Enkfnweklnfklwe
Enkfnweklnfklwe
Disusun Oleh:
Nadif Ferdiansyah
3010180xxx
Pembimbing:
dr x, Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD dr. R. Soedjati Purwodadi
Oleh :
Nadif Ferdiansyah
3010180xxx
Pembimbing,
(dr X, Sp.A)
BAB I
LAPORAN KASUS STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
B. DATA DASAR
Alloanamnesis dengan ibu pasien dilakukan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2022 jam
14.00 WIB yang dilakukan di bangsal Bugenvil RSUD dr. R Soedjati Purwodadi serta
didukung catatan medik.
KELUHAN UTAMA
Batuk berdahak
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien laki laki usia 1tahun 7 bulan datang dengan diantar kedua orangtuanya ke IGD
RSUD Dr. R. Soedjati dengan keluhan batuk berdahak 10 hari SMRS.
+- 10 hari pasien mengalami batuk berdahak dan Batuk berdahak dialami terus
menerus tanpa adanya faktor memperingan dan memperburuk dan dahak sulit untuk
dikeluarkan hingga membuat pasien sulit bernafas. Pada pasien juga mengalami nafas dengan
bunyi ‘grok-grok’ Pasien sebelumnya sempat diobati namun tidak ada perbaikan. Keluhan
lain seperti penurunan penciuman (-), mimisan (-), nyeri tenggorokan (-), nyeri perut (-),
pegal pegal di seluruh tubuh (-). Tidak ada riwayat bepergian ke daerah endemis malaria (-)
dan kontak dengan pasien terkonfirmasi covid-19 (-), kontak dengan pasien TB (keluarga
kurang tau), nafsu makan pasien menurun.
+- 1 hari SMRS pasien muntah 3x, setelah makan dan minum Mual (-) BAB sudah 1
bulan ini sulit dan jarang dan BAK dalam batas normal, dan keluarga membawa psien
keesokan harinya ke rumah sakit.
Cerebral Palsy :+
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat batuk lama pada keluarga pasien (+) kakek pasien, namun hanya minum obat
warung
Riwayat anggota keluarga yang sedang menjalani pengobatan TBC juga disangkal
Ayah seorang pekerja swasta , dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Pasien merupakan
anak ke-1dari 1 bersaudara. Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya dan kakeknya.
Biaya pengobatan menggunakan BPJS.
Data Khusus
2. Riwayat makan-Minum
Anak diberikan ASI eksklusif sejak lahir hingga 1 tahun. Ibu mengatakan anak susah
makan, dan hanya sering minum susu.
3. Riwayat Imunisasi
Riwayat Imunisasi dasar dan ulang
No Jenis Imunisasi Jumlah Dasar
1. BCG 1x 1 bulan
4. DPT 3x 2, 4, 6 bulan
5. Campak 1x 9 bulan
HAZ = 67 CM/1thn
7 bulan > -3
PERAWAKAN
Severely Stunted
WHZ = 8,5 KG/74
CM < -3 SD
Gizi Buruk
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
2. Tanda Vital
a. Nadi
f. Telinga : Normotia Low set ear (-) Discharge (-) Nyeri tarik tragus (-) Nyeri
tarik auricula (-) Nyeri ketok os. Mastoid (-)
g. Mulut : Bibir kering dan pucat (-) Stomatitis angularis (-) Lidah kotor (-),
Tepi lidah hiperemis (-) Lidah tremor (-) Pernapasan mulut (-) Leher :
Simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe
h. Thorax :
PULMO
● Inspeksi : Bentuk dada normal Sikatriks (-) Hemithorax dextra dan sinistra
simetris, retraksi suprasternal (-) retraksi intercostal (+) retraksi subcostal (-)
● Palpasi : Stem fremitus dextra dan sinistra simetris, benjolan atau masa (-)
COR
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular (+) murmur (-) gallop (-)
i. Abdomen
Inspeksi : Abdomen simetris kemerahan (-) massa (-), sikatrik (-) tidak terlihat
gerakan peristaltik usus
Palpasi : Gerak peristaltik usus (+) normal, bising Aorta (-), bising a. renalis
(-), bising a. iliaka (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen, hepar (pekak hepar), lien (area
traube timpani)
Auskultasi : Supel, masa (-), nyeri tekan (-), hepar teraba, konsistensi kenyal,
permukaan rata, turgor kulit normal, lien tidak teraba
Alat kelamin : perempuan
j. Anggota Gerak: Atas Bawah
PEMERIKSAAN PENUNJANG
● Darah rutin
HEMATOLOGI
Basofil 0 0-1 %
N. Batang 0 3-5 %
N. Segmen 33 25-60 %
Limfosit 54 25-60 %
