Anda di halaman 1dari 6

Policy Memo – Mikroekonomi untuk Kebijakan

Mayang Puspita Salim – 2206134206

“Evaluasi Implementasi Kebijakan Harga Minimum 85% untuk Industri Rokok di Indonesia”
1. LATAR BELAKANG
Saat ini, Indonesia merupakan surga bagi industri tembakau. Dibuktikan dengan produksi rokok
yang mencapai ratusan miliar batang, hingga menjadi negara dengan produksi rokok terbanyak di Asia
Tenggara dan terbanyak kelima di dunia, setelah China, Brazil, India, America.
Namun dibalik besarnya produksi rokok di Indonesia terdapat persoalan lain yang ditimbulkan.
Pertama, adanya persaingan harga antar industri rokok yang membentuk struktur pasar industri rokok
yang oligopoli. Faktanya, di Indonesia hanya terdapat 4 industri rokok yang memproduksi rokok dalam
jumlah besar dari 374 industri rokok yang ada di Indonesia dan dominan bersaing di pasaran diantaranya
PT. Djarum, HM Sampoerna, PT. Gudang Garam, PT. Bentoel International Investama. Oleh karena
itulah industri rokok di Indonesia dari segi penawaran dapat dikategorikan dalam bentuk struktur pasar
oligopoli. Segelintir oligopolist tersebut berperan sebagai “price leader” sementara industri rokok kecil
hanya menyesuaikan industri rokok besar tersebut. Sehingga industri besar mempunyai kekuatan
finansial dan pengaruh yang kuat untuk memainkan strategi harga. Hal tersebut dapat mengancam
eksistensi industri kecil dan menengah yang hanya berperan sebagai follower dalam pasar. Oleh
karenanya, diperlukan kebijakan pengendalian harga rokok untuk menghindari predatory pricing.
Selain permasalahan adanya persaingan harga pasar, dari segi kesehatan juga ditemukan persoalan,
dimana kasus kematian yang disebabkan oleh konsumsi rokok tercatat sebesar enam juta orang per
tahun untuk Tobacco-Related disease dengan 600 ribu perokok pasif meninggal karena terpapar asap
rokok. Oleh karena itu selain persaingan harga pasar, konsumsi rokok juga harus dikendalikan. Isu
tersebut juga telah diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024 yang menargetkan penurunan prevalensi
perokok (penduduk usia 10-18) dari 9,1% (2018) menjadi 8,7% di 2024.
2. RESPON KEBIJAKAN
Merespon persoalan tersebut, pemerintah menerbitkan sebuah kebijakan. Regulasi utamanya adalah
Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan Undang-Undang No.39/2007 tentang Cukai, di mana tarif diatur
lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT),
dimana PMK tersebut mengalami pembaharuan yaitu PMK No. 146/2017 menjadi PMK No. 152/2019
menjadi PMK No. 198/2020. Saat ini, CHT diatur di bawah PMK terbaru No.198/2020.
Melalui PMK No. 146/2017 untuk pertama kalinya pemerintah memberlakukan kebijakan harga
minimum dengan ketentuan Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok sebesar 85%. PMK tersebut juga
menjelaskan beberpa jenis hasil tembakau. Di Indonesia terdapat 3 jenis rokok yang memiliki pangsa
pasar terbesar di Indonesia dan selalu mengalami evaluasi rutin setiap tahunnya yaitu SKM, SPM dan
SKT.
Tiga jenis rokok tersebut memiliki aturan yang beda dalam penetapan Harga Jual Eceran (HJE) dan
Cukai Hasil Tembakau (CHT)-nya. Pertama, untuk SKT, kementerian keuangan menetapkan HJE dan
CHT lebih rendah dari SKM dan SPM karena industri SKT ini memberikan kontribusi penyerapan
tenaga kerja lebih besar. Kedua, untuk SKM, bahan baku cengkeh dan tembakau lokal namun dalam
proses produksinya menggunakan mesin sehingga penyerapan tenaga kerjanya lebih rendah dari SKT.
Oleh karena itu penetapan HJE dan CHT-nya lebih tinggi daripada SKT. Sedangkan SPM, dikenakan
CHT dan HJE oleh kementerian keuangan dengan tarif yang paling tinggi jika dibandingkan dengan
SKM dan SKT. Penyebabnya adalah proses produksi SPM sangat rendah dalam penyerapan tenaga
kerja dan faktor penggunaan bahan baku tembakau impor serta tidak menggunakan cengkeh.
Sejak diberlakukannya PMK No.146/2017 dilakukan penetapan ketentuan HTP rokok sebesar 85%.
Namun, fakta di lapangan membuktikan, bahwa pelaksanaan HTP 85% di lapangan belum maksimal.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, banyak rokok dijual jauh di bawah harga banderol
yang merugikan industri SKT (industri kecil) sebagai korban predatory pricimg dari industri SKM/SPM
(industri besar) yang menggunakan mesin dalam proses produksinya. Kedua, berkaitan juga dengan hal
yang mempengaruhi harga, yaitu terkait HJE dan CHT. Dimana terdapat inkonsistensi atau
ketidakstabilan penyesuaian tarif CHT dan HJE. Hal tersebut memberikan peluang kepada industri
untuk bermain dan melakukan upaya negosiasi dalam penentuan tarif CHT dan HJE setiap tahunnya.
Ketiga, tarif cukai hasil tembakau yang kompleks. Perlunya penyederhanaan tarif cukai (simplifikasi
layer cukai) yang mendorong fungsi kontrol konsumsi rokok di masyarakat.
Oleh karena itu fungsi kebijakan harga minimum dalam PMK No.198/2020 sebagai solusi dalam
mengendalikan persaingan harga yang tidak sehat dari perusahaan besar serta menurunkan prevalensi
perokok tidak maksimal dan menjadi sulit untuk dicapai. Masalah yang timbul di lapangan tidak diatur
detail pada kebijakan terkait CHT tersebut maupun turunan kebijakannya, dalam PMK 198/2020 pasal
15 pemerintah menetapkan kebijakan harga minimum 85%. Namun Peraturan Direktur Jenderal Bea
Cukai (Perdirjen BC) Nomor 37 tahun 2017 yang direvisi menjadi Perdirjen BC Nomor 25 tahun 2018
dalam lampiran metode pengawasannya justru berkontradiksi. Dimana peraturan tersebut memberikan
ruang bagi perusahaan rokok untuk menjual rokok lebih rendah dari aturan di PMK 198/2020 (kurang
dari 85%) asalkan didistribusikan di kurang dari 50% atau sekitar 40 area kantor bea cukai (KPPBC).
Oleh karena itu perlu adanya tinjauan ulang atau evaluasi terhadap kebijakan harga minimum
dalam PMK No.198/2020 yang diterapkan apakah sudah efektif dan tepat sasaran.
3. ANALISIS DAN ARGUMEN
3.1 PRODUKSI ROKOK JENIS SKM,SPM DAN SKT
Grafik 3.1.1 Produksi Rokok dan Kenaikan Cukai Rokok (2017-2022)
400 336.3 356.5
331.9 322 334.8 323.9
300
Milliar Batang

