Anda di halaman 1dari 19

Intan Sofyan

1706975854
Ilmu Administrasi Fiskal (2017)

Analisis Kebijakan Penetapan Tarif Tunggal Bea Meterai dan Perubahan


Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Penerimaan negara merupakan faktor krusial dalam keberlangsungan sebuah negara.


Sebagaimana yang diatur dalam PMK No. 02/PMK.05/2007 tentang Modul Penerimaan
Negara, disebutkan bahwa penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Uang
ini kemudian dialokasikan oleh pemerintah melalui budgeting process untuk menjalankan
pemerintahan dan alokasi untuk kepentingan rakyat dalam bentuk Anggaran Penerimaan dan
Belanja Negara (APBN). Dilihat dari struktur APBN, penerimaan perpajakan memiliki andil
terbesar dalam keseluruhan penerimaan negara. Sehingga, optimalisasi penerimaan pajak
terus diusahakan agar secara agregat mencapai stabilitas penerimaan negara.

Salah satu upaya optimalisasi penerimaan pajak yaitu ditingkatkannya keikutsertaan segenap
warga masyarakat dalam menghimpun dana pajak, oleh karena itu keikutsertaan masyarakat
tersebut dapat dilakukan dengan cara memenuhi kewajiban pembayaran Bea Meterai atas
dokumen-dokumen tertentu yang digunakan. Bea Materai adalah pajak tidak langsung yang
dipungut secara insidentil (sekali pungut) atas dokumen yang disebut oleh Undang-Undang
Bea Materai. Dokumen yang dimaksud adalah kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang
dengan pihak-pihak yang berkepentingan.

Dalam perkembangan nya, aturan mengenai bea meterai terus berubah sampai pada
pemerintahan Orde Baru, dimana banyak kebijakan-kebijakan baru karena adanya reformasi
di bidang perpajakan. Reformasi aturan bea meterai bermula dari staatsblad 1817 No. 50
(Pemungutan Bea Meterai 1817) ataupun staatsblad 1885 No. 131 (ordonansi pemungutan
Bea Meterai di Hindia-Belanda) ataupun staatsblad 1921 No. 498 (aturan Bea Meterai 1921 /
zegelverordening 1921).1 Aturan Bea Meterai tersebut pada hakekatnya rumit sehingga sulit
dipahami dan dilaksanakan, sehingga pada tahun 1985 pemerintah menerbitkan Undang-
Undang Bea Meterai No. 13 Tahun 1985 yang kemudian berlaku pada tanggal 1 Januari 1986
dengan sifatnya yang lebih sederhana sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 Pasal 3 menyebutkan bahwa dengan Peraturan


Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga
nominal yang dikenakan Bea Materai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-
tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Berdasarkan pasal tersebut, sehingga terdapat beberapa perubahan atas besarnya batas
pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai dimulai dari PP No. 13 Tahun 1989
dengan pengenaan Bea Meterai dengan tarif tunggal atas cek dan bilyet giro sebesar Rp.500,

1
Heru Supriyanto. (2010). Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Meterai. Edisi Kedua. Jakarta Barat: PT
Indeks, hlm. 182
kemudian PP No. 7 Tahun 1995 dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp1.000 dan tarif
Rp2.000, sampai dengan PP No. 24 Tahun 2000 dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar
Rp3.000 dan tarif sebesar Rp. 6.000.

Merujuk pada Pasal 3 Undang-Undang Bea Meterai tersebut yang menyatakan bahwa
pengenaan tarif Bea Meterai dapat dinaikkan setinggi-tingginya enam kali, pada saat ini tarif
Bea Meterai sudah mencapai batas maksimal yaitu dari tarif awal yaitu Rp1.000 dan Rp500
menjadi Rp6.000 dan Rp3.000. Namun penetapan tarif tersebut dianggap sudah tidak relevan
melihat sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini, perkembangan tingkat ekonomi masyarakat
yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan perkapita per tahun dari Rp6,8 juta di tahun
2000 menjadi delapan kali Iipatnya atau sebesar Rp56 juta di tahun 2018. 2 Sementara,
pendapatan Bea Meterai di periode yang sama hanya tumbuh 3,6 kali dari Rp1,4 triliun pada
2001 menjadi Rp5,08 triliun pada 2017 lalu. 3 Peningkatan pendapatan perkapita Indonesia
dapat diliat pada Grafik 1.

Grafik 1. Produk Domestik Bruto Per Kapita Indonesia (Tahun 1999-2017)

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2018

Korelasi antara peningkatan revenue (kapasitas untuk mengumpulkan dan membayar pajak)
dengan pendapatan perkapita menurut Gupta (2007) adalah positif.4 Hal tersebut
menunjukkan adanya peningkatan kapasitas masyarakat untuk membayar pajak. Namun,
karena tarif Bea Meterai sudah maksimal sejak tahun 2000, Undang-Undang Bea Meterai
tidak mampu untuk memanfaatkan kondisi ini untuk secara optimal meningkatkan
penerimaan dari Bea Meterai.

Fokus dalam Rancangan Undang-Undang Bea Meterai selain pada tarif Bea Meterai juga
terdapat pada batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai. Pemerintah
menganggap perlunya perubahan terhadap batasan pengenaan harga nominal yang dikenakan
2
Badan Pusat Statistik. (2019). Ekonomi Indonesia 2018 Tumbuh 5,17 Persen. Diakses pada
https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/02/06/1619/ekonomi-indonesia-2018-tumbuh-5-17-persen.html
3
Laoli, Noverius. (2019). Sri Mulyani dan DPR kejar pengesahan RUU Bea Meterai selesai September 2019.
Nasional Kontan.co.id. Diakses pada https://nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-dan-dpr-kejar-
pengesahan-ruu-bea-meterai-selesai-september-2019
4
Kementrian Keuangan. (2016). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bea Meterai.
Bea Meterai didasarkan pada pendekatan inflasi sebagai gambaran kemampuan masyarakat
dalam melakukan konsumsi yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi dan Inflasi di Indonesia dari Tahun 2000 – Tahun 2010

Konsumsi Perkembangan Perkembangan


Tahun Inflasi (%)
(Miliar Rupiah) Konsumsi (%) Inflasi (%)
2000 856.793,3 - 9,35 -
2001 886.736,0 3,49 12,55 34,22
2002 920.749,6 3,84 10,03 -20,08
2003 956.593,4 3,89 5,06 -49,55
2004 1.003.109,0 4,86 6,40 26,48
2005 1.043.805,1 4,06 17,11 167,34
2006 1.076.928,1 3,17 6,60 -61,43
2007 1.130.847,1 5,01 6,59 -0,15
2008 1.191.190,8 5,34 11,06 67,83
2009 1.249.001,2 4,85 2,78 -74,86
2010 1.306.800,9 4,63 6,69 150,20
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia, diolah

Selain pertimbangan berdasarkan tingkat inflasi dan daya beli masyarakat, perubahan batasan
pengenaan harga nominal tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan sektor usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) dari yang semula Bea Meterai dengan tarif Rp3.000,00
dikenakan atas dokumen tertentu yang memuat jumlah nilai dengan batasan nilai Rp250.000
menjadi Rp5.000.000.

