Anda di halaman 1dari 36

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERLUASAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN


PASAL 22 BARANG SANGAT MEWAH UNTUK SEKTOR
PROPERTI DALAM PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 90/PMK.03/2015
UJIAN AKHIR SEMESTER
PENGANTAR KEBIJAKAN PAJAK

RERE KARLINA WIGATI


1406646635

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI FISKAL
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
2015

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
penulisan ini saya susun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah
Pengantar Kebijakan Pajak ini tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Tulisan ini adalah hasil karya
saya dengan mengutip dari berbagai sumber yang telah saya cantumkan dengan
benar. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya
akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.

Mata Kuliah

: Pengantar Kebijakan Pajak

Judul Makalah

: Analisis Perluasan Objek Pajak Penghasilan Pasal


22 Barang Sangat Mewah Untuk Sektor Properti
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
90/PMK.03/2015

Tanggal

: 8 Juni 2015

Dosen

: Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.si


Prof. Dr. Gunadi, M.Sc
Dr. Titi Muswati Putranti, M.Si

Rere Karlina Wigati


1406646635

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN..

DAFTAR ISI..

ii

DAFTAR TABEL.

iv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang...

1.2.

Rumusan Masalah..........

1.3.

Tujuan Penulisan

1.4.

Signifikansi Penelitian

1.4.1.

Signifikansi Akademis

1.4.2.

Signifikansi Praktis.

1.5.

Batasan Penelitian... 6

1.6.

Sistematika Penulisan.. 6

BAB 2 LANDASAN HUKUM DAN KERANGKA TEORI


2.1. Tinjauan Pustaka. ....... 7
2.2. Kerangka Teori 8
2.2.1

Kebijakan Fiskal

11

2.2.2

Kebijakan Pajak... 12

2.2.3

Fungsi Pajak. 13

2.2.4

Teknik Pemungutan Pajak.... 15

2.3. Alur Pemikiran.. 15


BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1

Pendekatan Penelitian ...

17

3.2. Jenis Penelitian...


3.2.1

Berdasarkan Manfaat Penelitian.

17

3.2.2

Berdasarkan Tujuan Penelitian

17

3.3. Teknik Pengumpulan Data..

18

3.4. Teknik Analisis Data...

18

Universitas Indonesia

BAB 4 PEMBAHASAN
4.1. Sektor Usaha Properti di Indonesia...................

19

4.2. Perluasan Objek Barang Sangat Mewah PPh Pasal 22.

20

4.3. Mekanisme Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak


Penghasilan Pasal 22 atas Sektor Properti

25

4.4. Analisis SWOT atas Peraturan 90/PMK.03/2015 terhadap


Sektor Properti..

27

BAB 5 PENUTUP
5.1. Simpulan

29

5.2

Saran..

30

DAFTAR PUSTAKA.

31

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1.1

Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah)


Tahun 2007 2013

Tabel 5.1

Perbedaan Objek PPh Pasal 22 Menurut


253/PMK.03/2008 dengan Objek PPh Pasal 22
Menurut 90/PMK.03/2008

20

Universitas Indonesia

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dalam rangka membiayai infrastruktur yang semakin meningkat dan untuk

menyediakan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya, pemerintah


menekankan kebutuhan akan kenaikan penerimaan negara. Hal ini dituangkan
oleh pemerintah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBN-P) tahun 2015. Pemerintah membutuhkan sumber penerimaan untuk total
belanja negara yang sebesar Rp1.994,9 triliun. Belanja tersebut terdiri dari
Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.330,8 triliun, dan transfer ke daerah dan
dan desa sebesar Rp664,1 triliun1. Dalam memenuhi kebutuhan belanja negara
tersebut, pemerintah mengandalkan pendapatan negara yang berasal dari
pendapatan perpajakan dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta
proyeksi pembiayaan dalam dan luar negeri yang dilakukan Kementerian
Keuangan (Kemenkeu).
Beberapa kebijakan fiskal yang ditempuh oleh pemerintahan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) untuk memenuhi target penerimaan tersebut, diantaranya
adalah realokasi belanja kurang produktif kepada program-program yang lebih
produktif, dan dukungan kepada BUMN dalam pembangunan infrastruktur, defisit
anggaran yang tetap terjaga pada level yang sehat, dan menggali potensi
penerimaan yang lebih banyak dari sektor pajak. Pajak merupakan instrumen
penerimaan negara yang paling aman murah dan berkelanjutan. Aman karena
mandiri dan tidak ada intervensi asing, murah karena tidak ada bunga dan biaya
yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah atau disebut collection cost dalam
memungut pajak dapat lebih ditekan, mengingat sistem pemungutan pajak bukan
hanya official assessment tetapi juga self assessment dan withholding.
Berkelanjutan karena pajak dapat dipungut terus menerus secara dalam setiap
aktivitas masyarakat. Dengan demikian, dari tahun ke tahunnya, porsi penerimaan
dari pajak selalu memiliki porsi yang paling besar di dalam APBN seperti di
dalam tabel berikut ini.
1 Ari Mulianta Ginting, Strategi Perpajakan 2015. (Jurnal Info Singkat Kebijakan
Publik Vol. VII, No. 03/I/P3DI/Februari 2015)
1

Universitas Indonesia

Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah) Tahun 2007 2013
Sumber Penerimaan
(a) Penerimaan Pajak:
(b) Penerimaan Bukan Pajak

Total Penerimaan (c )=(a)+(b)


Persentase Penerimaan Pajak
(d)= (a)/(c )x100%

2007
490,98
8
215,12
0

2008
658,70
1
320,60
4

706,10
8
70%

2009

873,874

980,500

2013
1,148,30
0

227,174

2010
723,30
7
268,94
2

331,472

351,800

349,200

979,30
5

847,096

992,24
9

1,205,34
6

1,332,30
0

1,497,50
0

67%

73%

73%

72%

74%

77%

619,922

2011

2012

Sumber: http://www.bps.go.id * Diolah lebih lanjut oleh penulis

Pada akhir tahun 2014, Presiden Joko Widodo mewacanakan kepada


Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengenai rencana kenaikan target
penerimaan pajak sebesar 600 triliun rupiah dari APBN 2015. Presiden beralasan,
pemerintah membutuhkan dana yang besar guna membangun infrastruktur.
Kebutuhan itu bisa dipenuhi karena potensi pajak yang belum digali mencapai Rp
1.200 triliun per tahun. Potensi itu bisa dilihat dari rasio perpajakan yang masih
kecil, yakni hanya 12-13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika rasio
pajak bisa didongkrak menjadi 16 persen, maka ada potensi tambahan penerimaan
pajak sekitar Rp 1.200 triliun2. Namun, Kementerian Keuangan hanya berani
menaikkan target penerimaan pajak sebesar Rp 100 triliun menjadi Rp 1.301,7
triliun dari target APBN 2015 sebesar Rp 1.201,7 triliun di mana target ini
meningkat sekitar 44 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak 2014 yang
menyentuh angka Rp 981,9 triliun3. Alasannya, terdapat sejumlah hal yang
menjadi tantangan institusi di bawah koordinasinya dalam mencapai target
tersebut antara lain kesulitan menambah pegawai. mekanisme birokrasi perekrutan
pegawai negeri sipil (PNS) yang berbelit, pihaknya juga susah untuk mendapatkan
pegawai yang memiliki kompetensi dan kemampuan yang sesuai dengan
keperluan Ditjen Pajak. Selain masalah pegawai, beberapa regulasi yang ada saat
ini juga perlu diperbaiki, sehingga pergerakan aparat pajak dalam melakukan

2 http://katadata.co.id/berita/2014/11/21/jokowi-minta-target-pajak-naik-rp-600triliun
3 http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150109154442-78-23559/targetpajak-naik-rp-100-triliun-jauh-di-bawah-target-jokowi/
2

