Anda di halaman 1dari 126

1

LAPORAN PENELITIAN ARKEOLOGI


MANUSIA DAN BUDAYA PRASEJARAH ERA AKHIR PLESTOSEN - AWAL
HOLOSEN DI SITUS GUA PAWON - JAWA BARAT

TAHAP III

Ketua : Dr. Lutfi Yondri, M.Hum


Anggota : 1. Nurul Laili, S.S
2. Katrynada Jauharatna, S.S
3. Azhar, S.Hum.
4. Benyamin Perwira Shidqi, S.T
5. Garby Cipta Perdana, S.Hum
6. Dani Sunjana, S.S
7. Irwan Setiawidjaja, S.Ds
8. Dede Saripudin
9. Dadan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL
BALAI ARKEOLOGI JAWA BARAT
2021
2

LAPORAN PENELITIAN ARKEOLOGI

MANUSIA DAN BUDAYA PRASEJARAH ERA AKHIR PLESTOSEN - AWAL


HOLOSEN DI SITUS GUA PAWON - JAWA BARAT

TAHAP III

Laporan ini khusus ditujukan kepada Pusat Penelitian


Arkeologi Nasional, Kapala Balai Arkeologi Jawa Barat
sebagai bukti pelaksanaan kegiatan penelitian yang
dilakukan di situs Gua Pawon pada tahun 2021.

Laporan ini tidak untuk disebarluaskan. Copyright untuk


penggandaan sepenuhnya ada pada Balai Arkeolgi Jawa
Barat dan kekayaan intelektual ada pada Ketua Tim
Penelitian.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL
BALAI ARKEOLOGI JAWA BARAT
2021
3

LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL KEGIATAN

Laporan ini diajukan oleh


Nama Ketua Tim : Dr. Lutfi Yondri, M.Hum
NIP : 19650521 1990 03 1 002
Instansi : Balai Arkeologi Jawa Barat
Judul Penelitian : Manusia Dan Budaya Prasejarah Era Akhir Plestosen - Awal
Holosen Di Situs Gua Pawon - Jawa Barat (Tahap III)

di : Bandung
Tanggal : 15 Oktober 2021

Kepala Instansi Penyelenggara Penelitian Ketua Tim

Deni Sutrisna, S.S, M.Hum Dr. Lutfi Yondri, M.Hum


NIP. 197007151998021002 NIP.196505211990031002
4

KATA PENGANTAR

Pada bulan September-Oktober 2021, selama 25 (dua puluh lima) hari lapangan,
mulai tanggal 15 September – 9 Oktober 2021 telah dilakukan penelitian prasejarah
lanjuta (Tahap III) di Gua Pawon, yang berada dalam wilayah administrasi Desa Gunung
Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat. Penelitian
dilakukan oleh tim dari Balai Arkeologi Jawa Barat dengan dibantu oleh tenaga ahli
paleontology, tenaga arkeologi dari Niskala Institute, beberapa orang tenaga lokal dan
informan yang berasal dari penduduk Kampung Pawon, dengan susunan Tim Penelitian
sebagai berikut :
Ketua : Dr. Lutfi Yondri, M.Hum.
Anggota : 1. Nurul Laili, S.S
2. Katrynada Jauharatna, S.S
3. Benyamin Perwira Shidqi, S.T
4. Azhar, S.Hum.
5. Irwan Setiagama, S.Ds
6. Dani Sunjana, S.S
7. Garby Citra Perdana, S.Hum
8. Dede Saripudin
9. Dadan

Kepada semua pihak yang telah banyak meyumbangkan partisipasinya demi


lancarnya penelitian ini, kami mengucapkan terima kasih.

Bandung, Oktober 2021

Penyusun
5

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………… 4
DAFTAR ISI ………………………… 5
DAFTAR TABEL ………………………… 7
DAFTAR GAMBAR ………………………… 7
DAFTAR FOTO ………………………… 8

BAB I. PENDAHULUAN ………………………… 9


1.1 Latar Belakang ………………………… 9
1.2 Riwayat Penelitian ………………………… 13
1.3 Rumusan Masalah ………………………… 15
1.4 Nilai Kebaruan ………………………… 16
1.5 Kerangka Pikir ………………………… 17
1.6 Metodologi ………………………… 19
1.7 Tujuan Penelitian ………………………… 20
1.8 Sumber daya Peneliti ………………………… 21

BAB II GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN ………………………… 23


2.1 Kawasan Karst Rajamandala ………………………… 23
2.2 Potensi Tinggalan Gua di Kawasan Karst Rajamandala ………………… 27
2.2.1 Karst Gunung Guha ………………………… 27
2.2.2 Karst Bagian Barat Sungai Citarum ………………………… 27
2.2.3 Karst Pasir Bancana ………………………… 27
2.2.4 Karst Pasir Tunjung ………………………… 28
2.2.5 Karst Pasir Masigit ………………………… 28
2.2.6 Karst Pasir Pawon ………………………… 28
2.3 Lokasi dan Lingkungan Gua Pawon ………………………… 31

BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN EKSKAVASI 2021 ………………… 35


3.1 Persiapan Tim Penelitian ………………………… 35
3.2 Koordinasi Penelitian Dengan Dinas dan Lembaga Terkait ………………. 36
3.3 Pelaksanaan Ekskavasi ………………………… 38
3.3.1 Ekskavasi Kotak T2U1 ………………………… 38
3.3.2 Ekskavasi Kotak T2S1 ………………………… 46
3.3.3 Ekskavasi Kotak T2S2 ………………………… 55
3.3.4 Ekskavasi Kotak T3U1 ………………………… 57
3.3.5 Ekskavasi Kotak T3S1 ………………………… 66
3.3.6 Ekskavasi Kotak T3S2 ………………………… 74
3.3.7 Ekskavasi Kotak T4S1 ………………………… 75
3.3.8 Ekskavasi Kotak T4S2 ………………………… 80
3.4 Pengamanan Kotak Ekskavasi ………………………… 80

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ………………………… 83


4.1 Temuan Artefaktual ………………………… 86
4.1.1 Artefak Litik ………………………… 86
4.1.2 Artefak Non Litik (Alat Tulang dan Tanduk) ………………………… 88
4.2 Temuan Non Artefaktual ………………………… 91
4.2.1 Fragmen Tulang Vertebrata ………………………… 91
4.2.2 Fragmen Moluska ………………………… 91
4.3 Vertevrata Gua Pawon dan Stratigrafinya (pemodelan dari kotak T3S1) …. 94
6

BAB V PENUTUP ……………………… 101


5.1 Simpulan ……………………… 101
5.2 Rekomendasi ……………………… 101

DAFTAR PUSTAKA ……………………… 104

LAMPIRAN ……………………… 107


1. Supervisi Pelaksanaan Penelitian Oleh Reviewer Anggaran Dan Substansi
2. Submeeted Journal International Morphologie
3. Berita Penelitian di Koran Cetak
4. Berita Penelitian di Media Cetak Online
5. Berita Penelitian di Media Cetak Online
6. Berita Penelitian di Media Cetak Online
7. Presentasi Hasil Penelitian di Seminar International
7

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Susunan Tim Penelitian 2021


Tabel 2. Personil Dan Jadwal Lapangan Tim Gua Pawon 2021
Tabel 3. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T2U1
Tabel 4. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T2S1
Tabel 5 Rekapitulasi Temuan Hasil Ekskavasi Kotak T2S2
Tabel 6. Rekapitulasi Temuan Hasil Ekskavasi Kotak T3U1
Tabel 7. Rekapitulasi Temuan Hasil Ekskavasi Kotak T3S1
Tabel 8. Rekapitulasi Temuan Hasil Ekskavasi Kotak T3S2
Tabel 9. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T4S1
Tabel 10. Kotak Ekskavasi, Artefaktual, dan Kronologi Budaya
Tabel 11. Lintasan budaya temuan hasil penelitian di Gua Pawon
Tabel 12. Taksonomi Temuan Fauna di Kotak T3S1

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Keletakan kawasan gamping (karts) Citatah pada Formasi Rajamandala


(Sumber: Sudjatmiko, 1972)

Gambar 2. Detail sebaran karst Citatah di sebelah barat kawasan karst Rajamandala
(Sumber: KRCB, 2001)

Gambar 3. Bagian ruang Gua Pawon yang masih utuh, ditambang dan tertimbun runtuhan
bagian atap gua (Sumber: Yondri, 2004)
Gambar 4. Diagram diversitas temuan fauna Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-
2021)
Gambar 5. Grafik perubahan presensi fauna tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)

Gambar 6. Grafik temuan teridentifikasi tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)
Gambar 7. Grafik temuan seluruh spesimen tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)
Gambar 8. Grafik temuan spesimen terbakar tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan
2019-2021)
8

DAFTAR FOTO

Foto 1. Kegiatan pertemuan pembahasan persiapan pelaksanaan penelitian Bersama


seluruh anggota tim penelitian di Balai Arkeologi Jawa Barat tanggal 8
September 2021)
Foto 2. Kegiatan Koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Bandung Barat, 13 September 2021)
Foto 3. Keadaan permukaan tanah spit 42 kotak T2U1
Foto 4. Keadaan permukaan tanah spit 45 kotak T2U1, Sebagian besar permukaan kotak
tertutup oleh bongkahan batu gamping runtuhan atap gua
Foto 5. Keadaan permukaan tanah spit 46 kotak T2U1.
Foto 6. Keadaan permukaan tanah spit 47 kotak T2U1dengan bongkahan batu gamping
runtuhan atap gua
Foto 7. Spit 48 kotak T2U1 dan bongkahan batu gamping runtuhan atap gua
Foto 8. Keadaan akhir permukaan tanah spit 50 kotak T2U1
Foto 9. Pembukaan spit 52 kotak T2U1 setelah pembongkaran bongkahan batu gamping
runtuhan atap gua
Foto 10. Keadaan permukaan tanah spit 55 kotak T2U1
Foto 11. Spit 58 kotak T2U1 dengan bagian akhir masih terdapat bongkahan batu
gamping dari runtuhan atap gua yang masih mengandung sisa budaya masa
lalu di Gua Pawon
Foto 12,13 Persebaran bongkahan blok batu gamping yang menutupi area permukaan
kotak ekskavasi dan pemecahan dan pembongkaran blok batu gjamping secara
manual
Foto 14. Keadaan akhir permukaan tanah spit 44 kotak T2S1, setelah pemecahan
bongkahan batu gamping runtuhan atap gua mengandung sisa budaya masa lalu
di Gua Pawon
Foto 15. Keadaan akhir permukaan tanah spit 46 kotak T2S1
Foto 16. Keadaan akhir permukaan tanah spit 48 kotak T2S1dan sisa pemecahan
bongkahan batu gamping
Foto 17. Keadaan akhir permukaan tanah lempung berpasir
Foto 18. Keadaan akhir Spit 51 kotak T2S1
Foto 19. Keadaan spit 54 kotak T2S1 di antara kotak ekskavasi lain di Gua Pawon
Foto 20. Keadaan akhir kedalaman spit 57 kotak T2S1
Foto 19. Keadaan akhir kedalaman spit 58 kotak T2S1 di antara kotak penggalian di Gua
Pawon
Foto 20. Keadaan akhir kedalaman spit 57 kotak T2S1
Foto 21. Keadaan akhir kedalaman spit 58 kotak T2S1 di antara kotak penggalian di Gua
Pawon
Foto 22. Keadaan akhir permukaan tanah spit 57 kotak T2S2
Foto 23. Keadaan akhir permukaan tanah spit 58 kotak T2S2 berupa lapisan tanah
lempung mengandung fragmen tulang tikus dan kelelawar sebagai penanda
lapisan akhir dari kehadiran hewan buruan di Gua Pawon.
Foto 24. Keadaan permukaan spit 38 kotak T3U1 setelah dilakukan pendalaman
penggalian
Foto 25. Akhir spit 39 dengan tutupan bongkahan blok batu gamping
Foto 26. Bongkahan blok batu gamping yang makin muncul setelah ekskavasi spit 40
Foto 27. Akhir spit 41 dengan tutupan bongkahan blok batu gamping
Foto 28. Keadaaan akhir spit 43 di antara kotak ekskavasi di kotak Gua Pawon
Foto 29. Sisa pemecahan blok batu gamping yang menutupi kotak T3U1 spit 45
9

Foto 30. Keadaan akhir pendalaman spit 46 dan sisapemecahan blok batu gamping yang
menutupi kotak T3U1
Foto 31. Keadaan akhir pendalaman spit 49 setelah blok batu gamping yang menutupi
kotak T3U1 dibongkar
Foto 32. Keadaan akhir pendalaman spit 55 sebagian besar Kembali tertutup oleh blok
batu gamping runtuhan
Foto 33. Keadaan akhir pendalaman spit 57 dan kemudian berlanjut ke spit 58 dengan
bagian akhir pendalaman spit tertutup oleh blok batu gamping runtuhan
Foto 34. Keadaan akhir pendalaman spit 38 lanjutan pendalaman kotak T3S1 yang
tertutup oleh blok batu gamping
Foto 35. Keadaan spit 39 kotak T3S1 dengan bidang permukaan tertutup oleh blok batu
gamping
Foto 36. Keadaan akhir pendalaman spit 40 dengan bidang permukaan yang masih
tertutup oleh blok batu gamping
Foto 37. Keadaan akhir pendalaman spit 41 dengan bidang permukaan mayoritas
tertutup oleh blok batu gamping Foto 38. Keadaan akhir pendalaman spit 42
setelah pengangkatan blok-blok batu gamping
Foto 39. Keadaan akhir pendalaman spit 46 yang tertutup berbagai ukuran pecahan blok
batu gamping Foto 40. Keadaan akhir pendalaman spit 49 yang masih tertutup
oleh blok batu gamping
Foto 41. Keadaan akhir pendalaman spit 50 dengan satu blok batu gamping bentuk
memanjang (stalagtit)
Foto 42. Keadaan akhir pendalaman spit 54
Foto 43. Keadaan akhir pendalaman spit 56 dengan satu blok batu gamping bentuk
memanjang (stalagtit) di permukaan akhir penggalian
Foto 44. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T3S1
Foto 45. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T3S2 di antara pembukaan kotak-
kotak ekskavasi Gua Pawon 2021
Foto 46. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T4S1 di antara pembukaan kotak-
kotak ekskavasi Gua Pawon 2021
Foto 47 Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T4S2
Foto 48. Proses pemasangan batu untuk penguatan dinding ekskavasi sisi utara
Foto 49. Penyelesaian akhir kegiatan ekskavasi
Foto 50. Ragam Fragmen Gigi Gajah Temuan Hasil Ekskavasi Kotak T3S1
Foto 51. Alat batu inti berupa kapak perimbas, penetak, lancipan temuan baru yang dibuat
dari batu gamping sebagai indikasi kuat dari lapisan budaya Plestosen akhir-Awal
Holosen di Gua Pawon
Foto 52. Site Museum Song Terus hasil kunjungan ekskursi 8-14 Nov 2021
10

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dapat dicatat, walaupun jejak-jejak kehidupan prasejarah awal masih sedikit
ditemukan di kawasan Jawa bagian barat, akan tetapi sisa budaya dari periode yang
kemudian tampak lebih banyak ditemukan. Hal ini antara lain dibutikan dari hasil survei
yang dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald (1935) di kawasan Jawa Barat, terutama
di daerah-daerah dataran tinggi di kawasan Bandung (Danau Bandung Purba). Dari survei
tersebut berhasil dikumpulkan sejumlah besar alat-alat budaya masa lalu berupa alat-alat
obsidian, kalsedon, rijang, andesit dan lain sebagainya (Koenigswald 1935). Beberapa
ahli menyimpulkan temuan-temuan ini dikategorikan sebagai alat-alat budaya yang
dimiliki oleh manusia masa preneolitik. Dengan mengkaitkan temuan tersebut dengan
tingkat budaya hunian manusia masa prasejarah, tentunya budaya tersebut didukung oleh
manusia yang sudah mulai hidup menetap atau sementara di gua-gua atau ceruk yang
seringkali dijumpai di kawasan perbukitan gamping.
Penelitian prasejarah di kawasan bukit gamping Rajamandala, khususnya di
kawasan yang termasuk dalam wilayah administratif Desa Gunung Masigit, Kecamatan
Cipatat, Kaupaten Bandung Barat, telah dimulai sejak tahun 2003. Berdasarkan hasil
survey, dikawasan tersebut berhasil diinventars 30 titik tinggalan gua. Walaupun sebagian
besar gua-gua tersebut sudah terancam kelestariannya karena penambangan batu gamping
secara tradisional dan industri. Beberapa di antara gua yang sekarang hanya tinggal
berupa ceritanya saja, contoh kasus Gua Gunung Tanjung, dari sisa peledakan dan
penambangan gua yang sekarang sudah hampir rata, masih ditemukan beberapa fragmen
tulang manusia yang setara metriknya dengan temuan manusia Rangka III yang berumur
sekitar 7300 BP di Gua Pawon.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini, dari gua-gua yang
terdapat di masing-maing gunung dan pasir (bhs. Sunda = bukit) yang terdapat di kawasan
Desa Gunung Masigit, temuan hasil penelitian di gua-gua yang terdapat di Gunung
Pawon lebih menyajikan data yang sangat signikan untuk dijadikan sebagai petunjuk
untuk mengungkapkan terkait kehidupan prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan
tersebut pada masa lalu. Tidak hanya memiliki data tentang manusia dan budaya yang
berlangsung di era awal Holosen dengan ragam temuan terdiri dari alat batu, tulang,
tanduk rusa, taring binatang, moluska, dan temuan manusia pendukung budaya, tetapi
11

juga terdapat satu temuan yang tidak insitu yang mewakili periode budaya yang lebih tua
yang di banyak tempat berasal dari periode akhir Plestosen yaitu artefak kapak perimbas
(Yondri 2016).
Keberadaan Gua Pawon di antara gua-gua yang pernah disurvei dan diteliti selama
ini memberikan arti yang sangat penting dalam pemahaman sejarah masa lalu di Jawa
Barat. Penelitian terhadap gua-gua yang terdapat di kawasan Jawa Barat (kawasan selatan
Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya), yang selama ini telah dilakukan oleh Ir. Agus tahun
2003 hanya menemukan gua-gua dari periode budaya yang lebih muda, karena dari
beberapa gua yang diekskavasi seperti Gua Keraton dan Gua Gaok (Tasikmalaya) (Agus
2003). Dari hasil penelitia tersebut tampak ragam temuannya hanya berhasil menemukan
keberadaan hunian gua dari periode yang lebih muda dengan temuan utama berupa
fragmen tembikar. Data ini sangat menarik untuk dikembangkan dalam penelitian karena
berdasarkan jalur migrasi budaya prasejarah, terutama yang berlangsung pada periode
Plestosen Akhir- Awal Holosen, datanya telah ditemukan di kawasan Jawa Bagian tengah
dan timur 1 , sementara di kawasan Jawa Barat belum ditemukan atau belum berhasil
diungkapkan, padahal indikasi terkait hal itu beberapa di antaranya sangat besar
kemungkinan ada seperti yang dapat dibaca dari beberapa bentuk artefak yang dihasilkan
dari penelitian terkait dengan temuan alat-alat serpih obsidian yang dilakukan oleh
oleh(Koenigswald 1935), selanjutnya oleh (Rotpletz 1952), (Bandi 1951), dan
(Anggraeni 1986). Para ahli saling berbeda pendapat mengenai temuan, khususnya alat
serpih obsidian tersebut. Van Stein Callenfels, von Koeningswald dan van der Hoop,
dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, mereka lebih cenderung
menggolongkan alat serpih obsidian sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok
tanam. Hal tersebut mereka dasarkan atas adanya temuan serta berupa pecahan gerabah,
fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels 1934), (Koenigswald
1935), (Hoop 1940), (Soejono 1984). Pendapat lain dikemukakan oleh (Geldern 1945)
yang lebih cenderung menggolongkan alat-alat obsidian tersebut ke masa yang lebih tua.
Hal senada juga dikemukakan oleh H.G Bandi dan W. Rothpletz. Mereka lebih cenderung
menarik masa budaya alat obsidian Bandung sebagai alat yang berasal dari masa berburu
dan mengumpulkan makanan. Pendapat ini tampak lebih kuat karena umumnya budaya
serpih oleh para ahli prasejarah selama ini lebih banyak dikaitkan dengan alat-alat masa

1
Hunian di dalam gua dari periode mesolitik atau dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
lanjut, antara lain ditemukan di Jawa Timur: Gua Lawa, Song Keplek, Song Terus, Gua Prajekan, Gua
Tuban, Gua Marjan, dan Gua Sodong, di Jawa Tengah: Gua Braholo (Soejono, 1984:132-135; Simanjuntak,
1999:12).
12

berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Masa budaya yang demikian
seringkali disebut sebagai masa mesolitik (Soejono 1984), prekeramik (Belwood 1985),
atau preneolitik (Simanjuntak 1993), yaitu satu era budaya dimana masyarakat
pendukung budaya tersebut sudah mulai mengembangkan kehidupan menetap (semi –
sedentaire), baik untuk sementara maupun untuk waktu yang agak lama dengan
memanfaatkan gua-gua atau ceruk yang tersedia di alam dimana mereka melangsungkan
kehidupan dan budayanya. Secara kronologi budaya tersebut diperkirakan berkembang
dari akhir Plestosen dan mengalami puncak perkembangan pada awal Holosen. Latar
belakang kehidupan masyarakat prasejarah yang telah memanfaatkan gua sebagai tempat
hunian di sekitar tepian Danau Bandung Purba ini mulai terungkap dengan ditemukannya
Gua Pawon di kawasan bukitgamping (karst) Gunung Masigit, yang terletak di kawasan
bagian barat Danau Bandung Purba.
Dapat dicatat sampai sekarang, indikasi hunian prasejarah yang berlangsung pada
periode Plestosen Akihir-Awal Holosen di kawasan Jawa Barat baru ditemukan di Gua
Pawon, dan baru sebagian kecil terungkapkan. Hal ini terjadi karena penelitian di gua
tersebut belum secara intensif dilakukan. Keberadaan temuan manusia yang ditemukan
dari kegiatan ekskavasi di Gua Pawon sampai sekarang belum teranalisis secara spesifik,
penggalian (ekskavasi) masih terbatas, sehingga bagaimana pola aktivitas atau pola pola
hunian yang berlangsung di dalam gua saat itu belum bias terungkapkan. Untuk
menjawab hal tersebut ke depan perlu dilakukan perluasan kotak-kotak ekskavasi secara
horizontal yang dibuka dengan kedalaman temuan yang sudah ditemukan sebelumnya.
Pengungkapan kehidupan prasejarah dari periode akhir Plestosen – awal Holosen
di Gua Pawon tentunya tidak mudah dilakukan, mengingat seluruh kandungan manusia
dan budaya dari era yang demikian tidak berada di permukaan tanah yang dengan mudah
untuk diamati, akan tetapi seluruhnya terpendam di bawah permukaan tanah, dan untuk
mengamatinya harus melalui serangkaian kegiatan ekskavasi yang dilakukan secara
vertikal, dan horizontal, dilakukan secara bertahap, dan dilakukan dengan hati-hati
sehingga berbagai temuan yang terkait dengan hal itu dapat ditemukan untuk dianalisis.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini tentunya tidak dapat dilakukan
dalam waktu singkat melainkan membutuhkan waktu yang panjang. Di samping
penemuan benda-benda arkeologis, juga dibutuhkan penguatan dinding-dinding kotak
ekskavasi dengan membuatkan konstruksi tambahan, sehingga bahaya keruntuhan
dinding dapat dihindari. Oleh karena itu penelitian ini direncanakan dalam kurun waktu
3 (tiga) tahun.
13

Selama rentang waktu tiga tahun penelitian direncanakan perluasan dan


pendalaman kotak ekskavasi yang disertai dengan berbagai analisis arkeologis,
pertanggalan karbon 14C, dan analisis arkeo-odontologi. Pada Tahun pertama direncakan
pembukaan kotak T1U1 dan T1S1, Kemudian pada tahun kedua direncanakan untuk
pendalaman dan perluasan kotak ekskavasi ke kotak T2U1 dan T2S2 dengan harapan
lebih banyak lagi temuan yang dapat direkam baik temuan yang terkait dengan budaya,
maupun manusia pendukung budayanya. Di tahun kedua, selain melanjutkan kegiatan
ekskavasi, juga direncanakan analisis spesifik yang didukung oleh kegiatan laboratorium,
seperti laboratorium mikro untuk menganalisis sisa makanan dari calculus (plak) yang
terdeposisi di gigi rangka-rangka manusia yang ditemukan di Gua Pawon. Sedangkan
pada tahun ketiga, selain kegiatan lapangan berupa kegiatan penuntasan ekskavasi Kotak
T2U1, T2S1, T3U1, T3S1. Dalam kegiatan ini juga akan dilakukan analisis spesifik
terkait objek temuan lapangan sehingga nantinya hasil penelitian dapat disuguhkan lebih
komprehensif kepada masyarakat.

