Anda di halaman 1dari 9

MENYUSUN NASKAH POLEMIK

POLEMIK CHAT GPT : BAGAIMANA PERGURUAN TINGGI HARUS


BERSIKAP?
Tanggapan Terhadap Artikel Dari Muhammad Rizky dan Randy W. Nandyatama

(diajukan untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Kaifiat Mujadalah)

Dosen Pengampu :

Dr. H. Aep Kusnawan, M.Ag.

Hj. Yuyun Yuningsih, S.Sos.I, M.Ag.

Disusun oleh:

Mekar Kholqi Primayanti

NIM. 1224040065

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2022/2023
POLEMIK CHAT GPT : BAGAIMANA PERGURUAN TINGGI HARUS
BERSIKAP?
Februari 6, 2023 11:23 am
Oleh : Muhammad Rizky dan Randy W. Nandyatama
(Sebagai Materi atau Sumber yang akan Ditanggapi Dalam Naskah Polemik)

Di penghujung 2022, OpenAI (sebuah lembaga penelitian teknologi nirlaba yang didanai
oleh Altman dan Musk) merilis chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI), Chat GPT. Robot
ini adalah model AI berbasis percakapan/dialog yang disusun dari serangkaian model AI
Generative Pre-trained Transformer (Chang, 2022).
Hanya dalam kurun waktu 3 bulan Chat GPT telah menunjukkan kebermanfaatan
diagram industri, khususnya pekerjaan seperti copywriting, penulisan laporan berita,
menjawab pertanyaan customer service hingga membuat dokumen legal.
Fenomena tersebut sejatinya menggambarkan situasi di Dunia nyata yang akan dihadapi
mahasiswa dan akademisi kedepannya, yakni kesadaran serta pemanfaatan teknologi kian
meningkat. Pekerjaan yang bersifat repetitif dan membutuhkan tingkat intervensi manusia
yang minim akan tergantikan oleh AI (World Economic Forum, 2020).
Bagaimana Chat GPT bekerja?
Chat GPT merupakan satu dari sekian transformer model seperti DALLE, yang dirancang
untuk memberikan jawaban dengan bahasa colloquial, berdasarkan instruksi/pertanyaan yang
diberikan oleh pengguna (Chang, 2022).
Menggunakan teknik deep learning, Chat GPT mampu menghasilkan pola kata berdasarkan
pembelajaran dari sekumpulan teks dari yang diumpankan ke mesinnya. OpenAI
menggunakan sebanyak 600GB data yang berasal dari buku, Wikipedia dan internet (Mannix,
2023). Bila diberikan instruksi yang memadai, Chat GPT bahkan mampu memproduksi
abstrak makalah ilmiah fiktif (Else, 2023).
Polemik penggunaan Chat GPT di perguruan tinggi
Perlu digaris bawahi, Chat GPT bekerja berdasarkan data dengan periode waktu yang
terbatas. Sehingga ia tidak dapat memberikan informasi yang diproduksi di luar dari batas
data yang dilatih menggunakan deep learning.
Namun teknologi AI seperti Chat GPT dan sejenisnya akan terus berkembang dan
berpotensi untuk menjadi lebih optimal. Sehingga penting bagi setiap lembaga khususnya
pendidikan tinggi, untuk menentukan langkah kebijakan menghadapi era kecerdasan buatan
dan dampaknya bagi lanskap civitas akademika.
Satu implikasi negatif yang paling memungkinkan untuk (dan sudah) terjadi adalah
mahasiswa menggunakan alat penulisan berbasis AI untuk mengerjakan penugasan akademik
dalam bentuk esai (Hutson, 2022). Implikasi lainnya peneliti dapat mengarang teks ilmiah,
sebagian bila tidak seutuhnya, dan luput dalam radar alat pendeteksi tulisan yang dibuat oleh
AI, maupun oleh peer reviewer (Else, 2023).
Menggunakan tulisan dari Chat GPT tidak dapat semerta-merta dikategorisasikan sebagai
plagiarisme, setidaknya bila merujuk pada diksi kebijakan integritas akademik di universitas
saat ini. Oleh karena itu universitas dapat memberikan respons cepatnya dengan
memperbaharui kebijakan integritas akademik dan menyebarkan ke tenaga pengajar, tenaga
pendidik serta mahasiswa (Gleason, 2022).
Apakah ChatGPT dapat sepenuhnya menggantikan pekerjaan manusia?
Pada akhirnya, Chat GPT masih memiliki keterbatasan seperti:
1. Penting untuk digarisbawahi segala jenis AI sangat mungkin mengandung bias
berdasarkan kumpulan data yang dimasukkan ke mesin deep learning-nya. Pasalnya
teks yang diproduksi oleh manusia dapat bersifat subjektif dan mengandung prejudice
terhadap kelompok tertentu. Meskipun mitigasi bias pada teks yang dihasilkan oleh
GPT-3 (versi pendahulu) telah diupayakan oleh OpenAI, mekanisme ChatGPT akan
terus memiliki risiko bias karena berbasis pada asosiatif statistikal antara bahasa dan
frasa-frasa yang menjadi basis database-nya dan seringkali memiliki bias tertentu
(Wiggers, 2021; cf. Alba, 2022).
2. Walaupun tulisan Chat GPT terlihat cukup meyakinkan, sejumlah pengguna
menemukan beberapa inkonsistensi dalam penyampaian fakta. Terdapat kasus di
mana tulisan Chat GPT memberikan contoh palsu seperti judul buku ketika ditanya
mengenai seorang public figure (Earley, 2023). Ia juga kesulitan dalam membahas
permasalahan yang spesifik atau lokal, membuat argumen yang orisinil dan
menginterogasi argumen yang telah ada alih-alih sekadar mengutipnya (Stacey, 2022).
Pendek kata, mesin ini tidak sepenuhnya memahami apa yang ia sampaikan. Ia hanya
memproduksi kata per kata secara koheren, sehingga menyerupai tulisan manusia.
3. Sejatinya saat ini telah terdapat mesin pendeteksi tulisan AI seperti OpenAI GPT-2
Output Detector Demo yang dikembangkan oleh OpenAI sendiri, dan GPTZero oleh
Edward Tian. Mesin ini dapat digunakan oleh tenaga pengajar untuk mengecek tulisan
yang diproduksi oleh ChatGPT hingga batasan tertentu.
Bagaimana dunia akademia melihat Chat GPT?
Terlepas dari kelemahan yang saat ini menjadi batasan bagi pengguna Chat GPT untuk
semerta-merta menggunakannya dalam menyelesaikan ragam pekerjaan, opini mengenai
penggunaan Chat GPT sangatlah beragam dari yang menentang dengan keras hingga yang
amat permisif.
Di satu sisi, beberapa kalangan menekankan pembatasan atas penggunaan AI. Rob Reich
(profesor ilmu politik di Stanford University) dalam artikel yang dirilis The Guardian
berargumen bahwa diperlukan regulasi terhadap ChatGPT (Reich, 2022). Misalnya,
penetapan batasan usia dalam mengakses bot tersebut agar murid di pendidikan K-12 yang
notabene lebih rentan dalam memanfaatkan teknologi ‘cepat saji’ ini, tidak dapat
menggunakannya sebagai jalan pintas dalam mengerjakan tugas. Reich (2022) juga
berpendapat industri AI harus diatur oleh badan pengawas independen guna mengatur tata
cara, proses pengembangan yang bertanggung jawab, serta mempertimbangkan dampak
sosial dari produk AI-nya.
Beberapa universitas di Australia juga telah beralih ke ujian menggunakan kertas demi
memitigasi risiko mahasiswa menggunakan ChatGPT dalam esainya (Cassidy, 2022). Aksi
ini dimaknai sebagai “proactive tackling” terutama dalam meredesain bentuk-bentuk asesmen
yang mengedepankan integritas dan mampu memitigasi perkembangan AI.
Di lain sisi, Nancy Gleason (direktur Hilary Ballon Center for Teaching and Learning di
NYU Abu Dhabi) berpendapat Chat GPT dapat diintegrasikan kedalam kurikulum
pembelajaran bagi mahasiswa (Gleason, 2022). Hal ini didasari pemahaman bahwa teknologi
AI tidak akan menghilang, alih-alih perkembangannya akan memaksa setiap orang untuk
menggunakannya dalam koridor tertentu bila dimungkinkan.
Ia menegaskan proses pembelajaran perlu dikembalikan pada menilai proses selain hanya
hasilnya. Sebagai contoh aktivitas di kelas, dosen dapat membagi mahasiswa ke dalam
kelompok dan meminta mereka untuk mengidentifikasi abstrak penelitian dari suatu topik
