Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting dalam

membantu pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri. Besar-

kecilnya pajak akan menentukan kapasitas anggaran negara dalam membiayai

pengeluaran negara, baik untuk pembiayaan pembangunan maupun pembiayaan

anggaran rutin. Oleh karena itu, guna mendapatkan penerimaan negara yang besar

dari sektor pajak, maka dibutuhkan serangkaian upaya yang dapat meningkatkan,

baik subjek maupun objek pajak yang ada. (Simanjuntak, 2012).

Besarannya peranan pajak pada jumlah penerimaan negara bagi perekonomian

Indonesia sesuai dengan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik, seperti

yang dimuat dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan Negara (Milyaran Rupiah)


2013 2014 2015 2016 2017
Penerimaan 1.432.058 1.545.456 1.496.047 1.546.946 1.732.952
Negara
Penerimaan 1.077.306 1.146.865 1.240.418 1.284.970 1.472.709
Perpajakan
Penerimaan 354.751 398.590 255.628 261.976 260.242
Bukan
Pajak
Persentase 75,23% 74,21% 82,91% 83,06% 84,99%
Kontribusi
Pajak
Sumber : www.bps.go.id, Data yang telah diolah (2018)
1
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa peranan penerimaan perpajakan

pada jumlah penerimaan negara sangat dominan dan meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2013 penerimaan perpajakan sebesar 1.077.306 miliar, pada tahun 2014

meningkat sebesar 6,5% menjadi 1.146.865 miliar. Pada tahun 2015 penerimaan

perpajakan meningkat sebesar 8,2% dari tahun sebelumnya menjadi 1.240.418 miliar.

Kemudian pada tahun 2016 penerimaan perpajakan sebesar 1.284.970 miliar

meningkat 3,6% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, penerimaan perpajakan

berjumlah 1.472.709 miliar meningkat 14,7% dari tahun sebelumnya. Hal ini

menggambarkan bagaimana ketergantungan pemerintah terhadap penerimaan pajak

sebagai sumber pendanaan bagi perekonomian. Pemerintah mengharapkan wajib

pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakan semaksimal mungkin dengan begitu

penerimaan negara akan bertambah. Pemerintah pun terus berusaha melakukan

penyempurnaan maupun perubahan di dalam undang-undang perpajakan di Indonesia

demi memperbaiki sistem perpajakan itu sendiri dan meningkatkan penerimaan pajak

di Indonesia.

Bersamaan dengan berjalannya perbaikan sistem perpajakan yang dilakukan

oleh pemerintah, terdapat perbedaan perspektif tentang pajak antara pemerintah

dengan manajemen perusahaan. Bagi pemerintah, pajak yang dibayarkan oleh

perusahaan merupakan salah satu sumber pendapatan utama. Sebaliknya, bagi

perusahaan sebagai wajib pajak badan, pajak merupakan biaya yang akan mengurangi

pendapatan. Perbedaan inilah yang menyebabkan tujuan dari perusahaan sebagai

wajib pajak bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk memaksimalkan


2
penerimaan dari sektor pajak (Ratmono, 2015). Maka dari itu, dengan adanya

perbedaan kepentingan tersebut menyebabkan timbulnya ketidakpatuhan wajib pajak

melalui perlawanan terhadap pajak.

Bentuk ketidakpatuhan wajib pajak melalui perlawanan pajak adalah

penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan yang berupaya untuk

mengurangi beban pajaknya. Penghindaran pajak (Tax Avoidance) merupakan

usaha-usaha yang masih termasuk di dalam konteks dan tidak melanggar peraturan-

peraturan pajak yang berlaku untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang dari

tahun sekarang ke tahun-tahun yang akan datang sehingga dapat membantu

memperbaiki arus kas dan keuntungan Wajib Pajak (Sibarani, 2018). Tetapi apabila

melebihi batas atau melanggar hukum dan ketentuan yang berlaku maka aktivitas

tersebut dapat tergolong ke dalam penggelapan pajak (Tax Evasion). Penggelapan

pajak adalah usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat illegal. Oleh karena

itu persoalan penghindaran pajak merupakan persoalan yang rumit dan unik, di satu

sisi penghindaran pajak diperbolehkan, tetapi di sisi lain penghindaran pajak tidak

diinginkan (Budiman & Setiyono, (2012)).

