Anda di halaman 1dari 10

SEKALI LAGI MAHISA AGNI MEMANDANGI

AKAR WREGU itu, dan kemudian dibalutnya


dengan rapi. Diselipkannya akar itu di ikat
pinggangnya di bawah bajunya. Kini tangannya
sekali-kali meraba hulu kerisnya. Seakan-akan ia
berkata kepada pusaka itu. Kita akan menghadapi
setiap kemungkinan bersama-sama untuk
melindungi akar wregu putih ini.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah keluar
dari ujung gua itu. Setelah sekali ia membelok
maka ia sampai pada daerah yang gelap. Sekali ia
masih menemui lubang udara lagi, namun sesaat kembali ia terlempar ke
daerah yang kelam.
Dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan
sambil meraba-raba dinding. Dengan hati-hati pula ia menuruni tangga dan
kemudian menyusur daerah yang lembab. Di kejauhan Mahisa Agni
melihat remang-remang sinar jatuh ke dalam gua. Sinar yang masuk lewat
lubang-lubang seperti yang beberapa kali telah dilihatnya.
Namun tiba-tiba langkah Mahisa Agni terhenti. Di muka sinar yang samar-
samar itu ia telah melemparkan Buyut Ing Wangon. Karena ini tiba-tiba ia
menjadi berdebar-debar. Apakah orang itu masih di sana? Pertanyaan itu
timbul di dalam hatinya. Namun dijawabnya sendiri, “Aku telah memiliki
akar ini. Biarlah aku tidak menghiraukannya lagi.”
Kemudian Mahisa Agni itu pun bahkan mempercepat langkahnya. Ia ingin
segera melampaui orang bongkok dari Wangon itu. Karena itu, maka
Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan semakin cepat pula.
Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Lamat-lamat ia telah mendengar
suara orang itu merintih.
“Gila!” desahnya, “Kenapa orang itu masih belum pergi juga?”
Ketika sekali lagi Mahisa Agni mendengar rintihan itu terasa dadanya
berdesir. Namun sambil mengatupkan giginya rapat-rapat sambil
menggeram ia melangkah maju. Ia ingin melompati orang itu untuk
kemudian dengan cepat meninggalkannya. Namun, desir di dadanya itu
semakin lama menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian Mahisa Agni itu
terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat maju lagi.
Kini Mahisa Agni harus berjuang melawan perasaannya. Suara orang dari
Wangon itu terdengar sangat memelas. Tetapi apakah yang dapat
dilakukan?

1
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun berteriak sekeras-kerasnya untuk menindas
perasaan yang semakin menggelora di dalam dadanya. Katanya, “He,
Buyut Ing Wangon. Menepilah! Aku akan lewat, supaya kau tidak terinjak
karenanya.”
“Oh,” terdengar orang itu berdesis. Tidak terlalu keras, namun Mahisa
Agni dapat mendengarnya, “kaukah Empu dari Gunung Merapi itu?”
“Ya,” sahut Mahisa Agni pendek. Tetapi kemudian ia berteriak, “Aku akan
membunuh siapa saja yang menghalangi aku!”
“Apakah kau sudah berhasil menemukan akar wreguitu?” terdengar Buyut
itu bertanya.
“Sudah!” jawab Agni kasar, “Apakah maumu?”
“Syukur. Syukur,” gumam orang itu.
Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir. Dan sekali lagi ia berusaha
menindas perbuatannya. Ia berteriak-teriak untuk mengusir setiap bisikan
di dalam hatinya, “Pergilah supaya aku tidak membunuhmu!”
“Kau tak usah melakukannya, Ki Sanak,” terdengar suara itu semakin
lemah, “sebentar lagi aku akan mati dengan sendirinya. Tidak hanya aku,
tetapi beribu-ribu orang lain.”
“Persetan! Persetan!” Mahisa Agni itu berteriak-teriak seperti orang gila.
Katanya seterusnya, “Pusaka ini sangat penting bagiku. Matilah orang
Wangon. Matilah bersama segenap keluarga dan orang-orangmu.”