200

100
10.54 23 12.5 12
10.04 0
0
2017 2018 2019 2020 2021 2022

Produksi Rokok (Milliar Batang) Kenaikan Cukai Rokok (%)

Sumber : Kementrian Perindustrian, Kementrian Keuangan 2022


Produksi rokok dalam kurun waktu 6 tahun (2017-2022) sejak diberlakukannya PMK No.146/2017
mengalami perubahan yang fluktuatif. Pada tahun 2019 dan 2021 mengalami peningkatan sebesar 7,4%
dan 4%. Apabila dikaitkan dengan pertumbuhan tarif CHT yang juga fluktuatif, dimana tahun 2019
tidak terjadi kenaikan tarif cukai, dan pada tahun 2021 terjadi penurunan tarif cukai. Sehingga dapat
dikatakan peningkatan tarif cukai dapat berpengaruh terhadap penurunan produksi rokok,
Grafik 3.1.2 Produksi Rokok Jenis SKM, SPM, SKT
261.5 248.3 272.1
300 229 215.1 210
Milliar Batang 200
68 69.3 81.6 95.7
67.2 66.22
100 16.7 16.5 15.1 11.4 9.4 9
0
2017 2018 2019 2020 2021

Produksi Rokok SKM Produksi Rokok SPM

Produksi Rokok SKT

Sumber : Kementrian Perindustrian, 2022


Apabila dilihat lebih detail lagi produksi rokok berdasarkan spesifikasi 3 jenis rokok yang yang
memiliki pangsa pasar terbesar di Indonesia mengalami perubahan yang juga cukup fluktuatif.
Berdasarkan kedua grafik tersebut diketahui bahwa besarnya produksi rokok pada tahun 2022
didominasi oleh rokok jenis SKM. Kondisi ini menunjukkan bahwa penerimaan cukai hasil tembakau
yang diperoleh pemerintah setiap tahun berasal dari industri rokok SKM. Sehingga secara
keseluruhan, berdasarkan data produksi rokok tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya
kebijakan PMK tidak sepenuhnya membuat produksi rokok menurun.
3.2 DAMPAK PENETAPAN PMK NO 198/2020 (KEBIJAKAN HARGA MINIMUM (HTP
85%))
3.2.1 Dampak terhadap Harga Rokok
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 untuk pertama kalinya
pemerintah memberlakukan ketentuan HTP rokok sebesar 85%. Regulasi utama CHT di Indonesia
adalah UU No.39/2007 tentang Cukai, di mana tarif diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri
Keuangan yang mengalami pembaharuan berulang kali yaitu PMK 146/2017 menjadi PMK 152/2019
menjadi PMK 198/2020. Saat ini, CHT diatur di bawah PMK terbaru No.198/2020.
Grafik 3.2.1 Perbandingan Harga di Asia
15
Harga (US$)

10
5
0
United…

Banglad…
Hong…

Philippin…

Kazakhs…
Saudi…

Uzbekist…
South…

Azerbaij…
Qatar
Israel

Lebanon

Armenia

Vietnam
China

Iran
Indonesia

Iraq
Singapore

Palestine

Malaysia
Cyprus

Kuwait

Turkey
Japan

Nepal
India

Taiwan

Jordan

Pakistan
Sri Lanka

Thailand

Sumber : WHO Report on The Global Tobacco Epidemic, 2021


Faktanya, harga rokok di Indonesia memang tergolong sangat murah dibandingkan dengan negara-
negara lain di Asia dimana Indonesia peringkat 25 dengan harga rokok paling murah di 32 negara di
Asia. Walaupun sudah ada kebijakan yang mengatur berkaitan dengan harga yaitu PMK No. 146/2017
yang menetapkan ketentuan HTP rokok sebesar 85%, murahnya harga rokok tersebut disebabkan
karena pelaksanaan HTP 85% di lapangan belum maksimal, dengan banyak rokok dijual jauh di bawah
harga banderol. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 16 merek sampel gabungan dari jenis SKT,
SKM dan SPM ada sebanyak 6 merek rokok yang menjual rokoknya di bawah HTP 85%, dan merek
rokok yang menjual di bawah HTP 85% tersebut dilakukan oleh jenis rokok SKM dan SPM, rokok jenis
SKT justru menjual rokoknya di atas HTP 85% bahkan menjual di atas harga banderol.
Tabel 3.2.1 Sampel Harga Transaksi Pasar (HTP) Rokok
HTP PER
JENIS ROKOK JENIS MEREK ISI BATANG HJE BANDROL HJE BANDROL BUNGKUS

BATANG BUNGKUS Rp. %

Gudang Garam 12 1700 20400 20000 98%

Djarum Super 12 1700 20400 20000 98%

Sampoerna Mild 16 1700 27200 25000 92%

Magnum 16 1700 27200 21000 77%


SKM I Esse Change 20 1700 34000 27000 79%

Dunhil 20 1700 34000 30000 88%

Surya Pro 16 1700 27200 31000 77%

Class Mild 16 1700 27200 32000 81%

MLD Djarum 20 1700 34000 24000 71%

SPM I Marlboro 20 1790 31800 30000 84%

Djisamsoe 12 1460 17520 19000 108%


SKT IA
Djisamsoe
Premium 12 1460 19175 24000 125%
Gudang Garam
Merah 12 1015 12180 15000 123%
SKT IB
Sampoerna
Kretek 12 1015 12180 15000 123%

