Anda di halaman 1dari 8

Beranda ARTIKEL KONSULTASI HUKUM

JURNAL / KARYA ILMIAH BAHAN KULIAH

Dr. TIAR RAMON, SH., MH


Advokat – Pengacara – Konsultan Hukum dan Dosen

Bahan Kuliah : HUKUM PERDAGANGAN


ELEKTRONIK (E-Commerce)
tiarramon Maret 10, 2020 BAHAN KULIAH

s p a daC orona
¡Ma
Corona
virus
(COVID-
1 9)

A. A. A. A. A.
A. A. A. A.

PENDAHULUAN

Pada dasarnya kebijakan dan kaidah ketentuan perundangan-undangan tentang perdagangan


baik yang dilakukan secara konvensional (tatap muka/face to face) maupun yang dilakukan
secara elektronik mempunyai tujuan yang sama, yakni melakukan kegiatan perdagangan yang
legal, jujur, dilandasi dengan prinsip persaingan usaha yang sehat serta menghargai dan
melindungi hak-hak konsumen.
Perdagangan yang jujur itu dapat mengacu pada UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan untuk perlindungan hak-hak
konsumen dapat mengacu pada UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Pengaturan perdagangan telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan
oleh karena adanya kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) dibuatlah
Peraturan Pemerintah yang mengatur aktivitas perniagaan atau perdagangan secara
elektronik tersebut demi terselenggaranya sistem perdagangan yang fair dan terpercaya serta
melindungi kepentingan nasional.
Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengan pengaturan yang mangatur tentang sistem
dan perdagangan elektronik dalam dilihat pada PP No. 71 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan PP No. 80 Tahun 2019 tentang
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang materinya mengatur aspek hukum perdagangan
dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan sistem elektronik yang ditujukan khusus untuk
perdagangan.
Mengenai lingkup pengaturan dalam PP No. 80 Tahun 2019 mencakup semua kegiatan
perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan berbagai moda dan jenis sistem
komunikasi elektronik, baik yang online maupun secara off-line. Hal tersebut akan mencakup
hubungan hukum dalam konteks antara pelaku usaha (business to business) maupun pelaku
usaha dengan konsumen (business to customer).

Perkembangan aturan-aturan perdagangan juga tidak terlepas dari aturan perdagangan dari
pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh teknologi tersebut semakin nyata dengan
lahirnya e-commerce. Perkembangan yang cukup signifikan terjadi dengan melihat dari
kuantitas transaksi melalui sarana e-commerce ini. E- ecommerce mulai berkembang secara
signifikan ketika internet mulai diperkenalkan. Perkembangan internet ini mendorong
transaksi-transaksi perdagangan internasional semakin cepat. Dengan internet,
batasperdagangan internasional semakin cepat. Dengan internet, batas-batas wilayah batas
wilayah batas wilayah negara dalam melakukan transaksi dagang menjadi tidak lagi signifikan.
Praktik perdagangan melalui internet digambarkan juga sebagai “final frontiers of commerce
” pada abad ke-21 ini.

Banyaknya kemudahan dalam mengakses internet membuat konsumen e-commerce


meningkat, beberapa alasannya antara lain, adalah praktis, kemudahan sistem pembayaran,
efisiensi waktu dan banyaknya harga promo yang menarik dari pelaku usaha online. Namun
dibalik segala kemudahan dan keuntungan yang ditawarkan, timbul pula kekhawatiran akan
tanggung jawab keuntungan yang ditawarkan, perusahaan online kepada konsumen e-
commerce mengingat begitu banyaknya perusahaan online.
Keberadaan e commerce dalam UU Perdagangan tersebut dirasa sangat penting, melihat
potensi serta pertumbuhan bisnis online di tanah air. Melihat hal tersebut, maka akan sangat
penting melihat konsumen sebagai subjek konsumen sebagai subjek yang sangat erat
kaitannya dengan bisnis online tersebut, sehingga diperlukan perlindungan bagi para
konsumen, seperti yang telah di atur oleh pemerintah melalui UU Perlindungan Konsumen.
melalui UU Perlindungan Konsumen. melalui UU Perlindungan Konsumen. melalui UU
Perlindungan Konsumen. melalui UU Perlindungan Konsumen. melalui UU Perlindungan
Konsumen. melalui UU Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) dan UU No 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) merupakan acuan
bagi setiap pelaku usaha dalam melakukan transaksi perdagangan, baik perdagangan
konvensional maupun perdagangan melalui online atau e-commerce. Dalam UU
Perdagangan, diatur mengenai sistem perdagangan elektronik dengan ketentuan bahwa
setiap orang atau badan usaha yang memperdagangkan barang atau jasa wajib menyediakan
data dan informasi secara lengkap dan benar. E-commerce diatur dalam UU Perdagangan
Bab VIII mengenai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada Pasal 65 dan 66. Sementara
untuk ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang hingga saat ini
masih didorong penyelesaiannya.
UU Perlindungan konsumen merupakan pedoman pelaku usaha dan konsumen dapat
menjalankan usahanya secara fair dan tidak merugikan konsumen. Perlindungan konsmen
dalam era digital e-commerce ini menjadi hal yang penting dan dibutuhkan, ketika penjual dan
pembeli hanya bermodalkan asas kepercayaan dalam melakukan transaksi perdagangan
elektronik. Jangan sampai perdagangan elektronik dijadikan alat bagi orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dalam memasarkan produknya.

B. BEBERAPA PEMAHAMAN TENTANG PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

1. Pengertian
Maxi
http://www
e-c Untuk mempelajari hukum perdagangan elektronik, perlu
mazon

thiN omm
erce
juga memahami Hukum, Perdagangan dan Elektronik.
Sekedar mengingatkan kembali, secara positivisme
hukum dapat dimaknai sebagai himpunan peraturan
yang mengatur pergaulan hidup masyarakat, dibuat oleh
lembaga berwenang atau non lembaga, tertulis dan tidak tertulis berisi perintah, larangan dan
perkenan, bersifat memaksa dan pelengkap yang apabila dilanggar dapat dikenai sanksi yang
tegas.

Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau Jasa di
dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang
dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi (Pasal 1 angka 1 UU No. 7 tahun
2014.
Elektronik adalah yang dibuat berdasarkan prinsip serta hal atau benda yang menggunakan
alat tersebut.
Dari pengertian diatas secara singkat penulis berpendapat hukum perdagangan elektronik
adalah hukum yang mengatur tatanan kegiatan perdagangan yang menggunakan
elektronik.

2. Sejarah Perkembangan dan Istilah E Commerce (Perdagangan Elektronik)

E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-
elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website).
Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2
miliar pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan
ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat
triliun dolar US pada tahun 2011.

Istilah “perdagangan elektronik” telah berubah sejalan dengan waktu. Awalnya, perdagangan
elektronik berarti pemanfaatan transaksi komersial, seperti penggunaan EDI untuk mengirim
dokumen komersial seperti pesanan pembelian atau invoice secara elektronik.

Kemudian dia berkembang menjadi suatu aktivitas yang mempunyai istilah yang lebih tepat
“perdagangan web” — pembelian barang dan jasa melalui World Wide Web melalui server
aman (HTTPS), protokol server khusus yang menggunakan enkripsi untuk merahasiakan data
penting pelanggan.

Pada awalnya ketika web mulai terkenal di masyarakat pada 1994, banyak jurnalis
memperkirakan bahwa e-commerce akan menjadi sebuah sektor ekonomi baru. Namun, baru
sekitar empat tahun kemudian protokol aman seperti HTTPS memasuki tahap matang dan
banyak digunakan. Antara 1998 dan 2000 banyak bisnis di AS dan Eropa mengembangkan
situs web perdagangan ini.

Menurut Robert E. Johnson, III (http://www.cimcor.com), e commerce merupakan suatu


tindakan melakukan transaksi bisnis secara elektronik dengan menggunakan internet sebagai
media komunikasi yang paling utama. Menurut Gary Coulter dan John Buddiemeir (e-
commerce outline), e-commerce berhubungan dengan penjualan, periklanan, pemesanan
produk yang semuanya dikerjakan melalui internet. Beberapa perusahan memilih untuk
menggunakan kegiatan bisnis ini sebagai tambahan metode bisnis tradisional, sementara
yang lainnya menggunakan internet secara ekslusif untuk mendapatkan para pelangan yang
berpotensi.

Perdagangan elektronik (bahasa Inggris: electronic commerce atau e-commerce) adalah


penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik
seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat
melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori
otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.

Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-commerce ini sebagai aplikasi dan penerapan
dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana
secara elektronik, SCM (supply chain management), pemasaran elektronik (e-marketing),
atau pemasaran online (online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction
processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll.

E-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas,
tidak hanya sekadar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis,
pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-commerce juga
memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), surat elektronik (e-mail),
dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan
alat pembayaran untuk e-dagang ini.

Secara istilah e-commerce, dalam beberapa literatur diartikan sebagai Perdagangan


Elektronik. Ada juga mengartikan Transaksi Elektronik. Perbedaan ini dapat ditemukan
salam PP yang ada. Dalam PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik disebutkan Perdagangan Elektronik adalah perdagangan melalui sistem
elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik. Sedangkan mengenai Transaksi Elektronik dalam Pasal 1
ayat (2) PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
disebutkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Jadi
adalah istilah untuk perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer,
jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Perbuatan hukum di sini sangatlah
luas. Pebuatan hukum ada 2 yaitu perbuatan hukum sepihak (bersegi satu) dan perbuatan
hukum dua pihak (bersegi dua). Pemahaman tentang perbuatan hukum adalah penting
karena jangan sampai perbuatan hukum tersebut merugikan orang lain atau disebut dengan
perbuatan melawan hukum (PMH). Istilah Belandanya Onrechtmatigedaad. Pertanyaannya
adalah apakah semua perbuatan hukum dapat dilakukan dalam perdagangan elektronik. Perlu
kajian menurut KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dengan
perdagangan elektronik.

Mengenai pengertian transaksi elektronik bebeapa ahli berpendapat sebagai berikut :

1. Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa istilah


lain yang digunakan untuk Transaksi elektronik (e-
commerce), diantaranya adalah kontrak Dagang
Elektronik (KDE), Kontrak Saiber, Transaksi Dagang
Elektronik, Kontrak web.
2. Riyeke Ustadiyanto, Transaksi Elektronik (e-commerce)
merupakan transaksi perdagangan antara penjual dan
pembeli dengan memanfaatkan media internet, sehingga proses pemesanan
barang,pembayaran transaksi hingga pengiriman barang dikomuni kasikan melalui
internet.
3. Julian Ding, Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual
dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini
dilakukan dengan media elektronik (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara
fisik.
Medium ini terdapat di dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau
world wide web (www). Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat
nasional.
Terdapat 6 (enam) komponen dalam Electronic Commerce Transaction (Kontrak Dagang
Elektronik) yaitu
a. Ada kontrak dagang;
b. Kontrak yang dilaksanakan dengan media elektronik;
c. Kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan;
d. Kontrak terjadi dalam jaringan publik;
6. Sistem terbuka, yaitu dengan internet atau www, dan
7. Kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.

Transaksi elektronik merupakan bidang multidisipliner (multidisciplinary field) yang mencakup


:

1. Bidang teknik berupa jaringan, telekomunikasi, pengamanan, penyimpanan dan


pengambilan data dari multimedia;
2. Bidang bisnis berupa: pemasaran (marketing), pem belian dan penjualan (procurement
and purchasing), pena gihan dan pembayaran (billing and payment), manajemen
jaringan distribusi (supply chain management);
3. Aspek hukum information privacy berupa : Hak Milik Intelektual (Intelectual Property
Right), Kontrak Elektronik (Digital Contract), kemudian Kontrak Baku (Standard Contract)
yang dirancang, ditetapkan, dan disebarluaskan secara digital melalui suatu situs di
internet (website/www) secara sepihak oleh pembuat kontrak, untuk ditutup secara
digital pula oleh penutup kontrak.

Adapun ciri-ciri kontrak elektronik ialah:

1. Kontrak elektronik dapat terjadi secara jarak jauh, bahkan melampaui batas-batas suatu
negara melalui internet;
2. Para pihak dalam kontrak elektronik tidak pernah bertatap muka (faceless nature),
bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu Electronic Commerce Transaction (Kontrak
Dagang Elektronik)

Kategori Kontrak Elektronik yaitu :

1. E-contract yang memiliki objek transaksi berupa barang dan atau jasa. Pada e-contract
jenis ini, internet merupakan medium dimana para pihak melakukan komunikasi dalam
pembuatan kontrak. Namun, akan diakhiri dengan pengiriman atau penyerahan benda
dan atau jasa yang menjadi objek kontrak secara fisik (physical delivery);
2. E-contract yang memiliki obyek transaksi beberupa informasi dan atau jasa. Pada e-
contract jenis ini, internet merupakan medium untuk berkomunikasi dalam bentuk
pembuatan kontrak dan sekaligus sebagai medium untuk mengirim atau menyerahkan
informasi dan atau jasa yang menjadiobyek kontrak (cyber delivery).

3. Tahapan-tahapan dalam transaksi elektronik melalui e commerce yaitu :


a. E-customer dan e-merchant bertemu dalam dunia maya melalui server yang disewa dari
Internet Server Provider (ISP) oleh e merchant.
b. Transaksi melalui e-commerce disertai term of use dan sales term condition atau klausula
standar, yang pada umumnya e merchant telah meletakkan klausula kesepakatan pada
website nya, sedangkan e-customer jika berminat tinggal memilih tombol accept atau
menerima.
c. Penerimaan e-customer melalui mekanisme “klik” tersebut ebagai perwujudan dari
kesepakatan yang tentunya mengikat pihak e-merchant.
d. Pada saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kemudian diikuti dengan proses
pembayaran, yang melibatkan dua bank perantara dari masing-masing pihak yaitu acquiring
merchant bank dan issuing E-customer bank. Prosedurnya customer memerintahkan kepada
issuing customer bank untuk dan atas nama e-customer melakukan sejumlah pembayaran
atas harga barang kepada acquiring merchant bank yang ditujukan kepada e-merchant.
e. Setelah proses pembayaran selesai kemudian diikuti dengan proses pemenuhan prestasi
oleh pihak e-merchant berupa pengiriman barang sesuai dengan kesepakatan mengenai saat
penyerahan dan spesifikasi barang.

C. TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI

Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan,
SE., M.M., M.H, tahun 2019

Penting pemahaman tentang jual beli sebagai bagian


yang tidak terpisahkan dari kegiatan perdagangan
elektronik. Sering kita dengar istiah jual beli online.
Jual beli ini ini terjadi mediasi sosial online seperti
facebook Namun tidak semua orang memahami
aspek hukumnya baik hukum perdata maupun pidana.
Jual beli secara perdata merupakan suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1457
KUHPerdata sebagai dasar hukum berlaku dan sahnya jual beli tersebut. Pemahaman
tentang konsep dan keabsahan jual beli bagi pelaku e commerce adalah penting agar dapat
mengetahui hak dan kewajibannya.

1. Konsep Jual Beli


KUHPerdata mengatur mengenai pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian bertimbal-balik
dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang
terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Perkataan
jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan di-namakan menjual. Istilah yang
mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop
en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual)
sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris, jual beli disebut dengan hanya
“sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam
bahasa Perancis disebut hanya dengan “vente” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan
dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan “Kauf” yang berarti “pembelian”.
Pasal 1458 KUHPerdata mengatur juga tentang saat terjadinya jual beli, yaitu bahwa
“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-
orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun
kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Selanjutnya, apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain
yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak
terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati
unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal
lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian terse-but merupakan
ketentuan-ketentuan tentang jual.

Wiryono Prodjodikoro, berpendapat jual beli suatu barang adalah “Suatu penyerahan barang
oleh penjual kepada pem-beli dengan maksud memindahkan hak milik atas barang tersebut
dan dengan syarat pembayaran harga tertentu berupa uang pembeli kepada penjual”.
Beberapa sarjana lainnya memberikan pengertian jual beli adalah sebagai berikut: “jual beli
ialah perjanjian atau persetujuan atau kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk
menyerahkan hak milik atas benda atau barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang
mengikat dirinya untuk mem-bayar harganya berupa uang kepada penjual”. Sedangkanb
menurut Salim H.S., perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak
penjual dan pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu, pihak penjual berkewajiban untuk
menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak mene-rima harga dan pembeli
berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.
Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah:
1. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;
2. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan hargal;
3. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak pen-jual dan pembeli;l
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan
pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu
perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan
barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang berbunyi bahwa “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak
seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang
ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

2. Jual Beli Secara Umum


Melihat kehidupan manusia yang selalu berkembang setiap saatnya, terdapat berbagai
macam bentuk hubungan antar manusia salah satunya adalah jual beli. Perbuatan jual beli
adalah perbuatan yang paling banyak berlangsung di masyarakat, baik dari masyarakat
golongan menengah ke bawah hingga menengah ke atas pasti semua pernah mela-kukan
perbuatan/kegiatan jual beli. Dengan demikian, jual beli merupakan proses peralihan hak yang
sudah ada sejak jaman dahulu, dengan menggunakan prinsip dasar yaitu terang dan tunai.
Terang artinya jual beli itu harus dilakukan di depan pejabat umum yang berwenang,
sedangkan tunai artinya harga jual belinya harus dibayarkan secara tunai (lunas), jadi apabila
harga belum lunas, belum dapat dilaku-kan proses jual beli.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, jual beli dalam


pengertian sehari-hari dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk
mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela.
Dalam hal ini, jual beli dapat dikatakan sebagai
perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang terjadi antara
dua belah pihak, dimana pihak pertama selaku penjual
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak menerima pembayaran dari harga barang
yang telah disetujui, sedangkan pihak kedua sebagai pembeli berkewajiban membayar
harga atas barang yang telah dibelinya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka secara
umum dapat dikatakan bahwa jual beli adalah suatu perikatan hukum antara dua belah pihak,
yaitu pihak penjual dan pembeli yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.

Menurut Hukum Perdata jual beli adalah salah satu macam


perjanjian/perikatan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata tentang
Perikatan. Dalam hal jual beli tanah dari bunyi Pasal 1457 KUHPerdata:
“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain
membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian dalam
Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli termasuk perjanjian. Adapun syarat
sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, adalah adanya
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, adanya kecakapan
untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu hal tertentu, dan suatu
sebab yang halal. Jika syarat mengenai kesepakatan dan kecakapan
(syarat subjektif) tidak dipenuhi atau dilanggar, maka suatu perjanjian dapat dibatalkan,
maksudnya perjanjian tetap ada sampai adanya keputusan dari hakim. Sedangkan, jika syarat
mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (syarat objektif) tidak dipenuhi atau
dilanggar, maka suatu perjanjian batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada
perjanjian. Dikebalikan dalam kadaan semula (status quo).
Berdasarkan pengertian jual beli di atas, maka dapat dikatakan bahwa kewajiban penjual
untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban pembeli adalah
membayar harga perjanjian sesuai dengan harga yang telah disepakati. Dalam hal ini,
wujud dari hukum jual beli adalah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-
pihak, yang saling berjanji, yaitu penjual dan pembeli. Penyerahan yang dimaksud ialah bahwa
penyerahan tersebut adalah penyerahan barang oleh penjual untuk menjadi kekuasaan dan
kepemilikan dari pembeli. Dalam jual beli, kewajiban penjual adalah untuk menyerahkan
barang kepada pembeli. Dengan adanya perjanjian jual beli, maka hak milik dari benda yang
dijual belum pindah hak miliknya kepada si pembeli. Pe-mindahan hak milik baru akan terjadi
apabila barang yang dimaksud telah diberikan ke tangan pembeli. Maka selama penyerahan
belum terjadi, maka hak-hak milik barang tersebut masih berada dalam kekuasaan pemilik
atau penjual. Tujuan utama dari jual beli ialah memindahkan hak milik atas suatu barang dari
seseorang tertentu kepada orang lain.

3. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian atau persetujuan dua pihak yaitu pihak penjual dan
pihak pembeli. Dalam perjanjian jual beli, si penjual berjanji akan menyerahkan hak
sesuatu barang kepada si pembeli, sedangkan si pembeli akan membayar harga barang
tersebut sesuai dengan harga yang sudah disepakati bersama antara penjual dan
pembeli.
Berdasarkan pengertian jual beli yang diberikan oleh Pasal 1457 KUHPerdata tersebut,
persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Pengertian lain mengenai jual beli ini adalah perjanjian timbal balik dalam pihak yang satu
(penjual), berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan, pihak yang
lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga barang yang terdiri atas sejumlah uang
sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Jual beli yang diatur oleh KUHPerdata (yang tertulis) di dalam pergaulan masyarakat di
Indonesia juga dikenal pengertian jual beli yang diatur oleh Hukum Adat (yang tidak tertulis).
Menurut Hukum Adat, jual beli dilakukan secara terang dan tunai. Terang artinya bahwa jual
beli dilakukan di hadapan Kepala Adat dan Tunai artinya bahwa jual beli itu dianggap telah
dilaksanakan secara tunai, walaupun ada harga yang belum dibayar (masih berhutang). Jadi,
menurut Hukum Adat yang dinamakan jual beli itu bukanlah persetujuan belaka, yang
dilakukan antara kedua belah pihak, melainkan suatu penyerahan barang oleh si penjual
kepada si pembeli, dengan maksud memindahkan hak milik untuk selama-lamanya, dengan
pembayaran harga pembelian. Jadi, selama penyerahan belum terjadi, belumlah ada terjadi
jual beli dan belum dapat dikatakan, bahwa barangnya adalah milik si pembeli.

4. Unsur Perjanjian Jual Beli

Unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan asas
konsensualisme, yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik
tercapainya “sepakat” mengenai barang dari harga, maka lahirlah jual beli yang sah dan
mengikat. Perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli,
apabila mereka telah menyetujui dan sepakat tentang “keadaan benda dan barang tersebut”,
sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458
KUHPerdata). Pasal 1458 KUHPerdata ini merupakan asas konsensualisme dari jual beli yang
dirumuskan dalam Pasal 1457 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata dan Pasal 1458 KUHPerdata, pengertian jual beli yang
dianut oleh KUHPerdata adalah harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Persetujuan/kata sepakat
b. Kewajiban menyerahkan barang
c. Kewajiban menyerahkan uang dari harga barang.
Apabila diteliti unsur-unsur tersebut, sifatnya terbatas, sehingga berdasarkan unsur-unsur
tersebut dapat dikatakan jual beli menurut KUHPerdata hanya mempunyai sifat ”obligatoir”
(mengikat), tidak juga mempunyai ”zakelijke werking,” artinya tidak berdaya langsung
mengenai kedudukan barang-nya.

5. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli

Hak dan kewajiban para pihak yang dimaksud sebenar-nya adalah hak dan kewajiban si
penjual yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban si pembeli. Perihal kewajiban yang
utama terdapat pada Pasal 1474 KUHPerdata, yaitu ia mempunyai kewajiban utama yaitu
menyerahkan barangnya dan menanggung. Sedangkan, dalam Pasal 1516 KUHPerdata adalah
memberikan hak kepada pembeli untuk menangguhkan atau menunda pembayaran sebagai
akibat gangguan yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya.

a. Kewajiban Pihak Penjual


Sistematika di KUHPerdata, kewajiban si penjual diatur dalam Buku III, Bab Kelima, Bagian
Kedua mulai dari Pasal 1473 sampai dengan Pasal 1512 KUHPerdata. Menurut KUHPerdata,
bagi pihak penjual ada dua kewajiban, yaitu :

1) Kewajiban Menyerahkan Barangnya


Kewajiban penjual dalam penyerahan barang yang diartikan sebagai suatu penyerahan
pemegangan barang secara nyata, sekaligus juga dengan hak milik atas ba-rang-barang yang
diperjualbelikan. Kewajiban menye-rahkan hak milik, meliputi perbuatan yang menurut hukum
diperlakukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual
kepada si pembeli.
KUHPerdata, mengenal 3 (tiga) macam barang, yaitu: barang bergerak, barang tetap dan
barang tak bertubuh, sehingga menurut KUHPerdata, terdapat tiga macam penyerahan hak
milik yang masing-masing ba-rang itu :
a) Barang Bergerak
Untuk barang bergerak cukup dengan menye-rahkan kekuasaan atas barang itu. Dalam Pasal
612 KUHPerdata disebutkan bahwa “Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak
bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu
berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila. Kebendaan yang harus diserahkan dengan
alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.”
b) Barang Tetap (Tak Bergerak)
Untuk barang tetap (tak bergerak) penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan
“na-ma” melalui pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai
penyimpanan hipotik, yaitu Pasal 616: bahwa ”Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan
tidak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara
seperti ditentukan dalam Pasal 620.” Pasal 620 bahwa “Dengan mengindahkan ketentuan-
ketentuan termuat dalam tiga Pasal lalu, pengumuman di atas dilakukan dengan
memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari salinan akta otentik atau keputusan
yang bersangkutan ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-
barang tak bergerak yang harus diserahkan berada dan dengan membukukannya dalam
register. Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus
menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik, sebuah salinan otentik yang kedua atau
sebuah petikan dari akta atau Keputusan itu agar penyimpan mencatat dari register yang
bersangkutan”.
c) Barang Tak Bertubuh
Penyerahan barang tak bertubuh dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”
sebagai-mana diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata yang berbunyi bahwa “Penyerahan akan
piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat
sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu
dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan tiap-tiap piutang surat bawa, dilakukan dengan
menyerahkan surat itu; penyerahan piutang karena surat tunjuk, dilakukan dengan
menyerahkan surat disertai dengan endorsement’.
Berdasarkan KUHPerdata, hak milik belum berpindah dengan perjanjian jual beli. Hak milik
baru berpindah dengan levering atau penyerahan. Maka dalam KUHPerdata, levering
merupakan suatu per-buatan hukum guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung
dari macam barang yang dipindahkan, seperti diterangkan di atas.

2) Kewajiban Menanggungnya
Kewajiban kedua dari penjual adalah menanggung, bahwa si pembeli tidak akan diganggu
dalam menikmati barang yang ia sudah beli dan sudah diterimanya.
Menurut Pasal 1491 KUHPerdata, penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap
si pembeli adalah:
a) Kewajiban menanggung kenikmatan dengan tentram
b) Kewajiban menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.

b. Kewajiban Pihak Pembeli


Sebenarnya hanya ada satu kewajiban si pembeli, yaitu untuk membayar harga barang yang
dibelinya seperti yang disebutkan dalam Pasal 1513 KUHPerdata yaitu bahwa kewajiban
utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana
ditetapkan menurut perjanjian.
“Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan
dalam suatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalam
pengertian jual beli, karena bila tidak, maka akan merubah perjanjian itu sendiri. Misalnya,
apabila harga itu berupa barang maka perjanjiannya adalah “tukar menukar” atau apabila
harganya adalah jasa maka perjanjiannya adalah perjanjian kerja.
Perjanjian “jual beli” sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dipihak
lain ada uang. Dalam hal ini, macamnya uang tidak harus dalam bentuk rupiah (dikarenakan
terjadinya di Indonesia). Akan tetapi, para pihak bisa menentukan lain.
Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun diperkenankan untuk menyerahkan
kepada perkiraan atau penentuan seorang pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, jika pihak
yang ketiga ini tidak mampu untuk perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah
terjadi suatu pembelian (lihat Pasal 1465 KUH-Perdata).
Hal ini berarti, perjanjian jual beli yang harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada
hakikatnya adalah suatu perjanjian dengan “syarat tangguh”, karena perjanjian baru akan
terjadi kalau harga itu sudah ditetapkan oleh orang tersebut. Jika pada waktu membuat
perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus
mem-bayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan (levering) barangnya dilakukan
(Pasal 1514 KUHPer-data).

D. TRANSAKSI E-COMMERCE (PERDAGANGAN ELEKTRONIK) DITINJAU DARI


PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN

Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan,
SE., M.M., M.H, tahun 2019

Sebagaimana telah dikemukakan e-commerce merupakan model


bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan pelaku bisnis
secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli).
Dalam transaksi e-commerce diciptakan transaksi bisnis yang
lebih praktis tanpa kertas (paperless) dan dalam transaksi e-
commerce dapat tidak bertemu secara langsung (face to face)
para pihak yang melakukan transaksi, sehingga dapat dikatakan
e-commerce menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang
teknologi.
Membahas menganai e-commerce, tidak terlepas dari teori perjanjian secara mendasar
sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menegaskan bahwa “Suatu
perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengi-katkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata yaitu
memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya
berfungsi mengatur saja. Sementara itu J. Satrio peristiwa yang menimbulkan dan berisi
ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain bahwa
perjanjian berisi perikatan.
E-commerce atau perdagangan melalui internet pada dasarnya sama dengan perdagangan
pada umumnya, dimana suatu perdagangan terjadi ketika ada kesepakatan mengenai barang
atau jasa yang diperdagangkan serta harga atas barang atau jasa tersebut, yang
membedakan hanya pada media yang digunakan, jika pada perdagangan konvensional para
pihak harus bertemu langsung disuatu tempat guna menyepakati mengenai apa yang akan
diperdagangkan serta berapa harga atas barang atau jasa tersebut. Sementara itu, dalam e-
commerce, proses transaksi yang terjadi memerlukan suatu media internet sebagai media
utamanya, sehingga proses transaksi perdagangan terjadi tanpa perlu adanya pertemuan
langsung antar para pihak.
E-commerce sebagai dampak dari perkembangan teknologi memberikan implikasi pada
berbagai sektor, implikasi tersebut salah satunya berdampak pada sektor hukum. Pengaturan
terhadap e-commerce di Indonesia belum ada aturan yang secara khusus mengatur
mengenai masalah tersebut, yang umum dilakukan pengaturan mengenai e-commerce masih
menggunakan aturan dalam Buku III KUHPerdata khususnya pengaturan mengenai masalah
perjanjian.
Perjanjian e-commerce yang dilakukan oleh para pihak bukan seperti layaknya perjanjian
pada umumnya, tetapi perjanjian tersebut dapat dilakukan meskipun tanpa adanya pertemuan
langsung antara kedua belah pihak, namun perjanjian antar para pihak tersebut dilakukan
secara elektronik. Pengaturan mengenai perjanjian di Indonesia hanya mengatur pada
perjanjian pada umumnya, hal tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
menyebutkan mengenai syarat sah suatu perjanjian yang mengikat para pihaknya. Menurut
Subekti, suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.
Pemenuhan atas syarat tersebut berakibat pada perjanjian yang telah dibuat menjadi sah.
Perjanjian juga mengikat bagi para pihak mengenai hak dan kewajibannya, sehingga
pemenuhan syarat sahnya suatu perjanjian mutlak untuk dipenuhi. Hal ini kelak apabila
dikemudian hari terjadi suatu permasalahan atau sengketa maka penyelesaiannya dapat
didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati.
Pengakuan perjanjian e-commerce sebagai suatu bentuk perjanjian dalam KUHPerdata
Indonesia masih merupakan permasalahan yang pelik. Pasal 1313 KUHPerdata mengenai
definisi perjanjian memang tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat secara
tertulis. Pasal 1313 KUHPerdata hanya menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Jika mengacu pada definisi ini maka suatu kontrak elektronik dapat dianggap
sebagai suatu bentuk per-janjian yang memenuhi ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.
Pada prakteknya, suatu perjanjian biasanya ditafsirkan sebagai perjanjian yang dituangkan
dalam bentuk tertulis (paper-based) dan bila perlu dituangkan dalam bentuk Akta Notaris.
Selanjutnya, bila mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian barulah sah jika
memenuhi syarat subjektif (ada kesepakatan antar para pihak dan para pihak cakap untuk
membuat perjanjian) dan syarat objekif (objek perjanjian harus jelas dan perjanjian dilakukan
karena alasan yang halal). Dalam transaksi konvensional di mana para pihak saling bertemu,
tidak sulit untuk melihat apakah perjanjian yang dibuat memenuhi syarat-syarat tersebut.
Namun permasalahan timbul dalam hal transaksi dilakukan tanpa adanya pertemuan antar
para pihak. Di samping itu, transaksi e-commerce sangat bergantung pada kepercayaan di
antara para pihak. Ini terjadi karena dalam transaksi komersial elektronik para pihak tidak
melakukan interaksi secara fisik. Oleh sebab itu, masalah mengenai keabsahan transaksi e-
commerce tersebut menjadi hal yang sangat penting.
Perjanjian dalam e-commerce dengan perjanjian biasa tidaklah berbeda jauh, yang
membedakan hanya pada bentuk dan berlakunya. Media dalam perjanjian biasa yang
digunakan adalah tinta dan kertas serta dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak. Setelah
dibuat dan disepakati maka perjanjian tersebut mengikat setelah ditandatangani, sedangkan
dalam e-commerce perjanjian menggunakan media elektronik yang ada hanya form atau
blanko klausula perjanjian yang dibuat salah satu pihak yang ditulis dan ditampilkan dalam
media elektronik (halaman web), kemudian pihak yang lain cukup menekan tombol yang
disediakan untuk setuju mengikatkan diri terhadap perjanjian tersebut.
Pada prinsipnya, transaksi e-commerce sesungguhnya merupakan suatu model kontrak yang
sama dengan kontrak jual beli konvensional yang dilakukan dalam masyarakat. Jual beli
secara konvensional yang dilakukan oleh masyarakat hingga saat ini dilakukan baik itu
berdasarkan sistem KUHPerdata maupun menurut sistem hukum adat. Menurut hukum adat
Indonesia, yang dinamakan jual beli, bukanlah persetujuan belaka yang berada di antara
kedua belah pihak, tetapi adalah suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli
dengan maksud memindahkan hak milik atas barang itu dengan syarat pemba-yaran harga
tertentu, berupa uang oleh pembeli kepada penjual. Dengan demikian, dalam hukum adat,
setiap hubungan jual beli tidak mengikat kepada asas atau sistem obligator atau sistem/asas
yang lainnya.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa dalam hukum adat ada juga persetujuan antara
kedua belah pihak yang berupa mufakat tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari
tangan penjual ke tangan pembeli dan pembayaran harga pembeli oleh pembeli kepada
penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum
tertentu yaitu berupa penyerahan tadi. Selama penyerahan barang belum terjadi, maka belum
ada jual beli.
Mengenai perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli,
apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang
tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458
KUHPerdata). Jual beli tiada lain dari persesuaian kehendak (wisovereensteeming) antara
penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang menjadi
essensial perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tidak mungkin terjadi jual
beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual beli
dianggap tidak ada.
Cara dan terbentuknya perjanjian jual beli, bisa terjadi secara openbaar/ter-buka, seperti yang
terjadi pada penjualan atas dasar eksekutorial atau yang disebut excutoriale verkoop.
Penjualan eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka umum oleh pejabat lelang, akan
tetapi cara dan bentuk penjualan eksekutorial yang bersifat umum ini, jarang sekali terjadi.
Penjualan demikian harus memerlukan keputusan pengadilan.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa jual beli secara konvensional yang
terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-hari adalah jual beli antara tangan ke
tangan, yakni jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak
resmi dan tidak perlu di muka umum. Bentuk jual belinya pun, terutama jika objeknya barang-
barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan, kecuali mengenai benda-benda tertentu,
terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak pada umumnya, selalu memerlukan
bentuk akta jual beli. Tujuan akta ini hanya sekedar mempelajari jual beli itu dengan keperluan
penyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis di samping penyerahan
nyata.
Memperhatikan uraian di atas mengenai persamaan antara transaksi perdagangan e-
commerce dengan jual beli secara konvensional, maka dapat dilihat bahwa letak perbedaan
utamanya adalah hanya pada media yang digunakan. Pada transaksi e-commerce, media
yang digunakan adalah media elektronik atau internet. Sehingga kesepakatan ataupun
kontrak yang tercipta adalah melalui online. Kemudian, hampir sama pula dengan kontrak jual
beli konvensional, kontrak jual beli e-commerce tersebut juga terdiri dari penawaran dan
penerimaan. Sebab suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya penawaran oleh salah
satu pihak dan penerimaan oleh pihak yang lainnya.
Selanjutnya, dalam perkembangannya kontrak jual beli e-commerce menghadapi
permasalahan teknis teknologi dan masalah hukum. Permasalahan teknlogi yang meliputi
kerahasiaan, keutuhan pesan (integrity), identitas para pihak dan hukum yang mengatur
transaksi tersebut. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dikembangkanlah
teknik kriptografi (cryp-tography).
Dalam teknik kriptografi, dikenal ada 2 (dua) kategori encryption types yang secara umum
digunakan untuk pengiriman data, bertransaksi dalam perdagangan, sistem pembayaran di
internet. Metode pertama menggunakan symmetric key dan metode kedua menggunakan
Asimetris/public key.
Regulasi yang telah ada saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik hanya membahas mengenai transaksi elektronik secara
umum saja. Hal ini terlihat pada Pasal 17 – 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang membahas tentang transaksi elektronik. Sedangkan
dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) membahas tentang perbuatan yang dilarang yang
berhubungan dengan transaksi elektronik.
Regulasi ini nantinya bisa menjadi pegangan dari khalayak dalam melakukan transaksi
perdagangan secara elektronik dan diharapkan dengan adanya regulasi ini, sistem e-
commerce dapat berjalan dengan baik, terstruktur, dan terjamin dalam pelaksanaannya.
Memang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik hal yang seringkali disorot adalah masih belum tegas diatur mengenai bentuk
perlindungan kepada konsumen dalam transaksi e-commerce.
Kontrak jual beli maupun bentuk kontrak lainnya akan melalui tiga rangkaian tahapan hingga
pelaksanaan dari kontrak, yakni: (a) tahap pra-contractual, yaitu adanya penawaran dan
penerimaan; (b) tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak; dan (c) tahap postcontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Hal yang paling
penting sebelum menuju kepada kesepakatan dalam setiap kontrak adalah tahapan pra
kontrak, yaitu adanya penawaran dan penerimaan diantara para pihak.
Sama halnya dengan para kontrak pada umumnya, para kontrak dalam transaksi jual beli yang
menggunakan e-commerce biasanya akan didahului oleh penawaran jual, penerimaan beli.
Sebelum itu, dapat saja terjadi penawaran secara online, misalnya melalui website, situs
internet atau melalui posting di mailing list dan news group atau melalui undangan para
customer melalui model business to business.
Penawaran dalam hukum positif Indonesia merupakan suatu “invitation to enter into a binding
agreement”. Tawaran merupakan suatu tawaran jika pihak lain menganggap atau
memandangnya sebagai suatu tawaran, suatu perbuatan seseorang beralasan bahwa
perbuatan itu sendiri sebagai ajakan untuk masuk ke dalam suatu ikatan kontrak, maka hal ini
dapat dianggap sebagai suatu tawaran. Dalam transaksi jual beli yang menggunakan e-
commerce, khususnya jenis business to customer yang melakukan penawaran adalah
merchant atau produsen/penjual.
Para merchant atau penjual tersebut memanfaatkan website untuk menjajakan produk dan
jasa pelayanan. Para penjual ini menyediakan semacam storefront yang berisikan katalog
produk dan pelayanan yang diberikan dan para pembeli seperti berjalan-jalan di depan toko-
toko dan melihat-lihat barang-barang di dalam etalase. Dalam website tersebut, biasanya
ditampilkan barang-barang yang ditawarkan, harganya, nilai rating atau poll otomatis tentang
barang itu yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi tentang barang tersebut dan menu
produk lain yang berhubungan, dan penawaran tersebut terbuka bagi semua orang sehingga
semua orang yang tertarik dapat melakukan window shopping di toko-toko online ini. Tawaran
ini adalah pernyataan mengenai syarat-syarat yang dikehendaki oleh penawar supaya
mengikat, jika suatu tawaran diterima sebagaimana adanya berarti persetujuan itu tercapai.
Dalam transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce ini, suatu tawaran boleh dilakukan
terhadap seseorang tertentu dan hanya terbuka baginya untuk menerimanya. Selain itu
tawaran juga boleh diberikan dan hanya terbuka kepada kelompok dan dalam hal ini hanya
orang-orang yang tergabung dalam kelompok itu saja yang diperbolehkan untuk menerima
tawaran tersebut.
Selanjutnya, dalam proses penawaran, penjual juga mesti beritikad baik di dalam memberikan
informasi mengenai barang yang diperdagangkan melalui e-commerce tesebut. Hal itu juga
ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang menentukan bahwa para pihak yang melakukan transaksi
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikad baik dalam melakukan
interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik selama
transaksi berlangsung.
Kedudukannya juga sebagai pelaku usaha, maka penjual transaksi jual beli e-commerce ini
tidak hanya tunduk pada sistematika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, akan tetapi juga tunduk pada sistematika Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam rangka hubungan hukumnya
dengan konsumen selaku pembeli. Sebagai pelaku usaha oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa setiap pelaku usaha
memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan atas
produk barang dan/jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Hal tersebut secara tegas diatur
dalam Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang menentukan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Transaksi pra kontrak secara online dalam e-commerce ini menurut Research Paper on
Contract Law memiliki banyak variasi, yakni transaksi melalui chatting dan video conference,
transaksi melalui e-mail, dan Transaksi melalui Web atau Situs. Transaksi melalui chatting
atau video conference adalah seseorang dalam melakukan penawaran sesuatu barang
dengan menggunakan model dialog interaktif melalui internet, seperti melalui telepon,
chatting dilakukan melalui tulisan, sedangkan video conference dilakukan melalui media
elektronik, di mana seseorang dapat melihat langsung gambar dan mendengar suara pihak
lain yang melakukan penawaran dengan menggunakan alat ini.
Transaksi dengan menggunakan e-mail dapat dilakukan dengan cara mudah dimana dalam
hal ini kedua belah pihak harus memenuhi syarat, yaitu memiliki e-mail address. Selanjutnya,
sebelum melakukan transaksi, konsumen sudah mengetahui e-mail yang akan dituju dan jenis
barang serta jumlah yang akan dibeli, kemudian konsumen menulis nama produk dan jumlah
produk, alamat pengiriman, dan metode pembayaran yang digunakan. Konsumen selanjutnya
akan menerima konfirmasi dari merchant mengenai order barang yang telah dipesan tersebut.
Model transaksi melalui web atau situs yaitu dengan cara dimana merchant menyediakan
daftar atau katalog barang yang dijual disertai dengan deskripsi produk yang dijual dalam web
atau situs yang telah dibuat oleh penjual. Pada model transaksi ini dikenal istilah order form
dan shopping cart.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa penawaran juga merupakan proses yang
penting di dalam transaksi jual beli e-commerce dan menjadi suatu tahapan pra kontrak
seperti jual beli pada umumnya. Melalui penawaran dapat mempertemukan perbedaan atau
ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Dengan penawaran, konsumen selaku
pembeli dapat mengetahui setiap produk yang ditawarkan oleh penjual secara online.
Tentunya dalam menyampaikan informasi mengenai produk barang dan diperdagangkan
tersebut, penjual selaku pelaku usaha harus beritikad baik di dalam menjalankan kegiatan
usahanya tersebut yaitu memberikan informasi penawaran yang benar, jelas, dan jujur.
Selanjutnya transaksi bisnis biasa, dalam transaksi jual beli yang menggunakan e-commerce
ini, antara penawaran dan penerimaan, selalu ada selang jangka waktu tertentu yang bisa
singkat saja dan bisa juga memakan waktu yang cukup lama. Dalam transaksi bisnis biasa
sebelum penawaran diakseptir oleh pihak lain, penawaran tersebut dapat ditarik kembali, akan
tetapi jika penawaran tersebut telah diakseptir, maka penawaran tersebut tidak dapat ditarik
kembali, sedangkan dalam transaksi jual beli yang menggunakan e-commerce, penawaran
dapat saja ditarik walaupun sudah ada akseptir oleh pihak lain.
Hal ini akan menimbulkan masalah, yaitu berkaitan dengan apakah dalam hal sesudah ada
penerimaan tersebut tetapi sebelum jawaban tersebut sampai kepada pihak yang
menawarkan, orang yang menawarkan mengirimkan berita yang menyatakan menarik kembali
penawarannya dapat dikatakan telah terjadinya kontrak/perjanjian atau tidak.
Terkait dengan hal tersebut, dalam teori-teori hukum perdata, terdapat beberapa teori
mengenai momentum terjadinya kontrak/perjanjian antara lain:
Pertama, Teori Pernyataan (uitingstheorie). Menurut teori ini, kesepakatan terjadi pada saat
pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima pernyataan itu.
Kedua, Teori Pengiriman (Verzendtheorie). Menurut teori ini, ditetapkan bahwa saat
pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian, maka orang mempunyai
pegangan yang relatif sedikit pasti mengenai saat terjadinya kontrak. Untuk transaksi bisnis
biasa relatif lebih mudah, karena misalnya tanggal cap pos dapat dijadikan sebagai salah satu
patokan utama. Sejak saat surat itu dikirimkan, akseptor tidak lagi mempunyai kekuasaan atas
surat tersebut dan sejak saat itu pulalah kontrak telah terjadi.
Ketiga, Teori Pengetahuan (Vernemings theorie). Menurut teori ini, pada saat terjadinya
kontrak kemudian digeser sampai pada jawaban akseptasinya diketahui oleh orang yang
menawarkan.
Keempat, teori Penerimaan (Ontvangs-theorie) di mana teori ini muncul sebagai jawaban atas
kekurangan teori pengetahuan, maka muncullah teori lain, yaitu teori penerimaan. Dalam teori
ini, saat diterimanya jawaban, terlepas dari apakah surat itu telah dibuka atau dibiarkan tidak
dibuka, menentukan saat lahir/terjadinya perjanjian/kontrak. Intinya adalah saat surat tersebut
sampai pada alamat si penerima, maka saat itulah kontrak terjadi.
Memperhatikan teori momentum terjadinya kontrak di atas, maka yang perlu terlebih dahulu
diperhatikan adalah bahwa momentum terjadinya transaksi jual beli e-commerce bergantung
pada dari sisi mana penjual atau merchant dan konsumen pem-beli mengganggap kontrak
tersebut telah terjadi.
Menurut Tan Kamelo, momentum terjadinya kontrak jual beli e-commerce itu tercipta ketika
dalam tahap pra kontrak (tahap penawaran dan penerimaan) dimana pihak yang ditawarkan
(offeree) yaitu pembeli atau konsumen telah mengirimkan pesan kepada pihak yang
menawarkan (offeror) yaitu penjual atau merchant bahwa pembeli menerima tawaran dari
pihak penjual atau merchant.
Memperhatikan pendapat dari Tan Kamelo mengenai momentum terjadinya kontrak jual beli
e-commerce tersebut, maka menurut hemat penulis, dengan pembeli telah mengimkan pesan
untuk menerima tawaran dari penjual atau merchant, secara tidak langsung telah terpenuhi
adanya unsur kesepakatan. Oleh karenanya, apabila diintegrasikan pula ke dalam keempat
teori momentum terjadinya kontrak sebagaimana uraian sebelumnya, maka momentum
terjadinya transaksi jual beli e-commerce ini lebih dekat pada teori penerimaan (ontvangs
theorie).
Walaupun momentum terjadinya kontrak atau transaksi jual beli e-commerce telah terjadi
ketika pihak pembeli atau konsumen (pada tahapan itu disebut juga sebagai offeree) telah
mengirimkan pesan kepada penjual atau merchant (pada tahapan itu disebut juga sebagai
offeror), akan tetapi proses kontrak jual beli e-commerce secara keseluruhan tidak bisa
dilepaskan dalam kerangka mekanisme kontrak jual beli pada umumnya. Mekanisme transaksi
jual beli e-commerce memang selalu dimulai dari penawaran dari penjual atau merchant dan
kemudian adanya penerimaan dari konsumen pembeli. Namun, proses yang selan-jutnya
perlu diperhatikan adalah dalam rangka pelaksanaan kontrak, di mana ketika konsumen
tertarik dan yakin akan barang pilihannya, maka konsumen akan melakukan proses
pembayaran, dan ketika pembayaran diterima, tahapan yang terakhir adalah pengiriman
barang oleh penjual merchant kepada pembeli atau konsumen. Semua tahapan itu harus
dilakukan dengan itikad baik kedua belah pihak agar hak dan kewajiban masing-masing dapat
terpenuhi.