“Ya,” jawab Buyut Ing Wangon itu, “aku memang akan mati. Dan sebelum
mati aku akan mengucapkan selamat kepadamu, Ki Sanak. Namun, apakah
aku boleh mendengar kegunaan akar itu padamu? Biarlah aku
mengetahuinya .Mungkin pengetahuan itu akan mempermudah
perjalananku ke alam yang langgeng.”
Terasa dada Mahisa Agni itu bergelora. Namun seperti orang gila ia
berteriak-teriak pula, “Ketahuilah, he, Buyut Ing Wangon. Pusaka ini akan
menjadikan aku seseorang yang sakti pilih tanding.”
“Oh,” desah orang itu, “hanya itu?”
“Kenapa hanya itu?” ulang Mahisa Agni, “dengan kesaktianku aku akan
dapat berbuat apa saja. Aku akan berbuat kebajikan dan menjunjung
kebenaran. Kau dengar?”
“Ya, ya. Aku dengar. Syukurlah apabila demikian. Mudah-mudahan kau
akan dapat mengamalkannya,” sahut Buyut dari Wangon. Dan perlahan-
lahan orang itu berkata pula, “Tetapi Ki Sanak, apakah aku dapat
menitipkan satu pesan kepadamu?”
Gelora di dalam dada Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin keras.
Setiap kata yang terpancar dari mulut orang bongkok itu serasa sebuah
2
tusukan yang menghunjam dadanya. Meskipun demikian Mahisa Agni
menyahut juga, “Apakah pesan itu?”
“Ki Sanak,” berkata Buyut Ing Wangon yang sudah menjadi semakin
lemah, “terima kasih.”
“Jangan berterima kasih kepadaku!” bentak Mahisa Agni, “aku belum
menyatakan kesediaanku. Aku ingin mendengar dulu pesan itu.”
“Oh,” desah Buyut Wangon, “baiklah. Aku ingin kau menyampaikan
pesanku. Katakanlah kepada orang-orang Wangon, bahwa Buyut Ing
Wangon telah berusaha untuk mendapatkan obat itu. Namun ia tidak
berhasil. Sampaikan permintaan maafku yang sebesar-besarnya kepada
mereka, bahwa aku mati di dalam gua di mana akar wregu itu disimpan.
Dengan demikian..”
“Cukup!” bentak Agni semakin keras, “jangan lanjutkan supaya aku tidak
menjadi semakin marah.”
“Oh,” sekali lagi Buyut Wangon itu berdesah, “kenapa Ki Sanak menjadi
marah. Atau barangkali Ki Sanak berkeberatan untuk singgah di Wangon.”
“Aku belum pernah mendengar nama padukuhan Wangon,” jawab Mahisa
Agni.
“Aku dapat memberimu ancar-ancar.”
“Tidak! Tidak!” dan tiba-tiba Mahisa Agni tersandar di dinding gua. Dan
tiba-tiba pula kedua telunjuk tangannya menyumbat telinganya. Teriaknya,
“Jangan berbicara lagi! Jangan berbicara lagi! Aku harus memenuhi
perintah guruku. Akar wregu ini harus aku bawa pulang.”
Terdengar Buyut Wangon itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
terdengar ia berkata. Meskipun Mahisa Agni telah menyumbat kedua
lubang telinganya namun suara itu masih terdengar, “Ya. Ya. Bawalah Ki
Sanak bawalah akar itu pulang.”
Mahisa Agni tiba-tiba terbungkam. Tubuhnya pun kemudian bergetar
secepat getaran di dadanya. Tanpa sesadarnya Mahisa Agni itu berkata,
“Bagaimanakah caramu mempergunakan akar ini untuk mengobati sakitmu
itu?”
“Tak ada gunanya,” jawab orang bongkok itu. Mahisa Agni dapat
mendengar kata-katanya dengan jelas. Meskipun kedua ujung telunjuknya
masih melekat di telinganya, namun ia berusaha untuk mendengar jawaban
Buyut Wangon itu.