Universitas Indonesia

kegiatannya dapat lebih fleksibel4. Menurut dia, anggaran operasional Ditjen


Pajak juga harus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan seiring dengan
penambahan SDM.
Namun, pada akhirnya, melalui sidang Paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Pemerintah yang membahas
mengenai Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan (RUU APBNP) tahun 2015, ditetapkan target penerimaan pajak untuk
tahun 2015 di luar pendapatan Bea dan Cukai sebesar Rp. 1.295.642,8 miliar atau
sekitar Rp. 1.296 triliun rupiah5.
Sejumlah langkah perbaikan di sektor pajak yang akan dilakukan
pemerintah untuk mewujudkan pencapaian tersebut adalah melakukan reformasi
birokrasi dan perubahan struktur organisasi serta perbaikan administrasi
perpajakan melalui e-tax invoice dan pencegahan transfer pricing. Selain itu,
adanya

peningkatan

penegakkan

hukum,

reinventing

policy

mengenai

penghapusan sanksi administrasi pajak (sunset policy), perbaikan regulasi


(intensifikasi) terkait PPh, PPN dan PPnBM, ekstensifikasi wajib pajak baru,
optimalisasi kepabeanan dan cukai juga menjadi rencana pemerintah untuk
mencapai target penerimaan pajak6.
Salah satu dari adanya perubahan kebijakan yang cukup sering diberitakan
adalah adanya isu mengenai pengenaan PPh Pasal 22 dan PPnBM untuk barang
mewah yang basis objeknya diperluas. Untuk kebijakan PPh Pasal 22, sudah
diresmikan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015
mengenai Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008
Tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari
Pembeli Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah, dan sudah ada
petunjuk pelaksanaannya melalui PER Dirjen Nomor PER-19/PJ/2015. Di mana
terdapat perluasan batasan objek yang termasuk dalam kategori barang super
4 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/560796-target-pajak-2015-dinaikkanrp600-triliun--apa-tanggapan-menkeu
5 http://www.pajak.go.id/content/article/ditjen-pajak-optimis-mencapai-targetpenerimaan-rp-1296-triliun
6 http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/01/19/087635923/cara-pemerintahgenjot-pendapatan-negara
3

Universitas Indonesia

mewah. Untuk pesawat terbang pribadi maupun helikopter pribadi yang


sebelumnya di atas 20 miliar dan 10 miliar menjadi tidak ada batasan. Untuk jenis
kendaraan motor roda dua dan roda empat ditetapkan berdasarkan harga atau cc
nya. Sedangkan untuk sektor properti seperti rumah dan apartemen, luas minimal
tanah dan bangunan yang termasuk ke dalam kategori barang super mewah juga
diturunkan. Selain itu, adanya penggunaan kata dan menjadi atau di antara
kedua PMK tersebut. Pada PMK sebelumnya, sebuah properti berupa rumah
termasuk di dalam kategori barang mewah hanya jika memenuhi kedua unsur
yaitu luas di atas 500 m2 dan juga harga jualnya di atas 10 miliar rupiah,
sedangkan apartemen termasuk ke dalam kategori barang super mewah jika luas
bangunan lebih dari 400 m2 dan/atau harga jualnya lebih dari 10 miliar rupiah.
Namun, semenjak adanya PMK yang baru, rumah dan tanah yang termasuk dalam
PMK ini diturunkan menjadi luas yang lebih dari 400 m2 atau harga jual lebih
dari 5 miliar rupiah, sedangkan batasan untuk apartemen diturunkan menjadi luas
yang lebih dari 150 m2 atau harga jual yang lebih dari 5 miliar rupiah.
Dengan dikeluarkannya PMK ini membuat beberapa kalangan, terutama
kalangan pengusaha properti tidak setuju. Eddy Hussy yang merupakan Ketua
Umum Real Estate Indonesia (REI) berpendapat bahwa kondisi perekonomian di
sektor properti yang sedang kurang bergairah tidak dapat berjalan beriringan
dengan peraturan baru tersebut. Seharusnya, pemerintah mempertahankan PMK
sebelumnya atau bahkan dengan tingkat inflasi yang sedang naik, pemerintah
seharusnya menaikkan batasan harga jual properti yang termasuk kategori barang
super mewah di atas 13 miliar. Selain itu, salah satu anggota REI juga
berpendapat bahwa kategori barang mewah yang dinyatakan dalam PMK tersebut
tidak sesuai dengan kenyataannya. Menurutnya, barang mewah seperti helikopter
tidak dapat disamakan dengan rumah yang hanya seharga lima miliar.
Memang, hal yang perlu diperhatikan pemerintah ketika menetapkan
kebijakan untuk mencapai target penerimaan pajak yakni pemerintah harus
mempertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan akibat dari kebijkan
tersebut terhadap sektor usaha yang bersangkutan. Sehingga tidak menimbulkan
kelesuan

pada

sektor

yang

bersangkutan

yang

ujung-ujungnya

dapat

menyebabkan target penerimaan pajak tidak tercapai.

Universitas Indonesia

Untuk itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana


penetapan perluasan basis objek PPh Pasal 22, serta mekanisme menghitung PPh
22 atas pembelian properti dan menganalisis SWOT yang dapat ditimbulkan atas
kebijakan ini terhadap sektor usaha properti.
1.2Rumusan Masalah
Kebijakan penerapan PPh Pasal 22 atas Barang Sangat Mewah melalui
PMK 90 merupakan revisi pertama setelah pada awalnya dikeluarkan peraturan
mengenai hal tersebut melalui PMK tahun 2009. PPh atas barang mewah memang
terkesan bukan suatu hal yang terlalu membebani, mengingat orang yang
mengkonsumsi barang mewah tentunya dapat dikategorikan memiliki daya beli
yang cukup tinggi, terlepas dari cara mendapatkannya apakah melalui berhutang
atau tidak sehingga seiring dikeluarkannya PMK yang pertama, memang terlihat
penerapan PPh Pasal 22 atas Barang Sangat Mewah sudah cukup pantas untuk
dilaksanakan. Namun, perubahan PMK tersebut melalui PMK 90 patut
dipersoalkan mengingat nilai batasan yang menjadi objek PPh Pasal 22 justru
menjadi turun. Padahal, harga barang semakin lama semakin meningkat, terutama
untuk sektor properti. Untuk itu, pokok permasalahan yang menjadi basis
penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengapa pemerintah memilih kebijakan perluasan objek barang super
mewah di dalam PPh Pasal 22 sebagai salah satu kebijakan yang
2.

dicanangkan tahun ini?


Apa yang menjadi dasar pemerintah dalam menetapkan batasan objek
yang dikategorikan barang super mewah di dalam PPh Pasal 22?

I.3

Tujuan Penelitian
Dalam pembuatan makalah ini, penulis memiliki tujuan di antaranya:
1. Menjelaskan perluasan objek Pajak Penghasilan Pasal 22 yang
tercantum

di

dalam

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

90/PMK.03/2015 khususnya untuk sektor properti


2. Menganalisis kebijakan perluasan objek PPh Pasal 22 atas barang
sangat mewah terutama untuk sektor properti menggunakan SWOT
1.4

Signifikansi Penulisan
1.4.1 Signifikansi Akademis
Dengan adanya tulisan ini, diharapkan akan dapat memberikan kegunaan

bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai PPh Pasal 22 atas

Universitas Indonesia

Barang Super Mewah khususnya pada sektor properti. Dan diharapkan juga dapat.
berguna untuk referensi bagi penelitian selanjutnya. Selain itu, penulis
mengajukan makalah ini sebagai Ujian Akhir Semester.
1.4.2 Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan data yang
dapat digunakan bagi Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal
Pajak dalam mengevaluasi kembali kebijakan mengenai penerapan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas Barang Super Mewah guna memberikan kontribusi
yang positif dalam program pemerintah baik dalam mencapai target penerimaan
melalui pajak maupun aspek keadilan dalam masyarakat.
1.5

Batasan Penelitian
Penulisan ini difokuskan

ke

masalah

regulasi

mengenai

PMK

90/PMK.03/2015 mengenai Pajak Penghasilan atas Barang Sangat Mewah di


mana yang menjadi bahasannya adalah sektor properti.
1.6

Sistematika Penulisan
Penulisan ini disajikan dalam enam bab yang disusun secara sistematis,

masing-masing bab dirinci menjadi beberapa subbab yang saling mendukung satu
sama lain dan mempunyai satu kesatuan yang utuh. Sistematika penelitian ini
terdiri dari :
BAB 1

PENDAHULUAN
Bab

menguraikan

latar

belakang

permasalahan,

pokok

permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, batasan


penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2

KERANGKA TEORI
Bab 2 menguraikan teori-teori apa saja yang menjadi dasar acuan
penelitian. Subbab yang terdapat dalam bab ini adalah tinjauan
pustaka, kerangka teori, dan alur pemikiran.