Monosit 11 1-6 %
Eosinofil 2 1-5 %
Kimia Klinik
Imunoserologi
X Foto Thorax AP
Cor : CTR < 50%
Pulmo:
• Tampak bercak kesuraman perihiler para kardia dextra dan sn
• Corakan bronkovaskular kasar
Diafragma dx dan sn dbn
Sinus Costoprenikus dx dan sn dbn
Kesan :
- Bronchopneumonia
Daftar Masalah
Anamnesis
1. Batuk 10 hari sebelum masuk rumah sakit
2. Sesak memberat 2 hari Sebelum masuk rumah sakit
3. Batuk disertai dahak yang tidak bisa keluar
4. Sesak nafas terus-menerus
5. Demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit
6. Napas disertai bunyi ‘grok-grok
7. Muntah 3x setelah makan dan minum
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak sakit sedang
2. SPO2 91%
3. Microcephale
4. Retraksi subcostal minimal
5. Ronkhi hemithorax dxtra et sinistra
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lab darah : Hb meningkat, N. Batang dan Monosit meningkat
2. Pemeriksaan X Foto Thorax: bronkopneumonia
ASSESMENT :
Diagnosis Banding
1. Bronchopneumonia
2. Tuberkulosis Paru
3. Pneumonia
4. Bronkiolitis
Diagnosis Kerja
Bronkopneumonia, TB Paru dengan Gizi Buruk
INITIAL PLANS :
1. Assesment: Bronkopneumonia
IP Dx :
S: Batuk (+) 10 hri,Demam (+) 2hari, Sesak (+)
O: - Cek darah rutin, GDS , CRP
Mantoux test
Ro Thorax
IP Tx:
O2 2l/menit
Infus RL 10 tpm
Paracetamol 10 – 15 ml/KgBB/kali tiap 6 jam 5 X 10 = 50mg/kali tiap 8 jam
(diberikan apabila perlu)
Inj Ceftriaxon 350mg/24 jam
PO Paracetamol drop 3x0.5cc
Mucus drop 3 X 0,5 ml
Nebulizer Ventolin :Pulmicort ½:1/2 / 8jam
IP Mx:
D. INITIAL PLANS
1. Assesment : Tuberkulosis Paru
DD :
- BRPN
- pneumonia
IP Dx :
S: -
O: Mantoux test, kultur mycobaterium tuberculosis, x foto thorax AP-L, tes cepat
molekuler
IP Tx:
OAT
◦ Fase awal / intensif untuk 2 bulan pertama
● 3FDC Anak 1x1
IP Mx:
• Perbaikan gejala klinis pasien ( nafsu makan dan berat badan meningkat )
• Pemantauan keteraturan minum obat
Ip. Ex :
Menjelaskan keluarga bahwa lama pengobatan TB paru ± 6 bulan
Rutin kontrol terkait pengobatan TB paru
Edukasi pentingnya kepatuhan minum obat setiap hari
Sering membuka pintu dan jendela rumah terutama saat pagi hari
Mengajarkan etika batuk kepada keluarga
Skrining terhadap saudara dan kedua orang tua pasien
Menjaga kebersihan lingkungan rumah
Keluhan Batuk (+), pilek (+), sesak nafas Batuk (+), pilek (+), sesak nafas
(+), demam (+) makan minum (+), demam (+) makan minum
sulit (+) sulit (+)
Keluhan Batuk (+), ronki (-), sesak nafas (-) Batuk (+), ronki (-), sesak nafas (-)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. BRONKOPNEUMONIA
Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis merupakan infeksi pada
parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke
bronkus terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan
pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung
dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus,
fungi dan parasit dapat menjadi penyebab.
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat.
Bronkopneumonia adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang
lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan
meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Etiologi
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.5
Patogenesis 2,3
Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme
yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan
dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus
pneumonia, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada
pemakaian ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat
perubahan pola mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan
kekebalan, penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak
tepat menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis
kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan
Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negatif.
Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. Aureus dapat
terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau
pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru
lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakea atau luka
tusuk dada yang berdekatan dengan tempat infeksi yang berbatasan.
Usia merupakan prediktor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme
penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat
pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai
5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza
serta M. catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga
lebih sering didapatkan pada pasien perokok. Bakteri gram negatif lebih sering pada
pasien lansia. Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid,
malnutrisi dan imunisupresi disertai lekopeni.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan
memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan.
Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit
tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan
menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan
menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam
alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah paru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator – mediator peradangan dari sel – sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator – mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerjasama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Gambar 2. Tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel – sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa – sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Gambar 3. Tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa – sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali kestrukturnya semula.
Manifestasi Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40 oC dan mungkin disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah
beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran
nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus,
sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri
dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan
sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang
sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding
dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non
produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga >
15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit >
30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis >
500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi
virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus
terutama pada anak- anak kecil.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan
diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru.
Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia
bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya
disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
Gambar 4 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru
kanan
Gambar 5 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia.
b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau
inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1
dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri.
CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
c. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Kriteria diagnosis
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya
paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrate difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit predominan,
dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Diagnosis Banding
1. Infeksi perinatal/kongenital (pada neonatus)
2. Hyalin membran disease / HMD (pada neonatus)
3. Aspirasi pneumonia
4. Edema paru
5. Atelektasis
6. Perdarahan paru
7. Kelainan congenital parenkim paru
8. Tuberkulosis
9. Gagal jantung kongestif
10. Neoplasma
11. Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis).1
Penyulit
1. Empiema (paling sering oleh S. Pneumoniae dan S. Aureus)
2. Perikarditis
3. Pneumotoraks
4. Pneumatokel
5. Meningitis bakterialis
6. Artritis supuratif
7. Osteomielitis.1
Penatalaksanaan 2,6
Penatalaksaan Umum
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit🡪sampai sesak nafas hilang atau Pa O2 pada
analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Penatalaksanaan Khusus
- Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72
jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotic awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi,
atau penderita kelainan jantung
a. Kuman yang dicurigai atas dasar data klinis, etiologi dan epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Antibiotik :
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam
pertama) menurut kelompok usia.
- beta laktamamoksisillin
- amoksisillin – amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anakusia> 8 tahun)
Karena dasar antibiotic awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus
dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari
ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam
24-72 jam 🡪ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab
yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empiema,
abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotic tidak efektif)
Prognosis
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada
perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-kanak
dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang
berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan
yang dating terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
II. TB paru
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang bersifat sistemik dan disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas (>95%) menyerang paru(WHO, 2019).
Penularan tuberkulosis anak sebagian besar melalui udara sehingga fokus primer berada di
paru dengan kelenjar getah bening membengkak serta jaringan paru mudah terinfeksi
kuman tuberkulosis. Selain itu dapat melalui mulut saat minum susu yang mengandung
kuman Mycobacterium bovis dan melalui luka atau lecet di kulit. Beberapa istilah dalam
definisi kasus TB anak:
Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak
Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis adalah pasien TB anak
yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis
langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI.
Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak
memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan
radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien
ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan
Pasien TB Ekstra Paru.
PATOGENESIS
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5pm) akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dibaneurken seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik,sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan aken terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirya menvebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon (IDAI, 2019) .
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyeber melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar linfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inlarnasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limnfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar lirnfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paretrakeal. Gabungan antare focus primer, limfangitis, , dan Jimfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya
berlangsung sclama 4-8 minggu. Sclama masa inkubasi terscbut, kuman berkembang biak
hingga mencapai jumlah 10-10, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
selular.
Pada saat terbcntuknya komplcks primer, 'TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi
kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalan
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringen paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkejuen dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalai fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelerjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB (IDAI, 2016).
Kompleks primer dapat juga rnengalarni korplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional.Fokus primer d di paru dapat membesar dan menyebabkan preun
umonitis atau pleuritis fokel. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas).Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, aken membesar kerena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanis isme ventil (ball-valve mechanism), Obstruksi total
dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa Keju dapat menimbullan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan preumonitis dan atelektasis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limie
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi (IDAI,
2016). Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak
bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyeberan yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkjuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di
dalamn darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyeberan tipe ini tidak dapet dibedakan
dengan acute generalized hematogenic spread (KEMENKES, 2016)
DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik/jasmani,
pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya Pasien TB anak
dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB
menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan
sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan
kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab
profilaksis TB pada anak (WHO, 2019) .