“Bukankah Ki Sanak ingin menolongku dengan mempergunakan akar itu
dahulu kemudian akar itu tetap kau miliki? Tidak bisa. Tidak bisa Ki
Sanak. Sebab kami harus menyayat akar itu lumat-lumat. Kemudian setiap
orang yang sakit harus menelan meskipun hanya sebagian kecil dari akar
3
itu. Akar itu akan kami lumatkan dan kami aduk dengan air sebanyak-
banyaknya sehingga setiap orang dapat minum air itu sebagai obat
penyakitnya.”
“Gila!” teriak Mahisa Agni, “Jadi kau ingin merampas akar ini?”
“Tidak,” sahut orang itu cepat-cepat, “aku hanya mengatakan demikian.”
“Jangan berbicara lagi!” perintah Mahisa Agni.
“Tidak. Aku tidak akan berbicara lagi. Tetapi aku ingin menjelaskan. Aku
sama sekali sudah tidak bernafsu lagi memiliki akar wregu itu. Milikilah,
karena padamu pun wregu itu memiliki nilai kegunaan yang tinggi. Dengan
kesaktian yang akan kau peroleh, kau akan dapat melakukan pengabdian
pada kemanusiaan. Kau akan dapat menolong sesama yang mengalami
kesulitan-kesulitan dan kau akan melakukan tindakan perikemanusiaan.
Karena itu aku sekali lagi mengucapkan selamat padamu. Kalau kau tak
mau pergi ke Wangon pun tak apa pula. Sebab di sana kau mungkin juga
tinggal akan menemui mayat-mayat mereka.”
Kembali Mahisa Agni terdiam. Dan tiba-tiba perjuangan di dalam dadanya
menjadi dahsyat. Mahisa Agni telah mengalami berbagai rintangan dalam
perjalanannya. Ia harus bertempur dengan orang-orang jahat, dengan
binatang-binatang buas sampai yang terakhir dengan Empu Pedek.
Semuanya dapat di atasi dengan penuh tekad dan hasrat untuk
melaksanakan perintah gurunya dan demi masa depannya.
Namun ketika ia harus berhadapan dengan lawan yang terakhir maka
Mahisa Agni menjadi seakan-akan lumpuh. Kini ia tidak bertempur
melawan orang-orang sakti dan binatang-binatang buas. Tetapi ia harus
bertempur melawan perasaan sendiri. Sebagai seorang anak yang prihatin
sejak masa kecilnya, yang merasakan duka derita manusia-manusia yang
sedang mengalami kesulitan-kesulitan, yang telah menerima banyak
pelajaran dan pendidikan mengenai manusia dan kemanusiaan dari
gurunya, yang pernah mendengar cerita tentang ibunya yang membuang
diri karena tekanan perasaan yang menghimpit hati, maka kini Mahisa
Agni tidak dapat mengelak lagi dari cengkeraman perasaannya.
Dengan akar wregu putih itu ia masih harus melakukan pengabdian. Ia
masih harus mencari persoalan. ia masih harus menemukan ketidak adilan
dan pelanggaran atas sendi-sendi kemanusiaan untuk ditegakkan dan
dibelanya. Ia masih harus mencari lawan, betapa lawan yang dicarinya itu
adalah orang-orang jahat. Dan sekarang kesempatan pengabdian yang
nyata telah ada di hadapannya. Bukankah dengan memberikan akar wregu
putih itu ia telah melakukan pengabdian kepada kemanusiaan dalam bentuk
yang nyata dan langsung. Beribu-ribu orang akan terbebas dari kematian
4
yang mengerikan. Sakit, semakin lama menjadi semakin lemah, dan
akhirnya kematian menerkamnya. Apakah dengan memiliki akar wregu
putih itu kelak ia akan mendapat kesempatan untuk membela, melindungi
atau tindak apapun yang dapat menyelamatkan jiwa sampai lebih dari
seribu orang? Atau malahan dengan akar wregu itu ia akan menjadi takabur
dan menyombongkan diri?”
Pertempuran di dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin dahsyat.
Sekali-kali terbayang wajah gurunya yang tenang sejuk dan dalam, namun
sekali-kali terbayang mayat yang membujur lintang di antara pekik anak-
anak dan bayi yang mencari susu ibunya. Namun ibunya telah mati, dan
perlahan-lahan bayi itu akan mati pula.