Melihat dari kondisi diatas, sehingga pemerintah menganggap perlu diadakannya perubahan
besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea
Materai untuk mengoptimalkan penerimaan dari Bea Meterai. Oleh karena itu, pemerintah
melalui Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mengusulkan revisi atas Undang-Undang No.
13 Tahun 1985 dan menyusun Rancangan Undang-Undang Bea Meterai lantaran tarif bea
meterai yang sudah ada tidak dapat dinaikkan lagi mengacu pada aturan yang berlaku
sekarang. Adapun perbandingan kebijakan yang berlaku yaitu UU No. 13 Tahun 1985 dengan
usulan pemerintah dalam RUU Bea Meterai dapat dilihat pada Tabel 2.5

Tabel 2. Perbandingan Kebijakan Bea Meterai

UU No. 13 Tahun 1985


Usulan UU Bea Meterai Tahun
Sebagaimana diatur dalam
2019
PP No. 24 Tahun 2000
Tarif bea meterai terbagi dua Peningkatan dan penyederhanaan
nominal yakni Rp3.000 dan tarif menjadi Rp10.000
Rp6.000
Batasan nominal dokumen yang Perubahan batasan nominal
dikenakan bea meterai terbagi dokumen yang dikenakan bea
dua (Rp250.000-Rp1.000.000 meterai menjadi Rp5.000.000
dan di atas Rp1.000.000)
Objek bea meterai terbatas Kebijakan pengenaan bea meterai
hanya untuk dokumen kertas untuk dokumen kertas dan
5
Pusat Kajian Anggaran/Badan Keahlian DPR RI. (2019). Buletin APBN. Vol. IV, Edisi 14.
dokumen digital
Belum ada penegasan pihak Ketetapan pihak penerbit
yang terutang bea meterai yang dokumen yang melunasi bea
dirinci berdasarkan jenis meterai
dokumen
Sumber : UU No. 13 Tahun 1985 dan Usulan RUU Bea Meterai, diolah

Usulan pemerintah tentang revisi UU Nomor 13 Tahun 1985 khususnya pada penetapan tarif
tunggal dan besarnya batas pengenaan harga nominal masih menuai banyak pro dan kontra.
Pasalnya, selain mempertimbangkan pengaruh terhadap peningkatan penerimaan negara dan
sebagai langkah simplifikasi implementasi Bea Meterai, pemerintah juga perlu
memperhatikan dampak dari Wajib Pajak nya itu sendiri. Dilihat dari sisi biaya bagi Wajib
Pajak khususnya bagi mereka yang bisnisnya harus mencetak dokumen per hari, bisa saja hal
ini dapat membebani compliance cost Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajak atas
dokumennya. Analisis kebijakan penetapan tarif tunggal Bea Meterai dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam memitigasi efek samping jangka panjang yang justru akan
memengaruhi stabilitas penerimaan negara. Oleh karena itu, penulis bertujuan untuk
menganalisis kebijakan penetapan tarif tunggal bea meterai.

1.2 Rumusan Masalah

Kebijakan penetapan tarif tunggal bea meterai yang diusulkan oleh pemerintah dalam RUU
Bea Meterai banyak menuai pro dan kontra. Peningkatan dan penyederhanaan tarif ini
tentunya demi tujuan menaikan penerimaan negara atas Bea Meterai. Namun, selain
memperhatikan pengaruh penyederhanaan tarif dengan peningkatan penerimaan negara,
disamping itu pemerintah juga harus memperhatikan pihak yang terdampak atas kenaikan dan
penyederhanaan tarif tersebut yaitu Wajib Pajak khususnya yang dalam bisnisnya perlu
menerbitkan banyak dokumen yang dikenakan Bea Meterai. Terlebih lagi pada saat ini
sedang berlangsung pandemi Covid 19 dan resesi ekonomi yang belum diketahui kapan
berakhirnya. Oleh karena itu, penulis merumuskan pertanyaan penelitian apa kelebihan serta
kelemahan kebijakan penetapan tarif tunggal Bea Meterai dan perubahan besarnya batas
pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Materai?

BAB 2
KERANGKA TEORI

.1 Teori Cost-Benefit Analysis


Marc J. Schniederjans, Jamie L. Hamaker, Ashlyn M. Schniederjans (2004:140) dalam
bukunya menyebutkan bahwa, cost-benefit analysis adalah suatu teknik untuk
menganalisis biaya dan manfaat yang melibatkan estimasi dan mengevaluasi dari manfaat
yang terkait dengan alternatif tindakan yang akan dilakukan 6. Definisi tersebut sejalan
seperti yang disebutkan oleh Remenyi (2003:152) yang mendefinisikan cost-benefit
analysis adalah untuk mengevaluasikan apakah efektivitas dari manfaat lebih besar
daripada biaya.7 Lebih lengkapnya, Womer, Bougnol, Daula dan Retzlaff Roberts (2006
dalam Misuraca 2014) menyebutkan analisis biaya-manfaat (CBA) adalah proses
menggunakan teori, data dan model untuk menguji produk, pengorbanan, dan kegiatan
untuk menilai tujuan yang relevan dan solusi alternatif.8

Berdasarkan beberapa definisi teori cost-benefit analysis diatas dapat disimpulkan bahwa
cost-benefit analysis merupakan suatu alat analisis dengan prosedur yang sistematis untuk
membandingkan suatu rangkaian biaya dan manfaat yang relevan dengan sebuah aktivitas
atau proyek dengan tujuan akhir dari analisis tersebut yaitu membandingkan secara akurat
kedua nilai antara biaya dan manfaat, manakah yang lebih besar. Sehingga dalam hasil
perbandingan nya, dapat ditentukan pengambilan keputusan untuk mempertimbangkan
kelanjutan dari suatu rencana atau aktivitas.

Dalam hubungannya dengan Wajib Pajak, teori cost-benefit analysis menjadi motivator
patuh-tidak patuhnya Wajib Pajak, seperti yang dikatakan oleh Allingham dan Sandmo
(dari Ken Devos, 2014, Factors Influencing Individual Tax Complience) 9. Apabila cost
dan benefit yang diterima oleh Wajib Pajak tidak berbanding lurus maka kepatuhan
sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak juga akan menurun.

