s p a daC orona
¡Ma
Corona
virus
(COVID-
1 9)
A. A. A. A. A.
A. A. A. A.
PENDAHULUAN
Perkembangan aturan-aturan perdagangan juga tidak terlepas dari aturan perdagangan dari
pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh teknologi tersebut semakin nyata dengan
lahirnya e-commerce. Perkembangan yang cukup signifikan terjadi dengan melihat dari
kuantitas transaksi melalui sarana e-commerce ini. E- ecommerce mulai berkembang secara
signifikan ketika internet mulai diperkenalkan. Perkembangan internet ini mendorong
transaksi-transaksi perdagangan internasional semakin cepat. Dengan internet,
batasperdagangan internasional semakin cepat. Dengan internet, batas-batas wilayah batas
wilayah batas wilayah negara dalam melakukan transaksi dagang menjadi tidak lagi signifikan.
Praktik perdagangan melalui internet digambarkan juga sebagai “final frontiers of commerce
” pada abad ke-21 ini.
1. Pengertian
Maxi
http://www
e-c Untuk mempelajari hukum perdagangan elektronik, perlu
mazon
thiN omm
erce
juga memahami Hukum, Perdagangan dan Elektronik.
Sekedar mengingatkan kembali, secara positivisme
hukum dapat dimaknai sebagai himpunan peraturan
yang mengatur pergaulan hidup masyarakat, dibuat oleh
lembaga berwenang atau non lembaga, tertulis dan tidak tertulis berisi perintah, larangan dan
perkenan, bersifat memaksa dan pelengkap yang apabila dilanggar dapat dikenai sanksi yang
tegas.
Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau Jasa di
dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang
dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi (Pasal 1 angka 1 UU No. 7 tahun
2014.
Elektronik adalah yang dibuat berdasarkan prinsip serta hal atau benda yang menggunakan
alat tersebut.
Dari pengertian diatas secara singkat penulis berpendapat hukum perdagangan elektronik
adalah hukum yang mengatur tatanan kegiatan perdagangan yang menggunakan
elektronik.
E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-
elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website).
Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2
miliar pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan
ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat
triliun dolar US pada tahun 2011.
Istilah “perdagangan elektronik” telah berubah sejalan dengan waktu. Awalnya, perdagangan
elektronik berarti pemanfaatan transaksi komersial, seperti penggunaan EDI untuk mengirim
dokumen komersial seperti pesanan pembelian atau invoice secara elektronik.
Kemudian dia berkembang menjadi suatu aktivitas yang mempunyai istilah yang lebih tepat
“perdagangan web” — pembelian barang dan jasa melalui World Wide Web melalui server
aman (HTTPS), protokol server khusus yang menggunakan enkripsi untuk merahasiakan data
penting pelanggan.
Pada awalnya ketika web mulai terkenal di masyarakat pada 1994, banyak jurnalis
memperkirakan bahwa e-commerce akan menjadi sebuah sektor ekonomi baru. Namun, baru
sekitar empat tahun kemudian protokol aman seperti HTTPS memasuki tahap matang dan
banyak digunakan. Antara 1998 dan 2000 banyak bisnis di AS dan Eropa mengembangkan
situs web perdagangan ini.
Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-commerce ini sebagai aplikasi dan penerapan
dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana
secara elektronik, SCM (supply chain management), pemasaran elektronik (e-marketing),
atau pemasaran online (online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction
processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll.
E-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas,
tidak hanya sekadar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis,
pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-commerce juga
memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), surat elektronik (e-mail),
dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan
alat pembayaran untuk e-dagang ini.
1. Kontrak elektronik dapat terjadi secara jarak jauh, bahkan melampaui batas-batas suatu
negara melalui internet;
2. Para pihak dalam kontrak elektronik tidak pernah bertatap muka (faceless nature),
bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu Electronic Commerce Transaction (Kontrak
Dagang Elektronik)
1. E-contract yang memiliki objek transaksi berupa barang dan atau jasa. Pada e-contract
jenis ini, internet merupakan medium dimana para pihak melakukan komunikasi dalam
pembuatan kontrak. Namun, akan diakhiri dengan pengiriman atau penyerahan benda
dan atau jasa yang menjadi objek kontrak secara fisik (physical delivery);
2. E-contract yang memiliki obyek transaksi beberupa informasi dan atau jasa. Pada e-
contract jenis ini, internet merupakan medium untuk berkomunikasi dalam bentuk
pembuatan kontrak dan sekaligus sebagai medium untuk mengirim atau menyerahkan
informasi dan atau jasa yang menjadiobyek kontrak (cyber delivery).
Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan,
SE., M.M., M.H, tahun 2019
Wiryono Prodjodikoro, berpendapat jual beli suatu barang adalah “Suatu penyerahan barang
oleh penjual kepada pem-beli dengan maksud memindahkan hak milik atas barang tersebut
dan dengan syarat pembayaran harga tertentu berupa uang pembeli kepada penjual”.
Beberapa sarjana lainnya memberikan pengertian jual beli adalah sebagai berikut: “jual beli
ialah perjanjian atau persetujuan atau kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk
menyerahkan hak milik atas benda atau barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang
mengikat dirinya untuk mem-bayar harganya berupa uang kepada penjual”. Sedangkanb
menurut Salim H.S., perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak
penjual dan pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu, pihak penjual berkewajiban untuk
menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak mene-rima harga dan pembeli
berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.
Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah:
1. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;
2. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan hargal;
3. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak pen-jual dan pembeli;l
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan
pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu
perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan
barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang berbunyi bahwa “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak
seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang
ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Perjanjian jual beli merupakan perjanjian atau persetujuan dua pihak yaitu pihak penjual dan
pihak pembeli. Dalam perjanjian jual beli, si penjual berjanji akan menyerahkan hak
sesuatu barang kepada si pembeli, sedangkan si pembeli akan membayar harga barang
tersebut sesuai dengan harga yang sudah disepakati bersama antara penjual dan
pembeli.
Berdasarkan pengertian jual beli yang diberikan oleh Pasal 1457 KUHPerdata tersebut,
persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Pengertian lain mengenai jual beli ini adalah perjanjian timbal balik dalam pihak yang satu
(penjual), berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan, pihak yang
lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga barang yang terdiri atas sejumlah uang
sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Jual beli yang diatur oleh KUHPerdata (yang tertulis) di dalam pergaulan masyarakat di
Indonesia juga dikenal pengertian jual beli yang diatur oleh Hukum Adat (yang tidak tertulis).
Menurut Hukum Adat, jual beli dilakukan secara terang dan tunai. Terang artinya bahwa jual
beli dilakukan di hadapan Kepala Adat dan Tunai artinya bahwa jual beli itu dianggap telah
dilaksanakan secara tunai, walaupun ada harga yang belum dibayar (masih berhutang). Jadi,
menurut Hukum Adat yang dinamakan jual beli itu bukanlah persetujuan belaka, yang
dilakukan antara kedua belah pihak, melainkan suatu penyerahan barang oleh si penjual
kepada si pembeli, dengan maksud memindahkan hak milik untuk selama-lamanya, dengan
pembayaran harga pembelian. Jadi, selama penyerahan belum terjadi, belumlah ada terjadi
jual beli dan belum dapat dikatakan, bahwa barangnya adalah milik si pembeli.
Unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan asas
konsensualisme, yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik
tercapainya “sepakat” mengenai barang dari harga, maka lahirlah jual beli yang sah dan
mengikat. Perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli,
apabila mereka telah menyetujui dan sepakat tentang “keadaan benda dan barang tersebut”,
sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458
KUHPerdata). Pasal 1458 KUHPerdata ini merupakan asas konsensualisme dari jual beli yang
dirumuskan dalam Pasal 1457 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata dan Pasal 1458 KUHPerdata, pengertian jual beli yang
dianut oleh KUHPerdata adalah harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Persetujuan/kata sepakat
b. Kewajiban menyerahkan barang
c. Kewajiban menyerahkan uang dari harga barang.
Apabila diteliti unsur-unsur tersebut, sifatnya terbatas, sehingga berdasarkan unsur-unsur
tersebut dapat dikatakan jual beli menurut KUHPerdata hanya mempunyai sifat ”obligatoir”
(mengikat), tidak juga mempunyai ”zakelijke werking,” artinya tidak berdaya langsung
mengenai kedudukan barang-nya.
Hak dan kewajiban para pihak yang dimaksud sebenar-nya adalah hak dan kewajiban si
penjual yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban si pembeli. Perihal kewajiban yang
utama terdapat pada Pasal 1474 KUHPerdata, yaitu ia mempunyai kewajiban utama yaitu
menyerahkan barangnya dan menanggung. Sedangkan, dalam Pasal 1516 KUHPerdata adalah
memberikan hak kepada pembeli untuk menangguhkan atau menunda pembayaran sebagai
akibat gangguan yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya.
2) Kewajiban Menanggungnya
Kewajiban kedua dari penjual adalah menanggung, bahwa si pembeli tidak akan diganggu
dalam menikmati barang yang ia sudah beli dan sudah diterimanya.
Menurut Pasal 1491 KUHPerdata, penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap
si pembeli adalah:
a) Kewajiban menanggung kenikmatan dengan tentram
b) Kewajiban menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan,
SE., M.M., M.H, tahun 2019
Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan,
SE., M.M., M.H, tahun 2019
Suatu kesepakatan selalui diawali dengan adanya suatu penawaran oleh suatu pihak dan
dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran
tersebut tidak ditanggapi atau direspon oleh pihak lain maka dengan demikian tidak akan ada
kesepakatan. Karena itu diperlukan dua pihak untuk melahirkan suatu kesepakatan.
Pada perjanjian jual beli secara langsung, kesepakatan dapat dengan mudah diketahui. Sebab
kesepakatan dapat langsung diberikan secara lisan maupun tulisan. Tetapi, dalam perjanjian
e-commerce kesepakatan tersebut tidak diberikan secara langsung melainkan melalui media
elektronik dalam hal ini adalah internet. Dalam transaksi e-commerce, pihak yang
memberikan penawaran adalah pihak penjual yang dalam hal ini menawarkan barang-barang
dagangannya melalui website yang dirancang agar menarik untuk disinggahi. Semua pihak
pengguna internet (netter) dapat dengan bebas masuk untuk melihat toko virtual tersebut
atau untuk membeli barang yang mereka butuhkan atau minati. Jika memang pembeli tertarik
untuk membeli suatu barang maka ia hanya perlu mengklik baramg yang sesuai dengan
keinginannya. Biasanya setelah pesanan tersebut sampai di tempat penjual, maka penjual
akan mengirim e-mail atau melalui telepon untuk mengonfirmasi pesanan tersebut kepada
konsumen.
Pada dasarnya, semua orang adalah cakap untuk membuat kesepakatan, kecuali jika ia oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Yang tidak cakap menurut undang-undang adalah
mereka yang belum dewasa (genap berusia 21 tahun atau mereka yang belum berusia 21
tahun tetapi telah menikah) dan mereka yang dibawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap,
lemah akal dan pemboros). Dalam transaksi e-commerce, sangat sulit menentukan
seseorang yang melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan,
karena proses penawaran dan penerimaan tidak secara langsung dilakukan tetapi hanya
melalui media virtual yang rawan penipuan. Jika ternyata yang melakukan transaksi adalah
orang yang tidak cakap, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut agar perjanjian
dibatalkan.