yang diproduksi oleh Chat GPT dengan abstrak yang asli. Mahasiswa juga dapat diminta
untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan argumen, komponen yang diangkat oleh
tulisan Chat GPT sebagai bagian dari pembelajaran analisis teks (Gleason, 2022).
Henrickson (seperti dikutip dalam Stacey, 2022) juga menegaskan kemanfaatan AI yang
ketika digunakan dengan tepat akan membuat proses pendidikan lebih fair. Penggunaan Chat
GPT akan sangat membantu bagi mahasiswa yang menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa kedua dan juga mahasiswa yang masih belum mahir dalam tata cara penulisan
akademik. Program seperti Grammarly telah membantu banyak orang, dan ChatGPT dapat
dianggap sebagai alat bantu yang selangkah lebih maju.
Langkah yang harus diambil perguruan tinggi
Terdapat isu penting yang perlu disepakati oleh civitas akademika di Indonesia dalam
menanggapi disrupsi oleh ChatGPT.
Pertama, Universitas perlu menyepakati apakah penggunaan Chat GPT adalah bentuk
pelanggaran etika akademik atau diperbolehkan dengan persyaratan tertentu (semisal
diwajibkannya deklarasi penggunaan alat bantu berbasis AI). Kejelasan batasan etika ini
menjadi penting dalam menjaga koridor praktik penulisan akademik di masa mendatang.
Beberapa universitas seperti University of Sydney, misalnya, mengubah kebijakan
integritas akademiknya dengan memasukkan klausul penggunaan bantuan AI dalam proses
pembuatan karya akademik sebagai salah satu bentuk kecurangan (Cassidy, 2023). Namun,
beberapa pihak lainnya juga berpendapat tulisan Chat GPT dapat digunakan selama
penulisnya menginformasikan penggunaannya. Kebijakan seperti ini telah diambil oleh tiga
universitas di Australia Selatan (Shepherd, 2023). Pasalnya tidak dapat dipungkiri bahwa
robot AI dapat membantu kita dalam melakukan riset awal dari suatu topik yang kemudian
dikembangkan oleh penulisnya (McKnight, 2022).
Kedua, Universitas juga dapat mempertimbangkan sejauh mana bolehnya penggunaan
alat bantu berbasis AI ini dalam karya akademik. Apakah memang universitas perlu
membatasi akses website ini saat di kampus atau di minggu ujian? Atau penggunaanya
diperbolehkan asalkan dideklarasikan dan tidak digunakan untuk semua komponen penilaian
kelas. Perlu disadari, teknologi ini masih berkembang dan dapat digunakan secara lebih luas
di dunia kerja. Pembatasan yang sangat ketat atas penggunaan Chat GPT dapat menghambat
pengetahuan mahasiswa atas kegunaanya di dunia kerja ketika mereka lulus nanti.
Ketiga, Universitas perlu berefleksi dan memikirkan kembali mengenai pengelolaan
metode penyampaian materi dan penugasan di kelas yang lebih menekankan elemen kognitif
individu yang genuine dalam menunjukkan kemampuan critical thinking. Selain itu, elemen
afektif yang menekankan nilai keberpihakan harusnya muncul sejalan dengan proses
pembelajaran. Sampai saat ini Chat GPT belum bisa merespons penugasan yang menuntut
pembacaan data visual dan penalaran logika konseptual yang mendasar. Karena berbasis
large language model yang menekankan basis bahasa tulis, Chat GPT menekankan
kemampuan prediksi susunan bahasa tulis dari database yang ada dan perintah yang
diberikan.
Universitas harus terus beradaptasi karena pengetahuan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
lulusannya akan berpotensi mempengaruhi teknologi dan perkembangan sosial di masa
mendatang. Munculnya Chat GPT tidak terlepas dari perkembangan keilmuan dan fungsi
yang telah dijalankan universitas di masa lalu. Maka menjadi tanggung jawab Universitas
juga untuk memilih langkah bijak demi masa mendatang.

Tulisan ini berbasis artikel yang telah dipublikasikan sebelumnya di Megashif FISIPOL
UGM. Anda dapat mengakses artikel aslinya melalui:
https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023/01/27/polemik-chatgpt-bagaimana-perguruan-tinggi
-harus-bersikap/
NASKAH POLEMIK
POLEMIK CHAT GPT : BAGAIMANA PERGURUAN TINGGI HARUS
BERSIKAP?
Tanggapan Terhadap Artikel Dari Muhammad Rizky dan Randy W. Nandyatama

Mekar Kholqi Primayanti


NIM. 1224040065
Pengembangan Masyarakat Islam, Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Email: okymekarr@gmail.com

Pendahuluan
Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI) telah menjadi komponen penting
dari kehidupan manusia di era kontemporer. Di zaman ini, aplikasi AI yang beragam telah
merasuki berbagai sektor seperti industri, bisnis, kesehatan, pemerintahan, dan berbagai
bidang lainnya. Contoh konkret dari perkembangan ini dapat dilihat melalui hadirnya Chat
GPT, suatu model bahasa yang sangat canggih. Model ini memiliki kapabilitas untuk
menghasilkan teks dengan cara yang menyerupai gaya penulisan manusia (Misnawati, 2023).
AI telah membawa perubahan mendasar dalam cara manusia berinteraksi dengan
teknologi dan dunia sekitarnya. Integrasi teknologi AI tidak hanya terjadi pada level individu,
tetapi juga telah menjadi inti dari berbagai sektor industri dan organisasi. Misalnya, dalam
sektor kesehatan, AI digunakan untuk memproses data medis besar-besaran dan memberikan
rekomendasi diagnosis yang lebih cepat dan akurat. Di bidang pemerintahan, AI membantu
menganalisis data untuk mengidentifikasi pola dan tren yang dapat membimbing keputusan
kebijakan yang lebih efektif.
Maraknya penggunaan Chat GPT OpenAI dikalangan mahasiswa, membuat mahasiswa
saat ini tidak memperhatikan etika akademik dalam membuat suatu tugas, makalah dan karya
tulis ilmiah. Dalam penggunaan teknologi Chat GPT seharusnya memperhatikan etika
akademik, agar tidak terjadinya pelanggaran etika akademik, seperti salah satunya tindakan
plagiarisme yang merugikan banyak pihak. Tapi perlu kita garis bawahi bahwa penggunaan
Chat GPT OpenAI harus disertai dengan pemahaman tentang penggunaan ChatGPT OpenAI
dengan arif dan bijaksana, jangan sampai melanggar etika akademik dan mahasiswa tidak
boleh terlena dengan penggunaan ChatGPT OpenAI, yang menyebabkan daya nalar kritis dan
kreativitas mahasiswa menurun karena ketergantungan penggunaan Chat GPT Open AI.
Kesimpulannya, mahasiswa harus mengedepankan berpikir kritis, kreatif, dan berkolaborasi
dalam mengembangkan keilmuan secara benar, selain itu mengedepankan etika akademik
dalam membuat tugas, makalah dan karya tulis ilmiah.
Pembahasan
Chat GPT merupakan sebuah aplikasi chatbot yang menggunakan kecerdasan buatan
(artificial intelligence) dan berbasis pada Large Language Models (LLM) (Sundoro et al.,
2023). Chat GPT adalah model bahasa alami yang dapat digunakan untuk membangun
aplikasi chatbot yang dapat berinteraksi dengan orang dengan cara yang analog dengan cara
manusia melakukannya (Muna et al., 2023).
Mengakui potensi besar Chat GPT untuk memperkaya dunia akademik dan
kepustakawanan dengan pendekatan inovatif, penting untuk menjunjung tinggi tanggu jawab
dan etika dalam penggunaan teknologi ini. Dalam rangka mencapai peningkatan kualitas
pekerjaan dan pembentukan pengetahuan ilmiah yang baru, kolaborasi melalui teknologi ini
perlu dilakukan dengan bijaksana, dengan tujuan memberikan pendidikan yang efektif
kepada para profesional masa depan.
Tetapi disisi lain, penggunaan Chat GPT belum bisa meningkatkan motivasi mereka
dalam belajar. Adanya kekhawatiran mereka terhadap penilaian yang tidak adil dan resiko
plagiat yang dapat menurunkan keterampilan berpikir kritis.
Dalam hal ini, upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan pengetahuan yang lebih
mendalam kepada generasi muda mengenai kecerdasan buatan dan mempersiapkan mereka
agar dapat mengikuti perkembangan teknologi yang terus berkembang.
Dalam hal ini bisa diterapkan suatu program pelatihan penggunaan Chat GPT, mahasiswa
diberikan panduan mendalam mengenai penggunaan teknologi ini serta interaksi efektif
dengan Chat GPT. Tujuan utama dari pelatihan ini adalah memungkinkan mahasiswa
memahami sepenuhnya potensi dan pemanfaatan teknologi ini dalam konteks pendidikan.
Mereka dipandu untuk menguasai keterampilan berkomunikasi melalui media digital dengan
memanfaatkan ChatGPT sebagai alat bantu. Melalui pelatihan ini, mahasiswa diharapkan
dapat menggunakan teknologi digital dengan lebih efisien dan produktif.
Seharusnya, selama pelatihan mahasiswa terlibat dalam proses pembelajaran yang
komprehensif mengenai berbagai aspek penggunaan Chat GPT. Mereka harus diberikan
pengetahuan mendalam tentang bagaimana memanfaatkan teknologi ini secara optimal dalam
situasi pendidikan. Selain itu, mahasiswa belajar cara berinteraksi dengan Chat GPT dengan
baik dan efisien. Hal ini tidak hanya meningkatkan keterampilan mereka dalam
berkomunikasi melalui media digital, tetapi juga membantu mereka memahami cara
memanfaatkan teknologi digital secara tepat. Pelatihan ini juga memberikan kesempatan bagi
mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan sosial mereka dalam berinteraksi dengan
orang lain melalui media digital.
Mereka belajar bagaimana memanfaatkan Chat GPT sebagai alat untuk berkomunikasi
dengan rekan-rekan mereka dalam konteks pendidikan. Ini membantu mereka memperluas
jaringan sosial mereka dan meningkatkan kemampuan mereka dalam menggunakan teknologi
digital untuk mencapai tujuan pendidikan mereka. Dengan demikian, pelatihan ini tidak
hanya memberikan pemahaman mendalam tentang teknologi Chat GPT, tetapi juga
membantu peserta memanfaatkannya secara efektif dalam meningkatkan keterampilan sosial
dan kemampuan teknologi digital mereka.
Kesimpulan
Berdasarkan pengenalan penggunaan dan fungsi dari Chat GPT, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan teknologi Chat GPT dapat membantu meningkatkan kualitas pembelajaran
dengan metode yang lebih menarik dan interaktif. Mahasiswa dapat dengan mudah
memahami konsep teknologi melalui interaksi dengan Chat GPT yang dapat memberikan
respons dan penjelasan secara cepat dan akurat. Disarankan pula agar program pelatihan ini
dapat dikembangkan lebih lanjut dengan menyediakan berbagai jenis konten yang dapat
diakses melalui Chat GPT. Dengan begitu dapat memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam tentang teknologi melalui interaksi dengan teknologi digital. Tidak hanya asal
mengenal Chat GPT saja, karena banyak kesalahan dalam penggunaan Chat GPT tersebut
seperti halnya para mahasiswa jadi malas untuk berpikir lebih kritis dalam memahami suatu
tugas yang diberikan.

Sumber yang dikomentari :


https://uia.fisipol.ugm.ac.id/polemik-chatgpt-bagaimana-perguruan-tinggi-harus-bersikap/

Anda mungkin juga menyukai