.2 Teori Tax Complience


Penerimaan pajak secara berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh kepatuhan Wajib Pajak
dalam membayar pajak. Kepatuhan dalam arti luas didefinisikan sebagai kepatuhan pada
otoritas dan aturan-aturan, sedangkan kepatuhan dalam perpajakan merupakan tingkat
sampai sejauh mana wajib pajak mematuhi undang-undang perpajakan (Nasucha,
2004).10 Sementara itu menurut Simon (2003) dalam Gunadi (2005), pengertian
kepatuhan pajak adalah kesediaan Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban pajaknya
sesuai aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama
(obtrusive investigation), peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum
maupun administrasi.11

6
Schniederjans, Marc J., Hamaker, JamieL.Schniederjans, Ashlyn M. (2004). Information Technology
Investment, Decision–Making Methodology .WorldScientific, NJ.
7
Money, Arthur Remenyi, Dan, dan Michael Sherwood-Smith. (2002). The Effective Measurement and
Management of IT Costs an Benefits, 2nd Edition. Butterworth-Heinemann, Britain
8
Womer, N. K., M L Bougnol, J. Dula, dan Retzlaff-Roberts. (2006). Benefit-cost analysis using data
envelopment analysis. Annals of Operations Research, vol.145(1), halaman 229-250.
9
Allingham, M. G., and Sandmo, A. (1972). Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal of Public
Economics, 1: 323-338.
10
Nasucha, C. (2004). Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia
11
Gunadi. (2005). Indonesian Taxation; A Reference Guide. Jakarta: Multi Utama Publishing.
Berdasarkan konsep Slippery Slope Framework oleh Muehlbacher et al., (2011)
disebutkan bahwa terdapat dua macam kepatuhan, yaitu yaitu kepatuhan yang timbul
karena adanya unsur pemaksaan (enforced compliance) dan kepatuhan yang muncul
karena kesadaran sendiri wajib pajak (voluntary compliance). Terminologi voluntary
complience muncul karena kepercayaan wajib pajak terhadap kebijakan pemerintah
maupun Direktorat Jenderal Pajak. Masyarakat dengan sendirinya akan patuh kepada
aturan pajak tanpa perlu dipaksa.

.3 Teori Daya Pikul


Setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masingmasing, yaitu
dengan memperhitungkan keseluruhan penghasilan seseorang yang terlebih dahulu
dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan primernya serta keluarga
yang menjadi tanggungannya. Teori Daya Pikul ini kurang memberikan dasar
pembenaran pengenaan pajak oleh negara, namun demikian teori ini menunjukkan adanya
dasar untuk memungut pajak secara adil.

.4 Asas-asas Pemungutan Pajak


Rosdiana, Haula (2012) dalam bukunya mengutip Guru Besar Perpajakan FISIP
Universitas Indonesia mengemukakan bahwa system pemungutan pajak seharusnya
diselaraskan dengan asas-asas perpajakan yang telah ditetapkan agar tercipta suatu system
perpajakan yang ideal. Asas-asas perpajakan tersebut yaitu:12
A. Asas Equity/Equality
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam setiap pemungutan pajak pemerintah harus
mengenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan kemampuan
ekonomisnya. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan
kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat
yang diterimanya dari negara.
B. Asas Revenue Productivity
Dalam prinsip ini terkait dengan kepentingan pemerintah yang menjadikan pajak
sebagai sumber penerimaan negara. Meskipun asas ini bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan negara agar dapat memenuhi keperluan pemerintahan,
tetapi dalam implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang
dipungut jangan sampai terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam asas ini juga tidak lepas dari Asas Equity, dimana antara dua asas ini harus
saling melengkapi.
C. Asas Ease of Administration
Dalam asas ini, kemudahan dalam administrasi menjadi prinsip yang sangat penting
dalam sistem pemungutan pajak. Beberapa indikator dalam asas ease of
administration yaitu:
 Asas Certainty
Prinsip ini menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak
maupun Wajib Pajak. Kepastian yang dimaksud yaitu mengenai siapa saja yang
harus dikenakan pajak, apa saja yang harus dikenakan pajak atau dijadikan
objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harys dibayar dan bagaimana
jumlah pajak yang terutang tersebut harus dibayar.

 Asas Convenience
12
Rosdiana Haula, & Irianto Edi Slamet. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Prinsip ini menyatakan bahwa pemungutan pajak dipungut pada saat yang tepat
(pay as you earn). Hal ini diartikan bahwa pemungutan pajak hendaklah
dipungut pada saat yang ‘menyenangkan’ atau memudahkan Wajib Pajak,
misalnya pada saat menerima gaji atau penghasilan.
 Asas Efficiency
Prinsip ini melihat pada dua sisi, yaitu pada sisi fiskus, pemungutan pajak
dikatakan efisien jika biaya untuk melakukan pengawasan dan administrasi
terhadap Wajib Pajak relative rendah. Sedangkan dari sisi Wajib Pajak, biaya
untuk melaksanakan kewajiban perpajakan nya relatif rendah.
D. Asas Simplicity
Dalam pemungutan pajak harus diperhatikan juga asas kesederhanaan, karena pada
umumnya peraturan yang sederhana akan lebih pasti, jelas dan mudah dimengerti
oleh Wajib Pajak.
E. Asas Neutrality
Dalam asas ini, pembayaran pajak seharusnya tidak memengaruhi pilihan
masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak memengaruhi pilihan
produsen untuk menghasilkan barang dan jasa, serta tidak mengurangi semangat
orang untuk bekerja. Oleh karena itu, dalam menentukan tarif juga menjadi faktor
yang penting, karena menaikkan tarif pajak belum tentu akan meningkatkan
penerimaan pajak, bahkan sebaliknya mungkin akan menyebabkan penerimaan
menurun.13

BAB 3
13
Idem.
METODE PENELITIAN

Metode penelitian pada dasarnya merupakan rangkaian prosudur atau tahapan atau cara
sistematis yang digunakan untuk mencari kebenaran dalam suatu karya ilmiah, sehingga
dapat menghasilan sebuah karya ilmiah yang berkualitas yaitu memenuhi syarat penelitian.
Metode mengandung aspek-aspek antara lain tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan,
bahan dan alat serta cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, mengolah dan
menganalisa untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian.14

Jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah literer atau penelitian perpustakaan (library
research), artinya sebuah studi dengan mengkaji buku-buku atau kitab-kitab terkait dengan
karya ilmiah ini yang berasal dari perpustakaan (bahan pustaka). Semua sumber berasal dari
bahan-bahan tertulis (cetak) dan literatur-literatur lainnya (elektronik) yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian.15

Tahapan selanjutnya yaitu pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
Pendekatan dibedakan menjadi dua, yaitu pendekatan kulitatif dan pendekatan kuantitatif.
Dalam penulisan karya ilmiah ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif,
yaitu pendekatan yang dalam pengolahan dan analisa data tidak menggunakan angka-angka,
symbol dan atau variabel matematis melainkan dengan pemahaman mendalam (in depth
analysis). Selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis normatif,
yaitu pendekatan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan
sekunder belaka (Soerdjono dan Sri, 1994; Roni, 1994; Amirudin dan Zainal, 2004; Achmad,
2009).16 Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.