Gambaran-gambaran yang mengerikan semakin lama semakin jelas hilir
mudik di kepala Mahisa Agni. Dan kini ia benar-benar tidak mampu lagi
untuk mengelakkan diri dari terkaman-terkaman peristiwa-peristiwa yang
membayanginya.
Mahisa Agni yang perkasa, yang mampu bertempur melawan orang-orang
sakti dan binatang-binatang buas itu kini terduduk dengan lemahnya
bersandar dinding. Sekali-sekali ia menggelengkan kepalanya untuk
mengusir perasaannya yang telah melumpuhkannya. Namun perasaan itu
telah melekat dengan eratnya pada dinding hatinya.
Ketika terngiang kembali pesan Buyut Ing Wangon itu kepadanya supaya
disampaikan permintaan maafnya kepada orang-orang Wangon, maka
Mahisa Agni menundukkan kepalanya, bahkan tiba-tiba sepasang
tangannya yang kokoh seperti baja itu menutupi wajahnya. Sebab di dalam
dadanya, pesan itu diperpanjangnya sendiri, katanya kepada diri sendiri di
dalam hati, “Buyut Ing Wangon itu gagal dalam usahanya, dan beribu-ribu
orang mengalami bencana, karena seorang anak muda yang bernama
Mahisa Agni telah merampas akar wregu itu untuk membuat dirinya sakti
tiada bandingnya.”
“Oh,” Mahisa Agni mengeluh. Kini ia tidak tahan lagi melawan
perasaannya, sehingga tiba-tiba dari mulutnya terdengar kata-katanya
gemetar, “Ki Buyut Wangon, apakah kau yakin bahwa akar wregu ini akan
dapat menyembuhkan orang-orangmu yang sakit itu?”
“He,” Buyut Wangon itu terkejut. Namun kemudian terdengar suaranya
lemahnya, “aku yakin.”
Sekali lagi mereka berdua berdiam diri. Dan kembali gua itu dicengkam
oleh kesepian yang mengerikan.

5
“Ki Buyut,” berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah Ki Buyut ingin
membuktikannya, bahwa akar wregu ini akan bermanfaat bagi penyakitmu
itu?”
“Tidak Ki Sanak,” jawab Buyut Wangon itu.
“Kenapa tidak?” Mahisa Agni menjadi heran.
“Ki Sanak,” jawab orang bongkok itu, “aku bukan mencari akar wregu itu
untukku sendiri. Tak ada gunanya seandainya aku dapat sembuh
karenanya, namun beribu-ribu orang lain akan mati juga. Karena itu
biarkanlah aku di sini.”
Tiba-tiba Mahisa Agni itu menggeleng. Dan terloncatlah dari bibirnya,
“Tidak. Aku tidak dapat membiarkan kematian-kematian itu.”
“He,” sekali lagi Buyut Wangon itu terkejut, “apa maksudmu. Ki Sanak?”
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Terdengarlah ia berkata lirih, “Ki
Sanak. Bawalah akar ini kembali ke Wangon. Mudah-mudahan kalian akan
benar-benar sembuh karenanya.”
“Apa katamu? Apa katamu?” orang bongkok itu tiba-tiba bergeser dan
dengan susah payah ia berteriak terbata-bata, “Kau ingin memberikan akar
itu kepadaku?”
“Ya,” sahut Agni pendek.
“Oh,” tiba-tiba orang itu menjadi lemah kembali. “Jangan!” katanya,
“jangan. Aku ternyata terlalu mementingkan kepentinganku sendiri.
Milikilah, masa depanmu masih panjang. Mudah-mudahan jagat yang
gumelar ini akan dapat kau miliki dengan kesaktian itu.”
Tetapi hati Mahisa Agni menjadi semakin pedih mendengar kata-kata
Buyut Wangon itu, jawabnya, “Tidak Ki Buyut. Betapapun aku akan dapat
menggulung dunia seisinya, namun aku tidak akan dapat melupakan,
bahwa aku telah berdiri di atas beribu-ribu mayat yang seharusnya dapat
diselamatkan. Aku akan selalu ingat, bahwa kematian-kematian itu
disebabkan karena keinginanku untuk menjadi seorang yang paling sakti di
dunia. Dan bagiku tebusan itu terlalu mahal, sedangkan manfaatnya masih
belum dapat dipastikan.”
“Oh,” orang itu pun terdengar menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, “Apabila demikian Ki Sanak, maka aku akan mengucapkan
terima kasih yang tak ada batasnya. Juga orang-orang Wangon dan
sekitarnya akan berterima kasih pula kepadamu. Karena itu, apabila benar
kau ingin menyerahkan akar wregu itu. Marilah. Aku antarkan kepadanya.
Serahkanlah sendiri akar wregu milikmu itu. Dan kau akan diangkat
menjadi pelindung mereka, atau tetua mereka atau apa saja yang dapat
diberikan kepadamu.”
6
Mahisa Agni menggeleng lemah. Jawabnya, “Tidak Ki Sanak. Kau adalah
tetua di daerahmu. Bawalah akar ini kepada mereka.”
“Kenapa kau tak mau singgah ke Wangon?”
“Tidak. Bawalah. Marilah, terimalah akar ini.”
Mahisa Agni dengan lemahnya merangkak maju. Dan dengan tangan yang
gemetar dicabutnya akar wregu itu dari dalam bajunya. Ketika teraba
benda itu, kembali ia menjadi ragu-ragu. Namun ketika kembali bayangan
mayat-mayat yang bergelimpangan hadir di dalam rongga matanya, maka
betapapun beratnya, akar wregu putih itu diserahkannya pula.
“Inilah,” katanya.
Ternyata Buyut Ing Wangon itu telah benar-benar menjadi sedemikian
lemahnya. Tidak saja karena ia terbanting di lantai gua dan membentur
batu-batu padas, namun katanya, “Penyakitku telah hampir sampai ke
otakku. Sesaat lagi aku sudah akan mati.”
“Tidak!” sahut Agni, “Karena itu cepat, terimalah akar ini. Dan kaulah
yang pertama-tama akan tahu khasiatnya, apakah akar ini benar-benar
bermanfaat bagi penyakitmu.”
“Oh,” jawab Buyut bongkok itu, “kau benar. Marilah, aku terima akar itu
dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Agung.”
Tangan Buyut Wangon yang sangat lemah itu pun bergerak-gerak
menggapai akar yang diberikan Mahisa Agni kepadanya. Demikian ia
menyentuh benda itu, maka katanya, “Tolong Ki Sanak, uraikan
pembalutnya.”
Mahisa Agni pun memenuhi permintaan itu. Dan diberikannya kemudian
akar wregu putih itu kepada Buyut Wangon yang sudah sedemikian
lemahnya.
Dengan serta-merta, tangan yang lemah dan gemetar itu telah membawa
akar wregu putih itu ke mulutnya. Digigitnya ujung akar itu sedikit. Dan
bergumamlah Buyut Ing Wangon itu, “Alangkah pahitnya.”
Mahisa Agni tidak menyahut sepatah kata pun. Dibiarkannya Buyut Ing
Wangon itu mengunyah sepotong serat yang kecil, sekecil sebutir beras.
Dengan berdebar-debar ia menunggu, apakah akar itu benar-benar akan
berpengaruh bagi penyakit yang aneh itu.
Sesaat kemudian Mahisa Agni dicengkam oleh ketegangan. Kali ini bukan
karena ia takut kehilangan akar wregu putih itu, namun ia ingin
menyaksikan, apa yang akan terjadi dengan Ki Buyut Wangon itu.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mendengar Buyut Ing Wangon itu berdesis,
kemudian terdengar ia bergumam, “Perutku dan seluruh tubuhku terasa
dijalari oleh arus yang panas.”
7
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia tidak tahu, apakah arus panas di dalam
tubuh Buyut Wangon itu menguntungkan atau bahkan sebaliknya. Karena
itu ia masih berdiam diri dan memandangi bayangan Buyut Ing Wangon itu
dengan wajah yang tegang.
Sesaat kemudian terdengar Buyut Wangon itu berdesis. Tetapi kemudian,
kembali ia mengeluh, “Alangkah panasnya.”
Mahisa Agni ikut menjadi gelisah karenanya. Namun ia ikut pula berdoa di
dalam hatinya, “Mudah-mudahan akar wregu itu benar-benar dapat
menolongnya.”
Gua itu kemudian seakan-akan telah tenggelam ke dalam kesepian yang
tegang. Hanya kadang-kadang Mahisa Agni melihat Buyut Ing Wangon itu
menggeliat, namun kemudian diam kembali. Hanya nafasnya sajalah yang
terdengar berkejaran dari lubang hidungnya. Dengan demikian Mahisa
Agni itu pun menjadi bertambah cemas. Jangan-jangan akar wregu putih
itu telah menambah sakit Buyut dari Wangon menjadi bertambah parah.
Tetapi kemudian Mahisa Agni terkejut, ketika terdengar Buyut itu menarik
nafas dalam-dalam. Dan terdengarlah ia berkata, “Alangkah segarnya
tubuhku kini.”
Mahisa Agni menggeser maju. Terdengar ia bertanya, “Apakah keadaan Ki
Buyut menjadi berangsur baik?”
“Ya,” jawab Ki Buyut, “aku menjadi baik kembali. Setidak-tidaknya
sakitku tidak menjadi bertambah parah. Tetapi aku rasa bahwa sebagian
kekuatanku justru telah pulih kembali.”
“Syukurlah,” desis Mahisa Agni, “mudah-mudahan akar itu bermanfaat
bagi Ki Buyut. Nah, selagi masih ada kesempatan. Pulanglah ke Wangon
dan selamatkanlah orang-orang di daerah itu.”
“Terima kasih,” sahut Ki Buyut, “terima kasih. Namamu akan tetap kami
kenangkan, Empu Pedek dari Gunung Merapi.”
“Oh,” Mahisa Agni menggeleng, “Aku bukan Empu Pedek dan Gunung
Merapi.”
Buyut Ing Wangon itu terkejut. Katanya, “Bukankah kau sebut namamu
Empu Pedek? Dan bukankah kau katakan kau datang dari kaki Gunung
Merapi?”
“Bukan Ki Buyut,” sahut Mahisa Agni, “aku adalah Mahisa Agni dari kaki
Gunung Kawi.”
“Oh,” orang yang bongkok itu menjadi heran, “jadi siapakah Empu Pedek
dari kaki Gunung Merapi?”
“Aku tidak tahu, “ jawab Mahisa Agni. Namun dengan demikian
teringatlah olehnya seorang yang timpang yang mungkin telah
8
menunggunya di kaki lereng gundul ini. Karena itu maka katanya, “Ki
Buyut, yang kuketahui dengan Empu Pedek itu adalah, bahwa ia telah
berusaha untuk menahan perjalananku. Aku bertempur dengan orang itu di
bawah lereng gua ini.”
“Jadi kau bahkan telah bertempur dengan orang itu?”
“Ya.”
“Kalau demikian, maka nama Mahisa Agni akan tetap terpatri di dalam
setiap hati penduduk Wangon. Seorang tukang yang paling cakap akan
menulis nama itu di gapura-gapura padukuhan dan seorang pujangga yang
paling baik akan menulis nama itu di lontar-lontar yang akan disimpan di
pura-pura di seluruh daerah Wangon dan sekitarnya.”
“Jangan!” jawab Mahisa Agni, “Aku akan bergembira apabila beribu-ribu
orang itu akan sembuh. Dan aku akan bergembira apabila mereka dapat
melangsungkan hidup keturunan mereka seterusnya.”
“Mengagumkan,” desah Buyut dari Wangon itu.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar Buyut Wangon itu tiba-tiba
berkata dengan gemetar, “Sungguh tak ada duanya. Kau benar-benar
manusia yang terpuji.”
“Jangan memuji,” sahut Mahisa Agni, dan kemudian dilanjutkannya, “Nah,
sebaiknya, apabila Ki Buyut telah dapat menempuh perjalanan pulang,
pulanglah sebelum terlambat.”
“Baik,” jawab Buyut itu, “aku akan segera pulang. Mudah-mudahan aku
tidak terlambat. Apabila aku terlambat, maka aku akan mengembalikan
akar wregu putih ini kepadamu. Aku cari kau ke kaki Gunung Kawi.