E. KEABSAHAN TRANSAKSI E-COMMERCE DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN DI


INDONESIA

Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan,
SE., M.M., M.H, tahun 2019

Sekalipun kontrak elektronik merupakan suatu fenomena baru,


tetapi semua negara menerapkan pengaturan hukum
kontrak/perjanjian yang telah ada dengan menerapkan asas-asas
universal tentang pembuatan suatu perjanjian seperti asas
konsensual, asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik dan
syarat sahnya perjanjian. Kontrak Elektronik termasuk dalam
kategori kontrak tidak bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang
tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi terdapat dalam masyarakat
akan tetapi lahirnya perjanjian tersebut tetap berdasarkan pada
kesepakatan atau party otonomi dan berlaku Pasal 1338 KUHPerdata tentang sahnya suatu
perjanjian. Demikian juga tentang syarat sahnya perjanjian elektronik tetap berlaku Pasal 1320
KUHPerdata mencerminkan asas konsensualisme.
Kontrak Elektronik kesepakatan merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini disebabkan
karena para pihak tidak bertemu secara langsung sehingga diperlukan suatu pengaturan
tentang kapan kesepakatan tersebut terjadi. Untuk menentukan adanya kesepakatan dalam
e-commerce digunakan teori kehendak. Teori kehendak ini yang mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan. Perjanjian atau kontrak
melalui Elektronik juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik antara lain di dalam bab penjelasan yang memberi definisi
kontrak Elektronis yaitu perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem Elektronis.
Selanjutnya Pasal 18 menyatakan bahwa transaksi elektronisk yang dituang-kan ke dalam
kontrak Elektronik mengikat para pihak. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut maka kedudukan kontrak Elektronik
menjadi semakin jelas yaitu sama dengan kontrak biasa.
Perjanjian yang dinyatakan sah adalah suatu perjanjian yang memenuhi empat syarat yang
terdapat dalam Pasal 1320 KUH-Perdata, yaitu:

1. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Suatu kesepakatan selalui diawali dengan adanya suatu penawaran oleh suatu pihak dan
dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran
tersebut tidak ditanggapi atau direspon oleh pihak lain maka dengan demikian tidak akan ada
kesepakatan. Karena itu diperlukan dua pihak untuk melahirkan suatu kesepakatan.
Pada perjanjian jual beli secara langsung, kesepakatan dapat dengan mudah diketahui. Sebab
kesepakatan dapat langsung diberikan secara lisan maupun tulisan. Tetapi, dalam perjanjian
e-commerce kesepakatan tersebut tidak diberikan secara langsung melainkan melalui media
elektronik dalam hal ini adalah internet. Dalam transaksi e-commerce, pihak yang
memberikan penawaran adalah pihak penjual yang dalam hal ini menawarkan barang-barang
dagangannya melalui website yang dirancang agar menarik untuk disinggahi. Semua pihak
pengguna internet (netter) dapat dengan bebas masuk untuk melihat toko virtual tersebut
atau untuk membeli barang yang mereka butuhkan atau minati. Jika memang pembeli tertarik
untuk membeli suatu barang maka ia hanya perlu mengklik baramg yang sesuai dengan
keinginannya. Biasanya setelah pesanan tersebut sampai di tempat penjual, maka penjual
akan mengirim e-mail atau melalui telepon untuk mengonfirmasi pesanan tersebut kepada
konsumen.

2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Pada dasarnya, semua orang adalah cakap untuk membuat kesepakatan, kecuali jika ia oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Yang tidak cakap menurut undang-undang adalah
mereka yang belum dewasa (genap berusia 21 tahun atau mereka yang belum berusia 21
tahun tetapi telah menikah) dan mereka yang dibawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap,
lemah akal dan pemboros). Dalam transaksi e-commerce, sangat sulit menentukan
seseorang yang melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan,
karena proses penawaran dan penerimaan tidak secara langsung dilakukan tetapi hanya
melalui media virtual yang rawan penipuan. Jika ternyata yang melakukan transaksi adalah
orang yang tidak cakap, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut agar perjanjian
dibatalkan.

3. Sesuatu hal tertentu

Hal tertentu menurut undang-undang adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan
jenisnya. Undang-undang tidak mengharuskan barang tersebut sudah ada atau belum di
tangan debitur pada saat perjanjian dibuat dan jumlahnya juga tidak perlu disebutkan asal
saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Ada barang tertentu yang tidak boleh
diperjual-belikan dalam transaksi e-commerce, seperti misalnya memperjualbelikan hewan.
Kemudian ada kendala juga dalam melakukan jual beli melalui e-commerce. Ada barang-
barang yang tidak dapat dijual beli melalui kesepakatan online, seperti jual beli tanah yang
mensyaratkan jual beli tanah harus dituangkan dalam akta yaitu akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah.

4. Sesuatu Sebab yang Halal

Sebab yang halal adalah isi dari perjanjian dan bukan sebab para pihak mengadakan
perjanjian. Isi perjanjian tersebut haruslah sesuai atau tidak dilarang hukum/undang-undang
dan tidak berlawanan atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Misalnya
dilarang melakukan perjanjian jual beli yang isi perjanjiannya mengenai jual beli Narkoba tanpa
izin yang berwenang.

5. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli

Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai
sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar. Dalam transaksi e-commerce, tidak ada proses tawar menawar seperti pada
transaksi jual beli di pasar secara langsung. Barang dan harga yang ditawarkan terbatas dan
telah ditentukan oleh penjual. Jika pembeli tidak setuju atau tidak sepakat, maka pembeli
bebas untuk tidak meneruskan transaksi. Selanjutnya, pembeli dapat mencari website atau
toko lainnya yang lebih sesuai dengan keinginannya. Kesepakatan dihasilkan dalam transaksi
e-commerce jika pembeli menyepakati barang dan harga yang ditawarkan oleh penjual
(merchant).
Selanjutnya, dalam hal tidak dipenuhinya unsur pertama dan unsur kedua, maka kontrak
tersebut dapat dibatalkan. Adapun apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga dan unsur
keempat, maka kontrak tersebut batal demi hukum. Mengenai barang-barang yang dapat
dijadikan objek dari suatu persetujuan, maka Pasal 1332 KUHPerdata menyatakan keharusan,
bahwa barang tersebut harus diperdagangkan dan Pasal 1333 KUH-Perdata yang
menyatakan bahwa barang tersebut dapat ditentukan jenisnya ataupun dihitung.