Penulisan karya ilmiah ini berdasarkan pada sumber bahan penelitian primer dan sumber
bahan penelitian sekunder, yaitu :
a. Sumber penelitian primer berupa :
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1989 tentang Perubahan Besarnya Tarif
Bea Meterai dan Besarnya Batas Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai
Atas Cek dan Bilyet Giro
- Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahaan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea
Meterai
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeteraian Kemudian
- Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bea Meterai

b. Sumber bahan sekunder berupa :


- Buku kepustakaan

14
Soemitro. (1990). Metodologi Penelitian Hukum) Jakarta: Rineka Cipta, hlm 10.
15
Sutrisno Hadi. (1980). Metodologi Riserch I. Yogyakarta: Gajah Mada.
16
Soerdjono Seokanto dan Sri Mamudji. (1994). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
- Laporan penelitian katya tulis ilmiah yang berikan dengan permasalahan yang
dibahas
- Pendapat atau pemikiran para ahli
- Makalah
- Surat kabar
- Serta sarana lain yang menyediakan layanan informasi yang berkaitan dengan
pembahasan permasalahan dalam karya tulis ilmiah ini.
BAB 4
PEMBAHASAN

.1 Kelebihan Kebijakan Penetapan Tarif Tunggal Bea Meterai dan Perubahan


Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai

4.1.1 Meningkatkan Kemudahan Administrasi Pajak


Penyederhanaan tarif Bea Meterai menjadi single rate yaitu Rp10.000 pada semua
dokumen, dapat memberikan kemudahan Wajib Pajak. Dengan adanya penyamaan
tarif untuk seluruh dokumen akan membuat peraturan mengenai Bea Meterai
menjadi lebih sederhana, sehingga mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Oleh
karena itu akan terpenuhi nya asas ease of administration sebagai salah satu asas
penting dalam sistem pemungutan pajak sehingga memungkinkan meningkatnya
kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan dalam teorinya, kepatuhan Wajib
Pajak akan meningkat jika administrasi pajak mampu membentuk prospek kuat
tiap ketidakpatuhan cepat terdeteksi dan efektif dihukum (Prof. Dr. Gunadi, Msc.,
AK. dalam Buku Pemeriksaan, Investigasi dan Penyidikan Pajak).

Sebelumnya, terdapat threshold tertentu untuk beberapa tarif, yaitu disebutkan pada
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000, pengenaan tarif Rp3.000
pada dokumen dengan nilai nominal Rp250.000 sampai dengan Rp1.000.000, dan
pengenaan tarif Rp.6.000 pada dokumen dengan nilai nominal lebih dari
Rp1.000.000. Dengan diterapkannya penyetaraan tarif terhadap semua dokumen,
maka potensi potential loss negara akibat resiko kesalahan penetapan tarif yang
tidak sesuai dengan Undang-Undang akan terminimalisir.

4.1.2 Memberikan Kepastian Hukum


Penyederhanaan tarif Bea Meterai menjadi tarif tunggal dan penetapan batasan
pengenaan harga nominal menjadi Rp5.000.000 saja selain memberikan
kemudahan Wajib Pajak dalam memahami Undang-Undang Bea Meterai,
menetapkan serta menghitung pajak yang terutang, juga memberikan kepastian
hukum. Kini seluruh dokumen hanya dipajaki atas satu tarif saja dan satu batasan
pengenaan harga nominal sehingga tidak ada lagi dispute dalam menetapkan tarif
Bea Meterai. Sebelumnya, contohnya saja untuk pengenaan surat berharga, cek dan
bilyet giro, efek serta sekumpulan efek, dikenakan tarif Bea Meterai yang berbeda-
beda dengan batasan pengenaan harga nominal yang berbeda juga seperti pada
Tabel 3.

Tabel 3. Pengenaan Tarif Terhadap Surat Berharga, Cek dan Bilyet Giro, Efek, dan
Sekempulan Efek

Subjek Nominal Tarif


Cek dan Bilyet Giro Tanpa batas pengenaan Rp3.000
besarnya harga nominal
Efek dengan nama dan Harga nominal sampai Rp3.000
dalam bentuk apapun dengan Rp1.000.000
Harga nominal lebih dari Rp6.000
Rp1.000.000
Sekumpulan efek dengan Harga nominal sampai Rp3.000
nama dan dalam bentuk dengan Rp1.000.000
apapun
Harga nominal lebih dari Rp6.000
Rp1.000.000
Sumber: PP Nomor 24 Tahun 2000, diolah

Sebagai orang awam yang tidak terlalu mendalami Bea Meterai, penggunaan tarif
Bea Meterai yang berbeda-beda dengan batasan pengenaan harga nominal yang
berbeda-beda pula akan lebih sulit dipahami dibanding dengan satu tarif dan juga
satu batasan pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai. Namun dalam
hal ini kepastian hukum hanya sebatas tarif dan batasan harga nominal saja, bukan
menjamin suatu dokumen menjadi sah di mata hukum, hal ini kemudian akan
dibahas pada bagian kekurangan.

4.1.3 Meningkatnya Efisiensi Terhadap Transaksi-Transaksi yang Nilainya Tidak


Material
Pada acara media ‘Briefing Bersama Dirjen Pajak’, Suryo Utomo selaku Direktur
Jenderal Pajak, menjelaskan bahwa salah satu tujuan tarif tunggal Bea Meterai ini
adalah keberpihakan kepada masyarakat dan UMKM dengan tarif yang relatif
terjangkau.17 Selain itu juga, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa meski tarif
diusulkan meningkat, RUU Bea Meterai juga menegaskan keberpihakan pada
UMKM karena batasan nilai nominal dokumen dinaikkan menjadi lima juta
rupiah.18 Maksud dari keberpihakan pemerintah kepada UMKM dalam penetapan
tarif tunggal dan batasan nilai nominal yang dikenakan Bea Meterai yaitu UMKM
tidak perlu lagi memikirkan pengenaan Bea Meterai atas dokumen atau transaksi-
transaksi yang nilainya dibawah Rp5.000.000.