BAB 3

METODE PENELITIAN
Bab 3 menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian. Penjelasan

Universitas Indonesia

mengenai metode penelitian ini akan memuat pendekatan


penelitian

yang

digunakan,

jenis

penelitian,

dan

teknik

pengumpulan data.
BAB 4

PEMBAHASAN
Bab 4 menjelaskan gambaran umum objek penelitian sehingga
memberikan gambaran mengenai karakteristik objek penelitian
yang diteliti. Dalam bab ini terdapat penjelasan mengenai
ketentuan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Barang Super
Mewah,

objek

perluasan

yang

menurut

PMK

Nomor

90/PMK.03/2015, gap antara batas penetapan objek yang dianggap


mewah dengan kenyataannya, serta analisis SWOT mengenai
kebijakan tersebut serta relevansinya dengan teori yang digunakan.
BAB 5

PENUTUP
Bab 5 terdiri dari dua subbab, yaitu simpulan dan saran. Simpulan
berisi tentang hal-hal penting mengenai hasil penelitian yang
dikaitkan dengan perumusan masalah, tujuan penelitian, serta
disajikan saran teoritis dan praktis yang dapat diusulkan
berdasarkan hasil analisis dan temuan peneliti dari perspektif
teoritis dan kajian literatur.

BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1

Tinjauan Pustaka
Dalam menulis makalah ini, penulis berupaya menjelaskan mengenai

analisis perluasan objek di dalam PPh Pasal 22 atas Barang Super Mewah.
Adapun penulis telah melakukan tinjauan pustaka terhadap suatu penelitian yang
dilakukan oleh Ernanda mengenai Penerapan PPh Pasal 22 atas Barang Super
Mewah Ditinjau dari Konsepsi Pajak Penghasilan. Di mana pada saat itu,

Universitas Indonesia

peraturan mengenai Pengenaan PPh 22 atas barang super mewah memang baru
pertama kali dikeluarkan melalui penerbitan PMK tahun 2008.
Penelitian yang dilakukan oleh Ernanda ini dilakukan pada tahun 2009.
Beliau lebih menekankan penelitiannya kepada mengapa barang super mewah ini
dikenakan PPh Pasal 22 mengingat sebelumnya belum ada peraturan mengenai
hal ini, lalu peneliti juga ingin mengetahui apa dasar pemerintah dalam
menetapkan objek yang menjadi PPh Pasal 22 serta melihat bagaimana pengkajian
PPh Pasal 22 ini dari sisi konsepsi penggolongan pajak.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa justifikasi pemerintah
dalam menerapkan PPh Pasal 22 atas barang super mewah ini dikarenakan
rendahnya kesadaran Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya
yang dapat dilihat dari beberapa wajib pajak yang tidak jujur dalam melaporkan
penghasilannya. Melalui pengenaan PPh Pasal 22 atas barang super mewah ini,
sang pembeli dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 5%, misalnya atas apartemen yang
dibelinya, kemudian pajak yang telah dipungut di awal tersebut dapat dijadikan
sebagai kredit pajak masukan di SPT Tahunannya. Sehingga dengan demikian, ia
harus melaporkan SPT Tahunannya agar dapat mengkreditkan pajak yang dibayar
atas pembelian tersebut terhadap penghasilan yang didapatnya. Dan jika ia
terbukti dapat membeli sebuah apartemen yang mewah tersebut, tentunya ia tidak
dapat menutup-nutupi jika ia memiliki penghasilan yang besar. Dengan demikian,
pemerintah berharap, kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan SPT Tahunannya
dengan jujur akan meningkat.
Selanjutnya, dari hasil penelitian juga diketahui bahwa dasar pemerintah
dalam menetapkan barang mewah yang menjadi objek PPh Pasal 22 ini adalah
terdapat banyak pertimbangan yang mendasarinya, antara lain efek terhadap pasar
jika barang tersebut dikenakan PPh Pasal 22, kemudian barang tersebut
merupakan jenis barang yang hanya dapat dikonsumsi oleh wajib pajak yang
penghasilannya berada di tarif tertinggi, merupakan barang-barang yang memang
terdapat di pasar perdagangan, kemudian barang tersebut juga merupakan barang
yang nilainya dapat diukur, dan terakhir merupakan barang yang menunjukkan
tingkat konsumsi kelas atas (high-class).
Mengenai konsepsi penggolongan pajak yang diterapkan pada PPh Pasal
22 atas barang mewah dapat disimpulkan bahwa peneliti menyatakan bahwa jenis
pajak ini sesuai dengan konsep pajak tidak langsung karena memang
8

Universitas Indonesia

karakteristiknya yang sesuai dengan pajak tidak langsung. Pada pengujiannya


terhadap pajak tidak langsung, yang terdiri dari pajak penjualan dan cukai, Pajak
Penghasilan atas barang mewah ini lebih sesuai dengan konsep cukai karena
memiliki

fungsi

tersendiri

dalam mengenakan pajaknya, bukan

hanya

menjalankan fungsi budgetair. Yaitu untuk menjalankan fungsi reguleren terutama


mengenai aspek keadilan. Karena pajak ini dikenakan terhadap wajib pajak yang
mampu untuk memiliki barang-barang yang mewah.
Perbedaan yang terdapat di dalam penelitian yang dilakukan oleh Ernanda
dan dilakukan oleh penulis sendiri adalah: jika peneliti sebelumnya ingin
menganalisis dasar penetapan batasan objek yang dikenakan pajak penghasilan
atas barang mewah diterapkan setelah sebelumnya belum ada peraturan yang
mengatur, maka penulis ingin melanjutkan untuk menganalisis apa yang sekarang
menjadi perluasan objek PPh Pasal 22 tersebut seiring dengan berlakunya PMK
90/PMK.03/2015 sebagai pengganti PMK yang lalu serta penulis ingin sedikit
mengemukakan adanya ketidaksesuaian antara penetapan batasan yang menjadi
objek barang super mewah khususnya untuk sektor properti dengan konsep sangat
mewah yang seharusnya. Jika dirinci dari tabel, maka antara penelitian
sebelumnya dan yang akan penulis lakukan akan menjadi sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Judul
Penelitian

Penelitian 1
Kebijakan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas Barang Sangat
Mewah dalam Perspektif
Konsepsi Penggolongan Pajak

Bentuk
Skripsi
Penelitian
Nama
Ernanda
Peneliti
Tahun
2009
Tujuan
1) Menjelaskan justifikasi
Penelitian
pemerintah dalam
menetapkan kebijakan
penetapan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas Penjualan
Barang Sangat Mewah
2) Menjelaskan dasar
pemerintah dalam
menetapkan jenis-jenis
barang yang kategorikan
sebagai barang sangat
mewah yang menjadi objek
PPh ini

Metode
Penelitian
Pendekata
n
Penelitian
Metode
Pengumpu
lan
Data
Kerangka
Teori

3) Mengkaji Pengenaan PPh 22


atas barang sangat mewah
ditinjau dari segi Konsepsi
Penggolongan Pajak
Kualitatif

Penelitian ini
Analisis Perluasan Objek
Pajak Penghasilan Pasal 22
Barang Sangat Mewah Untuk
Sektor Properti Dalam
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 90/PMK.03/2015
Makalah
Rere Karlina Wigati
2015
1. Menjelaskan perluasan objek
Pajak Penghasilan Pasal 22
yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 90/PMK.03/2015
khususnya untuk sektor properti
2. Menganalisis kebijakan
perluasan objek PPh Pasal 22
atas barang sangat mewah
terutama untuk sektor properti
menggunakan SWOT

Kualitatif

Deskriptif

Deskriptif

Wawancara mendalam dan


Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan

Kebijakan Publik

Kebijakan Fiskal

Kebijakan Pajak

Analisis Kebijakan

Definisi Pajak
Fungsi Pajak
Pajak Langsung dan Pajak
Tidak Langsung
Definisi Penghasilan
Konsep Pajak atas Penghasilan
Excise (cukai)
Hasil
Dasar pemerintah dalam
Penelitian menetapkan PPh 22 untuk
barang sangat mewah ini
10
adalah dikarenakan adanya
kesadaran wajib pajak yang
masih rendah dalam
melakukan kewajiban

Kebijakan Publik
Kebijakan Pajak
Fungsi Pajak
Sistem Pemungutan Pajak

Objek pajak PPh Pasal 22 atas


barang sangat mewah yang
diperluas adalah kapal pesiar
Indonesia
dan pesawatUniversitas
pribadi menjadi
tidak ada batasan harganya,
rumah dan apartemen yang
semakin diturunkan batasan

2.2.