Fenomena penghindaran pajak di Indonesia diperkirakan setiap tahun terdapat

Rp. 110 triliun yang merupakan angka penghindaran pajak, meliputi 80 persen badan

usaha dan sisanya merupakan wajib pajak perorangan. Dari 80 persen tersebut

mayoritas dari badan usaha yang bergerak di sektor mineral dan batubara, perusahaan

asing dan perusahaan berbadan hukum Indonesia tetapi kepemilikan yang sebenarnya

3
oleh asing (Sucipto, 2017).

Perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia ternyata masih

banyak yang belum melaksanakan kewajibannya untuk membayarkan pajak kepada

negara dan Sofjan Wanandi (Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia) membenarkan hal

tersebut. Direktur Jenderal Pajak, mengalami kesulitan untuk menagih pajak pada

sektor pertambangan yang mana potensi jumlah penerimaan pajak sangat besar,

bahkan lebih besar dari penerimaan pajak dari sektor properti. (Deny, 2013).

Dirjen Pajak menemukan banyak perusahaan pertambangan yang tidak

membayar pajak. Hal ini terbukti dari data Kementrian Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM) yang berdasarkan catatan mineral dan batu bara (minerba), jumlah

perusahaan tambang baik Kontrak Karya dan Izin Usaha Pertambangan (IUP)

mencapai 10.922 perusahaan, namun hanya 6.042 yang statusnya clear and clean

(ESDM, 2014). Dari data Dirjen Pajak, terdapat 11.000 usaha pertambangan yang

memliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan izin usaha, tetapi hanya ada 2000

wajib pajak yang sudah membayar pajak (Simanungkalit, 2014). Hal ini

menunjukkan bahwa sektor pertambangan merupakan usaha yang tingkat pelaporan

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) masih sangat buruk. Direktorat Jenderal Pajak

merilis data penurunan penerimaan pajak pada sektor pertambangan sejak awal 2014.

Hingga 8 Agustus 2014, nilai penerimaan pajak pertambangan dan penggalian hanya

mencapai Rp. 36,4 triliun atau turun 11,8 persen dibanding pada tahun 2013

(Dwiarto, 2014), sehingga penurunan penerimaan pajak ini dapat mengindikasikan

4
adanya perusahaan pertambangan yang melakukan praktik penghindaran pajak.

Di Indonesia banyak perusahaan yang melakukan rekayasa utang untuk

mengurangi besaran pajaknya. Salah satu cara yang digunakan yaitu memperbesar

utang sehingga bunga utang besar dan beban pajaknya menurun (Fuad, 2013).

Kasus penghindaran pajak yang dilakukan oleh PT RNI. PT RNI merupakan

sebuah perusahaan penanaman modal asing, anak perusahaan dari RMG Ltd di

Singapura. Selama bertahun-tahun PT RNI selalu mengalami kerugian. Dilihat dari

struktur modalnya, perusahaan ini menggantungkan hidupnya dari hutang afiliasi.

Dalam laporan keuangan PT RNI tahun 2014, tercatat utang kepada induknya sebesar

Rp. 20,4 miliar. Sementara omzet perusahaan hanya sebesar Rp. 2,178 miliar. PT

RNI juga mengakui adanya rugi ditahan pada tahun yang sama senilai Rp. 26,12

miliar (bisniskeuangan.kompas.com). Dengan memberikan utang maka RMG Ltd

akan memperoleh imbalan berupa bunga yang tidak dikenakan pajak. Dari sisi PT

RNI, bunga tersebut juga dapat dibiayakan (deductible expense). Penghindaran pajak

yang dilakukan oleh PT RNI dilakukan dengan menetapkan struktur modal dengan

nilai hutang yang tinggi dan modal yang rendah, yang dikenal dengan thin

capitalization (Suryowati,2016).