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum
atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak
khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin
Cara melakukan uji tuberculin (Mantoux Test) ini sangat sederhana, yaitu dengan
menyuntikkan 0.1 ml tuberculin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah
suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan.
Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam millimeter berapapun ukurannya, termasuk
cantumkan 0 milimeter jika tidak ada indurasi sama sekali. Indurasi 10 milimeter ke atas
dinyatakan positif. Indurasi < 5 milimeter dinyatakan negative, sedangan indurasi 5-9
milimeter meragukan dan perlu diulang dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji
tuberculin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif pada anak.
Reaksi uji tuberculin positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau pasiennya
sudah sembuh, sehingga uji tuberculin tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB.
Foto Toraks Antero-Posterior (AP) dan Lateral Kanan
Gambaran radiologis yang sugestif TB diantaranya adalah pembesaran kelanjar hilus atau
paratrakeal, konsolidasi segmen/lobus paru, milir, kavitas, efusi pleura, atelektasis, atau
kalsifikasi.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Spesimen atau bahan pemeriksaan yang diambil berasal dari bilasan lambung atau sputum,
untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung, dan Mycobacterium
tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau
biakan negative tidak menyingkirkan diagnosis TB.
Pemeriksaan Patologi : dilakukan biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai TB.
Pemeriksaan lainnya yang perlu dilakukan bila terjadi TB ekstrapulmoner adalah funduskopi,
pungsi lumbal, foto tulang, dan pungsi pleura. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan laju
endap darah, pemeriksaan urin rutin, dan feses rutin sebagai pelengkap data namun tidak
berperan penting dalam diagnostic TB.
PENATALAKSANAAN
1. Isoniazid
INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat
ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura,
cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse
reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari,
max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100
mg/5 ml.
INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi
keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan
bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak
dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2
bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama
dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau
fenitoin dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan
pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga
normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut
dan kuning. Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme
piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau
kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10
mg piridoksin tiap 100 mg INH. Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang
disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang jarang terjadi antara lain
pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi
mirip lupus yang disertai ruam dan artritis.
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh
oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini
rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari,
maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian perhari. jika diberikan
bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH
tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan
secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin
terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan
diginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek
samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan
hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan
kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat menyebabkan
trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg,
300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak
dengan berbagai kisaran berat badan.
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada
intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian
PZA secara oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari.
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg. efek samping PZA adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan
hiperurisemia jarang timbul pada anak.
4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis
tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam
tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan
pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB
dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi
intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. EMB ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama
adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan
toksisitas optik pada anak-anak.
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada
keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler.
Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari,
maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam
waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang,
tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Di Indonesia digunakan sistem skoring TB anak untuk menentukan tatalaksana yang akan
diberikan kepada anak tersebut :
Gambar 1. Skoring Tuberkulosis pada Anak
Lalu ditentukan apabila skor ≥ 6 maka diberikan terapi OAT selama 2 bulan dan kemudian
dilakukan pemeriksaan ulang untuk melihat terapi OAT tersebut memberikan respon
perbaikan pada anak. Jika terjadi respon perbaikan makan terapi OAT diteruskan, sedangkan
jika respons negative maka dipikirkan adanya faktor lain seperti gizi buruk, pengobatan yang
tidak rutin, ataupun TB multidrug resistance (TB MDR).
Terapi TB terdiri dari 2 fase :
1. Fase intensif : diberikan 3-5 OAT selama 2 bulan awal
2. Fase lanjutan : paduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan.
Pada anak OAT diberikan secara harian baik pada fase intensif maupun fase lanjutan.
TB paru : INH, Rifampisin, dan Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, lalu
dilanjutkan dengan INH dan RIfampisin hingga genap 6 bulan terapi (2RHZ-4HR)
TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstraparu : diberikan 4-5 OAT selama
2 bulan fase intensif, lalu dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin hingga genap 9-12
bulan terapi.