Djinggo 12 585 6420 10000 156%


SKT II
Envio 12 585 6420 9000 140%

Sumber : Olah Data, 2023


Berdasarkan hal tersebut ada kemungkinan rokok jenis SKT tidak dapat mengurangi biaya produksi
dan margin mereka untuk memanfaatkan kebijakan HTP 85% ini karena proses produksi mereka
melibatkan tenaga kerja manusia berbeda dengan SKM dan SPM. Jika pelanggaran terhadap HTP 85%
ini tidak diberlakukan sanksi yang tegas maka bisa membuka kemungkinan industri SKT tidak dapat
bertahan dan bisa mendorong munculnya produksi ilegal dari jenis SKT. Sehingga berdasarkan data
tersebut kebijakan PMK No 198/2020 belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan
predatory pricing yang terjadi di lapangan.
3.2.2 Dampak terhadap Konsumsi Rokok
Grafik 3.2.2 Perbandingan Tingkat Konsumsi Rokok Usia diatas 5 dan 8-10 Tahun
26.1
30 23.5 23.4 23.2 23.8 23.25
Prevalensi Perokok (%)

20 10.7 10.61 9.98 10


7.2 9.1
10

0
2017 2018 2019 2020 2021 2022

Usia > 5 Tahun (%) Usia 10 - 18 Tahun (%)