Program pemberdayaan dan pemeliharaan lingkungan dan masyarakat sangat

penting untuk perusahaan tambang. Namun masih sedikit perusahaan tambang yang

sadar dan serius melakukan program tanggung jawab sosial (CSR). Dari ribuan

perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia, hanya sekitar 10 perusahaan yang

5
secara serius dan berkelanjutan menjalankan program CSR (Jalal, 2012).

Sektor pertambangan menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang

berkaitan dengan sumber daya alam maka dari itu sektor pertambangan wajib untuk

melakukan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau Corporate Social

Responsibility. Tetapi pada kenyataannya sektor pertambangan tidak melakukan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. salah satu kasus yaitu pada tahun 2016

terdapat ribuan lubang bekas tambang batubara di Kalimantan Timur dibiarkan tetap

terbuka menganga, sehingga merusak lingkungan dan sebanyak 22 orang telah tewas

dalam lima tahun terakhir. Merah Johansyah, Dinamisator LSM jaringan Advokasi

Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) menyebutkan, terdapat 4.464 lubang

tambang batubara tersebar di sejumlah kota dan kabupaten yang ada di provinsi itu.

Ada 1.488 izin usaha pertambangan (IUP) di Kaltim. Masing-masing perusahaan ini

membuka setidaknya tiga lubang. Jadi totalnya mencapai 4.464 lubang. Menurut

aturan, setelah melakukan eksplorasi, perusahaan harus menutup kembali lubang-

lubang itu. Caranya, tanah yang digali untuk mengambil batubara disimpan dan saat

eksplorasi selesai dipakai menimbun lubang. Merah mengatakan ribuan lubang bekas

tambang itu imbas pemberlakuan otonomi daerah Indonesia. Setiap kepala daerah di

Kaltim menerbitkan IUP batubara (Gunawan, 2016).

Setiap perusahaan akan selalu mengembangkan perusahaannya untuk

berkembang semakin besar. Semakin besar perusahaan, semakin banyak juga aset

yang dimiliki, maka perusahaan akan memperoleh laba yang semakin besar pula.

6
Begitu juga dengan fenomena yang terjadi pada PT. Bukit Asam (Persero)

meningkatkan aset dengan melakukan akuisisi Dua perusahaan itu antara lain PT

Tabalong Prima Resources (TPR) yang berlokasi di kabupaten Tabalong, Kalimantan

Selatan dan PT Mitra Hasrat Bersama (MHB) di kabupaten Barito Selatan,

Kalimantan Tengah. Kedua perusahaan ini beroperasi secara terintegrasi. Dengan

melakukan akuisi, perseroan menargetkan volume penjualan batu bara sebanyak 24

juta ton, atau naik 33 persen dari pada tahun lalu sebesar 17,96 juta ton

(liputan6.com). Selain untuk meningkatkan laba alasan mungkin dijadikan dasar oleh

suatu perusahaan untuk melakukan penggabungan usaha adalah pertimbangan pajak.

Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depan atau

sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memiliki kerugian pajak

dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yang menghasilkan laba untuk

memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus ini perusahaan yang mengakuisisi akan

menaikkan kombinasi pendapatan setelah pajak dengan mengurangkan pendapatan

sebelum pajak dari perusahaan yang diakuisisi. Bagaimanapun akuisisi tidak hanya

dikarenakan keuntungan dari pajak, tetapi berdasarkan dari tujuan memaksimalisasi

kesejahteraan pemilik (Clara, 2015).

Indonesia memiliki banyak sekali kasus-kasus yang mengarah pada

penghindaran pajak dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena- fenomena dalam

bidang perpajakan di atas pada umumnya terkait dengan penghindaran pajak. Modus-

modus untuk mendapatkan hak penghindaran pajak pun banyak sekali dilakukan oleh

perusahaan. Beberapa uraian fenomena yang terpapar di atas merupakan bukti bahwa
7
penghindaran pajak ini menjadi isu yang penting untuk mendapatan perhatian lebih.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penghindaran pajak diantaranya karakteristik

eksekutif, ukuran perusahaan, sales growth, dan leverage (Dyreng, Hanlon dan

Maydew, 2010)

Leverage merupakan rasio yang menunjukkan besarnya utang yang dimiliki

oleh perusahaan untuk membiayai aktivitas operasinya. Penambahan jumlah utang

akan mengakibatkan munculnya beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan.