TB kelenjar superficial : terapinya sama dengan TB paru.
TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, lalu dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu (total pemberian waktu 1
bulan).
Gambar 2. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Anak sesuai dengan Sistem Skoring
Penatalaksanaan bedah diindikasikan bagi TB paru berat dengan destroyed lung, TB tulang
yang telah diberikan terapi OAT selama minimal 2 bulan, kecuali jika terjadi kompresi
medulla spinalis atau ada abses paravertebra maka dapat dilakukan lebih awal. Selain itu
asupan gizi yang adekuat juga dapat membantu keberhasilan terapi TB.
Kombinasi dosis tetap OAT (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC)
PENCEGAHAN
Vaksin BCG
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium
bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi diberikan
pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji
tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian
Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah
terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia
muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian
apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG. Komplikasi
paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis supuratif dan
pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada
beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan.
Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit
TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis
atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya
sakit TB.
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap
hari selama 6 bulan. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke
6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan
harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal. Jika rejimen Isoniazid
profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka rejimen
isoniazid profilaksis dapat dihentikan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi
BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
III. STATUS GIZI
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat
dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam
tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi
normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2014). Status gizi normal merupakan suatu
ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang
masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan
kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari
karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (WHO, 2011). Status gizi normal
merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Cahyani, 2014).
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan
keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi
yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih
sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Hidayat, 2011).
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan
menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu yang
memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih (Krisnansari, 2010). Penilaian status gizi
terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Penilaian Langsung
a. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan
dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada
umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh seseorang. Metode
antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan
tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik
(Liansyah, 2015).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan perubahan yang
terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi.
Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut,
mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid).
c. Biokimia
d. Biofisik
Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang dapat digunakan
dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja (Oktavianis, 2016).
Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data yang
didapat dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui
jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui
frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai
dengan kebutuhan gizi (Pudjiadi, 2005).
b. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-
data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian
menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan
kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi
c. Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat
terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan
lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui
penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat
berguna untuk melakukan intervensi gizi (Cahyani, 2014).
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau
status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara
efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja,
dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan
makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat
gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2014).
Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh
(mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan
sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi (Liansyah,
2015).
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-
negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah,
pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh
masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan
Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Pudjiadi, 2005)
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul. Pneumonia. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya
:Airlangga University Press.th ; 2008. Hal ; 193-7
2. Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi 3rd Ed :
Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 – 8
3. Chandra. Bronkopneumonia. Available atwww.scribd.com/doc/46439973/Lapkas-BP-
chandra.
4. Anonim. Referat Bronkopneumonia. Available at www.scribd.com/doc/7688175/Referat-
Bronkopneumonia
5. Rahajoe Nastiti N, Supriyanto Bambang, dkk. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Th; 2010.hal; 351-363
6. Alih bahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit
rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta : WHO Indonesia.th;2008. Hal 86-93
7. WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia.
8. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI Jakarta. 1985
10. Apriyanto, Agung, R. P., & Sari, F. (2013). Petunjuk teknis manajemen TB anak. Jakarta:
11. Almatsier,S. 2014. Prinsip Dasar Gizi. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama.
12. Cahyani FN, Hartono A.S, Ngadiarti I. 2014. Frekuensi Konseling Gizi, Pengetahuan
Gizi Ibu dan Perubahan Berat Badan Balita Kurang Energi Protein (KEP) di Klinik Gizi
13. Evelyn, C, P, 2010, Anatomi dan Fisologi untuk Para Medis, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama
14. Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedoman pelayanan
medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid pertama. Jakarta: IDAI; 2016. 323-8.
15. Hidayat, T , dan Fuada, N,. 2011. Hubungan sanitasi lingkungan, morbiditas dan status
16. Irianto, K. 2014. Gizi Seimbang dalam Kesehatan Reproduksi. Alfabeta. Bandung:529
17. Liansyah T M. 2015. Malnutrisi pada Anak Balita. J Ilmiah Universitas Syah Kuala;
2(1):1–12.
18. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes; 2011.
19. Oktavianis. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di
20. Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Jakarta: Gaya Baru
21. WHO. Global Tuberculosis Report [serial online]. WHO; 2015 [Jakarta 2016 Juli 16].