F. KEABSAHAN TRANSAKSI JUAL BELI E-COMMERCE DITINJAU DARI SYARAT


SUBJEKTIF PASAL 1320

Transaksi jual beli e-commerce merupakan dampak dari perkembangan teknologi yang
memberikan implikasi pada berbagai sektor. Implikasi tersebut salah satunya berdampak
pada sektor hukum. Walaupun pengaturan mengenai masalah e-commerce di Indonesia
berpijak pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
namun untuk keabsahannya juga tetap bersandar pada aturan dalam Buku III KUHPerdata
khususnya pengaturan mengenai masalah syarat sahnya perjanjian yang terjadi dalam e-
commerce. Namun demikian, dalam penelitian ini terungkap bahwa di dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ada beberapa ketentuan yang
juga mengatur mengenai keabsahan suatu kontrak e-commerce. Ketentuan yang mengatur
keabsahan kontrak e-commerce tersebut merupakan ketentuan yang bersifat khusus dari
pada Pasal 1320 KUHPerdata sebagai ketentuan umumnya. Sementara itu, di sini dapat
diartikan bahwa secara umum untuk mengukur keabsahan suatu kontrak jual beli e-
commerce harus berpijak pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 1320 KUHPerdata telah diatur syarat sahnya perjanjian di mana secara umum terdapat
2 syarat utama sebagai elemen atau unsur pembentukan kontrak yaitu syarat subjektif
(kesepakatan dan kecakapan para pihak) serta syarat objektif (hal tertentu dan sebab yang
halal). Apabila syarat subjektif ini tidak terpenuhi, maka sebagai konsekuensi hukumnya
adalah kontrak jual beli e-commerce tersebut terancam dapat dibatalkan (viernietigbaar).
Melalui syarat sahnya kontrak dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang diterapkan dan
diintegrasikan ke dalam transaksi jual beli e-commerce akan dapat diukur sejauh mana
validitas dari transaksi jual beli e-commerce. Dalam sub bab ini, penulis akan menguraikan
mengenai syarat sahnya kontrak dalam hal syarat subjektif yaitu syarat sepakat dan
kecakapan para pihak.
Pertama, syarat sepakat para pihak. Pasal 1320 ke 1 KUHPerdata mensyaratkan adanya
kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup
suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu sesuai dengan pernyataan pihak lain.
Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan
tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.
Syarat kesepakatan yang merupakan cerminan dari asas konsensualisme, di mana dengan
adanya kata sepakat telah lahir kontrak, ternyata dalam lalu lintas hukum yang demikian
kompleks juga menimbulkan problem pelik mengenai pertanyaaan kapan kontrak tersebut
lahir. Penentuan saat lahirnya kontrak menjadi kendala, terutama apabila penawaran dan
penerimaan dilakukan melalui korespondensi atau surat menyurat. Mengenai problematika
demikian ini, dalam bab sebelumnya penulis telah menguraikan bahwa terdapat 4 (empat)
teori yang mencoba memberikan solusi penyelesaiannya yaitu: teori pernyataan, teori
pengiriman, teori pengetahuan, dan teori penerimaan.
KUHPerdata terdapat 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak
berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu: (a) kesesatan atau dwaling (Pasal 1322
KUHPerdata); (b) paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327); (c) penipuan atau bedrog (Pasal
1328 KUHPer-data).
Selain berdasarkan ketentuan Pasal 1320 ke 1 KUHPerdata, syarat sepakat pada kontrak jual
beli e-commerce juga ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur mengenai syarat
kesepakatan dalam kontrak jual beli e-commerce, diantaranya:
Pertama, Pasal 6 di mana berdasarkan ketentuan ini unsur kesepakatan yang dimaksudkan
dalam kontrak jual beli e-commerce adalah apabila dalam proses penawaran, penjual atau
merchant telah menampilkan produk barang dan/atau jasanya secara online untuk dapat
menarik pembeli atau konsumen dengan memenuhi unsur-unsur sebagaimana disebutkan
dalam pasal ini yaitu terhadap produk yang ditawarkan tersebut harus: dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan
suatu keadaan.
Kedua, Pasal 8 di mana berdasarkan ketentuan ini, maka unsur kesepakatan yang
dimaksudkan dalam kontrak jual beli e-commerce adalah berkenaan dengan waktu
pengiriman pesan persetujuan pihak pembeli atau konsumen kepada pihak penjual atau
merchant adalah apabila pembeli telah memenuhi prosedur pengiriman yang telah ditetapkan
oleh pihak penjual atau merchant. Prosedur pengiriman dimaksud adalah pihak pembeli harus
mengisi form berupa biodata pembeli secara lengkap, jujur, dan jelas kemudian mengirimkan
pesan tersebut kepada penjual melalui alamat yang telah ditunjuk oleh penjual atau merchant.
Hal ini, bila dikaitkan dengan uraikan penulis dalam sub bab 3 dalam bab sebelumnya, bahwa
proses sedemikian ini menandakan bahwa kontrak jual beli e-commerce antara pembeli
dengan penjual atau merchant telah terjadi karena telah terjadi pula kesepakatan antara
kedua pihak.
Ketiga, Pasal 10 di mana berdasarkan ketentuan ini, unsur kesepakatan dalam kontrak jual beli
e-commerce akan terpenuhi apabila integritas dari pada pelaku usaha yaitu penjual atau
merchant telah terjamin. Untuk mengukur integritas dari setiap penjual atau merchant
menurut ketentuan ini, dibentuklah suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan. Menurut Penjelasan
Pasal 10 ayat (1) Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang
melakukan perdagangan secara elektronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit
dari badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi Keandalan ditunjukkan dengan
adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha tersebut.
Akan tetapi, ketentuan ini sesungguhnya juga tidak terlalu tegas dalam mengharuskan setiap
penjual atau merchant untuk melakukan sertifikasi. Hal itu karena apabila dicermati dalam
Pasal 10 ayat (1) terdapat kata “dapat”. Kata dapat merupakan kata yang bermakna fakultatif,
tidak imperatif. Artinya, setiap penjual atau merchant tidak wajib untuk disertifikasi dan tetap
bebas untuk menjalankan kegiatan usahanya walaupun tanpa harus disertifikasi oleh
Lembaga Sertifikasi Keandalan. Untuk disertifikasi memerlukan itikad baik dan keinginan
sendiri dari setiap penjual atau merchant. Tidak diwajibkannya sertifikasi ini bagi penjual atau
merchant, maka menurut hemat penulis, menunjukkan ketidaktegasan pembentuk undang-
undang terutama dalam rangka perlindungan bagi pembeli atau konsumen. Penjual atau
merchant yang tidak melakukan sertifikasi dapat berpotensi menimbulkan informasi yang
sesat bagi pembeli atau konsumen. Di sisi lain, apabila pembeli atau konsumen tersebut
percaya dengan produk yang ditawarkan oleh penjual dan melakukan proses pembayaran,
akan tetapi di kemudian hari barang yang dipesan tersebut tidak pernah dikirim oleh penjual
atau merchant, maka terhadap kontrak dengan pelaku usaha demikian dapat dimintakan
pembatalan karena adanya unsur penipuan atau bedrog sebagaimana dirumuskan Pasal 1321
jo Pasal 1328 KUHPerdata.
Pasal 11 dan 12 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk keabsahan suatu kontrak jual beli e-
commerce terutama untuk memenuhi unsur kesepakatan, maka kontrak tersebut haruslah
ditanda-tangani. Namun, tanda tangan di sini tentunya berbeda dengan tanda tangan pada
kontrak jual beli konvensional. Tanda tangan dalam kontrak jual beli e-commerce dilakukan
dengan metode elektronik.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas merupakan elemen yang harus dipenuhi di dalam suatu
kontrak jual beli e-commerce agar memenuhi unsur kesepakatan. Terkait dengan uraian di
atas, maka dapat dilihat bahwa untuk mengukur keabsahan suatu kontrak jual beli melalui e-
commerce tidak hanya mengacu pada ketentuan dalam KUHPerdata saja, akan tetapi
mengenai syarat sepakat ini juga telah diatur di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hanya saja, beberapa ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
penulis uraikan sebelumnya belum cukup mampu mengakomodir secara tegas untuk
memenuhi unsur kesepakatan yang memberikan perlindungan kepada pembeli selaku
konsumen.
Memperhatikan uraian di atas, maka pemenuhan syarat kesepakatan para pihak dalam
membuat kontrak jual beli dalam e-commerce dapat dipenuhi apabila memenuhi ketentuan di
dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, sehingga apabila kontrak tersebut telah memenuhi kedua aturan
tersebut, maka dari sudut pandang kesepakatan dianggap sah dan mengikat para pihaknya.
Di dalam unsur kesepakatan kontrak jual beli e-commerce, maka ada 2 (dua) hal yang
menurut penulis menarik untuk diperhatikan, yaitu mengenai itikad baik para pihak dan juga
mengenai kesepakatan yang ditandai dengan tanda tangan elektronik.
Kedua, itikad baik para pihak menuju kesepakatan. Dalam ketentuan Pasal 5 huruf b dan Pasal
7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan
bahwa baik itu konsumen maupun pelaku usaha harus beritikad baik di dalam melaksanakan
transaksi atau kegiatan usahanya. Ketentuan ini senada dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2)
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tran-saksi Elektronik di mana
ditentukan bahwa para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beritikad baik dalam
melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
selama transaksi berlangsung.
Memperhatikan kedua peraturan perundangan di atas, maka kaitannya dengan pemenuhan
unsur sepakat dalam transaksi jual beli e-commerce adalah adanya itikad baik dari para pihak.
Itikad baik ini tidak hanya dari penjual semata, akan tetapi juga dari konsumen pembeli.
Ketiga, kesepakatan dengan menggunakan tanda tangan elektronik. Dalam transaksi jual beli
e-commerce tidak jarang untuk menyatakan bahwa kontrak itu sama-sama telah disepakati
oleh para pihak, maka harus memerlukan tanda tangan. Akan tetapi, tanda tangan di sini tidak
bisa disamakan dengan tanda tangan sebagaimana kontrak jual beli konvensional. Hal itu
karena di dalam kontrak jual beli konvensional kesepakatan para pihak dapat dituangkan ke
dalam kertas dan para pihak dapat saling berhadapan. Namun, dalam transaksi jual beli e-
commerce hal ini tidak akan terjadi. Para pihak hanya menuangkan kesepakatan di dalam
kontrak yang dibuat melalui e-mail.
Instrumen tanda tangan yang digunakan adalah tanda tangan elektronik. Berdasarkan
ketentuan Pasal 18 jo. Pasal 7 jo Pasal 11 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, maka kekuatan pembuktian dokumen elektronik tersebut
yang ditandatangani dengan digital signature sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang. Tanda tangan elektronik ini untuk menjamin
kepastiannya harus dilaksanakan dengan teknik kriptografi.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mencapai unsur sepakat dalam transaksi jual beli e-
commerce para pihak dapat melakukan penandatanganan kontrak elektronik melalui tanda
tangan yang dilakukan secara elektronik di mana tanda tangan elektronik ini memiliki
kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik sebagaimana dirumuskan dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keempat, syarat kecakapan para pihak. Pasal 1320 ke 2 KUHPerdata menyaratkan adanya
syarat kecakapan para pihak untuk melakukan suatu perbuatan hukum di mana dalam hal ini
adalah kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri
sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada
umumnya diukur dari standar berupa: person (pribadi) diukur dari usia kedewasaan
(meerderjarig) dan rechtspersoon (badan hukum) diukur dari aspek kewenangan
(bevoegheid).
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dari
standar usia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid-meerderjarig). Namun demikian, masih
terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampaknya
mewarnai praktik lalu lintas hukum di masyarakat terkait dengan objek atau perbuatan hukum
apa yang dimaksudkan dewasa. Pada satu sisi, sebagian masyarakat masih menggunakan
standar usia 21 (dua puluh satu) tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan
landasan Pasal 1330 jo Pasal 330 KUHPerdata.
Terkait dengan buku ini, dimana perbuatan hukum yang dimaksudkan adalah transaksi jual
beli e-commerce, maka mengenai syarat kecakapan ini tidak diatur di dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik seperti halnya pada syarat
sepakat. Oleh karenanya, untuk mengukur syarat kecakapan para pihak dalam kontrak jual
beli e-commerce sepenuhnya berdasarkan pada ketentuan atau sistematika di dalam
KUHPerdata.
Memang karena objek yang diatur adalah berupa kontrak jual beli, maka usia dewasa para
pihak sehingga dapat dikatakan cakap adalah tunduk pada sistematika KUHPerdata yaitu
berumur 21 tahun. Tapi, dalam kontrak jual beli e-commerce mensyaratkan syarat tertentu
bagi pihak yang akan mengadakan kesepakatan, di mana hal tersebut bergantung pada situs
penyedia layanan e-commerce (webstore atau toko maya). Berdasarkan hasil penelitian
penulis, ada beberapa penjual atau webstore yang dalam transaksinya yang tidak perlu
mencantumkan umur konsumen pembeli karena dapat dimengerti bahwa nominal transaksi
juga tidak begitu besar dan objek yang ditawarkan juga masih dapat dipertanggungjawabkan.
Hal itu dapat dilihat pada transaksi jual beli buku, misalnya dapat dilihat pada
http://www.palasarionline.com dimana web-store tidak membatasi calon konsumen pembeli
dari umur berapapun. Tapi, sebagian besar dari pengamatan penulis juga ditemukan suatu
syarat bagi konsumen pembeli untuk melakukan transaksi haruslah telah berumur minimal 18
tahun.
Syarat ini dapat ditemukan pada saat konsumen pembeli mengisi form pendaftaran yang
berisi mengenai data diri dari konsumen pembeli, di mana terdapat suatu kolom yang berisi
mengenai tanggal lahir, serta adanya suatu box yang harus di check (√) yang menyatakan
bahwa konsumen pembeli telah berusia 18 tahun. Sehingga, kecakapan konsumen pembeli
dapat terlihat pada saat ia melakukan pengisian form. Sebagai contoh dapat ditemukan
dalam salah satu bagian Your User Aggremente Bay dalam http://www.ebay.com di mana
disebutkan “use the Sites if you are not able to form legally binding contracts, are under the
age of 18, or are temporarily or indefinitely suspended from our Sites”.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat diartikan bahwa seseorang yang berusia di bawah 18
tahun, hanya boleh menggunakan eBay.com dengan keterlibatan orang tua atau wali. Hal ini
menunjukan bahwa untuk dapat bertransaksi dengan layanan Amazon maka seseorang
haruslah berusia 18 tahun ke atas, jika berusia di bawah 18 tahun haruslah diwakilkan kepada
orang tua atau walinya. Hal tersebut memang berbeda dengan apa yang diharapkan atau
diatur dalam KUHPerdata yang mensyaratkan seo-rang pembeli atau konsumen seyogyanya
telah genap berusia 21 tahun. Akan tetapi, walaupun syarat kecakapan ini sulit untuk dipenuhi
terutama dari sisi pembeli atau konsumen, pada kenyataannya kontrak jual beli e-commerce
tetap dapat terjadi atau berlaku meskipun sebagai konsekuensinya terhadap pemenuhan
syarat ini akan sulit untuk dibuktikan. Pembuktiannya hanya sebatas yaitu dengan kembali
melihat adanya kepercayaan antar para pihak mengenai apa yang dinyatakan dalam proses
transaksi.

G. KEABSAHAN TRANSAKSI JUAL BELI E-COMMERCE DITINJAU DARI SYARAT OBJEKTIF


PASAL 1320

Mengukur keabsahan suatu kontrak atau dalam hal ini kontrak jual beli e-commerce tidak
cukup hanya berdasarkan pada aspek subjektif saja, yaitu pada elemen kesepakatan dan
kecakapan para pihak. Perlu dipenuhi syarat objektif keabsahan perjanjian pada umumnya.
Syarat objektif ini lebih memberikan konsekuensi yuridis di mana apabila syarat ini tidak
terpenuhi, maka kontrak yang dibuat akan batal demi hukum (nietig). Dalam sub bab ini,
penulis akan menguraikan syarat objektif yang harus dipenuhi dalam kontrak jual beli e-
commerce yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sama halnya dengan uraian dalam sub bab
sebelumnya, untuk peme-nuhan unsur objektif kontrak jual beli e-commerce dalam buku ini
akan diungkap bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik juga ada ketentuan yang mengatur mengenai syarat objektif dari pada
kontrak jual beli e-commerce.
1. Syarat suatu hal tertentu.
Adapun yang menjadi syarat suatu hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 ke 3
KUHPerdata adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk
memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak.
Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak
adalah tidak mengikat (batal demi hukum). Lebih lanjut mengenai hal tertentu ini dapat dirujuk
dari substansi Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata.
Memperhatikan rumusan ketentuan tersebut, untuk dapat menyatakan sahnya suatu kontrak
jual beli e-commerce, maka pihak penjual atau merchant harus memenuhi ketentuan
dimaksud. Adapun maksud dari frase “menyediakan informasi yang lengkap dan benar”
oleh Penjelasan Pasal 9 tersebut meliputi:
Pertama, informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya,
baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara; Kedua, informasi lain
yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan
barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/ jasa.
Berdasarkan uraian di atas, maka di dalam kontrak jual beli e-commerce juga ada suatu hal
tertentu yang diperjanjikan yaitu barang atau jasa yang ditransaksikan yang menjadi objek
dalam perjanjian atau kontrak e-commerce tersebut sebagaimana yang disyaratkan dalam
Pasal 1320 ke 3 KUHPerdata jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Syarat suatu sebab yang halal.
Syarat sebab yang halal dalam mengukur validitas suatu kontrak diatur dalam Pasal 1320 ke 4
KUHPerdata. Berdasarkan penelitian penulis, terkait dengan syarat sebab yang halal dalam
kontrak jual beli e-commerce, maka syarat ini tidak ditemukan di dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, apabila
mengintegrasikan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka di dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya
mengatur syarat sepakat dan suatu hal tertentu saja. Dengan demikian, terkait dengan syarat
sebab yang halal dalam sub bab ini sepenuhnya akan mengacu pada ketentuan atau
sistematika dalam KUHPerdata.
Pengertian sebab yang halal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 ke 4
KUHPerdata harus dihubungkan dengan konteks Pasal 1335 dan 1337 KUH-Perdata.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat (batal) apabila kontrak tersebut: tidak mempunyai sebab, sebabnya palsu,
sebabnya bertentangan dengan undang-undang, sebabnya bertentangan dengan kesusilaan,
dan sebabnya bertentangan dengan ketertiban umum.
Terkait dengan pemenuhan syarat sebab yang halal pada kontrak jual beli e-commerce, maka
menjadi suatu bukti bahwa kontrak tersebut tidaklah berbeda dengan kontrak atau perjanjian
pada umumnya. Penafsiran sebab yang halal kiranya tetap mendasarkan pada rumusan Pasal
1335 jo Pasal 1337 KUHPerdata.
Memperhatikan keseluruhan uraian mengenai peme-nuhan syarat subjektif dan objektif dari
transaksi jual beli e-commerce, maka untuk menjamin kepastian hukum di dalam kontrak jual
beli e-commerce ini, seluruh syarat harus dipenuhi (kesepakatan, kecakapan, hal tertentu,
dan sebab atau kausa yang halal). Syarat sahnya kontrak ini bersifat komulatif, artinya seluruh
persyaratan tersebut harus dipenuhi, tidak dipenuhinya salah satu atau lebih syarat dimaksud
akan menyebabkan kontrak tersebut akan diganggu keberadaannya, dibatalkan (viernietig-
baar) karena tidak memenuhi syarat subjektif maupun batal demi hukum (nietig) karena tidak
memenuhi syarat objektif.
Berdasarkan hasil analisa penulis pula, di mana terda-pat 2 (dua) peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai keabsahan transaksi jual beli e-commerce ini, maka
untuk menghindari terjadi konflik antara aturan perundang-undangan yang mengatur tentang
keabsahan transaksi jual beli e-commerce tersebut, perlu ditinjau asas-asas dari berlakunya
suatu peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
Pertama, lex specialisderogat lex generalis, yakni bahwa ketentuan hukum yang lebih khusus
menga-lahkan ketentuan hukum yang bersifat umum;
Kedua, lex superior derogat lex inferiori, yaitu bahwa ketentuan hukum yang lebih tinggi akan
melumpuhkan ketentuan hukum yang lebih rendah; dan
Ketiga, lex posteriori derogat legi priori, yakni bahwa ketentuan hukum yang baru menga-
lahkan ketentuan hukum sebelumnya.
Terkait konteks keabsahan transaksi jual beli e-commerce dalam penelitian ini, akan didapat
bahwa berlakunya asas lex specialis derogat lex generalis di mana sebagai lex genaralis-nya
adalah KUHPerdata, kemudian sebagai lex specialis-nya adalah Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektro-nik. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Infor-masi dan Transaksi Elektronik harus mengatur secara lengkap dan
komprehensif untuk mengakomodir keabsahan transaksi jual beli e-commerce sebagai
pengejawantahan Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan ketentuan umum. Hal ini
diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi transaksi jual beli e-commerce.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik saat ini hanya
mengakomodir 2 (dua) syarat dari 4 (empat) syarat yaitu syarat “kesepakatan para pihak” dan
syarat “suatu hal tertentu”, maka dalam rangka mengukur keabsahan transaksi jual beli e-
commerce tersebut secara lengkap, tetap dapat mengacu kepada ketentuan yang bersifat
umum atau lex generalis yaitu KUHPerdata untuk memenuhi syarat yang belum diakomodir
oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu
pada syarat “kecakapan para pihak” dan syarat “suatu sebab yang halal”.
Hal tersebut menunjukan adanya ketidakpastian hukum dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya yang mengatur mengenai
keabsahan kontrak elektronik atau e-commerce. Kepastian hukum menurut Maria S.W.
Sumardjono memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara
operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan peraturan
perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber
daya manusia pendukungnya. Peraturan perundang-undangan akan memberikan jaminan
kepastian hukum dan mengikat secara umum setelah diundangkan secara resmi.
Sehubungan dengan terdapatnya norma kabur dalam penelitian ini, hal-hal tersebut dapat
menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum. Kedepannya diperlukan undang-
undang yang mampu mengakomodir keempat syarat sahnya transaksi jual beli e-commerce
ini secara konkrit.

H. KEDUDUKAN BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DI PENGADILAN SETELAH


BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK

Oleh : Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H.,M.H. (2014)


http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/Kedudukan-Bukti-Elektronik.pdf

1. Pendahuluan
Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi
menimbulkan banyak kemajuan di segala bidang
kehidupan, termasuk dalam hal kontak seseorang
dengan pihak lainnya. Aktivitas dunia maya melalui
media elektronik merupakan salah satu contoh dari
perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dan
juga luas, mencakup banyak hal dan dalam berbagai bidang. Melalui media elektronik ini
masyarakat memasuki dunia maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan,
tempat dan waktu.
Internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru, saat ini hubungan antara
masyarakat dalam dimensi globa tidak lagi dibatasi oleh batas-batas territorial Negara
(borderless). Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya,
seperti e-mail, chating video, videoteleconference, situs website, facebook, dll, telah
memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas Negara. Fenomena ini
merupakan salah satu bagian dari globalisasi yang melanda dunia.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang demikian pesat dengan segala
fasilitas penunjangnya dalam peradaban manusia modern saat ini, telah membawa Indonesia
memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age). Seiring dengan kemajuan
pola pikir manusia, penggunaan internet semakin berkembang, saat ini internet menjadi salah
satu teknologi yang membahana dalam setiap aktivitas manusia. Semula dunia internet
merupakan pusat media komunikasi dan informasi, namun kini dapat digunakan sebagai
media transaksi, kemudian dikenal dengan apa yang disebut sebagai transaksi perdagangan
yang dilakukan melalui media elektronik (electronic commerce).
Era perdagangan bebas dewasa ini yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang
teknologi dan industri, telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya
kegiatan perdagangan dan perbankan.Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan,
terutama di bidang perdagangan dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi dadasarkan
pada tindakan yang konkrit, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya
secara tidak kontan dan bersifat individual.
Dalam dunia maya, para penegak hukum akan mengalami persoalan ketika terkait dengan
pembuktian dan penegakan hukumnya, karena harus membuktikan suatu persoalan yang
diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Alat buktinya bersifat
elektronik, antara lain dalam bentuk dokumen elektronik, yang sampai saat ini masih dalam
tataran hukum materiil yang di dalamnya terkandung ketentuan hukum formal (hukum acara)
seperti misalnya antara lain dalamUndang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

imeg buk prf efa 2. Hukum Acara Sebagai Hukum Formal


Sebelum membahas beberapa hal tentang hukum acara, terlebih
dahulu akan diuraikan tentang pengertian hukum. Sebagaimana
kita ketahui bahwa tidaklah mudah untuk memberikan definisi
tentang hukum, hampir semua ahli hukum memberikan definisi
tentang hukum secara berlainan. Hal ini disebabkan karena hukum
itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin
orang menyatukannya dalam satu rumusan secara memuaskan.
Namun demikian bukanlah berarti hukum itu tidak dapat
didefinisikan, beberapa ahli hukum memberikan definisinya tentang
pengertian hukum bahwa pada umumnya hukum dapat diartikan
sebagai keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum sebagai
kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum
karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya
dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan, serta menetukan bagaimana
cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa hukum tidak hanya menjelma di
ruangan pengadilan, tetapi selalu menjelma dalam pergaulan hidup dan dalam tindakan-
tindakan manusia. Pergaulan hidup sebagai masyarakat yang teratur adalah penjelmaan
hukum, sesuatu dari hukum yang terlihat dari luar. Pengertian hukum yang memadai tidak
hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi juga harus mencakup lembaga (institutions) dan
proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah diketahui bahwa hukum itu meliputi hukum
materiil dan hukum formal. Hukum materiil terwujud dalambentuk undang-undang dan hukum
tidak tertulis yang merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang
selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat, yang pada hakekatnya bertujuan
untuk melindungi kepentingan manusia. Akan tetapi hukum bukanlah semata-mata sebagai
pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan harus dilaksanakan atau ditaati.
Untuk melaksanakan atau mempertahankan hukum materiil dalam hal adanya tuntutan hak,
diperlukan rangkaian peraturan hukum lain di samping hukum materiil itu sendiri. Peraturan
hukum inilah yang disebut dengan hukum formal atau hukum acara. Hukum acara sebagai
hukum formal diperuntukkan untuk menjamin ditaatinya hukum materiil. Ketentuan acara
pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban seperti halnya hukum materiil, tetapi
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum materiil.
Hukum acara sebagai hukum formal bersifat mengikat atau memaksa (rigid) bagi orang yang
menggunakannya, jadi tidak dapat disimpangi. Berkenaan dengan sifat mengikat/memaksa
dari hukum acara, Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa hukum acara sekarang ini telah
dilupakan orang sebagai hukum formil yang bersifat imperatif, yaitu bersifat memaksa, tidak
dapat disimpangi dan hakim harus tunduk.9 Hukum acara sebagai aturan permainan
(spelregels) untuk melaksanakan hukum materiil, harus bersifat formil, resmi, strict, fixed,
correct, pasti, dan bersifat imperatif (mengikat/memaksa), sehingga tidak boleh disimpangi.
Namun kenyataannya, dalam praktik seringkali terjadi para pengacara/advokat melakukan
penemuan hukum yang keliru dengan cara mengadopsi hukum acara asing (negara lain)
dalam berperkara ke pengadilan, misalnya dengan maraknya tuntutan perdata yang dikenal
dengan actio popularis atau citizen law suit.
Lebih lanjut Sudikno mengatakan, dalam praktik sering terjadi para pengacara/advokat yang
adalah seorang sarjana hukum, mengetahui hukumdan menggunakan hukum tersebut,
mencoba untuk ke luar atau menyimpangi hukum (misalnya mengajukan tuntutan actio
popularis) dengan dalih untuk melakukan penemuan hukum, tapi metodenya tidak benar
(melanggar metode penemuan hukum). Penemuan hukum dalam acara perdata boleh
dilakukan,
tetapi jangan sampai melanggar atau mengesampingkan teori-teori penemuan hukum yang
benar. Penemuan hukum tidak dapat asal saja dilakukan, melainkan ada metode atau aturan
permainannnya yang tetap harus diikuti (ta’at asas).