Suatu usaha dapat dikategorikan sebagai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
apabila memiliki asset maksimal Rp50.000.000 dan omzet maksimal sebesar
Rp300.000.000 per tahun atau sekitar Rp1.000.000 per hari (asumsi beroperasional
aktif selama 300 hari/tahun). Dalam transaksi sehari-harinya, UMKM biasanya
hanya melakukan transaksi dengan harga nominal yang masih terbilang rendah,
namun pengaturan UU Nomor 13 Tahun 1985 juga mengatur pengenaan Bea
Meterai dengan harga nominal Rp250.000 sampai dengan Rp1.000.000 dikenakan
tarif Rp3.000, sehingga atas transaksi dibawah Rp1.000.000 masih dikenakan Bea
Meterai. Dengan adanya perubahan besaran pengenaan harga nominal yang
dikenakan Bea Meterai menjadi Rp5.000.000, tentunya akan meringankan beban
atau cost yang dikeluarkan oleh UMKM sehingga keuntungan yang akan diperoleh
UMKM pun akan meningkat. Rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak
juga sejalan dengan asas efficiency, sehingga perubahan besarnya harga nominal
yang dikenakan Bea Meterai akan meningkatkan efisensi terhadap transaksi-
transaksi yang nilainya tidak material. Selain itu juga mengingat besarnya porsi
sektor UMKM dari segi pelaku usaha dalam perekonomian Indonesia, peningkatan
keuntungan serta terminimalisirnya biaya yang dikeluarkan oleh UMKM
diharapkan dapat meningkatkan kontribusi penyetoran pajak secara sukarela,
sehingga dapat menggenjot penerimaan negara pula.
17
Kementerian Keuangan. (2020). Tarif Tunggal Bea Meterai Rp10.000 Dikenakan Mulai Tahun 2021 dengan
Masa Transisi. Kemenkeu.go.id. Diakses pada: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/tarif-tunggal-
bea-meterai-rp10000-dikenakan-mulai-tahun-2021-dengan-masa-transisi/
18
Olivia, Grace. (2019). Sri Mulyani Mengusulkan Tarif Bea Meterai Tunggal Sebesar Rp10.000.
Nasionalkontan.co.id. Diakses pada: https://nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-mengusulkan-tarif-bea-
materai-tunggal-sebesar-rp-10000
4.1.4 Meningkatkan Potensi Penerimaan Negara
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai juga merupakan salah
satu pungutan pajak yang dimaksudkan untuk penerimaan negara. Sebagai salah
satu jenis pajak, Bea Meterai juga menganut fungsi budgeter dan asas revenue
productivity dalam pemungutan nya, sehingga penaikan dan penyederhanaan tarif
tunggal sebesar Rp10.000 dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara
dianggap wajar. Selain itu juga melihat perkembangan kondisi masyarakat yang
semakin meningkat, baik dari bidang ekonomi, hukum, sosial maupun teknologi
informasi, dianggap terdapat potential loss terhadap penerimaan Bea Meterai.
Namun karena tarif Bea Meterai sudah mencapai pada tarif maksimal, maka
Undang-Undang Bea Meterai tidak mampu untuk memanfaatkan kondisi
perkembangan tersebut secara maksimal. Namun upaya peningkatan penerimaan
tersebut tidak dapat dilakukan melawan situasi dan kondisi daya pikul masyarakat
atas penerimaan bea meterai relatif terhadap penghasilannya. Sehingga perlu
dilihat perbandingan antara beban bea meterai perkapita yang dipikul oleh suatu
individu atau badan terhadap Penghasilan Domestik Bruto per kapita agar
pemungutan pajak tersebut dapat dilakukan secara adil.

Dengan asumsi bahwa setiap bulan dalam setahun, setiap individu harus
membayar Bea Meterai dengan tarif tertinggi atau Rp6.000 maka beban Bea
Meterai per kapita setahun adalah sebesar Rp72.000, perhitungan perbandingan
beban Bea Meterai per kapita yang dipikul oleh individu terhadap Penghasilan
Domestik Bruo (PDB) adalah:

Tabel 4. Rasio Daya Pikul Bea Meterai

Tahun 2000 2003 2006


Beban Bea Meterai Rp 72.000 Rp 72.000 Rp 72.000
PDB per kapita Rp 6.775.002 Rp 9.326.000 Rp 14.816.000
Rasio 1,06% 0,77% 0,49%
Tahun 2009 2012 2014
Beban Bea Meterai Rp 72.000 Rp 72.000 Rp 72.000
PDB per kapita Rp 23.880.000 Rp 33.531.000 Rp 41.810.000
Rasio 0,30% 0,22% 0,20%
Sumber : Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bea Meterai, diolah

Berdasarkan asumsi pada tabel diatas maka perbandingan beban Bea Meterai
perkapita yang dipikul oleh individu terhadap Penghasilan Domestik Bruto (PDB),
dapat dilihat bahwa persentase rasio semakin berkurang sepanjang bertambah nya
tahun, hal ini menunjukan bahwa beban Bea Meterai yang dipikul oleh individu
semakin berkurang seiring dengan bertambahnya tahun. Dengan berkurang nya
beban yang dirasakan oleh individu terhadap peningkatan penghasilan yang
dikenakan tarif Bea Meterai yang sama, mengartikan bahwa jika dikenakan tarif
yang lebih besar maka tidak melebihi daya pikul individu tersebut. Oleh karena itu
terdapat potensi meningkatnya penerimaan negara jika tarif dinaikan menjadi
Rp10.000.
Namun selain memikirkan peningkatan penerimaan negara, pemerintah juga harus
mempertimbangkan dampak negatif dari peningkatan tarif tersebut, baik dari
jangka pendek maupun jangka panjang. Jika hal tersebut tidak dipertimbangkan,
alih-alih meningkatkan penerimaan negara, justru Wajib Pajak yang awalnya patuh
ditakutkan akan beralih menggunakan Bea Meterai palsu dimana tarifnya jauh
lebih kecil dari Bea Meterai sesungguhnya. Hal tersebut selaras dengan Rosdiana
(2012) yang dituliskan dalam buku ‘Pengantar Ilmu Pajak’ bahwa menaikkan tarif
pajak belum tentu akan meningkatkan penerimaan pajak, bahkan sebaliknya
mungkin akan menyebabkan penerimaan menurun. Sehingga diperlukan juga
analisis kelemahan dari penetapan tarif tunggal Bea Meterai dan perubahan
besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Materai selain
daripada kelebihan-kelebihan di atas.