1.2 Riwayat Penelitian


Gua Pawon terletak di kawasan batugamping Desa Gunung Masigit, Kecamatan
Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. 25 kilometer di sebelah barat Kota Bandung. Secara
geologis gua-gua di Gunung Pawon termasuk dalam kelompok gua tebing, berada pada
ketinggian sekitar 716 meter di atas permukan laut. Di sisi sebelah utara gua terdapat
aliran sungai Cibukur dan hamparan perbukitan dan dataran yang cukup luas yang saat
sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai perkebunan dan lahan persawahan.
Berdasarkan peta geologi kuarter Lembar Cianjur, kawasan ini termasuk dalam kawasan
Formasi Rajamandala, yang sebagian besar terdiri dari gugusan batugamping pejal dan
batugamping berlapis. dengan kandungan foraminifera (Sudjatmiko 1972).
Sampai saat ini, situs Gua Pawon merupakan satu-satunya penemuan arkeologis
yang terkait dengan pemanfaatan gua sebagai tempat hunian pada masa prasejarah di
kawasan pulau Jawa bagian barat pada umumnya, dan di kawasan tepian Danau Bandung
Purba khususnya. Kegiatan ekskavasi di sektor selatan, telah berhasil mengumpulkan
beberapa temuan budaya berupa alat serpih, alat tulang berbentuk lancipan dan spatula,
fragmen tulang hewan, moluska, dan kubur, yang memberikan indikasikan bahwa Gua
Pawon di masa lalu pernah digunakan sebagai tempat hunian dan penguburan dari periode
budaya berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut yang masih perlu dicari posisi
14

kronologisnya, terutama bila dikaitkan dengan budaya masa akhir Plestosen-awal


Holosen di Nusantara .
Penemuan gua-gua di Gunung Pawon yang terletak di kawasan batugamping
Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat atau dalam skala
kawasan yang lebih luas berada di bagian barat Dataran Tinggi Bandung yang
melingkungi kawasan Danau Bandung Purba. Gua tersebut merupakan penemuan baru
dalam kegiatan penelitian prasejarah yang pernah dilakukan di daerah Jawa bagian barat.
Penelitian terhadap gua-gua yang terdapat di kawasan Jawa bagian barat (kawasan selatan
Garut, Ciamis dan Tasikmalaya), yang telah dilakukan selama ini, belum menemukan
adanya gua-gua yang memiliki indikasi pada hunian dari periode hunian yang lebih tua
(Agus 2003).
Kawasan Gunung Pawon, dari sisi pengetahuan secara umum bukanlah
merupakan satu penemuan baru. Tahun 1950, Benthem Jutting pernah menjadikan
kawasan itu sebagai salah satu lokasi kajian moluska non-marine. Pada waktu penelitian
tersebut tercatat 9 jenis moluska non-marine ditemukan di kawasan itu (Jutting 1950).
Dalam beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1959 oleh Koesoemadinata kawasan
Bukit Pawon, termasuk Gua Pawon juga pernah tercatat sebagai bagian dari survei
geologi. (Koesoemadinata 1959).
Pengungkapan kembali Gua Pawon terjadi setelah Kelompok Riset Cekungan
Bandung (KRCB) melakukan survei dan pemetaan geologi di kawasan Gua Pawon dan
kawasan sekitar pada bulan Mei 1999. Pada saat itu Tim KRCB membuat galian
memanjang membelah bagian tengah Gua Pawon. Dari jejak penggalian yang mereka
lakukan walaupun telah menghasilkan beberapa indikasi penting dari budaya masa lalu
berupa temuan serpihan obsidian, rijang, dan tulang, serta moluska, hampir saja
menghancurkan temuan penting dari Gua Pawon karena hampir mendekati kedalaman
dimana manusia pawon ditemukan. Sejak penemuan tersebut penanganan penelitian
arkeologi di kawasan Gua Pawon ditangani oleh tim dari Balai Arkeologi Bandung.
Penelitian (ekskavasi) arkeologi di Gua Pawon antara lain telah dilakukan oleh
Balai Arkeologi Bandung yang sekarang berubah nama menjadi Balai Arkeologi Jawa
Barat, yaitu pada bulan Juli dan Oktober (2003), Mei (2004), Oktober (2005), April 2009,
Agustus 2010, Juni 2013, April 2014, Mei 2017, Mei 2018, dan Mei 2019. Selain
penelitian oleh Balai Arkeologig sendiri, penelitian/ekskavasi di Gua Pawon juga
dilakukan Balai Arkeologi Bandung bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Peninggalan
Purbakala, Sejarah dan Nilai Tradisional Propinsi Jawa Barat, pada April 2004, serta
15

penelitian yang dilakukan dengan pengawasan langsung Balai Arkeologi dalam rangka
pratikum arkeologi mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Pajajaran pada April 2012.
Sampai sekarang dari kegiatan penelitian tersebut telah dilakukan pembukaan 11 kotak
ekskavasi di Gua Pawon, Sementara di gua lain yang berdekatan lokasi adalah ekskavasi
di gua Gunung Tanjung, 2009, Gua Parebatu pada 2010, dan pada tahun 2011 yaitu
ekskavasi di ruang-ruang gua yang termasuk dalam gugusan Gua Ketuk, yaitu di Ruang
3, Ruang 4, serta Gua Ketuk Ujung yang masih berada satu kompleks dengan Gua Pawon.
Penggalian tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengalian terpilih
(selective excavation) yang dilakukan pada lantai gua yang relatif utuh di masing-masing
gua (Yondri 2019b).
Pembukaan kotak ekskavasi di situs Gua Pawon sampai sekarang masih dalam
proses penelitian. Sampai bulan Mei 2018 telah berhasil dilakukan pembukaan 14 kotak
ekskavasi, 7 di antaranya ditempatkan di dalam ruang yang telah dilakukan survei
geomagnetiknya, dan 7 kotak lagi ditempatkan di ceruk bagian luar ruang kea rah utara
pembagian kuadran penelitian. Kotak-kotak yang telah dilakukan penggaliannya terdiri
dari kotak T2S2, T2S3, T2S4, T3S2, T3S3, T3S4, T1S1, T1U1, T2S1, T2U1, T3S1,
T3U1, T1U3, dan T2U3 (Yondri, 2003, 2004, 2005, 2009, 2010, 2011, 2012, 2017, 2018,
2019) (Yondri 2019b).
Penelitian pada tahun 2019 yang direncanakan untuk membuka kotak T2S1,
T2U1, T3S1, dan T3U1, karena keterbasan dana baru sebagian kedalaman yang berhasil
dibuka, dengan kedalaman rerata 1,5 m. Pendalaman ekskavasi dengan kedalaman rerata
3,20 m tidak dapat dilakukan, selain keterbatasan waktu dan anggaran, juga terhalang
oleh sebaran bongkahan besar blok batu gamping dari runtuhan atap. Sementara itu
rencana ekskavasi lanjutan pada tahun 2020 tidak dapat dilakukan karena wabah
pandemic Covid-19. Maka pada tahun 2020 kegiatan penelitian lapangan tahap III yang
tadinya ditujukan untuk melanjutkan pembukaan kotak ekskavasi T2S1, T2U1, T3S1, dan
T3U1 tidak dapat dilakukan, dan kegiatan dilanjutkan berupa analisis temuan fragmen
tembikar yang ditunjang oleh analisis laboratoris dan analisis fragmen vertebrata hasil
ekskavasi tahun 2019.

1.3 Rumusan Masalah


Seperti yang telah diuraian di bagian pendahuluan, pada tahun kedua,
direncanakan untuk pendalaman dan perluasan kotak ekskavasi dengan harapan lebih
16

banyak lagi temuan yang dapat direkam baik temuan yang terkait dengan budaya, maupun
manusia pendukung budayanya.
Perluasan kotak ekskavasi secara horizontal tersebut ditujukan untuk menjawab
permasalahan tentang bagaimana pola pemanfaatan dan aktivitas budaya yang
berlangsung di situs Gua Pawon pada periode Akhir Plestosen-awal Holosen. Penemuan
artefak sejenis melalui serangkaian kegiatan ekskavasi perlu dilakukan sehingga nantinya
dapat menjawab dua permasalahan mendasar terkait deposisi budaya masa lalu di Gua
Pawon, antara lain;
1. Bagaimana bentuk pemanfaatan situs Gua Pawon pada masa akhir Plestosen-
Awal Holosen, apakah digunakan hanya sebagai tempat penguburan seperti
yang telah ditampakkan oleh penelitian sebelumnya, atau juga memiliki
indikasi sebagai tempat hunian, atau campuran sebagai gua yang multi fungsi.
2. Bagaimana bentuk tinggalan budaya yang terdeposisi di kedalaman yang sama
dengan temuan kubur dan jejak budaya sebelumnya, terutama yang berada di
lapisan budaya dengan rentang waktu antara Plestosen Akhir-Awal Holosen
di Gua Pawon di kotak T2U1, T2S1, T3U1, dan T3S1 yang belum selesai
proses ekskavasinya.
Secara keseluruhan dari rencana penelitian prasejarah di Gua Pawon dengan
mengusung tema Manusia dan Budaya Masa Plestosen Akhir- Awal Holosen ini. Di
harapkan dari kegiatan ekskavasi lanjutan yang dilakukan di kotak T2U1, T2S1, T3U1,
dan T3S1 proses pengumpulan data dapat diselesaikan dan pada akhir penelitian dapat
diungkapkan tentang ragam aktivitas yang pernah berlangsung atau pernah dilakukan
oleh manusia yang menghuni Gua Pawon pada masa lalu, baik dalam kaitannya dengan
aktivitas yang berkaitan dengan okupasi; ragam artefaktual yang digunakan, pola
konsumsi: pola penguburan; kaitan manusia dengan lingkungan pada masa lalu, serta
tentang keberadaan manusia pendukung budaya sendiri. Sehingga nantinya dapat disusun
satu uraian yang komprehensif tentang Manusia dan Budaya Prasejarah era Plestosen
Akhir-Awal Holosen di Gua Pawon.

1.4 Nilai Kebaruan


Penelitian tahap III di Gua Pawon yang dilakukan pada tahun 2021 ini merupakan
tahap akhir dari rangkaian penelitian multy year di situs Gua Pawon. Pada penelitian
tahap III ini akan dilakukan penyelesaian ekskavasi kotak-kotak tersebut hingga
kedalaman ekskavasi yang sama dengan kotak-kotak sebelumnya. Hal ini dilakukan
17

dengan tujuan untuk mendapatkan keberadaan temuan yang berkaitan dengan keberadaan
manusia dan budaya yang berlangsung di Gua Pawon pada era Plestosen Akhir-Awal
Holosen yang terdeposisi di setiap spit penggalian hingga sampai batas kedalaman yang
sama dengan kotak sebelumnya yaitu 3,2 m. Dari hasil penelitian tahap akhir ini
diharapkan dapat disuguhkan data tentang tahapan budaya preneolitik atau mesolitik
secara komprehensif, dan menjadi dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya di
gua-gua yang belum tersentuh oleh penelitian arkeologi di kawasan kars Citatah,
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

1.5 Kerangka Pikir


Kehadiran manusia di bumi hingga sekarang ini telah mengalami proses panjang.
Proses tersebut menyangkut perubahan fisik dan budaya. Hingga sekarang, teori tentang
proses perubahan fisik manusia (evolusi) tetap mengalami perubahan. Perubahan
terhadap teori tersebut terjadi karena adanya fakta-fakta baru. Fakta baru inilah yang
dapat memunahkan teori lama (Jakob 1969). Sejalan dengan proses evolusi, manusia juga
mengalami migrasi. Teori tentang migrasi manusia antara lain menyatakan bahwa ketika
terjadi glasiasi, terbentuk suatu jembatan daratan yang sangat luas di paparan Sunda yang
menghubungkan daratan Asia dengan beberapa pulau di Indonesia bagian barat, seperti
Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan hasil kajian geologi disimpulkan bahwa
kawasan Jawa Barat, terbentuk lebih awal dan secara kronologi lebih tua dibandingkan
kawasan bagian tengah dan timur, karena dari hasil studi geologis diketahui bagian ini
terangkat dari permukaan laut lebih dahulu dari pada Jawa Tengah dan Jawa
Timur(Semah 1990). Dan bila dikaitkan dengan jalur migrasi budaya, manusia dan fauna
dari daratan Asia ke kawasan Nusantara khususnya Jawa di masa prasejarah, maka sangat
memungkinkan dapat ditemukan juga bukti-bukti kehadiran manusia purba di Jawa Barat.
Walaupun jejak-jejak kehidupan purba masih sedikit ditemukan, akan tetapi sisa
budaya dari periode yang kemudian tampak lebih banyak ditemukan. Hal ini antara lain
dibutikan dari hasil survei yang dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald (1935) di
kawasan Jawa Barat, terutama di daerah-daerah dataran tinggi di kawasan Bandung
(Danau Bandung Purba) telah berhasil dikumpulkan sejumlah besar alat-alat budaya masa
lalu berupa alat-alat obsidian, kalsedon, rijang, andesit dan lain sebagainya. Beberapa ahli
menyimpulkan temuan-temuan ini dikategorikan sebagai alat-alat budaya yang dimiliki
oleh manusia masa preneolitik atau budaya yang berlagsung pada era Plestosen Akhir-
Awal Holosen. Dengan mengkaitkan temuan tersebut dengan tingkat budaya hunian
18

manusia masa prasejarah, tentunya budaya tersebut didukung oleh manusia yang sudah
mulai hidup menetap atau sementara di gua-gua atau ceruk yang seringkali dijumpai di
kawasan perbukitan gamping.
Pemanfaatan ruang gua sebagai tempat berkativitas pada masa prasejarah di
antaranya telah dikemukakan oleh (Heekeren 1972) yang secara umum membedakan
menjadi tiga kelompok, 1) sebagai tempat aktivitas domestik, 2) tempat penguburan, dan
3) gabungan dari 1 dan 2. Berdasarkan hasil temuan kubur di dalam gua selama ini, lokasi
yang dijadikan sebagai tempat penguburan cenderung memilih bagian atau ruang gua
tertentu yang agak terisolasi dan dekat dengan dinding gua (Chia, Yondri, dan
Simantunjak 2011). Berdasarkan pengamatan terhadap penempatan kubur di Gua Pawon,
menunjukkan bahwa ruang yang dipergunakan sebagai tempat pelaksanaan penguburan
pada saat itu adalah ruang yang paling dalam, terletak di bagian paling selatan. Ruang
tersebut tidak memiliki lorong penghubung dengan ruang yang lain, dan hanya memiliki
satu pintu masuk dari sisi sebelah utara. Bila dikaitkan dengan bentuk rekonstruksi gua,
dapat dikatakan ruang pengburan tersebut terletak agak terisolir, kurang mendapat
cahaya, dan kemungkinan di masa lalu pada saat penguburan dilakukan, ruang tersebut
jarang digunakan sebagai tempat beraktivitas oleh penghuni gua. Rangka-rangka
ditemukan lebih kurang pada jarak 30 cm dari ujung bongkahan batu gamping yang
terbentuk di lantai gua. Tujuh rangka manusia telah ditemukan di Gua Pawon, terletak
secara stratigrafis dalam lintasan waktu yang termasuk kurun Plestosen Ahkir – Awal
Holosen dengan rentang pertanggalan karbon (14C) antara 5600+ 170 BP- 11778+ 650
BP (Yondri 2019a). Rentang pertanggalan ini tentunya dapat dijadikan sebagai pemandu
dalam pengembangan penelitian atau ekskavasi secara horizontal yang akan
dikembangkan untuk melihat ragam aktivitas manusia masa lalu di Gua Pawon.
Oleh karena ekskavasi di situs Gua Pawon sampai saat ini masih lebih banyak
mengungkap aktivitas penguburan dengan temuan manusianya, sesuai dengan lokasi
yang di ekskavasi selama ini, dan penelitian selama ini belum dilakukan secara intensif,
sehingga sekarang masih banyak permasalahan yang belum terungkapkan dari temuan
Gua Pawon tersebut. Berkaitan dengan permasalahan di atas, pada penelitian prasejarah
tahun 2019 di Gua Pawon sebagai kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang
mengusung tema Manusia dan Budaya Masa Plestosen Akhir- Awal Holosen tersebut di
tahun ini akan dilakukan serangkaian ekskavasi secara horizontal di areal sebelah utara
penemuan rangka Manusia Pawon I, III, IV, V, VI, dan VII, yang ditujukan untuk melihat
19

ragam aktivitas manusia dan budaya selain kegiatan penguburan yang terdeposisi di
dalam lapisan tanah di Gua Pawon.
Untuk mendukung hal tersebut, selain pengummpulan data di lapangan melalui
serangkaian kegiatan ekskavasi secara vertikal, juga dibutuhkan berbagai analisis
laboratoris terhadap temuan-temuan artefaktual yang ditunjang oleh analasisi di
laboratorium, sehingga rangkaian keberadaan manusia dan budaya era Plestoses Akhir-
Awal Holosen yang berlangsung pada masa lalu di Gua Pawon dapat dipaparkan secara
lebih komprehensif.
1.6 Metodologi
Hakekat data arkeologi yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya, memacu
kita berupaya keras untuk memperoleh, merekam dan menafsirkan data-data tersebut.
Semakin jauh rentang waktu dari sekarang, semakin terbatas data yang sampai ke masa
kini, begitu juga dengan data-data tentang budaya prasejarah, oleh karena itu untuk
menafsirkannya perlu diterapkan berbagai bentuk analogi. Dari analogi-analogi tersebut
nantinya diharapkan dapat dijelaskan tentang arti, fungsi, dan lain sebagainya dari benda-
benda arkeologi masyarakat pendukungnya.
Beralihnya kecenderungan penelitian arkeologi dari dimensi bentuk dan waktu
menjadi dimensi ruang, tetap saja memerlukan penjelasan yang relevan melalui analogi
tersebut. Walaupun harus diakui ketiga dimensi: bentuk, waktu dan ruang tidak dapat
dipisahkan begitu saja karena ruang merupakan bagian penting dari satu sistim
permukiman di masa lalu. Dalam melangsung kehidupan dan budayanya manusia selalu
mempertimbangkan dimensi ruang. Dalam hal ini perilaku manusia di dalam ruang
tersebut tidak berperilaku secara acak, melainkan berpola dan mengikuti pola-pola
tertentu (Hooder 1976).
Berkaitan dengan permasalahan di atas, penelitian prasejarah tahun 2018 di situs
Gua Pawon, penelitian ini akan berkaitan dengan dengan bagaimana manusia masa
lampau memanfaatkan ruang pada masa lalu. Dalam skala kecil karena penelitian ini akan
dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama dengan skala ruang Gua Pawon, dan
dalam skala yang lebih besar nantinya adalah gua-gua yang terdapat dalam kawasan Karst
Rajamandala.
Penelitian di situs Gua Pawon ini merupakan bagian dari penelitian yang
direncanakan dilakukan secara bertahap karena di kawasan karst Rajamandala ini
memiliki 30 titik tinggalan gua yang dicurigai pernah dimanfaatkan oleh manusia masa
lalu sebagai tempat hunian, dan sebagian di antaranya juga diduga digunakan sebagai
20

tempat melaksanakan ritual yang terkait dengan budaya penghuinian gua pada masa itu.
Untuk mencapai tujuan tersebut data yang digunakan adalah data dari ekskavasi dan hasil
kajian kepustakaan. Untuk itulah serangkaian cara kerja disusun secara bertahap yang
meliputi pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data.
Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan. Langkah ini
dilakukan dengan tujuan untuk menjaring atau mengumpulkan data yang berasal dari
sumber-sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian, dan laporan perjalanan yang
pernah menyinggung atau membahas objek penelitian. Penelitian kepustakaan tidak
hanya dilakukan saat kegiatan pralapangan tetapi kegiatan ini berlanjut hingga tahap
pengolahan dan penafsiran data.
Sumber-sumber tertulis tersebut, antara lain merupakan hasil penelitian geologi
dan biologi yang pernah dilakukan oleh para ahli. Hasil kajian geologi, dibutuhkan untuk
mengetahui sejarah geologi kawasan dan perubahannya. Sementara hasil kajian biologi
diperlukan untuk mengetahui jejak-jejak keterkaitan antara gua dan penghuniannya
dengan faktor lingkungan pada masa lalu.
Langkah kedua adalah penelitian lapangan atau pengumpulan data lapangan yaitu
dengan melakukan serangkaian kegiatan penggalian arkeologis (ekskavasi). Ekskavasi
yang dilakukan di Gua Pawon merupakan usaha pengumpulan informasi budaya (artefak
dan non artefak) yang tertimbun di dalam tanah. Berkaitan dengan hal tersebut lapisan
tanah atau stratigrafi dipandang sebagai hasil rangkaian proses budaya secara berselang
dari seluruh kehidupan ketika gua tersebut dihuni. Selanjutnya dilakukan deskripsi dan
analisis data.

1.7 Tujuan Penelitian


Penelitian lanjutan yang dilakukan di Gua Pawon yang termasuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat secara
arkeologis dimaksudkan untuk mengkaji lebih lanjut tentang latar belakang manusia dan
budaya prasejarah yang pernah berlangsung di Gunung Pawon, terutama yang berkaitan
dengan budaya yang berlangsung pada masa Plestosen akhir – Awal Holosen. Khususnya
ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah diajukan pada poin
permasalahan.
Penelitian arkeologi yang dilakukan di situs Gua Pawon juga merupakan bagian
dari penelitian arkeologi yang berbasis pelestarian. Seluruh hasil penelitian yang telah
dilakukan selain digunakan untuk meningkatkan pengetahuan masa lalu terkait budaya
21

prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan itu, juga nantinya dapat dijadikan sebagai
bahan kajian bandingan dari penelitian dengan tujuan yang sama yang dilakukan oleh
para peneliti prasejarah Indonesia di daerah yang lain. Mengingat temuan yang dihasilkan
di Gua pawon selama ini lebih kompleks dan lebih variatif jenis temuan budayanya.
Temuan hasil penelitian dan berbagai pengetahuan yang akan diungkapkan dan
telah diungkapkan selama ini di Gua pawon, tentunya juga sangat berguna untuk
pengembangan kajian arkeologi secara lintas disiplin, dan pengembangan Site Museum
yang sedang direncanakan pembangunannya oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini hasil
penelitian ini nantinya selain dapat menambah wawasan budaya masa lalu, siharapkan
juga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar Gua Pawon dengan
hadirnya Museum Pawon yang memamerkan hasil penelitian yang telah dilakukan
sebagai salah satu tujuan wisata di Jawa Barat.
Hasil penelitian prasejarah yang dilakukan di situs Gua Pawon juga diharapkan
dapat memperkaya ranah terbitan ilmiah baik yang tersuguh dalam bentuk artikel ilmiah,
juga menjadi bagian dari pengembangan pengetahuan di tingkat perguruan tinggi, serta
dalam muatan lokal di Jawa Barat.