Komponen beban bunga akan mengurangi laba sebelum kena pajak perusahaan,

sehingga beban pajak yang harus dibayar perusahaan akan menjadi berkurang

(Adelina, 2012). Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Noor, Syazwani,

Fadzillah, Nor dan Mastuki (2010) menyatakan Leverage berpengaruh positif

terhadap Tax Avoidance. Tetapi terdapat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

Swingly & Sukatha ( 2015) yaitu Leverage berpengaruh negatif terhadap Tax

Avoidance dan penelitian yang dilakukan Cahyono, Andini, dan Raharjo (2016) yaitu

Leverage tidak berpengaruh terhadap Tax Avoidance.

Selain faktor leverage yang mempengaruhi aktivitas penghindaran pajak, ada

faktor lain yaitu bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap semua stakeholder atau

yang biasa disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Salah satu bentuk

tanggung jawab sosial perusahaan kepada stakeholder adalah membayar pajak

melalui pemerintah. Perusahaan yang terlibat penghindaran pajak adalah perusahaan

yang tidak bertanggung jawab sosial (Lanis dan Richardson, 2012). Watson (2011)

8
dalam Pradipta (2015) menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai peringkat

rendah dalam Corporate Social Responsibility (CSR) dianggap sebagai perusahaan

yang tidak bertanggung jawab secara sosial sehingga dapat melakukan strategi pajak

yang lebih agresif dibandingkan perusahaan yang sadar sosial. Semakin tinggi

pengungkapan CSR perusahaan, diharapkan penghindaran pajak diperusahaan akan

semakin rendah. Hal ini dikarenakan penghindaran pajak merupakan tindakan yang

tidak etis dan tidak bertanggung jawab sosial.

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 yang berarti

dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan bisa digunakan sebagai

pengurang penghasilan bruto yang dikenai pajak. Pengurangan itu membuat

perusahaan yang melakukan aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) bisa

mendapat pengurangan pajak. Aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) yang

bisa mendapat insentif pajak antara lain, sumbangan untuk penanggulangan bencana,

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan infrastruktur sosial,

pembinaan olahraga, serta sumbangan fasilitas pendidikan. Berdasarkan penelitian

terdahulu yang dilakukan Hidayati & Fidiana (2017) menyatakan bahwa CSR

berpengaruh positif terhadap Tax Avoidance. Dalam penelitian yang dilakukan

Dharma & Noviari (2015) menyatakan bahwa CSR berpengaruh negatif terhadap Tax

Avoidance. sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Wijayanti & Samrotun

(2016) yang menyatakan Corporate Social Responsibility (CSR) tidak berpengaruh

terhadap Tax Avoidance.

9
Variabel lain yang mempengaruhi aktivitas penghindaran pajak adalah

Ukuran Perusahaan. Ukuran perusahaan dapat diartikan suatu skala dimana

perusahaan dapat diklasifikasikan besar kecilnya menurut berbagai cara, salah

satunya adalah dengan besar kecil nya asset yang dimiliki. Semakin besar asset yang

dimiliki perusahaan maka semakin besar ukuran perusahaan. Perusahaan dapat

mengelola total aset perusahaan untuk mengurangi penghasilan kena pajak yaitu

dengan memanfaatkan beban penyusutan dan amortisasi yang timbul dari

pengeluaran untuk memperoleh aset tersebut karena beban penyusutan dan amortisasi

dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak perusahaan (Teguh,

2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dewinta & Setiawan, (2016) dan

Puspitasari (2014) ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap Tax Avoidance.

Tetapi ada perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munandar, Nazar, dan

Khairunnisa (2016) yang hasil penelitiannya menyatakan Ukuran Perusahaan

bepengaruh negatif terhadap Tax Avoidance dan penelitian yang dilakukan Cahyono,

Andini, dan Raharjo (2016) menyatakan Ukuran Perusahaan tidak berpengaruh

terhadap Tax Avoidance.

Penelitian-penelitian sebelumnya menjadi acuan peneliti untuk melakukan

penelitian ini. Penelitian mengenai praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang

telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya telah banyak diuji oleh penelit sebelumnya. Namun penelitian

yang telah dilakukan menunjukkan simpulan yang berbeda-beda dengan variabel

independen yang berbeda pula. Maka peneliti berniat untuk menguji lebih lanjut
10
mengenai Penghindaran Pajak (tax avoidance). Oleh karena itu, penulis melakukan

penelitian dengan mengangkat judul “Pengaruh Leverage, Corporate Social

Responsibility (CSR), dan Ukuran Perusahaan terhadap Tax Avoidance pada

Perusahaan Sektor Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

(BEI) tahun 2013-2017”.

1.2 Identifikasi Masalah

Perbedaan kepentingan dari pemerintah yang menginginkan penerimaan

pajak yang besar dan berkelanjutan tentu bertolak belakang dengan kepentingan dari

perusahaan yang menginginkan pembayaran pajak seminimal mungkin. Upaya

meminimalisasi pajak yang dilakukan oleh perusahaan adalah perencanaan pajak (tax

planning) yang dibagi menjadi dua yaitu penghindaran pajak (tax avoidance) dan

penggelapan pajak (tax evasion). Penghindaran pajak (tax avoidance) adalah

meminimalkan pajak dengan cara legal atau tidak melanggar ketentuan hukum yang

telah ditetapkan sedangkan penggelapan pajak (tax evasion) adalah meminimalkan

pajak dengan cara melanggar undang-undang secara illegal. Faktor-faktor yang

mempengaruhi penghindaran pajak belum dipahami secara baik dan masih terus

dikaji dan terdapat perbedaan hasil penelitian dari peneliti-peneliti sebelumnya. Maka

dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan menggunakan faktor

Leverage, Corporate Social Responsibility (CSR), dan Ukuran Perusahaan.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka penelitian ini dilakukan untuk

meneliti mengenai penghindaran pajak.

11
1. Seberapa besar pengaruh Leverage terhadap Penghindaran Pajak.

2. Seberapa besar pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap

Penghindaran Pajak.

3. Seberapa besar pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Penghindaran Pajak.

4. Seberapa besar pengaruh Leverage, Corporate Social Responsibility (CSR), dan

Ukuran Perusahaan terhadap Ukuran Perusahaan.

1.3 Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mencari, mengumpulkan, dan

mendapatkan informasi mengenai pengaruh leverage, corporate social responsibility

(CSR) dan ukuran perusahaan terhadap penghindaran pajak pada perusahaan

pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai:

1. Pengaruh leverage terhadap penghindaran pajak.

2. Pengaruh corporate social responsibility (CSR) terhadap penghindaran pajak.

3. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap penghindaran pajak.

4. Pengaruh leverage, corporate social responsibility (CSR) dan ukuran perusahaan

terhadap penghindaran pajak secara simultan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, penulis mengharapkan bahwa hasil dari

penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:


12
1. Mahasiswa Program Studi Akuntansi

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana bagi segenap civitas

ekonomi khususnya jurusan akuntansi agar memiliki pemahaman tentang

Leverage, Corporate Social Responsibility (CSR) dan Ukuran Perusahaan dan

hubungannya dengan Penghindaran Pajak.

2. Ilmu Akuntansi Perpajakan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur pembendaharaan ilmu

pengetahuan dan acuan penelitian pada bidang studi perpajakan terutama untuk

peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi penghindaran Pajak.ii

3. Peneliti

Dengan adanya penelitian ini diharapkan peneliti dapat menerapkan teori dan

memperoleh pemahaman mengenai Leverage, Coprorate Social Responsibility

(CSR) dan Ukuran Perusahaan serta pengaruhnya terhadap penghindaran pajak.

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian terhadap perusahaan

sektor pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini dilakukan

secara tidak langsung ke perusahaan melalui situs http://www.idx.co.id dan

Perpustakaan Universitas Widyatama. Adapun waktu penelitian dilakukan sejak

bulan Desember 2018 hingga penelitian selesai dilaksanakan.

13

Anda mungkin juga menyukai