Kerangka Teori
2.2.1 Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-

pilihan kolektif yang saling bergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk


tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah 7 (Dunn, 2003,
Hal. 132). Dunn membagi proses pembuatan kebijakan dalam lima tahap, yaitu
sebagai berikut:
1) Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda
untuk waktu lama.
2) Formulasi Kebijakan
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.
Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan
peradilan, dan tindakan legislatif.
3) Adopsi Kebijakan
Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif,
konsensus di antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
4) Implementasi Kebijakan
Kebijaksanaan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi
yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
5) Penilaian (Evaluasi) Kebijakan
Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah
badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undangundang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Kebijakan

publik

sesuai

apa

yang

dikemukakan

oleh

Dunn

mengisyaratkan adanya pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung satu


dengan yang lainnya, dimana di dalamnya keputusan-keputusan untuk melakukan
tindakan. Kebijakan publik yang dimaksud dibuat oleh badan atau kantor
pemerintah. Suatu kebijakan apabila telah dibuat, maka harus diimplementasikan
untuk dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber
7 Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, hlm 132
11

Universitas Indonesia

daya finansial dan manusia, serta dievaluasikan agar dapat dijadikan sebagai
mekanisme pengawasan terhadap kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan
kebijakan itu sendiri.
2.2.2

Kebijakan Pajak
Kebijakan pajak adalah kebijakan fiskal dalam pengertian sempit, yaitu

kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebgai
tax base, siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apaapa yang akan dijadikan objek pajak, apa-apa saja yang dikecualikan, bagaimana
menentukan besarnya pajak yang terutang dan bagaimana menentukan prosedur
pelaksanaan kewajiban pajak terutang. Dengan demikian, berdasarkan pengertian
di atas, maka kebijakan penurunan tarif maupun kebijakan pemerintah untuk
menanggung pajak penghasilan atas pekerja sampai dengan sebesar upah
minimum reginonal serta kebijakan pemerintah untuk menanggung PPh atas
penghasilan pekerja sampai dengan satu juta rupiah, adalah contoh dari kebijakan
fiskal dalam arti luas. Sedangka contoh kebijakan fiskal dalam arti sempit,
misalnya ketentuan mengenai diperbolehkan penggunaan norma perhitungan
penghasilan netto atau yang dalam literatur disebut sebagai presumptive tac atau
deemed profit8.
2.2.3

Fungsi Pajak

Salah satu alasan mengapa negara harus memungut pajak adalah karena
adanya fungsi-fungsi yang diemban oleh negara, misalnya fungsi alokasi. Untuk
memenuhi fungsi alokasi, negara melakukan pemungutan pajak. penerimaan pajak
tersebut digunakan untuk memproduksi barang-barang public. Penyediaan
barang-barang public untuk didanai oleh pajak memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan alternative-alternatif pembiayaan yang lain seperti:
1. Cetak uang (printing money)
2. Pinjaman Luar Negeri (borrowing abroad)
3. Pinjaman Dalam Negeri (borrowing domestically) misalnya dengan
menerbitkan obligasi pemerintah
8 Rosidana, Haula, & Slamet Irianto, E. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
dan Implementasinya di Indonesia. hlm. 84-85
12

Universitas Indonesia

4. Menjual Cadangan Devisa (running down foreign exchange reserves)


Cetak uang dapat menyebabkan inflasi, pinjaman luar negeri dapat
menyebabkan faktor ketergantungan kepada pihak asing dan pihak asing bisa saja
memegang kendali terhadap pengutang. Sedangkan meminjam ke dalam negeri
dalam bentuk obligasi pemerintah yang berlebihan dapat menyebabkan tingkat
suku bunga meningkat akibat dari persaingan memperebutkan pangsa pasar.
Dari beberapa kelemahan dari alternatif-alternatif pembiayaan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa dalam batas-batas tertentu, pemungutan pajak
dapat berperan menajdi salah satu alternative penting dalam mengatasi market
failure. Sehingga melalui pemungutan pajak, pemerintah dapat menjalankan
fungsi alokasinya9.
Menurut Mardiasmo, fungsi pajak secara umum dapat dibagi dua, yaitu
fungsi budgetair di mana pajak sebagai sumber dna bagi pemerintah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran, serta fungsi mengatur (regulerend) di mana
pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam
bidang sosial ekonomi, misalnya pajak yang tinggi ditetapkan terhadap minuman
keras untuk mengontrol jumlah konsumsi minuman keras10.
Sedangkan menurut Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, fungsi pajak
dapat dibedakan menjadi dua kategori besar, yaitu11:
1. Fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara yang aman dan
berkelanjutan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, beberapa
alternative pembiayan seperti cetak uang atau meminjam uang baik
dari dalam negeri maupun luar negeri mempunyai beberapa
kelemahan. Karena itum pajak adalah satu-satunya sumber penerimaan
negara yang paling aman, urah, dan berkelanjutan. Aman berarti
derajat kemandirian negara yang tinggi dan terhindar dari intervensi
9 Ibid, hlm.29-31
10 Mardiasmo. (2011). Perpajakan; edisi Revisi 2011. Hlm. 1-2
11Rosidana, Haula, & Slamet Irianto, E. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
dan Implementasinya di Indonesia. hlm. 44-45
13

Universitas Indonesia

pemberi pinjaman, sedangkan murah adalah negara tidak dibebani


kewajiban untuk membayar bunga. Berkelanjutan merepresentasikan
sumber-sumber pemungutan pajak yang ada di setiap aktivitas
masyarakat.
2. Fungsi pajak sebagai instrumen poitik yang dapat dielaborasi dalam
beberapa fungsi yaitu fungsi pajak sebagai instrumen keadilan dan
pemerataan, fungsi pajak sebagai instrument ketenagakerjaan,

dan

juga fungsi pajak sebagai instrument kebijakan mitigasi dan adaptasi


perubahan iklim.
2.2.4

Teknik Pemungutan Pajak

Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto membagi teknik pemungutan pajak
ke dalam tiga jenis, yaitu12:
1.

Sistem Self Assessment, di mana Wajib Pajak sendiri yang


menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak
terutang. Sedangkan fiskus hanya berperan untuk mengawasi, seperti
misalnya melakukan penelitian apakah SPT telah diisi dengan
lengkap dan semua lampiran sudah disertakan, juga meneliti
kebenaran penghitungan dan penulisan. Meskipun demikian, untuk
mengetahui kebenaran material yang ada di dalam SPT, fiskus akan
melakukan pemerikaan. Di Indonesia, Pajak Penghasilan orang
pribadi dan badan serta pajak pertambahan nilai menggunakan

2.

sistem ini.
Sistem Official Assessment, di mana fiskus berperan aktif untuk
menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang terutang.
berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan fiskus, wajib pajak
membayar pajak yang terutang tersebut. model ini diterapkan untuk

3.

jenis pajak yaitu Pajak Bumi dan Bangunan.


Sistem Withholding, di mana pajak dipotong oleh pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

12 Rosidana, H., & Slamet Irianto, E. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara
Perpajakan di Indonesia. hlm 55
14

Universitas Indonesia

withholding tax secara tradisi hanya diterapkan terhadap pemotongan


atas gaji, bunga, dan dividen. Withholding tax kemudian diperluas
unk memotong penghasilan dari jasa profesional, sewa, dan semua
penghasilan dari usaha lainnya.
2.3.Alur Pemikiran
Alur pemikiran yang digagas oleh penulis dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Seperti yang dijelaskan di dalam latar belakang, presiden menaikan target
penerimaan pajak untuk tahun 2015 mencapai 40% dari pencapaian pada
tahun sebelumnya, kemudian hal ini dituangkan di dalam APBN-P 2015.
2. Hal ini membuat Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal
Pajak mulai memikirkan berbagai kebijakan demi mencapai target yang
ditentukan, dari mulai dari lingkungan internal DJP yang mencanangkan
keinginannya untuk menjadi lembaga yang lebih independen dan memiliki
kewenangan yang lebih luas, yaitu BKF, lalu penerapan kebijakankebijakan pajak seperti rencana penerapan sunset policy jilid II,
penggalakan e-faktur mulai Juli 2015, penataan kebijakan untuk sektor
usaha yang selama ini belum dipajaki PPN nya seperti online shop dan
rumah kost. Selain itu, ada juga perluasan objek pajak atas barang sangat
mewah, untuk jenis pajak PPh Pasal 22 dan PPnBM.
3. Penulis memilih untuk membahas mengenai perluasan objek yang ada di
dalam PPh Pasal 22 atas barang sangat mewah melalui PMK
90/PMK.03/2015 daripada mengenai PPnBM dikarenakan belum terdapat
kepastian mengenai peraturan PPnBM yang baru.
4. Penulisan berpendapat bahwa penetapan objek yang dikatakan barang
sangat mewah di dalam PMK ini tidak terlalu sesuai dengan konsep
mewah pada kenyataannya. Misalnya saja apakah rumah seluas 400 m2 di
pedesaan langsung bisa dikategorikan sebagi rumah sangat mewah?
Padahal harganya belum tentu mencapai 5 miliar dan membeli tanah di
desa tidak semahal di daerah perkotaan.
Peraturan ini, mengubah kata dan menjadi atau. Yang mana pada
peraturan sebelumnya, syarat suatu rumah dikatakan sebagai objek barang
mewah adalah jika memenuhi luas dan harga jual tertentu, namun di PMK

15

Universitas Indonesia

yang baru ini, objek barang mewah adalah jika memenuhi luas atau harga
jual tertentu.
Seharusnya, seiring dengan naiknya harga tanah, maka naik pula batasan
harga rumah yang dianggap sangat mewah.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1

Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menggunakan cara berpikir deduktif,


dengan melihat pola yang umum ke khusus. Dengan menggunakan metode
kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel,
dan bermakna, sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Metode ini dilakukan
mengingat hal yang diteliti adalah hal yang berkaitan dengan banyak faktor.
3.2

Jenis Penelitian
3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah

deskriptif analitis. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat
deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki 13. Dalam
penulisan makalah ini, penulis ingin menggambarkan bagaimana perluasan objek
pajak PPh Pasal 22 atas Barang Sangat Mewah dan juga ingin mengungkapkan
mengenai ketidaksesuaian mengenai konsep barang sangat mewah dengan
kenyataannya terutama untuk sektor properti yang harganya selalu melambung
naik. Penulis juga ingin menganalisis fenomena ini dengan menggunakan analisis
strength, weakness, opportunity, dan threat.
3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian

13 Nazir, Mohammad. (2005). Metode Penelitian. hlm 54


16

Universitas Indonesia

Jenis penelitian berdasarkan manfaat penelitian adalah penelitian murni.


Penelitian dasar atau penelitian murni adalah pencarian terhadap sesuatu karena
ada perhatian dan keingintahuan terhadap hasil suatu aktivitas14.

3.3Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan metode Studi Kepustakaan. Peneliti mempelajari buku, majalah, jurnal
perpajakan, karya-karya akademis, dan artikel-artikel dari berbagai media massa,
baik cetak maupun elektronik yang mengulas mengenai permasalahan yang
relevan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data dengan cara sumber
kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder.
3.4

Teknik Analisis Data


Proses analisis data kualitatif ini dilakukan dengan tahapan berikut.

Pertama, proses reduksi data dilakukan dengan memilih, memfokuskan, dan


melalui studi kepustakaan yang berhubungan langsung dengan topik yang diteliti.
Kedua, proses penyajian data yang dilakukan dengan mempresentasikan data
tersebut dengan menghubungkan dan mengaitkan kategori yang muncul dari
sumber data. Ketiga, dilakukannya proses penarikan kesimpulan dan saran atas
pembahasan yang dilakukan.

14Ibid, hal 26.


17

Universitas Indonesia

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1

Gambaran Sektor Usaha Properti di Indonesia


Menurut

peraturan

perundang-undangan

di

Indonesia,

pengertian

mengenai industri real estate tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.5 Tahun 1974 yang mengatur tentang industri real estate. Dalam peraturan ini,
pengertian industri real estate adalah suatu perusahaan yang bergerak dalam
bidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha
industri termasuk industri pariwisata, yang merupakan suatu lingkungan yang
dilengkapi dengan prasarana-prasarana umum yang diperlukan. Sedangkan
definisi properti menurut Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
No.05/KPTS/BK4PN/1995, properti adalah tanah hak dan atau bangunan
permanen yang menjadi objek pemilik dan pembangunan. Dengan kata lain,
properti dan real estate merujuk kepada pengertian yang sama yaitu bangunan
baik berupa hak kepemilikannya beserta tanah tempatnya berada.
Perusahaan properti & real estate merupakan salah satu sub sektor industri
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perkembangan industri properti &
real estate begitu pesat, terbukti dengan semakin banyaknya jumlah perusahaan
yang terdaftar di BEI. Pada tahun 1990-an jumlah perusahaan yang terdaftar
hanya sebanyak 22 perusahaan, namun memasuki tahun 2000-an hingga tahun
2013 jumlah perusahaan terdaftar menjadi sebanyak 45 perusahaan15.
Real Estat Indonesia (REI) mencatat ada penurunan penjualan properti
periode Januari- Maret 2015 hingga 50 persen. Penurunan penjualan ini terutama
disebabkan kondisi ekonomi yang melambat, bunga (KPR) yang masih tinggi, dan
juga adanya kebijakan Loan to Value yang menghendaki calon pembeli rumah
untuk membayar uang muka minimal 30% dari harga rumah tersebut dan
maksimal pemberian kredit perumahan sebesar 70%16.
4.2Perluasan Objek Barang Sangat Mewah PPh Pasal 22
15 http://www.sahamok. com/emiten/sektor-property-real-estate/subsektorkonstruksi-bangunan
18

Universitas Indonesia

Adanya kebutuhan penerimaan pajak yang ditargetkan oleh pemerintah


tahun 2015 membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang
mendukung hal tersebut. salah satunya mengeluarkan peraturan baru mengenai
batasan objek PPh Pasal 22 atas Barang Sangat Mewah yang lebih diperluas lagi
melalui

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

90/PMK.03/2015

yang

menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor.