1.8 Sumber Daya Peneliti


Penelitian arkeologi ini diketuai oleh Dr. Lutfi Yondri, M.Hum, dengan
melibatkan tenaga lainnya yang terdiri dari tenaga peneliti terdiri dari peneliti arkeologi,
ahli geologi (paleontologi), tenaga teknis yang membantu dalam kegiatan ekskavasi,
pendokumentasian kegiatan penelitian, serta tenaga lokal, dan tenaga informan.
No Spesialisasi Kontribusi dalam penelitian
Memimpin kegiatan penelitian
Menganalisis temuan ekskavasi
Dr. Lutfi Yondri, M.Hum
1 Mengolah data hasil penelitian
(Ketua Tim)
Merangkum data hasil penelitian
Menyusun laporan hasil penelitian
Menganalisis temuan ekskavasi
Nurul Laili, S.S Mengolah data hasil penelitian
2
Tenaga Arkeologi Peneliti Merangkum data hasil penelitian
Membantu penyusun laporan hasil penelitian
Benyamin Perwira Shidqi, Menganalisis temuan vertebrata
3 S.T.Ahli Paleontologi Merangkum temuan vertebrata
Membantu penyusun laporan hasil penelitian
22

Tenaga Arkeologi Non Peneliti Membantu menganalisis temuan ekskavasi


Azhar Rachman, S.S Membantu mengolah data hasil penelitian
4 Katrynada Jauharatna, S.S Membantu merangkum data hasil penelitian
Garby Cipta Perdana, S.Hum Membantu penyusun laporan hasil penelitian
Dani Sunjana, S.S
Melaksanakan kegiatan pendokumentasian
temuan hasil penelitian
Teknisi / dokumentasi Melakukan kegiatan pengukuran temuan,
5
Irwan Setiawidjaja, S.Ds Membuat dokumentasi fotografi artefak dan
seluruh kegiatan penelitian
Membantu penyusun laporan hasil penelitian
Tenaga administrasi Menyusun laporan adminstrasi penelitian
Dede Saripudin Membantu setiap kagiatan dokumentasi,
6
Irfan Alamsyah penanganan temuan

Membantu kegiatan ekskvasi


Pembantu Umum
8 Melaksanakan pembersihan temuan
Dadan
Membantu Mengkatalogisasi temuan

Tabel 1. Susunan Tim Penelitian 2021


23

BAB II
GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN

2.1 Kawasan Karst Rajamandala


Berdasarkan peta geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), dapat dilihat
berbagai bentuk formasi batuan penyusun kawasan karst Rajamandala termasuk di
dalamnya lokasi penelitian yang berada dalam wilayah administrsi Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat (Gambar 1).
Formasi kawasan ini terbagi atas dua bagian. Pertama diberi kode omc dengan
anggota lempung, napal, batu pasirkuarsa (1150 m). Terdiri dari lapisan lempung
berwarna abu-abu tua sampai hitam, lapisan napalan, napal globigerina, batupasir kuarsa,
dan konglomerat kerakal kuarsa. Mengandung lembar-lembar mika, jalur-jalur batu bara
dan ambar. Kedua dengan anggota bagugamping (karst) (0-650m), merupakan
batugamping pejal dan batu gamping berlapi, kebanyakan berwarna muda dengan
foraminifera besar berlimpah. Formasi dengan satuan batugamping (karst) terhampar dari
barat ke timur, dan di beberapa tempat membentuk kelompok-kelompok perbukitan
batugamping. Oleh masyarakat lokal bukit-bukit gamping ini kemudian disebut sebagai
pasir (bukit). Menurut Tsauri, kawasan karst merupakan formasi batugamping yang telah
mengalami proses pelarutan (Tsauri, 1996). Akibat dari proses pelarutan kemudian akan
membentuk gua-gua, rekahan atau percelahan di bawahnya dimana satu sama lainnya
kadang-kadang bersatu dan membentuk suatu sistim aliran sungai bawah tanah.
Gua berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Renault (1970) menyebutkan
bahwa gua adalah lubang atau rongga yang terbentuk di dalam tanah dan di luar
permukaan tanah, terdapat pada lereng-lereng bukit dan gunung atau pada tebing-tebing
yang curam dan terjal di tepi sungai, danau dan laut. Gua merupakan hasil proses
ekosistem antara alam dan lingkungannya, yang terjadi sebagai akibat gejala geologis dan
kimiawi yang berlangsung selama jutaan tahun. Pada masa kemudian gua-gua memiliki
nilai-lai yang sangat penting bagi ilmu kebumian umumnya dan kajian arkeologi
khususnya.
Pembentukan gua-gua dan ceruk di kawasan karst dapat saja terjadi pada saat karst
tersebut masih berada di bawah permukaan laut. Akibat adanya kegiatan tektonik
kemudian menyebabkan batuan tersebut muncul ke permukaan dan kemudian
diantaranya ada yang mengalami gangguan struktur geologi berupa sesar normal, kekar
lembaran dan kekar tiang.
24

Dari adanya proses alam tersebut dapat dilihat berbagai bentuk gua. Gua-gua yang
terbentuk pada kekar tiang umumnya memiliki ruang yang sempit, atap tinggi dan secara
horizontal tidak terlalu panjang. Di gua-gua tersebut biasanya banyak ditemukan stalagtit,
stalagmit, dan sinter yang merupakan gabungan antara stalagtit dan stalagmit. Berbeda
halnya dengan gua kekar lembaran, gua-gua yang terbentuk secara horizontal dapat
memiliki ruang yang luas dan panjang akan tetapi memiliki atap yang pendek. Stalagtit,
stalagmit ataupun sinter pada gua kekar lembaran ini jarang dijumpai atau bahkan tidak
ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena air sebagai mediator utama tidak langsung
dapat mencapai atap, tetapi bergerak secara horizontal sesuai dengan arah rekahan.
Disamping itu, di kawasan karst tersebut juga ada yang menyebutnya dengan
istilah gua tebing karena terletak di dinding perbukitan yang agak vertikal dan curam.
Mungkin gua ini terbentuk sebagai akibat pelarutan dan perekahan yang terjadi kemudian
pada gua-gua kekar tiang setelah terangkat ke permukaan.
Gambar 1. Keletakan kawasan gamping (karts) Citatah pada Formasi Rajamandala (Sumber : Sudjatmiko, 1972)
: Kawasan gamping
25
Gambar 2. Detail sebaran karst Citatah di sebelah barat kawasan karst Rajamandala
(Sumber: KRCB, 2001)
26
27

2.2 Potensi Tinggalan Gua di Kawasan Karst Rajamandala


2.2.1 Karst Gunung Guha
Kawasan karst Gunung Guha secara administyratif termasuk dalam wilayah
administrasi Kabupaten Cianjur, berdasarkan peta geologi Lembar Cianjur Gunung Guha
berada di sebelah barat rangkaian perbukitan gamping Rajamandala. Berdasarkan hasil
penelitian lapangan, di kawsan ini saat sekarang tidak itemukan lagi adanya jejak-jejak
gua, walaupun berdasarkan toponim daerah tersebut dapat diartikan sebagai kawasan
yang memilki banyak peninggalan gua.
Tinggalan arkeologi yang bukan dari kelompok tinggalan gua yang terdapat di
sekitar kawasan ini adlah batu batu datar dan monolit yang oleh masyarakat setempat
disebut sebagai peninggalan laskar mataram waktu sekembali dari penyerangan ke
Batavia.

2.2.2 Karst Bagian Barat Sungai Citarum


Kawasan karst bagian barat sungai Citarum, secara administratif masih termasuk
dalam wilayah Kabupaten Cianjur atau merupakan bagian dari wilayah administrasi
Kecamatan Ciranjang. Di kawasan ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari
penduduk di masa lalu memiliki banyak tinggalan gua, terutama pada kawasan yang saat
sekarang sudah dijadikan sebagai kawasan penambangan batugamping.
Penelitian di kawasan karst bagian barat sungai Citarum tidak dapat dilakukan
secara menyeluruh karena saat sekarang kawasan ini sudah menjadi kawasan yang
tertutup dan hanya pemilik dan pekerja tambang yang boleh memasuki wilayah tersebut.
Pengamatan di bagian luar kawasan hanya menemukan ceruk-ceruk kecil yang saat
sekarang menjadi sarang burung walet, dan berdasarkan ukuran dan keletakannya sangat
tidak mungkin pernah digunakan oleh masyarakat masa lalu, baik sebagai tempat hunian
maupun sebagai tempat penguburan.
Pengamatan di bagian timur kawasan Karst Rajamandala, dilakukan di 4 buah
perbukitan, terdir dari Pasir Bancana, Pasir Tunjung, Pasir Masigit dan Pasir Pawon,
kesemuanya berada di sebelah utara jalan raya Cipatat, dan secara administratif termasuk
dalam wilayah administrasi Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung.

2.2.3 Karst Pasir Bancana


Pasir Bancana merupakan bagian dari perbutian gamping yang sat sekarang sudah
dalam keadaan tidak utuh atau rusak karena telah ditambang baik dalam bentuk
28

penambangan industri maupun dalam bentuk bentuk penambangan tradisonal yang


dilakukan oleh penduduk lokal. Pasir Bancana terletak di sebelah barat Pasir Tunjung,
dipisahkan oleh jalan yang menghubungkan jalan raya dngan kampung-kampung yang
berada di sekitar perbukitan dan perkebunan karet Nyalindung.
Saat sekarang sebagaian besar kawasan bukit atau Pasir Bancana sudah rusak
sebagai akibat penambangan. Dari hasil pengamatan lapangan, sisa-sisa gua di kawasan
Pasir Bancana hanya ditemukan di bagian puncak, yaitu berupa gua-gua kecil yang
dijadikan sebagai sarang burung walet. Wawancara dengan masyarakat setempat
diperoleh informasi bahwa sebelum kegiatan penambangan yang mulai ada sekitar 10
tahun, kawasan ini memiliki banyak tinggalan gua. Semua gua tersebut hancur karena
adanya penambangan batugamping dengan cara peledakan dengan menggunakan
dinamit.

2.2.4 Karst Pasir Tunjung


Pasir Tunjung merupakan bagian paling barat dari rangkaian perbukitan Pasir
Pawon dan Pasir Masigit. Walaupun kerusakan Pasir Tunjung tidak separah Pasir
Bancana, akan tetapi bagian bukit yang memiliki tinggalan gua juga sudah rusak sebagai
akibat dari penambangan. Sisa bagian dinding gua ditemukan di sisi bukit sebelah barat
dengan arah hadap ke arah barat laut. Dari hasil pengamatan permukaan, di bagian
tersebut saat sekarang sudah tidak ditemukan lagi sisa budaya masa lalu kecuali sedikit
sisa fauna. Berdasarkan pengamatan bagian permukaan gua sebagian besar tampak sudah
pernah digali.

2.2.5 Karst Pasir Masigit


Pasir Masigit berada di baian tengah antara Pasir Pawon dan Pasir Tunjung.
Diantara pasir-pasir yang ada di kawasan ini, Pasir Masigit merupakan bagian yang paling
parah dari kerusakan. Sisa-sisa gua sudah tidk ditemukan lagi. Satu-satunya bagian yang
masih dapat dijadikan simbol dari pasir ini adalah blok besar gamping di bagian puncak
bukit. Akan tetapi di bagian selatan blok tersebut kegiatan penambangan sedng
berlangsung tanpa dapat diketahui kapan akan berakhirnya.

2.2.6 Karst Pasir Pawon


Pasir Pawon yang berada di bagian paling timur, merupakan satu-satunya
kawasan perbukitan gamping yang dapat dikatakan masih utuh, walaupun beberapa
29

bagian bukit ada yang telah rusak sebagai akibat adanya aktivitas pnambangan pospat. Di
kawasan Karst Pasir Pawon ditemukan beberapa buah gua yang umumnya tersebar di
dinding sisi sebelah utara bukit. Dari hasil pengamatan sekitar perbukitan gamping
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tinggalan gua/ceruk hanya ditemukan di dinding sisi
sebelah utara. Gua/ceruk yang terdapat pada sisi ini, berurut dari arah timur ke barat
terdiri dari sebuah ceruk yang belum belum diberikan nama oleh penduduk setempat,
kemudian gua Ketuk, dan kompleks Gua Pawon. (termasuk dalam kesatuan ini adalah
Gua Peteng dan Gua Barong).
Secara garis besar kompleks gua Pawon, terdiri atas empat ruang yang masing-
masingnya dihubungkan oleh jalan masuk yang terdapat di bagian depan gua. Ruang
pertama terletak di sisi paling barat dengan ukuran ruang yang agak sempit. Oleh
penduduk setempat gua ini disebut sebagai Gua Barong. Panjang dari bagian mulut
hingga dinding gua paling belakang 7 m dan tinggi bagian mulut gua 2,4 m. Lantai gua
sebagai besar sudah terkikis (tererosi), sehingga membentuk kelerengan yang cukup
tajam ke arah barat daya. Dari hasil pengamatan, di bagian permukaan gua masih
dijumpai beberapa fragmen gerabah polos.
Ruang ke dua dari Gua Pawon adalah ruang yang memiliki bagian atap tembus.
Atap tembus tersebut dipersonifikasikan oleh masyarakat setempat sebagai sebuah
cerobong asap. Mungkin karena bentukan inilah kemudian kompleks gua tersebut
dinamakan Gua Pawon (bhs. Sunda Pawon = dapur). Bagian depan ruang du ini sangat
terbuka, dengan kondisi lantai yang sudah sangat rusak, sebagai akibat dari adanya
penambangan pospat oleh penduduk setempat. Dari jejak penggalian yang masih tersisa,
dapat diperkirakan bagian lantai ruang ini sudah terkikis lebih dari 2,5 m. Kegiatan
penggalian pospat yang dilakukan oleh penduduk setempat ini juga menyisakan sebuah
lorong yang mungkin dibuat untuk memudahkan pengangkutan tanah yang mengandung
pospat ke luar gua. Di bagian ruang ini, khususnya pada dinding tanah sisa penggalian
pospat, masih dapat dijumpai jejak-jejak budaya masa lalu berupa fragmen gerabah,
serpih, dan fragmen tulang binatang.
Ruang ke dua dan ruang ke tiga dihubungan oleh sebuah pintu yang terletak di
bagian dalam gua. Ruang ketiga komples Gua Pawon, berdasarkan pengamatan bentuk
dan ukurannya, dapat dikatakan bahwa ruang ke tiga merupakan ruang yang paling besar.
Ruang ke tiga memiliki 38 meter, lebar 16, dengan dua bagian mulut gua di sisi sebelah
utara. Di bagian tengah ruang terdapat sebuah bagian ruang yang masih tampak utuh dan
terletak menjorok ke arah dinding selatan gua. Sebagian besar lantai ruang ketiga,
30

terutama bagian depan (utara) gua sudah tererosi karena sebagian besar atap gua sudah
rubuh. Ruang tersebut menjadi terbuka sehingga air yang turun dari bagian atas, baik air
yang berasal dari dari lahan di bagian atas gua maupun air hujan, langsung jatuh dan
mengalir di permukaan lantai gua. Hal ini terjadi tidak hanya di bagian halaman tengah
ruang tiga tetapi juga terjadi pada lantai di bagian utara dan bagian timur. Bila bagian atap
gua yang runtuh tersebut dikembalikan kepada posisinya, dapat diperkirakan ruang itu di
masa lalu merupakan satu ruang yang ideal untuk menampung aktivitas manusia
penghuninya. Pengamatan secara geomorfologis dan geologis pada dinding gua sisi
sebelah barat menunjukkan adanya endapan abu yang kemungkinan berasal dari gunung
berapi. Pengendapan ini kemungkinan terjadi sebagai akibat dari terjadinya letusan
gunung berapi yang terletak di sisi utara Bandung yang diperkirakan selain mengasilkan
material yang cukup banyak sehingga mampu membendung aliran sungai Citarum purba
dan akhirnya membentuk Danau Bandung Purba (Bramantio dkk, 2000)
Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua lagi yang terletak
memanjang dengan orientasi utara selatan, dengan bagian mulut berada di sisi sebelah
utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan pohon yang
cukup besar, sehingga mengakibatkan pencahaan ke bagian dalam gua menjdi berkurang.
Mungkin karena kurangnya pencahaan itulah kemudian gua tersebut disebut oleh
masyarakat setemapt dengan nama Gua Peteng (Bhs. Sunda peteng berarti remang-
remang atau gelap). Agak ke timur dari Gua Pawon, pada jarak lebih kurang 100 meter,
terdapat sebuah gua lagi yang oleh penduduk setempat disebut Gua Ketuk. Gua tersebut
sampai sekarang jarang dikunjungi, dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh
semak yang cukup rapat.
Di bagian utara gua dengan perbedaan ketinggian yang berkisar antara 2,5 meter
hingga 7 meter terdapat hamparan dataran dan kawasan perbukitan bergelombang yang
cukup luas dan subur yang dibelah oleh aliran sungai Cibukur. Air dari aliran Sungai
Cibukur dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk keperluan irigasi, sedangkan untuk
kebutuhan sehari-hari, masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan mata-mata air
yang terdapat di sekitar perkampungan. Kawasan sekitar sungai dikerjakan oleh
penduduk setempat untuk persawahan dengan irigasi yang cucuk maju, karena lahan
tersebut berada lebih tinggi dari sungai. Untuk mengalirkan air sungai ke areal
persawahan penduduk setempat kadangkala menggunakan bantuan kincir air yang
dipasang di sisi aliran sungai dan juga aliran air yang bersumber dari mata air yang berasal
dari bagian kaki Pasir Pawon. Saat sekarang sebagian dari kawasan ada yang diolah oleh
31

masyarakat sebagai lahan pertanian dengan jenis tanaman seperti jambu biji, ubi kayu,
jagung dan sebagainya. Disamping bercocok tanam, sebagai mata pencaharian sampingan
sebagian penduduk, terutama laki-laki berkerja sebagai penambang batugamping dan
penambang pospat.
Berdasarkan pengamatan lingkungan di sekitar Pasir Pawon dapat dilihat bahwa
di kawasan tersebut selain terdapat Gua Pawon yang memilk potensi untuk
dikembangkan lebih lanjut baik untuk kepentingan penelitian, ternyata di lokasi tersebut
pada jarak yang berdekatan masih berada di gunung/pasir yang sama terdapat dua gua
lagi yang juga sangat memiliki potensi arkeologis untuk diteliti. Di sisi sebelah utara
terdapat Gua Peteng. Sementara itu, di sisi sebelah selatan terdapat satu gua dengan
ukuran yang cukup besar dilihat dari arah jalan raya. Sampai sekarang gua tersebut belum
terjamah oleh penelitian arkeologi.

2.3 Lokasi dan Lingkungan Gua Pawon


Gua Pawon merupakan sebuah gua yang terbentuk di kawasan bertopografi karst2
yang terletak dalam kawasan perbukitan formasi Rajamandala. Gua ini memanjang dari
timur ke barat dengan orientasi arah hadap ke sisi utara. Secara administratif kawasan
situs Gua Pawon termasuk dalam wilayah Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat,
Kabupaten Bandung, terletak lebih kurang 25 kilometer di sebelah barat Kota Bandung.
Secara geologis3, Gua Pawon termasuk dalam kelompok gua tebing4. Gua tersebut
berada pada ketinggian sekitar 716 meter di atas permukan laut, dan terletak di bagian
utara bukitgamping Pawon yang memiliki luas lebih kurang 9 hektar. Dari hasil
pengamatan sekitar perbukitan gamping tersebut, dapat disimpulkan bahwa tinggalan
gua/ceruk hanya ditemukan di dinding sisi sebelah utara. Gua/ceruk yang terdapat pada
sisi ini, berurut dari arah barat ke timur terdiri Gua Barong, Gua Peteng, Gua Pawon, dan

2
Topografi karst secara setempat-setempat dicirikan oleh kenampakan bukit-bukit berbentuk kerucut,
lembah antar bukit, serta ditemuinya lubang-lubang hasil pelarutan seperti gua kapur, dan bentukan depresi
karst berupa dolina, uvala maupun penyaluran bawah permukaan (Zuidam 1983, Ko, 1984, Soetoto 1986).
Dolina adalah lekukan atau cekungan yang kadangkala berisi air hingga membentuk telaga. Dolina sering
disebut juga dengan istilah sink hole, cockpit, blue hole, swalow hole atau cenote. Ulvala adalah lekukan
atau cekungan yang luas, merupakan gabungan dari beberapa dolina (Suharsono, 1988:49; Poerbo-
Hadiwidjojo, 1994:37).
3
Geologi adalah ilmu yang menguraikan sejarah dari bumi dan kehidupan, komposisi dari kulit bumi,
kondisi strukturnya, dan tenaga-tenaga yang mengatur evolusi yang mengambil peranan pada bumi (Katili
dan Marks, 1963)
4
Berdasarkan struktur geologi, Billing (1972) menyebutkan bahwa di daerah karst terbentuk dua jenis gua
yaitu gua kekar lembaran dan gua kekar tiang. Gua kekar lembaran memperlihatkan ruang yang luas dan
pendek, sedangkan gua kekar tiang memperlihatkan ruang yang sempit dan tinggi (Billing dalam Fadlan,
2001:37-38)
32

Gua Ketuk. Karena keterbatasan waktu penelitian, baru Gua Pawon yang teliti secara
maksimal, sementara gua-gua yang lain baru terbatas pada peneltian awal, bahkan seperti
Gua Peteng dan gua lain yang berada di sebelah selatan Gunung Pawon belum sempat
diteliti sama sekali.
Secara deskriptif, ukuran panjang Gua Pawon secara keseluruhan adalah 38 meter,
dengan lebar 16 meter dari bagian mulut/tebing gua ke bagian dinding terdalam. Secara
garis besar gua tersebut terdiri atas empat ruang yang masing-masing dihubungkan oleh
jalan masuk yang terdapat di bagian depan gua.
Ruang pertama. Ruang pertama di Gua Pawon terletak di sisi paling barat dengan
ukuran ruang yang agak sempit. Oleh penduduk setempat gua ini disebut sebagai Gua
Barong. Panjang dari bagian mulut hingga dinding gua paling belakang 7 meter dan tinggi
bagian mulut gua 2,4 meter. Sebagian besar lantai gua sudah terkikis (tererosi), sehingga
kelerengannya cukup tajam ke arah barat daya. Dari hasil pengamatan, di bagian
permukaan gua masih dijumpai beberapa fragmen gerabah polos.
Ruang kedua. Ruang kedua di Gua Pawon adalah bagian ruang yang memiliki
bagian atap tembus ke angkasa. Atap tembus tersebut dianggap oleh masyarakat setempat
sebagai sebuah cerobong asap. Mungkin karena bentukan inilah kemudian kompleks gua
tersebut dinamakan Gua Pawon (bhs. Sunda, Pawon = dapur). Bagian depan ruang ini
sangat terbuka, dan kondisi lantainya yang sudah sangat rusak, sebagai akibat
penambangan fosfat oleh penduduk setempat. Dari jejak penggalian yang masih tersisa,
dapat diperkirakan bagian lantai ruang ini sudah terkikis lebih dari 2,5 meter. Kegiatan
penggalian fosfat yang dilakukan oleh penduduk setempat ini juga menyisakan sebuah
lorong yang mungkin dibuat untuk memudahkan pengangkutan tanah yang mengandung
fosfat ke luar gua. Di bagian ruang ini, khususnya pada dinding tanah sisa penggalian
fosfat, masih dapat dijumpai beberapa artefak berupa fragmen gerabah, serpih, dan
fragmen tulang binatang. Ruang kedua dan ruang ketiga dihubungan oleh sebuah pintu
yang terletak di bagian dalam gua.
Ruang ketiga. Ruang ketiga di Gua Pawon berdasarkan pengamatan bentuk dan
ukurannya, merupakan ruang yang paling besar. Sebagian besar lantai ruang ketiga,
terutama bagian depan (utara) sudah tererosi karena sebagian besar atap gua sudah hilang.
Ruang tersebut menjadi terbuka sehingga air yang turun dari bagian atas, baik air yang
berasal dari dari lahan di bagian atas gua maupun air hujan langsung jatuh dan mengalir
di permukaan lantai. Hal ini terjadi tidak hanya di bagian halaman tengah ruang ketiga
tetapi juga terjadi pada lantai di bagian utara dan bagian timur.
33