Hal tertentu menurut undang-undang adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan
jenisnya. Undang-undang tidak mengharuskan barang tersebut sudah ada atau belum di
tangan debitur pada saat perjanjian dibuat dan jumlahnya juga tidak perlu disebutkan asal
saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Ada barang tertentu yang tidak boleh
diperjual-belikan dalam transaksi e-commerce, seperti misalnya memperjualbelikan hewan.
Kemudian ada kendala juga dalam melakukan jual beli melalui e-commerce. Ada barang-
barang yang tidak dapat dijual beli melalui kesepakatan online, seperti jual beli tanah yang
mensyaratkan jual beli tanah harus dituangkan dalam akta yaitu akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Sebab yang halal adalah isi dari perjanjian dan bukan sebab para pihak mengadakan
perjanjian. Isi perjanjian tersebut haruslah sesuai atau tidak dilarang hukum/undang-undang
dan tidak berlawanan atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Misalnya
dilarang melakukan perjanjian jual beli yang isi perjanjiannya mengenai jual beli Narkoba tanpa
izin yang berwenang.
Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai
sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar. Dalam transaksi e-commerce, tidak ada proses tawar menawar seperti pada
transaksi jual beli di pasar secara langsung. Barang dan harga yang ditawarkan terbatas dan
telah ditentukan oleh penjual. Jika pembeli tidak setuju atau tidak sepakat, maka pembeli
bebas untuk tidak meneruskan transaksi. Selanjutnya, pembeli dapat mencari website atau
toko lainnya yang lebih sesuai dengan keinginannya. Kesepakatan dihasilkan dalam transaksi
e-commerce jika pembeli menyepakati barang dan harga yang ditawarkan oleh penjual
(merchant).
Selanjutnya, dalam hal tidak dipenuhinya unsur pertama dan unsur kedua, maka kontrak
tersebut dapat dibatalkan. Adapun apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga dan unsur
keempat, maka kontrak tersebut batal demi hukum. Mengenai barang-barang yang dapat
dijadikan objek dari suatu persetujuan, maka Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan keharusan,
bahwa barang tersebut harus diperdagangkan dan Pasal 1333 KUH-Perdata yang
menyatakan bahwa barang tersebut dapat ditentukan jenisnya ataupun dihitung.
Transaksi jual beli e-commerce merupakan dampak dari perkembangan teknologi yang
memberikan implikasi pada berbagai sektor. Implikasi tersebut salah satunya berdampak
pada sektor hukum. Walaupun pengaturan mengenai masalah e-commerce di Indonesia
berpijak pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
namun untuk keabsahannya juga tetap bersandar pada aturan dalam Buku III KUHPerdata
khususnya pengaturan mengenai masalah syarat sahnya perjanjian yang terjadi dalam e-
commerce. Namun demikian, dalam penelitian ini terungkap bahwa di dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ada beberapa ketentuan yang
juga mengatur mengenai keabsahan suatu kontrak e-commerce. Ketentuan yang mengatur
keabsahan kontrak e-commerce tersebut merupakan ketentuan yang bersifat khusus dari
pada Pasal 1320 KUHPerdata sebagai ketentuan umumnya. Sementara itu, di sini dapat
diartikan bahwa secara umum untuk mengukur keabsahan suatu kontrak jual beli e-
commerce harus berpijak pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 1320 KUHPerdata telah diatur syarat sahnya perjanjian di mana secara umum terdapat
2 syarat utama sebagai elemen atau unsur pembentukan kontrak yaitu syarat subjektif
(kesepakatan dan kecakapan para pihak) serta syarat objektif (hal tertentu dan sebab yang
halal). Apabila syarat subjektif ini tidak terpenuhi, maka sebagai konsekuensi hukumnya
adalah kontrak jual beli e-commerce tersebut terancam dapat dibatalkan (viernietigbaar).
Melalui syarat sahnya kontrak dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang diterapkan dan
diintegrasikan ke dalam transaksi jual beli e-commerce akan dapat diukur sejauh mana
validitas dari transaksi jual beli e-commerce. Dalam sub bab ini, penulis akan menguraikan
mengenai syarat sahnya kontrak dalam hal syarat subjektif yaitu syarat sepakat dan
kecakapan para pihak.
Pertama, syarat sepakat para pihak. Pasal 1320 ke 1 KUHPerdata mensyaratkan adanya
kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup
suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu sesuai dengan pernyataan pihak lain.
Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan
tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.
Syarat kesepakatan yang merupakan cerminan dari asas konsensualisme, di mana dengan
adanya kata sepakat telah lahir kontrak, ternyata dalam lalu lintas hukum yang demikian
kompleks juga menimbulkan problem pelik mengenai pertanyaaan kapan kontrak tersebut
lahir. Penentuan saat lahirnya kontrak menjadi kendala, terutama apabila penawaran dan
penerimaan dilakukan melalui korespondensi atau surat menyurat. Mengenai problematika
demikian ini, dalam bab sebelumnya penulis telah menguraikan bahwa terdapat 4 (empat)
teori yang mencoba memberikan solusi penyelesaiannya yaitu: teori pernyataan, teori
pengiriman, teori pengetahuan, dan teori penerimaan.
KUHPerdata terdapat 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak
berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu: (a) kesesatan atau dwaling (Pasal 1322
KUHPerdata); (b) paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327); (c) penipuan atau bedrog (Pasal
1328 KUHPer-data).
Selain berdasarkan ketentuan Pasal 1320 ke 1 KUHPerdata, syarat sepakat pada kontrak jual
beli e-commerce juga ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur mengenai syarat
kesepakatan dalam kontrak jual beli e-commerce, diantaranya:
Pertama, Pasal 6 di mana berdasarkan ketentuan ini unsur kesepakatan yang dimaksudkan
dalam kontrak jual beli e-commerce adalah apabila dalam proses penawaran, penjual atau
merchant telah menampilkan produk barang dan/atau jasanya secara online untuk dapat
menarik pembeli atau konsumen dengan memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebutkan
dalam pasal ini yaitu terhadap produk yang ditawarkan tersebut harus: dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan
suatu keadaan.
Kedua, Pasal 8 di mana berdasarkan ketentuan ini, maka unsur kesepakatan yang
dimaksudkan dalam kontrak jual beli e-commerce adalah berkenaan dengan waktu
pengiriman pesan persetujuan pihak pembeli atau konsumen kepada pihak penjual atau
merchant adalah apabila pembeli telah memenuhi prosedur pengiriman yang telah ditetapkan
oleh pihak penjual atau merchant. Prosedur pengiriman dimaksud adalah pihak pembeli harus
mengisi form berupa biodata pembeli secara lengkap, jujur, dan jelas kemudian mengirimkan
pesan tersebut kepada penjual melalui alamat yang telah ditunjuk oleh penjual atau merchant.
Hal ini, bila dikaitkan dengan uraikan penulis dalam sub bab 3 dalam bab sebelumnya, bahwa
proses sedemikian ini menandakan bahwa kontrak jual beli e-commerce antara pembeli
dengan penjual atau merchant telah terjadi karena telah terjadi pula kesepakatan antara
kedua pihak.
Ketiga, Pasal 10 di mana berdasarkan ketentuan ini, unsur kesepakatan dalam kontrak jual beli
e-commerce akan terpenuhi apabila integritas dari pada pelaku usaha yaitu penjual atau
merchant telah terjamin. Untuk mengukur integritas dari setiap penjual atau merchant
menurut ketentuan ini, dibentuklah suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan. Menurut Penjelasan
Pasal 10 ayat (1) Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang
melakukan perdagangan secara elektronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit
dari badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi Keandalan ditunjukkan dengan
adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha tersebut.
Akan tetapi, ketentuan ini sesungguhnya juga tidak terlalu tegas dalam mengharuskan setiap
penjual atau merchant untuk melakukan sertifikasi. Hal itu karena apabila dicermati dalam
Pasal 10 ayat (1) terdapat kata “dapat”. Kata dapat merupakan kata yang bermakna fakultatif,
tidak imperatif. Artinya, setiap penjual atau merchant tidak wajib untuk disertifikasi dan tetap
bebas untuk menjalankan kegiatan usahanya walaupun tanpa harus disertifikasi oleh
Lembaga Sertifikasi Keandalan. Untuk disertifikasi memerlukan itikad baik dan keinginan
sendiri dari setiap penjual atau merchant. Tidak diwajibkannya sertifikasi ini bagi penjual atau
merchant, maka menurut hemat penulis, menunjukkan ketidaktegasan pembentuk undang-
undang terutama dalam rangka perlindungan bagi pembeli atau konsumen. Penjual atau
merchant yang tidak melakukan sertifikasi dapat berpotensi menimbulkan informasi yang
sesat bagi pembeli atau konsumen. Di sisi lain, apabila pembeli atau konsumen tersebut
percaya dengan produk yang ditawarkan oleh penjual dan melakukan proses pembayaran,
akan tetapi di kemudian hari barang yang dipesan tersebut tidak pernah dikirim oleh penjual
atau merchant, maka terhadap kontrak dengan pelaku usaha demikian dapat dimintakan
pembatalan karena adanya unsur penipuan atau bedrog sebagaimana dirumuskan Pasal 1321
jo Pasal 1328 KUHPerdata.
Pasal 11 dan 12 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk keabsahan suatu kontrak jual beli e-
commerce terutama untuk memenuhi unsur kesepakatan, maka kontrak tersebut haruslah
ditanda-tangani. Namun, tanda tangan di sini tentunya berbeda dengan tanda tangan pada
kontrak jual beli konvensional. Tanda tangan dalam kontrak jual beli e-commerce dilakukan
dengan metode elektronik.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas merupakan elemen yang harus dipenuhi di dalam suatu
kontrak jual beli e-commerce agar memenuhi unsur kesepakatan. Terkait dengan uraian di
atas, maka dapat dilihat bahwa untuk mengukur keabsahan suatu kontrak jual beli melalui e-
commerce tidak hanya mengacu pada ketentuan dalam KUHPerdata saja, akan tetapi
mengenai syarat sepakat ini juga telah diatur di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hanya saja, beberapa ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
penulis uraikan sebelumnya belum cukup mampu mengakomodir secara tegas untuk
memenuhi unsur kesepakatan yang memberikan perlindungan kepada pembeli selaku
konsumen.
Memperhatikan uraian di atas, maka pemenuhan syarat kesepakatan para pihak dalam
membuat kontrak jual beli dalam e-commerce dapat dipenuhi apabila memenuhi ketentuan di
dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, sehingga apabila kontrak tersebut telah memenuhi kedua aturan
tersebut, maka dari sudut pandang kesepakatan dianggap sah dan mengikat para pihaknya.
Di dalam unsur kesepakatan kontrak jual beli e-commerce, maka ada 2 (dua) hal yang
menurut penulis menarik untuk diperhatikan, yaitu mengenai itikad baik para pihak dan juga
mengenai kesepakatan yang ditandai dengan tanda tangan elektronik.
Kedua, itikad baik para pihak menuju kesepakatan. Dalam ketentuan Pasal 5 huruf b dan Pasal
7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan
bahwa baik itu konsumen maupun pelaku usaha harus beritikad baik di dalam melaksanakan
transaksi atau kegiatan usahanya. Ketentuan ini senada dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tran-saksi Elektronik di mana
ditentukan bahwa para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beritikad baik dalam
melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
selama transaksi berlangsung.
Memperhatikan kedua peraturan perundangan di atas, maka kaitannya dengan pemenuhan
unsur sepakat dalam transaksi jual beli e-commerce adalah adanya itikad baik dari para pihak.
Itikad baik ini tidak hanya dari penjual semata, akan tetapi juga dari konsumen pembeli.
Ketiga, kesepakatan dengan menggunakan tanda tangan elektronik. Dalam transaksi jual beli
e-commerce tidak jarang untuk menyatakan bahwa kontrak itu sama-sama telah disepakati
oleh para pihak, maka harus memerlukan tanda tangan. Akan tetapi, tanda tangan di sini tidak
bisa disamakan dengan tanda tangan sebagaimana kontrak jual beli konvensional. Hal itu
karena di dalam kontrak jual beli konvensional kesepakatan para pihak dapat dituangkan ke
dalam kertas dan para pihak dapat saling berhadapan. Namun, dalam transaksi jual beli e-
commerce hal ini tidak akan terjadi. Para pihak hanya menuangkan kesepakatan di dalam
kontrak yang dibuat melalui e-mail.
Instrumen tanda tangan yang digunakan adalah tanda tangan elektronik. Berdasarkan
ketentuan Pasal 18 jo. Pasal 7 jo Pasal 11 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, maka kekuatan pembuktian dokumen elektronik tersebut
yang ditandatangani dengan digital signature sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang. Tanda tangan elektronik ini untuk menjamin
kepastiannya harus dilaksanakan dengan teknik kriptografi.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mencapai unsur sepakat dalam transaksi jual beli e-
commerce para pihak dapat melakukan penandatanganan kontrak elektronik melalui tanda
tangan yang dilakukan secara elektronik di mana tanda tangan elektronik ini memiliki
kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik sebagaimana dirumuskan dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keempat, syarat kecakapan para pihak. Pasal 1320 ke 2 KUHPerdata menyaratkan adanya
syarat kecakapan para pihak untuk melakukan suatu perbuatan hukum di mana dalam hal ini
adalah kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri
sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada
umumnya diukur dari standar berupa: person (pribadi) diukur dari usia kedewasaan
(meerderjarig) dan rechtspersoon (badan hukum) diukur dari aspek kewenangan
(bevoegheid).
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dari
standar usia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid-meerderjarig). Namun demikian, masih
terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampaknya
mewarnai praktik lalu lintas hukum di masyarakat terkait dengan objek atau perbuatan hukum
apa yang dimaksudkan dewasa. Pada satu sisi, sebagian masyarakat masih menggunakan
standar usia 21 (dua puluh satu) tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan
landasan Pasal 1330 jo Pasal 330 KUHPerdata.
Terkait dengan buku ini, dimana perbuatan hukum yang dimaksudkan adalah transaksi jual
beli e-commerce, maka mengenai syarat kecakapan ini tidak diatur di dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik seperti halnya pada syarat
sepakat. Oleh karenanya, untuk mengukur syarat kecakapan para pihak dalam kontrak jual
beli e-commerce sepenuhnya berdasarkan pada ketentuan atau sistematika di dalam
KUHPerdata.
Memang karena objek yang diatur adalah berupa kontrak jual beli, maka usia dewasa para
pihak sehingga dapat dikatakan cakap adalah tunduk pada sistematika KUHPerdata yaitu
berumur 21 tahun. Tapi, dalam kontrak jual beli e-commerce mensyaratkan syarat tertentu
bagi pihak yang akan mengadakan kesepakatan, di mana hal tersebut bergantung pada situs
penyedia layanan e-commerce (webstore atau toko maya). Berdasarkan hasil penelitian
penulis, ada beberapa penjual atau webstore yang dalam transaksinya yang tidak perlu
mencantumkan umur konsumen pembeli karena dapat dimengerti bahwa nominal transaksi
juga tidak begitu besar dan objek yang ditawarkan juga masih dapat dipertanggungjawabkan.
Hal itu dapat dilihat pada transaksi jual beli buku, misalnya dapat dilihat pada
http://www.palasarionline.com dimana web-store tidak membatasi calon konsumen pembeli
dari umur berapapun. Tapi, sebagian besar dari pengamatan penulis juga ditemukan suatu
syarat bagi konsumen pembeli untuk melakukan transaksi haruslah telah berumur minimal 18
tahun.
Syarat ini dapat ditemukan pada saat konsumen pembeli mengisi form pendaftaran yang
berisi mengenai data diri dari konsumen pembeli, di mana terdapat suatu kolom yang berisi
mengenai tanggal lahir, serta adanya suatu box yang harus di check (√) yang menyatakan
bahwa konsumen pembeli telah berusia 18 tahun. Sehingga, kecakapan konsumen pembeli
dapat terlihat pada saat ia melakukan pengisian form. Sebagai contoh dapat ditemukan
dalam salah satu bagian Your User Aggremente Bay dalam http://www.ebay.com di mana
disebutkan “use the Sites if you are not able to form legally binding contracts, are under the
age of 18, or are temporarily or indefinitely suspended from our Sites”.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat diartikan bahwa seseorang yang berusia di bawah 18
tahun, hanya boleh menggunakan eBay.com dengan keterlibatan orang tua atau wali. Hal ini
menunjukan bahwa untuk dapat bertransaksi dengan layanan Amazon maka seseorang
haruslah berusia 18 tahun ke atas, jika berusia di bawah 18 tahun haruslah diwakilkan kepada
orang tua atau walinya. Hal tersebut memang berbeda dengan apa yang diharapkan atau
diatur dalam KUHPerdata yang mensyaratkan seo-rang pembeli atau konsumen seyogyanya
telah genap berusia 21 tahun. Akan tetapi, walaupun syarat kecakapan ini sulit untuk dipenuhi
terutama dari sisi pembeli atau konsumen, pada kenyataannya kontrak jual beli e-commerce
tetap dapat terjadi atau berlaku meskipun sebagai konsekuensinya terhadap pemenuhan
syarat ini akan sulit untuk dibuktikan. Pembuktiannya hanya sebatas yaitu dengan kembali
melihat adanya kepercayaan antar para pihak mengenai apa yang dinyatakan dalam proses
transaksi.
Mengukur keabsahan suatu kontrak atau dalam hal ini kontrak jual beli e-commerce tidak
cukup hanya berdasarkan pada aspek subjektif saja, yaitu pada elemen kesepakatan dan
kecakapan para pihak. Perlu dipenuhi syarat objektif keabsahan perjanjian pada umumnya.
Syarat objektif ini lebih memberikan konsekuensi yuridis di mana apabila syarat ini tidak
terpenuhi, maka kontrak yang dibuat akan batal demi hukum (nietig). Dalam sub bab ini,
penulis akan menguraikan syarat objektif yang harus dipenuhi dalam kontrak jual beli e-
commerce yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sama halnya dengan uraian dalam sub bab
sebelumnya, untuk peme-nuhan unsur objektif kontrak jual beli e-commerce dalam buku ini
akan diungkap bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik juga ada ketentuan yang mengatur mengenai syarat objektif dari pada
kontrak jual beli e-commerce.
1. Syarat suatu hal tertentu.
Adapun yang menjadi syarat suatu hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 ke 3
KUHPerdata adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk
memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak.
Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak
adalah tidak mengikat (batal demi hukum). Lebih lanjut mengenai hal tertentu ini dapat dirujuk
dari substansi Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata.
Memperhatikan rumusan ketentuan tersebut, untuk dapat menyatakan sahnya suatu kontrak
jual beli e-commerce, maka pihak penjual atau merchant harus memenuhi ketentuan
dimaksud. Adapun maksud dari frase “menyediakan informasi yang lengkap dan benar”
oleh Penjelasan Pasal 9 tersebut meliputi:
Pertama, informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya,
baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara; Kedua, informasi lain
yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan
barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/ jasa.
Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam kontrak jual beli e-commerce juga ada suatu hal
tertentu yang diperjanjikan yaitu barang atau jasa yang ditransaksikan yang menjadi objek
dalam perjanjian atau kontrak e-commerce tersebut sebagaimana yang disyaratkan dalam
Pasal 1320 ke 3 KUHPerdata jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Syarat suatu sebab yang halal.
Syarat sebab yang halal dalam mengukur validitas suatu kontrak diatur dalam Pasal 1320 ke 4
KUHPerdata. Berdasarkan penelitian penulis, terkait dengan syarat sebab yang halal dalam
kontrak jual beli e-commerce, maka syarat ini tidak ditemukan di dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, apabila
mengintegrasikan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka di dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya
mengatur syarat sepakat dan suatu hal tertentu saja. Dengan demikian, terkait dengan syarat
sebab yang halal dalam sub bab ini sepenuhnya akan mengacu pada ketentuan atau
sistematika dalam KUHPerdata.
Pengertian sebab yang halal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 ke 4
KUHPerdata harus dihubungkan dengan konteks Pasal 1335 dan 1337 KUH-Perdata.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat (batal) apabila kontrak tersebut: tidak mempunyai sebab, sebabnya palsu,
sebabnya bertentangan dengan undang-undang, sebabnya bertentangan dengan kesusilaan,
dan sebabnya bertentangan dengan ketertiban umum.
Terkait dengan pemenuhan syarat sebab yang halal pada kontrak jual beli e-commerce, maka
menjadi suatu bukti bahwa kontrak tersebut tidaklah berbeda dengan kontrak atau perjanjian
pada umumnya. Penafsiran sebab yang halal kiranya tetap mendasarkan pada rumusan Pasal
1335 jo Pasal 1337 KUHPerdata.
Memperhatikan keseluruhan uraian mengenai peme-nuhan syarat subjektif dan objektif dari
transaksi jual beli e-commerce, maka untuk menjamin kepastian hukum di dalam kontrak jual
beli e-commerce ini, seluruh syarat harus dipenuhi (kesepakatan, kecakapan, hal tertentu,
dan sebab atau kausa yang halal). Syarat sahnya kontrak ini bersifat komulatif, artinya seluruh
persyaratan tersebut harus dipenuhi, tidak dipenuhinya salah satu atau lebih syarat dimaksud
akan menyebabkan kontrak tersebut akan diganggu keberadaannya, dibatalkan (viernietig-
baar) karena tidak memenuhi syarat subjektif maupun batal demi hukum (nietig) karena tidak
memenuhi syarat objektif.
Berdasarkan hasil analisa penulis pula, di mana terda-pat 2 (dua) peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai keabsahan transaksi jual beli e-commerce ini, maka
untuk menghindari terjadi konflik antara aturan perundang-undangan yang mengatur tentang
keabsahan transaksi jual beli e-commerce tersebut, perlu ditinjau asas-asas dari berlakunya
suatu peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
Pertama, lex specialisderogat lex generalis, yakni bahwa ketentuan hukum yang lebih khusus
menga-lahkan ketentuan hukum yang bersifat umum;
Kedua, lex superior derogat lex inferiori, yaitu bahwa ketentuan hukum yang lebih tinggi akan
melumpuhkan ketentuan hukum yang lebih rendah; dan
Ketiga, lex posteriori derogat legi priori, yakni bahwa ketentuan hukum yang baru menga-
lahkan ketentuan hukum sebelumnya.
Terkait konteks keabsahan transaksi jual beli e-commerce dalam penelitian ini, akan didapat
bahwa berlakunya asas lex specialis derogat lex generalis di mana sebagai lex genaralis-nya
adalah KUHPerdata, kemudian sebagai lex specialis-nya adalah Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektro-nik. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Infor-masi dan Transaksi Elektronik harus mengatur secara lengkap dan
komprehensif untuk mengakomodir keabsahan transaksi jual beli e-commerce sebagai
pengejawantahan Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan ketentuan umum. Hal ini
diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi transaksi jual beli e-commerce.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik saat ini hanya
mengakomodir 2 (dua) syarat dari 4 (empat) syarat yaitu syarat “kesepakatan para pihak” dan
syarat “suatu hal tertentu”, maka dalam rangka mengukur keabsahan transaksi jual beli e-
commerce tersebut secara lengkap, tetap dapat mengacu kepada ketentuan yang bersifat
umum atau lex generalis yaitu KUHPerdata untuk memenuhi syarat yang belum diakomodir
oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu
pada syarat “kecakapan para pihak” dan syarat “suatu sebab yang halal”.
Hal tersebut menunjukan adanya ketidakpastian hukum dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya yang mengatur mengenai
keabsahan kontrak elektronik atau e-commerce. Kepastian hukum menurut Maria S.W.
Sumardjono memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara
operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan peraturan
perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber
daya manusia pendukungnya. Peraturan perundang-undangan akan memberikan jaminan
kepastian hukum dan mengikat secara umum setelah diundangkan secara resmi.
Sehubungan dengan terdapatnya norma kabur dalam penelitian ini, hal-hal tersebut dapat
menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum. Kedepannya diperlukan undang-
undang yang mampu mengakomodir keempat syarat sahnya transaksi jual beli e-commerce
ini secara konkrit.
1. Pendahuluan
Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi
menimbulkan banyak kemajuan di segala bidang
kehidupan, termasuk dalam hal kontak seseorang
dengan pihak lainnya. Aktivitas dunia maya melalui
media elektronik merupakan salah satu contoh dari
perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dan
juga luas, mencakup banyak hal dan dalam berbagai bidang. Melalui media elektronik ini
masyarakat memasuki dunia maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan,
tempat dan waktu.
Internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru, saat ini hubungan antara
masyarakat dalam dimensi globa tidak lagi dibatasi oleh batas-batas territorial Negara
(borderless). Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya,
seperti e-mail, chating video, videoteleconference, situs website, facebook, dll, telah
memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas Negara. Fenomena ini
merupakan salah satu bagian dari globalisasi yang melanda dunia.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang demikian pesat dengan segala
fasilitas penunjangnya dalam peradaban manusia modern saat ini, telah membawa Indonesia
memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age). Seiring dengan kemajuan
pola pikir manusia, penggunaan internet semakin berkembang, saat ini internet menjadi salah
satu teknologi yang membahana dalam setiap aktivitas manusia. Semula dunia internet
merupakan pusat media komunikasi dan informasi, namun kini dapat digunakan sebagai
media transaksi, kemudian dikenal dengan apa yang disebut sebagai transaksi perdagangan
yang dilakukan melalui media elektronik (electronic commerce).
Era perdagangan bebas dewasa ini yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang
teknologi dan industri, telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya
kegiatan perdagangan dan perbankan.Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan,
terutama di bidang perdagangan dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi dadasarkan
pada tindakan yang konkrit, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya
secara tidak kontan dan bersifat individual.
Dalam dunia maya, para penegak hukum akan mengalami persoalan ketika terkait dengan
pembuktian dan penegakan hukumnya, karena harus membuktikan suatu persoalan yang
diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Alat buktinya bersifat
elektronik, antara lain dalam bentuk dokumen elektronik, yang sampai saat ini masih dalam
tataran hukum materiil yang di dalamnya terkandung ketentuan hukum formal (hukum acara)
seperti misalnya antara lain dalamUndang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
5. Kesimpulan
Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan
dan diakui sah sebagai alat bukti, sudah dilakukan sejak tahun 1977 melalui Undang Undang
Dokumen Perusahaan yang menentukan bahwa mikrofilm yang berisi rekaman dokumen
suatu perusahaan dapat diajukan sebagai alat bukti di Pengadilan bila kelak timbul gugatan.
Pengakuan terhadap bukti elektronik ini semakin dipertegas dengan diundangkannya Undang
Undang ITE yang mengatur bukti elektronik secara tegas dan mengakuinya sebagai alat bukti
yang sah diajukan ke Pengadilan. Dengan demikian saat ini bukti elektronik diakui sebagai alat
bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Namun demikian, pengaturan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di dalam Undang
Undang ITE ini merupakan pengaturan dalam bentuk hukum materiil yang di dalamnya juga
mengatur hukum acara/hukum formal. Demi kepastian hukum dalam penegakan hukum oleh
hakim, perlu dilakukan pengaturan bukti elektronik sebagai alat bukti dalam Hukum Acara
baik
perdata maupun pidana.
6. Saran
Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata yang sudah lama dirumuskan, dan di
dalamnya memuat pengaturan yang dapat mengakomodasi penggunaan bukti elektronik
sebagai alat bukti yang sah, agar segera diundangkan demi tercapainya kepastian hukum.
Daftar Pustaka
Apeldoorn L.J., Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de Studie ven het Nederlandse Recht),
cetakan ke VI, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Noor Komala, Jakarta, 1960.
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa dan Peaktisi,
Mandar Maju, Bandung, 2005
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
Bandung, 1976
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1996.
⸻-Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam, Liberty,
Yogyakarta, 1996
⸻-Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis, sudikno.blogspot.com, 7 Maret 2008.
Makalah disampaikan pada Seminar Terbatas kerjasama Badan Litbang Diklat Kumdil
Mahkamah Agung RI dengan Perguruan Tinggi dengan Thema: “Validitas Alat Bukti Transaksi
Elektronik Perbankan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya UU No. 11 Tahun
2008”, 25 November 2009, Grand Pasundan Hotel, Bandung 2 Dosen Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung
Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan, SE,
MM, MH, tahun 2019
image UU ITE
images siber
Perkembangan teknologi informasi di Indonesia sangat pesat terbukti dengan data statistik
yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII). Pengguna internet
mencapai 50 juta orang. Dengan sendirinya pengguna transaksi elektronik (e-commerce)
juga meningkat. Melalui transaksi elektronik yang lintas batas, Indonesia tidak bisa lagi
menganggap masalah privasi atas informasi pribadi dengan sebelah mata karena sudah
menjadi masalah internasional. Indonesia harus dapat menyesuaikan dengan cara melakukan
harmonisasi hukum yang khususnya yang berkaitan dengan pengaturan privasi atas informasi
pribadi disamping itu dengan lahirnya konsep e-government dan transaksi elektronik maka
akan mendorong pemerintah untuk melindungi privasi khususnya atas data atau informasi
pribadi masyarakat.
Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Internet yang mengatur tentang Transaksi Elektronik
yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang mengatur bahwa “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat
hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia”.
2. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahw ”Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”.
3. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Tran-
saksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.Ketentuan
mengenai pemben-tukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
4. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa ”Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik mengikat para pihak. Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum
yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak
melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hu-kum yang berlaku
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Para pihak memiliki kewenangan
untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penye-lesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Tran-
saksi Elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan
forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) penetapan kewenang-an pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang
menanga-ni sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas
Hukum Perdata Inter-nasional.”
5. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa”Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi
Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan
disetujui Pene-rima. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektro-nik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dila-kukan dengan pernyataan penerimaan secara
elektronik”.
6. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatu bahwa “Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi
Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik sebagaimana di-maksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: jika dilakukan
sendiri, segala akibat hukum dalam pelak-sanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab para pihak yang bertransaksi; jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat
hukum dalam pelak-sanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa;
atau jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penye-lenggara Agen Elektronik. Jika
kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal bero-perasinya Agen Elektronik yang
diakibatkan oleh tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik,
segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. Jika
kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal berope-rasinya Agen Elektronik akibat
kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna jasa layanan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan me-maksa, kesalahan, dan/atau kelalaian
pihak pengguna Sistem Elektronik.
7. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa bahwa “Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus
menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang diope-rasikannya yang memungkinkan
penggunanya mela-kukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elek-tronik tersebut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan mengenai
Transaksi Elektronik terdapat di dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sampai dengan Pasal 22 Undang-Undang No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik atau-pun privat, dan bagi para pihak yang
melakukan Transaksi Elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan intraksi ataupun
pertukaran Informasi Elektronik selama transaksi berlangsung. Pasal 17 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan
bahwa transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat, tetapi
kenyataannya transaksi elektronik yang banyak dilakukan ialah dalam lingkup privat.
Karena transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para
pihak.
Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan
dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya
adalah:
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan yang khusus tentang privasi atas data
atau informasi yang khusus. Akibat dari ketiadaan pengaturan tersebut, terjadi berbagai
kasus yang merugikan seperti :
Melihat perkembangan di atas, maka pemerintah perlu melindungi data dan informasi pribadi
masyarakat melalui pengaturan baik berupa undang-undang ataupun pengaturan lainnya.
Selanjutnya, perlindungan privasi atas data pribadi di Indonesia harus dilengkapi dengan
perangkat hukum yang baik, dan dapat menyakinkan pengguna bahwa informasi pribadi
mereka aman dan tidak akan disebarkan kepada pihak lain. Hal ini yang akan menjadi faktor
pendorong untuk diaturnya privasi atas data pribadi adalah dengan adanya perkembangan
atau dinamika masyarakat telah menuntut perubahan cara pandang penyelenggaraan
pemerintah dengan mengembangkan sistem pengelolaan dari pihak swasta yang terkait
dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.104 Implementasi e-govern-ment di
Indonesia menjadi fenomena yang sangat penting karena semua sistem pengolahan dan
penyimpanan data akan menggu-nakan elektronik termasuk internet. Di samping itu, dengan
telah berlakunya dan lahirnya beberapa undang-undang yang akan menuntut perorangan,
untuk melindungi data atau informasi pribadi masyarakat sehingga diperlukan suatu undang-
undang yang secara khusus mengatur privasi atas data pribadi baikyang dilakukan melalui
elektronik maupun melalui cara biasa.
Selanjutnya, dalam privasi atas informasi pribadi dalam tran-saksi elektronik telah diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yaitu di dalam Pasal 25 bahwa “Penggunaan setiap informasi melalui media elektro-nik yang
menyangkut data/dokumen elektronik yang disusun dan didaftarkan sebagai karya intelektual,
hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, yang sejenisnya yang menyamgkut
data pribadi sese-orang harus dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan
kecuali ditentukan lain oleh pera-turan perundang-undangan”.
Melalui undang-undang ini, privasi atas informasi pribadi dalam transaksi elektronik telah
dilindungi. Akan tetapi penga-turan di atas masih terlalu umum dan diperlukan undang-
undang yang lebih khusus tentang perlindungan privasi atas informasi pribadi dalam transaksi
elektronik. Oleh karena sifat transaksi bersifat lintas batas, maka dalam praktik di Indonesia
beberapa pengusaha di bidang online telah mengeluarkan pernyataan (notices) bahwa
mereka akan melindungi privasi pengguna atas informasi pribadi yang telah berhasil di akses.
Walaupun masih banyak perusahaan-perusahaan lainnya yang belum mencantumkan di
dalam situs mereka.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga cyberspace, meskipun bersifat
virtual namun dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata.
Secara yuridis, kegiatan pada cyberspace tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi
hukum konvensional saja, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan
hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam cyberspace adalah kegiatan virtual
yang terdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Berkaitan dengan itu, perlu diperhatikan isi keamanan dan kepastian hukum pemanfaatan
teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal, maka
ter-dapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyberspace, yaitu pendekat aspek
hukum, aspek teknologi, serta aspek sosial budaya dan etika. Untuk mengatasi gangguan
keamanan dalam penyelenggaraan sistem elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak
karena tanpa kepastian hukum persoalaan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak
optimal.
Sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, Indonesia mutlak berperan secara aktif
dalam berbagai aspek pergaulan dunia internasional. Salah satu aspek yang saat ini tengah
diha-dapi dunia internasional adalah upaya pemberantasan terhadap cybercrime. Mengingat
karakteristik cybercrime yang bersifat borderless dan menggunakan teknologi tinggi sebagai
media, maka kebijakan kriminalisasi di bidang teknologi informasi harus memperhatikan
perkembangan upaya penanggulangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah
disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008, namun disahkannya sebuah undang-undang
bukan berarti ia telah menjadi sebuah hukum yang mutlak dan tidak bisa lagi diubah atau
bahkan diganti; sebaliknya justru perbaikan dan perubahan harus dilakukan pada setiap
undang-undang dan peraturan lain yang diketahui memiliki kelemahan, terutama apabila
kelemahan tersebut fatal sifatnya. Dalam konteks ini, maka Asosiasi Internet Indonesia
sebagai suatu organisasi yang berkedudukan di Indonesia dan bertujuan untuk memajukan
pengembangan dan pemanfaatan internet di Indo-nesia secara bebas dan bertanggung
jawab, wajib untuk memberi-kan pandangan dan usulan demi memperbaiki Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektro-nik tersebut yang memiliki
sangat banyak kelemahan.109 Adapun kelemahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut ialah sebagai berikut:
1. Proses penyusunan.
Kelemahan pertama dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ter-letak dari cara penyusunannya itu sendiri, yang menimbulkan
kontradiksi atas apa yang berusaha diaturnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan undang-undang pertama yang
mengatur suatu teknologi moderen, yakni teknologi informasi, masih dibuat dengan
menggunakan prosedur lama yang sama sekali tidak menggambarkan adanya relevansi
dengan teknologi yang berusaha diaturnya. Singkat kata, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Infor-masi dan Transaksi Elektronik waktu masih berupa RUU relatif tidak
disosialisasikan kepada masyarakat dan pe-nyusunannya masih dipercayakan di kalangan
yang amat terbatas, serta peresmiannya dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu melibatkan
secara meluas ko-munitas yang akan diatur olehnya. Padahal, dalam undang-undang ini jelas
tercantum bahwa: Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menye-barkan informasi. Ini berarti
seyogyanya dalam penyusunan undang-undang ini memanfaatkan teknologi informasi dalam
mengumpulkan pendapat mengenai kebutuhan perundangan-nya, menyiapkan draftnya,
menyimpan data elektroniknya, mengumumkannya secara terbuka, menganalisis reaksi ma-
syarakat terhadapnya setelah menyebarkan informasinya, sebelum akhirnya mencapai sebuah
hasil akhir dan meres-mikan hasil akhir tersebut sebagai sebuah undang-undang.
Kelemahan pertama ini adalah kelemahan fatal, yang terbukti secara jelas bahwa akibat tidak
dimanfaatkannya teknologi informasi dalam proses penyusunan undang-undang ini, maka isi
dari undang-undang ini sendiri memiliki celah-celah hukum yang mana dalam waktu kurang
dari sebulan peresmiannya telah menimbulkan gejolak di kalangan pelaku usaha teknologi
informasi, yang diakibatkan oleh ketidak-pastian yang ditimbulkannya itu.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dokumen elektro-nik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan,diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya,yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektro-nik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto
atausejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atauarti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Definisi informasi elektronik menggambarkan tampilan, bukan data; dari kenyataan ini
terlihatjelas bahwa penyusun definisi ini belum memahami bahwa data elektronik sama sekali
tidak berupatulisan, suara, gambar atau apapun yang ditulis dalam definisi tersebut. Sebuah
data elektronik hanya-lah kumpulan dari bit-bit digital, yang mana setiap bit digital adalah
informasi yang hanya memiliki dua pilihan, yang apabila dibatasi dengan kata “elektronik”
maka pilihan itu berarti “tinggi” dan “rendah” dari suatu sinyal elektromag-netik. Bila tidak
dibatasi dengan kata tersebut, maka bit digital dapat berupa kombinasi pilihan antonim
apapun seperti “panjang” dan “pendek”, “hidup” dan “mati”, “hitam” dan “putih” dan
sebagainya.
Seharusnya, definisi yang jauh lebih tepat adalah sebagai berikut: ayat (1) informasi digital
adalah satu atau sekumpulan data digital. Ayat (4) dokumen elektronik adalah setiap infor-
masi digital, disimpan dalam media penyimpanan data elek-tromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang diakses dengan menggunakan sistem elektronik.
Mengingat bahwa sebuah dokumen elektronik dapat diproses menjadi dua atau lebih
tampilan yang berbeda (contoh: data akuntasi dapat dengan mudah ditampilkan sebagai
sebuah grafik), tergantung dari sistem elektronik yang dipergunakan, maka dibutuhkan
klarifikasi: ayat (x) tampilan elektronik adalah hasil pengolahan dokumen elektronik yang
ditampilkan dalam suatu bentuk tertentu, dengan mengguna-kan sistem elektronik tertentu
dan menjalankan suatu prosedur pengolahan tertentu.
3. Tidak konsisten
Kelemahan ini terdapat di beberapa Pasal dan ayat, salah satunya: Pasal 8 ayat 2 kecuali
diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem
Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.
Tampaknya ayat ini dibuat dengan logika berbeda dengan ayat (1) dalam pasal yang sama,
dimana ayat (1) telah dengan benar menggunakan kriteria Sistem Elektronik yang ditunjuk
atau dipergunakan, pada ayat 2 muncul kerancuan “di bawah kendali”. Suatu account e-mail
yang berada di Yahoo atau Hotmail misalnya, tidak dapat dikatakan sebagai suatu sistem
elektronik di bawah kendali karena yang diken-dalikan oleh Penerima hanyalah bentuk
virtualisasinya.
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
sistem elektroniknya. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik ketentuan ini tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
mengatur bahwa ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa. Keadaan me-maksa? Kalau kita bicara soal komputer maka keadaan memaksa ini
bisa berarti apa saja mulai dari gangguan listrik, kerusakan komputer, terkena virus, dan
sebagainya yang pada intinya gangguan apapun dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa.
Namun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik tidak ada penjelasan batasan atau criteria keadaan memaksa ini.
Kelemahan ini menjejaki keseluruhan BAB VII perbuatan yang dilarang. Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
berbunyi:
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elek-tronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.”
Permasalahan yang muncul disini adalah terkait dengan pejudian itu sendiri. Apabila definisi
perjudian adalah suatu kegiatan yang melibatkan uang dan/atau barang berharga lainnya,
dimana terjadi perpindahan kepemilikan uang dan/ atau barang berharga tersebut atas dasar
pertaruhan yang dimenangkan secara untung-untungan, maka perdagangan saham jelas-
jelas masuk kategori perjudian; bahkan perebutan jabatan politik pun masih bisa masuk dalam
kategori ini. Sama seperti Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, ayat ini juga sebaiknya dihapus saja.
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang me-miliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik. Penghinaan, menurut siapa? Pencemaran nama baik, menurut siapa?
Seharusnya standar tidak jelas ini diganti menjadi “memiliki muatan tuduhan yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya”.
Berdasarkan uraian tersebut, dengan cara ini, selama sesuatu masih bersifat pendapat, maka
tidak dapat dikategorikan sebagai tuduhan. Contoh: “Menurut saya dia bodoh” adalah
pendapat, sedangkan “Saya yakin IQ nya rendah” adalah tuduhan.
Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang berbunyi bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki mu-atan pemerasan dan/atau
pengancaman. Apakah ini berarti mengirimkan email berisi “harap jangan kasar di milis, kalau
masih begitu juga anda akan saya keluarkan” dapat dihukum mengapa tidak dibuat dengan
lebih jelas dengan tambahan yang membahayakan harta atau jiwa.”
Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik intinya melarang setiap orang untuk melakukan infiltrasi ke Sistem
Elektronik milik orang lain, kecuali atas dasar permintaan institusi penegak hukum. Ini berarti
semua orang yang melakukan tindakan melawan hukum menggunakan Sistem Elektronik
dapat dengan aman menyimpan semua informasi yang dimilikinya selama tidak diketahui oleh
penegak hukum, yang mana ini mudah dilakukan, karena orang lain tidak diperbolehkan
mengakses Sistem Elektronik miliknya dan dengan demikian tidak dapat memperoleh bukti-
bukti awal yang dibutuhkan untuk melakukan pengaduan. Selain itu, apakah penyusun Pasal-
Pasal ini tidak memahami konsep “untuk menangkap maling harus belajar mencuri” Apabila
semua kegiatan explorasi keamanan Sistem Elektronik dihambat seperti ini, pada saatnya
nanti terjadi peperangan teknologi informasi, bagaimana bisa menang kalau tidak ada yang
ahli di bidang ini, Sebaliknya, jika Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memberikan pengecualian untuk kegiatan
penelitian, ingin terus menerus diterapkan, apa gunanya Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebaiknya
keseluruhan Pasal-Pasal ini diformulasi ulang dari awal.
Pasal 37 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik
yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Mungkin Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini dibuat agar dalam kondisi dimana seorang yang berada di Indonesia atau
seorang warga negara Indonesia melakukan penipuan terhadap warga negara lain dengan
menggunakan server yang ada di negara lain, orang tersebut dapat dijerat dengan undang-
undang ini. Akan tetapi karena Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik meng-atur tindakan-tindakan yang tidak memiliki standar
yang sama di negara lain, ditambah dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur masalah penjualan perangkat
keras dan lunak, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tran-
saksi Elektronik otomatis menghasilkan konflik yurisdiksi. Contohnya adalah apabila seorang
warga negara Indonesia memproduksi perangkat lunak komputer khusus untuk perjudian
selama berada di Las Vegas, Amerika Serikat, dan perangkat lunak tersebut dikirim ke
Indonesia untuk diinstall di komputer yang berada di Indonesia, untuk diekspor ke Amerika
Serikat, lalu orang tersebut kembali ke Indonesia, maka berdasarkan Pasal 37, Pasal 34 dan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
orang ini dapat dikenakan sanksi karena ia melakukannya bukan untuk tujuan kegiatan
penelitian atau pengujian. Karena di daerah yurisdiksi hukum dimana tin-dakan itu dilakukan,
sama sekali tidak terjadi pelanggaran hukum, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini telah menga-baikan yurisdiksi hukum dan
dengan demikian Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini memiliki cacat hukum. Hal ini mewujudkan kebenaran pendapat Satjipto
Rahardjo bahwa Peraturan hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang
sebenarnya terjadi dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak
otomatis menciptakan kepastian hukum.
Masih ada kelemahan lain yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut. Namun intinya, kelemahan-kelemahan ini
bisa ada karena tidak dilibatkannya masyarakat pengguna teknologi informasi secara meluas
dalam penyu-sunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini, yang mana diharapkan kesalahan ini tidak terulang lagi di kemudian hari demi
ter-capainya kemajuan bersama yang diharapkan sebagai tujuan penyusunan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang be-gitu pesat di Indonesia ini
menandakan perubahan menuju masyarakat informasi. Dampak positif yang dapat dirasakan
dari adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang paling mendasar dan merupakan kelebihan dari Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:
1. Terminimalisirnya kasus pornografi yang telah merebak luas, seperti di internet, CD yang
dulunya dapat mudah akses untuk semua kalangan masya-rakat namun, sekarang
dengan adannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini, hal tersebut dapat dicegah dikarenakan adannya Pasal-Pasal yang telah
mengatur tentang hal ini.
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya
diasosiasikan dengan inter-net.Cyberlaw merupakan aspek hukum yang ruang lingkup-nya
meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan me-manfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya.Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari
Cyberspace Law112. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena
nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini
dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world). Perkembangan
cyberlaw di Indonesia belum bisa dikatakan maju. Hal ini diakibatkan karena belum meratanya
pengguna internet di seluruh Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan
internet untuk mem-fasilitasi seluruh aspek kehidupan mereka.Oleh karena itu,
perkembangan hukum dunia maya di Amerika Serikat pun sudah sangat maju dibandingkan di
Indonesia.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, maka segala aktivitas didalamnya diatur dalam undang-undang tersebut.
Peraturan yang terdapat dalam Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dibuat pemerintah, secara praktis telah
memberi peraturan bagi para pengguna internet. Hal itu tentu berdampak pada industri
internet yang selama ini belum mendapatkan pengawasan yang ketat.
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ber-iktikad baik dalam melakukan interaksi
dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Doku-men Elektronik selama transaksi
berlangsung”.
Maksudnya ialah para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus sama-sama
mengetahui satu sama lain dan melakukan transaksi dengan baik dan tidak bertujuan untuk
secara sengaja mengakibatkan kerugian kepada pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain
tersebut. Jika iktikad baik itu tidak dilakukan oleh salah satu pihak maka tidak akan terjadi
transaksi atau pertukaran informasi elektronik selama transaksi berlangsung. Berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang berbunyi: “Para pihak memiliki kewenangan untuk me-milih hukum yang berlaku bagi
transaksi elektronik inter-nasional yang dibuatnya.”
Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Para
pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik
internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi
elektronik inter-nasional, maka hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional. Para pihak memiliki kewe-nangan untuk menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang ber-wenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Jika
para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan
kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut,
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan, SE,
MM, MH, tahun 2019
Mengingat pentingnya hal tersebut maka Indonesia pada tahun 2008 lalu mengeluarkan
peraturan khusus yang mengatur transaksi melalui internet yaitu Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam upaya menyikapi
perkembangan hukum terkait dengan jual-beli melalui internet, Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, menimbang bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang
berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di
masyarakat. Dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik
lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan
tersebut. Kontrak elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan kontrak konvensional.
Transaksi elektronik yang melibatkan para pihak dari dalam negeri yaitu negara Indonesia,
tidaklah sulit untuk menetapkan aturan hukum yang berlaku apabila terjadi masalah. Secara
otomatis the applicable law-nya adalah hukum Indonesia, sehingga baik KUHPerdata maupun
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat diterapkan
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. Namun bagi transaksi perdagangan lintas Negara
bukan Negara Indonesia, penyelesaian sengketa akan dilakukan oleh forum yang dipilih oleh
para pihak dengan menggunakan hukum yang telah dipilih pula oleh para pihak dalam kontrak
elektronik, sebagaimana telah dijelaskan di atas dalam pembahasan tentang pilihan hukum
dan pilihan forum.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sendiri menegaskan bahwa “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang
menimbulkan kerugian”. Menurut Pasal ini, masyarakat dapat mengajukan gugatan secara
perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Lebih lanjut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menjelaskan bahwa “Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Selain penyelesaian secara gu-gatan perdata, para pihak
juga dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Hal ini
menunjukkan bahwa, dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik tidak ada kepastian hukum karena mengamanatkan penyelesaian
sengketa alternatif diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Contoh
konkritnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
tidak jelas mengatur mengenai arbitrase online, tapi meminta pada pihak untuk menggunakan
arbitrase konvensional. Kepastian hukum menurut Van Apeldoorn adalah hal yang dapat
ditentu-kan (bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang konkrit. Pihak-pihak pencari
keadilan ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia
memulai dengan perkara.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan
ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, gugatan perdata dapat didasarkan atas dua
alasan, yaitu wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum (onrecht-matigedaad). Adapun
landasan hukumnya didasarkan pada ke-tentuan Buku III Pasal 1243 KUHPerdata untuk
wanprestasi dan Pasal 1365 KUHPerdata untuk perbuatan melanggar hukum.
Gugatan wanprestasi selalu berawal pada adanya suatu hubungan hukum kontraktual
(perjanjian) antara para pihak, sehingga melahirkan hak dan kewajiban hukum. Hak dan
kewajiban di sini diwujudkan dengan apa yang disebut sebagai prestasi (performance). Pada
saat prestasi tidak dipenuhi/tidak dilaksanakan/dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya
menurut perjanjian para pihak, maka lahir apa yang dinamakan wanprestasi (cidera janji).
Sedangkan pada gugatan perbuatan melanggar hukum, yang menjadi dasar gugatannya
adalah kepentingan pihak tertentu yang dirugikan oleh perbuatan pihak lainnya, meskipun di
antara para pihak tidak terdapat suatu hubungan hukum keperdataan yang bersifat
kontraktual (perjanjian).
Jika kejahatan e-commerce sudah masuk pada ranah pidana, maka ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengaturnya, yakni dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, antara lain dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai
berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui,
atau menjebol sistem pengamanan.
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara pa-ling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur mengenai hak
konsumen, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:
Selanjutnya di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online),
sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah:
Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha untuk mem-
perdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal
tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam
iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha
dalam memperdagangkan barang. Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut berhak mendapatkan
kom-pensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha
itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana
berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang berbunyi:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik setidaknya harus
memuat hal-hal sebagai berikut:
Pada transaksi elektronik yang anda lakukan, anda dapat menggunakan instrumen Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda. Terkait dengan perlindungan
konsumen, Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa pelaku usaha yang
menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat
berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi
tentang penawaran kontrak atau iklan.
Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik mengatur khusus tentang hal tersebut,
yakni pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan
barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
Selain kedua keten-tuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak
sesuai dengan foto pada iklan toko onlinetersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga
dapat menggugat pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih
terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual. Menurut R.
Subekti, wanprestasi adalah ke-lalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi
yaitu:
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka secara perdata dapat menggugat
penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang diterima tidak sesuai
dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/website). Pidana penipuan
dalam transaksi jual beli secara online, Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara
online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum
perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan
sebelum-nya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara
nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi
lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan ekse-kusi
ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber
dalam transaksi secara elek-tronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli
menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
Pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu
muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan
Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elek-tronik.
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohong-an, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun”.
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik adalah sebagai berikut
“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.
Terkait dengan perkembangan teknologi dan informasi, dimana barang dan/atau jasa dapat
diperdagangkan kepada konsumen melewati batas-batas wilayah dan negara, maka
perlindungan konsumen akan menjadi sesuatu yang begitu penting untuk diperhatikan. Di
Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya
situs <http://www.sanur.com> sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu
populer, pada tahun 1996 itu mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-
commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit
terabaikan karena krisis ekonomi. Namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi
fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia
yang mengenal teknologi.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce,
maka perlu diketahui terlebih dahulu siapa konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK.
Menurut Hondius, konsumen adalah pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa
(uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 butir 2 UUPK adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi, konsumen
dalam pengertian ini merupakan pemakai akhir. Kemudian, pelaku usaha menurut UUPK Pasal
1 butir 3 adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hokum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dan melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, pedagang,
distributor, dan lain-lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, pengertian badan usaha adalah perusahaan
perseorangan atau perusahan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.11 Terkait dengan transaksi e-commerce, pengertian tersebut
mengungkapkan bahwa pelaku usaha adalah pihak penyedia barang dan/atau jasa di internet
yang merupakan orang perorangan atau badan usaha, berbentuk badan hukum ataupun
tidak. UUPK mensyaratkan adanya yuridiksi dari pelaku usaha, yaitu didirikan dan
berkedudukan di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia atau didirikan dan
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sementara itu,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tidak mensyaratkan yuridiksi tertentu terhadap
transaksi yang dilakukan oleh badan usaha. Hal ini menimbulkan kesan bahwa UUPK
mengatur perdagangan/transaksi yang bersifat konvensional/tradisional, dimana konsumen
dan pelaku usaha bertemu langsung karena berada pada yuridiksi hukum yang sama.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur
perdagangan/transaksi yang dilakukan secara elektronik, dimana keberadaan konsumen dan
pelaku usaha bisa saja berada pada yuridiksi hukum yang berbeda.
Transaksi e-commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang secara langsung maupun tidak
langsung, dan hal ini tergantung dari kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah
semua proses transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang
dilakukan secara on-line. Budhiyanto mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi e-commerce terdiri dari:
1. Penjual (merchant)
Yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan produknya melalui internet atau dalam Pasal 1
butir 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 disebut sebagai pengirim. “Pengirim adalah
subjek hukum yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”. Untuk
menjadi penjual/merchant/pengirim, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai
merchant account pada sebuah bank, hal ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima
pembayaran dari konsumen/customer dalam bentuk credit card/kartu kredit.
2. Konsumen
Yaitu orang yang ingin memperoleh barang dan/atau jasa melalui pembelian secara on-line
atau dalam Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 disebut sebagai penerima.
Penerima adalah subjek hukum yang menerima informasi elektronik/dokumen elektronik dari
pengirim. Konsumen yang akan berbelanja melalui internet dapat berstatus perorangan atau
perusahaan.13 Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana sistem pembayaran yang dipergunakan, apakah menggunakan kartu kredit
atau dimungkinkan pembayaran secara cash/manual. Hal ini dikarenakan tidak semua
konsumen yang berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit. Pemegang kartu kredit
adalah seseorang yang namanya tercetak pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit
berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
3. Acquirer
Yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan perantara pembayaran
(antara pemegang dan penerbit). Perantara penagihan adalah pihak yang meneruskan
tagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh
penjual barang dan/atau jasa. Pihak perantara penagihan inilah yang melakukan pembayaran
kepada penjual. Pihak perantara pembayaran adalah bank di mana pembayaran kredit
dilakukan oleh pemilik kartu kredit, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan
mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit.
4. Issuer
Perusahaan kartu kredit yang menerbitkan kartu kredit. Di Indonesia ada beberapa lembaga
yang diizinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu:
a. Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak setiap bank dapat menerbitkan kartu
kredit, hanya bank yang telah memperoleh izin dari card international yang dapat
menerbitkan kartu kredit.
b. Perusahaan nonbank, dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia Internasional yang
membuat perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri.
c. Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri
seperti American Express.
5. Certification authorities
Pihak ke tiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada
merchant/penjual, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada konsumen.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, maka di Indonesia ada lembaga
sertifikasi keandalan14 dan penyelenggara sertifikasi elektronik.
Transaksi elektronik atau e-commerce jika dilihat dari jenisnya, maka transaksi e-commerce
itu mempunyai dua (2) model, yaitu:
Yaitu perdagangan yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana barang yang
diperdagangkan biasanya akan dijual kembali, contoh : Perusahaan A membeli barang dari
perusahaan B. Pola hubungan yang terjadi adalah company to company, yakni e-commerce
antar perusahaan. Model ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Biasanya dilakukan oleh mitra dagang yang sudah memiliki hubungan yang cukup
lama. Informasi hanya dipertukarkan dengan mitra tersebut, sehingga pola hubungan
yang terjadi didasarkan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan.
b. Pertukaran data berlangsung secara berulang-ulang dan berkala, dengan format data
yang sudah disepakati bersama atau standar yang sama.
c. Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan data, tidak harus
menunggu mitranya.
Yaitu perdagangan yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana piak yang satu adalah
produsen atau penjual akhir dan di lain pihak adalah konsumen. Model inilah yang paling
banyak berkembang di masyarakat. Jadi Business to consumer adalah transaksi perdagangan
produk maupun jasa antara perusahaan dengan konsumen secara langsung. Dalam transaksi
e-commerce jenis B2C, hampir semua orang dapat melakukan transaksi, baik dengan nilai
transaksi kecil maupun besar dan tidak dibutuhkan persyaratan yang rumit. Konsumen dapat
memasuki internet dan melakukan pencarian terhadap apa saja yang akan dibeli, menemukan
website, dan melakukan transaksi. Dalam transaksi B2C ini, konsumen memiliki daya tawar
yang lebih baik dibanding dengan perdagangan konvensional karena konsumen memperoleh
informasi yang beragam dan detail/terperinci. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan keinginan serta kemampuan
finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien. Karakteristik transaksi e-commerce B2C
adalah sebagai berikut:
b. Service yang dilakukan juga bersifat umum sehingga mekanismenya dapat digunakan
oleh banyak orang.
Dalam melakukan transaksi elektronik atau e-commerce, ada sisi positif/keuntungan yang
didapat konsumen dan pelaku. Menurut Joseph Luhukay, Presiden Director Capital Market
Society, keuntungan atau sisi positif bagi pedagang/pelaku usaha dan konsumen dalam
melakukan transaksi elektronik atau e-commerce antara lain:
1. Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan yang sulit atau tidak
dapat diperoleh melalui cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau
jasa, menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan sebagainya. Menurunkan
biaya operasional. Berhubungan langsung dengan pelanggan melalui internet dapat
menghemat kertas, biaya telepon, dan sebagainya.
2. Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan dapat memesan
bahan baku atau produk ke supplier langsung ketika ada pemesanan sehingga
perputaran barang lebih cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk-
produk tersebut.
3. Melebarkan jangkauan. Pelanggan dapat menghubungi perusahaan/penjual dari manapun
di seluruh dunia.
4. Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan selama 24 (dua
puluh empat) jam per hari, 7 (tujuh) hari per minggu.
5. Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui internet pelanggan bisa menyampaikan
kebutuhan maupun keluhan secara langsung sehingga perusahaan dapat meningkatkan
pelayanannya.
1. Home shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah sehingga dapat
menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan menjangkau toko-toko yang jauh dari
lokasi.
2. Mudah melakukannya. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja atau melakukan
transaksi melalui internet.
3. Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat membandingkan produk maupun
jasa yang ingin dibelinya.
4. Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja selama 24 (dua
puluh empat) jam per hari, 7 (tujuh) hari per minggu.
5. Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh di outlet/pasar
tradisional.
Selain sisi positif yang didapat oleh seorang konsumen dalam melakukan transaksi e-
commerce, konsumen juga sering menghadapi masalah-masalah yang berkenaan dengan
haknya. Hal ini bisa dikatakan sebagai sisi negatif dalam melakukan transaksi e-commerce,
seperti:
1. Konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, atau menyentuh barang yang
akan dipesan.
2. Ketidakjelasan informasi tentang barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
3. Tidak jelasnya status subjek hukum dari si pelaku usaha.
4. Tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi, serta penjelasan terhadap risiko-
risiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan, khususnya dalam hal pembayaran
secara elektronik, baik dengan credit card maupun electronic cash.
5. Pembebanan risiko yang tidak berimbang, karena umumnya terhadap jual beli di internet,
pembayaran telah lunas dilakukan dimuka oleh konsumen, sedangkan barang belum
tentu diterima atau akan menyusul kemudian karena jaminan yang ada adalah jaminan
pengiriman.
Hak-hak konsumen dalam UUPK seperti yang disebutkan di atas terkesan hanya terbatas
pada aktivitas perdagangan yang bersifat konvensional/tradisional. Selain itu, perlindungan
pun hanya difokuskan pada sisi konsumen dan produk (barang dan/atau jasa) yang
diperdagangkan. Perlindungan konsumen dalam transaksi yang bersifat konvensional tidak
dapat diterapkan secara penuh dalam transaksi e-commerce, sehingga dalam upaya
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce ini perlu
diberikan pedoman tentang materi-materi apa saja yang perlu diperhatikan. Pedoman yang
perlu diperhatikan dalam penerapan perlindungan konsumen dalam transaksi perdagangan
melalui e-commerce dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
Kedudukan pelaku usaha dalam hubungan transaksi perdagangan relatif lebih kuat apabila
dibandingkan dengan konsumen. Kuatnya kedudukan pelaku usaha sedapat mungkin harus
diawasi karena tanpa pengawasan maka dapat menimbulkan kerugian pada konsumen. Dalam
kaitannya dengan perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce, maka perlindungan
terhadap konsumen dapat diberikan dalam bentuk:
a. Pemberitahuan identitas pelaku usaha secara jelas. Apabila pelaku usaha merupakan
kantor atau perusahaan cabang, maka harus diberitahukan alamat kantor/perusahaan
induknya.
b, Memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk menyelenggarakan
bisnisnya.
Intinya, konsumen memerlukan adanya informasi yang lengkap dan benar tentang pelaku
usaha, atau dengan kata lain, pelaku usaha berkewajiban untuk menyediakan informasi yang
lengkap dan benar kepada konsumen.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, maka hak konsumen untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dan benar telah dijamin melalui ketentuan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan produk
melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan
dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”. Sedangkan yang dimaksud
dengan informasi yang lengkap dan benar meliputi:
a. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik
sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara
b. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian,
serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan
deskripsi barang/jasa.
Konsumen sebagai pihak yang membutuhkan produk seringkali sebelum mulai melakukan
transaksi diharuskan untuk memberi informasi yang lengkap mengenai identitas diri. Yang
menjadi masalah adalah apakah ada jaminan bahwa data diri/identitas konsumen tidak
digunakan (dikomersialisasikan) oleh pelaku usaha, seperti untuk pengiriman brosur
pemasaran perusahaan. Padahal konsumen sangat memperhatikan aspek keamanan dan
kerahasiaan pribadinya dalam on line transaction. Untuk melindungi konsumen dari
penyalahgunaan informasi (berupa data diri) maka perlu adanya jaminan dari pelaku usaha
bahwa data/identitas konsumen tidak akan dipergunakan secara menyimpang di luar
peruntukannya tanpa seizin konsumen.
Dalam hal ini, Pasal 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 telah mengatur tentang
perlindungan terhadap data pribadi seseorang. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 menyatakan bahwa “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data
pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”.
Dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu
bagian dari hak pribadi. Hak pribadi itu mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala
macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa
tindakan memata-matai.
Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan
data seseorang. Seseorang yang dilanggar haknya karena digunakan data pribadinya tanpa
persetujuannya, dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2).
Informasi produk sangat penting diketahui oleh konsumen, karena melalui informasi ini
konsumen dapat mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak. Oleh karena
itu, dalam menawarkan produknya pelaku usaha diwajibkan untuk:
a. Memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai produk yang ditawarkan,
serta penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran
secara berlainan.
b. Memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan aman atau nyaman untuk
dikonsumsi, serta sesuai dengan apa yang ditawarkan oleh pelaku usaha pada saat
diiklankan/dipromosikan.
Dalam hal ini, sekali lagi terlihat bahwa betapa pentingnya suatu informasi yang lengkap dan
benar bagi seorang konsumen dalam melakukan transaksi elektronik. Dan untuk hak
konsumen dalam mendapatkan informasi yang lengkap dan benar dalam melakukan transaksi
elektronik telah diakomodasi oleh adanya Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
Tidak semua konsumen paham dalam melakukan transaksi melalui media internet, sehingga
pelaku usaha perlu mencantumkan dalam website-nya informasi yang jelas dan lengkap
mengenai mekanisme transaksi serta hal-hal yang berkenaan dengan transaksi, seperti
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen dalam melakukan transaksi :
a. Kesempatan bagi konsumen untuk mengkaji ulang transaksi yang akan dia lakukan
sebelum mengambil keputusan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya
kesalahan yang dibuat konsumen.
b. Harga produk yang ditawarkan, apakah sudah termasuk pajak atau belum, apakah
sudah termasuk ongkos kirim atau belum.
f. Apakah diberikan jaminan penggantian barang atau penggantian uang, apabila produk
yang diterima tidak sesuai atau rusak.
Mengenai transaksi elektronik ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juga telah mengatur
secara khusus dalam BAB V tentang Transaksi Elektronik yang dimulai dari Pasal 17 sampai
dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 menjelaskan bahwa penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan, baik oleh
publik atau privat, yang terpenting adalah pemanfaatan teknologi informasi ini harus
dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar dapat diperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik. Apabila transaksi
elektronik dilakukan secara privat dan dituangkan dalam bentuk kontrak elektronik, maka
transaksi tersebut mengikat para pihak yang terkait. Jika para pihak yang melakukan transaksi
elektronik memiliki yurisdiksi hukum yang berbeda (transaksi elektronik internasional) atau
dalam kontraknya mengandung unsur asing, maka para pihak memiliki kewenangan dalam
memilih hukum yang berlaku serta kewenangan dalam menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa jika terjadi sengketa antara para pihak. Penerapan terhadap hal ini harus sejalan
dengan prinsip hukum perdata internasional. Apabila para pihak yang melakukan transaksi
elektronik internasional tidak melakukan pilihan hukum, maka hukum yang berlaku adalah
didasarkan pada asas hukum perdata internasional.
Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menyepakati mengenai sistem
elektronik yang digunakan, kecuali para pihak menentukan lain. Transaksi elektronik terjadi
pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui oleh
penerima, kesepakatan antara para pihak dapat berupa pengecekan data, identitas, nomor
identifikasi pribadi (personal indentification number/PIN, dan password ). Persetujuan atas
penawaran ini harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik pula. Dalam
transaksi e-commerce, seorang konsumen sangat membutuhkan adanya rasa aman serta
informasi yang lengkap dan benar yang diberikan oleh pelaku usaha.
PENUTUP
Kemajuan teknologi informasi membawa pengaruh positif pada peningkatan lalu lintas
perdagangan, baik bagi pelaku usaha terlebih bagi konsumen. Salah satu bukti dari kemajuan
teknologi informasi yang dirasakan manfaatnya oleh konsumen dalam bidang perdagangan
adalah electronic commerce (e-commerce). Melalui e-commerce, konsumen mempunyai
ruang gerak yang semakin luas dalam bertransaksi, sehingga konsumen memiliki kemampuan
untuk mengumpulkan serta membandingkan barang dan/atau jasa yang diinginkannya dan
konsumen pun menjadi lebih aktif. Kemudahan yang dirasakan oleh konsumen diikuti pula
dengan kemungkinan timbulnya kerugian yang diderita, seperti kurang pahamnya konsumen
terhadap produk yang ditawarkan, informasi yang kurang lengkap, dan benar, serta segala
sesuatu yang berkaitan dengan mekanisme transaksi lainnya. Sedangkan dari sisi pelaku
usaha, berkaitan dengan informasi yang diberikan cenderung tidak jelas dan menyesatkan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 diharapkan hak-hak konsumen
(khususnya konsumen yang melakukan transaksi elektronik atau e-commerce) dapat
terlindungi.
Bentuk perlindungan yang diberikan kepada konsumen dalam transaksi e-comerce dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dapat dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Adanya pengawasan terhadap pelaku usaha, meliputi kejelasan identitas, serta harus
mempunyai izin resmi dari pejabat yang berwenang (dijamin melalui ketentuan pasal 9 UU
Nomor 11 Tahun 2008).
2. Perlindungan terhadap data pribadi konsumen agar tidak disalahgunakan, karena pihak
konsumen seringkali sebelum mulai melakukan transaksi diharuskan untuk memberikan
informasi mengenai identitas diri secara lengkap (dijamin melalui pasal 26 UU Nomor 11
Tahun 2008).
3. Pemberian Informasi yang jelas dan benar mengenai produk (barang dan/atau jasa), hal
ini merupakan hak konsumen yang diakomodasi oleh pasal 9 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008.
4. Pemberian informasi yang jelas dan lengkap mengenai mekanisme transaksi serta hal-hal
yang berkenaan dengan transaksi.
Contoh KASUS
Pertanyaan
Ahmad pernah belanja barang secara online, tapi barang yang terima tidak sama dengan
yang lihat di foto pada iklan yang dipajang. Pertanyaan, apakah itu termasuk
pelanggaran hak konsumen? Apakah Ahmad dapat menuntut penjual untuk
mengembalikan uang atau mengganti barang yang dibeli tersebut ?
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7
UU Perlindungan Konsumen adalah:
Terkait dengan persoalan diatas, lebih tegas lagi Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan
Konsumen melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi
barang yang diterima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan
bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.
Apabila pelaku usaha melanggar larangan memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut, maka pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat
(1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat
(2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2 miliar.
kASUS KONSUMEBN
Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen Menurut UU ITE dan PP No. 82 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PTSE).
Transaksi jual beli kasus diatas, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan
PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Persetujuan untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan
atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam
kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului
pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami
katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik.
Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:
Kontrak Elektronik itu sendiri setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut :
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan
instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan
permasalahan Anda.
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa
Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan
produk yang ditawarkan. Lebih lanjut ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan
kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.[3]
Jika Barang yang Anda Terima Tidak Sesuai dengan yang Diperjanjikan
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak
sesuai dengan foto pada iklan took online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga
dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih
terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi
adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat
menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda
terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web
site).
Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama
dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait
transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan
hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada
penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam
transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi
sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis
memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan
identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan
tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana
berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan
dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yakni:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di
Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual
maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas
kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment
gateway), jaminan keamanan dan keandalan website electronic commerce belum menjadi
perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai
medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli
melalui jejaring sosial, komunitas online, took online, maupun blog). Salah satu indikasinya
adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun
media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian
Komunikasi dan Informatika.
Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi
secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai
pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.
Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50bf69280b1ee/perlindungan-
konsumen-dala-e-commerce/ diakse tanggal 17 April 2020 jam 21.12 Wib
2. Summary tersebut dibuat dalam bentuk tulis tangan (kertas bebas) paling sedikit 2
halaman double folio bergaris, difoto dan kirim ke wa pribadi saya.. Kemudian dketik ulang
kirim ke blog saya Tinggalkan Balasan paling lambat tanggal 18 April 2020 jam 15.00 Wib
b. Apakah belanja barang secara online, barang yang terima tidak sama dengan yang
lihat di foto pada iklan yang dipajang. merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen
?
Jawaban dikirim juga ke blog saya Tinggalkan Balasan paling lambat tanggal 18 April 2020
jam 15.00 Wib
Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan, SE,
MM, MH, tahun 2019
Salah satu hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan secara patut. Selain itu, salah satu kewajiban pelaku
usaha adalah memberikan kom-pensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (Pasal
7 butir f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Kewajiban
tersebut termasuk juga bila barang dan/atau jasa diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Mekanisme dari pelaksanaan hak konsumen yang saat ini berlaku adalahdengan pengaduan
masalah melalui pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan
Konsumen Deperindag dan tentunya pelaku usaha sendiri. Direktorat Perlindungan Konsumen
Deperindag, upaya konsu-men yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu
melakukan pengaduan disertai denganbukti kejadian. Perbeda-annya adalah pada saat
pemanggilan pelaku usaha untukdimintai keterangan perihal masalah yang ada. Kemudian
dari sisi pelaku usaha, pada umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran
telepon yang diterima oleh customer service. Dari ketiga pihak yang menyediakan saluran
pengaduan terhadap perma-salahan konsumen tentunya akan berbeda dalam menanggapi
transaksi yang dilakukan di medium internet. Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen
dapat terjadi dengan dua cara, berikut ini:
1. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK).
2. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum.
1. Arbitrase;
2. Konsultasi;
3. Negosiasi;
4. Mediasi;
5. Konsiliasi; atau
6. Penilaian ahli.
Peran pihak ketiga ini hanya sekedar mempermudah jalannya perundingan para pihak agar
tercapai mudah jalannya perundingan para pihak agar tercapai kesepakatan. Kesepakatan
itulah yang pada akhirnya mengikat para pihak setelah ditanda-tangani dan didaftrakan di
Pengadilan Negeri (Pengadilan Niaga). Berbeda dengan altenatif penyelesaikan sengketa,
penyelesaian sengkata melalui arbitase merupakan cara penyelesaian sengkata yang
memang sejak awal diserahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan keputusan yang
mengikat para pihak, uang putusannnya bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak.
Keuntungan bagi pembeli dan pelaku usaha transaksi e-commerce dalam penyelesaian
sengketa melalui ODR, antara lain:
Pertama, penghematan waktu dan uang. Sesungguhnya, hal ini sudah tampak dalam APS
secara “tradisional” dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur litigasi, namun,
penyelesaian sengketa secara online akan lebih hemat dibandingkan dengan alternatif
penyelesaian sengketa offline. Keuntungan ini karena para pihak tidak perlu membayar biaya
yang harus dikeluarkan untuk menghadiri persidangan dan biaya-biaya yang berkaitan
dengan hal itu. Kecepatan ODR adalah salah satu keuntungan dasarnya.
Pihak-pihak dan pihak netral tidak perlu melakukan per-jalanan untuk bertemu;mereka tidak
perlu ada di waktu yang sama; jangka waktu antara penyerahan dapat singkat; penye-lesaian
dapat berdasarkan dokumen saja.
Kedua, biasanya biaya layanan penyelesaian sengketa perdata adalah gabungan dari biaya
institusi penyelesaian sengketa, fee dan biaya pihak netral (mediator atau arbiter), dan biaya
para pihak, termasuk ongkos hukum. Dalam ODR, beberapa biaya ini tidak ada atau
berkurang signifikan. Sebagai contoh tidak ada biaya perjalanan bagi para pihak yang netral
dan para pihak yang bersengketa. Bagi konsumen e-commerce yang menghindari biaya
besar dalam penyelesaian sengketa, tentu akan lebih mudah menerima penyelesaian
sengketa secara elektronik, karena mereka dapat menger-jakannya sendiri dengan fasilitas
komputer yang dimiliki. Dalam penyelesaiansengketa kasus B2C digunakan model unilateral
user fees yang menetapkan pihak pelaku usaha yang bersengketa menanggung semua biaya.
Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk kontribusi tahunan (misalnya biaya keanggotaan atau
trust mark) atau dari pembayaran masing-masing kasus. Oleh karena itu, proses penyelesaian
sengketa tergantung pada pendanaan oleh salah satu pihak secara eksklusif.
Ketiga, pihak yang menggunakan akses internet lebih yakin dalam menghadapi proses yang
akan dijalaninya, sebab mereka dapat dengan mudah mengontrol dan merespons apa yang
terjadi dalam proses; Keempat, jika para pihak enggan melakukan tatap muka, dapat
menghindari pertemuan dengan pihak lawannya. Para pihak dapat menghindarkan diri
perasaan takut akan diintimidasi dalam proses. Hal ini merupakan persoalan psikologis.
Bentuk cara penyelesaian sengketa dengan cara ODR tidak jauh berbeda dengan APS di
dunia nyata, namun sarana yang digunakan berbeda, yakni dengan sarana internet. Bentuk
cara penyelesaian sengketa, yaitu: tidak ada pihak ketiga (negosiasi), atau ada yang tidak
dapat membuat keputusan pada sengketa tersebut (mediasi), atau yang dapat membuat
keputusan (arbi-trase). Di offline, arbitrase dianggap bentuk penyelesaian sengketa alternatif
yang utama, karena dari sifat yudisialnya, syarat-syarat dan proses yang dapat digunakan,
karakter yang mengikat dan kemudahan pelaksanaan hasilnya, serta bantuan secara hukum
yang diwajibkan kepada pengadilan dalam prosedur pelaksanaan putusan arbitrase.
Arbitrase memberikan harapan yang besar untuk penyelesaian sengketa dalam ruang cyber
atau online, karena dua alasan :
Arbitrase adalah bentuk penyelesaian sengketa yang paling tidak alternatif; ini adalah proses
penyelesaian sengketa ekstra yudisial yang hampir sama dengan proses pengadilan ini adalah
penyelesaian sengketa quasi-yudisial. Tetapi ruang siber adalah suatu lingkungan
konsensual, yang membutuhkan metode-metode penyelesaian sengketa berbasis
persetujuan: bukan penga-dilan, tetapi arbitrase.
Keabsahan transaksi e-commerce ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia didasari oleh
asas konsensualisme yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan,
kecakapan para pihak (syarat sah subjektif), suatu objek tertentu dan suatu kausa yang
diperbolehkan (syarat sah objektif) serta dikuatkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa transaksi
elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak, serta Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” dari beberapa pasal yang
dituangkan di atas maka timbul sebuah keabsahan sebuah kontrak elektronik.
Pengaturan e-commerce dalam hukum positif di Indonesia secara yuridis normatif diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun dalam pengaturan ini, belum jelas mengatur mengenai keabsahan transaksi e-
commerce, perlindungan hukum konsumen dalam e-commerce dan penyelesaian sengketa
dalam transaksi e-commerce, sehingga untuk melihat keabsahan transaksi e-commerce
masih mengacu pada Pasal 1320 KUH-Perdata yang sebenarnya berlaku untuk transaksi
konvensional, perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik juga masih merujuk pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya yang
menyangkut tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selain itu, konsumen
juga dilindungi dengan keberadaan Sertifikat Keandalan bagi pelaku usaha yang ikut
menjamin legalitas dan integritas pelaku usaha e-commerce dan penyelesaian sengketa
dalam transaksi perdagangan secara elektronik dilakukan sesuai dengan pilihan hukum dan
pilihan forum yang telah dilakukan para pihak. Di Indonesia penyelesaian sengketa dapat
dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
gugatan perdata ke pengadilan, atau melalui lembaga arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya. Selain itu tidak tertutup kemungkinan pelaku usaha juga diproses
secara pidana.
Kepada pihak konsumen yang hendak melakukan transaksi di media internet, kiranya lebih
memperhatikan unsur kehati-hatian dalam melalukan transaksi, kenali terlebih dahulu alamat
web yang menyediakan jasa jual beli dimedia internet serta pahami klausula baku yang
diadakan oleh pihak pelaku usaha atau penjual serta, memahami hak dan kewajiban penjual
dan pembeli.
Share this:
! Facebook x X
Memuat...
Terkait
Tinggalkan Balasan