3. Alat Bukti dan Bukti Elektronik


Menurut Paton, alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang
bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang di persidangan: kesaksian
tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Surat termasuk alat bukti
yang bersifat dokumenter, sedangkan bukti yang bersifat material adalah barang fisik lainnya
selain dokumen.
Dalam sistem pembuktian di Indonesia (system pembuktian perdata berdasarkan HIR), hakim
terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil
keputusan (menjatuhkan putusan) berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-
undang saja. Alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang, diatur
dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg dan 1866 BW, sedangkan alat bukti dalam acara pidana
termuat pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Pasal 164 HIR/284 RBg mengatur secara limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata,
yaitu: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan
dan sumpah. Di luar itu, terdapat alatalat bukti yang dapat dipergunakan untuk memperoleh
kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan
setempat (descente) yang diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg. Dan kebterangan ahli/saksi
ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg. Demikian pula Pasal 184 KUHAP
menentukan bahwa alat bukti dalam acara pidana adalah: keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunuikasi, maka dalam
perkembangannya sekarang dikenal adanya bukti-bukti elektronik seperti misalnya informasi
elektronik, data/dokumen elektronik, pemeriksaan saksi dengan menggunakan
teleconference, mikro film yang berisi rekaman dokumen perusahaan di samping bukti-bukti
lain seperti misalnya rekaman radio kaset, VCD/DVD, foto, faximili, hasil rekaman CCTV,
bahkan sms/mms.
Foto (potret) dan hasil rekaman suara atau gambar (dalam perkembangannya termasuk hasil
rekaman cctv), berdasarkan literatur tidak dapat dijadikan alat bukti karena dapat saja
merupakan hasil rekayasa sehingga tidak dapat membuktikan apa yang sebenarnya terjadi,
namun dalam perkembangannya dewasa ini, dengan kemajuan teknologi di bidang informasi
dan telekomunikasi, asli atau tidaknya suatu foto dan hasil rekaman suara atau gambar dapat
diketahui dengan mengunakan tehnik tertentu.
Hasil print-out dari mesin faximili (dikenal dengan fax), banyak digunakan dalam hubungan
surat menyurat jarak jauh dalam waktu yang singkat, demikian pula dengan microfilm atau
microfische yang digunakan untuk menyimpan data, apakah dapat dianggap sebagai alat
bukti tertulis. Kalau dianalogkan dengan pertimbangan putusan Mahkamah Agung 14 April
tahun 1976 (yurisprudensi) di atas, maka fax, dan microfilm atau microfische dapat dianggap
sebagai alat bukti tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pembuktian surat sebagai
alat bukti tertulis terletak pada aslinya, oleh karena itu baik fax maupun microfilm atau
microfische harus sesuai dengan aslinya. Kalau aslinya hilang maka harus disertai dengan
keterangan atau dengan jalan apapun secara sah menyatakan bahwa fax atau microfilm
tersebut sesuai dengan aslinya.
Mahkamah Agung RI dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman tanggal 14 Januari 1988
No.39/TU/88/102/Pid, mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm atau microfiche dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan
alat bukti surat, dengan catatan microfilm itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat
ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Terhadap perkara perdata berlaku pula
pendapat yang sama.
Jika pendapat MARI itu sudah dapat diterima, maka sesuai dengan pendapat Paton
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, alat bukti dapat bersifat: oral yaitu merupakan
kata-kata yang diucapkan di muka persidangan seperti keterangan saksi, documentary yaitu
berupa surat, dan demonstrative evidence yaitu alat bukti yang berupa material dan barang
fisik lainnya seperti misalnya foto, film, CD dan lain sebagainya.
Secara yuridis formal, hukum pembuktian di Indonesia (dalam hal ini hukum acara sebagai
hukum formal) baik HIR/KUHPerdata maupun KUHAPidana belum mengakomodasi dokumen
elektronik sebagai alat bukti, sementara beberapa undang-undang yang baru telah mengatur
dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, yaitu antara lain dalam: Undang-
Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, Undang Undang Nomor 36 Tahun
1999 Tentang Telekomunikasi, Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta, Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun demikian, meskipun telah ada Undang-undang Dokumen Perusahaan dan UU-ITE
serta beberapa peraturan lainya, tidaklah dapat dikatakan bahwa hukum acara Indonesia (baik
perdata maupun pidana) telah mengatur mengenai alat bukti elektronik dalam pembuktian
perdata. Karena pengaturan alat bukti elektronik yang telah dilakukan ini berada dalam
lapangan hukum materiil (yang juga di dalamnya menyisipkan hukum acara) bukan lapangan
hukum formal secara tersendiri.
Mengingat sifat dari hukum acara itu mengikat bagi pihak-pihak yang menggunakannya,
termasuk bagi hakim (karena menurut sistem hukum acara di Indonesia pembuktian itu baru
sah bila didasarkan pada bukti-bukti yang sudah diatur dalam undang-undang/hukum acara),
maka pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum formal (hukum acara), baik hukum acara
perdata maupun hukum acara pidana, masih diperlukan demi tercapainya kepastian hukum.

4. Kedudukan Bukti Elektronik Setelah UU ITE


Mengenai bukti elektronik, sebenarnya di Indonesia telah ada beberapa tindakan yang
mengarah pada penggunaan dan pengakuan terhadap dokumen elektronik sebagai alat bukti
yang sah, misalnya dengan dikenalnya online trading dalam bursa efek dan pengaturan
microfilm serta sarana elektronik sebagai media penyimpan dokumen perusahaan yang diatur
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
Undang-undang Dokumen Perusahaan dapat dikatakan merupakan awal mula pengaturan
terhadap pembuktian elektronik, karena telah memberi kemungkinan kepada dokumen
perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik, untuk diamankan
melalui penyimpanan dalam bentuk microfilm. Selanjutnya terhadap dokumen yang disimpan
dalam bentuk elektronik (paperless) tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah
seandainya kelak terjadi sengketa ke Pengadilan. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa
munculnya Undang Undang Dokumen Perusahaan merupakan titik awal diakuinya bukti
elektronik berupa dokumen elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke Pengadilan.
Kemudian dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
(sekalipun bukan dalam lingkup penyelesaian sengketa perdata), yang juga menyisipkan
aturan tentang hukum acaranya, menentukan dalam Pasal 36 ayat (1) mengenai alat-alat
bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan Mahkamah Konstitusi, adalah:
– surat / tulisan
– keterangan saksi
– keterangan ahli
– keterangan para pihak
– petunjuk
– alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Dalam Undang Undang No. 30 Tahun 1999 yentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, telah mengakui informasi elektronik sebagai dokumen pemberitahuan melalui Pasal
8 ayat (1) yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus
memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail, atau buku
ekspedisi, kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau
termohon berlaku”.
Secara lebih tegas mengenai pengaturan terhadap bukti elektronik ini juga telah diatur melalui
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
yang secara khusus mengatur tentang bukti elektronik. Dalam Pasal 5 UU ITE, dikatakan
secara tegas bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah. Lebih lengkapnya dalam
Pasal 5 Undang Undang ITE dikatakan bahwa:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum
Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; (yaitu meliputi
tetapi tidak terbatas pada surat berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan
hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara); dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa secara umum bentuk dari
alat bukti elektronik itu adalah berupa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik,
disamping ada pemeriksaan saksi dengan menggunakan teleconferences.
Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang Undang ITE, yang dimaksud Informasi Eelektronik adalah:
”Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara
atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol
atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.”
Batasan mengenai Dokumen Elektronik, sebagaimana diatur pada ayat (14) pasal tersebut di
atas adalah:
”Setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya; yang dapat dilihat,
ditampilkan dan/atau idengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat difahami
oleh orang yang mampu memahaminya.”
Sesunguhnya keberadaan undang-undang ITE ini sangat diperlukan untuk memberikan
koridor hukum yang jelas dan terarah serta menyikapi pentingnya keberadaan undang-
undang yang berkaitan dengan dunia maya (cyberspace), khususnya yang mencakup
pengaturan transaksi elektronik. Dengan adanya Undang Undang ITE, maka bukti elektronik
diakui secara sah sebagai alat bukti yang dapat diajukan di Pengadilan.
Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dapat digunakan di
Pengadilan yang diatur dalam Undang Undang ITE, belumlah cukup memenuhi kepentingan
praktik peradilan, karena baru merupakan pengaturan dalam tataran hukum materiil.
Mengingat praktek peradilan didasarkan pada hukum acara sebagai hukum formal yang
bersifat mengikat, maka pengaturan bukti elektronik (sebagai alat bukti yang sah untuk
diajukan ke pengadilan) dalam bentuk hukum formal/hukum acara sangat diperlukan guna
tercapainya kepastian hukum.
Baik Hukum Acara Perdata maupun hukum Acara Pidana sebagai hukum formal yang
merupakan tata cara atau aturan main untuk berperkara ke Pengadilan yang bersifat
memaksa dan mengikat bagi Hakim maupun para pihak yang berperkara, haruslah secara
tegas mengatur dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan.
Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata sudah mengakomodasi mengenai bukti
elektronik dengan merumuskan pengaturan mengenai alat bukti secara terbuka (sistem
pembuktian terbuka), yang mengatur bahwa: “pembuktian dapat dilakukan dengan semua
alat bukti, kecuali undang-undang
menentukan lain”.
Meskipun bukti elektronik belum diatur secara tegas dalam Hukum Acara Perdata maupun
Hukum Acara Pidana, namun berdasarkan asas peradilan bahwa hakim tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sekalipun dengan dalih
hukumnya tidak jelas atau tidak ada, dan asas bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hukum
yang tumbuk dan berkembang dfalam masyarakat, maka Undang Undang ITE yang telah
mengatur bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, dapat digunakan sebagai dasar untuk
mejadikan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersodangan.

5. Kesimpulan
Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan
dan diakui sah sebagai alat bukti, sudah dilakukan sejak tahun 1977 melalui Undang Undang
Dokumen Perusahaan yang menentukan bahwa mikrofilm yang berisi rekaman dokumen
suatu perusahaan dapat diajukan sebagai alat bukti di Pengadilan bila kelak timbul gugatan.
Pengakuan terhadap bukti elektronik ini semakin dipertegas dengan diundangkannya Undang
Undang ITE yang mengatur bukti elektronik secara tegas dan mengakuinya sebagai alat bukti
yang sah diajukan ke Pengadilan. Dengan demikian saat ini bukti elektronik diakui sebagai alat
bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Namun demikian, pengaturan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di dalam Undang
Undang ITE ini merupakan pengaturan dalam bentuk hukum materiil yang di dalamnya juga
mengatur hukum acara/hukum formal. Demi kepastian hukum dalam penegakan hukum oleh
hakim, perlu dilakukan pengaturan bukti elektronik sebagai alat bukti dalam Hukum Acara
baik
perdata maupun pidana.

6. Saran
Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata yang sudah lama dirumuskan, dan di
dalamnya memuat pengaturan yang dapat mengakomodasi penggunaan bukti elektronik
sebagai alat bukti yang sah, agar segera diundangkan demi tercapainya kepastian hukum.

Daftar Pustaka
Apeldoorn L.J., Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de Studie ven het Nederlandse Recht),
cetakan ke VI, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Noor Komala, Jakarta, 1960.
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa dan Peaktisi,
Mandar Maju, Bandung, 2005
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
Bandung, 1976
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1996.
⸻-Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam, Liberty,
Yogyakarta, 1996
⸻-Sudikno Mertokusumo, Actio Popularis, sudikno.blogspot.com, 7 Maret 2008.

Makalah disampaikan pada Seminar Terbatas kerjasama Badan Litbang Diklat Kumdil
Mahkamah Agung RI dengan Perguruan Tinggi dengan Thema: “Validitas Alat Bukti Transaksi
Elektronik Perbankan Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya UU No. 11 Tahun
2008”, 25 November 2009, Grand Pasundan Hotel, Bandung 2 Dosen Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung

TUGAS DAN EVALUASI MATERI


1. Print seluruh materi kuliah Hukum Perdagangan Elektronik ini… !!!
2. Jawab pertanyaan dibawah ini ‘
a. Bagaimana Transaksi E-Commerce (Perdagangan Elektronik) Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Perjanjian ?
b. Bagaimana Keabsahan Transaksi E-Commerce (Perdagangan Elektronik) Ditinjau Dari
Hukum Perjanjian Di Indonesia ?
Jawaban No.2 dikirim ke blog saya di kolom TINGGALKAN BALASAN paling lambat jam 14.00
Wib.

I. PENGATURAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-


COMMERCE) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan, SE,
MM, MH, tahun 2019

image UU ITE

imeg UU ITE-2 images UU YE 1

images siber

Perkembangan teknologi informasi di Indonesia sangat pesat terbukti dengan data statistik
yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII). Pengguna internet
mencapai 50 juta orang. Dengan sendirinya pengguna transaksi elektronik (e-commerce)
juga meningkat. Melalui transaksi elektronik yang lintas batas, Indonesia tidak bisa lagi
menganggap masalah privasi atas informasi pribadi dengan sebelah mata karena sudah
menjadi masalah internasional. Indonesia harus dapat menyesuaikan dengan cara melakukan
harmonisasi hukum yang khususnya yang berkaitan dengan pengaturan privasi atas informasi
pribadi disamping itu dengan lahirnya konsep e-government dan transaksi elektronik maka
akan mendorong pemerintah untuk melindungi privasi khususnya atas data atau informasi
pribadi masyarakat.

Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Internet yang mengatur tentang Transaksi Elektronik
yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut:

1. Pasal 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang mengatur bahwa “Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat
hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia”.
2. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahw ”Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”.
3. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Tran-
saksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.Ketentuan
mengenai pemben-tukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
4. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa ”Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik mengikat para pihak. Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum
yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak
melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hu-kum yang berlaku
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Para pihak memiliki kewenangan
untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penye-lesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Tran-
saksi Elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan
forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) penetapan kewenang-an pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang
menanga-ni sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas
Hukum Perdata Inter-nasional.”
5. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa”Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi
Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan
disetujui Pene-rima. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektro-nik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dila-kukan dengan pernyataan penerimaan secara
elektronik”.
6. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatu bahwa “Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi
Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik sebagaimana di-maksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: jika dilakukan
sendiri, segala akibat hukum dalam pelak-sanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab para pihak yang bertransaksi; jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat
hukum dalam pelak-sanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa;
atau jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penye-lenggara Agen Elektronik. Jika
kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal bero-perasinya Agen Elektronik yang
diakibatkan oleh tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik,
segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. Jika
kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal berope-rasinya Agen Elektronik akibat
kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna jasa layanan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan me-maksa, kesalahan, dan/atau kelalaian
pihak pengguna Sistem Elektronik.
7. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa bahwa “Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus
menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang diope-rasikannya yang memungkinkan
penggunanya mela-kukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elek-tronik tersebut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan mengenai
Transaksi Elektronik terdapat di dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sampai dengan Pasal 22 Undang-Undang No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, penyelenggaraan Transaksi
Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik atau-pun privat, dan bagi para pihak yang
melakukan Transaksi Elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan intraksi ataupun
pertukaran Informasi Elektronik selama transaksi berlangsung. Pasal 17 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan
bahwa transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat, tetapi
kenyataannya transaksi elektronik yang banyak dilakukan ialah dalam lingkup privat.
Karena transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para
pihak.

Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan
dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya
adalah:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
5. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
9. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Teleko-munikasi
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
11. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlin-dungan Konsumen.
12. Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian Perusahaan Perseroan
dibidang Perbankan.
13. Serta undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan yang khusus tentang privasi atas data
atau informasi yang khusus. Akibat dari ketiadaan pengaturan tersebut, terjadi berbagai
kasus yang merugikan seperti :

1. Penyalahgunaan oleh perusahaan terhadap data dan infor-masi pelanggan yang


diserahkan sebagai persyaratan tran-saksi bisnis;
2. Terjadinya kasus kartu tanda penduduk yang berlainan dengan data dan informasi dari
yang sebenarnya;
3. Terjadinya kejahatan yang bermula dari pencarian data dan informasi seseorang;
4. Pelanggaran privasi atas data dan informasi seseorang.

Melihat perkembangan di atas, maka pemerintah perlu melindungi data dan informasi pribadi
masyarakat melalui pengaturan baik berupa undang-undang ataupun pengaturan lainnya.
Selanjutnya, perlindungan privasi atas data pribadi di Indonesia harus dilengkapi dengan
perangkat hukum yang baik, dan dapat menyakinkan pengguna bahwa informasi pribadi
mereka aman dan tidak akan disebarkan kepada pihak lain. Hal ini yang akan menjadi faktor
pendorong untuk diaturnya privasi atas data pribadi adalah dengan adanya perkembangan
atau dinamika masyarakat telah menuntut perubahan cara pandang penyelenggaraan
pemerintah dengan mengembangkan sistem pengelolaan dari pihak swasta yang terkait
dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.104 Implementasi e-govern-ment di
Indonesia menjadi fenomena yang sangat penting karena semua sistem pengolahan dan
penyimpanan data akan menggu-nakan elektronik termasuk internet. Di samping itu, dengan
telah berlakunya dan lahirnya beberapa undang-undang yang akan menuntut perorangan,
untuk melindungi data atau informasi pribadi masyarakat sehingga diperlukan suatu undang-
undang yang secara khusus mengatur privasi atas data pribadi baikyang dilakukan melalui
elektronik maupun melalui cara biasa.

Selanjutnya, dalam privasi atas informasi pribadi dalam tran-saksi elektronik telah diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yaitu di dalam Pasal 25 bahwa “Penggunaan setiap informasi melalui media elektro-nik yang
menyangkut data/dokumen elektronik yang disusun dan didaftarkan sebagai karya intelektual,
hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, yang sejenisnya yang menyamgkut
data pribadi sese-orang harus dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan
kecuali ditentukan lain oleh pera-turan perundang-undangan”.

Melalui undang-undang ini, privasi atas informasi pribadi dalam transaksi elektronik telah
dilindungi. Akan tetapi penga-turan di atas masih terlalu umum dan diperlukan undang-
undang yang lebih khusus tentang perlindungan privasi atas informasi pribadi dalam transaksi
elektronik. Oleh karena sifat transaksi bersifat lintas batas, maka dalam praktik di Indonesia
beberapa pengusaha di bidang online telah mengeluarkan pernyataan (notices) bahwa
mereka akan melindungi privasi pengguna atas informasi pribadi yang telah berhasil di akses.
Walaupun masih banyak perusahaan-perusahaan lainnya yang belum mencantumkan di
dalam situs mereka.

Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga cyberspace, meskipun bersifat
virtual namun dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata.
Secara yuridis, kegiatan pada cyberspace tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi
hukum konvensional saja, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan
hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam cyberspace adalah kegiatan virtual
yang terdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Berkaitan dengan itu, perlu diperhatikan isi keamanan dan kepastian hukum pemanfaatan
teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal, maka
ter-dapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyberspace, yaitu pendekat aspek
hukum, aspek teknologi, serta aspek sosial budaya dan etika. Untuk mengatasi gangguan
keamanan dalam penyelenggaraan sistem elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak
karena tanpa kepastian hukum persoalaan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak
optimal.

Sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, Indonesia mutlak berperan secara aktif
dalam berbagai aspek pergaulan dunia internasional. Salah satu aspek yang saat ini tengah
diha-dapi dunia internasional adalah upaya pemberantasan terhadap cybercrime. Mengingat
karakteristik cybercrime yang bersifat borderless dan menggunakan teknologi tinggi sebagai
media, maka kebijakan kriminalisasi di bidang teknologi informasi harus memperhatikan
perkembangan upaya penanggulangan

Diberlakukannya dan dengan dikeluarkannya pengaturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun


2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka pengelolaan, penggunaan, dan pe-
manfaatannya dapat dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia, serta untuk
menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan
peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa perkem-bangan penggunaan teknologi


komputer, telekomunikasi dan informasi mendorong perkembangannya transaksi melalui
inter-net di dunia. Perkembangan pesat pemanfaatan jasa internet tersebut ternyata
menimbulkan dampak negatif lain, yaitu dalam bentuk perbuatan kejahatan dan pelanggaran,
yang kemudian muncul istilah cybercrime, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari
computer-crime.108 Maka bagi kasus-kasus kejahatan komputer yang telah terjadi sebelum
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, bagi pelakunya didakwa dengan menggunakan kri-teria peraturan hukum pidana
konvensional. Perbuatan pidana yang digunakan untuk menjerat pelakunya tersebut adalah
penipuan, kecurangan, pencurian, perusakan, dan lainnya yang pada pokoknya dilakukan
secara langsung oleh pelaku. Jika dila-kukan dengan memanfaatkan sarana komputer saat
sekarang telah dapat diterapkan dengan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tercantum dalam Bab 7
untuk “perbuatan yang dilarang” (Pasal 27-37) dan dalam Bab 11 untuk “keten-tuan pidana”
(Pasal 45-52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik). Untuk gu-gatan perdata tercantum dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah
disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008, namun disahkannya sebuah undang-undang
bukan berarti ia telah menjadi sebuah hukum yang mutlak dan tidak bisa lagi diubah atau
bahkan diganti; sebaliknya justru perbaikan dan perubahan harus dilakukan pada setiap
undang-undang dan peraturan lain yang diketahui memiliki kelemahan, terutama apabila
kelemahan tersebut fatal sifatnya. Dalam konteks ini, maka Asosiasi Internet Indonesia
sebagai suatu organisasi yang berkedudukan di Indonesia dan bertujuan untuk memajukan
pengembangan dan pemanfaatan internet di Indo-nesia secara bebas dan bertanggung
jawab, wajib untuk memberi-kan pandangan dan usulan demi memperbaiki Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektro-nik tersebut yang memiliki
sangat banyak kelemahan.109 Adapun kelemahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut ialah sebagai berikut:

1. Proses penyusunan.

Kelemahan pertama dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ter-letak dari cara penyusunannya itu sendiri, yang menimbulkan
kontradiksi atas apa yang berusaha diaturnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan undang-undang pertama yang
mengatur suatu teknologi moderen, yakni teknologi informasi, masih dibuat dengan
menggunakan prosedur lama yang sama sekali tidak menggambarkan adanya relevansi
dengan teknologi yang berusaha diaturnya. Singkat kata, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Infor-masi dan Transaksi Elektronik waktu masih berupa RUU relatif tidak
disosialisasikan kepada masyarakat dan pe-nyusunannya masih dipercayakan di kalangan
yang amat terbatas, serta peresmiannya dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu melibatkan
secara meluas ko-munitas yang akan diatur olehnya. Padahal, dalam undang-undang ini jelas
tercantum bahwa: Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menye-barkan informasi. Ini berarti
seyogyanya dalam penyusunan undang-undang ini memanfaatkan teknologi informasi dalam
mengumpulkan pendapat mengenai kebutuhan perundangan-nya, menyiapkan draftnya,
menyimpan data elektroniknya, mengumumkannya secara terbuka, menganalisis reaksi ma-
syarakat terhadapnya setelah menyebarkan informasinya, sebelum akhirnya mencapai sebuah
hasil akhir dan meres-mikan hasil akhir tersebut sebagai sebuah undang-undang.

Kelemahan pertama ini adalah kelemahan fatal, yang terbukti secara jelas bahwa akibat tidak
dimanfaatkannya teknologi informasi dalam proses penyusunan undang-undang ini, maka isi
dari undang-undang ini sendiri memiliki celah-celah hukum yang mana dalam waktu kurang
dari sebulan peresmiannya telah menimbulkan gejolak di kalangan pelaku usaha teknologi
informasi, yang diakibatkan oleh ketidak-pastian yang ditimbulkannya itu.

2. Salah kaprah dalam definisi

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.

Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dokumen elektro-nik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan,diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya,yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektro-nik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto
atausejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atauarti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Definisi informasi elektronik menggambarkan tampilan, bukan data; dari kenyataan ini
terlihatjelas bahwa penyusun definisi ini belum memahami bahwa data elektronik sama sekali
tidak berupatulisan, suara, gambar atau apapun yang ditulis dalam definisi tersebut. Sebuah
data elektronik hanya-lah kumpulan dari bit-bit digital, yang mana setiap bit digital adalah
informasi yang hanya memiliki dua pilihan, yang apabila dibatasi dengan kata “elektronik”
maka pilihan itu berarti “tinggi” dan “rendah” dari suatu sinyal elektromag-netik. Bila tidak
dibatasi dengan kata tersebut, maka bit digital dapat berupa kombinasi pilihan antonim
apapun seperti “panjang” dan “pendek”, “hidup” dan “mati”, “hitam” dan “putih” dan
sebagainya.

Pada definisi dokumen elektronik, bahkan di-temukan suatu keanehan dengan


membandingkan antara analog, digital dengan elektromagnetik, optikal, seakan-akan antara
analog dan elektromagnetik adalah dua bentuk yang merupakan pilihan “ini atau itu.” Lebih
jauh lagi, penggunaan kata analog adalah suatu kesalah kaprahan karena analog sebagai
suatu bentuk hanya dapat diartikan sebagai benda yang dibuat menyerupai bentuk aslinya,
dan ini sama sekali tidak ada relevansinya dengan tujuan definisi yang diinginkan berhu-bung
bentuk analog dari sebuah peta misalnya, adalah sebuah peta juga dan tidak mungkin
dikirimkan lewat jaringan elektro-nik.

Seharusnya, definisi yang jauh lebih tepat adalah sebagai berikut: ayat (1) informasi digital
adalah satu atau sekumpulan data digital. Ayat (4) dokumen elektronik adalah setiap infor-
masi digital, disimpan dalam media penyimpanan data elek-tromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang diakses dengan menggunakan sistem elektronik.

Mengingat bahwa sebuah dokumen elektronik dapat diproses menjadi dua atau lebih
tampilan yang berbeda (contoh: data akuntasi dapat dengan mudah ditampilkan sebagai
sebuah grafik), tergantung dari sistem elektronik yang dipergunakan, maka dibutuhkan
klarifikasi: ayat (x) tampilan elektronik adalah hasil pengolahan dokumen elektronik yang
ditampilkan dalam suatu bentuk tertentu, dengan mengguna-kan sistem elektronik tertentu
dan menjalankan suatu prosedur pengolahan tertentu.

3. Tidak konsisten

Kelemahan ini terdapat di beberapa Pasal dan ayat, salah satunya: Pasal 8 ayat 2 kecuali
diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem
Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.

Tampaknya ayat ini dibuat dengan logika berbeda dengan ayat (1) dalam pasal yang sama,
dimana ayat (1) telah dengan benar menggunakan kriteria Sistem Elektronik yang ditunjuk
atau dipergunakan, pada ayat 2 muncul kerancuan “di bawah kendali”. Suatu account e-mail
yang berada di Yahoo atau Hotmail misalnya, tidak dapat dikatakan sebagai suatu sistem
elektronik di bawah kendali karena yang diken-dalikan oleh Penerima hanyalah bentuk
virtualisasinya.

Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
sistem elektroniknya. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik ketentuan ini tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
mengatur bahwa ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa. Keadaan me-maksa? Kalau kita bicara soal komputer maka keadaan memaksa ini
bisa berarti apa saja mulai dari gangguan listrik, kerusakan komputer, terkena virus, dan
sebagainya yang pada intinya gangguan apapun dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa.
Namun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik tidak ada penjelasan batasan atau criteria keadaan memaksa ini.

4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas.

Kelemahan ini menjejaki keseluruhan BAB VII perbuatan yang dilarang. Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
berbunyi:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elek-tronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan-kesusilaan
memakai standar siapa? Bahkan dalam satu rumah tangga sekalipun, antara suami istri
bisa memiliki standar kesusilaan yang berbeda, bagaimana pula dalam satu negara?
Bagaimana kalau terdapat perbedaan mencolok antara standar kesusilaan pengirim dan
penerima?Ayat yang se-perti ini sebaiknya dihapus saja”.

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elek-tronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.”

Permasalahan yang muncul disini adalah terkait dengan pejudian itu sendiri. Apabila definisi
perjudian adalah suatu kegiatan yang melibatkan uang dan/atau barang berharga lainnya,
dimana terjadi perpindahan kepemilikan uang dan/ atau barang berharga tersebut atas dasar
pertaruhan yang dimenangkan secara untung-untungan, maka perdagangan saham jelas-
jelas masuk kategori perjudian; bahkan perebutan jabatan politik pun masih bisa masuk dalam
kategori ini. Sama seperti Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, ayat ini juga sebaiknya dihapus saja.

Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang me-miliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik. Penghinaan, menurut siapa? Pencemaran nama baik, menurut siapa?
Seharusnya standar tidak jelas ini diganti menjadi “memiliki muatan tuduhan yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya”.

Berdasarkan uraian tersebut, dengan cara ini, selama sesuatu masih bersifat pendapat, maka
tidak dapat dikategorikan sebagai tuduhan. Contoh: “Menurut saya dia bodoh” adalah
pendapat, sedangkan “Saya yakin IQ nya rendah” adalah tuduhan.

Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang berbunyi bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki mu-atan pemerasan dan/atau
pengancaman. Apakah ini berarti mengirimkan email berisi “harap jangan kasar di milis, kalau
masih begitu juga anda akan saya keluarkan” dapat dihukum mengapa tidak dibuat dengan
lebih jelas dengan tambahan yang membahayakan harta atau jiwa.”

5. Menghambat penegakan hukum serta menghambat kemajuan.

Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik intinya melarang setiap orang untuk melakukan infiltrasi ke Sistem
Elektronik milik orang lain, kecuali atas dasar permintaan institusi penegak hukum. Ini berarti
semua orang yang melakukan tindakan melawan hukum menggunakan Sistem Elektronik
dapat dengan aman menyimpan semua informasi yang dimilikinya selama tidak diketahui oleh
penegak hukum, yang mana ini mudah dilakukan, karena orang lain tidak diperbolehkan
mengakses Sistem Elektronik miliknya dan dengan demikian tidak dapat memperoleh bukti-
bukti awal yang dibutuhkan untuk melakukan pengaduan. Selain itu, apakah penyusun Pasal-
Pasal ini tidak memahami konsep “untuk menangkap maling harus belajar mencuri” Apabila
semua kegiatan explorasi keamanan Sistem Elektronik dihambat seperti ini, pada saatnya
nanti terjadi peperangan teknologi informasi, bagaimana bisa menang kalau tidak ada yang
ahli di bidang ini, Sebaliknya, jika Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memberikan pengecualian untuk kegiatan
penelitian, ingin terus menerus diterapkan, apa gunanya Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebaiknya
keseluruhan Pasal-Pasal ini diformulasi ulang dari awal.

6. Mengabaikan yurisdiksi hukum.

Pasal 37 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik
yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Mungkin Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini dibuat agar dalam kondisi dimana seorang yang berada di Indonesia atau
seorang warga negara Indonesia melakukan penipuan terhadap warga negara lain dengan
menggunakan server yang ada di negara lain, orang tersebut dapat dijerat dengan undang-
undang ini. Akan tetapi karena Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik meng-atur tindakan-tindakan yang tidak memiliki standar
yang sama di negara lain, ditambah dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur masalah penjualan perangkat
keras dan lunak, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tran-
saksi Elektronik otomatis menghasilkan konflik yurisdiksi. Contohnya adalah apabila seorang
warga negara Indonesia memproduksi perangkat lunak komputer khusus untuk perjudian
selama berada di Las Vegas, Amerika Serikat, dan perangkat lunak tersebut dikirim ke
Indonesia untuk diinstall di komputer yang berada di Indonesia, untuk diekspor ke Amerika
Serikat, lalu orang tersebut kembali ke Indonesia, maka berdasarkan Pasal 37, Pasal 34 dan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
orang ini dapat dikenakan sanksi karena ia melakukannya bukan untuk tujuan kegiatan
penelitian atau pengujian. Karena di daerah yurisdiksi hukum dimana tin-dakan itu dilakukan,
sama sekali tidak terjadi pelanggaran hukum, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini telah menga-baikan yurisdiksi hukum dan
dengan demikian Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini memiliki cacat hukum. Hal ini mewujudkan kebenaran pendapat Satjipto
Rahardjo bahwa Peraturan hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang
sebenarnya terjadi dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak
otomatis menciptakan kepastian hukum.

Masih ada kelemahan lain yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut. Namun intinya, kelemahan-kelemahan ini
bisa ada karena tidak dilibatkannya masyarakat pengguna teknologi informasi secara meluas
dalam penyu-sunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini, yang mana diharapkan kesalahan ini tidak terulang lagi di kemudian hari demi
ter-capainya kemajuan bersama yang diharapkan sebagai tujuan penyusunan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang be-gitu pesat di Indonesia ini
menandakan perubahan menuju masyarakat informasi. Dampak positif yang dapat dirasakan
dari adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang paling mendasar dan merupakan kelebihan dari Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:

1. Terminimalisirnya kasus pornografi yang telah merebak luas, seperti di internet, CD yang
dulunya dapat mudah akses untuk semua kalangan masya-rakat namun, sekarang
dengan adannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini, hal tersebut dapat dicegah dikarenakan adannya Pasal-Pasal yang telah
mengatur tentang hal ini.

1. Untuk mengantasipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang dapat merugikan dan


juga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi.

Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya
diasosiasikan dengan inter-net.Cyberlaw merupakan aspek hukum yang ruang lingkup-nya
meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan me-manfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya.Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari
Cyberspace Law112. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena
nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini
dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world). Perkembangan
cyberlaw di Indonesia belum bisa dikatakan maju. Hal ini diakibatkan karena belum meratanya
pengguna internet di seluruh Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan
internet untuk mem-fasilitasi seluruh aspek kehidupan mereka.Oleh karena itu,
perkembangan hukum dunia maya di Amerika Serikat pun sudah sangat maju dibandingkan di
Indonesia.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, maka segala aktivitas didalamnya diatur dalam undang-undang tersebut.
Peraturan yang terdapat dalam Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dibuat pemerintah, secara praktis telah
memberi peraturan bagi para pengguna internet. Hal itu tentu berdampak pada industri
internet yang selama ini belum mendapatkan pengawasan yang ketat.

Menurut penulis berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang


Telekomunikasi, disana tidak terdapat batasan dalam penggunaan teknologi informasi,karena
peng-gunaan teknologi informasi sangat berpengaruh besar untuk negara kita, apa bila dilihat
dari keuntungan buat negara kita karena kita dapat secara bebas memperkenalkan
kebudayaan kita kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing dan
teknologi informasi juga merupakan hal yang sangat bebas bagi para pengguna teknologi
informasi untuk di segala bidang apapun. Jadi, keuntungannya juga dapat dilihat dari segi
bisnis keuntungannya adalah kita dengan bebas dan dengan luas memasarkan bisnis yang
kita jalankan dengan waktu yang singkat. Jadi Kesimpulannya menurut penulis adalah oleh
Para penggunaan teknologi informasi tidak me-miliki batasan, karena dapat mnguntungkan
dalam semua pihak.

Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang mengatur bahwa “Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ber-iktikad baik dalam melakukan interaksi
dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Doku-men Elektronik selama transaksi
berlangsung”.

Maksudnya ialah para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus sama-sama
mengetahui satu sama lain dan melakukan transaksi dengan baik dan tidak bertujuan untuk
secara sengaja mengakibatkan kerugian kepada pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain
tersebut. Jika iktikad baik itu tidak dilakukan oleh salah satu pihak maka tidak akan terjadi
transaksi atau pertukaran informasi elektronik selama transaksi berlangsung. Berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang berbunyi: “Para pihak memiliki kewenangan untuk me-milih hukum yang berlaku bagi
transaksi elektronik inter-nasional yang dibuatnya.”

Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Para
pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik
internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi
elektronik inter-nasional, maka hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional. Para pihak memiliki kewe-nangan untuk menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang ber-wenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Jika
para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan
kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut,
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

Imeg perlindungan konsumen Imeg perlindungan konsumen1

J. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI


SECARA ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DI INDONESIA

Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan, SE,
MM, MH, tahun 2019

Dewasa ini, perkembangan perdagangan e-commerce semakin tumbuh dengan pesat.


Selain membawa dampak positif bagi perkembangan dan pertumbuhan perekonomian
Indonesia juga akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang tentunya harus
ditemukan cara penyelesaiannya menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia hal ini terkait masalah hukum yang sangat penting.
Pentingnya permasalahan hukum dibidang e-commerce adalah terutama dalam memberikan
perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi melalui internet.

Mengingat pentingnya hal tersebut maka Indonesia pada tahun 2008 lalu mengeluarkan
peraturan khusus yang mengatur transaksi melalui internet yaitu Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam upaya menyikapi
perkembangan hukum terkait dengan jual-beli melalui internet, Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, menimbang bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang
berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di
masyarakat. Dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik
lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan
tersebut. Kontrak elektronik dalam transaksi elektronik, harus memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan kontrak konvensional.

Transaksi elektronik yang melibatkan para pihak dari dalam negeri yaitu negara Indonesia,
tidaklah sulit untuk menetapkan aturan hukum yang berlaku apabila terjadi masalah. Secara
otomatis the applicable law-nya adalah hukum Indonesia, sehingga baik KUHPerdata maupun
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat diterapkan
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. Namun bagi transaksi perdagangan lintas Negara
bukan Negara Indonesia, penyelesaian sengketa akan dilakukan oleh forum yang dipilih oleh
para pihak dengan menggunakan hukum yang telah dipilih pula oleh para pihak dalam kontrak
elektronik, sebagaimana telah dijelaskan di atas dalam pembahasan tentang pilihan hukum
dan pilihan forum.

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sendiri menegaskan bahwa “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang
menimbulkan kerugian”. Menurut Pasal ini, masyarakat dapat mengajukan gugatan secara
perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.

Lebih lanjut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menjelaskan bahwa “Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Selain penyelesaian secara gu-gatan perdata, para pihak
juga dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Hal ini
menunjukkan bahwa, dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik tidak ada kepastian hukum karena mengamanatkan penyelesaian
sengketa alternatif diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Contoh
konkritnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
tidak jelas mengatur mengenai arbitrase online, tapi meminta pada pihak untuk menggunakan
arbitrase konvensional. Kepastian hukum menurut Van Apeldoorn adalah hal yang dapat
ditentu-kan (bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang konkrit. Pihak-pihak pencari
keadilan ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia
memulai dengan perkara.

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang menolak
dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan
ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, gugatan perdata dapat didasarkan atas dua
alasan, yaitu wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum (onrecht-matigedaad). Adapun
landasan hukumnya didasarkan pada ke-tentuan Buku III Pasal 1243 KUHPerdata untuk
wanprestasi dan Pasal 1365 KUHPerdata untuk perbuatan melanggar hukum.

Gugatan wanprestasi selalu berawal pada adanya suatu hubungan hukum kontraktual
(perjanjian) antara para pihak, sehingga melahirkan hak dan kewajiban hukum. Hak dan
kewajiban di sini diwujudkan dengan apa yang disebut sebagai prestasi (performance). Pada
saat prestasi tidak dipenuhi/tidak dilaksanakan/dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya
menurut perjanjian para pihak, maka lahir apa yang dinamakan wanprestasi (cidera janji).
Sedangkan pada gugatan perbuatan melanggar hukum, yang menjadi dasar gugatannya
adalah kepentingan pihak tertentu yang dirugikan oleh perbuatan pihak lainnya, meskipun di
antara para pihak tidak terdapat suatu hubungan hukum keperdataan yang bersifat
kontraktual (perjanjian).