Baik peraturan yang baru dan yang lama, tarif PPh Pasal 22 tetap dipertahankan
pada tarif 5% dari harga jual sebelum dikenakan PPN, PPnBM. Namun begitu,
dasar yang menjelaskan bahwa barang tersebut menjadi objek PPh sesuai pasal ini
adalah harga penyerahan atau harga jual yang disepakati oleh pembeli dan penjual
(berarti sudah termasuk PPN dan PPnBM). Dan juga ketentuan mengenai
pemungut yang melakukan kewajiban pemungutan ini tidak berbeda, yaitu Wajib
Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Sehingga jika yang menjadi penjual adalah orang pribadi biasa, maka PPh Pasal
22 atas barang mewah ini tidak dapat dipungut.
Perbedaan objek barang sangat mewah yang terutang PPh Pasal 22 Ayat 1
angka 2 menurut PMK 253/PMK.03/2008 dan PMK 90/PMK.03/2015 dapat
dilihat di dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.1
Perbedaan Objek PPh Pasal 22 Menurut 253/PMK.03/2008 dengan
Objek PPh Pasal 22 Menurut 90/PMK.03/2008
Objek PPh Pasal 22 menurut PMK

Objek PPh Pasal 22 menurut PMK

253/PMK.03/2008

90/PMK.03/2015

pesawat udara pribadi dengan harga pesawat terbang pribadi dan helikopter
jual lebih dari Rp20.000.000.000,00 pribadi (tanpa batasan harga)
(dua puluh milyar rupiah)
kapal pesiar dan sejenisnya dengan kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya
harga

jual

lebih

dari (tanpa batasan harga)

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar


16 http://economy.okezone.com/read/2015/05/04/470/1144183/rei-catatpenjualan-properti-turun-50
19

Universitas Indonesia

rupiah)
rumah beserta tanahnya dengan harga rumah beserta tanahnya, dengan harga
jual atau harga pengalihannya lebih dari jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar Rp5.000.000.000,00

(lima

miliar

rupiah) dan luas bangunan lebih dari rupiah) atau luas bangunan lebih dari
500m2 (lima ratus meter persegi)
apartemen,

kondominium,

400m2 (empat ratus meter persegi)


dan apartemen,

kondominium,

dan

sejenisnya dengan harga jual atau sejenisnya, dengan harga jual atau
pengalihannya

lebih

dari pengalihannya

lebih

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar Rp5.000.000.000,00

dari

(lima

miliar

rupiah) dan/atau luas bangunan lebih rupiah) atau luas bangunan lebih dari
dari

400m2

(empat

ratus

meter 150m2 (seratus lima puluh meter

persegi);

kendaraan

persegi);

bermotor

roda

empat kendaraan

bermotor

roda

empat

pengangkutan orang kurang dari 10 pengangkutan orang kurang dari 10


orang berupa sedan, jeep, spart utility

orang berupa sedan, jeep, sport utility

vehicle (suv), multi purpose vehicle vehicle (suv), multi purpose vehicle
(mpv), minibus dan sejenisnya dengan (mpv), minibus, dan sejenisnya, dengan
harga

jual

Rp5.000.000.000,00

lebih
(lima

dari harga

jual

lebih

dari

milyar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

rupiah) dan dengan kapasitas silinder atau dengan kapasitas silinder lebih dari
lebih dari 3.000 cc.

3.000cc; dan/atau
kendaraan bermotor roda dua dan tiga,
dengan

harga

jual

Rp300.000.000,00

(tiga

lebih
ratus

dari
juta

rupiah) atau dengan kapasitas silinder


lebih dari 250cc.
*Diolah oleh penulis

20

Universitas Indonesia

Secara umum, dapat dilihat bahwa di dalam PMK sebelumnya, untuk


pesawat pribadi sebelumnya memiliki batas 10 miliar keatas namun sekarang
menjadi tidak ada batasannya. Lalu juga untuk helicopter sebelumnya bukan
merupakan objek dari PPh ini, namun sekarang menjadi dikenakan. Begitu juga
dengan kapal pesiar dan yacht yang menjadi tidak ada batasannya. Sedangkan
objek baru lainnya adalah kendaraan bermotor roda dua dan tiga yang tidak
menjadi objek PPh Pasal 22 menurut ketentuan sebelumnya, namun setelahnya,
pengenaan atas kendaraan bermotor roda dua dan tiga dikenakan dengan syarat
harga jual lebih dari 300 juta rupiah atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250
cc. Menurut penulis, kedua syarat harga jual dan kapasitas silinder tersebut tidak
terlalu sinkron, karena pada umumnya harga motor berkapasitas silinder 250 cc
harganya di kisaran 50 juta rupiah, berbeda jauh jika menetapkannya dari sisi
harga yang senilai 300 juta rupiah. Namun begitu, dengan adanya kata atau,
maka kendaraan tersebut sudah termasuk ke dalam objek PPh menurut peraturan
ini jika memenuhi salah satu syarat: luas atau kapasitas silinder.
Sedangkan untuk sektor yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu sektor
properti, terdapat penurunan jumlah luas tanah dan bangunan serta harga
minimum di mana suatu rumah atau apartemen termasuk di dalam objek pajak
PPh Pasal 22 atas barang mewah. Penurunan tersebut untuk tanah dan bangunan
rumah yang sebelumnya ditetapkan pada harga di atas 10 miliar rupiah menjadi di
atas 5 miliar rupiah, dan luas di atas 400 m2. Sedangkan untuk apartemen,
terdapat penurunan harga yang sama seperti rumah, namun luas apartemen yang
menjadi objek PPh ini, yaitu lebih dari 150 m2.
Penetapan pajak penghasilan Pasal 22 pada hunian sangat mewah yang
semula di atas 10 miliar menjadi 5 miliar seolah menjadi jalan tengah antara
kepentingan pemerintah dan keinginan swasta, khususnya pengembang. Karena
sebelumnya, pemerintah berencana merevisi batasan sangat mewah untuk sebuah
hunian sebesar 2 miliar, yang langsung menimbulkan penolakan dari para
pengembang. Pasalnya, harga tersebut dianggap masih diperuntukkan bagi kelas
menengah.
Selain itu, terdapat perbedaan penggunaan kata penghubung di dalam
kedua peraturan tersebut, yang dapat dilihat sebagai berikut:
21

Universitas Indonesia

1. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan
lebih dari 500m2 (lima ratus meter persegi) yang berasal dari PMK
253/PMK.03/2008 serta
2. Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau luas bangunan
lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi) yang berasal dari PMK
Nomor 90/PMK.03/2015
Hal ini mengandung arti bahwa sebelumnya, kedua syarat harga jual dan
luas bangunan harus dipenuhi untuk dapat menjadi objek pajak barang sangat
mewah. Sehingga jika terdapat rumah yang luas bangunannya sebesar 600m2
namun harganya hanya mencapai 5 milyar, tidak dapat menjadi objek pajak
menurut ketentuan ini. Hal yang sama berlaku untuk penjualan apartemen dan
sejenisnya yang dapat dilihat sebagai berikut:
1. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)
dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi)
yang berasal dari PMK 253/PMK.03/2008 serta
2. apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau
luas bangunan lebih dari 150m2 (seratus lima puluh meter persegi);
Ini berarti bahwa pada peraturan sebelumnya, terdapat dua kondisi yang
dapat membuat apartemen dan sejenisnya merupakan objek PPh Pasal 22 atas
barang sangat mewah. Yaitu apabila memenuhi kedua syarat luas dan harga jual
atau memenuhi salah satu syarat di antara luas atau harga jual. Sedangkan pada
PMK yang terakhir ini, apartemen dan sejenisnya sudah dapat dikategorikan
sebagai barang sangat mewah ketika sudah memenuhi salah satu syarat baik luas
ataupun harga jualnya.
Pada tanggal 1 Juni 2015, diberlakukan Peraturan Dirjen Nomor PER19/PJ.03/2015 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas
Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah yang menjadi petunjuk
pelaksanaan bagi PMK Nomor 90/PMK.03/2015, di mana disebutkan bahwa
22

Universitas Indonesia

patokan harga yang menjadi objek barang sangat mewah itu merupakan harga
termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah
(PPnBM). Artinya, untuk properti dengan harga dasar di bawah Rp 5 miliar, mobil
kurang dari Rp 2 miliar dan sepeda motor di bawah Rp 300 juta kini tergolong
barang sangat mewah dan terkena pungutan PPh pasal 22 sebesar 5%, plus PPN
sebesar 10% dan PPnBM 20%. Alhasil kini, properti dengan harga dasar Rp 3,5
miliar sudah termasuk barang sangat mewah sehingga terkena PPN 10% dan
PPnBM 20%, serta PPh pasal 22 sebesar 5% yang dibayar dimuka oleh pembeli.
Direktur Penyuluhan, Pengembangan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak, Mekar Satria Utama, menyatakan perdirjen ini masih
sejalan dengan aturan induknya, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 90/PMK.03/2015 yang merevisi PMK 253/2008 tentang wajib pajak
badan tertentu sebagai pemungut PPh dari pembeli atas penjualan barang sangat
mewah. Alasannya, di PMK yang sebelumnya itu tak diatur secara rinci definisi
harga jual sebagai patokan PPh Pasal 22. Namun hanya mengatur tarif dan dasar
pengenaan PPh Pasal 22 saja, yaitu harga jual diluar PPN maupun PPnBM.
Adapun tujuan khusus dari adanya perluasan objek ini adalah untuk
semakin menjaring wajib pajak yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya
terutama untuk wajib pajak yang menikmati barang super mewah yang dapat
dipastikan berasal dari kalangan atas, atau minimal menengah. Karena dengan
adanya sistem PPh Pasal 22 ini, maka menghendaki mereka untuk membayar
pajak penghasilannya di muka atas barang mewah yang mereka nikmati yang
nantinya dapat dikreditkan jika mereka melaporkan SPT Tahunannya.
Tetapi menurut, pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation
Analysis

(CITA)

Yustinus

Prastowo,

seperti

dikutip

di

dalam

berita

nasional.kontan.co.id perdirjen ini tak konsisten dengan aturan lain. Di UndangUndang tentang PPN disebutkan harga jual tidak memperhitungkan PPN dan
potongan harga lain yang tercantum di faktur pajak. Selain itu, selama ini orang
banyak mengartikan bahwa pemungutan PPh Pasal 22 berdasarkan harga jual ke
konsumen17.
Sebagai tambahan, penikmat barang mewah ini bukan hanya terkena PPh
22 saja namun PPN dan juga PPnBM dan juga BPHTB (khusus untuk pengalihan

17 http://nasional.kontan.co.id/news/harga-acuan-barang-sangat-mewah-turun
23

Universitas Indonesia

tanah dan bangunan) sehingga total pajak yang dikenakan bisa mencapai 40% dari
harga yang sebenarnya.
4.3Mekanisme Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas Sektor Properti
PPh Pasal 22 atas barang sangat mewah merupakan jenis pajak
penghasilan yang dibayar di muka, yaitu pada saat pembelian barang sangat
mewah dan kemudian dihitung sebagai kredit pajak di dalam pelaporan SPT
Tahunan si pembeli. Adapun yang memungut PPh menurut ketentuan ini adalah
pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
yaitu Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
Pajak penghasilan 22 atas PPh barang mewah dipungut oleh penjual
terhadap pembelian yang dilakukan oleh pembeli kemudian pemungut
memberikan bukti pemungutan kepada pembeli atas nama pembeli dan dapat
dijadikan kredit pajak di SPT Tahunan si pembeli. Setelah pajak dipungut dan
dibuat bukti pemungutannya, kemudian si penjual wajib menyetorkan pajak
penghasilan ini paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya serta melaporkan hasil
pemungutannya melalui Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) ke KPP terdaftar
paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Mengenai tarif pajak penghasilan jenis ini, dikenakan sebesar 5% dari
harga penjualan barang, tidak termasuk PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan
yang tidak mengalami perubahan menurut PMK Nomor 253/PMK.03/2008
sehingga tarif tersebut masih berlaku untuk sekarang.
Adapun contoh perhitungan Pajak Penghasilan atas Barang Mewah untuk
pembelian apartemen menurut PMK Nomor 90/PMK.03/2015 adalah sebagai
berikut:
Contoh
Mr. A membeli 1 unit apartemen Green X di daerah Jakarta Selatan seharga 4
miliar rupiah di mana harga tersebut belum termasuk PPN, PPnBM, serta BPHTB.
Berapakah harga total yang harus dibayarkan oleh Mr. A serta adakah pemungutan
24

Universitas Indonesia

PPh Pasal 22 yang harus dilakukan oleh pihak apartemen Green X terhadap
pembelian Mr. A tersebut?
Jawab:
Harga Apartemen

4.000.000.000

PPN (10%)

400.000.000

PPnBM (20%)

800.000.000

BPHTB (5%)

200.000.000

Total

5.400.000.000
Dari perhitungan tersebut, didapatkan bahwa total uang yang harus

dibayarkan oleh Mr.A sebesar 5,4 miliar rupiah yang terdiri dari 5,2 miliar rupiah
sebagai harga pembelian total (termasuk PPN dan PPnBM) dan 200 juta rupiah
untuk pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunannya. Sehingga di
dalam hal ini apartemen yang dibeli oleh Mr. A memenuhi syarat dari objek
barang sangat mewah yang dikenakan PPh Pasal 22 menurut PMK
90/PMK.03/2015. Sedangkan yang menjadi dasar perhitungan PPh Pasal 22
adalah harga apartemen yang belum termasuk pajak yaitu senilai 4 miliar.
PPh Pasal 22 atas apartemen = 4.000.000.000 x 5 % = 200.000.000.
Jadi, pihak Green X memiliki kewajiban untuk memungut PPh Pasal 22 terhadap
Mr.X senilai 200 juta rupiah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 yang merupakan
perubahan atas permenkeu sebelumnya yaitu PMK Nomor 253/PMK.03/2008
memiliki petunjuk pelaksanaan berupa Perdirjen Nomor PER-19/PJ.03/2015. Di
sana diatur bahwa batas objek barang sangat mewah yang dikenakan PPh Pasal 22
dinilai dari harga jual atau penyerahannya, termasuk PPN dan PPnBM yang
dibayar. Dengan demikian, dan seperti yang telah dicontohkan pada perhitungan
di atas, maka rumah seharga 4 miliar sudah dikategorikan sebagai barang sangat
mewah menurut peraturan ini. Padahal, pada kenyataannya kita dapat mengetahui

25

Universitas Indonesia

bahwa harga rumah yang 4 miliar tidak dapat dikategorikan sebagai rumah sangat
mewah. Apalagi di kota besar seperti Jakarta yang harga rata-rata tanah per
meternya dapat mencapai belasan, puluhan bahkan ada yang telah mencapai 100
juta per meter persegi. Seharusnya, justru penetapan barang yang dianggap
mewah lebih dinaikkan lagi batasannya.
Penetapan batas hunian mewah senilai lima miliar masih terasa
mengganjal bagi beberapa developer dikarenakan persepsi mengenai barang
mewah antara pemerintah dan developer belum sejalan. Di mana rumah senilai
lima miliar rupiah belum termasuk barang sangat mewah, jika dibandingkan
barang lain dengan harga yang sama18. Misalnya saja, tas dengan harga lima miliar
wajar saja jika dikategorikan sebagai barang sangat mewah, karena rata-rata harga
tas tidak semahal itu. Selain itu, jika pemerintah menetapkan kapal pesiar sebagai
barang sangat mewah, tentu hal ini merupakan hal yang wajar. Namun, pembelian
rumah senilai 5 miliar rupiah tidak dapat dianggap sama dengan pembelian kapal
tersebut sehingga sama-sama menjadi objek barang sangat mewah yang terkena
tarif yang sama sebear 5%, terlebih rumah memiliki fungsi primer bagi kehidupan
masyarakat.
4.4Analisis SWOT atas Peraturan 90/PMK.03/2015 terhadap Sektor Properti
Strength:
Kebijakan ini dapat membantu untuk menjaring lebih banyak wajib pajak
untuk melaporkan SPT-nya. Sebagaimana, metode PPh Pasal 22 atas barang
mewah ini dapat dilakukan dengan mengkreditkan pajak yang telah dibayar oleh
wajib pajak pada saat pembelian rumah/apartemen. Maka, untuk dapat melakukan
pengkreditan,

tentunya

Wajib

Pajak

harus

mengisi

dan

melaporkan

penghasilannya ke dalam SPT nya dengan benar.


Weakness:
Kebijakan ini dirasa cukup memberatkan bagi Wajib Pajak mengingat
adanya pembayaran pajak di muka. Belum lagi ditambah dengan PPN sebesar
10%, PPnBM serta BPHTB yang juga terutang sehingga menyebabkan harga
jualnya menjadi naik 40% .
Threat:
Pengembang properti kemungkinan akan fokus untuk menjual properti di
harga kurang dari 5 miliar rupiah dan luas kurang dari 150 m2 untuk apartemen,
18 http://www.reidkijakarta.com/kompromi-pada-angka-rp5-miliar/
26

Universitas Indonesia

kurang dari 400m2 untuk perumahan untuk menghindari adanya pemungutan PPh
Pasal 22 untuk sektor properti tersebut. Selain itu, dapat mengakibatkan lesunya
industri mengingat kondisi usaha properti juga sedang tidak stabil. Saat ini pasar
properti masih tertekan akibat penurunan daya beli masyarakat, suku bunga tinggi,
dan kebijakan loan to value (LTV). Jika transaksi jual-beli properti makin sepi,
aturan ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah. Penurunan transaksi jual-beli
properti bakal berujung kepada tergerusnya penerimaan pajak dari pajak
pertambahan nilai (PPN) yang disetor pembeli dan PPh final yang disetor
pengembang.
Opportunity:
Dengan adanya perluasan objek PPh Pasal 22 atas barang super mewah,
negara dapat semakin memiliki jaminan penerimaan negara atas pembayaran
pajak di muka.

BAB 5
PENUTUP
5.1

Kesimpulan
Perluasan objek pajak penghasilan PPh Pasal 22 atas barang sangat mewah

diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015 yang


menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu PMK Nomor 253/PMK.03/2015. Di
dalam peraturan ini, menetapkan bahwa yang termasuk objek barang sangat
mewah berupa pesawat terbang pribadi dan kapal pesiar yang sebelumnya
ditetapkan pada harga penjualan di atas 20 miliar dan 10 miliar menjadi tidak ada
batasan, untuk mobil mewah dari sebelumnya di atas 5 miliar menjadi di atas 2
miliar dengan persyaratan volume silinder bensin tetap sama yaitu di atas 3000cc.
kemudian ada tambahan untuk jenis kendaraan roda dua atau tiga yang harganya
di atas 300 juta rupiah. Sedangkan untuk sektor properti, rumah dan apartemen
yang menjadi objek PPh Pasal 22 ini sebelumnya ditetapkan pada harga di atas 10
miliar rupiah menjadi di atas 5 miliar rupiah. Persyaratan luas juga berubah dari di
atas 500 m2 untuk objek rumah menjadi di atas 400 m2, sedangkan untuk
apartemen berubah dari sebelumnya di atas 400m2 menjadi di atas 150 m2. Dasar
27

Universitas Indonesia

penetapan nilai penyerahan yang dipungut PPh Pasal 22 sebelumnya tidak di atur
secara khusus, namun semenjak berlakunya Perdirjen Nomor PER-19/PJ.03/2015,
maka jelas ditetapkan bahwa harga batas 5 miliar atas objek tersebut sudah
termasuk dengan pembayaran PPN dan PPnBM. Sehingga jika pengembang
menetapkan harga hunian per unitnya sekitar 4 miliar, atas penjualan tersebut
wajib dilakukan pemungutan PPh Pasal 22. Sedangkan jika kita melihat rumah
senilai 4 miliar rupiah, belum tentu dapat dikategorikan sebagai rumah sangat
mewah mengingat harga rumah di kota-kota besar terutama Jakarta meningkat
setiap tahunnya. Seharusnya, semakin lama, batasan harga rumah yang dianggap
sangat mewah meningkat seiring dengan naiknya harga rumah.
Strength dari adanya peraturan ini adalah kebijakan ini dapat membantu
untuk menjaring lebih banyak wajib pajak dalam melaporkan SPT-nya untuk
mendapatkan kredit pajak masukan sedangkan weakness-nya adalah cukup
memberatkan wajib pajak karena adanya tambahan pembayaran pajak di muka,
mengingat wajib pajak juga telah dibebani dengan adanya PPN dan PPnBM.
Sehingga untuk mengantisipasi terkena PPh Pasal 22 atas barang sangat mewah
ini, pengembang lebih cenderung untuk memfokuskan pada penjualan properti di
bawah 5 miliar rupiah. Hal ini dapat menjadi ancaman bagi penerimaan negara.
Namun demikian, tetap ada potensi bahwa negara dapat semakin memiliki
jaminan penerimaan negara atas pembayaran pajak di muka.
5.2

Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan mengenai bahasan yang terkait

adalah sebagai berikut:


1.
Pemerintah perlu mengkaji lagi batas hunian yang dianggap sangat
mewah, mengingat harga properti di hsetiap daerah tidak sama.
Untuk di daerah seperti di Jakarta, rumah 4 miliar bukan termasuk
rumah sangat mewah, jika kita membandingkannya dengan harga
rumah yang sudah mencapai puluhan miliar di beberapa kawasan
2.

elit.
Kalaupun pemerintah tetap mau mengenakan PPh pasal 22 atas
rumah di atas lima miliar rupiah, ada baiknya pemerintah tidak

3.

menggunakan kata sangat mewah.


Untuk lebih menekankan keadilan, ada baiknya pemerintah
menerapkan tarif yang berbeda atas objek sesuai dengan tingkat
28

Universitas Indonesia

kemewahan dari barang tersebut sehingga ada keadilan karena


tidak dapat disamakan penjualan barang seperti pesawat udara
pribadi dan kapal pesiar dengan penjualan rumah yang senilai lima
4.

miliar rupiah.
Pemerintah harus memperhatikan dampak kebijakan ini terhadap
perkembangan sektor usaha di bidang properti. Jangan sampai
justru membuat calon pembeli properti berpikir dua kali sehingga
dapat membuat penjualan di sektor properti menurun.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Nazir, Mohammad. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Mardiasmo. (2011). Perpajakan; edisi Revisi 2011. Jakarta: Penerbit Andi.
Rosidana, Haula, & Slamet Irianto, E. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan
dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press
Rosidana, H., & Slamet Irianto, E. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara
Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visi Media.
Jurnal
Ari Mulianta Ginting, Strategi Perpajakan 2015. (Jurnal Info Singkat Kebijakan
Publik Vol. VII, No. 03/I/P3DI/Februari 2015)
Skripsi
Ernanda. Kebijakan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Barang Sangat Mewah
dalam Perspektif Konsepsi Penggolongan Pajak. (Skripsi Program Sarjana
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FISIP Universitas Indonesia)
Depok : Universitas Indonesia, 2012.

29

Universitas Indonesia

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
Peraturan Terkait
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak
Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas
Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015
(Berita Negara Tahun 2015 Nomor 667)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2015 Tentang Tata Cara
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang
Tergolong Sangat Mewah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 Tentang KetentuanKetentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan
Perusahaan
Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.05/KPTS/BK4PN/1995
Publikasi Elektronik
http://katadata.co.id/berita/2014/11/21/jokowi-minta-target-pajak-naik-rp-600triliun, diakses pada 7 Juni 2015
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150109154442-78-23559/targetpajak-naik-rp-100-triliun-jauh-di-bawah-target-jokowi/, diakses pada 7 Juni 2015
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/560796-target-pajak-2015-dinaikkanrp600-triliun--apa-tanggapan-menkeu, diakses pada 7 Juni 2015
http://www.pajak.go.id/content/article/ditjen-pajak-optimis-mencapai-targetpenerimaan-rp-1296-triliun, diakses pada 7 Juni 2015
http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/01/19/087635923/cara-pemerintahgenjot-pendapatan-negara, diakses pada 7 Juni 2015
30

Universitas Indonesia

http://www.sahamok. com/emiten/sektor-property-real-estate/subsektorkonstruksi-bangunan, diakses pada 8 Juni 2015


http://economy.okezone.com/read/2015/05/04/470/1144183/rei-catat-penjualanproperti-turun-50, diakses pada 8 Juni 2015
http://nasional.kontan.co.id/news/harga-acuan-barang-sangat-mewah-turun,
diakses pada 8 Juni 2015
http://www.reidkijakarta.com/kompromi-pada-angka-rp5-miliar/, diakses pada 8
Juni 2015

31

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai