Anda di halaman 1dari 3

KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI TARIF BEA KELUAR ATAS KELAPA SAWIT, CPO,

DAN PRODUK TURUNANNYA

Oleh : Pusat Kebijakan Pendapatan Negara,


Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan

A. Gambaran Umum

Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit mentah yakni Crude Palm Oil (CPO)
dan Crude Palm Kernel Olein (CPKO) terbesar di dunia dengan produksi CPO 22 juta ton pada tahun
2010. Namun demikian sebagian besar produksi CPO tersebut digunakan untuk keperluan ekspor.
Pada tahun 2010, ekspor CPO mencapai 50% dibandingkan penggunaan dalam negeri. Sedangkan
ekspor CPKO mencapai 85% jika dibandingkan dengan penggunaan dalam negeri.

Pemanfaatan CPO dalam negeri selama ini untuk digunakan sebagai bahan baku industri
turunan CPO yang terdiri dari delapan belas jenis produk yang terbagi pada industri pangan dan
industri non pangan. Produk CPO pada industri pangan antara lain produk minyak goreng, margarin,
shortening, CBS, Vegetable Ghee. Pada industri non pangan yakni produk oleokimia antara lain fatty
acids, fatty alcohol, dan glycerin dan biodiesel.

B. Latar belakang kebijakan

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada periode tahun 2006 hingga 2010 kontribusi
volume ekspor maupun nilai ekspor produk hilir tingkat 1 terhadap total ekspor produk sawit dan
turunannya terus menurun. Komposisi volume ekspor produk hilir tingkat 1 tersebut mengalami
tingkat terendah pada tahun 2010 yakni 33,38% dari keseluruhan ekspor produk sawit dan
turunannya. Di sisi lain kontribusi ekspor bahan baku dan ekspor produk hilir tingkat 2 mengalami
peningkatan. Komposisi volume ekspor bahan baku pada tahun 2010 mencapai 62,2% dari
keseluruhan ekspor produk sawit dan turunannya, sedangkan ekspor produk hilir tingkat 2 mencapai
komposisi tertingginya dalam lima tahun terakhir yakni sebesar 4,40% dari keseluruhan ekspor
produk sawit dan turunannya sebagaimana pada Grafik B.1.

Grafik B.1.
Komposisi Nilai dan Volume Ekspor CPO dan Produk Turunannya
Berdasarkan Kelompok Produk Tahun 2005 – 2010
Komposisi Volume Ekspor Produk CPO dan Turunannya (%)
1.75 1.61 3.11 2.74 4.40

36.27 34.21 33.38


43.51 42.34

60.62 63.05 62.22


54.74 56.04

2006 2007 2008 2009 2010

Produk Hilir Tk. 2 Produk Hilir Tk. 1 Bahan Baku

Sumber : Kementerian Perdagangan

Halaman 1 dari 3
Kecenderungan peningkatan ekspor bahan baku tersebut dikarenakan adanya tren kenaikan
harga bahan baku di pasar internasional. Di sisi lain kebijakan pengenaan bea keluar atas ekspor
kelapa sawit, CPO dan produk turunannya yang ditetapkan melalui PMK Nomor 223/PMK.011/2008,
cenderung memberikan insentif terhadap ekspor bahan baku dibandingkan produk hilirnya. Hal
tersebut terlihat pada Grafik B.2. yang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan nilai ekspor
bahan baku yang lebih besar dibandingkan peningkatan nilai ekspor produk hilir tingkat 1 maupun
nilai ekspor produk hilir tingkat 2.

Grafik B.2.
Nilai Ekspor CPO dan Produk Turunannya
Berdasarkan Kelompok Produk Tahun 2005 – 2010
Juta US$
12,000.0

10,000.0
9663.5
8,277.7
8,000.0

7,148.7
6,000.0 5,250.3
4,884.0
4,205.2 5248.6

4,000.0 2,901.9
4,117.5
3,730.4

2,000.0 2,362.4
138.8 489.6 349.7
10.1 101.3 155.3 722.8
-
2005 2006 2007 2008 2009 2010

Bahan Baku Produk Hilir Tk. 1 Produk Hilir Tk. 2

Sumber : Kementerian Perdagangan

Dengan kondisi tersebut, Kementerian Perindustrian mencanangkan program hilirisasi


industri sawit untuk mengembangkan industri produk hilir sawit yang akan meningkatkan nilai
tambah pada barang ekspor sehingga ekspor tidak hanya berbentuk bahan baku. Pengembangan
industri hilir sawit tersebut diharapkan menjadi pionir peningkatan nilai tambah hasil pertanian.
Pengembangan industry hilir sawit secara terpadu tersebut diharapkan mampu menghasilkan
peningkatan jumlah tenaga kerja, pendapatan petani, volume ekspor dan devisa yang diperoleh, dan
peningkatan pangsa pasar baik domestik maupun internasional.

Prasyarat untuk mencapai kesuksesan program hilirisasi industri sawit tersebut antara lain
adalah infrastruktur yang memadai, pemenuhan pasokan energi, iklim usaha yang kondusif, serta
adanya dukungan insentif fiskal dan dis-insentif fiskal. Badan Kebijakan Fiskal sebagai institusi
perumus rekomendasi kebijakan fiskal bertanggung jawab dalam memberikan dukungan insentif dan
dis-insentif fiscal dalam upaya pengembangan industri hilir sawit tersebut. Pemberian dukungan
insentif fiskal dilaksanakan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 mengenai
fasilitas PPh untuk sektor tertentu di daerah tertentu. Melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 62
tahun 2008 yang saat ini masih dalam tahap pembahasan, akan diberikan fasilitas Pajak Penghasilan
(PPh) bagi industri terpadu kelapa sawit. Adapun dukungan dis-insentif fiskal dilakukan melalui
restrukturisasi tarif Bea Keluar atas ekspor kelapa sawit, CPO dan Produk Turunannya dalam rangka
mendorong pengembangan industri hilir kelapa sawit dan peningkatan nilai tambah ekspor.

Halaman 2 dari 3
C. Kebijakan Restrukturisasi Tarif Bea Keluar Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya

Kebijakan restrukturisasi tarif bea keluar ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 128 Nomor 128/PMK.011/2011 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea
Keluar Crude Palm Oil (CPO) dan Produk Turunannya. Adapun pokok-pokok kebijakan tarif bea
keluar pada PMK tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Mengelompokkan barang yang dikenakan Bea Keluar ke dalam lima kelompok barang sesuai
jenjang hilirisasi-nya. Atas kelompok barang tersebut ditetapkan tarif Bea Keluar sesuai dengan
jenjang hilirisasi produknya. Besaran tarif Bea Keluar ditetapkan secara progresif sesuai
tingkatan harga internasional tertentu dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan antara CPO
yang digunakan untuk pasokan kebutuhan dalam negeri dan ekspor CPO.
2. Batas bawah (threshold) pengenaan Bea Keluar dinaikkan dari USD 700/ton pada PMK
sebelumnya menjadi USD 750/ton untuk mengantisipasi adanya kenaikan biaya transportasi dan
harga pupuk di tingkat petani.
3. Mengenakan Bea Keluar terhadap beberapa jenis barang yang diindikasikan sebagai barang yang
dibuat/ diproduksi/ diekspor dalam upaya menghindari pengenaan bea keluar pada PMK
sebelumnya (PMK 67/2010).
4. Dalam rangka proses pengalihan penggunaan harga referensi ke dalam bursa dalam negeri, PMK
Nomor 128/PMK.011/2011 menyediakan tiga pedoman harga yakni harga rata-rata CPO CIF
Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia, dan/atau harga rata-rata CPO bursa Jakarta.
Menteri Perdagangan selanjutnya akan menggunakan rata-rata terhadap dua harga tertinggi
sebagai harga referensi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang Harga
Patokan Ekspor yang ditetapkan setiap bulan sebagai penentuan harga ekspor untuk keperluan
penghitungan pengenaan Bea Keluar.
5. Besaran tarif Bea Keluar tertinggi pada PMK Nomor 128/PMK.011/2011 adalah 22,5% untuk
CPO dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO), kecuali untuk Tandan Buah Segar dikenakan tarif flat
sebesar 40% dan Bungkil Kelapa Sawit dikenakan tarif flat sebesar 20%. Tarif flat yakni
pengenaan tarif Bea Keluar yang sama pada semua tingkatan harga internasional.
6. Terhadap ekspor produk campuran CPO dan produk turunannya dikenakan bea keluar dengan
tarif tertinggi dari komponen produk campuran tersebut untuk menghindari penyimpangan tarif
bea keluar.
7. Volume kemasan minyak goreng ditetapkan dengan berat netto maksimum 20 kg. Adapun daftar
merek minyak goreng dalam kemasan yang diekspor ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
8. Biodiesel dikenakan bea keluar 2% ketika harga referensi lebih dari USD 950/ton dan 7,5%
ketika harga referensi lebih dari USD 1250/ton untuk mengantisipasi pelarian CPO menggunakan
pos tarif biodiesel atau Bahan Bakar Nabati (BBN).

Halaman 3 dari 3

Anda mungkin juga menyukai