Mengenai kasus-kasus kerugian konsumen dalam transaksi perdagangan secara


elektronik, gugatan akan lebih tepat bila didasarkan atas wanprestasi dan bukan
perbuatan melanggar hukum, yaitu dengan merujuk pada kewajiban-kewajiban pelaku
usaha dalam kontrak elektronik yang telah dilanggar dan karenanya menimbulkan kerugian.
Selain penyelesaian secara perdata, pelanggaran dalam transaksi elektronik yang
mengandung unsur pidana seperti penipuan juga dapat diproses secara pidana, sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “pemberian ganti rugi tidak meng-
hapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan”.

Jika kejahatan e-commerce sudah masuk pada ranah pidana, maka ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengaturnya, yakni dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, antara lain dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai
berikut:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui,
atau menjebol sistem pengamanan.

Selanjutnya ketentuan hukumnya tercantum dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 11 Tahun


2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah sebagai berikut:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara pa-ling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur mengenai hak
konsumen, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima ti-dak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online),
sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta mem-beri jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/ atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apa-bila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha untuk mem-
perdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal
tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam
iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha
dalam memperdagangkan barang. Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut berhak mendapatkan
kom-pensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha
itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana
berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang berbunyi:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”

Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasar-kan Undang-Undang Nomor 11


Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2012 tentang Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Transaksi jual beli,
meskipun dilakukan secara online, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012
tentang Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tetap diakui sebagai transaksi
elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang
secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk
tindakan penerimaan yang menya-takan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi
elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas
syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu
bentuk Kontrak Elektronik. Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dianggap
sah apa-bila:

1. Terdapat kesepakatan para pihak;


2. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwe-nang mewakili sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Terdapat hal tertentu; dan
4. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.

Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik setidaknya harus
memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Data identitas para pihak;


2. Objek dan spesifikasi;
3. Persyaratan Transaksi Elektronik;
4. Harga dan biaya;
5. Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
6. Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugi-kan untuk dapat
mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat
tersembunyi; dan
7. Pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Pada transaksi elektronik yang anda lakukan, anda dapat menggunakan instrumen Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda. Terkait dengan perlindungan
konsumen, Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa pelaku usaha yang
menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat
berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi
tentang penawaran kontrak atau iklan.

Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelanggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik mengatur khusus tentang hal tersebut,
yakni pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan
barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
Selain kedua keten-tuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak
sesuai dengan foto pada iklan toko onlinetersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga
dapat menggugat pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih
terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual. Menurut R.
Subekti, wanprestasi adalah ke-lalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi
yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagai-mana dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh di-lakukannya.

Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka secara perdata dapat menggugat
penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang diterima tidak sesuai
dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/website). Pidana penipuan
dalam transaksi jual beli secara online, Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara
online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum
perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan
sebelum-nya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara
nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi
lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan ekse-kusi
ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber
dalam transaksi secara elek-tronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli
menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.

Pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu
muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan
Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elek-tronik.

Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan
tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohong-an, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun”.

Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik adalah sebagai berikut

“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”.

Perbuatan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11


Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diancam dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar (Pasal 45 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penyelesaian sengketa dalam transaksi perdagang-an
secara elektronik dapat dilakukan secara perdata maupun pidana, sehingga memberikan
payung hukum kepada masayarakat di Indonesia.

K. PERLINDUNGAN TERHADAP HAK KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

Terkait dengan perkembangan teknologi dan informasi, dimana barang dan/atau jasa dapat
diperdagangkan kepada konsumen melewati batas-batas wilayah dan negara, maka
perlindungan konsumen akan menjadi sesuatu yang begitu penting untuk diperhatikan. Di
Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya
situs <http://www.sanur.com&gt; sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu
populer, pada tahun 1996 itu mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-
commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit
terabaikan karena krisis ekonomi. Namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi
fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia
yang mengenal teknologi.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce,
maka perlu diketahui terlebih dahulu siapa konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK.
Menurut Hondius, konsumen adalah pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa
(uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 butir 2 UUPK adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi, konsumen
dalam pengertian ini merupakan pemakai akhir. Kemudian, pelaku usaha menurut UUPK Pasal
1 butir 3 adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hokum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dan melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, pedagang,
distributor, dan lain-lain.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, pengertian badan usaha adalah perusahaan
perseorangan atau perusahan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.11 Terkait dengan transaksi e-commerce, pengertian tersebut
mengungkapkan bahwa pelaku usaha adalah pihak penyedia barang dan/atau jasa di internet
yang merupakan orang perorangan atau badan usaha, berbentuk badan hukum ataupun
tidak. UUPK mensyaratkan adanya yuridiksi dari pelaku usaha, yaitu didirikan dan
berkedudukan di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia atau didirikan dan
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sementara itu,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tidak mensyaratkan yuridiksi tertentu terhadap
transaksi yang dilakukan oleh badan usaha. Hal ini menimbulkan kesan bahwa UUPK
mengatur perdagangan/transaksi yang bersifat konvensional/tradisional, dimana konsumen
dan pelaku usaha bertemu langsung karena berada pada yuridiksi hukum yang sama.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur
perdagangan/transaksi yang dilakukan secara elektronik, dimana keberadaan konsumen dan
pelaku usaha bisa saja berada pada yuridiksi hukum yang berbeda.

Transaksi e-commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang secara langsung maupun tidak
langsung, dan hal ini tergantung dari kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah
semua proses transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang
dilakukan secara on-line. Budhiyanto mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi e-commerce terdiri dari:

1. Penjual (merchant)

Yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan produknya melalui internet atau dalam Pasal 1
butir 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 disebut sebagai pengirim. “Pengirim adalah
subjek hukum yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”. Untuk
menjadi penjual/merchant/pengirim, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai
merchant account pada sebuah bank, hal ini dimaksudkan agar merchant dapat menerima
pembayaran dari konsumen/customer dalam bentuk credit card/kartu kredit.

2. Konsumen

Yaitu orang yang ingin memperoleh barang dan/atau jasa melalui pembelian secara on-line
atau dalam Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 disebut sebagai penerima.
Penerima adalah subjek hukum yang menerima informasi elektronik/dokumen elektronik dari
pengirim. Konsumen yang akan berbelanja melalui internet dapat berstatus perorangan atau
perusahaan.13 Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana sistem pembayaran yang dipergunakan, apakah menggunakan kartu kredit
atau dimungkinkan pembayaran secara cash/manual. Hal ini dikarenakan tidak semua
konsumen yang berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit. Pemegang kartu kredit
adalah seseorang yang namanya tercetak pada kartu kredit yang dikeluarkan oleh penerbit
berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.

3. Acquirer

Yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan perantara pembayaran
(antara pemegang dan penerbit). Perantara penagihan adalah pihak yang meneruskan
tagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh
penjual barang dan/atau jasa. Pihak perantara penagihan inilah yang melakukan pembayaran
kepada penjual. Pihak perantara pembayaran adalah bank di mana pembayaran kredit
dilakukan oleh pemilik kartu kredit, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan
mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit.

4. Issuer

Perusahaan kartu kredit yang menerbitkan kartu kredit. Di Indonesia ada beberapa lembaga
yang diizinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu:

a. Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak setiap bank dapat menerbitkan kartu
kredit, hanya bank yang telah memperoleh izin dari card international yang dapat
menerbitkan kartu kredit.

b. Perusahaan nonbank, dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia Internasional yang
membuat perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri.

c. Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri
seperti American Express.

5. Certification authorities

Pihak ke tiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada
merchant/penjual, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada konsumen.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, maka di Indonesia ada lembaga
sertifikasi keandalan14 dan penyelenggara sertifikasi elektronik.

Menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, lembaga sertifikasi


keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan,
dan diawasi oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat
keandalan dalam transaksi elektronik.

Transaksi elektronik atau e-commerce jika dilihat dari jenisnya, maka transaksi e-commerce
itu mempunyai dua (2) model, yaitu:

1. Business to business (B2B).

Yaitu perdagangan yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana barang yang
diperdagangkan biasanya akan dijual kembali, contoh : Perusahaan A membeli barang dari
perusahaan B. Pola hubungan yang terjadi adalah company to company, yakni e-commerce
antar perusahaan. Model ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Biasanya dilakukan oleh mitra dagang yang sudah memiliki hubungan yang cukup
lama. Informasi hanya dipertukarkan dengan mitra tersebut, sehingga pola hubungan
yang terjadi didasarkan atas dasar kebutuhan dan kepercayaan.

b. Pertukaran data berlangsung secara berulang-ulang dan berkala, dengan format data
yang sudah disepakati bersama atau standar yang sama.

c. Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan data, tidak harus
menunggu mitranya.

2. Business to consumer (B2C)

Yaitu perdagangan yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana piak yang satu adalah
produsen atau penjual akhir dan di lain pihak adalah konsumen. Model inilah yang paling
banyak berkembang di masyarakat. Jadi Business to consumer adalah transaksi perdagangan
produk maupun jasa antara perusahaan dengan konsumen secara langsung. Dalam transaksi
e-commerce jenis B2C, hampir semua orang dapat melakukan transaksi, baik dengan nilai
transaksi kecil maupun besar dan tidak dibutuhkan persyaratan yang rumit. Konsumen dapat
memasuki internet dan melakukan pencarian terhadap apa saja yang akan dibeli, menemukan
website, dan melakukan transaksi. Dalam transaksi B2C ini, konsumen memiliki daya tawar
yang lebih baik dibanding dengan perdagangan konvensional karena konsumen memperoleh
informasi yang beragam dan detail/terperinci. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk
memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan keinginan serta kemampuan
finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien. Karakteristik transaksi e-commerce B2C
adalah sebagai berikut:

a. Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum pula.

b. Service yang dilakukan juga bersifat umum sehingga mekanismenya dapat digunakan
oleh banyak orang.

c. Service yang diberikan berdasarkan permintaan, di mana konsumen berinisiatif,


sedangkan produsen harus siap memberikan respon/tanggapan terhadap inisiatif
konsumen.

d. Sering dilakukan pendekatan client-server, yang mana konsumen di pihak klien


menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan pihak penyedia barang atau jasa
berada pada pihak server.

Dalam melakukan transaksi elektronik atau e-commerce, ada sisi positif/keuntungan yang
didapat konsumen dan pelaku. Menurut Joseph Luhukay, Presiden Director Capital Market
Society, keuntungan atau sisi positif bagi pedagang/pelaku usaha dan konsumen dalam
melakukan transaksi elektronik atau e-commerce antara lain:

1. Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan yang sulit atau tidak
dapat diperoleh melalui cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau
jasa, menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan sebagainya. Menurunkan
biaya operasional. Berhubungan langsung dengan pelanggan melalui internet dapat
menghemat kertas, biaya telepon, dan sebagainya.
2. Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan dapat memesan
bahan baku atau produk ke supplier langsung ketika ada pemesanan sehingga
perputaran barang lebih cepat dan tidak perlu gudang besar untuk menyimpan produk-
produk tersebut.
3. Melebarkan jangkauan. Pelanggan dapat menghubungi perusahaan/penjual dari manapun
di seluruh dunia.
4. Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan selama 24 (dua
puluh empat) jam per hari, 7 (tujuh) hari per minggu.
5. Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui internet pelanggan bisa menyampaikan
kebutuhan maupun keluhan secara langsung sehingga perusahaan dapat meningkatkan
pelayanannya.

Keuntungan bagi pembeli/konsumen adalah:

1. Home shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah sehingga dapat
menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan menjangkau toko-toko yang jauh dari
lokasi.
2. Mudah melakukannya. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja atau melakukan
transaksi melalui internet.
3. Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat membandingkan produk maupun
jasa yang ingin dibelinya.
4. Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja selama 24 (dua
puluh empat) jam per hari, 7 (tujuh) hari per minggu.
5. Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh di outlet/pasar
tradisional.

Selain sisi positif yang didapat oleh seorang konsumen dalam melakukan transaksi e-
commerce, konsumen juga sering menghadapi masalah-masalah yang berkenaan dengan
haknya. Hal ini bisa dikatakan sebagai sisi negatif dalam melakukan transaksi e-commerce,
seperti:

1. Konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, atau menyentuh barang yang
akan dipesan.
2. Ketidakjelasan informasi tentang barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
3. Tidak jelasnya status subjek hukum dari si pelaku usaha.
4. Tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi, serta penjelasan terhadap risiko-
risiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan, khususnya dalam hal pembayaran
secara elektronik, baik dengan credit card maupun electronic cash.
5. Pembebanan risiko yang tidak berimbang, karena umumnya terhadap jual beli di internet,
pembayaran telah lunas dilakukan dimuka oleh konsumen, sedangkan barang belum
tentu diterima atau akan menyusul kemudian karena jaminan yang ada adalah jaminan
pengiriman.

Dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, konsumen selalu menginginkan adanya


kepuasan terhadap produk yang dikonsumsinya. Sedangkan pelaku usaha cenderung
menginginkan untuk memperoleh keuntungan ekonomis dari hubungannya bersama
konsumen. Keinginan konsumen dan pelaku usaha itu mudah untuk dicapai apabila keduanya
melaksanakan kewajiban secara benar dan dilandasi dengan itikad baik. Dalam
kenyataannya, seringkali konsumen tidak memperoleh apa yang diharapkannya secara
maksimal, akibatnya konsumen dirugikan. Menurut Pasal 4 UUPK, hak-hak konsumen
meliputi:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen dalam UUPK seperti yang disebutkan di atas terkesan hanya terbatas
pada aktivitas perdagangan yang bersifat konvensional/tradisional. Selain itu, perlindungan
pun hanya difokuskan pada sisi konsumen dan produk (barang dan/atau jasa) yang
diperdagangkan. Perlindungan konsumen dalam transaksi yang bersifat konvensional tidak
dapat diterapkan secara penuh dalam transaksi e-commerce, sehingga dalam upaya
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce ini perlu
diberikan pedoman tentang materi-materi apa saja yang perlu diperhatikan. Pedoman yang
perlu diperhatikan dalam penerapan perlindungan konsumen dalam transaksi perdagangan
melalui e-commerce dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:

1. Dari sisi pelaku usaha

Kedudukan pelaku usaha dalam hubungan transaksi perdagangan relatif lebih kuat apabila
dibandingkan dengan konsumen. Kuatnya kedudukan pelaku usaha sedapat mungkin harus
diawasi karena tanpa pengawasan maka dapat menimbulkan kerugian pada konsumen. Dalam
kaitannya dengan perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce, maka perlindungan
terhadap konsumen dapat diberikan dalam bentuk:

a. Pemberitahuan identitas pelaku usaha secara jelas. Apabila pelaku usaha merupakan
kantor atau perusahaan cabang, maka harus diberitahukan alamat kantor/perusahaan
induknya.

b, Memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk menyelenggarakan
bisnisnya.

Intinya, konsumen memerlukan adanya informasi yang lengkap dan benar tentang pelaku
usaha, atau dengan kata lain, pelaku usaha berkewajiban untuk menyediakan informasi yang
lengkap dan benar kepada konsumen.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, maka hak konsumen untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dan benar telah dijamin melalui ketentuan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan produk
melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan
dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”. Sedangkan yang dimaksud
dengan informasi yang lengkap dan benar meliputi:

a. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik
sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara

b. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian,
serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan
deskripsi barang/jasa.

2. Dari sisi konsumen

Konsumen sebagai pihak yang membutuhkan produk seringkali sebelum mulai melakukan
transaksi diharuskan untuk memberi informasi yang lengkap mengenai identitas diri. Yang
menjadi masalah adalah apakah ada jaminan bahwa data diri/identitas konsumen tidak
digunakan (dikomersialisasikan) oleh pelaku usaha, seperti untuk pengiriman brosur
pemasaran perusahaan. Padahal konsumen sangat memperhatikan aspek keamanan dan
kerahasiaan pribadinya dalam on line transaction. Untuk melindungi konsumen dari
penyalahgunaan informasi (berupa data diri) maka perlu adanya jaminan dari pelaku usaha
bahwa data/identitas konsumen tidak akan dipergunakan secara menyimpang di luar
peruntukannya tanpa seizin konsumen.

Dalam hal ini, Pasal 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 telah mengatur tentang
perlindungan terhadap data pribadi seseorang. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 menyatakan bahwa “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data
pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”.

Dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu
bagian dari hak pribadi. Hak pribadi itu mengandung pengertian sebagai berikut:

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala
macam gangguan.

b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa
tindakan memata-matai.

Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan
data seseorang. Seseorang yang dilanggar haknya karena digunakan data pribadinya tanpa
persetujuannya, dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2).

3. Dari sisi produk (barang dan/atau jasa)

Informasi produk sangat penting diketahui oleh konsumen, karena melalui informasi ini
konsumen dapat mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak. Oleh karena
itu, dalam menawarkan produknya pelaku usaha diwajibkan untuk:

a. Memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai produk yang ditawarkan,
serta penggunaan bahasa yang mudah dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran
secara berlainan.

b. Memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan aman atau nyaman untuk
dikonsumsi, serta sesuai dengan apa yang ditawarkan oleh pelaku usaha pada saat
diiklankan/dipromosikan.

Dalam hal ini, sekali lagi terlihat bahwa betapa pentingnya suatu informasi yang lengkap dan
benar bagi seorang konsumen dalam melakukan transaksi elektronik. Dan untuk hak
konsumen dalam mendapatkan informasi yang lengkap dan benar dalam melakukan transaksi
elektronik telah diakomodasi oleh adanya Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

4. Dari segi transaksi

Tidak semua konsumen paham dalam melakukan transaksi melalui media internet, sehingga
pelaku usaha perlu mencantumkan dalam website-nya informasi yang jelas dan lengkap
mengenai mekanisme transaksi serta hal-hal yang berkenaan dengan transaksi, seperti
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen dalam melakukan transaksi :

a. Kesempatan bagi konsumen untuk mengkaji ulang transaksi yang akan dia lakukan
sebelum mengambil keputusan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya
kesalahan yang dibuat konsumen.

b. Harga produk yang ditawarkan, apakah sudah termasuk pajak atau belum, apakah
sudah termasuk ongkos kirim atau belum.

c. Mata uang apa yang dipakai.

d. Bagaimana mekanisme pengiriman barangnya.

e. Informasi mengenai dapat/tidaknya konsumen mengembalikan barang yang sudah


dibeli, dan apabia diperkenankan, bagaimana mekanismenya.

f. Apakah diberikan jaminan penggantian barang atau penggantian uang, apabila produk
yang diterima tidak sesuai atau rusak.

g. Mekanisme penyelesaian sengketa.

h. Jangka waktu pengajuan klaim yang wajar.

Mengenai transaksi elektronik ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juga telah mengatur
secara khusus dalam BAB V tentang Transaksi Elektronik yang dimulai dari Pasal 17 sampai
dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 menjelaskan bahwa penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan, baik oleh
publik atau privat, yang terpenting adalah pemanfaatan teknologi informasi ini harus
dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar dapat diperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik. Apabila transaksi
elektronik dilakukan secara privat dan dituangkan dalam bentuk kontrak elektronik, maka
transaksi tersebut mengikat para pihak yang terkait. Jika para pihak yang melakukan transaksi
elektronik memiliki yurisdiksi hukum yang berbeda (transaksi elektronik internasional) atau
dalam kontraknya mengandung unsur asing, maka para pihak memiliki kewenangan dalam
memilih hukum yang berlaku serta kewenangan dalam menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa jika terjadi sengketa antara para pihak. Penerapan terhadap hal ini harus sejalan
dengan prinsip hukum perdata internasional. Apabila para pihak yang melakukan transaksi
elektronik internasional tidak melakukan pilihan hukum, maka hukum yang berlaku adalah
didasarkan pada asas hukum perdata internasional.

Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menyepakati mengenai sistem
elektronik yang digunakan, kecuali para pihak menentukan lain. Transaksi elektronik terjadi
pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui oleh
penerima, kesepakatan antara para pihak dapat berupa pengecekan data, identitas, nomor
identifikasi pribadi (personal indentification number/PIN, dan password ). Persetujuan atas
penawaran ini harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik pula. Dalam
transaksi e-commerce, seorang konsumen sangat membutuhkan adanya rasa aman serta
informasi yang lengkap dan benar yang diberikan oleh pelaku usaha.

PENUTUP

Kemajuan teknologi informasi membawa pengaruh positif pada peningkatan lalu lintas
perdagangan, baik bagi pelaku usaha terlebih bagi konsumen. Salah satu bukti dari kemajuan
teknologi informasi yang dirasakan manfaatnya oleh konsumen dalam bidang perdagangan
adalah electronic commerce (e-commerce). Melalui e-commerce, konsumen mempunyai
ruang gerak yang semakin luas dalam bertransaksi, sehingga konsumen memiliki kemampuan
untuk mengumpulkan serta membandingkan barang dan/atau jasa yang diinginkannya dan
konsumen pun menjadi lebih aktif. Kemudahan yang dirasakan oleh konsumen diikuti pula
dengan kemungkinan timbulnya kerugian yang diderita, seperti kurang pahamnya konsumen
terhadap produk yang ditawarkan, informasi yang kurang lengkap, dan benar, serta segala
sesuatu yang berkaitan dengan mekanisme transaksi lainnya. Sedangkan dari sisi pelaku
usaha, berkaitan dengan informasi yang diberikan cenderung tidak jelas dan menyesatkan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 diharapkan hak-hak konsumen
(khususnya konsumen yang melakukan transaksi elektronik atau e-commerce) dapat
terlindungi.

Bentuk perlindungan yang diberikan kepada konsumen dalam transaksi e-comerce dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dapat dibagi menjadi 4, yaitu :

1. Adanya pengawasan terhadap pelaku usaha, meliputi kejelasan identitas, serta harus
mempunyai izin resmi dari pejabat yang berwenang (dijamin melalui ketentuan pasal 9 UU
Nomor 11 Tahun 2008).
2. Perlindungan terhadap data pribadi konsumen agar tidak disalahgunakan, karena pihak
konsumen seringkali sebelum mulai melakukan transaksi diharuskan untuk memberikan
informasi mengenai identitas diri secara lengkap (dijamin melalui pasal 26 UU Nomor 11
Tahun 2008).
3. Pemberian Informasi yang jelas dan benar mengenai produk (barang dan/atau jasa), hal
ini merupakan hak konsumen yang diakomodasi oleh pasal 9 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008.
4. Pemberian informasi yang jelas dan lengkap mengenai mekanisme transaksi serta hal-hal
yang berkenaan dengan transaksi.

Sumber materi : Rif’ah Roihanah Jurusan Syari’ahSTAIN Ponorogo


http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/justicia/article/download/535/419

Contoh KASUS

Pertanyaan

Ahmad pernah belanja barang secara online, tapi barang yang terima tidak sama dengan
yang lihat di foto pada iklan yang dipajang. Pertanyaan, apakah itu termasuk
pelanggaran hak konsumen? Apakah Ahmad dapat menuntut penjual untuk
mengembalikan uang atau mengganti barang yang dibeli tersebut ?

Jawaban dan Pembahasan

Dengan pendekatan UU Perlindungan Konsumen, kasus diatas telah terjadi pelanggaran


terhadap hak konsumen.

Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak konsumen adalah:

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7
UU Perlindungan Konsumen adalah:

1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;


2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Terkait dengan persoalan diatas, lebih tegas lagi Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan
Konsumen melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi
barang yang diterima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan
bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.

Selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen tersebut berhak


mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan,
pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU Perlindungan Konsumen berkewajiban
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Apabila pelaku usaha melanggar larangan memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut, maka pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat
(1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat
(2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2 miliar.

kASUS KONSUMEBN

Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen Menurut UU ITE dan PP No. 82 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PTSE).

Transaksi jual beli kasus diatas, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan
PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Persetujuan untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan
atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam
kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului
pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami
katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik.

Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:

1. terdapat kesepakatan para pihak;


2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. terdapat hal tertentu; dan
4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertiban umum.

Kontrak Elektronik itu sendiri setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut :

1. data identitas para pihak;


2. objek dan spesifikasi;
3. persyaratan Transaksi Elektronik;
4. harga dan biaya;
5. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
6. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat
mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat
tersembunyi; dan
7. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan
instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan
permasalahan Anda.

Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa
Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan
produk yang ditawarkan. Lebih lanjut ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan
kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.[3]

Jika Barang yang Anda Terima Tidak Sesuai dengan yang Diperjanjikan

Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal


tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu
kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang
dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat
cacat tersembunyi.

Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak
sesuai dengan foto pada iklan took online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga
dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih
terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.

Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi
adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat
menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda
terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web
site).

Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Online

Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama
dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait
transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan
hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada
penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam
transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi
sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis
memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan
identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.

Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan
tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana
berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan
dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yakni:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Catatan tentang Transaksi Secara Online

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di
Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual
maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas
kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment
gateway), jaminan keamanan dan keandalan website electronic commerce belum menjadi
perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai
medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli
melalui jejaring sosial, komunitas online, took online, maupun blog). Salah satu indikasinya
adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun
media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian
Komunikasi dan Informatika.

Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi
secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai
pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.

Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50bf69280b1ee/perlindungan-
konsumen-dala-e-commerce/ diakse tanggal 17 April 2020 jam 21.12 Wib

Evaluasi Materi dan Tugas ke 7

1. Buatlah Summary tentang Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi


Jual Beli Secara Elektronik (E-Commerce) Di Indonesia diatas.

2. Summary tersebut dibuat dalam bentuk tulis tangan (kertas bebas) paling sedikit 2
halaman double folio bergaris, difoto dan kirim ke wa pribadi saya.. Kemudian dketik ulang
kirim ke blog saya Tinggalkan Balasan paling lambat tanggal 18 April 2020 jam 15.00 Wib

3. Jawab pertanyaan dibawah ini :

a. Dalam bertransaksi Jual Beli secara Elektronik (E-Commerce) di Indonesia,


bagaimana perlindungan Hukumnya Terhadap Konsumen ?

b. Apakah belanja barang secara online, barang yang terima tidak sama dengan yang
lihat di foto pada iklan yang dipajang. merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen
?

Jawaban dikirim juga ke blog saya Tinggalkan Balasan paling lambat tanggal 18 April 2020
jam 15.00 Wib

4. Kerjakan sesuai dengan petunjuk. Tq.

L. PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-


COMMERCE

Sumber Materi : Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia Oleh Dewa Gede Satriawan, SE,
MM, MH, tahun 2019

Menurut Shidarta sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan denganpelanggaran hak-


hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum baik keperdataan, pidana maupun
tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah “sengketa transaksi konsumen”
karena yang terakhir terkesan lebih sempit,yang hanya mencakup aspek hukum keperdataan
saja.

Sedangkan Az. Nasution mengemukakan, sengketa konsumen adalah setiap perselisihan


antara konsumen dengan penyedia produk konsumen (barang dan/atau jasa konsumen)
dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu. Sengketa ini
dapat menyangkut pemberian sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu
sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 jo 1234 KUHPerdata atau dapat pula berbagai
kombinasi dari prestasi tersebut. Objek sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi hanya
menyangkut produk konsumen yaitu barang atau jasa yang pada umumnya digunakan untuk
keperluan rumah tangganya dan tidak untuk tujuan komersial.

Salah satu hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan secara patut. Selain itu, salah satu kewajiban pelaku
usaha adalah memberikan kom-pensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (Pasal
7 butir f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Kewajiban
tersebut termasuk juga bila barang dan/atau jasa diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.

Mekanisme dari pelaksanaan hak konsumen yang saat ini berlaku adalahdengan pengaduan
masalah melalui pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan
Konsumen Deperindag dan tentunya pelaku usaha sendiri. Direktorat Perlindungan Konsumen
Deperindag, upaya konsu-men yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu
melakukan pengaduan disertai denganbukti kejadian. Perbeda-annya adalah pada saat
pemanggilan pelaku usaha untukdimintai keterangan perihal masalah yang ada. Kemudian
dari sisi pelaku usaha, pada umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran
telepon yang diterima oleh customer service. Dari ketiga pihak yang menyediakan saluran
pengaduan terhadap perma-salahan konsumen tentunya akan berbeda dalam menanggapi
transaksi yang dilakukan di medium internet. Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen
dapat terjadi dengan dua cara, berikut ini:

1. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK).
2. Pihak konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum.

Penyelesaian sengketa konsumen tersebut dapat dilakukan melalui pengadilanatau diluar


pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa
(Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Selain penyelesaian guagatan, para pihak dapat menye-lesaikan sengketamelalui arbitrase


atau alternatif penyelesaian sengketa. Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan
alter-natif penyelesaian sengkata telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikenal beberapa cara penye-lesaian
sengketa, yaitu:

1. Arbitrase;
2. Konsultasi;
3. Negosiasi;
4. Mediasi;
5. Konsiliasi; atau
6. Penilaian ahli.

Berdasarkan keenam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut,hanya


penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang menghasilkan putusan memaksa yang
dijatuhkan oleh pihak ketiga, yaitu arbiter atau majelis arbiter, sedangkan cara penye-lesaian
sengketa, penyelesaian sengketa, penyelesainya diserahkan kepada para pihak, paling tidak
hanya mendapat saran dari para pihak ketiga yang memfasilitasi perundingan antara para
pihak.

Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa suatu sengketa dapat diselesaiakan melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penye-lesaian secara
litigasi di pengadilan negeri (pengadilan niaga). Penyelesaian sengketa melalui alternatif
penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh parapihak yang
hasilnya ditungkan secara tertulis. Apabila para pihak tidak dapat menyelesaian sengketa
tersebut, para pihak atas kese-pakatan terlulis dapat menyelesaikannya dengan bantuan
pihak ketiga.

Peran pihak ketiga ini hanya sekedar mempermudah jalannya perundingan para pihak agar
tercapai mudah jalannya perundingan para pihak agar tercapai kesepakatan. Kesepakatan
itulah yang pada akhirnya mengikat para pihak setelah ditanda-tangani dan didaftrakan di
Pengadilan Negeri (Pengadilan Niaga). Berbeda dengan altenatif penyelesaikan sengketa,
penyelesaian sengkata melalui arbitase merupakan cara penyelesaian sengkata yang
memang sejak awal diserahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan keputusan yang
mengikat para pihak, uang putusannnya bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mengikat para pihak.

Mengenai penyelesaian sengketa e-commerce Internasional dimungkinkan untuk


diselesaikanterutama yang meliputi sengketa bernilai kecil dalam forum yang tepat, yaitu
dengan “ODR” yang menjadi cara praktis untuk memberi konsumen remedy yang tepat,
murah dan efektif, serta meng-urangi penentutan perkara di negara asing. ODR mencakup
sejumlah proses yang secara umum mempunyai dua ciri: “DR (yakni dispute resolution) dan
“O” (yakni online). Dengan kata lain, menyelesaikan sengketadan dilakukan secara elektronik.
Semua bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) tradisional terwakili di jaringan. Selain
itu, ada proses penyelesaian sengketa baru: automated atau blind-bidding negotiation, ini
adalah contoh mekanisme yang hanya ada di online. Gambaran lain adalah non-binding
arbitration. Meskipun tidak seluruhnya tidak ada di offline, tetapi ini cenderung
menggambarkan seluruh potensi online dan sebagai salah satu mekanisme ODR paling
menonjol untuk jenis- jenis sengketa tertentu.

Keuntungan bagi pembeli dan pelaku usaha transaksi e-commerce dalam penyelesaian
sengketa melalui ODR, antara lain:

Pertama, penghematan waktu dan uang. Sesungguhnya, hal ini sudah tampak dalam APS
secara “tradisional” dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur litigasi, namun,
penyelesaian sengketa secara online akan lebih hemat dibandingkan dengan alternatif
penyelesaian sengketa offline. Keuntungan ini karena para pihak tidak perlu membayar biaya
yang harus dikeluarkan untuk menghadiri persidangan dan biaya-biaya yang berkaitan
dengan hal itu. Kecepatan ODR adalah salah satu keuntungan dasarnya.

Pihak-pihak dan pihak netral tidak perlu melakukan per-jalanan untuk bertemu;mereka tidak
perlu ada di waktu yang sama; jangka waktu antara penyerahan dapat singkat; penye-lesaian
dapat berdasarkan dokumen saja.

Kedua, biasanya biaya layanan penyelesaian sengketa perdata adalah gabungan dari biaya
institusi penyelesaian sengketa, fee dan biaya pihak netral (mediator atau arbiter), dan biaya
para pihak, termasuk ongkos hukum. Dalam ODR, beberapa biaya ini tidak ada atau
berkurang signifikan. Sebagai contoh tidak ada biaya perjalanan bagi para pihak yang netral
dan para pihak yang bersengketa. Bagi konsumen e-commerce yang menghindari biaya
besar dalam penyelesaian sengketa, tentu akan lebih mudah menerima penyelesaian
sengketa secara elektronik, karena mereka dapat menger-jakannya sendiri dengan fasilitas
komputer yang dimiliki. Dalam penyelesaiansengketa kasus B2C digunakan model unilateral
user fees yang menetapkan pihak pelaku usaha yang bersengketa menanggung semua biaya.
Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk kontribusi tahunan (misalnya biaya keanggotaan atau
trust mark) atau dari pembayaran masing-masing kasus. Oleh karena itu, proses penyelesaian
sengketa tergantung pada pendanaan oleh salah satu pihak secara eksklusif.

Ketiga, pihak yang menggunakan akses internet lebih yakin dalam menghadapi proses yang
akan dijalaninya, sebab mereka dapat dengan mudah mengontrol dan merespons apa yang
terjadi dalam proses; Keempat, jika para pihak enggan melakukan tatap muka, dapat
menghindari pertemuan dengan pihak lawannya. Para pihak dapat menghindarkan diri
perasaan takut akan diintimidasi dalam proses. Hal ini merupakan persoalan psikologis.
Bentuk cara penyelesaian sengketa dengan cara ODR tidak jauh berbeda dengan APS di
dunia nyata, namun sarana yang digunakan berbeda, yakni dengan sarana internet. Bentuk
cara penyelesaian sengketa, yaitu: tidak ada pihak ketiga (negosiasi), atau ada yang tidak
dapat membuat keputusan pada sengketa tersebut (mediasi), atau yang dapat membuat
keputusan (arbi-trase). Di offline, arbitrase dianggap bentuk penyelesaian sengketa alternatif
yang utama, karena dari sifat yudisialnya, syarat-syarat dan proses yang dapat digunakan,
karakter yang mengikat dan kemudahan pelaksanaan hasilnya, serta bantuan secara hukum
yang diwajibkan kepada pengadilan dalam prosedur pelaksanaan putusan arbitrase.

Arbitrase memberikan harapan yang besar untuk penyelesaian sengketa dalam ruang cyber
atau online, karena dua alasan :

1. karena kurangnya efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa yang konsensual dan


non-adjudikatif.
2. Adjudikasi di pengadilan seringkali tidak operatif karena pertentangan antara teritorialitas
pengadilan dan karakter global ruang maya (cyberspace).
3. Arbitrase online yang lebih efektif dan tanpa melihat teritorial. Tingkat penyelesaian dari
mekanisme penye-lesaian sengketa non-adjudikatif tidak menunjukkan bahwa ini efektif;
Banyak orang di beberapa situasi tidak mau bernegosiasi atau mediasi dan memerlukan
ada orang ketiga yang memutus-kan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini adalah
salah satu alasan yang membutuhkan pengadilan.

Arbitrase adalah bentuk penyelesaian sengketa yang paling tidak alternatif; ini adalah proses
penyelesaian sengketa ekstra yudisial yang hampir sama dengan proses pengadilan ini adalah
penyelesaian sengketa quasi-yudisial. Tetapi ruang siber adalah suatu lingkungan
konsensual, yang membutuhkan metode-metode penyelesaian sengketa berbasis
persetujuan: bukan penga-dilan, tetapi arbitrase.

Perkembangan yang memungkinkan terjadinya perdagangan secaraelektronik, telah


mengilhami dilakukannya penyelesaian sengketa secara elektronik. Di tengah kegalauan atas
sistem hu-kum yang tidak mudah mengikuti perkembangan dan cepatnya kemajuan,
teknologi telah memberikan gagasan tentang penye-lesaian sengketa secara online, dalam
bentuk arbitrase secara online (e-arbitration). Arbitrase online menjadi suatu pilihan yang
menarik dalam penyelesaian sengketa e-commerce. Karakteristik transaksi di internet
merupakan transaksi lintas batas geografis yang menghubungkan antara konsumen dengan
pelaku usaha dari berbagai negara yang dapat melahirkan sengketa. Di mana sengketa
tersebut nilai nominalnya sebahagian sangat kecil, tetapi membutuhkan penyelesaian yang
cepat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Berbagai upaya telah dilakukan, di
antaranya dengan menyediakan alternatif penyelesaian sengketa secara on-line, seperti
arbitrase online.

CATATAN KHUSUS Sumber Materi Buku : Hukum Transaksi E-Commerce di Indonesia


Oleh Dewa Gede Satriawan, SE, MM, MH, tahun 2019

Keabsahan transaksi e-commerce ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia didasari oleh
asas konsensualisme yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan,
kecakapan para pihak (syarat sah subjektif), suatu objek tertentu dan suatu kausa yang
diperbolehkan (syarat sah objektif) serta dikuatkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa transaksi
elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak, serta Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” dari beberapa pasal yang
dituangkan di atas maka timbul sebuah keabsahan sebuah kontrak elektronik.

Pengaturan e-commerce dalam hukum positif di Indonesia secara yuridis normatif diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun dalam pengaturan ini, belum jelas mengatur mengenai keabsahan transaksi e-
commerce, perlindungan hukum konsumen dalam e-commerce dan penyelesaian sengketa
dalam transaksi e-commerce, sehingga untuk melihat keabsahan transaksi e-commerce
masih mengacu pada Pasal 1320 KUH-Perdata yang sebenarnya berlaku untuk transaksi
konvensional, perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik juga masih merujuk pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya yang
menyangkut tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selain itu, konsumen
juga dilindungi dengan keberadaan Sertifikat Keandalan bagi pelaku usaha yang ikut
menjamin legalitas dan integritas pelaku usaha e-commerce dan penyelesaian sengketa
dalam transaksi perdagangan secara elektronik dilakukan sesuai dengan pilihan hukum dan
pilihan forum yang telah dilakukan para pihak. Di Indonesia penyelesaian sengketa dapat
dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
gugatan perdata ke pengadilan, atau melalui lembaga arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya. Selain itu tidak tertutup kemungkinan pelaku usaha juga diproses
secara pidana.

Ketentuan yang kurang tegas mengenai perjanjian e-commerce di Indonesia menimbulkan


ketidakpastian hukum dan resiko yang tinggi bagi para pelaku usaha. Bentuk kontrak dalam
aktivitas electronic commerce pada hakikatnya disebut dengan online contract sangat
berbeda dengan kontrak konvensional. Oleh karena itu, bagi pembuat undang-undang
disarankan ke depannya adanya pembaharuan hukum kontrak dalam aktivitas electronic
commerce menjadi suatu yang sangat penting. Karena KUHPerdata dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dirasa belum bisa menjamin
sepenuhnya kontrak yang dilakukan melalui media internet atau e-commerce.

Kepada pihak konsumen yang hendak melakukan transaksi di media internet, kiranya lebih
memperhatikan unsur kehati-hatian dalam melalukan transaksi, kenali terlebih dahulu alamat
web yang menyediakan jasa jual beli dimedia internet serta pahami klausula baku yang
diadakan oleh pihak pelaku usaha atau penjual serta, memahami hak dan kewajiban penjual
dan pembeli.

JURNAL : PEMAHAMAN TENTANG PERDAGANGAN ELEKTRONIK

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Izinkan Google mengakses cookie yang diperlukan


Anda tidak akan dapat mengakses konten ini jika cookie yang diperlukan dinonaktifkan

Pelajari lebih lanjut Izinkan cookie

Share this:

! Facebook x X

Memuat...

Terkait

HUKUM BISNIS MACAM-MACAM SISTEM LEGAL DRAFTING


Mei 26, 2009 HUKUM DI DUNIA Oktober 31, 2009
dalam "Hukum Bisnis" Mei 10, 2009 dalam "Legal Drafting"
dalam "Pengantar Hukum
Indonesia"

tiarramon Maret 10, 2020 BAHAN KULIAH

Pos Sebelumnya Pos Berikutnya

Hukum Perdata (revisi) : Hak SURAT KUASA


Kebendaan (Zakelijk Recht)

Tinggalkan Balasan

Dr. TIAR RAMON, SH., MH, Blog di WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai