“Evaluasi Implementasi Kebijakan Harga Minimum 85% untuk Industri Rokok di Indonesia”
1. LATAR BELAKANG
Saat ini, Indonesia merupakan surga bagi industri tembakau. Dibuktikan dengan produksi rokok
yang mencapai ratusan miliar batang, hingga menjadi negara dengan produksi rokok terbanyak di Asia
Tenggara dan terbanyak kelima di dunia, setelah China, Brazil, India, America.
Namun dibalik besarnya produksi rokok di Indonesia terdapat persoalan lain yang ditimbulkan.
Pertama, adanya persaingan harga antar industri rokok yang membentuk struktur pasar industri rokok
yang oligopoli. Faktanya, di Indonesia hanya terdapat 4 industri rokok yang memproduksi rokok dalam
jumlah besar dari 374 industri rokok yang ada di Indonesia dan dominan bersaing di pasaran diantaranya
PT. Djarum, HM Sampoerna, PT. Gudang Garam, PT. Bentoel International Investama. Oleh karena
itulah industri rokok di Indonesia dari segi penawaran dapat dikategorikan dalam bentuk struktur pasar
oligopoli. Segelintir oligopolist tersebut berperan sebagai “price leader” sementara industri rokok kecil
hanya menyesuaikan industri rokok besar tersebut. Sehingga industri besar mempunyai kekuatan
finansial dan pengaruh yang kuat untuk memainkan strategi harga. Hal tersebut dapat mengancam
eksistensi industri kecil dan menengah yang hanya berperan sebagai follower dalam pasar. Oleh
karenanya, diperlukan kebijakan pengendalian harga rokok untuk menghindari predatory pricing.
Selain permasalahan adanya persaingan harga pasar, dari segi kesehatan juga ditemukan persoalan,
dimana kasus kematian yang disebabkan oleh konsumsi rokok tercatat sebesar enam juta orang per
tahun untuk Tobacco-Related disease dengan 600 ribu perokok pasif meninggal karena terpapar asap
rokok. Oleh karena itu selain persaingan harga pasar, konsumsi rokok juga harus dikendalikan. Isu
tersebut juga telah diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024 yang menargetkan penurunan prevalensi
perokok (penduduk usia 10-18) dari 9,1% (2018) menjadi 8,7% di 2024.
2. RESPON KEBIJAKAN
Merespon persoalan tersebut, pemerintah menerbitkan sebuah kebijakan. Regulasi utamanya adalah
Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan Undang-Undang No.39/2007 tentang Cukai, di mana tarif diatur
lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT),
dimana PMK tersebut mengalami pembaharuan yaitu PMK No. 146/2017 menjadi PMK No. 152/2019
menjadi PMK No. 198/2020. Saat ini, CHT diatur di bawah PMK terbaru No.198/2020.
Melalui PMK No. 146/2017 untuk pertama kalinya pemerintah memberlakukan kebijakan harga
minimum dengan ketentuan Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok sebesar 85%. PMK tersebut juga
menjelaskan beberpa jenis hasil tembakau. Di Indonesia terdapat 3 jenis rokok yang memiliki pangsa
pasar terbesar di Indonesia dan selalu mengalami evaluasi rutin setiap tahunnya yaitu SKM, SPM dan
SKT.
Tiga jenis rokok tersebut memiliki aturan yang beda dalam penetapan Harga Jual Eceran (HJE) dan
Cukai Hasil Tembakau (CHT)-nya. Pertama, untuk SKT, kementerian keuangan menetapkan HJE dan
CHT lebih rendah dari SKM dan SPM karena industri SKT ini memberikan kontribusi penyerapan
tenaga kerja lebih besar. Kedua, untuk SKM, bahan baku cengkeh dan tembakau lokal namun dalam
proses produksinya menggunakan mesin sehingga penyerapan tenaga kerjanya lebih rendah dari SKT.
Oleh karena itu penetapan HJE dan CHT-nya lebih tinggi daripada SKT. Sedangkan SPM, dikenakan
CHT dan HJE oleh kementerian keuangan dengan tarif yang paling tinggi jika dibandingkan dengan
SKM dan SKT. Penyebabnya adalah proses produksi SPM sangat rendah dalam penyerapan tenaga
kerja dan faktor penggunaan bahan baku tembakau impor serta tidak menggunakan cengkeh.
Sejak diberlakukannya PMK No.146/2017 dilakukan penetapan ketentuan HTP rokok sebesar 85%.
Namun, fakta di lapangan membuktikan, bahwa pelaksanaan HTP 85% di lapangan belum maksimal.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, banyak rokok dijual jauh di bawah harga banderol
yang merugikan industri SKT (industri kecil) sebagai korban predatory pricimg dari industri SKM/SPM
(industri besar) yang menggunakan mesin dalam proses produksinya. Kedua, berkaitan juga dengan hal
yang mempengaruhi harga, yaitu terkait HJE dan CHT. Dimana terdapat inkonsistensi atau
ketidakstabilan penyesuaian tarif CHT dan HJE. Hal tersebut memberikan peluang kepada industri
untuk bermain dan melakukan upaya negosiasi dalam penentuan tarif CHT dan HJE setiap tahunnya.
Ketiga, tarif cukai hasil tembakau yang kompleks. Perlunya penyederhanaan tarif cukai (simplifikasi
layer cukai) yang mendorong fungsi kontrol konsumsi rokok di masyarakat.
Oleh karena itu fungsi kebijakan harga minimum dalam PMK No.198/2020 sebagai solusi dalam
mengendalikan persaingan harga yang tidak sehat dari perusahaan besar serta menurunkan prevalensi
perokok tidak maksimal dan menjadi sulit untuk dicapai. Masalah yang timbul di lapangan tidak diatur
detail pada kebijakan terkait CHT tersebut maupun turunan kebijakannya, dalam PMK 198/2020 pasal
15 pemerintah menetapkan kebijakan harga minimum 85%. Namun Peraturan Direktur Jenderal Bea
Cukai (Perdirjen BC) Nomor 37 tahun 2017 yang direvisi menjadi Perdirjen BC Nomor 25 tahun 2018
dalam lampiran metode pengawasannya justru berkontradiksi. Dimana peraturan tersebut memberikan
ruang bagi perusahaan rokok untuk menjual rokok lebih rendah dari aturan di PMK 198/2020 (kurang
dari 85%) asalkan didistribusikan di kurang dari 50% atau sekitar 40 area kantor bea cukai (KPPBC).
Oleh karena itu perlu adanya tinjauan ulang atau evaluasi terhadap kebijakan harga minimum
dalam PMK No.198/2020 yang diterapkan apakah sudah efektif dan tepat sasaran.
3. ANALISIS DAN ARGUMEN
3.1 PRODUKSI ROKOK JENIS SKM,SPM DAN SKT
Grafik 3.1.1 Produksi Rokok dan Kenaikan Cukai Rokok (2017-2022)
400 336.3 356.5
331.9 322 334.8 323.9
300
Milliar Batang
200
100
10.54 23 12.5 12
10.04 0
0
2017 2018 2019 2020 2021 2022
10
5
0
United…
Banglad…
Hong…
Philippin…
Kazakhs…
Saudi…
Uzbekist…
South…
Azerbaij…
Qatar
Israel
Lebanon
Armenia
Vietnam
China
Iran
Indonesia
Iraq
Singapore
Palestine
Malaysia
Cyprus
Kuwait
Turkey
Japan
Nepal
India
Taiwan
Jordan
Pakistan
Sri Lanka
Thailand
0
2017 2018 2019 2020 2021 2022
6. REFERENSI
Antik Suprihanti, H. B. (2019). Dampak Kebijakan Cukai Rokok terhadap Distribusi Surplus Ekonomi Industri
Rokok di Indonesia. Agro Ekonomi.
Antik Suprihanti, H. H. (2019). Dinamika Konsumsi Rokok Dan Impor Tembakau Indonesia. Social Economic
and Agribusiness .
Kemenkeu. (2022). Sesuaikan Tarif CHT Tahun 2023 dan 2024, Pemerintah Pertimbangkan Beberapa Aspek.
djp.go.id.
Nugrahini, W. (2019). Pengaruh Kebijakan Tarif dan Harga Jual Eceran Terhadap Produksi dan Penerimaan Cukai
Rokok Sigaret Kretek Mesin. PKN STAN, 112.
Organization, W. H. (2022). GYTS (Global Youth Tobacco Survey) Indonesia .
WHO. (2021). WHO Report Raising Tobacco Taxes and Prices For a Healthy and Prosperous Indonesia. Jakarta.