4.2 Kelemahan Kebijakan Penetapan Tarif Tunggal Bea Meterai dan Perubahan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai

4.2.1 Butuh Waktu Untuk Menarik Meterai Rp3.000 dan Rp6.000


Masa peralihan pada perubahan tarif Bea Meterai menjadi salah satu sorot utama
dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang ini. Hal tersebut dijika
Rancangan Undang-Undang Bea Meterai ini disetujui dan dilaksanakan pada
waktu dekat, maka meterai dengan Rp3.000 dan Rp6.000 yang sudah tercetak dan
tersebar akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk ditarik atau diganti
dengan nominal baru yakni Rp10.000. Pasalnya, bagi pelaku usaha yang pada
kegiatan atau transaksi sehari-harinya menggunakan Bea Meterai cenderung
memiliki budaya ‘menimbun’ Bea Meterai yang belum tentu digunakan pada saat
itu juga, tetapi untuk cadangan jika sewaktu-waktu digunakan. Oleh karena itu
diperlukan pengaturan yang bijak dan waktu yang tidak sebentar untuk
memaksimalkan penggunaan Bea Meterai yang sudah beredar di masyarakat. hal
ini juga dimaksudnya untuk meminimalisir kerugian negara yang timbul sebagai
akibat adanya meterai tempel yang belum terjual di PT Pos sebagai pihak yang
ditugaskan untuk mengelola dan menjual meterai tempel ke masyarakat.

4.2.2 Dipertanyakannya Keabsahan Dokumen dengan Nilai Nominal Dibawah


Rp5.000.000
Mengingat kembali kepada kelebihan penetapan tarif tunggal Bea Meterai
Rp10.000 dan perubahan pada batas pengenaan nilai nominal yang dikenakan Bea
Meterai menjadi Rp10.000, salah satu tujuan perubahan tersebut adalah untuk
mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan adanya
perubahan tersebut, dapat menekan cost yang dikeluarkan oleh UMKM sehingga
keuntungan yang didapatkan oleh UMKM menjadi lebih besar. Namun di sisi lain
perlu dipertimbangkan pula efektivitas Bea Meterai tersebut karena hal ini bisa saja
dianggap memberatkan pengusaha UMKM yang terkadang membutuhkan surat
pernyataan. Masih terdapat kekhawatiran dari masyarakat akan perlindungan
hukum untuk nilai dokumen di bawah nominal Rp5.000.000, karena kebanyakan
transaksi yang dilakukan oleh pengusaha UMKM memiliki nilai dokumen di
bawah Rp5.000.000. Kekhawatiran tersebut disebabkan karena dalam masyarakat
sudah terbentuk suatu pandangan bahwa surat perjanjian/pernyataan yang
dibubuhkan Bea Meterai akan terjamin keabsahan nya atau sebagai penentu sah
atau tidak nya suatu perjanjian/pernyataan sehingga dokumen yang mereka buat
dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Dalam hal ini memang perlu diluruskan bahwa syarat sah nya suatu perjanjian
adalah bukan menurut Undang-Undang Bea Meterai, melainkan berdasarkan pada
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa suatu
perjanjian dikataka sah menurut hukum apabila :
1) adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya
2) kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3) suatu hal tertentu
4) suatu sebab (causa) yang halal
Jika suatu perjanjian memenuhi keempat syarat di atas, maka perjanjian atau
pernyataan tersebut sudah dianggap sah menurut hukum. Yang menjadi perhatian
disini adalah hakim dilarang untuk mempertimbangkan dokumen yang meterialnya
tidak/kurang bayar bukan berarti menjadi penentu sah atau tidaknya suatu
dokumen, melainkan bahwa sebagai bukti sudah dibayarkannya Bea Meterai atau
pajak atas dokumen sehingga baru dapat ditindaklanjuti.

Kelemahan pada Rancangan Undang-Undang Bea Meterai yang belum juga


mempertegas tentang keabsahaan suatu dokumen atau sah/tidak nya suatu
dokumen perlu diperhatikan. Hal ini untuk menghilangkan kerancuan yang terjadi
di masyarakat terkait dengan fungsi sebenarnya Bea Meterai, sehingga masyarakat
tidak menerka-nerka sendiri yang akhirnya membentuk suatu pandangan sendiri
diluar ketentuan yang sebenarnya.

4.2.3 Proyeksi Bertambahnya Beban Biaya bagi Pelaku Usaha Bisnis


Peningkatan tarif Bea Meterai menjadi Rp 10.000 dinilai dapat meningkatkan
beban biaya bagi pelaku usaha bisnis yang dalam ranah kegiatan atau transaksi-
transaksi nya perlu menggunakan Bea Meterai. Contohnya yaitu industri perbankan
yang banyak menggunakan meterai sebagai pengabsahan surat maupun dokumen
yang berkaitan dengan layanan keuangan. Hal tersebut tentunya akan menambah
beban dari sisi operasional perbankan. Disebutkan dalam Keuangankontan.co.id
(2019), apalagi terdapat usulan yang mengatakan Bea Meterai untuk keperluan
kartu kredit akan dibebankan ke pihak perbankan dari sebelumnya oleh nasabah.
Dalam praktinya setiap transaksi ritel (kartu kredit) dengan nilai di atas Tp250.000
sampai dengan Rp1.000.000, nasabah akan dikenakan biaya meterai sebesar
Rp3.000. Sedangkan untuk transaki di atas Rp1.000.000, biaya meterainya yakni
Rp6.000. Sebelumnya, biaya jenis ini kerap diabaikan oleh pengguna kartu. Selain
itu, pada dasarnya seluruh transaksi atau layanan keuanan bank seperti cek, bilyet,
giro memang diharuskan menggunakan Bea Meterai sebesar Rp3.000. Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 disebutkan bahwa pihak yang wajib
membayar Bea Meterai adalah pihak yang mendapatkan manfaat atas dokumen
tersebut. Namun apabila beban Bea Meterai tersebut akan dibebankan pada pihak
bank, tentu akan menambah biaya operasional.19

Apabila peningkatan tarif Bea Meterai menjadi Rp10.000 untuk semua dokumen
secara umum justru akan memberatkan Wajib Pajak, karena cost yang Wajib Pajak
keluarkan akan semakin bertambah, hal tersebut bisa saja menjadi faktor menurun
nya voluntary tax compliance atau kemandirian penuh Wajib Pajak untuk patuh
membayarkan kewajibannya. Selaras dengan teori cost and benefit analysis sebagai
19
Olivia, Grace. (2019). Revisi Aturan Meterai, Biaya Operasional Bank Bisa Bertambah Miliaran.
Keuangan.kontan.co.id. Diakses pada: https://keuangan.kontan.co.id/news/revisi-aturan-materai-biaya-
operasional-bank-bisa-bertambah-miliaran?page=5
motivator patuh-tidak patuh. Apabila cost dan benefit yang diterima oleh Wajib
Pajak tidak berbanding lurus maka kepatuhan Wajib Pajak juga akan menurun.
Selain daripada pelaku usaha bisnis, yang menjadi perhatian adalah apabila Bea
Meterai tersebut dikenakan pada surat atau dokumen yang dipergunakan untuk
administrasi mahasiswa dan juga pelajar, seperti pembuatan surat orisinalitas, surat
keterangan dan surat lainnya yang dikenakan Bea Meterai. hal ini tentu akan
memberatkan apalagi sejatinya sektor pendidikan merupakan salah satu sektor
yang mendapat fasilitas di bidang perpajakan.

4.2.4 Menimbulkan Ketidakadilan Vertikal


Pengenaan tarif tetap atas beberapa jenis dokumen tertentu tanpa
mempertimbangkan nilai nominal yang tercantum dalam dokumen tertentu
tersebut, seperti dokumen pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau
dokumen pengalihan dokumen surat berharga dalam transaksi keuangan,
menimbulkan dampak regresif dan kurang memenuhi asas keadilan vertikal.
Sebelumnya terdapat ambang batas dokumen yang diatur dalam pengenaan tarif
Bea Meterai Rp3.000 maupun Rp6.000.

4.2.5 Pengaruh Kondisi Perekonomian akibat Pandemi Virus Covid-19 dan Resesi
Ekonomi
Pada saat diusulkannya Rancangan Undang-Undang Bea Meterai, kondisi
perekonomian Indonesia masih belum terguncang dan stabil. Namun tidak ada
yang dapat memproyeksikan jika pada tahun 2020 ini Indonesia mengalami kondisi
force majeur Covid-19 yang tentu berdampak besar terhadap perekonomian
Indonesia. Bahkan salah satu fraksi di DPR RI menolak adanya rencana kenaikan
Bea Meterai, fraksi tersebut yaitu Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FKPS). FKPS
menolak Rancangan Undang-Undang ini karena menilai bahwa saat ini Indonesia
sedang berada di jurang resesi yang bisa menjalar menjadi krisis ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi dan diperkirakan negative hingga
akhir tahun 2020. Sedangkan rencana nya, Rancangan Undang-Undang Bea
Meterai ini akan dilaksanakan pada Januari 2021. Menurut legislator PKS,
perubahan drastic kondisi perekonomian ini seharusnya menjadi pertimbangan
dalam pengambilan keputusan RUU Bea Meterai. Anggota Komisi XI
Hidayatullah selaku juru bicara Fraksi PKS juga menyatakan bahwa pemerintah
perlu memperhatikan aspek sosial-ekonomi masyarakat efek Covid-19, karena saat
ini angka kemiskinan dan pengangguran melonjak tajam. Kenaikan tarif yang
cukup tinggi ini bisa jadi memberatkan masyarakat menengah di masa pandemic
Covid-19.20

BAB 5
20
Humas Fraksi PKS. (2020). Berpotensi Lemahkan Daya Beli Masyarakat dan Jadi Beban Baru Perekonomian,
FKPS Tolak RUU Bea Meterai. Fraksi.pks.id. Diakses pada: https://fraksi.pks.id/2020/09/03/berpotensi-
lemahkan-daya-beli-masyarakat-dan-jadi-beban-baru-perekonomian-fpks-tolak-ruu-bea-materai/
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai merupakan salah satu
pungutan pajak yang juga memiliki andil dalam APBN. Bentuk pengaturan (policy
design) Undang-Undang Bea Meterai yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari
1986 ini merupakan refleksi atau gambaran dari keperluaan keadaan Indonesia pada
saat itu, dan sampai saat ini belum pernah mengalami perubahan atau penyempurnaan.
Sementara itu sejalan dengan perkembangan yang ada, situasi dan kondisi masyarakat
dalam tiga dekade terakhir telah banyak mengalami perubahan. . Pengaruh dari adanya
perkembangan tersebut menyebabkan pengaturan (policy designs) bea meterai sudah
banyak yang tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi yang ada di masyarakat saat
ini. Oleh karena itu dibentuklah Rancangan Undang-Undang Bea Meterai untuk
menyeimbangi perkembangan yang ada.

Dalam Rancangan Undang-Undang Bea Meterai disebutkan bahwa ketidakrelevanan


Undang-Undang Bea Meterai dengan kondisi saat ini yang paling kentara yaitu ada
pada pengaturan tentang tarif Bea Meterai. Tarif bea meterai pada saat ini sudah
mencapai tarif maksimal seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Bea
Meterai. Sementara itu melihat perkembangan kondisi masyarakat yang semakin
meningkat, baik dari bidang ekonomi, hukum, sosial maupun teknologi informasi,
dianggap terdapat potential loss terhadap penerimaan Bea Meterai. Namun karena tarif
Bea Meterai sudah mencapai pada tarif maksimal, maka Undang-Undang Bea Meterai
tidak mampu untuk memanfaatkan kondisi perkembangan tersebut secara maksimal.

Beberapa perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang Bea Meterai, yaitu peningkatan dan
penyederhanaan tarif Bea Meterai yang semula menggunakan tarif tetap Rp3.000 dan
Rp6.000, menjadi tarif tunggal Rp10.000 dan perubahan batasan pengenaan harga
nominal dari yang semula Rp250.000 kini menjadi Rp5.000.000. Adapun tujuan dasar
dari pembentukan Rancangan Undang-Undang Bea Meterai tersebut yaitu untuk
mengoptimalkan penerimaan negara. Namun selain memikirkan peningkatan
penerimaan negara, pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak dari
peningkatan tarif tersebut. Jika hal tersebut tidak dipertimbangkan, alih-alih
meningkatkan penerimaan negara, justru Wajib Pajak yang awalnya patuh ditakutkan
akan beralih menggunakan Bea Meterai palsu dimana tarifnya jauh lebih kecil dari Bea
Meterai sesungguhnya. Oleh karena itu penulis menjabarkan beberapa kelebihan dan
kelemahan atas kebijakan tarif tunggal Bea Meterai dan perubahan batasan pengenaan
harga nominal menjadi Rp5.000.000, yaitu :
A. Kelebihan
1. Meningkatkan administrasi pajak
2. Memberikan kepastian hukum
3. Meningkatnya Efisiensi Terhadap Transaksi-Transaksi yang Nilainya Tidak
Material
4. Meningkatkan Potensi Penerimaan Negara,
B. Kelemahan
1. Butuh Waktu Untuk Menarik Meterai Rp3.000 dan Rp6.000
2. Dipertanyakannya Keabsahan Dokumen dengan Nilai Nominal Dibawah
Rp5.000.000
3. Proyeksi Bertambahnya Beban Biaya bagi Pelaku Usaha Bisnis
4. Menimbulkan Ketidakadilan Vertikal
5. Pengaruh Kondisi Perekonomian akibat Pandemi Virus Covid-19 dan Resesi
Ekonomi