Sumber : Riskesdas, 2022


Pengaruh dari masih rendahnya harga rokok, mengakibatkan tingkat konsumsi rokok di Indonesia
yang masih tergolong cukup tinggi, sampai akhir tahun 2022 mencapai angka 23.25% (usia diatas 5
Tahun). Sedangkan untuk prevalensi perokok pemula (anak pada populasi usia 10 – 18 Tahun) sejak
PMK No.146/2017 diberlakukan fluktuatif, mengalami peningkatan pada tahun 2018, 2019 dan 2022.
Sampai dengan tahun 2022 masih diangka 10% masih cukup jauh dibandingkan dengan target yang
diamanatkan pada RPJMN 2020-2024 yaitu sebesar 8.7% di tahun 2024.
Berkaitan dengan masih tingginya angka prevalensi rokok baik untuk usia diatas 5 tahun atapun
remaja usia 10-18 tahun, Global Youth Tobacco melakukan survey yang hasilnya menunjukkan bahwa
76,6% siswa yang saat ini merokok membelinya dari toko, pedagang kaki lima, atau kios. Di antara
siswa yang saat ini merokok yang mencoba untuk membeli rokok, 60,6% tidak dicegah untuk membeli
karena usia mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa harga rokok masih sangat terjangkau dikalangan
anak dan remaja usia sekolah, dimana penjualan rokok bisa dilakukan secara eceran menyesuaikan
dengan uang saku anak dan remaja usia sekolah.
Oleh karena itu, fenomena masih tingginya konsumsi rokok mengimplikasikan bahwa rokok
merupakan barang adiktif dan menjadi barang yang inelastis karena permintaan barang tidak tergantung
kenaikan harga. Data ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai yang diberlakukan setiap tahun
belum bisa secara langsung menurunkan prevalensi perokok pemula. Oleh karena itu penetapan HTP
yang tepat akibat kenaikan tarif cukai harus direncanakan, dimonitoring secara tepat dan
seksama, supaya kenaikan harga rokok di pasaran dapat memberikan dampak untuk penurunan
konsumsi rokok sesuai dengan apa yang diamanatkan RPJMN 2020-2024 untuk menurunkan
prevalensi perokok pemula.
3.2.3 Inkonsistensi Penyesuaian tarif CHT dan HJE serta Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT)
yang Kompleks
Terkait tarif cukai hasil tembakau, salah satu hal yang menjadi permasalahan mendasar adalah
adanya penyesuaian tarif CHT dan HJE yang tidak stabil. Kenaikan rata-rata 12,5% berdasarkan PMK
terbaru, sedangkan kenaikan tarif cukai sebelumnya sekitar 23%. Hal ini menunjukkan ketidakstabilan
kenaikan CHT yang tidak konsisten, yang menjadikan peluang polemik dan potensi kenaikan yang tidak
sistematik, sehingga tidak dapat memberikan proyeksi penerimaan dan pengendalian konsumsi secara
pasti di beberapa tahun ke depan. Inkonsistensi penyesuaian tarif CHT dan HJE memberikan peluang
kepada industri untuk bermain dan melakukan upaya negosiasi dalam penentuan tarif CHT dan HJE
setiap tahunnya. Penentuan HJE yang konsisten dan jelas untuk beberapa tahun ke depan akan
membantu pengendalian rokok ilegal akibat kenaikan harga transaksi rokok akibat kenaikan tarif cukai.
Sebab HJE merupakan faktor penentu kenaikan HTP.
Selain inkonsistensi, Bank Dunia mengkonfirmasi dalam studinya bahwa tarif Cukai Hasil
Tembakau di Indonesia termasuk yang paling rumit di dunia, dengan sistem yang berlapis berdasarkan
produk tembakau, golongan industri berdasarkan jumlah produksi, HJE per unit. Di berbagai negara
klasifikasi tarif yang kompleks sudah ditinggalkan dan tidak umum diterapkan. Dengan tarif CHT yang
lebih sederhana akan mempermudah fungsi pemantauan dan mengurangi biaya administrasi. Peta jalan
penyederhanaan layer CHT yang telah diatur pada PMK 146 Tahun 2017, dengan penyederhanaan layer
cukai hingga 5 sampai 3 layer secara bertahap.
4. KESIMPULAN
Kebijakan PMK No.198/2020 semestinya berfungsi untuk mengendalikan harga karena adanya
predatory pricing dan menurunkan prevalensi perokok remaja (usia 10-18 tahun). Namun implementasi
kebijakan tersebut kurang maksimal disebabkan beberapa hal, diantaranya :
1. Pelaksanaan HTP 85% belum maksimal, dengan banyak rokok dijual jauh di bawah harga banderol.
2. Harga rokok masih sangat terjangkau terutama dikalangan anak dan remaja usia sekolah, dimana
penjualan rokok bisa dilakukan secara eceran.
3. Inkonsistensi penyesuaian tarif CHT dan HJE serta tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang
kompleks
Sehingga perlu adanya penyesuaian kebijakan PMK No. 198/2020 lebih terencana dan seksama
supaya tujuan dari diciptakannya kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau bisa tercapai.
5. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Sehingga rekomendasi perbaikan kebijakan untuk PMK No.198/2020 berdasarkan situasi lapangan
yang terjadi untuk mencapai tujuan awal dari kebijakan ini yaitu mengendalikan harga karena adanya
predatory pricing dan menurunkan prevalensi perokok remaja (usia 10-18) diantaranya :
1. Membuat Roadmap kenaikan untuk Kebijakan HTP 85%, yang secara gradual naik menjadi dari
90%, 95% hingga 100% dalam jangka waktu yang disesuaikan dengan kondisi obyektif di lapangan
sekaligus memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggar kebijakan HTP.
2. Penyesuaian kebijakan Perdirjen BC Nomor 25 tahun 2018 untuk menyesuaikan dengan PMK No.
198/2020 supaya semua perusahaan yang ada di Indonesia konsisten menetapkan HTP 85%.
3. Melakukan simplifikasi layer secara konsisten sebagaimana rencana awal pemerintah dari 10
menjadi 8, 6 , 3 layer.
4. Menampilkan harga pokok rokok per-batang pada bungkus rokok.
5. Membatasi porsi penjualan SKM dan SPM pada industri rokok besar yang sudah berkembang pesat
untuk mendorong industri besar memproduksi SKT sehingga dapat membuka lapangan kerja lebih
banyak dan mengurangi impor.

6. REFERENSI
Antik Suprihanti, H. B. (2019). Dampak Kebijakan Cukai Rokok terhadap Distribusi Surplus Ekonomi Industri
Rokok di Indonesia. Agro Ekonomi.
Antik Suprihanti, H. H. (2019). Dinamika Konsumsi Rokok Dan Impor Tembakau Indonesia. Social Economic
and Agribusiness .
Kemenkeu. (2022). Sesuaikan Tarif CHT Tahun 2023 dan 2024, Pemerintah Pertimbangkan Beberapa Aspek.
djp.go.id.
Nugrahini, W. (2019). Pengaruh Kebijakan Tarif dan Harga Jual Eceran Terhadap Produksi dan Penerimaan Cukai
Rokok Sigaret Kretek Mesin. PKN STAN, 112.
Organization, W. H. (2022). GYTS (Global Youth Tobacco Survey) Indonesia .
WHO. (2021). WHO Report Raising Tobacco Taxes and Prices For a Healthy and Prosperous Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai