Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SEKITAR HUKUM (AL-AHKAM)


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A.

Disusun Oleh:
Dhaifina Khairani ( 221110033 )
Choirini Fidya Amara ( 221110034 )
Ira Intan Aulia ( 221110035 )
Putri Arum Sari ( 221110036 )
Muhammad Prayuda ( 221110037 )
Hadi Fauziadi ( 221110038 )
Umil Husna ( 221110039 )

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDIN
BANTEN
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini
adalah “Sekitar Hukum (Al-Ahkam)”.

Pada kesempatan ini kami berterima kasih kepada Bapak Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A.
Selaku dosen pengampu yang telah membimbing dan memberikan tugas terhadap kami. Kami
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, ataupun
adanya ketidak sesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tiada
yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami
sebagai penulis dan penyusun makalah ini menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari
pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Serang, 01 Desember 2023

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I – PENDAHULUAN

Latar Belakang .................................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1

Tujuan ................................................................................................................................. 1

BAB II – PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Syara’ ................................................................................................... 2

Hukum dan Pembagiannya ................................................................................................. 2

Al-Hakim ............................................................................................................................ 4

Mahkum Bihi ...................................................................................................................... 5

Mahkum Fih ....................................................................................................................... 9

Mahkum Alaih .................................................................................................................... 12

BAB III – PENUTUP

Simpulan ............................................................................................................................. 17

Saran ................................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Membahas tentang hukum tentu akan kita temukan banyak sekali hukum-hukum yang
didalamnya mengatur secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut. Seperti
adanya KUHP yang mengatur tentang hukum pidana. Dalam keseharian kita sebagai seorang
muslim tentunya terdapat hukum-hukum yang juga mengatur tata cara kita dalam menjalankan
suatu amaliyah. Dalam agama Islam sendiri terdapat beberapa ilmu yang di dalamnya juga
mempunyai aturan-aturan khusus terkait bidang tersebut.

Berdasarkan hal tersebut pemakalah bermaksud untuk memaparkan maksud atau arti
hukum (al-hakam) dalam konteks ilmu ushul fiqih. Dengan harapan dapat memberikan
pemahaman kepada para pembaca khususnya kepada pemakalah sendiri untuk memahami arti
khusus al-hakam dalam ushul fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Hukum Syara’ dan pembagiannya?
2. Bagaimana penjelasan tentang Al-hakim dan Mahkum bihi?
3. Bagaimana penjelasan tentang Mahkum Fih?
4. Bagaimana penjelasan tentang Mahkum Alaih?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Hukum Syara’ dan pembagiannya
2. Mengetahui penjelasan tentang Al-hakim dan Mahkum bihi
3. Memahami penjelasan tentang Mahkum Fih
4. Memahami penjelasan tentang Mahkum Alaih

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara'
Hukum syar'i atau hukum syara adalah kata majemuk yang tersusun dari kata "hukum"
dan kata "syara".
B. Hukum dan Pembagiannya1
Menurut bahasa, hukum diartikan: menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan
sesuatu daripadanya. Menurut Muhammad Abu Zahra arti hukum secara istilah adalah titah
Allah (atau sabda rasul) yang mengenai pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan
berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan atau larangan, atau semata-mata
menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu sebab, atau syarat atau penghalang bagi
sesuatu hukum.
Yang dimaksud dengan khitab Allah dalam definisi di atas adalah semua bentuk dalil,
baik Al-Qur'an, Al-hadits maupun yang lainnya, seperti ijma' dan qiyas. Namun para ulama
ushul kontemporer, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil di sini hanya Al-Qur'an
dan Al-hadits. Adapun ijma dan qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-
Qur'an dan al-Hadits.
Kebanyakan ulama membagi hukum kepada dua jenis saja, yaitu hukum taklify dan
hukum wadh'iy.
1. Hukum Takhlify
Dari kalangan para ushul fiqh, seperti dikemukakan oleh Iyad Hilal diperoleh keterangan,
bahwa titah-titah agama yang masuk ke dalam takhlify ada lima macam yaitu:
a. Ijab (Mewajibkan)
Yaitu titah yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan. Pada intinya yang disebut
wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakan perintah allah dan rasulnya
dan akan diberi siksa apabila meninggalkannya.
Dilihat dari segi tertentu atau tidak tentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi
dua:
• Wajib Muayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya. Misalnya membaca
al-fatihah dalah sholat.
• Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh memilih.
b. Nadb (anjuran supaya dikerjakan)

1
Ahmad,Sanusi dan Sohari (2015) Ushul Fiqh hal.95
2
Yaitu titah yang mengandung suruhan yang tidak musti dikerjakan, hanya merupakan
anjuran melaksanakannya. Ketidakmustian dikerjakan dan diperoleh dari qarinah di luar
suruhan itu, umpamanya firman Allah swt dalam surah Al-baqarah: 282. Yang artinya: "Apabila
kamu utang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah ditentukan, maka
tulisalah utang itu." Suruhan menulis atau membuat keterangan tertulis tidak bersifat wajib
melainkan merupakan anjuran. Titah yang serupa ini disebut nadh, berkasnya disebut nadbu,
dan pekerjaannya disebut mandub atau sunnat.
c. Tahrim (Mengharamkan)
Yaitu titah yang mengandung larangan yang musti dijauhi, umpamanya dalam sirah Al-
isra: 23. Yang artinya "janganlah kamu mengatakan kepada keduannya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".
Titah ini dinamakan tahrim, berkasnya disebut muhram, pekerjaannya dinamakan haram, atau
mahzhur.
d. Karohah (Membencikan)
Yaitu titah yang mengandung larangan namun tidak musti dijauhi ketidakmustian kita
menjauhinya itu diperoleh dari qarinah-qarinah yang terdapat di sekelilingnya yang mengubah
larangan itu dari wajib ditinggalkan kepada tidak wajib ditinggalkan, umpamanya dalam surah
Al-jumu'ah: 9 "apabila diseru untuk menunaikan shalat jum'at, maka bergegaslah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli."
Dalam ayat ini perkataan tinggalkanlah berjual beli, sama artinya dengan jangan kamu
berjualan, hanya saja larangan berjual beli di sini sebagai sebab di luar dari pekerjaan itu, maka
larangan di sini tidak bersifat mengharamkan, melainkan hanya memakhruhkan.
e. Mubah (Sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan)
Ulama hanafiyah seperti dikemukakan oleh jaih mubarok membedakan hukum taklif
menjadi tujuh. Disamping yang lima, ditambah lagi dengan fardhu (dibendakan dari wajib), dan
antara haram dengan makhruh terdapat hukum karahah tahrimat. Oleh karena itu, bagi ulama
hanafiyah, ragam hukum taklif adalah Fardu, Wajib, Sunnah, Haram, Makhruh tahrim,
Makhruh tanzih, Mubah.
2. Hukum Takhyiry
Hukum takhyiry ialah yang memberikan hak memilih atau ibadah, yakni titah yang
menerangkan kebolehan kita mengerjakan atau tidak mengerjakan pekerjaan yang dititahkan.
Titah itu dinamakan ibadah, sedangkan pekerjaannya dinamakan mubah.
3. Hukum Wash'iy
Al-amidi dalam kitabnya Al-ihkam menerangkan hukum wadh'iy itu ada tujuh macam,
sebagai berikut:
3
a) Titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebab bagi wajib dikerjakannya
suatu pekerjaan.
b) Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu.
c) Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya (sahnya)
sesuatu hukum.
d) Titah yang menerangkan sahnya suatu pekerjaan, yaitu apabila kita diperintah
mengerjakan suatu pekerjaan dan telah memenuhi sebab dan syaratnya serta terlepas dari
penghalangnya, yakinlah kita bahwa pekerjaan itu telah menjadi sah, melepaskan diri dari
tugas-tugas pelaksanaanya.
e) Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandangan sah, tidak
dihukum terlepas yang membuatnya dari tugas-tugas pelaksanaannya.
f) Titah yang menetapkan atas para mukallaf, tugas-tugas yang diberatkan sebagai
suatu hukum yang umum, bukan karena suatu pengecualian, disebut azimah.
g) Titah yang memberi pengertian, bahwa hukum yang dimaksudkan itu sebagai ganti
dari hukum azimah, yakni yang dikerjakan lantaran dipandang sukar menjalankan yang
azimah. Bekasnya disebut rukhshah, pekerjaannya disebut rukhshah pula.
C. Al-Hakim2
Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu adalah Allah
Swt., sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasul-Nya. Beliau-
beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.
Golongan mu'tazilah berpendapat, bahwa sebelum rasul dibangkitkan, akal manusia
itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu
perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu
hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang
bersesuaian tabi'at, dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at
dipandang buruk oleh akal.
Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah sesuai dengan
firman Allah Swt.:
ِ ‫ِإ ِن ْال ُح ْك ُم ِإ اَّل ِ ا‬
‫لِل‬
Tidak ada hukum melainkan bagi Allah (QS Al-An'am: 57).

2
Ibid. Hal.100
4
Mengenai soal apakah hukum-hukum Allah itu disyariatkan harus sesuai dengan
kemaslahatan hamba atau tidak, seluruh ulama sepakat, bahwa hukum-hukum Allah itu
bersesuaian dengan kemaslahatan hamba.
D. Mahkum Bihi3
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, takhyiry dan
hukum wadh'iy:
1. Wajib dan Bagian-bagiannya
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan.
Wajib dibagi kepada beberapa bagian, sebagai berikut:
a) Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib dikerjakan tetapi tidak ditentukan
waktunya, seperti membayar kaffarah.
b) Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya
seperti shalat wajib dan puasa Ramadhan. Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu:
• Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih
luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardu.
• Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar
pekerjaan, misalnya puasa Ramadhan
c) Wajib ainiy, yaitu segala pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk
mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan
kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa
Ramadhan, zakat, haji, dan sebagainya.
d) Wajib kifaa'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya,
dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban
oleh sebagai mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib.
e) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti
zakat, kaffarah, dan sebagainya.
f) Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan
ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan
kepada orang miskin dan sebagainya.
g) Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara
khusus, seperti membaca Al-Fatihah dalam shalat.
h) Wajib mukhayyar, yaitu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa
pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.

3
Ibid. Hal.101
5
i) Wajib mu'ada, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah
ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamakan ada'. Pekerjaannya
disebut mu'addaa.
j) Wajib magdhiy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah
ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu di luar waktunya disebut qadhaa'an,
pekerjaannya disebut maqdhiy.
k) Wajib mu'aadah , mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan tidak begitu sempurna,
dinamakan mengulangi (i'aadah), pekerjaannya disebut wajib mu'aadah .
2. Mandub, Sunnah dan Derajat-derajatnya
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi
dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada wajib, artinya pekerjaan itu disuruh kita
melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya.
Pekerjaan yang mandub itu dinamakan margub fihi artinya pekerjaan yang digemari kita
melaksanakannya, Pekerjaan yang disukai bila kita mengerjakannya dinamakan mustahab.
Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri
dinamakan tathawwu.
Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut
mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) fardhu, (2) wajib (3) sunnah,
dan (4) nafl (mandub).
Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
a) Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan
kewajiban-kewajiban agama, seperti azan dan jamaah.
b) Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk
menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian yaitu:
a) Sunnat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih
banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan
fardhu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
b) Sunnat ghairu muakkadah, yaitu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti
shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum Zuhur.
3. Haram dan Pengertiannya
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara', haram
ialah pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya. Ulama Hanafiyah
membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:

6
a) Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'i yakni Kitabullah dan Sunnah
Mutawatiroh. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamakan
haram atau mahdzur.
b) Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'i, yakni dengan nash yang
zhanni, disebut karahah tahrim.
4. Makruh dan Definisinya
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara' makruh berarti
pekerjaan yang dituntut untuk kita tinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa akan disiksa bila
kita mengerjakannya. Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif
yaitu (1). Fardhu, (2). Wajib, (3). Haram, (4). Makruh tahrim, (5). Makruh tanzih, (6). Sunnat
hadyin, (7). Mandub atau Nafl.
5. Mubah dan Penjelasannya
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang diperbolehkan mengambilnya atau tidak
mengambilnya. Menurut syara', mubah ialah sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan
tidak dipuji pula meninggalkannya.
6. Haram dan Pengertiannya
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara', haram
ialah pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya.
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
• Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'i yakni kitabullah dan sunnah
mutawatiroh. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut
dinamakan haram atau mahdzur.
• Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'i, yakni dengan nash yang
zhanni, disebut karahah tahrim.
7. Makruh dan Definisinya
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara' makruh berarti:
"Pekerjaan yang dituntut untuk kita tinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa akan disiksa
bila kita mengerjakannya".
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif yaitu Fardhu, Wajib,
Haram, Makruh tahrim, Makruh tanzih, Sunnat hadyin, Mandub atau Nafl.
8. Mubah dan Penjelasannya
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang diperbolehkan mengambilnya atau tidak
mengambilnya. Menurut syara', mubah ialah Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan
tidak dipuji pula meninggalkannya.
9. Sebab dan Pengertiannya
7
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang
dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf. Asy-
Syatibi mengatakan, Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena
adanya suatu hikmah yang ditimbulkan oleh hukum itu. Adapun illat ialah Kemaslahatan atau
kemanfaatan yang diperhatikan syara' di dalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya.
10. Syarat dan Hakikat
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara' Syarat berarti
sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum
masyrutnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
✓ Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakarinya sebelum
mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak
ada yang pertama itu.
✓ Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika,
kalau, sekiranya dan sebagainya.
11. Mani' dan Penjelasannya
Mani' (Penghalang hukum) ialah suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu
perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan. Para ulama ushul
Hanafiyah membagi mani’ ini menjadi lima macan yaitu:
a) Mani’ yang menghalangi sahnya sebab,
b) Mani’ yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan
akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad.
c) Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum.
d) Mani’ yang menghalangi sempurnanya hukum
e) Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum.
12. Azimah dan Rukhshah
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu
azimah dan rukhshah.
a) Azimah. Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak
ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan keadaan tertentu.
b) Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya
uzur (halangan). Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya
berlaku selama ada uzur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini
datangnya terkemudian sesudah azimah..
13. Sah dan Batal
8
Lafal sah mempunyai dua arti,yaitu:
✓ Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadha) di dunia.
✓ Memperoleh pahala atau ganjaran.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya
karena Allah semata-mata, makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi
menjadi pembicaraan ulama akhlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa suatu amal dipandang
sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu;
✓ Tidak mencukupi. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan
syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
✓ Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.
E. Mahkum Fih4
Yang disebut mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai
hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan
beberapa syarat:
1. Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah
disangkutkan dengan yang mustahil seperti mengumpulkan antara dua hal yang
berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan
mungkin akan terwujud.
2. Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran bisa sanggup
dilakukan oleh orang yang menerima khitab itu.
3. Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik
secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.
4. Mungkin dapat diketahui, oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah
Allah, sehingga Ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang
dimaksud dengan yang diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui
dengan jalan memerhatikan dalil-dalil dan menggunakan nazar.
5. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk
menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini kecuali dua perkara,
yaitu:
a. Nazar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin
dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum
dikerjakan.

4
Ibid. Hal.110
9
b. Pokok bagi iradat taat dan ikhlas, bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat
mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga
iradat itu.
Di samping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut di atas, bercabanglah
beberapa masalah yang lain, sebagai berikut.
1. Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan
oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil
dilaksanakan itu ada kalanya suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti
mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan
itu tidak ada, dan mustahil menurut adat, yaitu perbuatan itu sendiri mungkin terwujud
tetapi mukalaf tidak sanggup melaksanakannya.
2. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa
pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan
kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu
Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif
terhadap sesuatu yang mustahil.
3. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk di
bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang
sukar itu ada dua macam;
a. Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu
dilaksanakan.
b. Yang tingkatnya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa
lebih berat daripada yang biasa. Secara akal, tidak diragukan lagi tentang kebolehan
taklif dengan bagian pertama, karena mungkin terjadi sebagaimana tidak dapat
dibantah lagi bahwa bukanlah syara’ bermaksud memberatkan mukallaf dengan
beban yang sangat menyukarkan. Dalam kenyataan tidak terjadi taklif yang
demikian itu. Membebankan para mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah
yang terjadi.
4. Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang
luar biasa, pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya hasil dari sebab dan ikhtiar
mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki kesukaran dan ada kalanya
juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya. Nabi menyuruh orang yang
bernazar puasa dengan berdiri di bawah terik matahari agar menyempurnakan puasanya
dan mencegah berdiri di bawah terik matahari.

10
Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya ada beberapa macam,
yaitu:
1) Pekerjaan-pekerjaan yang Dipandang Hak Allah Semata-mata
Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya
kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat
kepentingan yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekerjaan itu.
Hal itu terbagi kepada beberapa bagian;
a) Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadat semata-mata, seperti Iman, shalat, shiam,
haji, umroh, dan Jihad.
b) Pekerjaan ibadat yang didalamnya terasa adanya beban yakni diwajibkannya antara
orang lain, seperti nafkah.
c) Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi mengandung pengertian
ibadat, seperti membayar 1/10 dari hasil tanah ‘usyur.
d) Pekerjaan-pekerjaan yang diberatkan karena orang lain dan mengandung paksaan,
seperti membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti terpaksalah kita mengerjakan
tanah itu.
e) Pekerjaan-pekerjaan yang tidak tersangkut dengan tanggungan seseorang seperti
seperlima dari harta rampasan barang logam dan barang-barang galian yang didapati
dari simpanan orang dahulu. Seperlima itu diambil dari harta yang didapati dan
diberikan kepada mereka yang telah ditetapkan Allah, sebagai penyampaian hak Allah,
bukan sebagai ibadah kita.
f) Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata paksaan, seperti hukuman siksa, zina, mencuri,
meminum-minuman yang memabukkan.
g) Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah paksaan, seperti mengharamkan
pembunuh menerima pusaka dari orang yang dibunuh.
h) Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti kaffarah, dikatakan
ibadah, karena yang dijadikan kafarah itu adalah ibadah, umpamanya puasa,
memerdekakan budak dari disyaratkan niat. Dipandang paksaan adalah karena kaffarah
itu lantaran berbuat kesalahan.
2) Pekerjaan yang Dihukum Hak Hamba Semata-mata
Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga
barang yang kita rusakkan, memiliki barang yang kita beli dan sebagainya.
3) Pekerjaan-pekerjaan yang Terkumpul Padanya Hak Allah dan Hak Hamba, Akan
Tetapi Hak Allah Lebih Kuat

11
Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu
mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah di sini lebih
keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan
tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas.
4) Pekerjaan-pekerjaan yang Terkumpul Padanya Hak Allah dan Hak Hamba, Akan
Tetapi Hak Hamba Lebih Kuat
Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba
lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diyat saja atau memaafkan saja.
F. Mahkum Alaihi5
Mahkum alaihi ialah mukallaf yang dibebani hukum. Untuk membebankan taklif hukum
kepada mukallaf diperlukan beberapa syarat, sebagai berikut:
1. Si Mukallaf Sanggup Memahamkan Titah yang Dihadapkan Kepadanya
Oleh karena demikian maka tidaklah dihadapkan titah kepada orang gila dan yang belum
mengerti arti suruhan, seperti kanak-kanak.
2. Berakal
Oleh karena manusia itu di dalam mencapai kesempurnaan akal melalui beberapa periode,
ahli Ushu Hanafiyah telah menerangkan hukum mengenai manusia sejak dari manusia masih
berada dalam perut ibu sampai kepada sempurna akalnya. Mereka membagi hidup manusia
kepada empat periode sebagai berikut:
• Periode pertama : Ketika dalam kandungan
• Periode kedua : Dari lahir sampai mempunyai kemampuan tamyiz
• Periode ketiga : Dari memiliki kemampuan tamyiz sampai baligh
• Periode keempat : Dari baligh sampai meninggal dunia.
Berikut ini penjelasan masing-masing periode :
a) Periode Janin
Janin itu tidak mempunyai tanggungan, belum mempunyai hak dan belum mempunyai
kewajiban, tetapi bila dititik dari segi bahwa dia sebagai satu jiwa yang hidup, terpaksa kita
menghukuminya dengan mempunyai tanggungan dan memandangnya ahli untuk menerima
kewajiban dan menuntut hak.
b) Periode Bayi
Apabila janın telah lahir, barulah ia diakui berdiri sendiri terlepas dari ibunya, barulah ia
dipandang mampu untuk memperoleh hak, dalam pada itu tentang kewajibannya masih
berlainan dengan kewajiban orang yang sudah mukallaf.

5
Ibid. Hal.113
12
Kemudian jika pertanggungjawaban semata-mata mengenai harta wajib
dipertanggungjawabkan akan hartanya. Jika pertanggungjawaban itu mengenai pekerjaan yang
wajib ditunaikan dengan badan, seperti shalat, puasa dan sebagainya maka tidak
dipertanggungjawabkan atasnya.
c) Periode Mumayyiz
Sesudah anak masuk ke dalam periode mumayyiz, masuklah ia ke dalam periode ketiga,
barulah ditetapkan baginya untuk menunaikan pekerjaan- pekerjaan yang diwajibkan bagi
mukallaf walaupun bagi anak mumayyiz itu belum diwajibkan karena belum sempurna akalnya.
Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh anak mumayyiz itu ada dua macam, yaitu hak
Allah dan hak hamba. Hak Allah, ada yang semata-mata kebaikan dan tidak mengandung sifat
buruk padanya, seperti iman, tetapi ada pula yang semata-mata buruk tidak mengandung
kebaikan seperti kufur. Hak hamba, ada yang cukup bermanfaat, ada yang hanya kemudharatan,
ada juga yang di antara kemanfaatan dan kemudharatan.
d) Periode Baligh (Dewasa)
Sesudah anak itu baligh, sempurnakanlah keahliannya barulah ia menanggung
kewajibannya secara penuh dan mempunyai hak yang sempurna. Syara' telah menjadikan
sampai umur sebagai tanda memiliki keahlian yang sempurna, yaitu menurut Abu Hanifah,
umur 17 tahun bagi gadis dan 18 tahun bagi jejaka.
Hal-hal yang mengenai keahlian ada dua macam, yaitu:
1. Halangan-halangan Langit
Artinya Halangan yang tak dapat ditolak oleh manusia, sekali-kali bukan datang dari
manusia. Yang terbagi kepada delapan macam, yaitu:
a. Gila
Orang yang gila tidak dapat melakukan niat atau niatnya tidak dipandang sah. Orang gila
terlepas dari tuntutan-tuntutan mengerjakan shalat yang tertinggal dalam masa gilanya lewat
setahun. Dalam pada itu, dikenakan atas orang gila sesuatu bayaran, bila dia merusakkan harta
orang (yakni diambil dari hartanya), sama dengan anak kecil yang merusakkan harta orang.
b. Setengah Gila (Ma'tuh)
Ibnul Qoyyim berpendapat, orang ma'tuh ialah orang yang kurang sekali pemahamannya,
tidak teratur perkataannya, rusak pentadribannya, cuma dia tidak memukul dan tidak memaki-
maki sebagai yang dilakukan oleh orang yang majnun.
c. Lupa
Adapun dari hak Allah, maka apakah kita dipandang berdosa karena kelupaan itu, dan
apakah pekerjaan yang dilakukan karena kelupaan itu menghasilkan (mengakibatkan) hukum,

13
mereka yang lupa itu tidak bedosa, karena sifat lupa adalah satu keuzuran. Rasulullah SAW
bersabda:
َ ‫ع ْن أ ُ امتِي ا ْل َخ‬
َ‫طأ َ َوا ْن ْسيَان‬ َ ‫ُرفِ َع‬

"Telah diangkat dari umatku kesilapan dan kelupaan." (HR. Ahmad).


d. Tidur
Tidur suatu hal yang menghalangi kita mengetahui khitab. Maka tidur itu mewajibkan
pentakhiran khitab menunaikan hukum khitab sehingga bangun. Akan tetapi, tidur itu tidak
bertentangan dengan pokok kewajiban, karena kewajiban itu tetap dalam tanggung jawabnya.
Sabda Rasulullah SAW
َ ُ‫ص ََلةٍ أ َ ْو نَ ِسيَ َها فَ ْلي‬
‫ص ِل َها ِإذَا ذَك ََرهَا‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫َم ْن ن‬
َ ‫َام‬

"Barangsiapa tidur lalu meninggalkan shalat, melupakannya, maka hendaklah ia mengerjakan


shalat sesudah ia ingat." (HR. Bukhari Muslim)
e. Pingsan
Pingsan menghalangi kita mengetahui khitab bahkan ia lebih berpengaruh daripada tidur.
Karena itu orang yang pingsan, kepadanya diberikan hukum sebagai orang tidur, bahkan lebih
daripadanya.
f. Sakit
Sakit tidak menggugurkan kesanggupan mengerjakan ibadah karena tidak merusakkan
akal, dan tutur, hanya melemahkan saja, Karena demikian, orang sakit mengerjakan hal ibadah
seberapa ia sanggup.
g. Haid dan Nifas
Haid dan nifas tidak menggugurkan kesanggupan menanggung kewajiban dan
menunaikannya. Hanya lantaran syarat, telah mensyaratkan suci daripadanya untuk sah
mengerjakan shalat tidaklah sah shalat yang dikerjakan, selama dalam haid dan bernifas itu.
h. Mati
Mati menggugurkan segala hukum yang menimpa manusia di dunia seperti zakat, haji
dan lain-lain. Dan terbebankan atas pundaknya dosa ketaksiran (kelalaian) dan kesalahannya.
Dalam pada itu hukum-hukum yang dibebankan atasnya untuk keperluan orang lain ditetapkan
berlakunya tidak digugurkan.
2. Halangan-halangan yang Diusahakan
Halangan-halangan yang diusahakan oleh mukallaf sendiri ialah:
a. Mabuk
Mabuk jika dipandang tidak maksiat, seperti mabuk karena terpaksa meminum-minuman
yang memabukkan, atau diminumnya untuk obat, maka diserupakan hukum orang yang mabuk
14
itu dengan orang pingsan. Sedangkan jika mabuknya karena kemaksiatan, tidaklah
mengakibatkan gugurnya suatu kewajiban baginya. Dianggap demikian, adalah karena akalnya
dikala mabuk tidak hilang daripadanya. Hanya akalnya pada saat itu tidak sanggup memahami
khitab yang dihadapkan kepadanya karena kemaksiatan.
Tetapi beberapa di antara fuqaha dari berbagai mazhab menetapkan bahwa mabuk itu
menghilangkan akal/keahlian. Karena itu tidak sah aqad orang yang mabuk, tidak sah
ucapannya dan perbuatannya, baik mengenai iltizam mu'awadhah, isqath, ithlaq, taqjied,
zawad, dan lain-lainnya, walaupun dia disalahkan jika membuat jinayah dalam mabuknya itu
dan membayar harta-harta yang dirusakkan.
b. Berpura-pura atau Bermain-main
Berpura-pura ialah mengucapkan sesuatu perkataan yang sama sekali tidak dikehendaki
berlakunya. Berpura-pura itu tidak mewujudkan kemampuan, hanya mewujudkan keridhaan
saja. Pekerjaan-pekerjaan yang mungkin dipura-purakan ada tiga macam, yaitu kata-kata yang
mengandung suruhan dan cegahan, Perkhabaran, Kepercayaan.
c. Safah (Kurang Akal, atau Serampangan dalam Urusan Harta)
Safah atau serampangan itu, tidak menggugurkan sesuatu. Syara' mencegah safah
mentasarrufkan hartanya sesuka hatinya demi menjaga keselamatan hartanya. Apabila safah
menyertai seseorang hingga balighnya, wajiblah atas hakim atau qadhi memegang harta itu
sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur'an.
d. Safar (bepergian)
Safar juga tidak menggugurkan kewajiban, hanya meringankan. Dibolehkan kita qashar
dan jamak shalat di dalam bersafari, dibolehkan kita berbuka, tidak berpuasa, dengan
menggantikannya di hari yang lain.
e. Khilaf atau Tidak Sengaja
Orang yang dihukum salah karena kurang hati-hati hukumannya diringankan.
f. Utang
Menurut Abu Hanifah, tidak boleh dibayarkan orang yang mempunyai utang. Abu Yusuf
membolehkan kita membayarkan orang yang berutang dengan perintah qadhi, jika utang itu
menghabiskan hartanya dan diminta pula oleh orang yang berpiutang kepadanya. Menurut
pendapat Malik, boleh dihajarkan dengan tidak memerlukan putusan hakim.
g. Paksaan
Paksaan ialah mendesak seseorang untuk mengerjakan atau mengatakan yang tidak
disukainya. Para ahli ushul Hanafiyah membagi paksaan kepada dua bagian, yaitu Paksaan yang
memusnahkan, yaitu sesuatu paksaan, apabila tidak dituntut binasalah jiwa atau anggota atau

15
sesuatu paksaan yang tidak dapat diderita. Dan Paksaan yang apabila tidak dituruti tidak
menghasilkan kebinasaan, tidak membawa kepada hilangnya jiwa atau rusaknya anggota.

16
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Hukum syar'i atau hukum syara adalah kata majemuk yang tersusun dari kata "hukum"
dan kata "syara". Hukum secara istilah adalah titah Allah (atau sabda rasul) yang mengenai
pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan,
suruhan atau larangan, atau semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu
sebab, atau syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.
Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu adalah Allah
Swt., sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasul-Nya. Beliau-
beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.
Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya.
Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa
syarat. Mahkum alaihi ialah mukallaf yang dibebani hukum. Untuk membebankan taklif hukum
kepada mukallaf diperlukan beberapa syarat.

B. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi tentang Sekitar hukum (Al-
Ahkam), tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya
pengetahuan dan rujukan maupun referensi yang bersangkutan dengan makalah kami. Oleh
karena itu, kami berharap bahwa pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
untuk kami demi sempurnanya makalah ini menjadi lebih baik lagi. Dan semoga dengan
makalah ini bisa bermanfaat bagi kami terkhusus dan juga pembaca.

17
DAFTAR PUSTAKA

Sanusi,Ahmad dan Sohari. (2015) Ushul Fiqh. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

18

Anda mungkin juga menyukai