui serangkaian ekskavasi di
bagian ruang gua yang diperkirakan merupakan area pada lalu sebagai ruang berlangsungnya
aktivitas manusia dan budaya era Plestosen Akhir-Awal Holosen di Gua Pawon. Berdasarkan
pembagian ruang gua yang dibagi berdasarkan kuadran, kotak-kotak ekskavasi yang menjadi
target penelitian secara berkelanjutan yang dilakukan tiga tahap mulai tahun 2018 dan
direncanakan selesai pada 2020. Oleh karena wabah pandemic Covid-19, maka tahap akhir
kegiatan yang direncakan dilaksanakan pada 2020 akhir tertunda dan kemudian baru
dilaksanakan pada 16 September – 9 Oktober 2021. Seperti yang telah dilaporkan tahun 2019
(Tahap II) bahwa ekskavasi kotak T2U1. T2S1, T3U1, dan T3S1 dari kedalaman ekskavasi 220
cm dari titik ukur tersebut belum maksimal dilakukan karena baru menembus beberapa
centimeter saja dari lapisan budaya mesolitik, untuk itulah kemudian kegiatan penelitian Tahap
III ini dilakukan.
Dari hasil pembukaan kotak-kotak ekskavasi yang dilakukan pada tahap III (2021)
setelah kedalaman 220 cm dari titik ukur baik dari hasil pendalaman penggalian di kotak T2U1.
T2S1, T3U1, T3S1, T4S1, dan kotak T4S2 temuannya makin bervariasi, terdiri alat serpih dari
berbagai bahan batuan seperti obsidian, rijang, batu hijau7, dan jasper8, dan kadangkala juga
bercampur dengan beberapa serpih dan tatal, kemudian perkutor atau alat batu pukul dari bahan
batu andesit 9 , fragmen tulang binatang, alat-alat yang terbuat dari tulang, tanduk, dan gigi
binatang, serta moluska.
Data baru yang cukup menarik yang ditemukan pada lapisan adalah di bagian
kedalaman ekskvasi mendekati kedalaman 300 cm dari permukaan keberadaan penggunaan
7
Batu hijau dan batu obsidian yang juga dikenal dengan gelas gunung api, termasuk dalam kelompok quarts family
mineral atau kelompok mineral keluarga kuarsa yang memiliki kekerasan 6 sampai 7 skala Mosh, dan termasuk
dalam kelompok batuan yang dapat dimanfaatkan sebagai batu perhiasan (Sudjatmiko, 2004:98).
8
Jasper atau Jaspis merupakan salah satu batuan jenis kalsedon yang kaya unsur besi. Warnanya bervariasi, tetapi
biasanya merah atau kuning, serta tidak tembus cahaya (Poerbo-Hadiwidjojo, 1994:161).
9
Batu andesit termasuk dalam kelompok batuan beku luar yang terbentuk dari bekuan magma di luar bumi,
biasanya berwarna abu-abu dan tidak tembus cahaya.
84
bahan batu gamping makin dominan dibandingkan penggunaan bahan batuan lain sebagai
bahan alat batu. Sementara itu dari aspek fragmen faunanya adalah temuan gigi-gigi gajah yang
berada di kedalaman yang setara dengan kedalaman ekskavasi dengan pertanggalan sekitar
5600 BP.
Foto 50. Ragam Fragmen Gigi Gajah Temuan Hasil Ekskavasi secara
stratigrafis di Kotak T3S1
Temuan gigi-gigi gajah ini kemudian menarik perhatian paleontolog dari Geologi ITB
untuk mengkajinya lebih lanjut yang direncanakan juga akan didukung oleh penelitian
laboratoris untuk menelusuri keberadaan gajah tersebut dari aspek DNAnya. Secara
keseluruhan temuan artefaktual dan non artefaktual hasil ekskavasi di Gua Pawon berdasarkan
kotak ekskavasi dan keletakannya berdasarkan spit penggaliannya pada kotak ekskavasi T2U1,
T2S1, T3U1, T3S1, T4S1, dan T4S2 dapat diuraikan sebagai berkut.
85
pelobang, dan alat yang bersifat multifungsi (Pantjawati, 1989). Bentuk obsidian dengan fungsi
yang demikian ditemukan di spit-spit penggalian baik di kotak T2U1, T2S1, T3U1, maupun di
kedalaman spit kotak T3S1. Di samping berupa alat serpih, batuan obsidian dari hasil ekskavasi
juga memperlihatkan bentuk batu inti, dan sisa-sisa penyerpihan baik berupa serpihan kecil
maupun dalam bentuk tatal.
Dapat dikemukakan juga, dari analisis alat-alat serpih dari hasil ekskavasi di Gua
Pawon, bahan batuan lain juga digunakan. Di antaranya ada yang terbuat dari bahan batuan
yang tidak ada sumbernya di Gua Pawon seperti batu rijang, dan batu hijau, tetapi juga ada yang
bahan batuannya berasal dari lingkungan Gua Pawon sendiri yang dibentuk oleh bahan batu
gamping yang ditemukan mulai kedalaman 220 cm dari permukaan.
Alat-alat serpih berbahan batu gamping memiliki ukuran yang lebih besar di banding
serpih dari bahan batu rijang, batu hijau, atau dari bahan batu obsidian tersebut sangat
memungkinkan terjadi karena ukuran serpih yang diperoleh dari pelepasan dari batu intinya
cenderung menghasilkan pelepasan berukuran agak besar.
Di samping temuan alat berukuran serpih/bilah dari hasil ekskavasi di kedalaman
setelah 220 cm dari titik ukur kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, T4S1, dan T4S2 adalah perkutor
atau alat batu pukul. Perkutor yang ditemukan selain berbahan batu andesit juga ada yang
memanfaatkan batu gamping. Cukup menarik bila dilihat perkutor-perkutor yang ditemukan
tersebut. Beberaapa di antaranya memperlihatkan bentuk yang sudah mengalami pembundaran.
Bentuk batuan yang sudah mengalami pembundaran tersebut biasanya terbentuk karena
bongkahan batuan yang sudah mengalami transportasi di aliran sungai. Dari hal ini, dapat
diasumsikan bahwa baik perkutor berbahan andesit atau berbahan batu gamping tersebut bukan
dari hasil eksploitasi di Gua pawon tetapi diperoleh dari aliran-aliran sungai yang ada dalam
wilayah okupasi manusia penghuni Gua Pawon pada masa lalu, bisa dari aliran Cimeta,
Cibukur, dan lain sebagainya.
87
Foto 50. Alat batu inti berupa kapak perimbas, penetak, lancipan temuan baru yang dibuat dari batu
gamping sebagai indikasi kuat dari lapisan budaya Plestosen akhir-Awal Holosen di Gua Pawon
melalui penyerutan sehingga bidang tajamannya makin menipis ke bagian ujung distal.
Berdasarkan ukuran ketebalan tulang yang cukup tebal, dapat diduga spatula-spatula yang
ditemukan dari hasil ekskavasi di kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1 berasal dari makro fauna
atau fragmen-fragmen tulang dari binatang berukuran besar.
Berbeda dengan spatula, lancipan yang ditemukan pada ekskavasi kotak T2U1, T2S1,
T3U1, T3S1 umumnya memiliki ukuran lebih kecil, berasal dari tulang-tulang panjang biantang
berukuran kecil seperti monyet. Bagian lancipan dari bahan tulang tersebut beberapa di
antaranya hanya di lakukan di satu sisi, dengan sisinya yang lainnya masih menyisakan bagian
bonggol sendi. Dan juga ada lancipan yang dibuat ganda, dalam hal ini bagian runcing pada
alat tulang tersebut terdapat di kedua ujung tulang.
Sementara itu, untuk alat yang terbuat dari bahan tanduk binatang, berdasarkan
bentuknya kuat dugaan lancipan yang berbahan tanduk binatang tersebut berasal dari kelompok
rusa (cervus, sp). Lancipan pada alat yang terbuat dari bahan tanduk binatang tersebut dilakukan
hanya dengan cara menambah keruncingan bagian ujung tanduk dari hasil penyerutan.
Sementara bagian pangkal dari tandung tersebut tanpak natural tanpa jejak pengolahan sama
sekali. Walaupun temuan alat tulang dari hasil penggalian di ruang luar dari temuan rangka
manusia tidak banyak, akan tetapi dari segi bentuk dan ukurannya sangat signifikan untuk
diinterpretasikan sebagai alat yang dipergunakan untuk perburuan pada masa lalu.
Dari ragam artefaktual yang berhasil ditemukan dari ekskavasi tahap I, II, dan tahap III
untuk pendaalaman kotak ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2019 di kotak T2U1, T2S1,
T3U1, dan T3S1, serta T4S1, secara keseluruhan temuan-temuan tersebut kemudian
ditempatkan ke dalam lintas budaya sesuai dengan ragam artefak penciri budayanya dapat
digambarkan dalam tabulasi berikut.
Bila ditempatkan secara stratigrafis masing-masing temuan artefaktual dan non
artefaktual tersebut berdasarkan kedalaman spit penggaliannya yang diekskavasi dari tahun
2019 dan 2021 ini dapat diamati di lapisan atas terkadung sampah masa kini berupa pecahan
kaca, plastik, dan pembungkus makanan yang berada dilapisan tanah lempung berwarna
kehitaman. Di bagian bawah lapisan tersebut hingga kedalaman 100 cm ditemukan fragmen
tembikar yang bercampur dengan temuan ragam artefak batuan yang terbuat dari bahan batu
rijang, obsidian, serta fragmen tulang binatang, dan beberapa moluskan. Temuan fragmen
tembikar tersebut dapat dijadikan sebagai penanda dari lapisan budaya yang termasuk dalam
periode Neolitik. Di bawah kedalaman 100 cm dari titik ukur, fragmen tembikar tidak
89
ditemukan lagi. Temuan di kedalaman tersebut hingga kedalaman akhir pembukaan spit hingga
kedalaman 325 cm terdiri dari serpih dari batuan rijang, obsidian, perkutor dari bahan andesit,
serta beberapa serpih yang terbuat dari bahan batu gamping, di samping beberapa artefak
tulang, dan beragam jenis fragmen tulang binatang.
Bila ditempatkan secara stratigrafis masing-masing temuan artefaktual berbahan litik,
tulang, dan tanduk binatang tersebut berdasarkan kedalaman spit penggaliannya yang
diekskavasi dari tahun 2019 dan 2021 di kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, dan T4S1, dapat
ditabulasikan sebagai berikut.
325 CM
Interval Kedalaman Ekskavasi
Serpih berbahan rijang dan obsidian, pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
300 CM
Serpih berbahan rijang dan obsidian, pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
275 CM
Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, pemanfaatan batu gamping
Mesolitik
250 CM sebagai artefak
Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, pemanfaatan batu gamping
225 CM sebagai artefak
Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
200 CM
Fragmen tulang, alat tulang, perkutor, serpih berbahan rijang dan obsidian
100 CM
Fragmen tembikar, fragmen tulang alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian
Neolitik
75 CM
Fragmen tembikar
25 CM
Sampah masa kini berupa pecahan kaca, tutup botol, dan sampah plastik, bercampur tembikar
0 CM
T1S1 T1U1 T2U1 T2S1 T3U1 T3S1 T4S1 T2S3
90
10
Gastropoda adalah kerang yang mempunyai cangkang berbentuk bergelombang atau spiral. Memiliki tubuh
asimetris yang dilindungi oleh cangkang spiral. Berkembang biak dengan telur, dengan habitat air tawar dan air laut.
11
Pelecypoda adalah kerang yang mempunyai cangkang berbentuk setangkup. Memiliki tubuh simetris yang
dilindungi oleh cangkang setangkup. Berkembang biak dengan telur, dengan habitat air tawar dan air laut (Suhardi,
1983:41-42).
91
yang ditemukan dari ekskavasi sebelumnya di Gua Pawon, seperti temuan di kotak T2S3, dan
T3S3. Adanya temuan fragmen moluska tersebut saat ekakavasi di kotak T2U1, T2S1, T3U1,
T3S1, dan T4S1 sangat berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan fauna sebagai bahan
konsumsi manusia yang hidup dan menghuni Gua Pawon pada bagian era Plestosen-Awal
Holosen.
Secara keseluruhan hasil temuan ekskavasi di Gua Pawon dengan ragam temuan yang
dihasilkan dari kegiatan ekskavasi bila ditempatkan dalam lintasan budayanya, dapat ditabulasikan
pada table di halaman berikut.
92
NEIOLITIK
25 – 50 CM Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang
50 – 75 CM Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, dan serpih rijang dan obsidian, Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, dan serpih
perkutor. rijang dan obsidian, perkutor.
75 – 100 CM Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang, perkutor. dan Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih
obsidian berbahan rijang, perkutor. dan obsidian
100 – 125 CM Fragmen moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, perkutor, serpih berbahan rijang dan obsidian, Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, perkutor,
temuan bagian rangka manusia R.I, II, dan V (kotak T2S3, T3S3) serpih berbahan rijang dan obsidian
125 – 150 CM Fragmen moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih
perkutor,.temuan rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.III (kotak T2S3) berbahan rijang dan obsidian, perkutor
150 – 175 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor,.temuan Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.IV (kotak T2S3) obsidian, perkuto
175 – 200 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, temuan Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.V (kotak T3S2), serta pemanfaatan batu gamping obsidian, perkutor, temuan rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.V
sebagai artefak (kotak T3S2), serta pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
200 – 225 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, temuan rangka Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
manusia yang terkubur posisi terlipat R.VI (kotak T2S3), serta pemanfaatan batu gamping sebagai obsidian, perkutor, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
artefak
MESOLITIK
225 – 250 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, temuan Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.VII (kotak T3S3), serta pemanfaatan batu gamping obsidian, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
sebagai artefak
250 – 275 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, serta Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
pemanfaatan batu gamping sebagai artefak obsidian, perkutor, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
275 – 300 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, serta fragmen tulang binatang, serpih berbahan rijang dan obsidian,dan
pemanfaatan batu gamping sebagai artefak pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
300 – 325 CM Moluska, fragmen tulang binatang, serpih berbahan rijang, dan pemanfaatan batu gamping sebagai fragmen tulang binatang, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
artefak
93
1 2 3
Python sp Ular sanca
Varanus sp Biawak/Kadal Besar
Reptilia Geoemydidae Kura-kura
Tryonichidae Labi-labi
Ophidia Kelompok ular
Chiroptera Microchiroptera Kelelawar insectivora
Actinopterygii Cyprinidae Sejenis ikan mas
Chondrychthyes Selachimorpha Ikan hiu
Galliformes Gallidae Kelompok ayam
95
Gambar 4. Diagram diversitas temuan fauna Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
96
Gambar 6. Grafik temuan teridentifikasi tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
98
Gambar 8. Grafik temuan seluruh spesimen tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
99
Gambar 9. Grafik temuan spesimen terbakar tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
100
Secara keseluruhan dari hasil ekskavasi kotak T3S1 di Gua Pawon mengandung
34 spesies yang dapat diidentifikasi (Tabel 1). Salah satu temuan yang menarik pada
penelitian 2021 adalah ditemukannya spesimen molar dentition dari kelompok
Rhinoceros sp (Kelompok Badak) dan molar dentition dari Homo Sapiens (Manusia).
Berdasarkan diagram diversitas (Gambar 4), dapat disimpulkan bahwa temuan
fauna dari situs Gua Pawon didominasi oleh kelompok dari Macaca fascicularis
(15.69%), Sus sp (12.5%), Macaca sp (11.04%), Cercopithecidae (10.13%), dan
Cervidae (6.66%). Diagram ini juga menunjukkan keanekaragaman fauna yang dapat
ditemukan pada ekologi sekitar Gua Pawon yang dihadiri oleh fauna arboreal, terrestrial,
aquatic, maupun cavernicole. Sedangkan grafik presensi fauna (Gambar 5)
menggambarkan dengan jelas bahwa presensi fauna memiliki tren meningkat sejak Spit
2 hingga puncaknya pada spit 15 dengan jumlah temuan hingga 15 spesies. Setelah itu,
jumlah presensi spesies relatif menurun sampai pada spit terakhir, 57. Secara lebih rinci,
dapat disimpulkan bahwa temuan spit 45 - 57 mayoritas berisikan oleh fauna yang bersifat
lokal dengan lingkungan Gua Pawon.
Meskipun presensi fauna mencapai puncak pada spit 15, data presensi memiliki
perbedaan dengan data jumlah temuan seluruh spesimen (Gambar 6 & 7) yang
menunjukkan bahwa temuan terakumulasi dengan jumlah sangat melimpah pada spit 20
- 40. Secara umum, jumlah temuan relatif meningkat semenjak spit 2 hingga spit 40 dan
berangsur menurun hingga tidak ditemukan pada beberapa spit terakhir.
Analisis tafonomi pada temuan fauna yang dilakukan juga menunjukkan indikasi
kuat bahwa fauna pada situs Gua Pawon secara intensif digunakan sebagai bahan
konsumsi. Pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa temuan fauna relatif pada
kondisi tidak utuh, terutama pada bagian tulang utama, serta diperkuat dengan temuan
teridentifikasi yang memiliki angka jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan temuan
keseluruhan dari tiap spit. Pola ini secara jelas terlihat paling tidak pada spit 2 hingga spit
40. Selain itu, data temuan fauna yang memiliki sisa terbakar (derajat rendah hingga
tinggi) juga tersebar sejak spit 2 hingga spit 38. Peneliti meyakini bahwa temuan fauna
pada rentang spit 40 - 57 memiliki kemungkinan kecil menjadi bahan konsumsi
dikarenakan kelompok taksonomi yang ditemukan memiliki dominasi berupa fauna asli
penghuni Gua dengan kondisi tafonomi relatif utuh dan tidak terbakar.
101
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Penelitian di Gua Pawon tahun 2021 telah berhasil menuntaskan pendalaman
ekskavasi kotak T2U1, T2S1, T3U1, dan T3S1 hingga kedalaman akhir 320 cm dari titik
ukur yang dijadikan sebagai kedalaman akhir dari lapisan budaya yang berisi tentang
kehidupan manusia dan budaya akhir Plestosen-Holosen di Gua Pawon yang berlangsung
sekitar 12.000 tahun yang lalu.
Dari sisi temuan tinggalan alat batunya dapat digambarkan ekskavasi yang
dilakukan di kotak T2U1, T2S1, T2S2, T3U1, T3S1, T4S1 telah dapat menggambarkan
tentang aktivitas manusia dengan budayanya yang menjadi target penelitian. Dari sisi
penggunaan peralatan yang menggunakan bahan batu, dapat dilihat bahwa kehadiran
bahan batuan yang kemudian dijadikan sebagai artefak yang materialnya berasal dari luar
lingkungan gua seperti keberadaan peralatan yang terbuat dari bahan rijang, kalsedon,
obsidian, andesit dan peralatan berbahan batu gamping yang memperlihatkan bentuk
seperti kapak perimbas, penetak, lancipan, dan juga ada yang termasuk dalam kategori
alat serpih.
Jujur untuk disampaikan karena pelaksanaan penelitian terkendala Covid-19
menyebabkan kegiatan analisis temuan hasil ekskavasi dan jadwal pengumpulan laporan
yang ditentukan berakhir di tanggal 15 November 2021 menyebabkan pelaporan belum
dapat menyuguhkan analisis temuan secara lebih detil, akan tetapi dari ragam temuan
yang dihasilkan dari pembukaan kotak T2U1, T2S1, T2S2, T3U1, T3S1, dan T4S1 telah
dapat memberikan simpulan tentang jejak aktivitas manusia dan budaya era Plestosen
Akhir-Awal Holosen yang berlangsung di Gua Pawon pada masa lalu.
5.2 Rekomendasi
Mengacu hasil rangkaian hasil ekskavasi arkeologis yang telah dilakukan di Gua
Pawon yang telah dapat memberikan sebagian dari gambaran temuan budaya dengan
kisaran lintasan masa Akhir Plestosen-Awal Holosen sebenarnya penelitian lanjutan
masih terbuka untuk dilakukan. Hal ini dikemukakan karena bila dilihat dari rangkaian
migrasi manusia dan budaya prasejarah pada periode yang lebih tua oleh para ahli
disimpulkan melalui Kawasan pulau Jawa bagian barat, termasuk Kawasan Jawa Barat.
Maka tidak tertutup kemungkinannya juga akan ditemukan lapisan budaya itu di Gua
102
Pawon. Hal tersebut juga didukung dengan temuan artefak litik sederhana baik berbahan
batu gamping dari hasil ekskavasi di Gua pawon maupun berbahan batu andesit temuan
dari Gua Parebatu yang masih merupakan bagian dari lingkungan Gunung Pawon.
Penelitian lainnya yang juga perlu dilakukan adalah ekskavasi di bagian gua lain
yang belum tersentuk penelitian arkeologi yaitu di Gua Peteng yang terletak lebih rendah
dari Gua pawon yang berada di sisi sebelah utara Gunung Pawon serta satu gua lagi yang
berada di tebing sisi selatan Gunung Pawon.
Tidak kalah menariknya hasil penelitian berupa 7 rangka manusia dari lintas masa,
beragam artefaktual dari bahan batuan, tulang, gigi, tandung, perhiasan dari gigi binatang,
kerang, gigi ikan, beragam sisa fauna, dan berbagai produk hasil pengemabangan
penelitian sudah selayaknya dikembangkan dalam satu konsep site museum seperti yang
dikembangkan pemerintah di Museum Song Terus, Pacitan, Jawa Timur.
Hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini di Gua Song Terus dari hasil
kunjungan studi banding yang dilakukan dari tanggal 8 sampai 14 November yang lalu,
dapat dicatat berbagai fasilitas utama yang dibangun oleh pemerintah maupun hasil
Kerjasama dengan pihak asing yang ikut mengembangkan penelitian di Song Terus.
Selain Laboratotium Artefak yang langsung berada di bawah Lembaga penelitian, di
likasi penelitian yaitu di Song terus selain konservasi situs dan jejak ekskavasinya
dikonservasikan, juga dibangunan fasilitas pendukung penelitian, dan terakhir
dibangunkan Gedung museum berukuran cukup besar yang diberi nama Site Museum
Song Terus.
Hal ini dikemukakan karena dukungan data sudah sangat memadai serta dukungan
masyarakat yang mau menghibahkan tanahnya untuk pembangunan Site Museum di
lingkungan Kawasan Gua pawon yang juga didukung oleh laboratorium atau ruang
penyimpanan dan analisis temuan hasil ekskavasi yang sudah dilakukan sejak tahun 2003
hingga 2021. Sementara itu penelitian lintas disiplin arkeologi dengan ilmu pendukung
lainnya sampai sekarang terus dikembangkan dan telah menghasilkan berbagai kajian dari
aspek odontology forensic khususnya dalam ranah arkeo-odontologi di Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran, Bandung, serta berbagai kajian tingkat sarjana
maupun magister di berbagai Universitas di Indonesia.
Tentunya kedepan temuan hasil penelitian arkeologi yang sudah dihasilkan di Gua
Pawon ini akan selalu menjadi ajang kajian ilmiah, baik di Pendidikan tinggi maupun
para ahli dari disiplin terkait, seperti halnya temuan gigi gajah yang sekarang sedang
dilanjutkan penelitiannya oleh paleontolog Institut Teknologi Bandung.
103
Foto 50. Site Museum Song Terus hasil kunjungan ekskursi 8-14 Nov 2021
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Nies dkk.
104
1986 “Survei di Daerah Cililin, Bandung”. Dalam BPA No. 36 : Laporan Penelitian
Arkeologi dan Geology di Jawa Barat. Jakarta : Depdikbud
Bemmelen, R.W. van
1949 Geology of Indonesia; vol. I A. General Geology-The Bandung Zone, p. 637-645
Clark, Grahame
1969 Archaeology and Society: Reconstructing The Prehistoric Past. New York:
Barners & Noble Books. Division of Harper and Row Publishers.
Dam, M. A C. Suparan, P. And Hidayat, S.,
1986 Reconnaisance Survey in The Bandung Basin: Openfile Report, Geological
Research and Development Center. Directorate General of Mines and Energy,
Bandung
Dam, M.A.C, Suparan, P.
1992 Geology of the Bandung Basin Deposits: Geological Research and Development
Center. Directorate General of Minesand Energy, Bandung & Earth Sciences
Department, Free University, Amsterdam
Eriawati, Yusmaini
1997 “Gua Sumpang Bita : Model Kajian Pemukiman Skala Mikro”. Dalam Naditira
Widya. Bulletin Arkeologi. Balai Arkeologi Banjarmasin. Hal. 63-69.
Heine Geldern, Robert von
1945 Prehistoric Research in The Netherlands Indies.
Heekeren, HR. Van
1972 The Stone Age of Indonesia. Rev. 2nd. The Hague-Martinus Nijhoff
Koesoemadinata, R.P
1959 Riwayat Geologi Dataran Tinggi Bandung. Arsip Pengetahuan Direktorat
Geologi. Nomor 3. Bandung.
Kosasih
1999 “Teknik Analisis Gua dan Upaya Pelestarian Lingkungan Karst”. Makalah pada
Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi. Lembang, 22-26 Juni 1999.
Narrol, Roul
1962 “Floor Area and Settlement Population”. American Antiquity 27. Hal. 587-589.
Simanjuntak, Truman
105
2017 Laporan Hasil Penelitian Ekskavasi lanjutan di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat (Tidak
diterbitkan)
2018 Laporan Hasil Penelitian tentang Manusia dan Budaya Plestosen Akhir-Awal
Holosen di situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat,
Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat Tahap I (Tidak diterbitkan)
2019 Laporan Hasil Penelitian tentang Manusia dan Budaya Plestosen Akhir-Awal
Holosen di situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat,
Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat Tahap II (Tidak diterbitkan)
107
Lampiran
Lampiran 1 Kunjungan Reviewer
Dengan hormat, sehubungan dengan kegiatan Penelitian Arkeologi Berbasis SBK SKP T.A.
2021 yang mulai dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi di
seluruh Indonesia, dengan ini kami sampaikan bahwa terdapat beberapa kegiatan penelitian
yang akan dimonitoring oleh Pihak Penyelenggara Penelitian dan Reviewer.
Berkenaan dengan hal tersebut, kami informasikan sekaligus mengundang Saudara untuk
dapat mengikuti monitoring penelitian Manusia dan Budaya Prasejarah era Akhir Plestosen
– Awal Holosen di Situs Gua Pawon – Jawa Barat yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 – 8
Oktober 2021, di Bandung Barat, Jawa Barat. Adapun biaya perjalanan ditanggung oleh
masing-masing Satker. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi narahubung Rama Putra
(0877-8118-4727).
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami sampaikan terima kasih.
Kepala Pusat,
Kunjungan Reviewer (Anggaran dan Substansi) di kegiatan ekskavasi Gua Pawon 6 September 2021
109
https://www.editorialmanager.com/morpho/l.asp?i=62130&l=HPHPOTMB
If you have not yet registered for the journal on Editorial Manager, you will need
to create an account to complete this confirmation. Once your account is set up
and you have confirmed your status as Co-Author of the submission, you will be
able to view and track the status of the submission as it goes through the editorial
process by logging in at https://www.editorialmanager.com/morpho/
If you did not co-author this submission, please contact the Corresponding Author
directly at erli.sarilita@fkg.unpad.ac.id
Thank you,
Morphologie
__________________________________________________
In compliance with data protection regulations, you may request that we remove
your personal registration details at any time. (Use the following
URL: https://www.editorialmanager.com/morpho/login.asp?a=r). Please contact
the publication office if you have any questions.
110
111
Lampiran 4
Jejak Manusia Prasejarah Era Akhir Pleistosen di Goa Pawon
Restu Nugraha
- Selasa, 21 September 2021 | 21:00 WIB
Pencarian jejak manusia prasejarah di Goa Pawon yang terletak di Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) terus dilakukan tanpa henti.
(Ayobandung,com/Restu Nugraha)
NGAMPRAH, AYOBANDUNG.COM — Pencarian
jejak manusia prasejarah di Goa Pawon yang terletak di Desa Gunung
Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) terus
dilakukan tanpa henti.
Terbaru, tim Arkeologi Jabar kembali melakukan ekskavasi, demi
mengumpulkan informasi lebih detail.
Langkah itu dilakukan untuk menelusuri jejak
kehidupan manusia prasejarah atau manusia Pawon di era
akhir Pleistosen. Tim Arkeologi Jabar rencananya melakukan ekskavasi
selama 25 hari.
"Karena Gua Pawon cukup luas maka bisa disimpulkan gua itu multifungsi.
Di sana dia (manusia Pawon) melaksanakan aktivitas harian seperti
mengolah makanan dan membuat alat. Itulah yang kita lihat dalam
114
ekskavasi saat ini," kata Kepala Tim Arkeolog Jabar, Lutfi Yondri, Selasa 21
September 20201.
Sudah sekitar enam hari, Tim Arkeolog Jabar berada di Gua Pawon untuk
meneliti aktivitas dan budaya manusia prasejarah.
Pada 3.000 sampai 11.000 tahun lalu, dengan kedalaman 3,20 meter,
pihaknya sudah menemukan berbagai peninggalan manusia Pawon pada
masa lampau.
"Kita memang belum sampai pada lapisan paling tua yang 12.000 ribu
tahun lalu. Tapi kita sudah melihat jejak aktivitas mereka yang
diperlihatkan dari sisa makanan, artefak yang mereka tinggalkan, dan
perhiasan yang dipakai saat itu," ungkap Lutfi.
"Jadi kita sudah temukan perkutor, batu pukul, dan artefak di tepian danau
Bandung purba itu opsidian. Kita juga sudah menganalisis mereka
menadapatkan opsidian, yaitu dari daerah Nagreg dan Garut,"
"Selain itu ada ragam fragmen tulang binatang buruan. Cukup menarik
kita temukan gajah di lapisan atas 2 meter, meski dalam bentuk anak
gajah, karena mungkin sulit membawa gajah besar ke tebing atas,"
tambahnya.
Dikatakannya, pada bagian bawah Tim Arkeolog Jabar juga menemukan
indikasi bahwa manusia prasejarah di Gua Pawon tidak hanya
menggunakan artefak dari bahan batuan dari luar.
"Tapi juga mereka mengolah batu gamping baik berupa kapak atau
perkutor," ucap Lutfi.
Dirinya menjelaskan, pada ekskavasi lanjutan ini pihaknya ingin melihat
ragam aktivitas lainnya di Gua Pawon pada masa lampau. Tim Arkeolog
Jabar ingin menggambarkan kehidupan era Holosen.
Dari mulai mereka membuat alat dari batuan dan tulang,membuat
perhiasan dari tulang buruan, memanfaatkan lingkungan lain untuk
konsumsi seperti moluska, dan bagaimana mereka mengeksploitasi
batuan opsidian pada saat itu.
"Jadi target utamanya adalah kita ingin melihat manusia dan budayanya
di Gua Pawon pada saat saat itu. Target kedalaman 3,2 meter sudah
membatasi lapisan budaya holosen," ujarnya.
Proses ekskavasi di Gua Pawon sendiri sudah dimulai sejak tahun 2003.
Dari proses ekskavasi,
Tim Arkeolog Jawa Barat sudah menemukan tujuh
rangka manusia prasejarah dari lima kronologi (pertanggalan karob) yang
menguatkan kesimpulan bahwa manusia pawon hidup pada
era Pleistosen Akhir-Awal Holosen.
115
Lampiran 5
Tim Arkeologi Jabar berhasil menemukan artefak kapak perimbas terbuat dari batu gamping saat
melakukan ekskavasi di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten
Bandung Barat (KBB). (Ayobandung.com/Restu Nugraha)
Kepala Tim Arkeolog Jabar, Lutfi Yondri mengatakan kalau di goa-goa kars
Sulawes batu gamping dipakai untuk lancipan dan alat-alat serpih di era
Mesolitik, di Goa Pawon justru era palaeolitik.
"Nah di Goa Pawon ini kita menemukan dari periode lebih tua, tidak hanya
alat serpih dari bahan batu gamping, kita juga menemukan alat palaeolitik
memakai batu gamping seperti kapak perimbas, kapak penetak, lancipan
dalam ukuran besar. Bukan lancipan kecil, tapi besar. Ini penanda budaya
cukup tua di Goa Pawon," papar Lutfi saat ditemui, Selasa 28 September
2021.
Kapak perimbas ini digunakan dengan cara digenggam, oleh sebab itu
terkadang kapak perimbas juga disebut dengan kapak genggam.
Fungsi kapak perimbas pada masa perburuan untuk menusuk hewan dan
menggali tanah untuk memperoleh umbi-umbian. Karena bahan
dasarnya yang keras, kapak ini bisa untuk memotong hasil buruan yang
sama kerasnya dan cukup tebal.
Karena daerah Citatah sulit ditemukan batu andesit atau obsidian, maka
mereka memanfaatkan sumber daya yang ada yaitu batu gamping.
"Ini bukti bahwa budaya itu adalah sistem adaptasi manusia dari
lingkungannya. Dalam beradaptasi manusia cenderung mengeksplorasi
atau memanfaatkan sumber daya lingkungan yang ada," tambahnya.
118
Tim Arkeologi Jabar berhasil menemukan artefak kapak perimbas terbuat dari
batu gamping saat melakukan ekskavasi di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
(Ayobandung.com/Restu Nugraha)
Tulang anak gajah ditemukan sangat logis, karena manusia Pawon cukup
sulit kalau harus membawa gajah besar ke dalam goa.
"Selain itu ada ragam pragmen tulang binatang buruan. Cukup menarik
kita temukan tulang gajah dan tapir di lapisan atas 2 meter, meski dalam
bentuk anak gajah, karena mungkin sulit membawa gajah besar ke tebing
atas," tambahnya.
"Karena Goa Pawon ini cukup besar ukurannya. Kalau dikaitkan dengan
teori hunian goa, besar kemungkinan bahwa goa ini multifungsi. Tidak
hanya untuk penguburan, tapi juga aktivitas keseharian," pungkasnya. [*]
120
Lampiran 6
Kepala Tim Arkeologi Jabar, Lutfi Yondri memperlihatkan hasil Ekskavasi di Gua Pawon.
[Suara.com/Ferry Bangkit Rizki]
Dari hasil ekskavasi lanjutan tahun 2021, Tim Arkeologi Jabar kembali
menemukan jejak-jeka kehidupan dan kebudayaan manusia purba di Gua
Pawon. Seperti sisa-sisa makanan berupa frgamen tulang binatang, fragmen
moluska yang dikonsumsi manusia pawon pada 5.600-12.000 tahun lalu.
Saat itu manusia pawon mengkonsumsi hewa buruan seperti tapir, rusa,
kera, babi hutan, kera hingga binatang laut.
Pihaknya juga menemukan dua gigi orang dewasa dan beberapa artefak
berupa alat-alat batu, alat-alat tulang yang mereka gunakan untuk
mensupport kehidupan saat itu. Artefak yang digunakan manusia pawon
ketika itu berasal dari luar maupun memanfaatkan sumber daya gua tersebut.
"Artinya bahan-bahan yang tidak tersedia di Gua Pawon tapi mereka bawa
dari luar seperti obsidian kemudian rijang, khalsedon, dan andesit yang
mereka gunakan sebagai perkutor.
Mereka juga memanfaatkan batu gamping sebagai alat bantu," kata Lutfi.
Hasil temuan ekskavasi lanjutan tahun ini kemudian akan dianalisis untuk
mengetahui lebih detail kehidupan era holosin di Gua Pawon.
122
"Nanti dari hasil analisis seperti hewan mana yang pertama hadir, kemudian
mereka konsumsi kapan. Dia mengalami puncak eksploitasi dalam
kehidupan, kapan berakhir dan digantikan oleh hewan apalagi," terangnya.
Proses ekskavasi di Gua Pawon sudah dimulai sejak tahun 2003. Dari proses
ekskavasi, Tim Arkeolog Jawa Barat sudah menemukan tujuh rangka
manusia prasejarah dari lima kronologi (pertanggalan karob) yang
menguatkan kesimpulan bahwa manusia pawon hidup pada era Pleistosen
Akhir-Awal Holosen.
Rangka pertama ditemukan September 2013 yang berumur 5.600 tahun lalu.
Begitupun usia rangka kedua dan kelima pun sama. Rangka ketiga
diperkirakan berusia 7.300 tahun lalu, rangka keempat berusia 9.500 tahun
yang lalu, rangka keenam berusia 10.000 tahun lalu dan rangka ketujuh
berusia 12.000 tahun lalu.
"Kerangka manusia yang sudah ditemukan ada 7, dari lapisan budaya yang
berbeda di Gua Pawon. 7 Kerangka itu diklasifikasikan dari hasil penguburan
langsung dan tidak langsung," terang Lutfi.