Apakah nama padukuhanmu?”
“Panawijen,” jawab Mahisa Agni tanpa sesadarnya.
Buyut Wangon itu pun perlahan-lahan mencoba untuk berdiri. Dan ternyata
ia berhasil. Bahkan kemudian katanya, “Aku telah dapat berjalan seperti
pada saat aku datang kemari.”
“Syukurlah,” sahut Mahisa Agni.
Buyut dari Wangon itu pun kemudian berjalan terbongkok-bongkok ke
arah mulut gua. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Mahisa Agni
mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan-jalan menyusur jalan yang
mereka lalui semula. Namun kini perlahan-lahan sekali. Sebab orang
bongkok itu benar-benar tak dapat berjalan lebih cepat dari seekor siput.
Meskipun demikian Mahisa Agni dengan telatennya berjalan saja di
belakangnya.

9
Perjalanan itu benar-benar makan waktu yang panjang sekali. Ketika
mereka telah sampai di mulut gua, maka yang mereka lihat hanyalah
warna-warna hitam melulu. Hari telah malam.
Ketika Mahisa Agni melihat orang bongkok itu akan menuruni tebing,
maka dicobanya untuk mencegahnya, “Ki Buyut, adalah lebih baik Ki
Buyut menuruni lereng ini besok pagi, apabila hari telah menjadi terang
Adalah berbahaya untuk melakukannya sekarang.”
Ki Buyut itu menggeleng. “Tidak,” jawabnya, “aku tidak mau terlambat.
Biarlah aku menuruni tebing ini perlahan-lahan, namun aku tidak banyak
kehilangan waktu.”
Buyut itu benar-benar tak mau dicegah lagi. Karena itu, justru Mahisa Agni
tidak sampai hati membiarkannya turun sendiri. Betapapun sulitnya, maka
Agni itu pun turut serta menuruni lereng yang curam itu pada saat itu juga.
Apalagi perjalanan menuruni tebing ini. Buyut Ing Wangon itu dengan
hati-hatinya merayap setapak demi setapak. Tubuhnya yang bongkok itu
ternyata menambah perjalanannya menjadi semakin sulit. Mahisa Agni
yang merayap di belakangnya kadang-kadang sangat cemas, dan seakan-
akan ingin ia mendukungnya. Tetapi Mahisa Agni itu terperanjat ketika
dengan gembiranya Buyut dari Wangon itu berkata, “Ki Sanak, tubuhku
benar-benar telah pulih kembali. Perjalananku menjadi sangat
menggembirakan. Aku tidak menemui kesulitan-kesulitan apapun.”
“Syukurlah, “sahut Mahisa Agni.
Namun ternyata perjalanan itu tidak bertambah cepat. Dalam kegelapan
mereka hanya dapat mengenal jalan dengan meraba-raba dan kadang-
kadang mereka terpaksa berhenti untuk beberapa lama.
Menuruni tebing yang curam di malam hari adalah pekerjaan yang cukup
berbahaya. Namun untunglah mata Mahisa Agni yang terlatih itu cukup
tajam untuk melihat batu-batu padas yang menjorok di sekitarnya sehingga
betapapun sulitnya, tetapi ia dapat juga mempergunakan setiap keadaan
untuk mempermudah penurunan itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni
tidak dapat turun lebih cepat lagi. Buyut Ing Wangon itu benar-benar
merayap lambat sekali. Tetapi Mahisa Agni pun dapat menyadari
keadaannya. Seorang yang telah lanjut usia, bertubuh bongkok dan baru
saja ia kehilangan hampir segenap kekuatannya. Apalagi orang itu sama
sekali tidak memiliki kelebihan apapun dari manusia biasa. Ia tidak
mempelajari apapun tentang keterampilan jasmaniah, sehingga untuk
melakukan pekerjaannya itu, ia harus bekerja, dengan penuh ketekunan dan
tekad. Inilah yang mengagumkan Mahisa Agni. Ternyata tekad yang
tersimpan di dalam dada orang Wangon itu pun tidak kalah bulatnya dari
10

Anda mungkin juga menyukai