Gambar 3. Bagian ruang Gua Pawon yang masih utuh, ditambang dan tertimbun runtuhan bagian atap gua (Sumber: Yondri, 2004)
34

Pengamatan secara geomorfologis 5 dan geologis pada dinding gua sisi sebelah
barat menunjukkan adanya endapan abu yang kemungkinan berasal dari gunung berapi.
Pengendapan ini kemungkinan terjadi sebagai akibat dari terjadinya letusan gunung
berapi yang terletak di sisi utara Bandung yang diperkirakan mengasilkan material yang
cukup banyak sehingga mampu membendung aliran Sungai Citarum Purba dan akhirnya
membentuk Danau Bandung Purba (Bramantio dkk, 2001:1-3).
Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua lagi yang terletak
memanjang dengan orientasi utara-selatan, dengan bagian mulut berada di sisi sebelah
utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan pohon yang
cukup besar, sehingga pencahayaan ke bagian dalam gua menjadi berkurang. Mungkin
karena kurangnya pencahayaan itulah gua tersebut disebut oleh masyarakat setempat
dengan nama Gua Peteng (bhs. Sunda peteng berarti remang-remang atau gelap). Agak
ke timur dari Gua Pawon, pada jarak lebih kurang 100 meter, terdapat satu gua lagi yang
oleh penduduk setempat disebut Gua Ketuk. Gua tersebut sampai sekarang jarang
dikunjungi, dan sebagian besar bagian mulut gua ditutupi oleh semak yang cukup rapat.
Di bagian utara gua dengan perbedaan ketinggian yang berkisar antara 2,5 meter
hingga 7 meter terdapat dataran dan kawasan perbukitan bergelombang yang cukup luas
dan subur yang dibelah oleh aliran Sungai Cibukur. Air dari aliran Sungai Cibukur inilah
yang kemudian dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk keperluan irigasi, sedangkan
untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan beberapa
mata air6 yang terdapat di sekitar kaki sebelah utara Pasir Pawon. Mata air yang masih
lancar mengeluarkan air sampai sekarang hanya tersisa dua sumber yaitu yang terletak
lebih kurang 50 meter dan 100 meter di sebelah timur Gua Pawon.
Sebagian di antara area di sebelah utara Pasir Pawon, selain digunakan untuk
bermukim, ada yang dimanfaatkan sebagai lahan persawahan dan kebun dengan jenis
tanaman seperti jambu biji, ubi kayu, dan jagung. Di samping bercocok tanam, sebagai
mata pencaharian sampingan sebagian penduduk, terutama laki-laki bekerja sebagai
penambang batugamping dan penambang fosfat.

5
Geomorfologi adalah kajian yang mendeskripsikan bentuk lahan dan proses-proses yang mempengaruhi
pembentukannya, serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuk lahan dan proses-proses dalam
tatanan keruangan. Geomorfologi mempunyai peranan untuk menjelaskan mengenai watak suatu bentuk
lahan, baik mengenai genesis, konfigurasi, proses yang terjadi, dan kaitannya dengan lingkungan
(Thornbury 1969, Hadisumarno 1985).
6
Mata air adalah aliran airtanah yang terkonsentrasi dan keluar sebagai arus air yang mengalir (Tolman,
1937)
35

BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN

7.1 Persiapan Penelitian


Kegiatan penelitian tentang Manusia dan Budaya Prasejarah Era Akhir Plestosen
- Awal Holosen Di Situs Gua Pawon - Jawa Barat pada tahun 2021 yang akan
dilaksanakan dari tanggal 15 September-9 Oktober 2021 merupakan ekskavasi tahap III
atau lanjutan dari kegiatan ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2019. Persiapan
penelitian dilakukan pada tanggal 8 September 2021 dengan menghadirkan seluruh
anggota tim penelitian. Tujuan dari kegiatan persiapan penelitian tersebut adalah untuk
penjabaran terkait tujuan penelitian, pembagian kerja, analisis yang diharapkan diperoleh
dari temuan ekskavasi yang akan dilakukan serta tentang teknis penelitian kepada seluruh
anggota tim penelitian.

Foto 1. Kegiatan pertemuan pembahasan persiapan pelaksanaan penelitian Bersama seluruh anggota
tim penelitian di Balai Arkeologi Jawa Barat tanggal 8 September 2021)

Pertemuan pembahasan persiapan penelitian tersebut dihadiri oleh seluruh


anggota tim penelitian terdiri dari Dr. Lutfi Yondri, M.Hum selaku ketua tim penelitian,
dan anggota tim penelitian yaitu Nurul Laili, S.S, Katrynada Jauharatna, S.S, Benyamin
Perwira Shidqi, S.T, Azhar, S.Hum, Irwan Setiagama, S.Ds, Dani Sunjana, S.S, Garby
Citra Perdana, S.Hum, Dede Saripudin, dan Dadan. Terkait dengan jumlah tenaga yang
terlibat dalam penelitian dan operasional di lapangan dengan jumlah tim yang turun
sebanyak 7 (tujuh) orang dilakukan dengan cara penjadwalan. Hal itu dilakukan karena
tenaga peneliti yang terlibat tidak dapat penuh dilapangan karena beberapa diantaranya
jadwal lapangan beririsan dengan jadwal penelitian yang lain. Adapun pengaturan jadwal
lapangan masing-masing anggota tim, sebagai berikut.
36

3.2 Koordinasi Kegiatan Penelitian dengan Dinas dan Lembaga Terkait


Sebelum pelaksanaan kegiatan ekskavasi, diawali terlebih dahulu dengan kegiatan
koordinasi. Koordinasi dengan dinas-dinas di lingkungan Pemerintahan Kabupaten
Bandung Barat seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, dan
instansi terkait di tingkat Kabupaten Bandung Barat dilakukan pada tanggal 13 September
2021. Sementara itu, koordinasi kegiatan dengan kepemerintahan di tingkat kecamatan
dan desa dilakukan pada14 September 2021 dilaksanakan oleh ketua tim penelitian,
tenaga administrasi, dan anggota lapangan terdiri dari Dr. Lutfi Yondri, M.Hum, Dede
Saripudin, dan Dadan.

Foto 2. Kegiatan Koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, 13
September 2021)
37

Tabel 2. Personil Dan Jadwal Lapangan Tim Gua Pawon 2021

TANGGAL PELAKSANAAN LAPANGAN


NO NAMA
SEPTEMBER OKTOBER
KOOR 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 1 2 3 4 5 6 7 8 9
DNS
13 14
1 Dr. Lutfi Yondri, M.Hum LUTFI
Nurul Laili, S.S
2
Katrinada J, S.S
3 Azhar Rachman, SS
Benyamin P.S, S.T
4
Dani
5 Garbi
Dede Saripudin DEDE
6
Irwan S. Ds
7 Dadan DADAN
38

3.3 Pelaksanaan Ekskavasi


Kegiatan ekskavasi di situs Gua Pawon mulai dilakukan pada tanggal 16 September
2021, yakni setelah kegiatan koordinasi dan persiapan lapangan dilakukan. Ekskavasi lanjutan
dalam rangka penelusuran tentang kehidupan manusia dan budaya akhir Plestosen-Awal
Holosen di Gua Pawon pada tahun 2021 merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan ekskavasi
T2U1, T2S1, T3U1 dan T3S1 pada tahun 2019, dan membuka perluasan kotak di sisi sebelah
timur yang termasuk dalam grid ekskavasi T4S1, dan T4S2 yang tidak muncul di grid
permukaan karena dinding gua yang cenderung melebar di bagian bawah permukaan.
Sementara itu, untuk memastikan keberadaan temuan di lapisan tanah bagian akhir
kedalaman kotak ekskavasi juga dilakukan pendalaman kotak ekskavasi kota T2S2, dan T3S2
hingga kedalaman 320 cm.

3.3.1 Ekskavasi Kotak T2U1


Pembukaan kotak T2U1 yang dilakukan dalam kegiatan ekskavasi 2021 merupakan
pendalaman kotak yang dibuka pada tahun 2019 dengan kedalaman akhir sekitar 235 cm yaitu
spit 41. Pembukaan kotak ekskavasi T2U1 dilakukan dengan tujuan menjajagi temuan yang
terdeposisi di dalam bagian ruang yang lebih terbuka di ruang Gua Pawon pada masa lalu yaitu
di bagian sebelah utara dari ruang ditemukan rangka manusia yang terkubur dengan posisi
terlipat dan beberapa sisa rangka yang merupakan bagian dari proses penguburan yang
berlangsung di Gua Pawon pada masa lalu. Lapisan tanah di kotak ini merupakan lapisan
lempung pasiran berwarna cokelat kekuningan mengandung kerikil dan kerakal.
Masing-masing spit penggalian dari kotak T2U1 dengan temuan yang berhasil ditemukan
di kedalaman spit penggalian sebagai berikut.

Kotak T2U1 Spit 42 /Urugan


Spit 42 di kotak ekskavasi T2U1 sebagian merupakan tanah urugan dari runtuhan
dinding sebelah utara kotak ekskavasi. Spit 42 digali hingga kedalaman 240 cm dari titik ukur.
Tanah pada spit ini merupakan tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang
bercampur dengan kerakal dan kerikil gamping.
39

Temuan pada spit


42/urugan terdiri dari residu fauna
dalam bentuk fragmen tulang,
benda yang belum teridentifikasi
gigi, dan batu yaitu 4 fragmen
tulang terbakar, 240 fragmen
tulang, 3 tulang teridentifaksi, 3
gigi, 17 batuan, dan 3 benda
Foto 3. Keadaan permukaan tanah spit 42 kotak T2U1
belum teridentifikasi.

Kotak T2U1 Spit 43


Spit 43 digali hingga kedalaman 245 cm dari titik ukur. Lapisan tanah masih
menunjukkan karakter lempung berpasir dengan warna cokelat kemerahan bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 43 terdiri dari fragmen tulang yang
dapat dikelompokan menjadi fragmen tulang yang dapat diidentifikasi spesies/familinya,
fragmen tulang terbakar (burned bones), serta fragmen tulang yang sulit diidentifikasi. Selain
itu ditemukan pula alat buat, moluska dan serpih obsidian. Rincian temuan dari spit 43 yaitu 42
fragmen tulang, 2 tulang teridentifikasi, 3 tulang terbakar, 1 perkutor, 2 obsidian, dan 1
moluska.

Kotak T2U1 Spit 44


Spit 44 digali hingga kedalaman 250 cm dari titik ukur. Lapisan tanah masih
menunjukkan karakter lempung berpasir dengan warna cokelat kemerahan bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 44 terdiri dari fragmen tulang yang
dapat dikelompokan menjadi fragmen tulang yang dapat diidentifikasi spesies/familinya,
fragmen tulang yang sulit diidentifikasi, fragmen tulang yang dimodifikasi menjadi alat, dan
gigi. Selain itu ditemukan pula alat serpih dan obsidian. Rincian temuan dari spit 44 yaitu 70
fragmen tulang, 11 fragmen tulang terbakar, 7 tulang teridentifikasi, 2 gigi, 1 moluska, 1 alat
tulang, dan 3 alat serpih.
40

Kotak T2U1 Spit 45


Spit 45 digali hingga kedalaman 255 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan
karakter lempung berpasir yang
bercampur dengan bongkahan
kerakal dan kerikil gamping.
Temuan pada spit 45 terdiri dari
fragmen tulang yang dapat
dikelompokan menjadi fragmen
tulang yang dapat diidentifikasi
spesies/familinya, fragmen tulang
Foto 4. Keadaan permukaan tanah spit 45 kotak T2U1, Sebagian
besar permukaan kotak tertutup oleh bongkahan batu gamping yang sulit diidentifikasi, dan
runtuhan atap gua
fragmen tulang terbakar, serta
ditemukan juga alat serpih. Rincian temuan dari spit 45 hasil pembukaan kotak ekskavasi T2U1
yaitu 3 fragmen tulang, 4 tulang teridentifikasi, 6 tulang terbakar, dan 1 alat serpih.
Kotak T2U1 Spit 46
Spit 46 digali hingga kedalaman 260 cm dari titik ukur. Lapisan tanah masih
menunjukkan warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit
46 terdiri dari fragmen tulang yang
dapat dikelompokan menjadi
fragmen tulang yang dapat
diidentifikasi spesies/familinya,
fragmen tulang yang tidak
teridentifikasi, dan gigi. Selain itu
ditemukan pula moluska dan serpih
Foto 5. Keadaan permukaan tanah spit 46 kotak T2U1.
obsidian. Rincian temuan dari spit
46 hasil pembukaan kotak ekskavasi T2U1 yaitu 30 fragmen tulang, 1 tulang teridentifikasi, 3
gigi, 2 alat serpih, dan 1 moluska.
41

Kotak T2U1 Spit 47


Spit 47 digali hingga
kedalaman 265 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan warna
merah kecokelatan dengan karakter
lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit
47 terdiri dari fragmen tulang yang
dapat diidentifikasi
Foto 6. Keadaan permukaan tanah spit 47 kotak T2U1dengan spesies/familinya, fragmen tulang
bongkahan batu gamping runtuhan atap gua
yang tidak teridentifikasi, gigi, batu,
dan serpih obsidian. Rincian temuan dari spit 47 hasil pembukaan kotak ekskavasi T2U1 yaitu
55 fragmen tulang, 6 tulang teridentifikasi, 2 gigi, 2 batuan, dan 1 obsidian.

Kotak T2U1 Spit 48


Spit 48 digali hingga kedalaman 270 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan
karakter lempung berpasir yang
bercampur dengan bongkahan
kerakal dan kerikil gamping. Temuan
pada spit 48 terdiri dari fragmen
tulang yang dapat diidentifikasi
spesies/familinya, fragmen tulang
yang tidak teridentifikasi, batu, dan
obsidian.
Foto 7. Spit 48 kotak T2U1 dan bongkahan batu gamping Rincian temuan hasil
runtuhan atap gua
ekskavasi spit 48 kotak ekskavasi
T2U1 yaitu 3 fragmen tulang, 1 tulang teridentifikasi, 1 batuan, dan 1 obsidian.
42

Kotak T2U1 Spit 49


Spit 49 digali hingga kedalaman 275 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 49 terdiri dari fragmen tulang dan
batu yang rinciannya yaitu 3 fragmen tulang, dan 1 batuan.

Kotak T2U1 Spit 50


Spit 50 digali hingga
kedalaman 280 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan warna
merah kecokelatan dengan karakter
lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan kerikil
gamping. Pada spit 50 tidak terdapat
temuan arkeologis apa pun. Foto 8. Keadaan akhir permukaan tanah spit 50 kotak T2U1

Kotak T2U1 Spit 51


Spit 51 digali hingga kedalaman 285 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil
gamping. Pada spit 51 ditemukan satu
fragmen tulang yang tidak
teridentifikasi.

Kotak T2U1 Spit 52


Spit 52 digali hingga
kedalaman 290 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan warna
Foto 9. Pembukaan spit 52 kotak T2U1 setelah merah kecokelatan dengan karakter
pembongkaran bongkahan batu gamping runtuhan atap gua
lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 52 terdiri dari fragmen
tulang yang dapat diidentifikasi spesies/familinya, fragmen tulang terbakar yang tidak
43

teridentifikasi, dan batu yang rinciannya yaitu 2 fragmen tulang terbakar, 1 tulang
teridentifikasi, dan 1 batuan.

Kotak T2U1 Spit 53


Spit 53 digali hingga kedalaman 295 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping, serta terdapat pula batu tuff. Pada spit 53 ditemukan
empat alat batu dan dua fragmen tulang yang tidak teridentifikasi.

Kotak T2U1 Spit 54


Spit 54 digali hingga kedalaman 300 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 54 terdiri dari fragmen tulang yang
dapat diidentifikasi spesies/familinya, fragmen tulang terbakar yang tidak teridentifikasi,
fragmen tulang yang tidak teridentifikasi, alat batu dan batu yang rinciannya yaitu 40 fragmen
tulang, 2 fragmen tulang terbakar, 1 tulang teridentifikasi, 5 batuan, dan 2 alat batu.

Kotak T2U1 Spit 55


Spit 55 digali hingga
kedalaman 305 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan warna
merah kecokelatan dengan karakter
lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit
55 terdiri dari fragmen tulang yang
tidak teridentifikasi, alat batu dan
batu yang rinciannya yaitu 1
Foto 10. Keadaan permukaan tanah spit 55 kotak T2U1
fragmen tulang, 1 batuan, dan 2 alat
batu.
44

Kotak T2U1 Spit 56


Spit 56 digali hingga kedalaman 310 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Pada spit 56 ditemukan satu fragmen tulang yang tidak
teridentifikasi dan tiga alat batu yang terbuat dari batu gamping.

Kotak T2U1 Spit 57


Spit 57 digali hingga kedalaman 315 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Pada spit 57 tidak ada temuan arkeologis yang
ditemukan dari pembukaan spit ekskavasi

Kotak T2U1 Spit 58


Spit 58 digali hingga
kedalaman 320 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan warna
merah kecokelatan dengan karakter
lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan
bongkahan batu gamping. Temuan
pada spit 58 terdiri dari batu, alat
batu, fragmen obsidian, dan hematit
Foto 11. Spit 58 kotak T2U1 dengan bagian akhir masih yang rinciannya yaitu 1 batuan, 1
terdapat bongkahan batu gamping dari runtuhan atap gua yang
masih mengandung sisa budaya masa lalu di Gua Pawon obsidian, 2 hematit, dan 1 alat batu.

Secara keseluruhan temuan hasil ekskavasi lanjutan melalui pendalaman penggalian di

kotak T2U1 ditabulasikan pada halaman berikut.


45

Tabel 3. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T2U1

JUMLAH
SPIT TEMUAN
42 270
43 51
44 95
45 14
46 37
47 66
48 6
49 4
50 0
51 1
52 4
53 6
54 50
55 4
56 4
57 0
58 5
46

3.2.2 Ekskavasi Kotak T2S1

Proses pendalaman ekskavasi di kotak T2S1 lebih berat dibandingkan proses

pendalaman ekskavasi di kotak T2U1 karena di bagian permukaan kotak terdapat bongkahan

besar batu gamping runtuhan bagian atap gua pada masa lalu. Proses pemecahan dan

pembongkaran bongkahan besar batu gamping tersebut sama seperti pemecahan dan

pembongkaran blok batu gamping lainnya dilakukan secara manual menggunakan pahat besar

dan palu dengan bobot 8 kg.

Foto 12,13 Persebaran bongkahan blok batu gamping yang menutupi area permukaan kotak ekskavasi dan
pemecahan dan pembongkaran blok batu gjamping secara manual
47

Secara keseluruhan pendalaman spit penggalian di kotak T2S1 diuraikan sebagai

berikut.

Kotak T2S1 Spit 38

Spit 38 dibuka sampai kedalaman 215 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
merupakan lapisan lempung pasiran berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerikil dan
kerakal serta akar tumbuhan. Temuan pada spit 38 didominasi oleh residu fauna berupa fragmen
tulang, gigi, dan moluska. Ditemukan pula fragmen batu. Rincian temuan dari spit 38 yaitu 40
tulang besar, 59 batuan, 4 gigi, 8 moluska, dan 100 tulang kecil.

Kotak T2S1 Spit 39


Spit 39 dibuka sampai kedalaman 220 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
merupakan lapisan lempung pasiran berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerikil dan
kerakal serta akar tumbuhan. Temuan pada spit 39 didominasi oleh residu fauna berupa fragmen
tulang dan gigi. Ditemukan pula fragmen batu serta obsidian. Rincian temuan dari spit 39 yaitu
10 tulang besar, 43 tulang kecil, 1 gigi, 12 batuan, dan 1 obsidian.

Kotak T2S1 Spit 40


Spit 40 dibuka sampai kedalaman 225 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
juga masih merupakan lapisan lempung pasiran berwarna cokelat kemerahan dengan campuran
kerikil dan kerakal serta akar tumbuhan. Temuan pada spit 240 terdiri dari residu fauna berupa
fragmen tulang, gigi, dan moluska. Temuan lain yang juga ditemukan adalah obsidian serta
fragmen batu yaitu 40 tulang kecil, 3 obsidian, 2 tulang besar, 2 moluska, dan 5 batuan.

Kotak T2S1 Spit 41


Spit 41 dibuka hingga kedalaman 230 cm dari titik ukur. Pada spit 41, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Temuan pada spit 41
juga didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna serta alat batu. Rincian temuan dari spit 41 yaitu 27
batuan, 35 tulang, 2 gigi, dan 1 moluska.
48

Kotak T2S1 Spit 42


Spit 42 dibuka hingga kedalaman 235 cm dari titik ukur. Pada spit 42, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Spit 42 diakhiri
dengan pengangkatan batu gamping berukuran besar yang diduga merupakan bagian dari atap
gua yang telah runtuh.

Kotak T2S1 Spit 43


Spit 43 dibuka hingga kedalaman 240 cm dari titik ukur. Pada spit 43, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Temuan pada spit 43
juga didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna serta alat serpih dan alat buat. Rincian temuan dari
spit 43 yaitu 2 perkutor, 13 fragmen tulang, 1 alat serpih, dan 1 obsidian.

Kotak T2S1 Spit 44


Spit 44 dibuka hingga
kedalaman 245 cm dari titik ukur. Pada
spit 43, tanah yang dikupas berwarna
cokelat kemerahan dengan karakter
lempung berpasir. Temuan pada spit 43
juga didominasi oleh sisa-sisa tulang
fauna serta alat serpih dan alat buat.
Rincian temuan dari spit 43 yaitu 2
perkutor, 13 fragmen tulang, 1 alat
Foto 14. Keadaan akhir permukaan tanah spit 44 kotak T2S1, serpih, dan 1 obsidian.
setelah pemecahan bongkahan batu gamping runtuhan atap
gua mengandung sisa budaya masa lalu di Gua Pawon

Kotak T2S1 Spit 44


Spit 44 dibuka hingga kedalaman 250 cm dari titik ukur. Pada spit 44, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Temuan pada spit 44
berupa tiga alat serpih dan dua fragmen tulang.
49

Kotak T2S1 Spit 45


Spit 45 dibuka hingga kedalaman 255 cm dari titik ukur. Pada spit 45, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Pada spit 45
ditemukan satu obsidian.

Kotak T2S1 Spit 46


Spit 46 dibuka hingga kedalaman 260 cm dari titik ukur. Pada spit 46, tanah yang
dikupas berwarna cokelat
kemerahan dengan karakter
lempung berpasir. Sebagian besar
permukaan spit penggalian tertutup
oleh bongkahan besar blok batu
gamping dari runtuhan atap gua.
Setelah dilakukan pendalaman
ekskavasi pada spit 46 tampak
bahwa temuannya didominasi oleh
Foto 15. Keadaan akhir permukaan tanah spit 46 kotak T2S1
sisa-sisa tulang fauna serta alat
serpih. Rincian temuan dari spit 43 yaitu 1 fragmen tulang, 3 alat serpih, dan 1 tulang
teridentifikasi.

Kotak T2S1 Spit 47


Spit 47 dibuka hingga kedalaman 265 cm dari titik ukur. Pelanjutan pendalaman spit
penggalian pada kotak ini harus dilakukan pemecahan dan pembongkaran bongkahan blok batu
gamping yang masih berlanjut dari spit sebelumnya.
Pada spit 47, tanah yang dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter
lempung berpasir. Temuan pada spit 47 juga didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna serta alat
serpih dan obsidian. Rincian temuan dari spit 47 yaitu 1 obsidian, 4 alat serpih, dan 1 tulang
teridentifikasi.
50

Kotak T2S1 Spit 48


Spit 48 dibuka hingga
kedalaman 270 cm dari titik ukur.
Pada spit 48, setelah
pembongkaran blok batu gamping
runtuhan atap gua tampak tanah
yang dikupas berwarna cokelat
kemerahan dengan karakter
lempung berpasir. Temuan pada
spit 48 juga didominasi oleh sisa-
sisa tulang fauna serta alat batu. Foto 16. Keadaan akhir permukaan tanah spit 48 kotak T2S1dan
sisa pemecahan bongkahan batu gamping
Rincian temuan dari spit 48 yaitu 1
fragmen tulang, 4 alat batu, 1 tulang teridentifikasi, dan 1 gigi.

Kotak T2S1 Spit 49


Spit 47 dibuka hingga
kedalaman 275 cm dari titik ukur.
Pada spit 49, tanah yang dikupas
berwarna cokelat kemerahan dengan
karakter lempung berpasir. Temuan
pada spit 49 juga didominasi oleh
sisa-sisa tulang fauna serta alat
serpih. Rincian temuan dari spit 49
yaitu 2 fragmen tulang, 5 alat serpih,
Foto 17. Keadaan akhir permukaan tanah lempung berpasir dan 2 tulang teridentifikasi.
warna kemerahan bagian akhir kedalaman spit 48 kotak T2S1

Kotak T2S1 Spit 50


Spit 50 dibuka hingga kedalaman 280 cm dari titik ukur. Pada spit 50, tanah yang dikupas
berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Temuan pada spit 50 juga
didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna serta obsidian. Rincian temuan dari spit 50 yaitu 1
obsidian, 3 fragmen tulang, 2 fragmen tulang terbakar, 1 tulang teriidentifikasi, dan 3 tulang
terbakar teridentifikasi.
51

Kotak T2S1 Spit 51


Spit 51 dibuka hingga
kedalaman 285 cm dari titik ukur.
Pada spit 51, tanah yang dikupas
berwarna cokelat kemerahan
dengan karakter lempung berpasir.
Pada kedalaman spit 51 masih
tersisa blok batu gamping sisa dari
runtuhan apa gua. Blok batu
gamping tersebut direncanakan
tetap pada posisi sebagai bukti dari Foto 18. Keadaan akhir Spit 51 kotak T2S1
keberadaan adanya runtuhan atap
gua pada masa lalu yang kemudian menutupi lapisan hunian dan budaya di Gua pawon. Pada
spit 51 ditemukan dua fragmen tulang.

Kotak T2S1 Spit 52


Spit 52 dibuka hingga kedalaman 290 cm dari titik ukur. Pada spit 52, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Temuan pada spit 52
juga didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna, obsidian, serta alat batu berupa pahat. Rincian
temuan dari spit 52 yaitu 1 obsidian, 1 pahat batu, 4 serpih, 3 fragmen tulang, 1 fragmen tulang
terbakar, 12 tulang teridentifikasi.

Kotak T2S1 Spit 53


Spit 53 dibuka hingga kedalaman 295 cm dari titik ukur. Pada spit 53, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Temuan pada spit 53
juga didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna, obsidian, serta alat batu. Rincian temuan dari spit
52 yaitu 1 obsidian, 3 alat batu, 5 fragmen tulang, 5 fragmen tulang terbakar, dan 1 tulang
teridentifikasi.
52

Kotak T2S1 Spit 54


Spit 54 dibuka hingga kedalaman 300 cm dari titik ukur. Pada spit 54, tanah yang dikupas
berwarna cokelat kemerahan
dengan karakter lempung berpasir.
Temuan pada spit 54 juga
didominasi oleh sisa-sisa tulang
fauna, kerakal batu tuff serta alat
batu. Rincian temuan dari spit 54
yaitu 1 batu tuff, 5 alat batu, 8
fragmen tulang, 2 tulang
teridentifikasi, dan 1 gigi rahang.
Foto 19. Keadaan spit 54 kotak T2S1 di antara kotak ekskavasi
lain di Gua Pawon

Kotak T2S1 Spit 55


Spit 55 dibuka hingga kedalaman 305 cm dari titik ukur. Pada spit 55, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Temuan pada spit 55
juga didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna serta alat batu yang terbuat dari bahan lokal berupa
bahan batu gampingan. Rincian temuan dari spit 55 yaitu 1 alat batu dari batu gamping, 1
fragmen tulang terbakar, dan 1 tulang teridentifikasi

Kotak T2S1 Spit 56


Spit 56 dibuka hingga kedalaman 310 cm dari titik ukur. Pada spit 56, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir. Pada spit 56
ditemukan satu fragmen tulang dan satu alat batu.
53

Kotak T2S1 Spit 57


Spit 57 dibuka hingga kedalaman
315 cm dari titik ukur. Pada spit 57, tanah
yang dikupas berwarna cokelat
kemerahan dengan karakter lempung
berpasir. Temuan pada spit 57 juga
didominasi oleh sisa-sisa tulang fauna,
alat batu dan sampel batuan yang diduga
terlapisi oleh mangan. Rincian temuan
dari spit 57 yaitu 15 sampel batuan
mangan, 2 alat batu, 4 serpih, 1 rahang Foto 20. Keadaan akhir kedalaman spit 57 kotak T2S1

bergigi, 2 fragmen tulang terbakar, dan 2


tulang teridentifikasi.

Kotak T2S1 Spit 58


Spit 58 dibuka hingga kedalaman 320 cm dari titik ukur. Pada spit 58, tanah yang
dikupas berwarna cokelat kemerahan
dengan karakter lempung berpasir.
Temuan pada spit 58 juga didominasi oleh
sisa-sisa tulang fauna, batu rijang dan
sampel batuan yang diduga terlapisi oleh
mangan. Rincian temuan dari spit 58 yaitu
1 sampel batuan mangan, 1 batu rijang, 4
fragmen tulang terbakar, dan 1 tulang
teridentifikasi.
Foto 21. Keadaan akhir kedalaman spit 58 kotak T2S1
di antara kotak penggalian di Gua Pawon

Jumlah temuan hasil penelitian yang ditemukan dari pendalaman penggalian masing-
masing spit yang dibuka di kotak ekskavasi T2S1 ditabulasikan di halaman berikut.
54

Tabel 4. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T2S1

SPIT TOTAL TEMUAN


38 211
39 67
40 52
41 65
42 0
43 17
44 5
45 1
46 5
47 6
48 7
49 9
50 10
51 2
52 22
53 15
54 17
55 3
56 2
57 26
58 7
55

3.2.3 Ekskavasi Kotak T2S2


Kegiatan penambahan kedalaman ekskavasi kotak T2S2 dilakukan untuk
menindaklanjuti kepastian keberadaan lapisan akhir dari kehadiran fragmen tulang binatang
yang berasal dari hewan buruan di lapisan tanah dengan kedalaman rata-rata 320 cm dari titik
ukur. Hal ini dilakukan karena di kotak T2S1 pada kedalaman tersebut sudah tidak ditemukan
fragmen-fragmen tulung binatang yang berasal dari luar hunian Gua Pawon. Di lapisan tanah
dengan kedalaman tersebut hanya ditemukan fragmen tulang binatang seperti tikus dan
kelelawar yang dijadikan sebagai penanda dari hewan local di Gua Pawon pada masa lalu.
Di kotak T2S2 hanya dibuka dua spit penggalian yaitu spit 57 dan 58. Di akhir keadalam
spit 58 keadaan lapisan penggalian
tanpa temuan. Masing-masing spit
penggalian itu diuraikan sebagai
berikut.

Kotak T2S2 Spit 57


Spit 57 digali hingga
kedalaman 315 cm dari titik ukur.
Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna
Foto 22. Keadaan akhir permukaan tanah spit 57 kotak T2S2
cokelat kemerahan yang bercampur
dengan kerakal dan kerikil
gamping. Pada spit 57 terdiri dari
lima fragmen tulang dan enam
tulang teridentifikasi yang berasal
dari kelompok tikus dan kelelawar.

Kotak T2S2 Spit 58


Spit 58 digali hingga
kedalaman 320 cm dari titik ukur.
Tanah pada spit ini merupakan Foto 23. Keadaan akhir permukaan tanah spit 58 kotak T2S2
berupa lapisan tanah lempung mengandung fragmen tulang tikus
tanah lempung berpasir berwarna dan kelelawar sebagai penanda lapisan akhir dari kehadiran
hewan buruan di Gua Pawon.
cokelat kemerahan yang
56

bercampur dengan kerakal dan kerikil gamping. Pada spit 58 terdiri dari lima fragmen tulang
dan enam tulang teridentifikasi.
Secara keseluruhan jumlah temuan hasil pendalaman ekskavasi di kotak T2S2
ditabulasikan sebagai berikut.
Tabel 5 Rekapitulasi Temuan Kotak T2S2
SPIT JUMLAH TEMUAN
57 11
58 11
57

3.2.4 Ekskavasi Kotak T3U1


Kotak T3U1 Spit 38
Spit 38 digali hingga
kedalaman 220 cm dari titik ukur.
Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna
cokelat kemerahan yang bercampur
dengan kerakal, kerikil, serta akar
tumbuhan. Temuan pada spit 38
terdiri dari residu fauna dalam
bentuk fragmen tulang dan gigi,
Foto 24 Keadaan permukaan spit 38 kotak T3U1 setelah serta fragmen alat batu dengan
dilakukan pendalaman penggalian
rincian 3 batu besar, 16 alat batu, 27
tulang besar, 156 tulang kecil, 1 obsidian, 14 tulang teridentifikasi, dan 2 gigi.

Kotak T3U1 Spit 39


Spit 39 digali hingga kedalaman 225 cm dari titik ukur. Tanah pada spit 39 berwarna
cokelat kemerahan dengan
karakter lempung berpasir yang
bercampur dengan pecahan-
pecahan kerakal dan kerikil batu
gamping. Temuan pada spit 39
didominasi oleh fragmen tulang
fauna dalam ukuran besar hingga
kecil. Selain itu ditemukan pula
sisa gigi fauna, moluska, alat
Foto 25. Akhir spit 39 dengan tutupan bongkahan blok batu obsidian, serta alat batu yang
gamping
rinciannya yaitu 1moluska, 125
tulang kecil, 29 tulang besar, 2 obsidian, 4 alat batu, 4 alat tulang, dan 3 gigi.
58

Kotak T3U1 Spit 40


Spit 40 digali hingga
kedalaman 230 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah pada spit ini masih
menunjukkan karakter lempung
berpasir dengan warna cokelat
kemerahan. Temuan spit 40 terdiri
dari fragmen tulang, gigi, dan
rahang fauna, alat obsidian, serta
serta serpih batu yang rinciannya

Foto 26. Bongkahan blok batu gamping yang makin muncul yaitu 150 tulang kecil, 85 tulang
setelah ekskavasi spit 40
besar, 4 alat tulang, 8 gigi, 2
obsidian, 1 rahang, dan 6 serpih batu.

Kotak T3U1 Spit 41


Spit 41 digali hingga
kedalaman 235 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah masih
menunjukkan karakter lempung
berpasir dengan warna cokelat
kemerahan. Temuan pada spit 41
terdiri dari fragmen tulang dan
gigi, fauna, alat obsidian,
Foto 27. Akhir spit 41 dengan tutupan bongkahan blok batu
gamping perkutor, serta serta serpih batu.
Rincian temuan dari spit 41 yaitu
37 tulang besar, 12 gigi, 1 perkutor, 11 serpih batu, 2 obsidian, 170 tulang kecil, dan 4 tulang
teridentifikasi.

Kotak T3U1 Spit 42


Spit 42 digali hingga kedalaman 240 cm dari titik ukur. Lapisan tanah masih
menunjukkan karakter lempung berpasir dengan warna cokelat kemerahan. Temuan pada spit
42 terdiri dari fragmen tulang dan gigi, fauna, alat obsidian, perkutor, serta serta serpih batu.
59

Rincian temuan dari spit 41 yaitu 201 tulang, 7 tulang teridentifikasi, 4 gigi, 5 alat batu, dan 2
obsidian.

Kotak T3U1 Spit 43


Spit 43 digali hingga kedalaman 245 cm dari titik ukur. Lapisan tanah masih
menunjukkan karakter lempung berpasir dengan warna cokelat kemerahan bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 43 terdiri dari fragmen tulang yang
dapat dikelompokan menjadi
fragmen tulang yang dapat
diidentifikasi spesies/familinya,
fragmen tulang terbakar (burned
bones), serta fragmen tulang yang
sulit diidentifikasi. Selain itu
ditemukan pula alat batu dan serpih
obsidian. Rincian temuan dari spit
43 yaitu 338 fragmen tulang, 12
Foto 28. Keadaaan akhir spit 43 di antara kotak ekskavasi di
kotak Gua Pawon tulang teridentifikasi, 5 tulang
terbakar, 5 alat batu, dan 2
obsidian.

Kotak T3U1 Spit 44


Spit 44 digali hingga kedalaman 250 cm dari titik ukur. Lapisan tanah masih
menunjukkan karakter lempung berpasir dengan warna cokelat kemerahan bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 44 terdiri dari fragmen tulang yang
dapat dikelompokan menjadi fragmen tulang yang dapat diidentifikasi spesies/familinya,
fragmen tulang yang sulit diidentifikasi, dan gigi. Selain itu ditemukan pula alat batu dan serpih
obsidian. Rincian temuan dari spit 44 yaitu 201 tulang, 7 tulang teridentifikasi, 4 gigi, 5 alat
batu, dan 2 obsidian.
60

Kotak T3U1 Spit 45


Spit 45 digali hingga kedalaman 255 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan
karakter lempung berpasir yang
bercampur dengan bongkahan
kerakal dan kerikil gamping.
Temuan pada spit 45 terdiri dari
fragmen tulang yang dapat
dikelompokan menjadi fragmen
tulang yang dapat diidentifikasi
spesies/familinya, fragmen tulang
Foto 29. Sisa pemecahan blok batu gamping yang menutupi yang sulit diidentifikasi, fragmen
kotak T3U1, spit 45
tulang terbakar, dan gigi. Selain itu
ditemukan pula alat batu dan serpih obsidian. Rincian temuan dari spit 45 yaitu 98 fragmen
tulang, 1 tulang teridentifikasi, 1 gigi, 2 alat batu, 4 obsidian, dan 1 tulang terbakar.

Kotak T3U1 Spit 46


Spit 46 digali hingga
kedalaman 260 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah masih
menunjukkan warna merah
kecokelatan dengan karakter
lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada
spit 46 terdiri dari fragmen tulang
Foto 30. Keadaan akhir pendalaman spit 46 dan sisapemecahan
blok batu gamping yang menutupi kotak T3U1 yang dapat dikelompokan menjadi
fragmen tulang yang dapat
diidentifikasi spesies/familinya, fragmen tulang yang tidak teridentifikasi, fragmen tulang yang
dimodifikasi menjadi alat, dan gigi. Selain itu ditemukan pula batu dan serpih obsidian. Rincian
61

temuan dari spit 46 yaitu 84 Fragmen tulang, 4 tulang teridentifikasi, 1 gigi, 5 alat tulang, 1
obsidian, dan 2 batuan.

Kotak T3U1 Spit 47


Spit 47 digali hingga kedalaman 265 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 47 terdiri dari fragmen tulang dan
gigi, serpih batu, dan serpih obsidian. Rincian temuan dari spit 47 yaitu 17 fragmen tulang, 1
tulang teridentifikasi, 1 gigi, 3 alat tulang, 1 obsidian, dan 1 serpih.

Kotak T3U1 Spit 48


Spit 48 digali hingga kedalaman 270 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 48 terdiri dari fragmen tulang dan
gigi yang rinciannya yaitu 50 fragmen tulang, 2 tulang teridentifikasi, dan 2 gigi.

Kotak T3U1 Spit 49


Spit 48 digali hingga
kedalaman 275 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan warna
merah kecokelatan dengan karakter
lempung berpasir yang bercampur
dengan bongkahan kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit
49 terdiri dari fragmen tulang dan
gigi yang rinciannya yaitu 82
Foto 31. Keadaan akhir pendalaman spit 49 setelah blok batu fragmen tulang, 4 tulang
gamping yang menutupi kotak T3U1 dibongkar
teridentifikasi, dan 9 gigi.

Kotak T3U1 Spit 50


Spit 50 digali hingga kedalaman 280 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
62

bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 50 terdiri dari fragmen tulang, alat
serpih, serta rahang dan gigi yang rinciannya yaitu 95 fragmen tulang, 6 tulang teridentifikasi,
6 rahang dan gigi, dan 4 alat serpih.

Kotak T3U1 Spit 51


Spit 51 digali hingga kedalaman 285 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 51 terdiri dari batu, fragmen tulang,
serta gigi yang rinciannya yaitu 139 fragmen tulang, 5 tulang teridentifikasi, 7 gigi, dan 9
batuan.
Kotak T3U1 Spit 52
Spit 52 digali hingga kedalaman 290 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 52 terdiri dari fragmen tulang,
tanduk,obsidian dan gigi yang rinciannya yaitu 150 fragmen tulang, 2 fragmen tanduk, 9 tulang
terbakar, 5 tulang teridentifikasi, 11 gigi, dan 2 obsidian.

Kotak T3U1 Spit 53


Spit 53 digali hingga kedalaman 295 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping, serta terdapat pula batu tuff. Temuan pada spit 53
terdiri dari fragmen tulang, alat batu, obsidian, sampel benda yang diduga terlapisi mangan,
serta gigi yang rinciannya yaitu 160 fragmen tulang, 14 tulang teridentifikasi, 1 obsidian, 2
sampel mangan, 1 batu tuff, 8 gigi, dan 3 alat batuan.

Kotak T3U1 Spit 54


Spit 54 digali hingga kedalaman 300 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Pada spit 50 tidak terdapat temuan arkeologis apa pun.
63

Kotak T3U1 Spit 55


Spit 55 digali hingga
kedalaman 305 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan
karakter lempung berpasir yang
bercampur dengan bongkahan
kerakal dan kerikil gamping.
Temuan pada spit 55 terdiri dari
batu, fragmen tulang, obsidian,
Foto 32. Keadaan akhir pendalaman spit 55 sebagian besar
Kembali tertutup oleh blok batu gamping runtuhan dan gigi yang rinciannya yaitu 14
fragmen tulang, 1 tulang terbakar,
1 gigi, 1 obsidian, dan 8 batuan.

Kotak T3U1 Spit 56


Spit 56 digali hingga kedalaman 310 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 56 terdiri dari batu, fragmen tulang,
dan sampe batuan yang diduga terlapisi mangan yang rinciannya yaitu 2 fragmen tulang, 2
batuan, dan 56 sample batuan mangan.

Kotak T3U1 Spit 57


Spit 57 digali hingga
kedalaman 315 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan
karakter lempung berpasir yang
bercampur dengan bongkahan
kerakal dan kerikil gamping. Pada
spit 57 ditemukan dua batu dan
Foto 33. Keadaan akhir pendalaman spit 57 dan kemudian
dua fragmen tulang. berlanjut ke spit 58 dengan bagian akhir pendalaman spit tertutup
oleh blok batu gamping runtuhan
64

Kotak T3U1 Spit 58


Spit 58 digali hingga kedalaman 320 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
warna merah kecokelatan dengan karakter lempung berpasir yang bercampur dengan
bongkahan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit 58 terdiri dari batu, fragmen tulang,
dan moluska yang rinciannya yaitu 4 fragmen tulang, 5 batuan, dan 1 Moluska.
65

Tabel 6. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T3U1

JUMLAH
SPIT TEMUAN
38 219
39 168
40 256
41 237
42 219
43 362
44 219
45 107
46 97
47 24
48 54
49 95
50 111
51 160
52 179
53 189
54 0
55 25
56 60
57 4
58 10
66

3.2.4 Ekskavasi Kotak T3S1


Kotak T3S1 Spit 38
Spit 38 dibuka sampai
kedalaman 215 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah pada spit ini
merupakan lapisan lempung
pasiran berwarna cokelat
kemerahan dengan campuran
kerikil dan kerakal batu gamping.
Temuan pada spit 38 didominasi
oleh fragmen tulang yang beberapa
Foto 34. Keadaan akhir pendalaman spit 38 lanjutan
pendalaman kotak T3S1 yang tertutup oleh blok batu gamping diantaranya terkonsentrasi pada
runtuhan
sektor timur kotak. Secara
keseluruhan,temuan dari spit ini terdiri dari 311 fragmen tulang berukuran kecil, 143 fragmen
tulang berukuran sedang hingga besar, dan 12 fragmen gigi, serta 81 fragmen batu.

Kotak T3S1 Spit 39


Spit 39 dibuka hingga kedalaman 220 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
masih menunjukkan warna cokelat
kemerahan dengan karakter
lempung pasiran. Kerakal dan juga
kerikil yang batu gamping masih
dominan ditemukan bercampur
dengan tanah. Pengupasan tanah
pada spit ini banyak menghasilkan
temuan berupa residu fauna dalam
bentuk fragmen tulang dan gigi.
Foto 35. Keadaan spit 39 kotak T3S1 dengan bidang permukaan Temuan residu fauna pada spit ini
tertutup oleh blok batu gamping
terdiri dari 483 buah fragmen
tulang berukuran kecil, 96 buah fragmen tulang berukuran sedang hingga besar, 1 buah gigi
elephas, 14 buah gigi, serta 3 buah tulang yang telah dimodifikasi menjadi alat. Pada spit ini
ditemukan pula 4 buah obsdian, 1 buah alat batu, serta 8 fragmen batu.
67

Kotak T3S1 Spit 40


Spit 40 dibuka hingga
kedalaman 225 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah pada spit ini
berwarna cokelat kemerahan
dengan karakter lempung berpasir.
Tanah bercampur dengan kerakal
dan kerikil serta akar tumbuhan.
Temuan pada spit 40 juga banyak
didominasi temuan fragmen tulang
Foto 36. Keadaan akhir pendalaman spit 40 dengan bidang
dan gigi fauna dengan rincian 150 permukaan yang masih tertutup oleh blok batu gamping

buah fragmen tulang berukuran


kecil, 85 buah fragmen tulang berukuran sedang hingga besar, 4 buah alat tulang, 8 buah gigi,
serta 1 buah fragmen rahang. Selain fragmen fauna ditemukan pula 2 buah obsidian dan 6 buah
serpih batu.

Kotak T3S1 Spit 41


Spit 41 dibuka hingga
kedalaman 230 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah masih menunjukkan
warna cokelat kemerahan dengan
karakter lempung berpasir serta
bercampur dengan fragmen batu
gamping. Pada spit ini residu fauna
dalam bentuk fragmen tulang dan
gigi juga masih banyak ditemukan
Foto 37. Keadaan akhir pendalaman spit 41 dengan bidang dengan rincian 243 buah fragmen
permukaan mayoritas tertutup oleh blok batu gamping
tulang berukuran kecil, 100 buah
fragmen tulang berukuran sedang hingga besar, serta 13 buah gigi. Selain itu ditemukan pula
temuan berbahan batu antara lain 9 buah obsidian, 17 alat serpih, serta 3 buah fragmen batu.
68

Kotak T3S1 Spit 42


Spit 42 dibuka hingga
kedalaman 235 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah merupakan tanah
lempung berpasir dengan warna
cokelat kemerahan. Temuan pada
spit ini terdiri dari residu fauna
dan fragmen serta alat batu.
Residu fauna yang ditemukan
antara lain adalah 95 buah
Foto 38. Keadaan akhir pendalaman spit 42 setelah pengangkatan
blok-blok batu gamping fragmen tulang berukuran sedang
hingga besar, 111 buah fragmen
tulang berukuran kecil, 8 buah gigi, serta 1 buah gigi yang teridentifikasi sebagai gigi elephas.
Temuan berbahan batu yang ditemukan adalah 5 buah obsidian, 3 buah batu perkutor, serta 14
alat batu.

Kotak T3S1 Spit 43


Spit 43 dibuka hingga kedalaman 240 cm dari titik ukur. Lapisan tanah merupakan tanah
lempung berpasir dengan warna cokelat kemerahan. Temuan pada spit ini terdiri dari residu
fauna dan fragmen serta alat batu dengan rincian 3 obsidian, 3 alat batu, 8 gigi, 16 tulang
teridentifikasi, 20 tulang terbakar, 5 alat tulang, 28 tulang besar, dan 146 tulang kecil.

Kotak T3S1 Spit 44


Spit 44 dibuka hingga kedalaman 245 cm dari titik ukur. Lapisan tanah merupakan tanah
lempung berpasir dengan warna cokelat kemerahan. Temuan pada spit ini terdiri dari residu
fauna dan fragmen serta alat batu dengan rincian 4 alat batu, 3 gigi, 3 tulang teridentifikasi, 4
tulang terbakar, dan 25 tulang tidak teridentifikasi.

Kotak T3S1 Spit 45


Spit 45 dibuka hingga kedalaman 250 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan. Temuan pada spit ini terdiri dari
69

residu fauna dengan rincian 1 kuku, 3 tulang terbakar, 18 fragmen tulang, dan 3 tulang
teridentifikasi.

Kotak T3S1 Spit 46


Spit 46 dibuka hingga
kedalaman 255 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah masih menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir
berwarna cokelat kemerahan.
Temuan pada spit ini terdiri dari
residu fauna yang rinciannya yaitu
18 fragmen tulang, 2 tulang
teridentifikasi.
Foto 39. Keadaan akhir pendalaman spit 46 yang tertutup
berbagai ukuran pecahan blok batu gamping

Kotak T3S1 Spit 47


Spit 47 dibuka hingga kedalaman 260 cm dari titik ukur. Lapisan tanah masih
menunjukkan karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan. Temuan pada spit
ini terdiri dari residu fauna dan alat batu yang rinciannya yaitu 2 gigi, 8 alat batu, 6 fragmen
tulang, dan 1 moluska.

Kotak T3S1 Spit 48


Spit 48 dibuka hingga
kedalaman 265 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir
berwarna cokelat kemerahan
dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit Foto 40. Keadaan akhir pendalaman spit 49 yang masih tertutup
oleh blok batu gamping
ini terdiri dari residu fauna dan alat
batu yang rinciannya yaitu 1 alat batu, 1 obsidian, dan 1 fragmen tulang.
70

Kotak T3S1 Spit 49


Spit 49 dibuka hingga kedalaman 270 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Pengupasan tanah pada spit ini menghasilkan temuan 7 buah alat batu.

Kotak T3S1 Spit 50


Spit 50 dibuka hingga kedalaman 275 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir
berwarna cokelat kemerahan
dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada
spit ini terdiri dari residu fauna
dan alat batu yang rinciannya
yaitu 2 alat batu, 1 perkutor, dan
2 fragmen tulang.

Foto 41. Keadaan akhir pendalaman spit 50 dengan satu blok


batu gamping bentuk memanjang (stalagtit)

Kotak T3S1 Spit 51


Spit 51 dibuka hingga kedalaman 285 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit ini ditemukan satu obsidian.

Kotak T3S1 Spit 52


Spit 52 dibuka hingga kedalaman 290 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit ini terdiri dari dua obsidian dan enam belas alat batu.

Kotak T3S1 Spit 53


Spit 53 dibuka hingga kedalaman 295 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit ini terdiri dari residu fauna dan alat batu yang rinciannya
yaitu 3 alat batu, 1 obsidian, 1 fragmen tulang, 1 tulang teridentifikasi, dan 4 alat serpih.
71

Kotak T3S1 Spit 54


Spit 54 dibuka hingga
kedalaman 300 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir
berwarna cokelat kemerahan
dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit ini
ditemukan dua puluh enam alat
batu.
Foto 42. Keadaan akhir pendalaman spit 54

Kotak T3S1 Spit 55


Spit 54 dibuka hingga kedalaman 305 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit ini terdiri dari residu fauna dan alat batu yang rinciannya
yaitu 5 alat batu, 4 alat serpih, dan 1 tulang teridentifikasi.

Kotak T3S1 Spit 56


Spit 56 dibuka hingga
kedalaman 310 cm dari titik ukur.
Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir
berwarna cokelat kemerahan dengan
campuran kerakal dan kerikil
gamping. Temuan pada spit ini
terdiri dari tiga fragmen tulang dan
satu gigi.
Foto 43. Keadaan akhir pendalaman spit 56 dengan satu blok
batu gamping bentuk memanjang (stalagtit) di permukaan
akhir penggalian
72

Kotak T3S1 Spit 57


Spit 57 dibuka hingga kedalaman 315 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerakal kerikil
gamping, dan juga terdapat kerakal batu tuff. Temuan pada spit ini terdiri dari residu fauna dan
alat batu yang rinciannya yaitu 8 fragmen tulang, 1 moluska, 9 fragmen tulang terbakar, 3 tulang
teridentifikasi, 1 obsidian, 1 rahang, 4 alat serpih, dan 2 batu tuff.

Kotak T3S1 Spit 58


Spit 58 dibuka hingga kedalaman 320 cm dari titik ukur. Lapisan tanah menunjukkan
karakter tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan dengan campuran kerakal
kerikil gamping. Pada spit ini tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Foto 44. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T3S1


73

Tabel 7. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T3S1

JUMLAH
SPIT TEMUAN
38 547
39 610
40 256
41 385
42 237
43 229
44 39
45 25
46 20
47 17
48 3
49 7
50 5
51 1
52 18
53 10
54 26
55 10
56 4
57 29
58 0
74

3.2.5 Ekskavasi Kotak T3S2


Kotak T3S2 Spit 57
Spit 57 digali hingga
kedalaman 315 cm dari titik ukur.
Tanah pada spit ini merupakan tanah
lempung berpasir berwarna cokelat
kemerahan yang bercampur dengan
kerakal dan kerikil gamping.
Temuan pada spit 57 terdiri dari
residu fauna dalam bentuk fragmen
tulang dan moluska dengan rincian 1
Foto 45. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T3S2 di fragmen tulang terbakar, 7 fragmen
antara pembukaan kotak-kotak ekskavasi Gua Pawon 2021
tulang, 2 moluska, dan 1 tulang
teridentifikasi.

3.2.6 Ekskavasi Kotak T4S1


Kotak T4S1 Spit 39
Spit 39 digali hingga kedalaman 220 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir dan bercampur dengan kerikil
batu gamping. Temuan pada spit 39 terdiri dari residu fauna dalam bentuk fragmen tulang, alat
tulang, moluska, dan batu dengan rincian 10 batuan, 3 alat tulang, 7 tulang besar, 50 tulang
kecil, 1 obsidian, dan 1 moluska.

Kotak T4S1 Spit 40


Spit 40 digali hingga kedalaman 225 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir dan bercampur dengan kerikil
batu gamping. Temuan pada spit 40 terdiri dari residu fauna dalam bentuk fragmen tulang, gigi,
moluska, kuku, obsidian dan batu dengan rincian 22 batuan, 2 obsidian, 1 kuku, 35 tulang besar,
124 tulang kecil, 1 kuku, 4 gigi, dan 1 moluska.

Kotak T4S1 Spit 41


75

Spit 41 digali hingga kedalaman 230 cm dari titik ukur. Lapisan tanah pada spit ini
berwarna cokelat kemerahan dengan karakter lempung berpasir dan bercampur dengan kerikil
batu gamping, serta kerakal batu tuff. Temuan pada spit 41 terdiri dari residu fauna dalam
bentuk fragmen tulang, alat batu, dan alat buat dengan rincian 1 batu tuff, 1 perkutor, 4 alat
batu, dan 7 fragmen tulang.

Kotak T4S1 Spit 42


Spit 42 digali hingga kedalaman 235 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 42 ditemukan empat batu dan empat fragmen tulang.

Kotak T4S1 Spit 43


Spit 43 digali hingga kedalaman 240 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 43 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 44


Spit 44 digali hingga kedalaman 245 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 44 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 45


Spit 45 digali hingga kedalaman 250 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 45 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 46


Spit 46 digali hingga kedalaman 255 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 46 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.
76

Kotak T4S1 Spit 47


Spit 47 digali hingga kedalaman 260 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 47 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 48


Spit 48 digali hingga kedalaman 265 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 48 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 49


Spit 49 digali hingga kedalaman 270 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 49 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 50


Spit 50 digali hingga kedalaman 275 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 50 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 51


Spit 51 digali hingga kedalaman 280 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 51 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 52


Spit 52 digali hingga kedalaman 285 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 52 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.
77

Kotak T4S1 Spit 53


Spit 53 digali hingga kedalaman 295 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 53 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 54


Spit 54 digali hingga kedalaman 300 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 43 ditemukan tiga alat serpih.

Kotak T4S1 Spit 55


Spit 55 digali hingga kedalaman 305 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 55 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 56


Spit 56 digali hingga kedalaman 310 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Pada spit 56 tidak ditemukan temuan arkeologis apa pun.

Kotak T4S1 Spit 57


Spit 57 digali hingga kedalaman 315 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur dengan kerakal dan
kerikil gamping. Temuan pada spit 57 terdiri dari residu fauna dalam bentuk fragmen tulang,
rahang, obsidian dan alat serpih dengan rincian 1 obsidian, 8 fragmen tulang, 2 alat serpih, 12
fragmen tulang terbakar, 5 tulang teridentifikasi, dan 1 rahang.
78

Kotak T4S1 Spit 58


Spit 43 digali hingga kedalaman 320 cm dari titik ukur. Tanah pada spit ini merupakan
tanah lempung berpasir
berwarna cokelat kemerahan
yang bercampur dengan
kerakal dan kerikil gamping.
Pada spit 58 tidak ditemukan
temuan arkeologis apa pun.

Foto 46. Keadaan akhir pendalaman penggalian kotak T4S1 di


antara pembukaan kotak-kotak ekskavasi Gua Pawon 2021
79

Tabel 8. Rekapitulasi Temuan Hasil ekskavasi Kotak T4S1

JUMLAH
SPIT TEMUAN
39 72
40 168
41 13
42 8
43 3
44 0
45 0
46 0
47 0
48 0
49 0
50 0
51 0
52 0
53 0
54 0
55 0
56 0
57 29
58 0
80

Kotak T4S2 Spit 57


Spit 57 digali hingga kedalaman 315 cm dari titik
ukur. Tanah pada spit ini merupakan tanah lempung
berpasir berwarna cokelat kemerahan yang bercampur
dengan kerakal dan kerikil gamping. Temuan pada spit
57 terdiri dari residu fauna dalam bentuk fragmen tulang
dan moluska yang yaitu 1 fragmen tulang terbakar, 1
fragmen tulang, dan 1 moluska.

3.4 Pengamanan Kotak Ekskavasi


Pengamanan kotak-kotak ekskavasi merupakan
satu kegiatan akhir yang harus dilakukan setelah
pembukaan kotak ekskavasi T1U1, T1S1, T2U1, T2S1,
Foto 47 Keadaan akhir pendalaman
penggalian kotak T4S2 T2S2, T3U1, T3S1, T3S2, T4S1, dan T4S4 selesai
diekskavasi. Pengamaan yang dilakukan baru sebatas
penguatan dinding kotak ekskavasi yang sangat rentan akan keruntuhannya baik dinding kotak
ekskavasi di sisi sebelah utara maupun di sisi sebelah barat. Kerawanan akan keruntuhan
dinding sisi sebelah barat kotak ekskavasi karena sisi tersebut merupakan lahan yang langsung
bersentuhan dengan arus kunjungan saat masyarakat berkunjung ke lokasi penelitian.
Sementara itu, sisi sebelah utara, selain menjadi bagian dari lahan yang bersentuhan langsung
dengan pengunjung, kondisi tanahnya di bagian atas merupakan lapisan pengendapan dari
proses pengayakan tanah dari penggalian terdahulu.
Penguatan dinding sisi sebelah utara selain dilakukan dengan cara pemasangan
pasangan batu untuk membentuk dinding, juga diperkuat dengan pengecoran bertulang di
sebelah atasnya. Sementara itu, untuk dinding sebelah barat karena dinding tersebut juga
mewakili penampang stratigrafi bawah permukaan Gua Pawon dengan berbagai bentuk
endapan budayanya, maka penguatannya dilakukan dengan cara pengecoran bertulang di
bagian atasnya dengan ukuran yang lebih luas di banding sisi utara.
81

Foto 48. Proses pemasangan batu untuk penguatan dinding ekskavasi sisi utara

Sebagai bagian akhir dari pengamanan kotak ekskavasi di situs Gua Pawon, dan menjadi
pembatas dari kunjungan masyarakat saat berkunjung ke lokasi penelitian, maka di atas lantai
cor bertulang tersebut didirikan pagar besi.
82

Foto 49. Penyelesaian akhir kegiatan ekskavasi


83

BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Tujuh rangka manusia telah ditemukan di Gua Pawon, terletak secara stratigrafis dalam
lintasan waktu yang termasuk kurun Plestosen Ahkir – Awal Holosen dengan rentang
pertanggalan karbon (14C) antara 5600+ 170 BP- 11778+ 650 BP (Yondri, 2017) merupakan
acuan dalam pengembangan penelitian yang dilaksanakan melalui serangkaian ekskavasi di
bagian ruang gua yang diperkirakan merupakan area pada lalu sebagai ruang berlangsungnya
aktivitas manusia dan budaya era Plestosen Akhir-Awal Holosen di Gua Pawon. Berdasarkan
pembagian ruang gua yang dibagi berdasarkan kuadran, kotak-kotak ekskavasi yang menjadi
target penelitian secara berkelanjutan yang dilakukan tiga tahap mulai tahun 2018 dan
direncanakan selesai pada 2020. Oleh karena wabah pandemic Covid-19, maka tahap akhir
kegiatan yang direncakan dilaksanakan pada 2020 akhir tertunda dan kemudian baru
dilaksanakan pada 16 September – 9 Oktober 2021. Seperti yang telah dilaporkan tahun 2019
(Tahap II) bahwa ekskavasi kotak T2U1. T2S1, T3U1, dan T3S1 dari kedalaman ekskavasi 220
cm dari titik ukur tersebut belum maksimal dilakukan karena baru menembus beberapa
centimeter saja dari lapisan budaya mesolitik, untuk itulah kemudian kegiatan penelitian Tahap
III ini dilakukan.
Dari hasil pembukaan kotak-kotak ekskavasi yang dilakukan pada tahap III (2021)
setelah kedalaman 220 cm dari titik ukur baik dari hasil pendalaman penggalian di kotak T2U1.
T2S1, T3U1, T3S1, T4S1, dan kotak T4S2 temuannya makin bervariasi, terdiri alat serpih dari
berbagai bahan batuan seperti obsidian, rijang, batu hijau7, dan jasper8, dan kadangkala juga
bercampur dengan beberapa serpih dan tatal, kemudian perkutor atau alat batu pukul dari bahan
batu andesit 9 , fragmen tulang binatang, alat-alat yang terbuat dari tulang, tanduk, dan gigi
binatang, serta moluska.
Data baru yang cukup menarik yang ditemukan pada lapisan adalah di bagian
kedalaman ekskvasi mendekati kedalaman 300 cm dari permukaan keberadaan penggunaan

7
Batu hijau dan batu obsidian yang juga dikenal dengan gelas gunung api, termasuk dalam kelompok quarts family
mineral atau kelompok mineral keluarga kuarsa yang memiliki kekerasan 6 sampai 7 skala Mosh, dan termasuk
dalam kelompok batuan yang dapat dimanfaatkan sebagai batu perhiasan (Sudjatmiko, 2004:98).
8
Jasper atau Jaspis merupakan salah satu batuan jenis kalsedon yang kaya unsur besi. Warnanya bervariasi, tetapi
biasanya merah atau kuning, serta tidak tembus cahaya (Poerbo-Hadiwidjojo, 1994:161).
9
Batu andesit termasuk dalam kelompok batuan beku luar yang terbentuk dari bekuan magma di luar bumi,
biasanya berwarna abu-abu dan tidak tembus cahaya.
84

bahan batu gamping makin dominan dibandingkan penggunaan bahan batuan lain sebagai
bahan alat batu. Sementara itu dari aspek fragmen faunanya adalah temuan gigi-gigi gajah yang
berada di kedalaman yang setara dengan kedalaman ekskavasi dengan pertanggalan sekitar
5600 BP.

Foto 50. Ragam Fragmen Gigi Gajah Temuan Hasil Ekskavasi secara
stratigrafis di Kotak T3S1

Temuan gigi-gigi gajah ini kemudian menarik perhatian paleontolog dari Geologi ITB
untuk mengkajinya lebih lanjut yang direncanakan juga akan didukung oleh penelitian
laboratoris untuk menelusuri keberadaan gajah tersebut dari aspek DNAnya. Secara
keseluruhan temuan artefaktual dan non artefaktual hasil ekskavasi di Gua Pawon berdasarkan
kotak ekskavasi dan keletakannya berdasarkan spit penggaliannya pada kotak ekskavasi T2U1,
T2S1, T3U1, T3S1, T4S1, dan T4S2 dapat diuraikan sebagai berkut.
85

4.1 Temuan Artefaktual


4.1.1 Artefak Litik
Temuan artefak litik dari hasil pendalaman ekskavasi di kotak T2U1, T2S1, T3U1,
T3S1, T4S1 hingga kedalaman 325 cm terdiri dari serpih dan alat serpih dari batuan rijang,
obsidian, perkutor dari bahan andesit, serta beberapa artefak batu inti yang terbuat dari bahan
batu gamping.
Persebaran temuan artefak litik di dalam setiap lapisan penggalian di Gua Pawon tidak
merata. Di bagian tengah gua, temuan sisa artefak litik cukup padat, kemudian makin jarang
searah dengan makin dalamnya kotak ekskavasi dan semakin jauh dari dinding gua sebelah
dalam.
Berdasarkan pengamatan terhadap bahan alat litik, tampak bahwa bahan-bahan tersebut
di antaranya ada yang berasal bukan dari Gua Pawon sendiri karena di sekitar gua tidak terdapat
sumber bahan dengan jenis batuan yang sama, dan ada artefak yang sumber bahannya berasal
dari lingkungan Gua Pawon.
Untuk bahan batuan yang berasal dari luar lingkungan Gua Pawon, lokasi yang
diperkirakan menjadi sumber bahan, khususnya yang berasal dari bahan batu obsidian, adalah
Gunung Kendan (Nagreg). Di lokasi tersebut ditemukan sumber bahan obsidian dalam jumlah
yang melimpah. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian terdahulu tentang alat-alat obsidian
kawasan Jawa Barat, khususnya di sekitar kawasan Danau Bandung Purba yang telah dilakukan
oleh de Jong dan von Koenigswald (1930), Krebs (1932-1933), Mohler dan Rothpletz (1942-
1945), van Stein Callenfels (1934), van der Hoop (1938), Erdbrink (1942), von Heine Geldern
(1945), Bandi (1951), dan van Heekeren (1972), dapat disimpulkan bahwa obsidian merupakan
unsur prasejarah yang banyak ditemukan di sekitar Danau Bandung Purba yang bahannya
diperkirakan berasal dari daerah Nagreg yang terletak di sebelah timur kawasan Danau
Bandung Purba. Oleh karena Gua Pawon berada masih dalam kawasan sekitar Danau Bandung
Purba, tentunya temuan-temuan obsidian di gua tersebut berkaitan erat dengan hal itu.
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan fungsi yaitu
variabel berat, letak tajaman, bentuk, tingkat kerusakan tajaman, serta pola perimping, alat-alat
obsidian dapat diklasifikasikan kedalam tujuh kelompok alat, di antaranya adalah alat yang
dipakai untuk aktivitas menyerut atau memotong dengan besaran sudut tajaman antara 46
sampai 55 derajat, untuk pembuatan alat menggali dari kayu (digging stick) dengan besaran
sudut tajaman alat antara 35 sampai 40 derajat, alat untuk menggaruk, pisau, alat tusuk,
86

pelobang, dan alat yang bersifat multifungsi (Pantjawati, 1989). Bentuk obsidian dengan fungsi
yang demikian ditemukan di spit-spit penggalian baik di kotak T2U1, T2S1, T3U1, maupun di
kedalaman spit kotak T3S1. Di samping berupa alat serpih, batuan obsidian dari hasil ekskavasi
juga memperlihatkan bentuk batu inti, dan sisa-sisa penyerpihan baik berupa serpihan kecil
maupun dalam bentuk tatal.
Dapat dikemukakan juga, dari analisis alat-alat serpih dari hasil ekskavasi di Gua
Pawon, bahan batuan lain juga digunakan. Di antaranya ada yang terbuat dari bahan batuan
yang tidak ada sumbernya di Gua Pawon seperti batu rijang, dan batu hijau, tetapi juga ada yang
bahan batuannya berasal dari lingkungan Gua Pawon sendiri yang dibentuk oleh bahan batu
gamping yang ditemukan mulai kedalaman 220 cm dari permukaan.
Alat-alat serpih berbahan batu gamping memiliki ukuran yang lebih besar di banding
serpih dari bahan batu rijang, batu hijau, atau dari bahan batu obsidian tersebut sangat
memungkinkan terjadi karena ukuran serpih yang diperoleh dari pelepasan dari batu intinya
cenderung menghasilkan pelepasan berukuran agak besar.
Di samping temuan alat berukuran serpih/bilah dari hasil ekskavasi di kedalaman
setelah 220 cm dari titik ukur kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, T4S1, dan T4S2 adalah perkutor
atau alat batu pukul. Perkutor yang ditemukan selain berbahan batu andesit juga ada yang
memanfaatkan batu gamping. Cukup menarik bila dilihat perkutor-perkutor yang ditemukan
tersebut. Beberaapa di antaranya memperlihatkan bentuk yang sudah mengalami pembundaran.
Bentuk batuan yang sudah mengalami pembundaran tersebut biasanya terbentuk karena
bongkahan batuan yang sudah mengalami transportasi di aliran sungai. Dari hal ini, dapat
diasumsikan bahwa baik perkutor berbahan andesit atau berbahan batu gamping tersebut bukan
dari hasil eksploitasi di Gua pawon tetapi diperoleh dari aliran-aliran sungai yang ada dalam
wilayah okupasi manusia penghuni Gua Pawon pada masa lalu, bisa dari aliran Cimeta,
Cibukur, dan lain sebagainya.
87

Di samping bentuk perkutor, bongkahan kecil batu gamping juga ditemukan di


kedalaman spit penggalian. Beberapa diantaranya memiliki dataran pukul, dan sudah
mengalami pemangkasan sehingga membetuk bidang tajaman baik dibuat dengan cara
pemangkasan monofasial dengan menyisakan kulit batu (cortext) di bagian pangkal dan tengah
alat, bifasial dengan bentuk pangkasan berselang-seling di bagian tajaman (distal), dan juga
pemangkasan bagian distal sehingga memperlihatkan bentuk seperti lancipan. Dalam kategori
alat-alat batu yang berkembang pada masa prasejarah dikelompokkan kedalam alat masif
dengan produk utama seperti kapak perimbas, dan kapak penetak. Temuan ini tentunya dapat
lebih memperkaya tentang ragam bahan batuan yang telah dimanfaatkan oleh manusia
pendukung budaya prasejarah di Gua Pawon pada masa lalu.

Foto 50. Alat batu inti berupa kapak perimbas, penetak, lancipan temuan baru yang dibuat dari batu
gamping sebagai indikasi kuat dari lapisan budaya Plestosen akhir-Awal Holosen di Gua Pawon

4.1.2 Artefak Non Litik (Alat Tulang dan Tanduk)


Berdasarkan hasil pendalaman ekskavasi kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, T4S1, dan
T4S2, selain berhasil mengumpulkan ragam artefak litik, dari hasil pengklasifikasian ratusan
fragmen binatang, beberapa di antaranya dapat dikelompokkan sebagai artefak. Berdasarkan
bahannya artefak-artefak dari bagian binatang tersebut di antaranya ada yang memperlihatkan
bentuk dalam kategori spatula, lancipan tunggal, dan juga lancipan ganda.
Bentuk spatula umumnya terbuat dari tulang-tulang panjang, berukuran lebih besar dari
pada lancipan. Bagian ujung (distal) spatula memiliki bidang tajaman yang tampak dibuat
88

melalui penyerutan sehingga bidang tajamannya makin menipis ke bagian ujung distal.
Berdasarkan ukuran ketebalan tulang yang cukup tebal, dapat diduga spatula-spatula yang
ditemukan dari hasil ekskavasi di kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1 berasal dari makro fauna
atau fragmen-fragmen tulang dari binatang berukuran besar.
Berbeda dengan spatula, lancipan yang ditemukan pada ekskavasi kotak T2U1, T2S1,
T3U1, T3S1 umumnya memiliki ukuran lebih kecil, berasal dari tulang-tulang panjang biantang
berukuran kecil seperti monyet. Bagian lancipan dari bahan tulang tersebut beberapa di
antaranya hanya di lakukan di satu sisi, dengan sisinya yang lainnya masih menyisakan bagian
bonggol sendi. Dan juga ada lancipan yang dibuat ganda, dalam hal ini bagian runcing pada
alat tulang tersebut terdapat di kedua ujung tulang.
Sementara itu, untuk alat yang terbuat dari bahan tanduk binatang, berdasarkan
bentuknya kuat dugaan lancipan yang berbahan tanduk binatang tersebut berasal dari kelompok
rusa (cervus, sp). Lancipan pada alat yang terbuat dari bahan tanduk binatang tersebut dilakukan
hanya dengan cara menambah keruncingan bagian ujung tanduk dari hasil penyerutan.
Sementara bagian pangkal dari tandung tersebut tanpak natural tanpa jejak pengolahan sama
sekali. Walaupun temuan alat tulang dari hasil penggalian di ruang luar dari temuan rangka
manusia tidak banyak, akan tetapi dari segi bentuk dan ukurannya sangat signifikan untuk
diinterpretasikan sebagai alat yang dipergunakan untuk perburuan pada masa lalu.
Dari ragam artefaktual yang berhasil ditemukan dari ekskavasi tahap I, II, dan tahap III
untuk pendaalaman kotak ekskavasi yang dilakukan pada tahun 2019 di kotak T2U1, T2S1,
T3U1, dan T3S1, serta T4S1, secara keseluruhan temuan-temuan tersebut kemudian
ditempatkan ke dalam lintas budaya sesuai dengan ragam artefak penciri budayanya dapat
digambarkan dalam tabulasi berikut.
Bila ditempatkan secara stratigrafis masing-masing temuan artefaktual dan non
artefaktual tersebut berdasarkan kedalaman spit penggaliannya yang diekskavasi dari tahun
2019 dan 2021 ini dapat diamati di lapisan atas terkadung sampah masa kini berupa pecahan
kaca, plastik, dan pembungkus makanan yang berada dilapisan tanah lempung berwarna
kehitaman. Di bagian bawah lapisan tersebut hingga kedalaman 100 cm ditemukan fragmen
tembikar yang bercampur dengan temuan ragam artefak batuan yang terbuat dari bahan batu
rijang, obsidian, serta fragmen tulang binatang, dan beberapa moluskan. Temuan fragmen
tembikar tersebut dapat dijadikan sebagai penanda dari lapisan budaya yang termasuk dalam
periode Neolitik. Di bawah kedalaman 100 cm dari titik ukur, fragmen tembikar tidak
89

ditemukan lagi. Temuan di kedalaman tersebut hingga kedalaman akhir pembukaan spit hingga
kedalaman 325 cm terdiri dari serpih dari batuan rijang, obsidian, perkutor dari bahan andesit,
serta beberapa serpih yang terbuat dari bahan batu gamping, di samping beberapa artefak
tulang, dan beragam jenis fragmen tulang binatang.
Bila ditempatkan secara stratigrafis masing-masing temuan artefaktual berbahan litik,
tulang, dan tanduk binatang tersebut berdasarkan kedalaman spit penggaliannya yang
diekskavasi dari tahun 2019 dan 2021 di kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, dan T4S1, dapat
ditabulasikan sebagai berikut.

Tabel 10. Kotak Ekskavasi, Artefaktual, dan Kronologi Budaya

325 CM
Interval Kedalaman Ekskavasi

Serpih berbahan rijang dan obsidian, pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
300 CM

Serpih berbahan rijang dan obsidian, pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
275 CM
Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, pemanfaatan batu gamping

Mesolitik
250 CM sebagai artefak
Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, pemanfaatan batu gamping
225 CM sebagai artefak

Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
200 CM

Alat tulang, serpih berbahan rijang, perkutor, dan obsidian


175 CM

Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian


150 CM

Alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian


125 CM

Fragmen tulang, alat tulang, perkutor, serpih berbahan rijang dan obsidian
100 CM

Fragmen tembikar, fragmen tulang alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian
Neolitik
75 CM

Fragmen tembikar, fragmen tulang, dan serpih rijang dan obsidian


50 CM

Fragmen tembikar
25 CM

Sampah masa kini berupa pecahan kaca, tutup botol, dan sampah plastik, bercampur tembikar
0 CM
T1S1 T1U1 T2U1 T2S1 T3U1 T3S1 T4S1 T2S3
90

4.2 Temuan Non Artefaktual


4.2.1 Fragmen Tulang Vertebrata
Sisa fauna vertebrata yang ditemukan dalam kegiatan ekskavasi di Gua Pawon adalah
fragmen tulang hewan vertebrata yang berasal dari fauna berukuran besar (macro fauna) dan fauna
berukuran kecil (micro fauna). Berdasarkan lingkungan habitasi faunanya, sebagian besar fauna
tersebut merupakan fauna vertebrata yang hidup di alam terbuka. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa keberadaan temuan sisa-sisa fauna tersebut di dalam gua di masa lalu didatangkan dari luar
Gua Pawon. Keberadaannya di Gua Pawon, besar kemungkinan terjadi karena adanya kaitan rantai
makanan yaitu sebagai bagian dalam pemenuhan kebutuhan bahan makanan (konsumsi), dan
mungkin juga terjadi untuk dipergunakan dalam pembuatan peralatan hidup sehari-hari.
Sisa-sasa makanan yang berasal dari kelompok vertebrata dan non vertebrata ditemukan
hampir diseluruh kedalaman spit penggalian, yaitu dengan kedalaman 3.25 m dari titik ukur. Data
yang menarik di antara temuan fragmen tulang vertebrata dan non vertebrata tersebut ditemukan
beberapa fragmen tulang yang telah diolah menjadi artefak. Diantaranya memiliki indikasi
penggunaan sebagai lancipan tunggal dan lancipan ganda.

4.2.2 Sisa Moluska


Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dari temuan pendalaman kotak ekskavasi T2U1,
T2S1, T3U1, T3S1, dan kotak T4S1 fragmen moluska yang ditemukan umumnya merupakan
moluska yang tergolong sebagai moluska air tawar (freshwater molusca) yang berasal dari famili
Gastropoda 10 dan Pelecypoda 11 . Secara keseluruhan temuan moluska yang ditemukan kotak
ekskavasi T2U1, T2S1, T3U1, dan T3S1 jumlah yang cukup banyak dan bervariasi dalam setiap
spit penggalian.
Di samping itu, beberapa fragmen moluska laut (marine molusca) juga ditemukan.
Fragmen-fragmen moluska laut tersebut merupakan bagian dari kelompok bivalvia karena
memiliki bidang yang cukup datar seperti halnya fragmen-fragmen bagian moluska yang
dipergunakan sebagai bagian dari perhiasan yang dibuat dengan cara melubangi salah satu bagian

10
Gastropoda adalah kerang yang mempunyai cangkang berbentuk bergelombang atau spiral. Memiliki tubuh
asimetris yang dilindungi oleh cangkang spiral. Berkembang biak dengan telur, dengan habitat air tawar dan air laut.
11
Pelecypoda adalah kerang yang mempunyai cangkang berbentuk setangkup. Memiliki tubuh simetris yang
dilindungi oleh cangkang setangkup. Berkembang biak dengan telur, dengan habitat air tawar dan air laut (Suhardi,
1983:41-42).
91

yang ditemukan dari ekskavasi sebelumnya di Gua Pawon, seperti temuan di kotak T2S3, dan
T3S3. Adanya temuan fragmen moluska tersebut saat ekakavasi di kotak T2U1, T2S1, T3U1,
T3S1, dan T4S1 sangat berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan fauna sebagai bahan
konsumsi manusia yang hidup dan menghuni Gua Pawon pada bagian era Plestosen-Awal
Holosen.
Secara keseluruhan hasil temuan ekskavasi di Gua Pawon dengan ragam temuan yang
dihasilkan dari kegiatan ekskavasi bila ditempatkan dalam lintasan budayanya, dapat ditabulasikan
pada table di halaman berikut.
92

Tabel 11. Lintasan budaya temuan hasil penelitian di Gua Pawon


KOTAK EKSKAVASI 2003-2018 (Tahap I) KOTAK EKSKAVASI 2019-2021 (Tahap II, III)
INTERVAL KRONOLOGI
T1S1 T1U1 T2S2 T2S3 T2S4 T2S5 T3S2 T3S3 T2U1 T2S1 T3U1 T3S1 T4S1
0 - 25 CM Sampah masa kini berupa pecahan kaca, tutup botol, dan sampah plastik, bercampur tembikar, dan Sampah masa kini berupa pecahan kaca, tutup botol, dan sampah plastik,
tulang binatang bercampur tembikar, dan tulang binatang

NEIOLITIK
25 – 50 CM Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang

50 – 75 CM Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, dan serpih rijang dan obsidian, Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, dan serpih
perkutor. rijang dan obsidian, perkutor.

75 – 100 CM Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang, perkutor. dan Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih
obsidian berbahan rijang, perkutor. dan obsidian

100 – 125 CM Fragmen moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, perkutor, serpih berbahan rijang dan obsidian, Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, perkutor,
temuan bagian rangka manusia R.I, II, dan V (kotak T2S3, T3S3) serpih berbahan rijang dan obsidian

125 – 150 CM Fragmen moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, Fragmen tembikar, moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih
perkutor,.temuan rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.III (kotak T2S3) berbahan rijang dan obsidian, perkutor

150 – 175 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor,.temuan Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.IV (kotak T2S3) obsidian, perkuto

175 – 200 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, temuan Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.V (kotak T3S2), serta pemanfaatan batu gamping obsidian, perkutor, temuan rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.V
sebagai artefak (kotak T3S2), serta pemanfaatan batu gamping sebagai artefak

200 – 225 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, temuan rangka Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
manusia yang terkubur posisi terlipat R.VI (kotak T2S3), serta pemanfaatan batu gamping sebagai obsidian, perkutor, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
artefak

MESOLITIK
225 – 250 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, temuan Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
rangka manusia yang terkubur posisi terlipat R.VII (kotak T3S3), serta pemanfaatan batu gamping obsidian, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
sebagai artefak

250 – 275 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, serta Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan
pemanfaatan batu gamping sebagai artefak obsidian, perkutor, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak

275 – 300 CM Moluska, fragmen tulang binatang, alat tulang, serpih berbahan rijang dan obsidian, perkutor, serta fragmen tulang binatang, serpih berbahan rijang dan obsidian,dan
pemanfaatan batu gamping sebagai artefak pemanfaatan batu gamping sebagai artefak

300 – 325 CM Moluska, fragmen tulang binatang, serpih berbahan rijang, dan pemanfaatan batu gamping sebagai fragmen tulang binatang, dan pemanfaatan batu gamping sebagai artefak
artefak
93

4.3 Vertebrata Gua Pawon dan Stratigrafinya


Temuan fauna hasil penelitian Gua Pawon 2021 telah melengkapi hasil temuan sisa fauna
dari proses ekskavasi yang telah dilaksanakan sejak tahun 2019. Karena keterbatasan waktu untuk
menganalisis temuan, dalam laporan dicoba analisis secara spesifik untuk melihat lintasan
stratigrafi jenis fauna temuan kotak T3S1 sebagai model dasar untuk analisis temuan fauna
berdasarkan jumlah temuan serta keragaman jenis fauna sehingga diharapkan dapat menjadi
gambaran dasar fauna situs Gua Pawon. Hasil analisis temuan vertebrata (fauna) di kotak T3S1
berdasarkan taksonominya ditabulasikan sebagai berikut.

Tabel 12. Taksonomi Temuan Fauna di Kotak T3S1


Taxa Umum Taxa Nama Lokal
1 2 3
Homo sapiens Manusia
Macaca fascicularis Monyet ekor panjang
Macaca sp. Monyet
PRIMATA Trachypithecus sp. Monyet daun / Lutung
Hylobates cf. moloch Owa Jawa
Nycticebus cf. coucang Kukang
Cercopithecidae Kelompok monyet
Sus sp Babi
Muntiacus muntjak Kijang
Tragulus kanchil Kancil/Pelanduk
Cervidae Kelompok rusa
Artiodactyl
Cervus sp Rusa
Bovidae Kelompok Sapi
Bubalus cf. sp Kerbau
Bos cf. sp Sapi
Perissodactyl Rhinoceros sp * Badak
Probocidea Elephas sp Gajah Asia
Paradoxurus sp Musang/Luwak
Prionailurus cf.
Carnivora bengalensis Kucing liar tutul
Panthera cf. pardus Macan liar tutul
Vivveridae Kelompok musang
Muridae Kelompok tikus
Hystrix brachyura Landak
Rodentia
Leopoldamys sp Tikus hutan
Sciuridae Kelompok tupai
94

1 2 3
Python sp Ular sanca
Varanus sp Biawak/Kadal Besar
Reptilia Geoemydidae Kura-kura
Tryonichidae Labi-labi
Ophidia Kelompok ular
Chiroptera Microchiroptera Kelelawar insectivora
Actinopterygii Cyprinidae Sejenis ikan mas
Chondrychthyes Selachimorpha Ikan hiu
Galliformes Gallidae Kelompok ayam
95

Gambar 4. Diagram diversitas temuan fauna Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
96

Gambar 5. Grafik perubahan presensi fauna tiap spit Gua Pawon


(Model T3S1: Temuan 2019-2021)
97

Gambar 6. Grafik temuan teridentifikasi tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
98

Gambar 8. Grafik temuan seluruh spesimen tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
99

Gambar 9. Grafik temuan spesimen terbakar tiap spit Gua Pawon (Model T3S1: Temuan 2019-2021)
100

Secara keseluruhan dari hasil ekskavasi kotak T3S1 di Gua Pawon mengandung
34 spesies yang dapat diidentifikasi (Tabel 1). Salah satu temuan yang menarik pada
penelitian 2021 adalah ditemukannya spesimen molar dentition dari kelompok
Rhinoceros sp (Kelompok Badak) dan molar dentition dari Homo Sapiens (Manusia).
Berdasarkan diagram diversitas (Gambar 4), dapat disimpulkan bahwa temuan
fauna dari situs Gua Pawon didominasi oleh kelompok dari Macaca fascicularis
(15.69%), Sus sp (12.5%), Macaca sp (11.04%), Cercopithecidae (10.13%), dan
Cervidae (6.66%). Diagram ini juga menunjukkan keanekaragaman fauna yang dapat
ditemukan pada ekologi sekitar Gua Pawon yang dihadiri oleh fauna arboreal, terrestrial,
aquatic, maupun cavernicole. Sedangkan grafik presensi fauna (Gambar 5)
menggambarkan dengan jelas bahwa presensi fauna memiliki tren meningkat sejak Spit
2 hingga puncaknya pada spit 15 dengan jumlah temuan hingga 15 spesies. Setelah itu,
jumlah presensi spesies relatif menurun sampai pada spit terakhir, 57. Secara lebih rinci,
dapat disimpulkan bahwa temuan spit 45 - 57 mayoritas berisikan oleh fauna yang bersifat
lokal dengan lingkungan Gua Pawon.
Meskipun presensi fauna mencapai puncak pada spit 15, data presensi memiliki
perbedaan dengan data jumlah temuan seluruh spesimen (Gambar 6 & 7) yang
menunjukkan bahwa temuan terakumulasi dengan jumlah sangat melimpah pada spit 20
- 40. Secara umum, jumlah temuan relatif meningkat semenjak spit 2 hingga spit 40 dan
berangsur menurun hingga tidak ditemukan pada beberapa spit terakhir.
Analisis tafonomi pada temuan fauna yang dilakukan juga menunjukkan indikasi
kuat bahwa fauna pada situs Gua Pawon secara intensif digunakan sebagai bahan
konsumsi. Pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa temuan fauna relatif pada
kondisi tidak utuh, terutama pada bagian tulang utama, serta diperkuat dengan temuan
teridentifikasi yang memiliki angka jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan temuan
keseluruhan dari tiap spit. Pola ini secara jelas terlihat paling tidak pada spit 2 hingga spit
40. Selain itu, data temuan fauna yang memiliki sisa terbakar (derajat rendah hingga
tinggi) juga tersebar sejak spit 2 hingga spit 38. Peneliti meyakini bahwa temuan fauna
pada rentang spit 40 - 57 memiliki kemungkinan kecil menjadi bahan konsumsi
dikarenakan kelompok taksonomi yang ditemukan memiliki dominasi berupa fauna asli
penghuni Gua dengan kondisi tafonomi relatif utuh dan tidak terbakar.
101

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Penelitian di Gua Pawon tahun 2021 telah berhasil menuntaskan pendalaman
ekskavasi kotak T2U1, T2S1, T3U1, dan T3S1 hingga kedalaman akhir 320 cm dari titik
ukur yang dijadikan sebagai kedalaman akhir dari lapisan budaya yang berisi tentang
kehidupan manusia dan budaya akhir Plestosen-Holosen di Gua Pawon yang berlangsung
sekitar 12.000 tahun yang lalu.
Dari sisi temuan tinggalan alat batunya dapat digambarkan ekskavasi yang
dilakukan di kotak T2U1, T2S1, T2S2, T3U1, T3S1, T4S1 telah dapat menggambarkan
tentang aktivitas manusia dengan budayanya yang menjadi target penelitian. Dari sisi
penggunaan peralatan yang menggunakan bahan batu, dapat dilihat bahwa kehadiran
bahan batuan yang kemudian dijadikan sebagai artefak yang materialnya berasal dari luar
lingkungan gua seperti keberadaan peralatan yang terbuat dari bahan rijang, kalsedon,
obsidian, andesit dan peralatan berbahan batu gamping yang memperlihatkan bentuk
seperti kapak perimbas, penetak, lancipan, dan juga ada yang termasuk dalam kategori
alat serpih.
Jujur untuk disampaikan karena pelaksanaan penelitian terkendala Covid-19
menyebabkan kegiatan analisis temuan hasil ekskavasi dan jadwal pengumpulan laporan
yang ditentukan berakhir di tanggal 15 November 2021 menyebabkan pelaporan belum
dapat menyuguhkan analisis temuan secara lebih detil, akan tetapi dari ragam temuan
yang dihasilkan dari pembukaan kotak T2U1, T2S1, T2S2, T3U1, T3S1, dan T4S1 telah
dapat memberikan simpulan tentang jejak aktivitas manusia dan budaya era Plestosen
Akhir-Awal Holosen yang berlangsung di Gua Pawon pada masa lalu.

5.2 Rekomendasi
Mengacu hasil rangkaian hasil ekskavasi arkeologis yang telah dilakukan di Gua
Pawon yang telah dapat memberikan sebagian dari gambaran temuan budaya dengan
kisaran lintasan masa Akhir Plestosen-Awal Holosen sebenarnya penelitian lanjutan
masih terbuka untuk dilakukan. Hal ini dikemukakan karena bila dilihat dari rangkaian
migrasi manusia dan budaya prasejarah pada periode yang lebih tua oleh para ahli
disimpulkan melalui Kawasan pulau Jawa bagian barat, termasuk Kawasan Jawa Barat.
Maka tidak tertutup kemungkinannya juga akan ditemukan lapisan budaya itu di Gua
102

Pawon. Hal tersebut juga didukung dengan temuan artefak litik sederhana baik berbahan
batu gamping dari hasil ekskavasi di Gua pawon maupun berbahan batu andesit temuan
dari Gua Parebatu yang masih merupakan bagian dari lingkungan Gunung Pawon.
Penelitian lainnya yang juga perlu dilakukan adalah ekskavasi di bagian gua lain
yang belum tersentuk penelitian arkeologi yaitu di Gua Peteng yang terletak lebih rendah
dari Gua pawon yang berada di sisi sebelah utara Gunung Pawon serta satu gua lagi yang
berada di tebing sisi selatan Gunung Pawon.
Tidak kalah menariknya hasil penelitian berupa 7 rangka manusia dari lintas masa,
beragam artefaktual dari bahan batuan, tulang, gigi, tandung, perhiasan dari gigi binatang,
kerang, gigi ikan, beragam sisa fauna, dan berbagai produk hasil pengemabangan
penelitian sudah selayaknya dikembangkan dalam satu konsep site museum seperti yang
dikembangkan pemerintah di Museum Song Terus, Pacitan, Jawa Timur.
Hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini di Gua Song Terus dari hasil
kunjungan studi banding yang dilakukan dari tanggal 8 sampai 14 November yang lalu,
dapat dicatat berbagai fasilitas utama yang dibangun oleh pemerintah maupun hasil
Kerjasama dengan pihak asing yang ikut mengembangkan penelitian di Song Terus.
Selain Laboratotium Artefak yang langsung berada di bawah Lembaga penelitian, di
likasi penelitian yaitu di Song terus selain konservasi situs dan jejak ekskavasinya
dikonservasikan, juga dibangunan fasilitas pendukung penelitian, dan terakhir
dibangunkan Gedung museum berukuran cukup besar yang diberi nama Site Museum
Song Terus.
Hal ini dikemukakan karena dukungan data sudah sangat memadai serta dukungan
masyarakat yang mau menghibahkan tanahnya untuk pembangunan Site Museum di
lingkungan Kawasan Gua pawon yang juga didukung oleh laboratorium atau ruang
penyimpanan dan analisis temuan hasil ekskavasi yang sudah dilakukan sejak tahun 2003
hingga 2021. Sementara itu penelitian lintas disiplin arkeologi dengan ilmu pendukung
lainnya sampai sekarang terus dikembangkan dan telah menghasilkan berbagai kajian dari
aspek odontology forensic khususnya dalam ranah arkeo-odontologi di Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran, Bandung, serta berbagai kajian tingkat sarjana
maupun magister di berbagai Universitas di Indonesia.
Tentunya kedepan temuan hasil penelitian arkeologi yang sudah dihasilkan di Gua
Pawon ini akan selalu menjadi ajang kajian ilmiah, baik di Pendidikan tinggi maupun
para ahli dari disiplin terkait, seperti halnya temuan gigi gajah yang sekarang sedang
dilanjutkan penelitiannya oleh paleontolog Institut Teknologi Bandung.
103

Foto 50. Site Museum Song Terus hasil kunjungan ekskursi 8-14 Nov 2021
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Nies dkk.
104

1986 “Survei di Daerah Cililin, Bandung”. Dalam BPA No. 36 : Laporan Penelitian
Arkeologi dan Geology di Jawa Barat. Jakarta : Depdikbud
Bemmelen, R.W. van
1949 Geology of Indonesia; vol. I A. General Geology-The Bandung Zone, p. 637-645
Clark, Grahame
1969 Archaeology and Society: Reconstructing The Prehistoric Past. New York:
Barners & Noble Books. Division of Harper and Row Publishers.
Dam, M. A C. Suparan, P. And Hidayat, S.,
1986 Reconnaisance Survey in The Bandung Basin: Openfile Report, Geological
Research and Development Center. Directorate General of Mines and Energy,
Bandung
Dam, M.A.C, Suparan, P.
1992 Geology of the Bandung Basin Deposits: Geological Research and Development
Center. Directorate General of Minesand Energy, Bandung & Earth Sciences
Department, Free University, Amsterdam
Eriawati, Yusmaini
1997 “Gua Sumpang Bita : Model Kajian Pemukiman Skala Mikro”. Dalam Naditira
Widya. Bulletin Arkeologi. Balai Arkeologi Banjarmasin. Hal. 63-69.
Heine Geldern, Robert von
1945 Prehistoric Research in The Netherlands Indies.
Heekeren, HR. Van
1972 The Stone Age of Indonesia. Rev. 2nd. The Hague-Martinus Nijhoff
Koesoemadinata, R.P
1959 Riwayat Geologi Dataran Tinggi Bandung. Arsip Pengetahuan Direktorat
Geologi. Nomor 3. Bandung.
Kosasih
1999 “Teknik Analisis Gua dan Upaya Pelestarian Lingkungan Karst”. Makalah pada
Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi. Lembang, 22-26 Juni 1999.
Narrol, Roul
1962 “Floor Area and Settlement Population”. American Antiquity 27. Hal. 587-589.

Simanjuntak, Truman
105

1993 “Perwajahan Mesolitik Di Indonesia” Dalam Amerta. Jakarta: Pusat Penelitian


Arkeologi Nasional. Hal 5-16.
2001 “Prasejarah Indonesia Dalam Konteks Asia Tenggara Di Sekitar Holosen Awal
Data Baru Dalam Penelitian Dasa Warsa Terakhir”. Dalam Edi Sedyawati dan
Susanto Zuhdi (peny.) Arung Samudra, Persembahan Memperingati Sembilan
Windu A.B. Lapian. Depok: Pusata Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya –
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Hal. 661-682
Soejono, R.P.
1984 “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta : PN.
Balai Pustaka
Yondri, Lutfi
2003 Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Bandung : Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).
Yondri, Lutfi
2004a Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten
Bandung – Jawa Barat. Bandung : Kerja sama Balai Arkeologi Bandung dan Balai
Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional - Jawa Barat (Tidak
diterbitkan).
2004b Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten
Bandung – Jawa Barat. Bandung : Kerja sama Balai Arkeologi Bandung dan Balai
Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional - Jawa Barat (Tidak
diterbitkan).
2005 Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten
Bandung – Jawa Barat. Bandung : Balai Arkeologi Bandung
(Tidak diterbitkan).
2009 Laporan Kegiatan Ekskavasi di Gua Gunung Tanjung, Desa Gunung Masigit Kabupaten
Bandung – Jawa Barat. Bandung : Balai Arkeologi Bandung (Tidak diterbitkan).
2011 Laporan Hasil Penelitian Prasejarah Tinggalan Gua Di Desa Gunung Masigit Kecamatan
Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat (Tidak diterbitkan)
2012 Laporan Hasil Penelitian Prasejarah Di Gua Ketuk, Desa Gunung Masigit Kecamatan
Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat (Tidak diterbitkan)
2014 Laporan Hasil Penelitian Ekskavasi lanjutan di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat (Tidak diterbitkan)
106

2017 Laporan Hasil Penelitian Ekskavasi lanjutan di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat (Tidak
diterbitkan)
2018 Laporan Hasil Penelitian tentang Manusia dan Budaya Plestosen Akhir-Awal
Holosen di situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat,
Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat Tahap I (Tidak diterbitkan)
2019 Laporan Hasil Penelitian tentang Manusia dan Budaya Plestosen Akhir-Awal
Holosen di situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat,
Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat Tahap II (Tidak diterbitkan)
107

Lampiran
Lampiran 1 Kunjungan Reviewer

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
BADAN STANDAR, KURIKULUM, DAN ASESMEN PENDIDIKAN
PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL
Jalan Raya Condet Pejaten Nomor 4, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Telepon (021) 7988171, 7988131, Faksimile (021) 7988187
Laman arkenas.kemdikbud.go.id, Pos-el arkenas@kemdikbud.go.id

Nomor : 1372/H6/PG.02.00/2021 30 September 2021


Lampiran : satu lembar
Hal : Monitoring Penelitian

Yth. Kepala Balai


Arkeologi Jawa Barat di
Bandung, Jawa Barat

Dengan hormat, sehubungan dengan kegiatan Penelitian Arkeologi Berbasis SBK SKP T.A.
2021 yang mulai dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi di
seluruh Indonesia, dengan ini kami sampaikan bahwa terdapat beberapa kegiatan penelitian
yang akan dimonitoring oleh Pihak Penyelenggara Penelitian dan Reviewer.

Berkenaan dengan hal tersebut, kami informasikan sekaligus mengundang Saudara untuk
dapat mengikuti monitoring penelitian Manusia dan Budaya Prasejarah era Akhir Plestosen
– Awal Holosen di Situs Gua Pawon – Jawa Barat yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 – 8
Oktober 2021, di Bandung Barat, Jawa Barat. Adapun biaya perjalanan ditanggung oleh
masing-masing Satker. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi narahubung Rama Putra
(0877-8118-4727).

Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami sampaikan terima kasih.

Kepala Pusat,

Dr. I Made Geria, M.Si


NIP 196201011986031002
108

SUSUNAN ACARA KEGIATAN MONITORING PENELITIAN

MANUSIA DAN BUDAYA PRASEJARAH ERA AKHIR PLESTOSEN – AWAL


HOLOSEN DI SITUS GUA PAWON – JAWA BARAT

Hari, Tanggal Waktu Kegiatan

Selasa, 5 Oktober 2021 10.00 – 13.00 Perjalanan ke Bandung

13.00 – 14.30 Cek In

14.30 – 17.00 Diskusi Monitoring

Rabu, 6 Oktober 2021 09.00 – 16.00 Monitoring Penelitian Gua Pawon

Kamis, 7 Oktober 2021 09.00 – 16.00 Monitoring Penelitian Gua Pawon

Jumat, 8 Oktober 2021 08.00 – 10.00 Diskusi Hasil Monitoring

10.00 – 13.00 Cek Out, Perjalanan ke Jakarta

Kunjungan Reviewer (Anggaran dan Substansi) di kegiatan ekskavasi Gua Pawon 6 September 2021
109

Lampiran 2 (submeeted Jurnal Internasional Morphologie)


Confirm co-authorship of submission to Morphologie
Inbox

Morphologie <em@editorialmanager.com> Sun, Apr 4,


4:14 PM
to me

*This is an automated message. *


Journal: Morphologie
Title: The Macroscopic and Microscopic Description of 11.000-Year-Old Human
Frontal Bone Specimen using Micro-CT
Corresponding Author: Dr Erli Sarilita
Co-Authors: Haura Alya Rachmah, BDS; Murnisari Dardjan, DDS, MSc.; Lutfi
Yondri, Dr.; Craig A. Cunningham, PhD; Fahmi Oscandar, DDS, M.OMFR, PhD
Manuscript Number:

Dear Lutfi Yondri,


Dr Erli Sarilita submitted this manuscript via Elsevier's online submission system,
Editorial Manager, and you have been listed as a Co-Author of this submission.
Elsevier asks Co-Authors to confirm their consent to be listed as Co-Author and
track the papers status. In order to confirm your connection to this submission,
please click here to confirm your co-authorship:

https://www.editorialmanager.com/morpho/l.asp?i=62130&l=HPHPOTMB
If you have not yet registered for the journal on Editorial Manager, you will need
to create an account to complete this confirmation. Once your account is set up
and you have confirmed your status as Co-Author of the submission, you will be
able to view and track the status of the submission as it goes through the editorial
process by logging in at https://www.editorialmanager.com/morpho/
If you did not co-author this submission, please contact the Corresponding Author
directly at erli.sarilita@fkg.unpad.ac.id

Thank you,

Morphologie

More information and support


FAQ: What is Editorial Manager Co-Author registration?
https://service.elsevier.com/app/answers/detail/a_id/28460/supporthub/publishing
/kw/co-author+editorial+manager/
%CUSTOM_AUTHORSUPPORT%
%CUSTOM_GENERALSUPPORT%

__________________________________________________
In compliance with data protection regulations, you may request that we remove
your personal registration details at any time. (Use the following
URL: https://www.editorialmanager.com/morpho/login.asp?a=r). Please contact
the publication office if you have any questions.
110
111

Lampiran 3 (Berita Penelitian di Media Cetak)


112
113

Lampiran 4
Jejak Manusia Prasejarah Era Akhir Pleistosen di Goa Pawon
Restu Nugraha
- Selasa, 21 September 2021 | 21:00 WIB

Pencarian jejak manusia prasejarah di Goa Pawon yang terletak di Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) terus dilakukan tanpa henti.
(Ayobandung,com/Restu Nugraha)
NGAMPRAH, AYOBANDUNG.COM — Pencarian
jejak manusia prasejarah di Goa Pawon yang terletak di Desa Gunung
Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) terus
dilakukan tanpa henti.
Terbaru, tim Arkeologi Jabar kembali melakukan ekskavasi, demi
mengumpulkan informasi lebih detail.
Langkah itu dilakukan untuk menelusuri jejak
kehidupan manusia prasejarah atau manusia Pawon di era
akhir Pleistosen. Tim Arkeologi Jabar rencananya melakukan ekskavasi
selama 25 hari.
"Karena Gua Pawon cukup luas maka bisa disimpulkan gua itu multifungsi.
Di sana dia (manusia Pawon) melaksanakan aktivitas harian seperti
mengolah makanan dan membuat alat. Itulah yang kita lihat dalam
114

ekskavasi saat ini," kata Kepala Tim Arkeolog Jabar, Lutfi Yondri, Selasa 21
September 20201.
Sudah sekitar enam hari, Tim Arkeolog Jabar berada di Gua Pawon untuk
meneliti aktivitas dan budaya manusia prasejarah.
Pada 3.000 sampai 11.000 tahun lalu, dengan kedalaman 3,20 meter,
pihaknya sudah menemukan berbagai peninggalan manusia Pawon pada
masa lampau.
"Kita memang belum sampai pada lapisan paling tua yang 12.000 ribu
tahun lalu. Tapi kita sudah melihat jejak aktivitas mereka yang
diperlihatkan dari sisa makanan, artefak yang mereka tinggalkan, dan
perhiasan yang dipakai saat itu," ungkap Lutfi.
"Jadi kita sudah temukan perkutor, batu pukul, dan artefak di tepian danau
Bandung purba itu opsidian. Kita juga sudah menganalisis mereka
menadapatkan opsidian, yaitu dari daerah Nagreg dan Garut,"
"Selain itu ada ragam fragmen tulang binatang buruan. Cukup menarik
kita temukan gajah di lapisan atas 2 meter, meski dalam bentuk anak
gajah, karena mungkin sulit membawa gajah besar ke tebing atas,"
tambahnya.
Dikatakannya, pada bagian bawah Tim Arkeolog Jabar juga menemukan
indikasi bahwa manusia prasejarah di Gua Pawon tidak hanya
menggunakan artefak dari bahan batuan dari luar.
"Tapi juga mereka mengolah batu gamping baik berupa kapak atau
perkutor," ucap Lutfi.
Dirinya menjelaskan, pada ekskavasi lanjutan ini pihaknya ingin melihat
ragam aktivitas lainnya di Gua Pawon pada masa lampau. Tim Arkeolog
Jabar ingin menggambarkan kehidupan era Holosen.
Dari mulai mereka membuat alat dari batuan dan tulang,membuat
perhiasan dari tulang buruan, memanfaatkan lingkungan lain untuk
konsumsi seperti moluska, dan bagaimana mereka mengeksploitasi
batuan opsidian pada saat itu.
"Jadi target utamanya adalah kita ingin melihat manusia dan budayanya
di Gua Pawon pada saat saat itu. Target kedalaman 3,2 meter sudah
membatasi lapisan budaya holosen," ujarnya.
Proses ekskavasi di Gua Pawon sendiri sudah dimulai sejak tahun 2003.
Dari proses ekskavasi,
Tim Arkeolog Jawa Barat sudah menemukan tujuh
rangka manusia prasejarah dari lima kronologi (pertanggalan karob) yang
menguatkan kesimpulan bahwa manusia pawon hidup pada
era Pleistosen Akhir-Awal Holosen.
115

Rangka pertama ditemukan September 2013 yang berumur 5.600 tahun


lalu.
Begitupun usia rangka kedua dan kelima pun sama. Rangka ketiga
diperkirakan berusia 7.300 tahun lalu, rangka keempat berusia 9.500 tahun
yang lalu, rangka keenam berusia 10.000 tahun lalu dan rangka ketujuh
berusia 12.000 tahun lalu.
"Kerangka manusia yang sudah ditemukan ada 7, dari lapisan budaya
yang berbeda di Gua Pawon. 7 Kerangka itu diklasifikasikan dari hasil
penguburan langsung dan tidak langsung," terang Lutfi.
Baca Juga: Menikmati Wisata Prasejarah di Stone Garden
Bandung Barat
Dari ketujuh kerangka manusia prasejarah yang ditemukan, ada empat
kerangka manusia yang masih utuh yakni rangka ketiga, keempat, keenam
dan ketujuh.
Kerangka itu disebut utuh jika dari rangkaian anatominya terdapat kepala,
leher, tulang belakang, tangan hingga kaki.
Semua penemuan itu menjadi fragmen penting, dalam
menyusun jejak manusia prasejarah di Goa Pawon. [*]
116

Lampiran 5

Arkeolog Temukan Kapak Perimbas Batu Gamping, Saat Ekskavasi


Goa Pawon
Restu Nugraha

- Rabu, 29 September 2021 | 08:04 WIB

Tim Arkeologi Jabar berhasil menemukan artefak kapak perimbas terbuat dari batu gamping saat
melakukan ekskavasi di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten
Bandung Barat (KBB). (Ayobandung.com/Restu Nugraha)

NGAMPRAH, AYOBANDUNG.COM — Tim Arkeologi Jabar berhasil


menemukan artefak kapak perimbas terbuat dari batu gamping saat
melakukan ekskavasi di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit, Kecamatan
Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Diketahui, Tim Arkeologi Jabar melakukan ekskavasi di 5 kotak galian yang


berdekatan dengan lokasi penemuan kerangka Manusia Pawon.
117

Hasilnya, arkeolog menemukan beberapa artefak baru diantaranya kapak


perimbas, kapak penetak, dan lancipan dalam ukuran besar.

Kapak perimbas ini jadi penanda kebudayaan masa zaman batu


(palaeolitikum). Jika biasanya artefak zaman paleolitik berbahan andesit,
di Goa Pawon ini justru ditemukan dari batu gamping untuk alat-alat
berburu dan mengolah makanan.

Kepala Tim Arkeolog Jabar, Lutfi Yondri mengatakan kalau di goa-goa kars
Sulawes batu gamping dipakai untuk lancipan dan alat-alat serpih di era
Mesolitik, di Goa Pawon justru era palaeolitik.

"Nah di Goa Pawon ini kita menemukan dari periode lebih tua, tidak hanya
alat serpih dari bahan batu gamping, kita juga menemukan alat palaeolitik
memakai batu gamping seperti kapak perimbas, kapak penetak, lancipan
dalam ukuran besar. Bukan lancipan kecil, tapi besar. Ini penanda budaya
cukup tua di Goa Pawon," papar Lutfi saat ditemui, Selasa 28 September
2021.

Kapak perimbas ini digunakan dengan cara digenggam, oleh sebab itu
terkadang kapak perimbas juga disebut dengan kapak genggam.

Fungsi kapak perimbas pada masa perburuan untuk menusuk hewan dan
menggali tanah untuk memperoleh umbi-umbian. Karena bahan
dasarnya yang keras, kapak ini bisa untuk memotong hasil buruan yang
sama kerasnya dan cukup tebal.

Menurut Lutfi, dengan adanya pemanfaatan batu gamping membuka


informasi baru bahwa manusia zaman dulu beradaptasi dalam membuat
perkakas.

Karena daerah Citatah sulit ditemukan batu andesit atau obsidian, maka
mereka memanfaatkan sumber daya yang ada yaitu batu gamping.

"Ini bukti bahwa budaya itu adalah sistem adaptasi manusia dari
lingkungannya. Dalam beradaptasi manusia cenderung mengeksplorasi
atau memanfaatkan sumber daya lingkungan yang ada," tambahnya.
118

Tim Arkeologi Jabar berhasil menemukan artefak kapak perimbas terbuat dari
batu gamping saat melakukan ekskavasi di Gua Pawon, Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
(Ayobandung.com/Restu Nugraha)

Selain kapak, tim Arkeolog juga menemukan berbagai tuluang buruan


berupa anak gajah dan tapir.

Tulang anak gajah ditemukan sangat logis, karena manusia Pawon cukup
sulit kalau harus membawa gajah besar ke dalam goa.

"Selain itu ada ragam pragmen tulang binatang buruan. Cukup menarik
kita temukan tulang gajah dan tapir di lapisan atas 2 meter, meski dalam
bentuk anak gajah, karena mungkin sulit membawa gajah besar ke tebing
atas," tambahnya.

Baca Juga: Jejak Manusia Prasejarah Era Akhir Pleistosen di


Goa Pawon
119

Dengan adanya berbagai temuan artefak itu Lutfi menyimpulkan


bahwa Goa Pawon merupakan goa multifungsi. Selain sebagai
penguburan juga intensif dipakai untuk aktivitas sehari-hari.

"Karena Goa Pawon ini cukup besar ukurannya. Kalau dikaitkan dengan
teori hunian goa, besar kemungkinan bahwa goa ini multifungsi. Tidak
hanya untuk penguburan, tapi juga aktivitas keseharian," pungkasnya. [*]
120

Lampiran 6

Ekskavasi Kehidupan Manusia Purba di Gua


Pawon, Ini Temuan Tim Arkeolog Selama 25
Hari

Suhardiman Minggu, 10 Oktober 2021 | 15:09 WIB

Kepala Tim Arkeologi Jabar, Lutfi Yondri memperlihatkan hasil Ekskavasi di Gua Pawon.
[Suara.com/Ferry Bangkit Rizki]

SuaraJabar.id - Ekskavasi lanjutan di Gua Pawon yang terletak di Desa


Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB)
rampung dilakukan Tim Arkeologi Jabar. Ekskavasi dilakukan selama 25 hari.

Ekskavasi lanjutan dilakukan untuk menelusuri jejak kehidupan manusia


prasejarah di era Holosin hingga akhir Pleistosen yang pernah hidup di masa
lampau di Gua Pawon.

Kepala Tim Arkeolog Jabar, Lutfi Yondri mengatakan, tujuan ekskavasi


adalah untuk mengetahui lebih tentang manusia dan budaya era holosin di
Gua Pawondibalik temuan manusia yang sudah kita temukan selama ini.
121

"Kita sudah dapat mengetahui bagaimana sebenarnya kehidupan era holosin


di Gua Pawon lewat temuan dari hasil ekskavasi yang sudah kita lakukan,"
kata Lutfi, Minggu (10/10/2021).

Baca Juga:Heboh, Bayi Laki-laki Ditemukan di Pinggir Sungai

Dari hasil ekskavasi lanjutan tahun 2021, Tim Arkeologi Jabar kembali
menemukan jejak-jeka kehidupan dan kebudayaan manusia purba di Gua
Pawon. Seperti sisa-sisa makanan berupa frgamen tulang binatang, fragmen
moluska yang dikonsumsi manusia pawon pada 5.600-12.000 tahun lalu.

Saat itu manusia pawon mengkonsumsi hewa buruan seperti tapir, rusa,
kera, babi hutan, kera hingga binatang laut.

"Artinya mereka tidak hanya memburu dan mengkonsumsi binatang besar


mereka juga memburu binatang air seperti moluska itu," katanya.

Pihaknya juga menemukan dua gigi orang dewasa dan beberapa artefak
berupa alat-alat batu, alat-alat tulang yang mereka gunakan untuk
mensupport kehidupan saat itu. Artefak yang digunakan manusia pawon
ketika itu berasal dari luar maupun memanfaatkan sumber daya gua tersebut.

"Artinya bahan-bahan yang tidak tersedia di Gua Pawon tapi mereka bawa
dari luar seperti obsidian kemudian rijang, khalsedon, dan andesit yang
mereka gunakan sebagai perkutor.
Mereka juga memanfaatkan batu gamping sebagai alat bantu," kata Lutfi.

Baca Juga:Survei: 61 Persen Anak Muda Indonesia Merasa Bertanggung


Jawab Pada Lingkungan

Hasil temuan ekskavasi lanjutan tahun ini kemudian akan dianalisis untuk
mengetahui lebih detail kehidupan era holosin di Gua Pawon.
122

"Nanti dari hasil analisis seperti hewan mana yang pertama hadir, kemudian
mereka konsumsi kapan. Dia mengalami puncak eksploitasi dalam
kehidupan, kapan berakhir dan digantikan oleh hewan apalagi," terangnya.

Proses ekskavasi di Gua Pawon sudah dimulai sejak tahun 2003. Dari proses
ekskavasi, Tim Arkeolog Jawa Barat sudah menemukan tujuh rangka
manusia prasejarah dari lima kronologi (pertanggalan karob) yang
menguatkan kesimpulan bahwa manusia pawon hidup pada era Pleistosen
Akhir-Awal Holosen.

Rangka pertama ditemukan September 2013 yang berumur 5.600 tahun lalu.
Begitupun usia rangka kedua dan kelima pun sama. Rangka ketiga
diperkirakan berusia 7.300 tahun lalu, rangka keempat berusia 9.500 tahun
yang lalu, rangka keenam berusia 10.000 tahun lalu dan rangka ketujuh
berusia 12.000 tahun lalu.

"Kerangka manusia yang sudah ditemukan ada 7, dari lapisan budaya yang
berbeda di Gua Pawon. 7 Kerangka itu diklasifikasikan dari hasil penguburan
langsung dan tidak langsung," terang Lutfi.

Dari ketujuh kerangka manusia prasejarah yang ditemukan, ada empat


kerangka manusia yang masih utuh yakni rangka ketiga, keempat, keenam
dan ketujuh. Kerangka itu disebut utuh jika dari rangkaian anatominya
terdapat kepala, leher, tulang belakang, tangan hingga kaki.

Kontributor : Ferrye Bangkit Rizki


123

Lampiran 7 (Presentasi International)


124
125
126

Anda mungkin juga menyukai