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan sebagai pertimbangan dalam memitigasi efek
samping jangka panjang yang justru akan memengaruhi stabilitas penerimaan negara
yaitu :
- Dibuat suatu ketentuan peralihan yang didalamnya mengatur ketentuan
sehubungan dengan penggunaan meterai tempel dengan tarif Rp300 dan Rp6000
yang masih beredar di masyarakat agar dapat digunakan semaksimal mungkin.
Misalnya dengan adanya pengaturan dalam masa peralihan bahwa masyarakat
dapat menggunakan meterai tempel dengan tarif Rp3000 dan Rp6000 sampai
dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun sejak UU Bea Meterai yang baru
mulai berlaku. Nilai total meterai tempel yang dibubuhkan pada dokumen dapat
ditentukan paling sedikit sebesar Rp9000. Selain itu juga ketentuan peralihan ini
dapat meminimalisir kerugian negara yang timbul sebagai akibat adanya meterai
tempel yang belum terjual di PT Pos sebagai pihak yang ditugaskan untuk
mengelola dan menjual meterai tempel ke masyarakat.
- Dilihat dari sisi biaya bagi Wajib Pajak khususnya mereka yang karena bisnisnya
harus mencetak banyak dokumen yang dikenakan Bea Meterai, hal ini dapat
membebani compliance cost Wajib Pajak dalam memenuhi Bea Meterai. Sehingga
agar trade off kenaikan biaya yang dialami Wajib Pajak dapat diimbangi dengan
baik, pemerintah harus menjamin simplifikasi administrasi. Benefit simplifikasi
administraasi ini tidak dapat dicapai hanya dengan menyamakan tarif pajak atas
dokumen. Selain itu harus ada instruktur yang melengkapi, khususnya dengan
perkembangan zaman yang memasuki era digital. Salah satu inovasi yang sedang
digarap DJP adalah Bea Meterai Digital (BMD)
- Perlu adanya edukasi lebih kepada masyarakat terkait revisi terhadap UU Bea
Meterai juga definisi, kegunaan dan segala seluk beluk terkait bea meterai. Masih
ada masyarakat yang masih belum mengetahui usulan RUU Bea Meterai dan
belum memahami secara mendalam terkait fungsi, manfaat dan penggunaan
meterai tempel dan bea meterai itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1989 tentang Perubahan Besarnya Tarif Bea Meterai
dan Besarnya Batas Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai Atas Cek dan
Bilyet Giro

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahaan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeteraian


Kemudian

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bea Meterai

Buku

Gunadi. (2005). Indonesian Taxation; A Reference Guide. Jakarta: Multi Utama Publishing.

Heru Supriyanto. (2010). Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Meterai. Edisi Kedua.
Jakarta Barat: PT Indeks, hlm. 182

Nasucha, C. (2004). Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Rosdiana Haula, & Irianto Edi Slamet. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Soerdjono Seokanto dan Sri Mamudji. (1994). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soemitro. (1990). Metodologi Penelitian Hukum) Jakarta: Rineka Cipta, hlm 10.

Sutrisno Hadi. (1980). Metodologi Riserch I. Yogyakarta: Gajah Mada.

Jurnal

Allingham, M. G., and Sandmo, A. (1972). Income tax evasion: A theoretical analysis.
Journal of Public Economics, 1: 323-338.
Kementrian Keuangan. (2016). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bea Meterai.

Money, Arthur Remenyi, Dan, dan Michael Sherwood-Smith. (2002). The Effective
Measurement and Management of IT Costs an Benefits, 2nd Edition. Butterworth-
Heinemann, Britain

Pusat Kajian Anggaran/Badan Keahlian DPR RI. (2019). Buletin APBN. Vol. IV, Edisi 14.

Schniederjans, Marc J., Hamaker, JamieL.Schniederjans, Ashlyn M. (2004). Information


Technology Investment, Decision–Making Methodology .WorldScientific, NJ.

Womer, N. K., M L Bougnol, J. Dula, dan Retzlaff-Roberts. (2006). Benefit-cost analysis


using data envelopment analysis. Annals of Operations Research, vol.145(1),
halaman 229-250.

Internet/Website

Badan Pusat Statistik. (2019). Ekonomi Indonesia 2018 Tumbuh 5,17 Persen. Diakses pada
https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/02/06/1619/ekonomi-indonesia-2018-
tumbuh-5-17-persen.html

Humas Fraksi PKS. (2020). Berpotensi Lemahkan Daya Beli Masyarakat dan Jadi Beban
Baru Perekonomian, FKPS Tolak RUU Bea Meterai. Fraksi.pks.id. Diakses pada:
https://fraksi.pks.id/2020/09/03/berpotensi-lemahkan-daya-beli-masyarakat-dan-
jadi-beban-baru-perekonomian-fpks-tolak-ruu-bea-materai/

Kementerian Keuangan. (2020). Tarif Tunggal Bea Meterai Rp10.000 Dikenakan Mulai
Tahun 2021 dengan Masa Transisi. Kemenkeu.go.id. Diakses pada:
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/tarif-tunggal-bea-meterai-rp10000-
dikenakan-mulai-tahun-2021-dengan-masa-transisi/

Laoli, Noverius. (2019). Sri Mulyani dan DPR kejar pengesahan RUU Bea Meterai selesai
September 2019. Nasional.kontan.co.id. Diakses pada
https://nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-dan-dpr-kejar-pengesahan-ruu-bea-
meterai-selesai-september-2019

Olivia, Grace. (2019). Sri Mulyani Mengusulkan Tarif Bea Meterai Tunggal Sebesar
Rp10.000. Nasionalkontan.co.id. Diakses pada:
https://nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-mengusulkan-tarif-bea-materai-
tunggal-sebesar-rp-10000

Olivia, Grace. (2019). Revisi Aturan Meterai, Biaya Operasional Bank Bisa Bertambah
Miliaran. Keuangan.kontan.co.id. Diakses pada:
https://keuangan.kontan.co.id/news/revisi-aturan-materai-biaya-operasional-bank-
bisa-bertambah-miliaran?page=5

Anda mungkin juga menyukai